Hesti Puspa Rini - Angka
Hesti Puspa Rini - Angka
Pagi Karina selalu meriah, caci dan makian saling bersahutan dari mulut kedua orang
tuanya. Ayahnya yang tak betah berlama – lama dirumah, dan Ibu yang selalu
menuntutnya menjadi yang pertama.
KRING KRING
Suara alarm Karina berbunyi tepat pukul 6 pagi, dengan lemas Karina meraih alarm
untuk mematikan suaranya, dan sayu – sayu ia mendengar pertengkaran ayah dan
ibunya yang tidak tahu sedari kapan.
Ayah: “Sekarang apalagi yang mau kau salahkan Marni! Aku lelah lembur semalaman!”
PRAKKKKK
Suara pecahan vas bunga yang berada didepan tv saat Ibu Karina melemparkan ke arah
Ayahnya yang baru pulang entah darimana. Sudah biasa, pagi Karina bising seperti ini.
Raut wajah Karina kesal, dia mencoba tidak peduli dan segera bergegas ke kamar mandi
dengan langkah yang sangat berat.
Karina: “Rumah ini neraka bagiku, pulang sama dengan bergegas ke neraka, bahkan
tidak layak lagi kusebut sebagai tempat berpulang” gumam Karina di dalam kamar
mandi sambil mengusap air matanya yang tiba – tiba saja jatuh.
Segera Karina bersiap menuju sekolah dengan seragam dan peralatan yang sudah ia
siapkan semalam suntuk.
TIIIN TIIIIINNN
Baskara: “Kar, aku didepan, ayo keluar, kau tahu aku benci menunggu.”
Karina: “menungguku keluar dari rumah saja kau mengeluh, apalagi hal lainnya.”
Baskara: “maksudmu? laki – laki yang selalu kau sebut bodoh ini tidak mengerti
bahasamu yang tinggi itu Tuan Putri!”
Karina: “Kau memang benar – benar Bodoh, Bas! Sudah jangan banyak cincong, ayo
bergegas!”
Karina: “Pagi ini lebih parah Bas. Bahkan vas bunga kesayangan Ibuku, dihancurkan
sendiri olehnya.”
Baskara tidak melanjutkan percakapan miris itu, dan menambah lagi laju motornya.
Mereka datang tepat waktu, suasana kelas saat itu ramai karena jam kosong, Gea dan
Karina duduk paling depan pojok kiri.
Gea: “Kata Ibu Ganitri, hasil ulangan fisika akan dipajang dimajalah dinding saat istirahat
pertama nanti.”
Karina: “Baiklah.”
Waktu berlalu
KRINGGG KRINGGG
Tidak seperti biasanya, kelas 12 MIPA 1 tidak bersemangat menyambut waktu istirahat,
mereka dirundung kecemasan berlebih akan nilai Fisika yang akan dipajang di mading
kelas. MIPA 1 adalah kelas unggulan MIPA yang berisi anak – anak ambisius akan
pencapaian nilai.
1. …..
2. …..
3. Karina Alvinda
Gea: “Tidak selamanya bisa menjadi nomor 1 terus kan Kar, tidak apa-apa, nilaimu cukup
tinggi.”
Gea: “Kau bilang saja kau yang tertinggi, nilaimu bisa meyakinkan hal itu!”
Karina mengangguk, dia akhirnya menuruti saran Gea agar terhindar amukan ibunya
sendiri.
Pukul 1 siang, waktu pulang tiba, Karina menunggu Baskara keluar dari parkiran dengan
berdiri didepan pagar sekolah, bila diumpamakan, Matahari saat itu sudah seperti di
atas kepala.
Karina bergegas menaiki motor Baskara yang siap melaju mengantarnya pulang.
Baskara: “Kau jelek kalau cemberut.” ocehan Baskara saat diperjalanan dengan melihat
wajah Karina dari kaca spion
Karina: “Hari ini aku harus melakukan kebohongan pada ibuku sendiri.”
Karina: “Nilaiku.”
Sesampai Karina di ruang tamu, ditemuinya ibunya yang sedang duduk di sofa dengan
majalah kosmetik yang ia pandangi sedari tadi.
Ibu: “Bagaimana sekolahnya? Apa ada hasil ujian atau apapun itu yang dibagikan?”
Ibu: “Berapa?”
Apa jawaban itu belum cukup untuk ibunya, kenapa masih bertanya “Berapa?”
Ibu: “Tidak akan sulit kalau kau lebih tekun lagi. Yasudah ganti baju, bersihkan
badanmu.”
Karina pergi ke kamarnya, menutup dan mengunci kamarnya. Karina menangis sejadi –
jadinya, ternyata yang diinginkan ibunya bukan hanya menjadi yang pertama, tetapi juga
kesempurnaan.
Pendidikan kita adalah Pendidikan nominal. Segala pencapaian diukur dengan kuantitas
mengesampingkan kualitas agar menjadi prioritas. Trofi – trofi palsu dicapai segilintir
orang atas pencapaian orang lain untuk dirinya. Sedang semua orang berseru untuk
tetap jujur asal hasil sendiri, dilain waktu mereka bilang kau bodoh hanya mendapat
angka serendah itu atas hasilmu sendiri.
Malam tiba, pikiran – pikiran kacau selalu menghampiri Karina, Pertengkaran tiada
ujung, harus menjadi yang paling sempurna, semua ditanggung oleh gadis berumur 18
tahun ini.
Karina: “Aku ini cuma manusia. Kau pun manusia. Kenapa tak bisa mengerti. Rumah
tanggamu juga tidak sempurna mengapa menuntutku menjadi yang paling sempurna.
Tidak bisa ku benci karena kau Ibuku.” keluh kesah Karina berbicara sendiri dikamarnya
dengan nada yang tidak terlalu keras karena takut terdengar
Tangisan Karina menjadi – jadi di malam itu, segala hal berkecamuk di dada.
Pagi tiba,
Suara itu melengking hingga ke sudut – sudut rumah, Karina menangisi hal yang sudah
ia duga akan terjadi, tetapi tetap bersiap – siap pergi kesekolah.
Waktu berlalu, kehidupan Karina berjalan atas skenario ibunya. Hasil ujian masuk ke
Universitas diumumkan hari ini. Karina sama sekali tidak penasaran, terlihat tulisan
SELAMAT di layar laptopnya. Dia berhasil masuk jurusan kedokteran UI sesuai keinginan
ibunya.
Segala tekanan selalu datang dari arah manapun, tuntutan Pendidikan, manusia yang
tak bisa memanusiakan manusia lainnya, hidup dalam ketidakmauan, berusaha
memuaskan individu lain tak peduli jiwa dan ragamu remuk sekalipun. Bukan ini hidup
yang Karina mau. Sebulan lamanya Karina mengurung dalam kamar, sebulan lamanya
bahkan sudah selama hidupnya ia hidup dalam raga tak berjiwa
Sistem yang sakit dibiarkan terus berjalan, berbenah dirasa sudah terlambat meski
mereka bilang tidak ada kata terlambat, mungkin memang benar, tetapi apa waktu yang
tersisa itu cukup? Bukankah manusia tidak tahu kapan dirinya akan berakhir?
Semua berharap agar semua bisa berbenah, Pendidikan yang hanya mengukur kuantitas
sebagai hasil akhir, ada baiknya memperhatikan proses. Pendidikan harus berbenah juga
akan beriringan dengan pikiran awam yang lebih teredukasi untuk lebih bisa
menghargai, untuk lebih banyak memuji dibanding mencaci. Karina adalah gambaran
salah satu jiwa yang tak sempat bebas.