Anda di halaman 1dari 6

BUSINESS ETHICS

Dian Kartika Rahajeng, Ph.D

CASE 9:
Ethics and the Employee: Nike

Disusun oleh:
Kelompok 3

Amal Fitria Iriansah 464989


Donny Wahyu Niagara 465025
Nabilla Sekarsari 465092

MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2021
Summary case

Nike yang terkenal dengan produk perlengkapan olahraga memiliki reputasi sebagai perusahaan
yang mengandalkan sweatshops untuk produksi. Sweatshops merupakan pabrik yang memiliki
kondisi yang tidak manusiawi dan tidak bermoral seperti lingkungan kerja yang tidak aman
dengan ventilasi buruk dan pekerja yang diberi upah rendah serta mempekerjakan anak di bawah
umur.

Meskipun sempat tidak memberi tanggapan, tapi pada tahun 1998 co-founder Nike, Phil Knight,
berkomitmen untuk melawan pelanggaran etika yang terjadi di pabrik. Brand image Nike pun
membaik dan menjadikannya perusahaan produk olahraga ternama. Namun di tahun 2017 isu
sweatshops ini kembali mencuat akibat banyak pekerja pabrik di Kamboja yang harus masuk
rumah sakit akibat lingkungan kerja yang buruk.

Hasil penelitian NBC News, 569 dari 700 pabrik Nike terbukti memberikan perlakuan yang tidak
etis secara fisik maupun verbal terhadap pekerjanya. Beberapa contoh tindakan buruk yang
terjadi di sweatshops Nike antara lain upah rendah, ventilasi buruk, penggunaan bahan
berbahaya, mempekerjakan anak di bawah umur, pembatasan penggunaan kamar mandi,
pembatasan minum saat kerja, maupun jam kerja yang melebihi aturan.

Di tahun 2020, Vicky Xiuzhong Xu seorang analis the Australian Strategic Policy Institute dan
James Leibold dari La Trobe University melakukan penelitian terhadap pabrik Nike di Cina.
Salah satu sweatshops-nya terbukti menggunakan pekerja dari suku Uighur yang diperlakukan
tidak manusiawi. Sebagian dari mereka dipekerjakan secara paksa, digaji rendah, dibatasi ruang
gerak saat bekerja dengan lingkungan pabrik yang tidak sehat dan penjagaan ketat.

Nike menanggapi dengan memberi pernyataan bahwa perusahaannya menghormati hak asasi
manusia di semua rantai usahanya. Nike berkomitmen untuk tidak menggunakan buruh dari
Xinjiang dimana suku Uighur berasal dan menyerahkan perusahaan Cina untuk melakukan
investigasi dan melakukan tindakan lebih lanjut. Apa yang dilakukan Nike masih menjadi
sorotan karena dinilai kurang berkomitmen mengatasi permasalahan ini dengan tidak terjun
langsung.

Meskipun begitu, permasalahan ini tidak hanya dihadapi Nike tapi industri fashion di seluruh
dunia. Banyak perusahaan fashion lain yang juga terbukti mengandalkan sweatshops untuk
produksi. Selain itu, permasalahan Uighur juga menjadi tanggung jawab pemerintah Cina yang
terlibat dalam isu ini. Bahkan secara terang-terangan terdapat iklan yang menawarkan penyedia
jasa pekerja dari Uighur bagi perusahaan yang membutuhkan.
Pembahasan:

1. Uraikan mengenai dilema etika pada kasus tersebut, or is this just a business like usual?
Jika terdapat dilema etika, pada level apakah dilema etika tersebut terjadi?

Sweatshops yang menyeret nama Nike merupakan pelanggaran etika pada pekerja.
Perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan gaji dan lingkungan kerja yang layak.
Pada kasus ini, banyak pabrik penghasil produk Nike yang berjalan tanpa memperdulikan
kesejahteraan karyawan. Banyak pelanggaran etika yang dilakukan perusahaan seperti
upah rendah, tidak adanya kontrak, jam kerja melebihi standar, ruang kerja tidak sehat,
penggunaan bahan berbahaya tanpa pengaman yang layak, dan mempekerjakan anak di
bawah umur. Berdasarkan uraian di atas, menurut kami dilema etika terdapat pada level:

- Level individu: konsumen Nike menghadapi dilema berupa keputusan untuk


tetap membeli produk atau tidak. Dengan menggunakan produk maka secara tidak
langsung mereka mendukung sweatshops ini terjadi. Orang tua para pekerja anak
yang harus merelakan anaknya bekerja demi kondisi ekonomi yang stabil, dan
pekerja itu sendiri yang sadar lingkungan kerja tidak sehat tapi tidak dapat dengan
mudah berhenti karena desakan ekonomi.

- Level perusahaan: Bertahun-tahun terlibat dalam kasus ini, Nike hanya beberapa
kali memberikan tanggapan. Bahkan di tahun 2020, Nike yang menyatakan
komitmennya untuk menentang sweatshops tetap memberikan kendali
memperbaiki isu ini kepada perusahaan Cina. Menganalisis dari tindakan Nike,
kemungkinan Nike mengalami dilema etika apakah tetap berjalan atau melakukan
perubahan signifikan yang tidak hanya akan berdampak pada pabrik tapi juga
industri fashion.

Melihat besarnya skala bisnis Nike pada industri fashion seharusnya Nike bisa
menjadi inisiator dalam penghapusan sweatshops. Rancang program afirmatif
yang dapat mendukung keadilan dan kesetaraan, seperti peluang yang sama untuk
berkembang atau gaji yang sesuai dengan beban pekerjaan atau sesuai peraturan.
Di samping itu, pabrik perlu dilengkapi dengan fasilitas keamanan yang memadai.

Namun, tanpa dukungan pemerintah tentu tidak mudah untuk melakukan


perubahan. Maka sambil tercapai kesepakatan atau aturan yang tepat, Nike bisa
melakukan program CSR dengan menyediakan fasilitas pendidikan bagi pekerja
anak, memberikan gaji yang sama dengan standar pekerja, atau memberikan
program pemberdayaan bagi keluarga tidak mampu di area pabrik. Sebagai
contoh, umumnya anak yang bekerja di sebuah pabrik berasal dari keluarga tidak
mampu. Nike dapat memberikan pelatihan kepada orang tua supaya produktif
sehingga anak tidak perlu lagi bekerja.
- Level sistemik: Untuk memperbaiki permasalahan ini diperlukan campur tangan
tidak hanya perusahaan tapi juga secara sistem. Berkaca dari isu pada suku
Uighur, ternyata pemerintah Cina mengetahui adanya kondisi pelanggaran etika
ini dan terkesan mendukung dengan mendirikan camp hukuman, menugaskan
polisi untuk mengawasi dan membatasi tindakan suku Uighur, dan melarang
melakukan kegiatan keagamaan. Tidak adanya penyelesaian atas kasus ini juga
menjadi bukti pemerintah setempat dimana pabrik berlokasi belum berhasil
menghentikan pelanggaran etika yang terjadi.

Selain itu permasalahan sistemik juga terjadi pada industri fashion yang terbukti
memiliki sweatshops. Beberapa sudah menyatakan tidak terlibat dengan pabrik
yang mempekerjakan Uighur tapi tidak bisa memastikan bahwa dalam supply
chain-nya sama sekali tidak melibatkan suku Uighur.

Isu sistemik ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pelaku dalam rantai
pasokan, termasuk pemerintah. Tidak hanya menyusun undang-undang pekerja
tapi pemerintah juga harus memastikan bahwa semua pelaku usaha menaatinya
dan memberikan sanksi tegas bagi yang melanggar. Tindakan perlindungan ini
menjadi kewajiban pemerintah atas hak warga negara.

Sayangnya untuk kasus sweatshops suku Uighur di Cina tidak hanya bisa
ditangani pemerintah setempat. Pasalnya, dilansir dari CNN Indonesia,
pemerintah dan masyarakat Cina menyangkal tuduhan Nike dan justru memboikot
produk tersebut terlepas dari fakta yang ada. Maka perlu adanya campur tangan
internasional seperti organisasi HAM atau serikat pekerja global untuk mengatasi
permasalahan ini.

Abainya perusahaan dan pemerintah mengatasi hal ini menjadi bukti bahwa adanya
pelanggaran etika di level tersebut. Nike, pemerintah, dan industri fashion memenuhi
kriteria sebuah perusahaan bertanggung jawab secara moral yaitu seharusnya bisa
melakukan perubahan, mengetahui adanya pelanggaran, namun tidak melakukan
pencegahan atau penyelesaian.

2. Siapakah stakeholders yang terdampak pada kasus tersebut?


● Level manajerial, dalam proses bisnisnya kemungkinan terdapat cara-cara yang
berpotensi pada fraud, tidak sesuai hukum, melanggar hak pekerja dan etika
bisnis. Seperti hasil penelitian NBC News, 569 dari 700 pabrik Nike terbukti
memberikan perlakuan yang tidak etis secara fisik maupun verbal terhadap
pekerjanya. Kemudian di tahun 2020, Vicky Xiuzhong Xu seorang analis the
Australian Strategic Policy Institute dan James Leibold dari La Trobe University
melakukan penelitian terhadap pabrik Nike di Cina. Salah satu sweatshops-nya
terbukti menggunakan pekerja dari suku Uighur yang diperlakukan tidak
manusiawi. Sebagian dari mereka dipekerjakan secara paksa, digaji rendah,
dibatasi ruang gerak saat bekerja dengan lingkungan pabrik yang tidak sehat dan
penjagaan ketat.
● Pemerintah yang perlu memaksimalkan peraturan mengenai ketenagakerjaan,
pengupahan dan sebagainya namun penerapannya yang kurang. Meskipun tetap
Pemerintah butuh untuk menjalankan roda perekonomian negara dan menurunkan
angka pengangguran. Tetapi, perlu memperhatikan Upah Minimum Regional
(UMR) sesuai kesepakatan bersama yang bersifat adil dengan tidak adanya
praktik penipuan, kekuasaan, ketidaktahuan, atau ketidakjujuran.
● Konsumen yang terserang trust issue dengan kejadian kurang etis yang dilakukan
Nike. Pada tahun 1998 co-founder Nike, Phil Knight, berkomitmen untuk
melawan pelanggaran etika yang terjadi di pabrik, tetapi Brand image Nike pun
membaik dan menjadikannya perusahaan produk olahraga ternama.
● Masyarakat luas yang mengecam adanya praktik bisnis yang melanggar hak
asasi manusia serta menggelar aksi boikot yang tentunya merugikan bagi Nike
namun dengan adanya praktik ini tidak berdampak besar pada revenue dan harga
saham dari perusahaan.
● Pekerja terutama kaum buruh yang harus menerima penganiayaan (Abusive
treatment, overtime berupa upah yang kurang layak sebagai akibat dari kebijakan
yang diterapkan dengan tidak etis).
3. Diskusikanlah kasus tersebut dengan menggunakan sudut pandang prinsip etika berikut
ini: (a) utilitarian, (b) right, (c) justice, dan (d) caring.

(a) Menurut pendekatan utilitarian, tindakan bisnis yang secara sosial bertanggung
jawab adalah tindakan yang mampu memberikan keuntungan terbesar bagi
masyarakat (Velasquez 2002). Pada kasus ini dapat dikatakan tidak sesuai dengan
prinsip utilitarian karena pekerja terutama kaum buruh yang harus menerima
penganiayaan serta upah yang kurang layak sebagai akibat dari kebijakan yang
diterapkan dengan tidak etis serta tidak menerima keuntungan bagi masyarakat.
Di sisi lain kasus ini sesuai dengan prinsip utilitarian karena Nike mampu
memberikan banyak manfaat kepada masyarakat berupa lahan pekerjaan.
Pemerintah setempat ikut diuntungkan dengan adanya pabrik Nike yang
membantu roda perekonomian masyarakatnya.

(b) Nike dapat dikatakan tidak etis karena buruh sebagai manusia memiliki hak untuk
hidup dengan layak tanpa diperlakukan sewenang-wenang. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan sudut pandang prinsip etika right. Nike tidak memperhatikan gaji
dari sudut pandang pegawai dengan memberikan upah rendah. Seharusnya Nike
memberikan gaji sesuai dengan kemampuan perusahaan, sifat pekerjaan,
peraturan upah minimum, dan biaya hidup lokal. Kemudian dari sudut pandang
kesehatan dan keamanan, Nike terbukti melanggar etika right karena lokasi
tempat kerja tidak manusiawi (ventilasi yang buruk, ada bahan kimia berbahaya,
dan suhu 37 derajat celcius, dan pembatasan ke toilet atau minum selama jam
kerja).

(c) Justice, distributing benefits and burdens fairly among people (Velasquez 2014).
Oleh karena itu, Nike dikatakan melakukan praktik bisnis tidak etis, terkait
dengan eksploitasi buruh dengan upah minimum, aktivitas kekerasan, hingga
lokasi dan kondisi tempat kerja yang tidak memberikan manfaat dan beban secara
adil pada pegawai.

(d) Nike tidak menjalankan prinsip caring, karena perusahaan tidak memperhatikan
kesejahteraan dan kelayakan praktik bisnis. Pemerintah juga tidak memperhatikan
buruh sebagai warga negara yang patut dilindungi yang dapat dilihat juga dari
praktik bisnis yang bahkan memperkerjakan anak di bawah umur. Pemerintah
Cina terlibat dalam isu ini, bahkan secara terang-terangan terdapat iklan yang
menawarkan penyedia jasa pekerja dari Uighur bagi perusahaan yang
membutuhkan.

Sumber:

The Truth Behind The Alleged Nike Sweatshops. Terdapat di


https://www.who.com.au/nike-sweatshops-does-nike-use-sweatshops diakses pada 10 mei 2021.

Opinion: Your favorite Nikes might be made from forced labor. Here’s why. Terdapat di
https://www.washingtonpost.com/opinions/2020/03/17/your-favorite-nikes-might-be-made-force
d-labor-heres-why/ diakses pada 10 Mei 2021.

China Boikot Nike hingga H&M Karena Kritik Soal Uighur. Terdapat di
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210325180959-92-622187/china-boikot-nike-hingga-
hm-karena-kritik-soal-uighur diakses pada 24 Mei 2021.

Anda mungkin juga menyukai