Anda di halaman 1dari 14

BAB I

LUKA BAKAR

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas
tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase
lanjut.
Pada mulanya memang luka bakar merupakan topik yang dikelola oleh bedah
plastik, sebab patofisiologi kerusakan jaringan yang berhubungan dengan proses
penyembuhan luka menjadi materi pembahasan dalam ilmu bedah plastik, proses
penutupan luka juga merupakan kompetensi yang dimiliki oleh bidang ilmu ini. Namun,
seiring dengan perkembangan ilmu, khususnya bidang traumatologi dan pengetahuan
mengenai dampak cedera pada tubuh dengan kompleksitasnya, luka bakar disadari
merupakan suatu bentuk kasus trauma yang memerlukan penanganan multidisipliner dan
atau interdisipliner. Oleh karena itu selanjutnya penanganan luka bakar lebih tepat
dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari para spesialis di lingkungan bedah
(spesialis bedah, bedah plastik, bedah toraks, bedah anak), intensifis, spesialis penyakit
dalam khususnya hematologi, gastro-enterologi, dan ginjal-hipertensi, ahli gizi,
rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi.

1. Permasalahan pada Luka Bakar


Permasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskannya,
maka permasalahan yang ada dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan penyakitnya.
Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini permasalahan utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas (misalnya, cedera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas oleh
karena adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks, dan
gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia).
Gangguan yang terjadi menimbulkan dampak yang bersifat sistemik, menyangkut
keseimbangan cairan elektrolit, metabolisme protein-karbohidrat- lemak,
keseimbangan asam basa dan gangguan sistem lainnya.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis.
Ketiganya merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada
fase pertama (cedera inhalasi, syok) dan masalah yang bermula dari kerusakan
jaringan (luka dan sepsis luka).
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung sejak penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar, berupa parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan atau
struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama, yang
menjadi karakteristik luka bakar (misal, kerapuhan tendon ekstensor pada jari-jari
tangan yang menyebabkan suatu kondisi klinis yang disebut bouttoniẽrre
deformity).
2. Pembagian / Klasifikasi Luka Bakar
Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan
kedalaman kerusakan jaringan, yang perlu dicantumkan dalam diagnosis yaitu:
1. Berdasarkan penyebab:
 Luka bakar karena api
 Luka bakar karena air panas
 Luka bakar karena bahan kimia (asam / basa kuat)
 Luka bakar karena listrik dan petir
 Luka bakar karena radiasi
 Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite)
2. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan :
Luka bakar derajat I:
 Kerusakan terbatas pada bagian superficial epidermis.
 Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema.
 Tidak dijumpai bula.
 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensoris teriritasi.
 Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari.
 Contoh: luka bakar akibat sengatan matahari.
Luka bakar derajat II:
 Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi akut disertai proses eksudasi.
 Dijumpai bula.
 Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas
permukaan kulit normal.
 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.
 Dibedakan menjadi dua:
a. Derajat II dangkal (superficial)
 Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
 Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari.
b. Derajat II dalam (deep)
 Kerusakan mngenai hamper seluruh bagian dermis.
 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian masih utuh.
 Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang
tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari
satu bulan.
Luka bakar derajat III:
 Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih
dalam.
 Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
mengalami kerusakan.
 Tidak dijumpai bula.
 Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering. Letaknya lebih
rendah dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi protein pada lapisan
epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar).
 Tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung
serabut saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
 Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelialisasi spontan
baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.
2.1 Perubahan metabolisme pada luka bakar
Kasus luka bakar merupakan suatu keadaan stres metabolisme yang melibatkan
respon neuroendokrin. Keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.
Reaksi pertama dari luka bakar dienal dengan fase awal/fase akut/ fase syok yang
berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung,
suhu tubuh, dan konsumsi oksigen, serta hilangnya cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan terjadinya hipovolemi, hipoperfusi, dan asidosis laktat.
Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu
atau lebih. Pada fase ini terjadi kondisi hipermetabolisme dan hiperkatabolisme.
Dibandingkan cedera lainnya, terdapat fase hipermetabolisme yang ditandai
dengan peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses
penguapan (evaporative heat loss), peningkatan aktivitas saraf simpatis, (β adrenergik,
sebagai respon neuroendokrin), peningkatan aktivitas selular, dan pelepasan peptida
parakrin.
Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi β adrenergik ini disebabkan oleh
beberapa hal:
 Jaringan yang mengalami kerusakan (dan atau kehilangan) tidak efektif sebagai
sarana protektif.
 Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di
daerah tersebut, dan melalui proses evaporasi terjad kehilangan cairan dan panas
yang menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk
proses evaporasi kurang lebih 578 kcal/ L air). Dengan peningkatan aliran darah
ke daerah lokal cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional
yang memacu kerja jantung. Di sisi lain, peningkatan suhu pada daerah luka
akibat bertambahnya aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan
mempercepat proses penyembuhan. Namun pada kenyataannya kehilangan panas
(energi) akan diakselerasi oleh adanya febris.
Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan
terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karena perlu mempertimbangkan
Insensible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:

IWL = (25 + %LB) x TBSA x 24 jam % LB : persentase


luka bakar
TBSA : Total Body Surface Area

Stimulasi β adrenergik menyebabkan dilepaskannya hormon stres (katekolamin,


kortisol, glukagon), dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju
metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis, proteolisis,
lipolisis, dan glukoneogenesis, selain itu terjadi pula retensi natrium, dan reabsorpsi air.
Perubahan metabolisme pada penderita luka bakar bukan hanya terjadi oleh
adanya perubahan hormon stres saja, tetapi juga disebabkan oleh mediator sel radang
seperti sitokin, eikosanoid (prostaglandin, tromboksan, leukotrien) dan radikal bebas yang
dilepaskan ke dalam sirkulasi menyusul terjadinya suatu cedera jaringan. Reaksi dari
mediator-mediator ini dikenal sebagai SIRS. Pelepasan sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6
dan TNF akan menyebabkan keadaan hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan
berlangsung lebih lama, keadaan tersebut akan memperburuk perjalanan penyakit pada
luka bakar.
Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan,
emasiasi, kelemahan, gangguan fungsi organ vitaldan balans energi negatif. Untuk
menghadapi kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada
penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi
penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai
kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB
mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan
kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat
fatal.

2.2 Perubahan Metabolisme Protein pada Luka Bakar


Peningkatan hormon stres dan mediator inflamasi pada luka bakar akan
menyebabkan peningkatan katabolisme protein otot dan ekskresi nitrogen melalui urin
sehingga imbang nitrogen menjadi negatif. Tujuan katabolisme protein untuk memenuhi
kebutuhan sumber energi terutama fase syok/akut, pembentukan protein fase akut, dan
penyembuhan luka. Degradasi protein otot menghasilkan alanin dan glutamin. Alanin
merupakan prekursor utama glukoneogenesis di hati, sedangkan glutamin dipakai sebagai
sumber energi sel yang berproliferasi cepat seperti epitel usus, sel imun dan pembentukan
ammonia di ginjal, serta proses penyembuhan luka. Penelitian menunjukkan katabolisme
protein otot pada luka bakar terjadi melalui aktivasi ubiquitin-proteosome dan
calcium-activated proteolysis pathway (Merrit, et.al., 2012; Porter, et.al., 2013).
Mekanisme proteolisis melalui aktivasi jalur ubiquitin–proteasome seperti
terlihat pada gambar. Ubiquitin berkonjugasi dengan substrat protein. Proses
terhubungnya ubiquitin dengan residu lisin pada protein yang akan didegradasi dengan
cara aktivasi ubiquitin oleh enzim E1 melalui reaksi yang bergantung pada ATP.
Ubiquitin yang sudah teraktivasi ini dibawa oleh E2, suatu protein pembawa menuju
substrat protein yang selanjutnya akan dikatalisis oleh enzim E3. Proses ini berulang
hingga terbentuk rantai ubiquitin. Pada reaksi yang bergantung pada ATP, ubiquitin-
protein terkonjugasi dikenali dan diikat oleh kompleks 19S yang selanjutnya akan
melepaskan rantai ubiquitin dan mengkatalisis masuknya protein pada 20C core
proteasome. Degradasi terjadi pada 26S core proteasome yang memiliki berbagai tempat
proteolitik di dalam dua lingkaran utamanya. Peptida yang dihasilkan oleh proteasome
akan dilepaskan dan didegradasi secara cepat menjadi asam amino oleh peptidase dalam
sitoplasma untuk selanjutnya diangkut menuju retikulum endoplasma dan digunakan
untuk presentasi antigen kelas I, sedangkan ubiquitin tidak didegradasi melainkan
dilepaskan untuk digunakan kembali (Mitch dan Goldberg, 1996).
Proteolisis sangat meningkat setelah luka bakar parah dan dapat melebihi
setengah pon otot rangka setiap hari. Suplementasi protein diperlukan untuk memenuhi
permintaan yang sedang berlangsung dan menyediakan substrat untuk penyembuhan
luka, fungsi kekebalan tubuh, dan untuk meminimalkan hilangnya massa tubuh tanpa
lemak. Protein digunakan sebagai sumber energi ketika kalori terbatas; Namun, yang
terjadi adalah sebaliknya. Memberi kalori berlebih tidak akan menyebabkan peningkatan
sintesis atau retensi protein, melainkan mengarah pada pemberian makan berlebih
(Wolfe, 1993).
Menyediakan dosis protein supranormal tidak mengurangi katabolisme dari
penyimpanan protein endogen, tetapi memberikan sintesis protein dan mengurangi
keseimbangan nitrogen negatif. Saat ini, kebutuhan protein diperkirakan 1,5–2,0 g / kg /
hari untuk orang dewasa yang terbakar dan 2,5–4,0 g / kg / hari untuk anak-anak yang
terbakar. Rasio kalori dan nitrogen non-protein harus dipertahankan antara 150: 1 untuk
luka bakar yang lebih kecil dan 100: 1 untuk luka bakar yang lebih besar. Bahkan pada
tingkat penggantian yang tinggi ini, sebagian besar pasien luka bakar akan mengalami
beberapa kehilangan protein otot karena respons hormonal dan proinflamasi terhadap
luka bakar (Patterson et.al., 1997; ISBI, 2016)
Beberapa asam amino sangat penting dan memainkan peran unik dalam
pemulihan setelah terbakar. Otot rangka dan pengeluaran organ glutamin, alanin, dan
arginin meningkat setelah terbakar. Asam amino ini penting untuk transportasi dan
membantu memasok energi ke hati dan menyembuhkan luka (Soeters, et.al., 2004).
Glutamin secara langsung menyediakan bahan bakar untuk limfosit dan enterosit dan
sangat penting untuk menjaga integritas usus kecil dan menjaga fungsi kekebalan terkait
usus (Souba, 1991; Wischmeyer, 2005). Glutamin juga menyediakan beberapa tingkat
perlindungan seluler setelah stres, karena meningkatkan produksi protein peredam panas
dan merupakan prekursor glutathione, antioksidan kritis (Garrel, et.al., 2003).
Glutamin cepat habis dari otot dan serum setelah luka bakar, dan pemberian
glutamin 25 g / kg / hari telah ditemukan untuk mengurangi mortalitas dan lama rawat
inap pada pasien luka bakar (Gore dan Jahoor, 1994; Windle, 2006). Arginin adalah asam
amino penting lain karena merangsang limfosit T, meningkatkan kinerja sel pembunuh
alami, dan mempercepat sintesis oksida nitrat, yang meningkatkan resistensi terhadap
infeksi (Yu, et.al., 2001; Yan, et.al., 2007). Suplementasi arginin pada pasien luka bakar
telah menyebabkan peningkatan penyembuhan luka dan respon imun. Meskipun beberapa
hasil dalam populasi luka bakar menjanjikan, data dari pasien nonburn yang sakit kritis
menunjukkan bahwa arginin berpotensi berbahaya. Data saat ini tidak cukup untuk secara
definitif merekomendasikan penggunaannya, dan studi lebih lanjut diperlukan (Heyland,
2003; Wibbenmeyer, 2006).

2.3 Perubahan Metabolisme Lemak pada Luka Bakar


Peningkatan katekolamin dan glukagon serta aktivasi sistem saraf simpatis
menyebabkan peningkatan lipolisis dengan induksi hormone sensitive lipase (HSL) di
jaringan adiposa. Trigliserida (TG) di jaringan adiposa akan dihidrolisis menjadi asam
lemak bebas (ALB) dan gliserol, masuk ke sirkulasi. Gliserol digunakan oleh hati sebagai
substrat glukoneogenesis. Oleh karena terjadi kerusakan mitokondria, maka, proses β-
oksidasi tidak adekuat, sehingga, ALB direesterifikasi menjadi TG dan dilepaskan ke
sirkulasi dalam bentuk very low density lipoprotein-trigliserida (VLDL-TG). Sebagian
TG hasil reesterifikasi disimpan di hepatosit sehingga menyebabkan steatosis dan
hepatomegali pada luka bakar (Cree dan Wolfe, 2008).

2.4 Perubahan Metabolisme Karbohidrat pada Luka Bakar

Pelepasan hormon stres (kortisol, glukagon, epinefrin dan norepinefrin) dan


mediator inflamasi (seperti sitokin yaitu interleukin-1(IL-1), tumor necrosis factor-α
(TNF-α) akan menstimulasi produksi IL-6 yang akan meningkatkan glikogenolisis serta
proteolisis di otot dan hati, glukoneogenesis di hati dan ginjal, serta lipolisis di jaringan
adiposa sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah.
Pada luka bakar terjadi resistensi insulin yang diakibatkan oleh penurunan
insulin-mediated glucose uptake di otot skelet yang dipengaruhi oleh pelepasan mediator
inflamasi. Akt/PKB, suatu enzim di otot skelet yang bertanggung jawab untuk uptake
glukosa dan sintesis glikogen terganggu pada luka bakar dan hal ini berpengaruh pada
gangguan metabolisme dan muscle wasting pada pasien luka bakar (Ballian et all,
2010)
BAB II
ASUHAN GIZI PASIEN LUKA BAKAR
Tujuan terapi gizi
1. Meminimalisasi respon metabolik dengan cara:
• Mengontrol suhu lingkungan
• Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
• Mengontrol rasa sakit dan cemas
• Menutup luka bakar segera
2. Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan cara :
• Menyediakan kalori yang cukup untuk mencegah berat badan lebih besar dari 10%
berat badan normal.
• Menyediakan protein yang cukup untuk tercapainya positif nitrogen balance dan
mempertahankan atau menggantikan cadangan protein
• Menyediakan suplementasi vitamin dan mineral yang di indikasikan
3. Mencegah ulcer curling dengan cara:
• Menyediakan antasid atau pemberiaan makanan enteral continu.

Kebutuhan energi
• Kebutuhan energi (dewasa) = 25 kcal/kg + (40 kcal x% LB)
• Kebutuhan energi (anak) = (60 kkal x Kg BB) + (35 kkal x % LB)

Kebutuhan cairan
IWL = (25 + %LB) x TBSA x 24jam
BSA = √BB(kg)xTB(cm) / 60

Kebutuhan protein
• Pada minggu pertama
• Protein loss (g)= 1,2 x BSA (m2) x % luka bakar
• Pada minggu kedua paska luka bakar kehilangan pretein menjadi tinggal setengahnya
• Protein loss (g)= 0,6 x BSA (m2) x % luka bakar
BSA = √BB(kg)xTB(cm) / 60
Pemberian Nutrisi Parenteral

Pemantauan biokimia pada pemberian nutrisi parenteral

Nutrisi enteral
Indikas nutrisi enteral :
• Luas luka bakar > 20% permukaan tubuh.
• Nutrisi alami tidak memungkinkan karena penurunan kesadaran,luka bakar pada
wajah,jejas pada traktus respiratorius,trakeostomi.
• Adanya status malnutrisi sebelum luka bakar,penyakit krosnis yang parah.
Keuntungan nutrisi enteral :
• Memproteksi membrane mukosa intestine
• Mencegah translokasi bakteri
• Lebih fisiologis
• Menurunkan resiko infeksi
• Lebih murah.
Metode nutrisi enteral :
• Dengan NGT
• Nasoduodenal / nasojejunal tubes
• Percutanneous gastrotome (durasi lama sampai 155 hari)
Kandungan nutrisi enteral
• Karbohidrat : < 5-7 mg/kg/menit.
• Protein : 22-25% dengan mempertimbangkan keseimbangan cairan,kadar nitrogen,dan
kreatinin dalam darah atau 2,5-3,0 g/kg BB pada anak-anak.
• Lemak : <40% kalori non protein atau 5-15% total kebutuhan energi
• Mikroelemen (Zn,Tembaga,Se)
• Vitamin (vit-c,B1,B6,B12,A,E)
• Imunomodulator (leucine,glutamin,arginin,omitin-eketoglukarat,asam lemak,ω3).

Pemantauan gizi selama perawatan


DAFTAR PUSTAKA

Ballian, N., Rabiee, A., Andersen, D.K., Elahi, D., dan Gibson, B.R. 2010. Glucose
metabolism in burn patients: The role of insulin and other endocrine hormones.
36(5):599–605.
Cree M.G dan Wolfe R. R. 2008. Postburn trauma insulin resistance and fat metabolism.
Am J Physiol Endocrinol Metab. 2008;294:E1–9.
Garrel D, Patenaude J, Nedelec B, Samson L, Dorais J, Champoux J. 2003. Decreased
Mortality And Infectious Morbidity In Adult Burn Patients Given Enteral
Glutamine Supplements: A Prospective, Controlled, Randomized Clinical
Trial. Crit Care Med. ;31(10):2444–2449. doi:
10.1097/01.CCM.0000084848.63691.1E. 
Gore DC, Jahoor F. 1994. Glutamine Kinetics In Burn Patients. Comparison With
Hormonally Induced Stress In Volunteers. Arch Surg.  129(12):1318–1323. doi:
10.1001/archsurg.1994.01420360108015. 
Heyland D.K dan Samis A. . 2003. Does Immunonutrition In Patients With Sepsis Do
More Harm Than Good? Intensive Care Med;29(5):669–671. doi:
10.1007/s00134-003-1710-6
Marin V.B, Rodriguez-Osiac L, Schlessinger L, Villegas J, Lopez M, Castillo-Duran C.
2006. Controlled Study Of Enteral Arginine Supplementation In Burned
Children: Impact On Immunologic And Metabolic Status. Nutrition. ;22(7-
8):705–712. doi: 10.1016/j.nut.2006.03.009. 
Merritt EK, Cross JM, Bamman MM. 2012. Inflammatory And Protein Metabolism
Signaling Responsses In Human Skeletal Muscle Following Burn Injury. J Burn
Care Res;33(2):291–7.
Mitch WE, Goldberg AL. 1996. Mechanism Of Muscle Wasting The Role Of The
Ubiquitin Proteasome Pathway. NEJM 335:1897–1905.
Patterson BW, Nguyen T, Pierre E, Herndon DN, Wolfe RR. Urea and protein
metabolism in burned children: effect of dietary protein
intake. Metabolism. 1997;46(5):573–578. doi: 10.1016/S0026-0495(97)90196-7
Peng X, Yan H, You Z, Wang P, Wang S. 2005. Clinical And Protein Metabolic Efficacy
Of Glutamine Granules-Supplemented Enteral Nutrition In Severely Burned
Patients. Burns. ;31(3):342–346. doi: 10.1016/j.burns.2004.10.027
Porter C, Hurren NM, Herndon DN, Børsheim E. 2013. Whole Body And Skeletal Muscle
Protein Turnover In Recovery From Burns. Int J Burn Trauma 3:9–17.
Practice Guidelines Committee ISBI, Subcommittee S, Subcommittee A. ISBI practice
guidelines for burn care. Burns. 2016;42(5):953–1021. doi:
10.1016/j.burns.2016.05.013. 
Soeters P.B, Van De Poll MC, Van Gemert WG, Dejong CH. 2004. Amino Acid
Adequacy In Pathophysiological States. J Nutr. ;134(6 Suppl):1575s–1582s. 
Souba W.W. 1991. Glutamine: A Key Substrate For The Splanchnic Bed. Annu Rev
Nutr;11:285–308. doi: 10.1146/annurev.nu.11.070191.001441. 
Wibbenmeyer LA, Mitchell MA, Newel IM, Faucher LD, Amelon MJ, Ruffin TO. 2006.
Effect Of A Fish Oil And Arginine-Fortified Diet In Thermally Injured Patients. J
Burn Care Res. ;27(5):694–702. doi: 10.1097/01.BCR.0000238084.13541.86. 
Windle E.M. 2006. Glutamine Supplementation In Critical Illness: Evidence,
Recommendations, And Implications For Clinical Practice In Burn Care. J Burn
Care Res.  27(6):764–772. doi: 10.1097/01.BCR.0000245417.47510.9C. 
Wischmeyer PE. 2005. Can glutamine turn off the motor that drives systemic
inflammation?.Crit Care Med. ;33(5):1175–1178. doi:
10.1097/01.CCM.0000162686.28604.81. 
Wolfe RR. 1993. Metabolic Response To Burn Injury: Nutritional Implications. Semin
Nephrol. ;13(4):382–390.
Yan H, Peng X, Huang Y, Zhao M, Li F, Wang P. 2007. Effects Of Early Enteral
Arginine Supplementation On Resuscitation Of Severe Burn
Patients. Burns. ;33(2):179–184. doi: 10.1016/j.burns.2006.06.012. 
Yu YM, Ryan CM, Castillo L, Lu XM, Beaumier L, Tompkins RG. 2001. Arginine And
Ornithine Kinetics In Severely Burned Patients: Increased Rate Of Arginine
Disposal. Am J Physiol Endocrinol Metab. ;280(3):E509–E517

Anda mungkin juga menyukai