Anda di halaman 1dari 6

TUGU MONAS JADI SAKSI

Tuhaaan…!!!
Ok. Aku segera menuju kesana. Sabar ya mbak? Aku baru pulang dari urusan
pemesanan perlengkapan. Tunggu ya…??

Aku tersenyum membaca sms dari panitia yang akan menjemputku tersebut.
Dari kemarin aku sudah bilang kalau aku akan tiba di Jakarta lebih pagi. Karena aku
akan naik pesawat yang paling pagi dari bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Sesuai dengan TOR yang dikirimkan lewat e-mail lima hari yang lalu.
Memang hari ini banyak sekali acara maka sengaja aku datang lebih pagi meski
kurang tidur. Semalam acara di kabupaten baru selesai jam delapan malam, aku
langsung berangkat ke Yogyakarta dan paginya terbang ke Jakarta.
Tiba di Arion Plaza aku langsung sms panitia. Ternyata mereka belum siap di
situ. Setengah jam kemudian penjemput datang. Tak pelak puluhan kali maaf ia
ucapkan atas keterlambatannya menjemputku meski aku sedikitpun tidak pernah
menyalahkannya.
Baru tiba lima menit di kantornya. Langsung dua orang anggota teatre
menyodorkan naskah padaku. Maksudnya untuk minta pertimbangan apakah sudah
pas cerita yang akan di bawakan nanti.
Setelah kuteliti sejenak aku punya pendapat.
Alangkah akan lebih baik kalau beberapa baris kata-kata protes itu di
utarakan melalui gambar yang di bawa oleh salah satu pemain nanti.
“Mbak Moni, tolong kasih masukan, ini baiknya bagaimana?” kata Dewi salah
satu pemain teatre yang maju ke arahku membawa naskah dialog yang akan di
bawakan nanti malam.
“Emhh…Bagaimana kalau bentuk tulisan itu diganti dengan bentuk gambar
yang warna warni.” Usulku. Kulihat rona cerah di wajah Dewi.
“Ya begitu Mbak kami juga maunya begitu, tapi kami bingung bagaimana
cara mengungkapkannya.” Aku tahu dia jujur karena terlihat nada bingung pada
suaranya.
“Bagaimana kalau yang baris pertama itu kamu jadikan lukisan. Kamu bisa
kan? Bikin lukisan yang berbentuk kantong celana yang penuh berisi uang lalu
disebelahnya ada hantu yang matanya melotot kearah kantong celana tersebut? Aku
rasa dengan begitu kita bisa menohok langsung pada pelaku bila si pelaku nanti tahu
aksi kita malam nanti.”
“Sip! Itu yang saya mau mbak. Tapi kenapa dari tadi kita tidak punya ide
kesitu ya?.” Kata Dewi cerah lalu cekatan dia mengambar seperti yang aku tunjukan.
Selesai satu sketsa. Aku sodorkan lagi satu ide untuk baris ke dua.
“Nah! Yang ke dua. Kamu gambar sesosok hantu yang seram tetapi hantu itu
berdasi.”
“Yap. Tepat mbak.” Seru Dewi. Dan kulihat wajah panitia yang menjemputku
tadi sangat tidak enak saat Dewi banyak tanya padaku. Dia mendekati Dewi dan
membisikan sesuatu lalu mbak Mus bilanng padaku.
“Mbak. Maafkan Dewi ya mbak, dia terlalu agresif dan kurang inisiatif. Mbak
baru datang sudah direpotkan. Sekali lagi maaf ya mbak?” kata Mbak Mus dengan
sungkan.
“Tak apa kok. Sudah sewajarnya aku menunjukan.” Jawabku santai. Lalu aku
kembali menunjukan pada Dewi bagaimana cara melukis untuk baris yang ketiga, ke
empat dan sampai enam macam gambar ku kasih instruksi pembuatannya.
“Terima kasih Mbak . Akhirnya selesai dan bagus sekali semua gambar yang
Mbak buat.”
“Bukan aku kok yang bikin gambar.” Jawabku.
“Iya. Tapi kan atas petunjuk Mbak Moni juga.”
“Kebetulan saja aku bisa.”
“Ya sudah. Terima kasih banyak. Sekarang mbak Moni istirahat saja dulu,
nanti saya kasih tahu kalau penjemput dari Hotel Bidakara sudah datang.” Kata
direkturnya. Yang dari tadi hanya mendengarkan dan melihat semua yang aku dan
teman-teman pemain teatre lakukan.
Sebuah taksi Celebrity berhenti dan menunggu di depan kantor. Setelah aku
mandi dan berganti pakaian aku dan managerku diantar oleh panitia, pergi ke Hotel
dengan taksi tersebut. Tiba di Hotel Bidakara, seorang pria ganteng berbaju koko
bercelana hitam dipadu dengan lilitan kain batik warna merah sebatas lututnya.
Menyambutku dengan ramah saat aku turun dari taksi Celebrity di depan pintu Hotel.
Aku mendekat ke ruang recepsionis disambut gadis cantik yang murah
senyum. Aku terkesan melihat dandanan gadis itu. Ia memakai kemeja putih di padu
safari merah dengan kombinasi rok warna hitam dan berdasi batik menyambutku.
Setelah ku katakana siapa adanya aku lalu dia bicara sebentar dengan pria elegan yang
sedang berdiri dengan penuh wibawa. Pria itu pakai stelan jas biru berkemeja putih
dengan dasi batik membicarakan sesuatu dengan gadis tadi sebentar lalu
menyodorkan amplop tebal. Gadis recepsionis itu lalu menyerahkan amplop tebal tadi
padaku. Setelah mengucap terima kasih. Aku buka amplop tersebut yang ternyata
isinya kunci kamar dan beberapa lembar voucher panduan selama aku tinggal di Hotel
tersebut.
Kuhempaskan tubuh di kasur tanpa terlebih dulu membuka sepatu serta ganti
baju. Mataku nyalang menjelajahi seluruh sudut ruangan kamar Hotel di mana aku
telentang di atas kasur yang empuk. Baru dua menit kemudian aku bangkit berjalan
menuju bar kecil yang berada di sudut kamar. Aku memilih minuman karena di situ
tersedia beberapa macam minuman.
Saat aku sedang mengaduk cappuccino, telingaku menangkap suara senda
gurau yang renyah diselingi suara kecipak air. Kusingkap tirai gorden jendela sedikit.
Aku tersenyum melihat sepasang anak manusia sedang berkejaran sambil berenang.
Kutaruh cangkir yang berisi cappuccino hangat di meja dekat bar kecil tadi
dan kain gorden kusingkap semua. Aku duduk menikmati cappuccino sambil
mempelajari makalah yang aku bawa. Aku bersyukur karena tulisanku menembus
kesasaran. Hal itu sangat membuatku bahagia. Bagaimapun awalnya tulisanku yang
bernada keras agak membuatku kuatir. Namun setelah mengudara di sebuah Radio di
daerah Kendari. Ada sebuah lembaga di Jakarta yang mendengar lalu mencariku dan
mengundangku untuk menjadi pembicara pada seminar yang dia adakan. Dan malam
nanti seminar itu akan dilaksanakan di Hotel Bidakara. Hemmmhhh.. aku sudah siap.
Bisikku.
Suara dering telpon genggam ku berbunyi nyaring. Ternyata teman wartawan
yang akan meliput untuk di muat di media luar negeri yaitu Hongkong mencariku.
Tadi aku sudah pesan pada recepsionis kalau ada yang nyari aku bernama Eko harap
dikasih petunjuk ruang seminar. Karena dia seorang wartawan yang aku bawa. Maka
dengan senang hati gadis yang menjadi recepsionis mengiyakan. Bagaimanapun dia
senang karena nama Hotelnya juga kebawa ke Hongkong masuk berita liputan. Maka
kini aku suruh saja mas Eko menuju ruang Rama. Di mana seminar nanti malam jam
tujuh akan di selenggarakan.
Aku menengok jam yang melingkar di pergelangan tangan, baru jam lima tiga
puluh, berarti aku masih bisa tiduran di kasurku. Dering telpon membangunkanku.
Saat kuangkat ternyata yang menelpon adalah recepsionis.
“Mbak Moni, makan malam telah tersedia di dekat ruang rama. Mbak di
tunggu teman-teman anda.” Kata recepsionis sopan dan merdu.
“Iya baik. Saya segera turun ke sana.” Jawabku sambil bangun dari tiduran
dan bergerak ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhku yang ternyata cukup penat.
Maka kubuka air dengan menyetel agak panas hingga perasaan segar kembali.
Kusamperin kamar managerku lalu turun bareng ke lantai dasar. Baru masuk
lift ada sms masuk. Ternyata dari panitia.
“Mbak Moni, makan malam sudah tersedia di lantai dasar dekat ruang rama.
Di tunggu ya…?! Terima kasih.”
Lagi-lagi aku bikin cemas orang. Gumamku. Terlihat managerku tersenyum
tanpa komentar. Apa aku bergerak lambat? Atau itu kewajiban panitia untuk selalu
mengingatkan? Pikirku.
Tiba di ruang makan, aku disambut teman-teman. Ternyata semua tamu
undangan sudah berkumpul di situ dan semua panitia sudah pula selesai makan.
Pantas mereka kuatir aku tidak turun . Pikirku.
Jam tujuh tepat. Acara seminar di buka. Di awali dengan penampilan Agus
PM Toh. Seorang ahli cerita dari Aceh. Berikutnya tampilnya group teatre yang akan
membawakan cerita (performance). Aku berdebar karena hasil pemikiranku akan
dibawakan oleh mereka sekarang. Aku berdoa semoga penampilan mereka
memuaskan. Terlihat banyak pengunjung terpana dan meng angguk-anggukan
kepalanya. Akupun puas. Aku jadi grogi saat namaku di panggil untuk tampil dan
duduk di kursi pembicara yang sudah di sediakan.
Setelah menyalami sang moderator yang ternyata seorang artis terkenal itu,
aku duduk di sebelahnya. Tidak tahu kenapa, serta merta hilang sikap grogi yang tadi
sempat hinggap di hatiku. Syukurnya seminar berjalan lancar dan seru. Si oneng sang
moderator cantik tampil membacakan puisinya yang memukau. Tiba giliranku untuk
tampil membacakan puisi karyaku pula. Aku serukan semua suara hati melalui
puisiku yang telah di sebar ke semua pengunjung. Aku puas melihat mereka puas
mendengar aku baca puisi.
Setelah menanda tangani deklarasi kain putih, aku kembali ke kamar hotel. Di
luar pintu banyak wartawan mencegatku untuk sekedar wawancara. Ada juga dari
radio. Aku puas melihat semua puas pula mendapat jawaban apa yang mereka
pertanyakan padaku. Ku hempaskan tubuhku dan kubiarkan dingin Air Conditioner
ruangan menggigiti tubuhku hingga perasaan capek hilang, baru aku bergerak ke
kamar mandi.
Semalaman aku bincang-bincang dengan managerku tentang acara sore tadi.
Aku dan dia sangat bahagia bias menyelesaikan satu tugas hari ini. Besok pagi masih
ada satu tugas lagi menanti. Aku berangkat tidur jam sebelas malam dan langsung
pulas tidur tanpa mimpi.
Jam tujuh pagi aku beranjak ganti baju lalu menelpon teman-teman Komunitas
untuk menanyakan apakah mereka semua telah berkumpul di bundaran HI. Setelah
mendapat kepastian katanya jam delapan baru kumpul aku sempatkan sarapan pagi
dulu.
Aku mengunci pintu kamar bernomor T.407. lalu mengahampiri managerku
untuk kuajak makan pagi bersama di restoran kenanga. Sambil mengobrol dengan
managerku aku perhatikan kerapian pakaian pelayan restoran yang semua berseragam
kemeja putih ber rompi warna hijau dan bercelana biru. Meja depanku penuh
hidangan yang managerku ambilkan. Terlalu banyak batinku. Sarapan pagi dengan
salad dan roti panggang. Segelas kopi tak bisa aku tinggalkan. Itu menu utamaku
setiap hari. Rupanya managerku sudah paham hal itu. Akupun mengucap terima kasih
padanya.
Setelah semalam aku dan si Oneng serta si Perahu Retak. Ber interaktip. Kini
bersama pula merayap menyusuri jalan dari bundaran HI menuju Istana Merdeka
untuk menyerukan satu suara. Bersama ratusan bahkan ribuan orang yang berkumpul
di pelataran Tugu Monas. Aku tampil membaca satu puisi karyaku. Di situ aku
merasa terharu atas kekompakan masyarakat DKI Jakarta yang datang berkumpul di
bawah Tugu Monas. Mereka sengaja datang untuk ikut serta berpartisipasi berdoa
bersama. Dalam rangka Istighotsah Qubro bersama ratusan bahkan ribuan orang guna
mendoakan para pekerja rumah tangga (Buruh Migrant) di luar negeri. Agar selamat
dari gangguan orang luar maupun gangguan orang Indonesia sendiri di Bandara
terminal tiga Soekarno Hatta. Saat itu aku sangat terharu sampai menitikkan air mata
atas kekompakan mereka semua mendoakan teman-teman seperjuanganku di luar
negeri.
Peserta istighotsah kubro saat itu yang kebanyakan ibu-ibu, ingin tahu
bagaimana prosesnya sampai aku bisa seperti saat ini berdiri di panggung kehormatan.
Bahkan dengan begitu percaya diri mampu memukau pendengar dengan puisinya
yang menghentak.
Bagiku hari itu adalah prasasti kebangkitan buruh migrant dari sikap sinis dan
pelecehan. Aku berani bertaruh di saksikan Tugu Monas yang berdiri dengan
gagahnya di belakang panggung yang ku pakai untuk menyuarakan suara hati melalui
sebuah puisi. Dan ribuan merpati yang terbang lalu lalang memandangku begitu riang,
seolah mengucap salam merdeka buruh migrant. Juga ratusan polisi yang menjadi
pagar betis di depan Istana merdeka yang memandangku dengan sejuta tanya. Aku
adalah aku yang tidak peduli semua pertanyaan mereka siapa aku.
Yang pasti aku ingin mewakili teman seperjuangan agar nasibnya di
perjuangkan di tanah air sendiri. Aku ingin mereka sejahtera bekerja di negara
tetangga tanpa kuatir dan harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah yang
sedang berkuasa. Hingga jangan sampai pemerintah hanya menghitung nominal yang
masuk Negara dari para pejuang devisa. Semoga karya dan prakaryaku akan selalu
mendapatkan ridho-NYA.

::Istana Rumbia 01 Maret 2007::

Anda mungkin juga menyukai