Anda di halaman 1dari 21

PRAKTEK PENETAPAN HARGA

(Catatan Kuliah Ekonomi Manajerial)

Oleh:

Harianto

Departemen Agribisnis – FEM – IPB University

Pada bulan-bulan tertentu di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta diadakan pemotongan harga berbagai
produk yang ditawarkan oleh berbagai gerai yang ada di dalamnya. Kata-kata “sale”, “diskon”, ataupun
“obral” bertebaran di kaca etalase dan lorong-lorong pusat perbelanjaan. Pemotongan harga yang
ditawarkan bervariasi antar produk ataupun antar gerai. Ada gerai yang memberi potongan harga
sampai 70% seperti tertera di deretan produk yang dipajangnya. Ada gerai yang memberi insentif
pembelian “two in one”, bayar satu produk dapat dua. Hal yang sama terlihat juga di iklan atau promosi
hotel-hotel besar di Jakarta. Pada hari-hari tertentu ada hotel menawarkan pemotongan harga
menginap satu malam sebesar 60 persen. Atau ada hotel melakukan pemotongan harga berupa
tawaran untuk menginap dua malam tetapi cukup dengan membayar satu malam. Namun apabila
dicermati harga-harga komoditas pertanian, peternakan, ataupun perikanan “segar” (bukan olahan) di
pasar-pasar tradisional jarang ditemui penetapan harga seperti contoh di pusat perbelanjaan atau hotel
di atas. Struktur pasar turut menentukan strategi harga yang ditetapkan oleh perusahaan. Perusahaan
yang berposisi sebagai price taker tentunya tidak memiliki kelonggaran sebagaimana penetapan harga
oleh perusahaan yang bukan price taker.

Penetapan harga adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tindakan perusahaan untuk
memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya. Harga yang berubah dapat disebabkan oleh
perubahan pada sisi permintaan dan atau akibat adanya perubahan pada sisi biaya. Permintaan yang
naik atau turun, pada akhirnya tercermin juga pada kenaikan dan penurunan harga. Permintaan yang
berubah sensitivitas atau elastisitasnya pada saat-saat tertentu, tentunya menuntut penyesuaian harga.
Demikian juga apabila biaya yang ditanggung perusahaan untuk menghasilkan produk meningkat atau
menurun, maka dapat tercermin pada kenaikan atau penurunan harga. Hubungan antara harga dengan
permintaan ataupun hubungan harga dengan biaya ini bukanlah sesuai yang mudah untuk dipastikan,
karena struktur pasar di mana perusahaan berada akan turut menentukan bagaimana reaksi harga
perusahaan terhadap perubahan permintaan dan biaya. Namun jika tetap menggunakan asumsi bahwa
perusahaan bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan, maka prinsip optimalitas yang digunakan
pada bab-bab sebelumnya tetap berlaku dalam praktek penetapan harga.

Prinsipnya adalah, suatu keputusan dianggap layak apabila dari keputusan tersebut perusahaan
memperoleh tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya yang ditimbulkan oleh
keputusan tersebut. Dalam hal ini perusahaan bertindak rasional, dalam arti perusahaan tidak pernah
mengambil tindakan atau keputusan yang bertentangan dengan asumsi memaksimumkan keuntungan
tersebut. Jadi kalau ada perusahaan yang memberi potongan harga sampai 70 persen, dapat berarti
memberi potongan sebesar 70 persen lebih menguntungkan bagi perusahaan daripada tidak
memberikan potongan harga tersebut. Dengan semakin majunya teknologi informasi dan semakin
berkembangnya teknik-teknik optimalisasi jangka pendek dan jangka panjang, maka semakin bervariasi
rumusan harga yang ditentukan oleh perusahaan. Beberapa metode penetapan harga di sampaikan di
bab ini. Setiap metode penetapan harga yang disampaikan berlandaskan pada asumsi untuk mencapai
keuntungan maksimum, di mana prinsip dasar keuntungan maksimum tercapai apabila penerimaan
marjinal sama dengan biaya marjinal.

Penetapan Markup

Markup telah menjadi kosakata sehari-hari masyarakat Indonesia, namun dengan konotasi yang negatif.
Dalam konteks gerakan pemberantasan korupsi, markup diasosiasikan dengan tindakan ilegal
melaporkan harga pembelian barang atau jasa lebih tinggi daripada harga pasar yang berlaku. Tindakan
melaporkan harga barang atau jasa yang lebih tinggi daripada harga pasar atau harga yang ditentukan
dianggap menjadikan pemborosan anggaran negara. Markup dalam bisnis adalah istilah yang
menggambarkan perbandingan harga jual produk dengan biaya untuk menghasilkannya. Semakin tinggi
markup, semakin besar perbedaan antara harga jual dengan biaya. Pada dasarnya markup
menggambarkan marjin keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan per satuan produk.

Marjin keuntungan

Harga (P)
Biaya (C)

Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan komponen yang menyusun harga produk per satuan, yaitu terdiri dari biaya per
satuan produk dan marjin keuntungan yang didapatkan per satuan produk. Besaran markup dalam
bisnis umumnya dinyatakan dalam persen (%). Ada dua cara untuk menyatakan marjin keuntungan ini
dalam persentase, yaitu persentase atas dasar biaya atau persentase atas dasar harga. Sehingga dikenal
dua istilah markup, yaitu markup atas biaya (markup on cost) dan markup atas harga (markup on price).

Markup atas biaya dapat dirumuskan sebagai berikut:

PC
Markup _ Biaya   100%
C
Pada rumusan tersebut, bagian numerator atau perbedaan antara harga produk dengan biaya per
satuannya (P-C) disebut juga sebagai marjin keuntungan. Misal, suatu perusahaan menghasilkan produk
dengan biaya per satuan adalah sebesar Rp20000, dan produk tersebut dijual dengan harga per satuan
sebesar Rp30000, maka dapat dikatakan markup untuk produk tersebut adalah sebesar 50 persen.

Apabila diketahui biaya (C) dan telah ditentukan besaran markup atas biaya maka harga produk adalah:

P  C (1  Markup _ Biaya)

Sedangkan rumusan markup berdasarkan atas harga adalah:

PC
Markup _ H arg a   100%
P

Jika harga produk per satuan adalah Rp30000 dan biaya untuk menghasilkan produk persatuan
Rp20000, maka markup atas harga adalah sebesar 33 persen. Dalam pembicaraan bisnis pada saat
menyebut markup sebesar 33 persen atau 50 persen, perlu diperjelas apakah markup tersebut markup
atas harga atau markup atas biaya. Dengan tingkat markup yang sama, akan diperoleh besaran marjin
keuntungan (dalam satuan Rp) yang berbeda untuk istilah markup yang berbeda.

Markup atas biaya dan markup atas harga diambil dari komponen yang sama, maka tentunya kedua
markup tersebut secara langsung dapat dikonversi dari satu rumusan ke rumusan lainnya. Markup atas
harga dapat dikonversi langsung menjadi markup atas harga biaya, dan sebaliknya.

PC
Markup _ H arg a  atau C  P(1  Markup _ H arg a) , sehingga
P

PC
Markup _ Biaya  dapat dituliskan (dengan lakukan substitusi terhadap C)
C

P  P(1  Markup _ H arg a)


Markup _ Biaya  sehingga menjadi:
P(1  Markup _ H arg a)

Markup _ H arg a
Markup _ Biaya 
1  Markup _ H arg a

Dengan proses yang serupa markup atas biaya dapat dikonversi menjadi markup atas harga.

Markup _ Biaya
Markup _ H arg a 
1  Markup _ Biaya

Markup atas biaya sebesar 50 persen dalam contoh di atas, dapat dikonversi menjadi markup atas harga
yaitu:
0.50
Markup _ H arg a   0.33
1  0.50

Penetapan harga berdasarkan pendekatan markup ini dianggap sebagai metode penetapan harga yang
tidak dapat menjamin harga produk yang optimal, karena sepertinya hanya berdasarkan perhitungan
biaya. Namun demikian apabila konsep biaya yang digunakan tersebut di atas adalah biaya marjinal
(MC) atau biaya incremental, maka metode penetapan harga dengan menggunakan metode markup
dapat juga menjamin tercapainya harga yang optimal.

Keuntungan perusahaan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Penerimaan
diperoleh dari jumlah produk yang dijual dikalikan dengan harganya. Jumlah produk yang dijual
dipengaruhi oleh permintaan produk. Oleh sebab itu penetapan harga tidak hanya ditentukan oleh sisi
biaya tetapi juga oleh kondisi permintaan yang dihadapi perusahaan. Apabila penetapan harga
berdasarkan metode markup ini, disamping menggunakan konsep biaya marjinal, juga
memperhitungkan kondisi permintaan, maka markup yang ditetapkan akan menjamin kondisi
pencapaian keuntungan maksimum.

Perusahaan mencapai keuntungan maksimum pada saat penerimaan marjinal (MR) sama dengan biaya
marjinL (MC), atau secara matematis:

MR  MC

Penerimaan marjinal (MR) diturunkan dari penerimaan total:

TR  ( PQ ) P
MR    PQ atau
Q Q Q

Q P 1 Q P 1
MR  P(1  )  P(1  ) , karena  atau inverse dari elastisitas harga dari
P Q p P Q  p
permintaan produk yang dihadapi perusahaan.

Jika perusahaan dalam kondisi optimal MR=MC, maka dapat dituliskan:

 
 
 1 
P  MC  
1
 1  
 p 

Jika C dalam rumus P  C (1  Markup _ Biaya) adalah biaya marjinal (MC), maka dapat dituliskan:
 
 
 1 
MC 
1   MC (1  Markup _ Biaya)
 1  
 p 

Bagian kiri dan kanan persamaan tersebut kemudian dibagi dengan MC, dapat diperoleh:

 
 
 1 
Markup _ Biaya    1
1
 1  
 p 

Melalui penyederhanaan lebih lanjut didapatkan hubungan Markup_Biaya dengan elastisitas harga atau
p.

 1 
Markup _ Biaya   
  1
 p 

Apabila perusahaan menghadapi permintaan yang memiliki elastisitas harga sebesar -5, maka

 1 
Markup _ Biaya     0.25 atau besaran Markup_Biaya yang optimal adalah sebesar 25
  5 1
persen.

 
 
 1 
Berdasarkan rumus penentuan harga yang optimal P  MC   , dapat diturunkan hubungan
1
 1  
 p 
antara markup atas harga dengan elastisitas permintaan, yaitu:

MC  1 
 atau MC  P  1 , maka dapat diperoleh:
 1
  p
P  p  P

P  MC  1

P p

P  MC
adalah Markup_Harga, sehingga:
P
1
Markup _ H arg a 
p

Apabila perusahaan menghadapi elastisitas harga atas permintaan produknya sebesar -5, maka markup
atas harga dalam kondisi optimal adalah sebesar 0.20 atau 20 persen.

Diskriminasi Harga

Di beberapa negara praktek diskriminasi harga tidak diperbolehkan. Namun dalam proses peradilan
tata usaha biasanya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu perusahaan mempraktekkan
diskriminasi harga atau menetapkan harga secara wajar. Apabila perusahaan menetapkan harga yang
berbeda untuk produknya, belum tentu itu dapat dikategorikan sebagai diskriminasi harga. Perusahaan
memberlakukan harga yang berbeda antar konsumen mungkin karena biaya untuk barang sampai pada
tingkat konsumen yang berbeda memang berbeda-beda besarannya. Atau, perusahaan menetapkan
harga yang berbeda untuk produknya karena produk yang dijualnya tidak sepenuhnya homogen.
Karakteristik produk yang dijual memiliki perbedaan, meskipun mungkin perbedaannya tidak signifikan,
antar konsumen atau antar segmen pasar.

Secara sederhana, praktek diskriminasi harga dapat didefinisikan sebagai praktek penetapan harga di
mana perbedaan harga yang terjadi tidak mencerminkan perbedaan biayanya. Contoh pertama,
perusahaan penjual sayuran segar mengenakan harga yang lebih murah untuk pasar yang berada di
dekat sentra produksi sayuran dibandingkan dengan harga di pasar di perkotaan. Jika perbedaan harga
mencerminkan perbedaan biaya (sortasi, packing, transportasi, penyusutan produk, biaya modal, dan
lainnya) untuk menjual produk di pasar sentra produksi dan di pasar perkotaan, maka perbedaan harga
itu bukan merupakan diskriminasi harga. Contoh kedua, di masa lalu ada bioskop di beberapa kota
menayangkan film di dua waktu yang berbeda. Tayangan film yang pertama adalah di waktu pagi atau
menjelang siang. Waktu tayang kedua adalah pada sore atau malam hari. Harga tiket masuk bioskop
untuk menonton tayangan pagi atau menjelang siang hari adalah setengah (50%) dari harga menonton
tayangan film di sore atau malam hari. Film yang diputar di kedua waktu itu persis sama dan kondisi
layanan lainnya juga tidak berbeda. Bioskop tersebut dapat dikategorikan mempraktekkan diskriminasi
harga.

Kedua contoh di atas merupakan ilustrasi bahwa tidak mudah untuk menetapkan harga yang berbeda-
beda antar konsumen atau antar pasar. Perusahaan yang berada pada pasar yang kompetitif, apalagi
sepenuhnya sebagai price taker, maka diskriminasi harga tidak dapat dilakukan oleh perusahaan.
Perusahaan yang memiliki kekuatan monopoli belum tentu juga dapat menerapkan diskriminasi harga.
Diskriminasi harga dapat diberlakukan apabila perusahaan mampu melakukan segregasi antarkonsumen
atau antarpasar dengan baik. Artinya, perusahaan mampu mencegah konsumen membeli produk di
pasar yang harganya lebih murah kemudian menjual kembali produk tersebut ke pasar yang harganya
lebih tinggi, untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga itu. Itu sebabnya, diskriminasi harga
lebih mudah dipraktekkan di produk jasa dibandingkan produk barang. Produk jasa sulit untuk dipindah-
tangankan atau dijual kembali. Diskriminasi harga juga dapat diberlakukan apabila ada perbedaan
dalam willingness to pay konsumen, yang juga dicerminkan oleh perbedaan elastisitas (kepekaan) harga
antarpasar. Apabila tidak ada perbedaan kepekaan harga antar konsumen atau antarpasar, maka
penetapan diskriminasi harga akan membuat perusahaan tidak optimal.

Praktek diskriminasi harga dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Pengelompokan ini didasarkan
pada kemampuan diskriminasi harga yang dilakukan perusahaan untuk mengambil surplus konsumen.
Surplus konsumen merupakan perbedaan antara nilai kebersediaan konsumen untuk membayar
(willingness to pay) produk dengan nilai yang dibayarkan untuk produk tersebut. Surplus konsumen
dengan demikian merupakan luasan (area) yang berada di bawah kurva permintaan dan di atas garis
harga.

SK
A C

Kurva Permintaan

0 D Q

Gambar 2.

Kurva permintaan menggambarkan kebersediaan konsumen untuk membayar tambahan satu satuan
produk terakhir yang diminta. Jika konsumen ingin membeli produk sebanyak 0D, maka konsumen
bersedia untuk membayar produk sejumlah 0D sebesar luasan trapesium 0BCD. Namun karena harga
pasar hanya setinggi 0A, maka yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk membeli produk sejumlah
0D adalah sebesar luasan segi empat 0ACD. Selisih antara nilai kebersediaan konsumen untuk
membayar (0BCD) dengan nilai yang harus dibayar (0ACD) disebut sebagai surplus konsumen (SK).
Dalam Gambar 2, nilai surplus konsumen adalah sebesar luas segi tiga ABC.

1. Diskriminasi harga derajat pertama

Diskriminasi harga derajat pertama dipraktekkan oleh perusahaan apabila setiap satuan produk yang
dijual dikenakan harga yang berbeda-beda sesuai dengan willingness to pay konsumen untuk setiap
satuan produk tersebut. Harga yang dikenakan berbeda-beda di sepanjang kurva permintaan untuk
setiap satuan produk yang dijual. Diskriminasi harga derajat pertama ini dapat mengambil semua
surplus konsumen yang ada. Namun tidak mudah menerapkan praktek diskriminasi harga derajat
pertama ini, karena perusahaan harus dapat mengenali dengan baik willingness to pay setiap konsumen.
Perusahaan seperti menjual produk secara lelang satu per satu dari konsumen yang bersedia bayar
dengan harga tertinggi, dan seterusnya.
P

Kurva Permintaan

0 D Q
Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan perusahaan menjual produk sebanyak 0D, dan setiap satuan yang dijual
dikenakan harga yang berbeda-beda sesuai dengan kebersediaan membayar dari konsumen, yaitu
menurun mengikuti kurva permintaan. Dengan demikian bagi konsumen untuk membeli produk
sebanyak 0D tersebut, konsumen harus membayar seluas trapesium 0BCD. Perusahaan dengan praktek
diskriminasi harga derajat pertama ini dapat mengambil seluruh surplus yang dimiliki konsumen. Itu
sebabnya praktek diskriminasi harga derajat pertama ini dianggap paling merugikan konsumen.

2. Diskriminasi harga derajat kedua

Perusahaan dapat mengenakan diskriminasi harga dalam bentuk penetapan tingkat harga yang berbeda
untuk setiap pembelian sejumlah produk tertentu, yang dapat disebut juga sebagai blok pembelian.
Misal: Jika konsumen membeli produk sejumlah 10 unit, maka harga per unit produk adalah sebesar
Rp10000. Namun jika konsumen menambah pembelian sebanyak 10 unit lagi, maka diberikan harga per
unit yang lebih rendah dari Rp10000, dan seterusnya.

Kurva Permintaan

0 D Q
Gambar 4.
Anggap bahwa untuk produk sebanyak 0D penjualan dibagi menjadi dua blok penjualan. Pada Gambar 4
tampak bahwa perusahaan memberikan harga per satuan yang lebih rendah pada penjualan blok kedua
dibandingkan dengan harga per satuan untuk penjualan blok pertama. Jika dibandingkan dengan
penerapan harga derajat pertama, pada diskriminasi derajat kedua ini perusahaan tidak mengambil
semua surplus yang dimiliki konsumen. Konsumen masih memperoleh surplus untuk pembelian produk
sebanyak 0D tersebut, yaitu seluas dua segi tiga garis tebal pada Gambar 4.

3. Diskriminasi derajat ketiga

Untuk dapat menerapkan diskriminasi derajat ketiga, perusahaan membagi pasar menjadi dua atau
lebih segmen pasar. Pembagian segmen pasar didasarkan atas perbedaan sensitivitas atau elastisitas
harga masing-masing segmen. Segmen pasar yang kurang elastis atau kurang sensitif terhadap harga,
akan dikenai harga produk yang lebih tinggi. Anggap misalnya, perusahaan “fresh food” menghadapi
dua segmen pasar, yaitu segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi dan segmen pasar rumahtangga
berpendapatan menengah. Segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi memiliki elastisitas harga
yang lebih rendah daripada elastisitas harga segmen pasar rumahtangga berpendapatan menengah.
Anggap juga, perusahaan mampu memisahkan kedua segmen pasar tersebut dan mencegah adanya
penjualan ulang oleh konsumen dari satu segmen pasar ke segmen pasar yang lain.

P
Pasar Pasar
(Pendapatan Tinggi) (Pendapatan Menengah)

PPT
PPM

MC

DPM
DPT MRPT MRPM

Q QPT 0 QPM Q

Gambar 5.

Pada Gambar 5, permintaan pasar untuk segmen rumahtangga pendapatan tinggi dan pasar untuk
segmen rumahtangga pendapatan menengah masing-masing digambarkan oleh kurva DPT dan kurva
DPM. Elastisitas harga pada segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi lebih besar daripada
elastisitas harga pada segmen pasar rumahtangga pendapatan menengah. Hal ini ditunjukkan oleh
sudut (slope) kurva permintaan DPT yang lebih curam daripada kurva permintaan DPM. Perusahaan ini
menghadapi biaya marjinal (MC) yang konstan, setiap tambahan satu satuan produk akan menambah
biaya dengan besaran yang sama, yaitu setinggi kurva horizontal MC.
Prinsip pengambilan keputusan untuk sampai pada kondisi di mana perusahaan mencapai keuntungan
maksimal adalah sama, yaitu perusahaan akan menambah jumlah satu satuan produk yang
dihasilkannya selama penerimaan yang ditimbulkan oleh penambahan satu satuan produk (MR)
tersebut lebih besar daripada tambahan biayanya (MC). Penambahan penerimaan karena penambahan
satu satuan produk tersebut dapat berasal dari pasar segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi
(MRPT) atau dari segmen pasar rumahtangga pendapatan menengah (MRPM), tergantung ke segmen
pasar yang mana tambahan satu satuan produk itu dijual. Selama MRPT atau MRPM lebih besar daripada
MC, maka perusahaan akan dapat menambah keuntungan dengan menambah jumlah produk yang
dihasilkan. Perusahaan menghasilkan produk dari sumber yang sama untuk melayani kedua segmen
pasar, sehingga hanya ada satu kurva MC. Dengan demikian keuntungan maksimal, atau kondisi
optimal, perusahaan tercapai pada saat:

MRPT  MC  MRPM

Gambar 5 menunjukkan bahwa perusahaan menetapkan harga yang lebih tinggi di segmen pasar
rumahtangga pendapatan tinggi daripada harga produk untuk segmen pasar rumahtangga pendapatan
menengah. Perusahaan menetapkan harga yang lebih tinggi untuk segmen pasar rumahtangga
pendapatan tinggi, karena segmen pasar ini memiliki elastisitas harga yang lebih rendah daripada
elastisitas harga segmen pasar rumahtangga pendapatan menengah. Pada bagian sebelumnya telah
disampaikan penurunan dari kurva permintaan dan penerimaan total (TR) untuk memperoleh hubungan
MR dengan P dan elastisitas harga (ε).

 1 
MRPT  PPT 1   , dan
  PT 

 1 
MRPM  PPM 1  
  PM 

Kondisi optimal terjadi saat MRPT  MC  MRPM , sehingga:

 1   1 
PPT 1    PPM 1   , atau
  PT    PM 

 1 
1 
 PM
 
PPT
PPM  1 
 1 
  PT 

Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa segmen pasar yang memiliki elastisitas relatif lebih
rendah daripada segmen pasar lainnya akan dikenakan harga yang lebih tinggi. Misal, segmen pasar
rumahtangga pendapatan tinggi elastisitas permintaannya adalah sebesar -2, dan segmen pasar
rumahtangga pendapatan menengah elastisitas permintaannya adalah -5. Harga yang dikenakan untuk
segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi akan 1.6 kali harga di segmen pasar rumahtangga
pendapatan menengah. Apabila diketahui bahwa biaya marjinal (MC) perusahaan konstan pada besaran
Rp10000, maka dapat dihitung harga optimal untuk segmen pasar rumahtangga pendapatan tinggi dan
harga untuk segmen pasar rumahtangga pendapatan menengah, yaitu masing-masing Rp20000 dan
Rp12500.

Pada Gambar 5 terlihat bahwa perusahaan masih menyisakan surplus konsumen untuk kedua segmen
pasar tersebut. Surplus konsumen di kedua segmen pasar dinyatakan pada Gambar 5 berupa luasan
segi tiga bergaris tebal. Surplus konsumen yang ditinggalkan oleh praktek diskriminasi harga derajat
ketiga lebih besar daripada surplus konsumen yang tersisa di praktek diskriminasi harga derajat kedua
dan derajat pertama.

Penetapan Harga Multi Produk

Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis banyak yang menghasilkan tidak hanya satu
jenis produk, tetapi beberapa jenis produk yang berkaitan. Produk tersebut berkaitan satu dengan
lainnya dalam aspek permintaan ataupun terkait dalam aspek produksi. Apabila keterkaitan
antarproduk ini diabaikan dalam perhitungan penetapan harga produk yang dihasilkannya, maka
keputusan perusahaan akan berada dalam kondisi tidak optimal.

1. Keterkaitan permintaan

Anggap ada pasar swalayan (supermarket) di suatu kota menjual berbagai jenis sayuran dan buah-
buahan segar organik yang dikhususkan untuk segmen pasar tertentu. Pasar swalayan ini memperoleh
produk yang dipasarkannya dari petani sayuran dan buah yang telah memiliki sertifikat organik. Anggap
bahwa pasar swalayan ini bertindak sebagai penerima harga (price taker) untuk produk yang dibelinya
dari petani sayur dan buah. Pasar swalayan, sebagai penjual, memiliki kekuatan monopoli (bukan price
taker) di pasar sayuran dan buah segar organik.

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa permintaan berbagai macam sayuran dan buah-buahan
ini memiliki hubungan satu dengan lainnya. Hubungan permintaan antar berbagai sayuran dan buah
tersebut dapat saling menggantikan (substitusi) atau saling melengkapi (komplemen) satu dengan
lainnya. Jika misalnya ada jenis sayuran (X) bersubstitusi dengan jenis sayuran yang lain (Y), dan
perusahaan meningkatkan penjualan sayuran X dengan menurunkan harganya, maka tindakan itu dapat
memengaruhi penjualan atau penerimaan dari sayuran Y. Naiknya penjualan sayuran X mengakibatkan
turunnya penerimaan dari penjualan sayuran Y. Dengan demikian, penghitungan penerimaan marjinal
sayuran X (atau MRX) harus memperhitungkan juga perubahan penerimaan dari sayuran Y yang
diakibatkan oleh bertambahnya penjualan sayuran X. Hal yang sebaliknya terjadi apabila perusahaan
ingin meningkatkan penjualan sayuran Y.

TR TRX TRY


MR X   
Q X Q X Q X
TR TRY TRX
MRY   
QY QY QY

Jika sayuran X dan sayuran Y memiliki hubungan substitusi satu dengan lainnya, maka besaran
TRY TR X
dan bernilai negatif (<0). Sebaliknya, jika sayuran X dan sayuran Y bersifat komplemen
Q X QY
TRY TR X
satu terhadap lainnya, maka besaran dan bernilai positif (>0).
Q X QY

Kondisi optimal dari pasar swalayan ini terjadi apabila:

MR X  MC X , dan

MRY  MCY

Apabila hubungan substitusi antara sayuran X dengan sayuran Y diabaikan, maka hasil perhitungan MRX
akan terlalu besar dibandingkan dengan seharusnya (overestimate), akibatnya jumlah sayuran X yang
dijual lebih banyak daripada yang seharusnya. Kondisi yang sama berlaku untuk sayuran Y.

Kemajuan teknologi informasi dan economic modelling telah memungkinkan pasar swalayan yang
menjual ratusan jenis produk, yang mungkin satu dengan lainnya ada hubungan substitusi atau
komplemen, untuk menetapkan strategi harga yang optimal. Praktek penetapan harga loss leader untuk
suatu produk, misalnya, memerlukan pengetahuan yang baik tentang dampak penurunan harga produk
tersebut terhadap peningkatan penjualan produk yang lainnya. Perusahaan yang tergolong UMKM yang
menghasilkan multi-produk, sering menggunakan pengalaman sebagai basis penetapan harga multi-
produk yang dijualnya. Misalnya, warung makanan yang menurunkan harga satu piring nasi, tetapi
mengkompensasinya dengan menaikkan harga lauk-pauk atau sayuran yang dijualnya.

2. Keterkaitan produksi

Di industri agribisnis sering ditemukan perusahaan-perusahaan yang memiliki beberapa jenis produk di
mana kedua jenis produk tersebut memiliki keterkaitan dalam aspek produksi (join products). Seperti
misalnya suatu perusahaan perkebunan tebu yang memproduksi gula dan juga molase. Perusahaan
menghasilkan bahan baku tebu setiap periodenya dari kebun atau lahan yang dikelolanya. Dengan
jumlah panen tebu tertentu per periode, apabila perusahaan tersebut bermaksud meningkatkan
produksi gula, maka produksi molase akan berkurang. Dalam kasus ini perusahaan memiliki dua jenis
produk yang terkait dalam aspek produksi, tetapi tidak terkait dalam aspek permintaan. Permintaan
gula tidak memiliki hubungan substitusi ataupun hubungan komplementer dengan permintaan molase.

Pada kasus yang lain ada perusahaan agribisnis perkebunan nanas skala besar yang menghasilkan
produk nanas potong dalam kaleng dan juga produk jus nanas dalam kemasan. Kedua jenis produk ini
diproduksi sepenuhnya dari buah nanas yang dihasilkan oleh perusahaan. Jus nanas diperoleh dari air
nanas yang keluar pada saat buah nanas mengalami proses pemotongan. Dan anggap, perusahaan tidak
membeli bahan baku nanas potong ataupun bahan baku jus nanas dari perusahaan lain. Dalam kasus
ini, perusahaan nanas memiliki multi-produk yang terkait dalam aspek produksi, dan tidak terkait dari
sisi permintaan.

Apa yang membedakan kasus perusahaan perkebunan tebu yang menghasilkan multi-produk gula dan
molase dengan perusahaan nanas yang menghasilkan multi-produk nanas kaleng dengan jus nanas?
Pada kasus yang pertama, proporsi produk gula dengan molase secara teoritis dan praktis dapat dinaik-
turunkan sesuai dengan perkembangan pasar. Perbandingan berapa banyak gula dan berapa banyak
molase harus dihasilkan dapat bersifat variabel, meskipun dalam prakteknya molase dianggap bukan
produk utama. Namun molase dapat juga digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai produk,
seperti misalnya untuk menghasilkan bioetanol, alcohol, MSG, ataupun gasohol. Sedangkan pada kasus
kedua, proporsi berapa banyak nanas potong dalam kaleng dan berada banyak jus nanas dalam
kemasan harus diproduksi bersifat tetap. Relatif tidak dimungkinkan, terutama dalam jangka pendek,
untuk menaik-turunkan proporsi atau perbandingan kuantitas nanas dalam kaleng dengan jus nanas.
Kondisi yang sama terjadi pada perusahaan padi yang menghasilkan beras dan sekam, di mana proporsi
kedua jenis produk ini relatif tetap. Di agribisnis dikenal istilah produk sampingan untuk menyebut
produk seperti molase, jus nanas dan sekam. Sebutan yang mungkin kurang tepat apabila molase, jus
nanas dan sekam ternyata memberi sumbangan signifikan terhadap keuntungan total perusahaan.

a. Multi-produk proporsi variabel

Pada kasus multi-produk dengan proporsi yang bersifat variabel, identifikasi dan penyematan biaya
untuk masing-masing produk dapat dilakukan. Fungsi biaya yang menggambarkan hubungan antara
biaya dengan gula dan juga hubungan antara biaya dengan molase yang dihasilkan dapat dikonstruksi.
Pada sisi penerimaan, karena kedua produk ini memiliki permintaan masing-masing, maka fungsi
penerimaan juga dapat dirumuskan. Dengan diketahuinya fungsi biaya dan fungsi penerimaan untuk
masing-masing produk, maka dapat ditentukan proporsi dan jumlah produk masing-masing agar
perusahaan dalam kondisi optimal.

Molase

Molase* B

A
TC=1.5M
TC=0.9M TR=2M
TR=1.2M
M
Gula* Gula

Gambar 6.
Gambar 6 menyajikan kombinasi produksi gula dan produksi molase beserta penerimaan (TR) dan biaya
total (TC) yang ditimbulkannya. Untuk penyederhanaan diasumsikan perusahaan menghadapi kurva
permintaan yang horizontal di pasar gula dan di molase. Berapapun jumlah gula atau jumlah molase
yang di jual ke pasar tidak menyebabkan harga gula atau harga molase berubah. Keuntungan total
merupakan selisih penerimaan total (TR) dengan biaya total (TC). Perusahaan dalam kondisi keuntungan
maksimal di mana kurva isorevenue (garis lurus) bersinggungan dengan kurva isocost (garis lengkung)
dengan selisih keduanya yang paling besar, yaitu di Titik B. Pada kombinasi produk di Titik B,
perusahaan memperoleh keuntungan sebesar Rp0.5M, lebih besar daripada kombinasi produk di Titik A
yang memberikan keuntungan sebesar Rp0.3M. Pada kondisi optimal ini biaya marjinal masing-masing
produk memiliki proporsi yang sama dengan penerimaan marjinal. Pada titik singgung (B) antara kurva
isorevenue dan kurva isocost biaya marjinal (MC) masing-masing produk sama dengan penerimaan
marjinalnya (MC).

MRGula  MCGula dan MRMolase  MC Molase

Pada kombinasi produk yang proporsinya bersifat variabel, meskipun mungkin untuk melakukan
identifikasi biaya marjinal (MC) bagi masing-masing produk, namun sulit untuk menentukan biaya rata-
rata per unit (ATC) masing-masingnya. Biaya-biaya yang bersifat umum (common cost), seperti biaya
bahan baku tebu, biaya manajemen, biaya peralatan, maupun biaya overhead, sulit untuk dialokasikan
di antara kedua produk dengan tepat.

b. Multi-produk proporsi tetap

Untuk kasus multi-produk terkait di aspek produksi yang kombinasinya bersifat fixed proportion, tidak
dimungkinkan untu mengidentifikasi biaya marjinal (MC) ataupun biaya rata-rata (ATC) untuk masing-
masing produk. Kedua produk dapat dianggap sebagai paket produk yang berisi kombinasi kedua
produk dalam proporsi yang sama. Berdasarkan contoh multi-produk beras dan sekam, tidak
dimungkinkan berapa biaya dari padi (dari biaya tanam sampai panen) yang masuk ke dalam
perhitungan biaya beras dan berapa biaya yang dialokasikan untuk produksi sekam. Beras dan sekam
dihasilkan dari bulir padi dengan perbandingan antara beras dan sekam yang relatif tetap.

Pasar beras dan pasar sekam adalah dua pasar yang terpisah, dan tidak ada hubungan saling
menggantikan (substitusi) ataupun hubungan saling melengkapi (komplementer) di antara kedua produk
tersebut. Perusahaan memiliki dua sumber penerimaan, yaitu dari penjualan di pasar beras dan
penjualan di pasar sekam. Namun dari sisi biaya, tidak dimungkinkan untuk merumuskan biaya untuk
masing-masing produk tersebut dengan tepat dan rasional. Anggap bahwa beras dan sekam merupakan
satu paket produk (Q) yang terdiri dari satu satuan beras (QB) dan satu satuan sekam (QS), sehingga
Q=QB=QS. Rumusan hubungan antara biaya dengan jumlah produk adalah hubungan antara biaya
dengan paket produk yang berisi satu satuan beras dan satu satuan sekam.
P

MC

PB*
MRB
DB

MRT
PS*
MRS
DS

Q* Q
Gambar 7.

Gambar 7 menunjukkan perusahaan menghadapi pasar beras dan pasar sekam, yang digambarkan oleh
kurva permintaan DB dan kurva permintaan DS. Penerimaan total perusahaan (TR) adalah penjumlahan
dari penerimaan dari penjualan beras (TRB) dan penerimaan dari penjualan sekam (TRS). Dengan
demikian penerimaan marjinal total (MRT) adalah penjumlahan vertikal dari penerimaan marjinal beras
(MRB) ditambah penerimaan marjinal sekam (MRS). Penerimaan marjinal total merupakan penjumlahan
vertikal karena dalam satu paket produk (Q) diperoleh penerimaan dari beras dan dari sekam.
Perusahaan tidak mengambil keputusan yang dapat membuat penerimaan marjinal negatif, sehingga
dalam Gambar 7 bagian kurva MRS yang negatif tidak dijumlahkan dengan penerimaan marjinal MRB
yang positif. Oleh sebab itu penerimaan marjinal total (MRT) terlihat patah pada bagian di mana
penerimaan marjinal sekam (MRS) sama dengan nol.

Karena tidak dimungkinkan memisahkan biaya di antara kedua produk tersebut, biaya marjinal (MC)
merupakan biaya marjinal kesatuan paket. Perusahaan dalam kondisi optimal apabila penerimaan
marjinal yang dihasilkan oleh kesatuan paket sama dengan biaya marjinal kesatuan paket, atau:

MRT  MC

Pada kondisi keuntungan maksimum tersebut, perusahaan menghasilkan paket produk sebesar Q*, yang
di dalamnya terdapat QB* satuan beras, dan QS* satuan sekam. Berdasarkan kurva permintaan yang
dihadapi, maka perusahaan menetapkan harga beras per satuan sebesar PB* dan harga sekam per
satuan sebesar PS*. Pada kondisi optimal tersebut, kedua produk memberikan penerimaan marjinal
yang positif, sehingga semua produk (beras dan sekam) yang dihasilkan dijual semuanya.
Namun dapat saja terjadi, pada kondisi optimal tidak semua produk yang dihasilkan memberikan
penerimaan marjinal yang positif. Apabila perusahaan menghadapi kondisi seperti ini, maka produk
yang jumlah produksinya berada pada daerah kurva penerimaan marjinal yang negatif harus
dimusnahkan sebagiannya, sehingga jumlah produk tidak berada di bagian kurva penerimaan marjinal
yang negatif.

MC

PB*
MRB
DB

MRT
PS*
MRS
DS

QS* Q* Q
Gambar 8.

Gambar 8 perusahaan berada pada kondisi optimal pada saat penerimaan marjinal total (MRT) sama
dengan biaya marjinal (MC). Pada kondisi optimal ini perusahaan menghasilkan paket produk sebanyak
Q*. Namun pada kondisi output optimal ini, biaya marjinal sekam (MRS) bernilai negatif. Oleh sebab itu
agar penerimaan marjinal sekam tidak negatif, sebagian dari sekam yang dihasilkan harus dimusnahkan.
Jumlah sekam yang dimusnahkan adalah sebanyak (Q*-QS*), sehingga jumlah sekam yang dijual ke
pasar adalah sebesar QS* dan penerimaan marjinal sekam (MRS) pada posisi sama dengan nol. Pada
saat kondisi optimal nilai penerimaan marjinal beras positif, sehingga tidak ada beras yang
dimusnahkan. Beras yang dijual ke pasar adalah sama dengan Q*. Berdasarkan kondisi permintaan
yang dihadapi, maka perusahaan menetapkan harga beras sebesar PB* per satuan dan harga sekam per
satuan sebesar PS*.

Harga Transfer

Di agribisnis dapat ditemui korporasi yang memiliki lebih dari satu jenis usaha, dan masing-masing usaha
tersebut dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang masing-masingnya memiliki independensi tertentu.
Misalnya korporasi di agrbisnis sawit yang memiliki perusahaan penghasil minyak sawit (CPO),
perusahaan minyak goreng, dan perusahaan margarine. Ada juga korporasi di agribisnis peternakan
yang memiliki perusahaan penghasil pakan ayam, perusahaan penghasil bibit ayam atau DOC, dan
perusahaan yang menghasilkan ayam pedaging. Pada dasarnya korporasi melakukan desentralisasi
pengelolaan, di mana perusahaan-perusahaan tersebut memiliki independensi tertentu dalam
mengelola bisnisnya. Permasalahan harga yang sering muncul adalah, bagaimana menetapkan harga
produk yang dihasilkan oleh satu perusahaan yang kemudian menjadi bahan baku atau input bagi
perusahaan lain anggota korporasi? Seperti misalnya, perusahaan penghasil CPO mengenakan harga
jual CPO kepada perusahaan minyak goreng yang masih dalam satu korporasi.

Harga transfer adalah harga yang dikenakan oleh suatu perusahaan yang menjual produknya kepada
perusahaan yang lain, tetapi perusahaan yang lain ini masih dalam kendali korporasi atau kepemilikan
yang sama dengan perusahaan tersebut. Penetapan harga transfer yang tidak tepat dapat
menyebabkan keputusan yang diambil oleh masing-masing perusahaan, ataupun korporasi secara
keseluruhan, menjadi tidak optimal. Jika harga transfer yang dikenakan terlalu rendah, maka
perusahaan penjual kinerjanya terlihat lebih rendah, sebaliknya perusahaan pembeli kinerjanya seolah-
olah menjadi lebih baik. Pada akhir tahun saat pembagian bonus berdasarkan kinerja perusahaan,
pengelola perusahaan penjual akan dapat bonus lebih rendah, sebaliknya pengelola perusahaan pembeli
mendapatkan bonus yang lebih banyak daripada yang seharusnya.

Harga transfer dapat dimanfaatkan oleh korporasi untuk strategi memenangkan persaingan. Misal,
suatu perusahaan menjual bahan baku kepada perusahaan lain yang masih berada dalam satu
korporasi, yang mengolah bahan baku tersebut menjadi produk akhir. Perusahaan penghasil bahan
baku ini memiliki kekuatan monopoli di pasar produk yang dihasilkannya. Dengan harga transfer,
korporasi dapat meningkatkan kinerja atau daya saing perusahaan penghasil produk akhir. Pada saat
perusahaan bahan baku menjual produknya ke perusahaan produk akhir anggota korporasi, maka harga
transfer yang dikenakan sesuai dengan biaya untuk membuat bahan baku. Sebaliknya apabila
perusahaan bahan baku ini menjual produknya ke pasar, maka harga yang dikenakan untuk bahan baku
yang dihasilkannya adalah setinggi harga pasar monopoli. Dari sisi daya saing, perusahaan produk akhir
dalam satu korporasi seolah-olah menjadi memiliki daya saing yang tinggi daripada perusahaan produk
akhir lain yang harus membeli bahan baku yang digunakannya dengan harga pasar monopoli. Itu
sebabnya, di banyak negara pengenaan harga transfer yang tidak adil dan dapat menghalangi
persaingan biasanya dilarang.

Penetapan harga transfer dapat juga digunakan oleh multinational corporations untuk memperkecil
kewajiban pembayaran pajak perusahaan secara global. Misal, suatu korporasi memiliki perusahaan di
negara A dan di negara B. Perusahaan di negara A menghasilkan bahan baku yang dijual ke perusahaan
yang masih dalam satu korporasi di negara B. Perusahaan di negara B ini menggunakan bahan baku
tersebut untuk menghasilkan produk akhir. Produk akhir tersebut kemudian dijual kembali ke
perusahaan yang ada di negara A. Misal, negara A mengenakan pajak perusahaan yang jauh lebih
rendah daripada pajak yang berlaku di negara B. Bagaimana caranya agar pembayaran pajak dapat
dihemat? Perusahaan di negara A saat menjual bahan baku ke perusahaan di negara B, harga transfer
ditetapkan lebih tinggi daripada seharusnya. Sebaliknya, perusahaan di negara B ketika menjual produk
akhirnya ke perusahaan di negara A mengenakan harga transfer yang jauh lebih rendah daripada
seharusnya. Akibatnya, perusahaan di negara B seolah-olah menderita kerugian dan pembayaran
pajaknya menjadi kecil atau bahkan tidak perlu bayar pajak keuntungan perusahaan.

1. Kasus pertama: tidak ada pasar eksternal

Ada korporasi yang memiliki dua perusahaan yang terpisah. Perusahaan pertama (I) menghasilkan
produk X dan perusahaan kedua (II) membeli produk X dari perusahaan I. Perusahaan II mengemas
produk X yang dibelinya menjadi produk yang siap dijual ke konsumen. Anggap, tidak ada pasar untuk
produk X yang dihasilkan oleh perusahaan I, sehingga perusahaan I hanya bisa menjual produk X kepada
perusahaan II. Karena tidak ada pasar untuk produk X, perusahaan II memperoleh produk X hanya dari
perusahaan I. Dengan demikian jumlah produk X yang dihasilkan oleh perusahaan I sama jumlahnya
dengan produk X yang dijual ke konsumen oleh perusahaan II. Berapa harga transfer produk X yang
harus dibayar oleh perusahaan I kepada perusahaan II? Perusahaan I dan perusahaan II, masing-masing
bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan, yang juga berarti memaksimumkan keuntungan
bersama sebagai korporasi.

PII*
MC=MCI+MCII

DII
MCI
Pt
MCII

Pt MRII

Q* Q
Gambar 9.

Gambar 9 menunjukkan bahwa perusahaan II yang menghadapi permintaan pasar (DII). Korporasi
dalam kondisi optimal di mana biaya marjinal total (MC) sama dengan penerimaan marjinal (MRII). Pada
kondisi optimal ini perusahaan II menjual produk sebanyak Q* dengan harga PII* per satuan.
Perusahaan I juga menghasilkan produk X sebanyak Q* sesuai dengan jumlah yang dijual oleh
perusahaan II. Harga transfer per satuan produk X yang harus dibayar perusahaan II kepada perusahaan
I adalah sebesar Pt. Perusahaan I dalam kondisi optimal, di mana penerimaan marjinal perusahaan I
sama dengan biaya marjinal perusahaan I. Penerimaan marjinal perusahaan I adalah sama dengan Pt,
dan perusahaan I optimal saat Pt=MCI. Perusahaan II juga dalam kondisi optimal, karena penerimaan
marjinal (MRII) sama dengan biaya marjinal perusahaan II. Biaya marjinal perusahaan II adalah MCI+Pt,
dan optimal saat MRII=MCII+Pt. Jadi masing-masing perusahaan dalam kondisi optimal atau
keuntungan maksimum dan secara keseluruhan (korporasi) juga keuntungan maksimum.

2. Kasus kedua: pasar eksternal berstruktur persaingan sempurna

Pada kasus yang pertama, dianggap bahwa tidak ada pasar bagi barang yang ditransfer dari perusahaan
pertama (I) ke perusahaan kedua (II). Di kasus kedua ini, anggap bahwa produk X yang dihasilkan
perusahaan I ada pasarnya, dan pasar produk X berstruktur persaingan sempurna. Perusahaan II
memperoleh bahan baku berupa produk X dari perusahaan I dan atau dapat membeli produk X dari
pasar. Demikian juga, perusahaan I dapat mentransfer produk X ke perusahaan II dan atau menjual
produk yang dihasilkannya ke pasar. Jika produk X yang dibutuhkan perusahaan II lebih kecil daripada
jumlah produk X yang dihasilkan perusahaan I, maka perusahaan I dapat menjual sisanya ke pasar.

PII*
DII

MC=MCII+Pt

MRII MCI

Pt DI

QII* QI* Q
Gambar 10.

Perusahaan I adalah penerima harga (price taker) di pasar yang berstruktur persaingan sempurna,
sehingga permintaan yang dihadapi perusahaan I digambarkan sebagai kurva yang horizontal (DI)
setinggi harga pasar. Perusahaan I dalam kondisi optimal pada saat biaya marjinal (MRI) sama dengan
penerimaan marjinal, yaitu sama dengan harga produk X di pasar. Pada Gambar 10, harga produk X di
pasar adalah sebesar Pt. Harga transfer produk X yang dihasilkan perusahaan I sama dengan harga
produk X di pasar. Jadi perusahaan I mengenakan harga produk yang ditransfernya kepada perusahaan
II sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Perusahaan II membayar kepada perusahaan I atas produk
X yang diperolehnya sesuai dengan harga pasar, sehingga biaya marjinal produk yang dihasilkan
perusahaan I adalah penjumlahan biaya marjinal yang muncul di perusahaan II plus harga transfer:
MC  MC II  Pt

Permintaan produk yang dihasilkan oleh perusahaan II digambarkan oleh kurva DII. Berdasarkan
permintaan yang dihadapi, perusahaan II dapat merumuskan kurva penerimaan marjinal (MRII) yang
dihadapi. Perusahaan II dalam kondisi optimal pada saat penerimaan marjinalnya sama dengan biaya
marjinal, yang dalam Gambar 10 ditunjukkan oleh perpotongan kurva MRII dengan kurva MC. Pada
kondisi optimal tersebut perusahaan II menghasilkan produk sebesar QII* dan dengan harga PII* per
satuan produk.

Pada Gambar 10, perusahaan I pada kondisi optimal menghasilkan produk X sebanyak QI*. Jumlah
produk X yang dihasilkan lebih besar daripada kebutuhan perusahaan II akan produk X, sehingga ada
kelebihan sebesar (QI*- QII*)satuan produk X. Perusahaan I menjual kelebihan produk X tersebut ke
pasar. Harga per satuan yang diterima perusahaan I adalah sebesar harga pasar, yang juga sama dengan
harga transfer produk X ke perusahaan I.

3. Kasus ketiga: pasar eksternal berstruktur monopoli

Pada kasus ketiga ini anggap bahwa perusahaan I memiliki kekuatan monopoli di pasar produk X.
Perusahaan-perusahaan yang memerlukan produk X, termasuk perusahaan II, hanya dapat membeli
produk X dari perusahaan I. Bagaimana harga transfer produk X dari perusahaan I kepada perusahaan II
ditentukan? Sebagaimana kedua kasus sebelumnya, anggap bahwa perusahaan I dan perusahaan II
berada dalam kepemilikan atau korporasi yang sama.

Perusahaan I Pasar Perusahaan II


P P Eksternal P

DII

nMR+MRE
Pt* PE* MCI

nMR=MRII-MCII
DE
MRE
QII* QII QE * QE QI* QII
Gambar 11.

Kondisi optimal untuk perusahaan I dalam menghasilkan produk X adalah pada saat penerimaan
marjinal yang didapatkan untuk satu satuan produk terakhir yang ditambahkan sama dengan biaya
marjinal untuk menghasilkan produk tersebut. Penerimaan marjinal perusahaan I merupakan
penjumlahan horizontal dari penerimaan marjinal bersih (nMR) dengan penerimaan marjinal yang
diperoleh dari pasar eksternal (MRE). Penerimaan marjinal bersih (nMR) adalah penerimaan marjinal
perusahaan II (MRII) setelah dikurangi biaya marjinal perusahaan II (MCII). Perusahaan I memiliki
kekuatan monopoli di pasar eksternal, itu sebabnya kurva permintaan pasar eksternal (DE) digambarkan
tidak berupa garis horizontal (melainkan bersudut negatif).

Biaya marjinal perusahaan I dalam Gambar 11 ditunjukkan oleh kurva MCI. Perusahaan I dalam kondisi
optimal pada saat penerimaan marjinal sama dengan biaya marjinal, yaitu nMR  MRE  MC I  .
Pada kondisi optimal ini perusahaan I menghasilkan produk X sebesar QI*. Produk X yang dihasilkan
perusahan I sebanyak QI* ini dijual di pasar eksternal sebesar QE* dan ditransfer ke perusahaan II
sebesar QII*. Harga transfer produk X per satuan yang dikenakan kepada perusahaan II adalah sebesar
Pt*. Sedangkan untuk pasar eksternal, perusahaan I menjual produk X dengan harga PE* per satuan,
yang merupakan harga pasar monopoli.

----ooOoo----

Pertanyaan:

Diantara pasangan produk-produk ini, produk yang mana yang cenderung memiliki mark up lebih tinggi
di tingkat pengecer? Jelaskan jawaban Anda.

a. Rokok vs tomat segar


b. Beras vs teh dalam kotak

Anda mungkin juga menyukai