NIKE
A. Profil Perusahaan
NIKE, Inc (NIKE), adalah salah satu perusahaan multinasional yang memproduksi peralatan
olahraga terbesar di dunia. Perusahan ini didirikan pada tahun 1964 oleh pengusaha yang
sekaligus seorang atlet yaitu Bill Bowerman dan Phill Knight. Nike Inc, berpusat di Amerika
Serikat dan memiliki anak perusahaan yang tersebar di seluruh dunia termasuk Asia yaitu
Cina, Thailand, Malaysia, India dan Indonesia. NIKE merupakan perusahaan yang bersaing
dengan Adidas dan Puma.
NIKE adalah penjual sepatu atletik dan pakaian olahraga di seluruh dunia. Perusahaan ini
berfokus penawaran produk dalam tujuh kategori utama: Berlari, Bola Basket, Sepak Bola
(Soccer), Pelatihan Pria, Pelatihan Perempuan, NIKE Olahraga (produk olahraga-terinspirasi)
dan Action Sports. Hal ini juga memasarkan produk yang dirancang untuk anak-anak, serta
untuk keperluan atletik dan rekreasi lainnya, seperti bisbol, kriket, golf, lacrosse, kegiatan di
luar ruangan, sepak bola (Amerika), tenis, bola voli, berjalan dan gulat.
Produk sepatu atletik NIKE yang dirancang terutama untuk penggunaan atletik tertentu.
Perseroan menjual pakaian olahraga dan aksesoris, serta tas atletik dan barang-barang
aksesori. Hal ini juga memasarkan pakaian dengan lisensi perguruan tinggi dan tim
profesional, dan logo liga.
B. Penjabaran Kasus
Pada tahun 1970an Nike memusatkan produksinya di Jepang karena upah buruh di Jepang
lebih murah dibanding di kantor pusatnya yang ada di Amerika Serikat. Selanjutnya pada
tahun 1982, sebagian besar produk Nike dihasilkan di Korea dan Taiwan karena tertarik oleh
tenaga kerja murah di sana.
Namun, karena upah buruh di kedua negara tersebut kian mahal, Nike merelokasi
perusahaannya ke Indonesia, Cina, dan Vietnam. Pada 1980-an saat Nike mencoba membuat
produksi di Cina, dalam kemitraan dengan perusahaan milik negara, tapi hal ini malah
mendatangkan bencana. Nike lantas memindahkan investasinya ke Taiwan. Nike lantas
mengambil keuntungan dari ongkos tenaga kerja yang lebih murah di sana.
Pada akhir 1980-an dengan adanya pergolakan buruh di Korea Selatan, -peningkatan tingkat
upah dan hilangnya kontrol dari tempat kerja oleh otoritas Korea – telah membuat negara
tersebut menjadi kurang menarik bagi investor, baik asing maupun dalam negeri, yang mulai
mencari lokasi lain yang lebih menyenangkan. Nike lantas memindahkan operasi mereka ke
Thailand selatan dan Indonesia, dalam mencari tenaga kerja lebih murah dan tidak
merepotkan. Upah di kedua negara tersebut disebut-sebut sebagai salah satu yang murah
karena hanya memakai seperempat tarif dari yang dibayarkan di Korea Selatan. Beberapa
asosiasi Nike yang bermarkas di Taiwan juga didirikan di Asia Tenggara.
Alasan lain untuk perpindahan ini adalah bahwa pada tahun 1988, baik Korea Selatan dan
Taiwan kehilangan akses khusus untuk pasar AS, yang telah lama mereka nikmati sebagai
status “negara berkembang” di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP) AS. investor Korea
dan Taiwan lantas bergerak ke pabrik di Thailand, Indonesia dan Cina dengan menggunakan
pembuatan hak istimewa GSP dari negara-negara miskin.
Nike memiliki pemasok atas sepatu olahraga pada tahun 1992, tiga adalah perusahaan
Taiwan yang memproduksi produknya di Cina, tiga lainnya beroperasi di Korea Selatan, dan
juga di Indonesia, satu adalah sebuah perusahaan di Thailand (Anonim, 2011).
C. Kebijakan NIKE
Pada awal tahun 1990-an, Produk Nike di hasilkan oleh enam pabrik yang mempekerjakan
25.000 pekerja. Empat diantaranya milik suplier Nike Korea. Nike mempunyai standar
panduan kebijakan pabrik perusahaan berupa kesepakatan yang ideal mengenai buruhnya
seperti :
Pada tingkat yang lebih rendah, ada beberapa masalah lain perusahaan harus berurusan
dengan:
1. Pemerintah
Perbaiki moral pemain pemerintah untuk menegakkan peraturan.
Tinjau ulang upah minimum regional untuk pekerja.
Ciptakan tenaga kerja yang terampil dengan pelatihan.
Berikan pemahaman pada pekerja, bahwa pemerintah akan melindungi gerakan
mereka, sejauh itu sesuai dengan peraturan.
2. Kontraktor (Produsen)
Tegakkan peraturan yang telah diatur oleh perusahaan asing dengan baik dan benar.
Lakukan mediasi dengan pihak asing jika dirasa ada peraturan yang memberatkan.
Berikan upah sesuai dengan aturan, tanpa memanadang pekerja lokal atau pekerja
asing.
Berikan reward yang sesuai jika pekerja melakukan pekerjaan dengan baik dibanding
standar yang berlaku.
3. Pekerja
Beranikan diri untuk mengungkapkan apa yang terjadi dalam perusahaan melalui
NGO terkait.
Bekerja dengan loyal dan baik sesuai peraturan perusahaan.
Jika memang sudah tidak sanggup menerima beban pekerjaan maka lebih baik keluar.
Kesimpulan
Masalah yang menjadi penyebab utama dalam kasus Nike adalah penggunaan tenaga kerja
buruh yang dianggap sebagai eksploitasi tenaga kerja. Nike terlibat dalam sebuah kontroversi
atas penggunaan buruh murah di negara-negara berkembang untuk membuat produk dengan
biaya yang lebih murah.
Masalah outsourcing ini diperkeruh dengan bocornya laporan rahasia oleh Ernst & Young
yang mengaudit Nike dan perusahaan-peusahaan milik subkontraktor Nike di Vietnam yang
di informasikan melalui media yang beranama Global Exchange. Laporan mengungkapkan
gambaran suram tentang susana kerja yang tidak kondusif dengan mempekerjakan pemuda di
bawah umur dengan jam kerja yang lama tetapi dengan upah yang minimum atau sedikit,
serta terkontaminasinya para pekerja oleh bahan kimia yang menyebabkan menderita masalah
pernapasan.
Negara yang dijadikan produksi dengan menerapkan upah yang rendah untuk buruh, hal ini
dilandasi oleh alasan: kualitas pekerja memang masih rendah, jumlah pengangguran banyak,
dan memperkuat keunggulan kompetitif bangsa sebagai tempat investasi yang dapat
mereduksi biaya produksi.
Perlu ada manajemen sumber daya yang baik antara pemerintah, kontraktor (produsen), dan
pekerja untuk mencapai target dan memenuhi peraturan dari perusahaan asing penanam
modal. Namun harus tetap dikritisi jika terdapat peraturan yang memberatkan pihak lokal.
Referensi
http://lysanurawalserbaada.blogspot.com/2017/11/kasus-pelanggaran-etika-bisnis-pt-
nike.html