Anda di halaman 1dari 56

TUGAS KEPERAWATAN MATERNITAS III

“ASUHAN KEPERAWATAN INTRANATAL PATOLOGIS”

OLEH:
Kelompok 7

FEBRIYATUL HUSNA 1611311001


RAMAYA DES FITRI 1611311015
NADYA PUTRI BADRINA 1611312002
VIRA SHINTYA SYAFMA 1611312017
AL HAFIZHAH WINOF PUTRI 1611313005

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim,
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Intranatal Patologis”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns. Yanti Puspita Sari,
M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Maternitas III.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padang, September 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................1


1.2 Tujuan Penulisan.....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abnormalitas Cairan Ketuban (Polihidramnion, Oligohidramnion,


Emboli Plasenta).....................................................................................2
2.2 M alpresentasi dan Malposisi (Presentasi Bokong, Bahu, Muka, Dahi,
dan Posisi Oksipitalis Posterior Persisten)..............................................12
2.3 Lilitan Tali Pusat.....................................................................................21
2.4 Ketuban Pecah Dini.................................................................................27

BAB III ANALISIS JURNAL............................................................................40

BAB IV PENUTUP

3.1 Kesimpulan..............................................................................................52
3.2 Saran........................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................53

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada
usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit. Persalinan dimulai sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan
perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya
plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika kontraksi uterus tidak
mengakibatkan perubahan serviks. (JNKP-KR, 2008)
Persalinan dan kelahiran merupakan kajadian fisiologis yang normal
dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial
bagi ibu dan keluarga. Peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan
peran keluarga adalah memberi bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi
proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah
penting dalam memberikan batuan dan dukungan pada ibu agar seluruh
rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun
bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, Yani dan Nining, 2008; h.1)

1.2 Tujuan Penulisan


1. Tujuan umum
Tujuan umum adalah Agar perawat dapat memberikan asuhan
keperawatan yang tepat pagi pasien intranatal berdasarkan data dan
keluhan-keluhan yang didapat dari pasien
2. Tujuan khusus
Dan tujuan khususnya adalah agar para pembaca mengetahui tentang
pengertian persalinan, diagnosa, intervensi, implementasi, evaluasi
keperawatan pada Metode yang diambil adalah wawancara dan observasi.

1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Abnormalitas Cairan Ketuban (Polihidramnion, Oligohidramnion,


Emboli Plasenta)
2.1.1. Konsep dasar
A. Hidramnion
1. Definisi:
Merupakan suatu keadaan dimana jumlah bagian cairan
amnion lebih dari normal.

2. Patofisiologi
Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi olch cairan yang
komposisinya sangat mirip dengan cairan ektrasel. Selama paruh
pertama kehamilan, pemindahan air dan molekul kecil lainnya
berlangsung tidak saja melalui amnion, tapi juga menembus kulit
janin. Selama trimester kedua, mulai berkemih, menelan dan
menghirup cairan amnion. Proses ini mengatur pengendalian volume
cairan amnion.
Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion
diperkirakan bahwa mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan
volume cairan amnion. Teori ini dibenarkan dengan kenyataan
bahwa hidramnion hampir selalu terjadi bila janin tidak dapat
menelan, seperti pada kasus atresia esofagus. Proses menelan ini
jelas bukan satu-satunya kondisi untuk mencegah hidramnion.
Pada kasus anesefalus dan spina bifida, faktor etiologinya
mungkin adalah transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke
dalam rongga amnion. Penjelasan lain yang mungkin pasca
anensefalus, apabila tidak terjadi gangguan menelan, yaitu berkemih
akibat stimulasi pusat-pusat di serebrospinal yang tidak terlindung
atau berkurangnya efek antidiurek akibat gangguan sekresi arginin
vasopresin. Hal sebaliknya telah jelas dibuktikan bahwa kelainan

2
janin yang menyebabkan anuria hampir selalu menyebabkan
oligohidramnion.
Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar
monozigot, diajukan hipotesis bahwa salah satu janin merampas
sebagian besar sirkulasi bersama dan mengalami hipertrofi jantung,
yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan produksi urin di
masa neonates dini, yang mengisyaratkan bahwa hidramnion
disebabkan oleh meningkatnya produksi urin janin.

3. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang menyertai hidramnion terjadi karena faktor
mekanis dan terutama yang disebabkan oleh tekanan disekitas uterus
yang mengalami overdistensi terhadap organ-organ didekatnya. Jika
peregangannya berlebihan, ibu dapat mengalami dispnea dan pada
kasus ekstrim, dan hanya dapat bernafas bila dalam posisi tegak.
Sering terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar oleh uterus
yang sangat besar, terutama di ekstremitas bawah, vulva, dan
dinding perut. Walaupun jarang, dapat terjadi oligouria berat akibat
obstruksi ureter oleh uterus yang sangat besar
Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung
secara bertahap dan wanita yang bersangkutan mungkin
mentoleransi distensi abdomen yang berlebihan tanpa banyak rasa
tidak nyaman. Namun pada hidramnion akut, distensi abdomen dapat
menyebabkan gangguan yang cukup serius dan mengancam.
Hidramnion akut cenderung muncul pada kehamilan dini
dibandingkan dengan bentuk kronik dan dapat dengan cepat
memperbesar uterus. Hidramnion akut biasanya akan menyebabkan
persalinan sebelum usia gestasi 28 minggu, atau gejala dapat
menjadi parah sehingga harus dilakukan intervensi. Pada sebagian
besar kasus hidramnion kronik, tekanan cairan amnion tidak terlalu
tinggi dibandingkan pada kehamilan normal.

3
Gejala klinis lain pada hidramnion adalah pembesaran uterus
disertai kesulitan dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan
mendengar denyut jantung janin. Pada kasus berat dinding uterus
sangat tegang. Membedakan antara hidramnion, asites, atau kista
ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi
ultrasonografi. Cairan amnion dalam jumlah besar hamper selalu
mudah diketahui sebagai ruang bebas-echo yang sangat besar
diantara janin dan dinding uterus atau plasenta. Kadang mungkin
ditemui kelainan janin misalnya anensefalus atau defek tabung
syaraf lain, atau anomali saluran cerna.

B. Oligohidramnion
1) Definisi
Merupakan keadaan dimana jumlah cairan amnion kurang dari
normal.
2) Etiologi
Secara umum, oligohidramnion yang timbul pada awal
kehamilan jarang dijumpai dan sering memiliki prognosis buruk.
Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion
Faktor Janin Factor Ibu
Agenesis ginjal Penyakit Hipertensi
Uropati obstruksi Insufiensi utep-plasenta
Pecah selaput ketuban Sindrom antifosfolid
Kehamilan lewat waktu Dehidrasi-hipovolemi

Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan


kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal dan berhubungan
dengan oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit).
Fenotip Potter digambarkan sebagai suatu keadaan khas pada
bayi baru lahir, dimana cairan ketubannya sangat sedikit atau tidak
ada. Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan
terhadap dinding rahim. Tekanan dari dinding rahim menyebabkan
gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang
di dalam rahim sempit, maka anggota gerak tubuh menjadi

4
abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi tidak
abnormal.
Oligohidramnion juga menyebabkan terhentinya
perkembangan paru-paru (paru-paru hipoplastik), pada saat lahir,
paru-paru tidak bekerja.
Pada sindroma Potter, kelainan yang utama adalah gagal ginjal
bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis
bilateral) maupun karena peenyakit lain pada ginjal yang
menyebabkan ginjal gagal bekerja.
Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban
(sebagai air kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan
gambaran yang khas dari sidrom potter.

Gejala Sindroma Potter:


a. Wajah Potter (kedua mata terpisah jauh, ada lipatan epikantus,
pangkal jari yang lebar, telinga yang sempit dan dagu yang
ditarik ke belakang).
b. Tidak terbentuk udara kemih
c. Gawat pernafasan.

Wanita dengan kondisi berikut ini memiliki insiden oligohidramnion


yang tinggi
a. Anomali kongenital (misalnya: penyakitosis ginjal, sindroman
saraf)
b. Retardasi pertumbuhan intra uterin.
c. Ketubanrup dini (24-26 minggu).
d. Sindrom paska maturitas.

3) Manifestasi Klinis

5
a. Uterus tampak lebih kecil dari hasil dari dan tidak ada
ballotemen.
b. Ibu menemukan nyeri di perut setiap gerakan anak.
c. Sering berakhir dengan partus prematurus.
d. Bunyi hati anak sudah terdengar mulai bulan dan terdengar lebih
jelas
e. Persalinan lebih lama dari biasanya.
f. Sewaktu dia akan sakit sekali.
g. Jika ketuban pecah, air ketuban sedikit bahkan tidak ada yang
keluar.

C. Penegakan Diagnosis
I. Amniosintesis
Untuk membuat diagnosis kelainan pada kehamilan sedini
mungkin, umumnya dipakai sel-sel yang ada terdapat dalam cairan
amnion dengan melakukan amniosintesis. Amniosintesis pada saat
ini lebih sering dilakukan melalui transabdominal. Penggunaan
amniosintesis antara lain digunakan dalam manejemen kelahiran
preterm, dimana dapat mendeteksi secara cepat adanya infeksi
intraamnion.
Penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi infeksi virus
sitomegalo pada janin yang dilakukan dengan kultur cairan amnion.
Hal ini berkaitan dengan adanya reaksi rantai polymerase yang
digunakan untuk mendeteksi virus DNA.
Penggunaan lain amniosintesis adalah untuk mendeteksi
kadar alpha AFP dalam cairan amnion. Deteksi kadar alpha feto
protein ini dilakukan jika pada penderita USG tidak menunjukkan
adanya peningkatan kadar alpha feto serum protein ibu.
Amniosintesis sering digunakan untuk mengkonfirmasi
kematangan pada janin, dengan menggunakan konsentrasi relative
dari surfaktan aktif fosfolipid. Amniosintesis untuk diagnostik
genetik biasanya dilakukan pada 15-20 minggu.

6
Selain penggunaan diagnostik, amniosintesis juga digunakan
sebagai terapi seperti kasus-kasus hidroamnion, dengan
memindahkan cairan amnion.
Bantuan USG diperlukan untuk memandu jarum spinal
ukuran 20-22 mencapai kantong amnion dengan menghindari
plasenta, tali pusat dan janin. Inspirasi awal sekitar 1-2 ml
Kemudian cairan tersebut dibuang untuk mengurangi kemungkinan
kontaminasi sel-sel ibu, kemudian lebih kurang 20 ml cairan
diambil lagi, kemudian jarum dilepaskan. Titik luka di observasi
kalau ada pendarahan dan denyut jantung janin dipantau.
Komplikasi kecil seperti bercak perdarahan pada vagina atau
kebocoran amnion 1-2%, dan insiden korioamnitis jauh lebih kecil
dari 1 banding 1000 kejadian. Kemungkinan terkenannya tusukan
jarum pada janin sangat jarang tetapi dapat terjadi jika janin
abnormal.
II. Shake Test
Shake test atau test busa diperkenalkan oleh elements dan
kawan-kawan pada tahun 1972, untuk mempersingkat waktu dan
mempunyai akurasi yang lebih tepat dalam mengukur kadar lesitin-
sphingomyelin. Tes ini tergantung kepada kemampuan surfaktan
dalam cairan amnion, dengan campuran etanol, untuk mendapatkan
busa yang stabil pada batas air dan cairan.
III. Lumadex-FSI tes
Merupakan suatu tes yang didasarkan dari shake tes untuk
mengidentifikasi aktifitas surfaktan pada cairan amnion.
IV. Fluoresen Polarisasi (Microviscometri)
Adalah sebuah tes yang menggunakan mikroviskositas dari
lemak yang terdapat dalam cairan amnion, yang kemudian
dicampur dengan suatu bahan fluorsensi spesifik yang berikatan
dengan hidrokarbon dari lemak surfaktan. Intensitas dari
fluoresensi ini diinduksi dengan lampu polarisasi kemudian akan

7
diukur. Teknik ini cepat dan mudah dilakukan, akan tetapi biaya
yang diperlukan untuk melakukan tes ini cukup mahal.
V. Dipalmitoylphosphatidylcholin (DPPC tes)
Merupakan suatu tes dengan menggunakan pengukuran kadar
Dipalmitoylphosphatidylcholin dalam cairan amnion yang
mempunyai sensitifitas dan spesifitas 100% dan 96%, yaitu
digunakan untuk mendeteksi gawat nafas pada janin.
VI. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ketuban pecah dini
Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSw), terjadi sekitar
4,5-7,6% pada kehamilan. Jika terjadi sebelum kehamilan 37
minggu, dapat diindikasikan kemungkinan terjadi amnionitis, dan
hal ini meningkatkan mordibitas dan mortalitas ibu dan janin.
Dengan ditemukan protein yang terkandung dalam amnion,
termasuk prolaktin, alfa fetoprotein, fetal fibronectin, B-HCG, dan
IGFB-1 (Insulin-Like Growth Factor Mengikat Protein-I), tentu
mempermudah dalam mendiagnosis ketuban pecah sebelum
waktunya. Jenis protein yang cukup menjanjikan adalah IGFBP.
Untuk mendeteksinya, dengan menggunakan dipstick
immunokromatografi, dimana kadarnya pada cairan amnion 100-
1000 kali lebih tinggi daripada dalam serum, dan keberadaannya
dalam cairan vagina menunjukkan keberadaan cairan amnion, yang
merupakan pertanda pasti ketuban pecah sebelum waktunya
(KPSW).

D. Terapi
Infus Amnion
Transvagina infus amnion dilakukan pada tiga masalah klinik
yaitu:
 Pengobatan dari variabel atau deselarasi denyut jantung janin
yang memanjang.
 Profilaksis pada kasus kasus yang ditemukan
oligohidroamnion dengan dip pecah ketuban lama

8
 Untuk mendilusi atau membersihkan mekonium yang ringan.
Cara ini dilakukan dengan memberikan 500 sampai dengan
800 ml bolus normal salin yang biasa digunakan dengan
pemberian infus secara kontinu sebanyak 3 ml per jam

2.1.2. Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Sirkulasi
a) Tekanan darah menurun/hipotensi.
b) Jantung melambat pada respons terhadap curah jantung.
c) Bisa terjadi syok.
d) Gagal jantung kanan akut dan edema paru.
e) Sianosis.
2. Makanan cairan
a) Kehilangan darah normal akibat pendarahan.
b) Nyeri dan ketidaknyamanan,khususnya nyeri dada.
c) Gangguan pernapasan,takipnea.
3. Keamanan
a) Dapat mengalami pecah ketuban spontan tanpa berkontraksi.
b) Peningkatan suhu (infeksi pada adanya pecah ketuban lama).
c) Cairan amnion kehijauan karena ada mekonium.
d) Perluasan episiotomi atau laserasi jalan lahir.
e) Peningkatan tekanan intrauterus.
f) Merupakan penyebab utama kematian ibu intrapartum.
4. Genetalia
a) Darah berwarna hitam dari vagina
b) Peningkatan pendarahan vagina dan tempat yang mengalami
trauma pada saat melahirkan.

B. Diagnosa Keperawatan

9
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia,
penurunan aliran dari vena.
2) Resiko tinggi cedera pada ibu berhubungan dengan hipoksia
jaringan dan profil darah abnormal
3) Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi ancaman pada
diri sendiri janin transmisi interpersonal.

C. Intervensi Keperawatan
 DX 1
Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia,
penurunan aliran dari vena
Kriteria hasil:
- COP dalam batas normal
Intervensi
1) Pantau tekanan darah dan nadi.
Tekanan darah dan nadi dapat memberikan gambaran dan
penurunan curah jantung.
2) Kaji tekanan arteri rata-rata,kaji krekels,dan perhatikan frekuensi
pernapasan.
Edema paru dapat terjadi pada perubahan tahanan vascular perifer
dan penurunan pada tekanan ostomik koloid plasma.
3) Lakukan tirah baring pada ibu dengan posisi miring ke kiri.
Meningkatkan aliran balik vena curah jantung dan perfusi
ginjal/plasenta.
4) Periksa nyeri tekan betis,menurunya nadi
pedal,pembengkakan,kemerahan local,pucat,dan sianosis.
Menurunnya curah jantung,bendungan stasis vena,dan tirah
baring lama meningkatkan risiko tromboflebitis.

 DX 2

10
Resiko tinggi cedera pada ibu berhubungan dengan hipoksia jaringan
pendarahan dan profil darah abnormal
Kriteria hasil:
- Menunjukan profil darah dan pemeriksaan koagulasi normal.
- Mempertahankan pengeluaran urine.
Intervensi
1) Kaji jumlah darah yang hilang,pantau tanda dan gejala syok.
Pendarahan berlebihan dan menetap dapat mengancam hidup ibu
dan mengakibatkan infeksi post-partum,gagal ginjal,atau nekrosis
hipofisis yang di sebabkan oleh hipoksia jaringan dan malnutrisi.
2) Pantau respons yang merugikan pada pemberian produk darah
seperti alergi dan hemolisis.
Pengenalan dan intervensi dini dapat mencegah situasi yang
mengancam hidup.
3) Periksa petekie atau pendarahan gusi pada ibu
Menandakan perbedaan atau perubahan pada koagulasi.
4) Berikan O dengan ventilasi mekanis jika ibu tidak sadar. Untuk
mencukupi kebutuhan O ibu.
5) Berikan heparin bila diindikasikan.
Heparin dapat digunakan pada kasus kematian janin atau untuk
memblok siklus pembekuan.

 DX 3
Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasi ancaman pada diri
sendiri janin transmisi interpersonal.
Kriteria hasil:
- Menggunakan teknik pernapasan dan teknik relaksasi yang efektif.
- Berpartisipasi aktif dalamp proses melahirkan.
Intervensi
1) Berikan lingkungan tenang,poSisikan ibu untuk kenyamanan.
Menurunkan ketidaknyamanan,memfokus-kan perhatian ibu.

11
2) Anjurkan orang terdekat untuk tetap bersama ibu memberikan
dukungan dan membantu sesuai kebutuhan. Memungkinkan
partisipasi penuh dari orang pendukung,meningkatkan harga
diri,mem-pertahankan kedekatan keluarga,menurun-kan
ansiestas,dan memberikan bantuan professional.
3) Bantu keluarga untuk dapat mengerti tentang informasi mengenai
ibu,usahakan keluarga tetap tenang. Membantu mengurangi
kecemasan keluarga dan menolong keluarga mengurangi perasaan
sedihnya.
4) Berikan sedative sesuai anjuran. Dapat membantu memperlambat
kemajuan persalinan dan memungkinkan ibu meningkatkan
control

2.2 Malpresentasi dan Malposisi (Presentasi Bokong, Bahu, Muka, Dahi, dan
Posisi Oksipitalis Posterior Persisten)
2.2.1. Konsep Dasar
a. Presentasi Bokong (Sungsang)
Definisi
Presentasi janin terletak memanjang dengan daerah bokong atau kedua
kaki menjadi bagian terendah janin di bagian bawah kavum uteri, dan
daerah kepala di fundus urteri. Insidensi presentasi bokong yang menetap
sampai pelahiran hanya 4% untuk semua pelahiran, dan 20-25% pada bayi
baru lahir yang prematur (dengan usia kehamilan beragam; Dierker, 1994).
Penting untuk menunggu sampai setelah minggu ke-33 unntuk
menegakkan diagnosis presentasi bokong.

Klasifikasi
 Komplet. Daerah bokong janin menjadi bagian terendah dengan
kedua kaki dan tungkai menekuk pada paha dan kedua paha
menekuk pada abdomen

12
 Frank. Daerah bokong janin menjadi bagian terendah dengan
pinggang menekuk dan kedua kaki memanjang pada abdomen dan
dada, paling banyak terjadi.
 Inkomplet. Salah satu atau kedua kaki janin atau kedua lutut
memanjang ke bawah bokong, dikenal dengan prensentasi bokong
dengan satu atau kedua kaki (footling breech).
 Gabungan. Daerah bokong janin menjadi bagian terendah bersamaan
dengan bagian janin lainnya seperti bagian tangan, jarang terjadi.

Etiologi
Pada kasus presentasi bokong menetap, >50% kasus tidak dapat
diidentifikasi penyebabnya. Faktor predisposisi yang diketahui meliputi
anomali janin, anomali uterus, distensi uterus yang berlebihan, paritas
tinggi, dan obstruksi panggul karena plasenta previa, miomata, dan tumor
lain pada panggul (Cruikshank, 1994). Studi belum dapat menunjukkan
hubungan antara presentasi bokong dan penyempitan panggul
(Cunningham, et al., 1993).

Penatalaksanaan
Lakukan versi luar pada kehamilan 34-38 minggu bila syarat versi luar
terpenuhi. Bila pada persalinan masih letak sunsang, singkirkan indikasi
untuk seksio sesarea. Lahirkan janin dengan perasat Bracht. Bila bahu dan
kepala tidak dapat dilahirkan dengan perasat Bracht, lakukan manual aid
atau dibantu cunam.

Komplikasi
 Pada ibu: perdarahan, robekan jalan lahir
 Pada bayi: asfiksia janin (penyebabnya yaitu kemacetan persalinan
kepala, perdarahan atau edema jaringan otak, kerusakan medula
oblongata, kerusakan persendian tulang leher, kematian bayi karena
asfiksia berat); trauma persalinan (dislokasi-fraktur persendian, tulang
ekstremitas, tulang kepala, kerusakan pada jaringan otak, kerusakan

13
alat vital); infeksi (karena persalinan berlangsung lama, ketuban pecah
pada pembukaan kecil, manipulasi dengan pemeriksaan dalam)

Prognosis
Angka kematian bayi pada persalinan letak sunsang lebih tinggi
dibandingkan dengan letak kepala menurut Eastman sebesar 12-14%.

b. Presentasi Bahu (Lintang)


Definisi
Keadaan sumbu memanjang janin kira-kira tegak lurus dengan
sumbu memanjang tubuh ibu. Bila sumbu memanjang itu membentuk
sudut lancip, disebut letak lintang oblik, yang biasanya sementara karena
kemudian akan berubah menjadi posisi longitudinal pada persalinan. Pada
letak lintang, bahu berada di atas pintu atas panggul. Kepala berada di
salah satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain.
Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, bahu akan masuk ke
dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu dan
bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan
terjepit dalam rongga panggul.
Bila janin kecil, sudah mati, dan menjadi lembek, kadang-kadang
persalinan berlangsung spontan. Janin lahir dalam keadaan terlipat melalui
jalan lahir (konduplikasio korpore) atau lahir dengan evolusio spontanea
menurut cara Denman atau Douglas.

Etiologi
Relaksasi berlebih dinding abdomen akibat multiparitas, uterus abnormal
(uterus arkuatus atau subseptus), panggul sempit, tumor daerah panggul,
pendulum dari dinding abdomen, plasenta previa, insersi plasenta di
fundus, bayi prematur, hidramnion, kehamilan ganda.

14
Penatalaksanaan
Lakukan versi luar bila syarat versi luar terpenuhi. Ibu diharuskan
masuk rumah sakit lebih dini pada permulaan persalinan. Pada permulaan
persalinan masih dapat diusahakan untuk melakukan versi luar asalkan
pembukaan masih <4 cm dan ketuban belum pecah.
Pada primigravida, bila versi luar tidak berhasil, sehera lakukan
seksio sesarea. Pada multigravida, bila riwayat obstetri baik, tidak ada
kesempitan panggul, dan janin tidak seberapa besar, dapat ditunggu dan
diawasi sampai pembukaan serviks lengkap, kemudian dilakukan versi
ekstraksi.
Pada letak lintang kasep, bila janin masih hidup, sehera lakukan
seksio sesarea. Bila janin sudah mati, lahirkan perveginam dengan
dekapitasi.

Komplikasi
Cedera tali pusat, timbul sepsis setelah ketubah pecah, dan lengan
menumbung melalui vagina, kematian janin, ruptur uteri

Prognosis
Bila terjadi ruptur uteri spontan atau ruptur traumatik akibat versi dan
ekstraksi yang buruk/terlambat, dapat terjadi kematian. Bila diagnosis
berhasil ditegakkan secara dini dan penanganannya tepat, prognosis baik.

c. Presentasi Muka
Definisi
Jarang terjadi kira-kira 1/500 kelahiran. Kepala dan tulang belakang
ekstensi tetapi lutut fleksi sehingga letak fetus dalam uterus dalam bentuk
huruf S. Oksiput berlawanan dari bahu dan muka secara langsung yang
berada di bagian os. Internum.

15
Etiologi
Biasanya bersumber pada setiap faktor yang mendukung ekstensi atau
mencegah fleksi kepala. Ekstensi pada kepala leih sering terjadi bila pelvis
sempit atau janin sangat besar. Faktor lainnya adalah abdomen yang
menggantung pada wanita multipara; leher yang sangat membesar atau
lilitan tali pusat sekitar leher dapat menyebabkan ekstensi, dan karena
kesalahan pertumbuhan kranium.

d. Presentasi Dahi
Definisi
Diameter terbesar kepala janin, diameter oksipotomental, merupakan
bagian yang terlebih dahulu masuk pintu atas panggul. Janin tidak
mungkin dilahirkan selama presentasi dahi tidak berubah, kecuali ukuran
janin kecil, dan ukuran panggul ibu luas.

Etiologi
Sama dengan presentasi muka. Biasanya tidak stabil dan berubah menjadi
presentasi muka atau presentasi oksiput.

Penatalaksanaan
Pada janin kecil dan panggul luas, penanganan sama seperti presentasi
muka. Pada presentasi dahi dengan ukuran panggul dan janin yang normal,
tidak dapat dilakukan persalinan spontan pervaginam sehingga harus
dilakukan seksio sesarea. Maka, pasien dirujik ke rumah sakit. Bila
persalinan maju atau ada harapan presentasi dahi dapat berubah menjadi
presentasi belakang kepala atau muka, tidak perlu dilakukan tindakan. Bila
pada akhir kala I kepala belum masuk rongga panggul, presentasi dapat
diubah dengan perasat Thorn. Bila tidak berhasil, lakukan seksio sesarea.
Bila kala II tidak mengalami kemajuan, meskipun kepala sudah masuk
rongga panggul, lakukan pula seksio sesarea.

16
Prognosis
Ada jenis presentasi dahi yang terjadi sementara, prognosisnya tergantung
pada presentasi akhir. Bila tetap dalam presentasi dahi, prognosisi
kelahiran bagi normal pervaginam jelek, kecuali bila janin kecil atau jalan
lahirnya luas

e. Posisi Oksipitalis Posterior Persisten


Definisi
Keadaan di mana ubun-ubun janin tidak berputar ke depan, sehingga tetap
di belakang.

Etiologi
Salah satu penyebabnya, yaitu usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk
dan ukuran panggul (misalnya, apabila diameter anterior posterior lebih
panjang dari diameter transfersa seperti pada panggul antropoid atau
segmen depan menyempit seperti pada panggul android, maka ubun-ubun
janin akan mengalami kesulitan memutar ke depan. Penyebab lainnya
adalah otot-otot dasar panggul yang sudah elastis/lunak pada multipara
atau kepala janin yang kecil dan bulat, sehingga tidak ada paksaan pada
belakang kepala janin, untuk memutar ke depan.

Penatalaksanaan
Apabila pola denyut jantung janin berada pada ambang batas yang
tidak pasti selama memasuki kala II persalinan pada nulipara dengan posisi
oksiput posterior persisten, tata cara persalinan dipertimbangkan.
Kemungkinan terjadinya kala II yang memanjang dengan peningkatan
durasi tekanan ke kepala janin harus dipertimbangkan dalam pengmbilan
keputusan ini. Seksio sesarea memiliki risiko lebih kecil. Namun, tindakan
pembedahan yang terlalu agresif juga bukan merupakan intervensi yang
tepat. intervensi pembedahan terlalu di ni pada kasusu dengan bukti
kesejahteraan janin, terutama jika stasi masih tinggi, tampak
dikontraindikasikan. Putaran forseps pada perineum merupakan tindakn

17
yang tepat untuk mengurangi laserasi apabila tindakan ini dapat dilakukan
dengan mudah (Cunningham, et al., 1993) .
Ketika janin pada posisi ini, tanpa memperhatikan seberapa jauh
rotasi akhirnya terjadi, persalinan umumnya berlangsung lama, dan ibu
mengalami ketidaknyamanan pada area punggungnya akibat kepala janin
bergesekan dengan saktum ketika terjadi perputaran. Intervensi
keperawatan ditujukan untuk menghilangkan nyeri punggung. Tekanan
pada sakrum, menggosok punggung, dan melakukan perubhan posisi
miring karan-kiri dengan sering dapat sangat membantu. Intervensi
digunakan berdasarkan toleransi klien pada intervensi tersebut.

Prognosis
 Jalannya pada proses persalinan posisi oksipul posterior sulit
diramalkan, hal ini disebabkan karena kemungkinan timbulnya
kesulitan selalu ada
 Persalinan pada umumnya berlangsung lebih lama, kemungkinan
kerusakan jalan lahir lebih besar
 Sedangkan kematian perinatal lebih tinggi bila dibandingkan dengan
keadaan di mana ubun-ubun janin berada di depan

2.2.2. Asuhan Keperawatan


I. Pengkajian
a. Palpasi Obstetrik
Menggunakan 4 langkah yang dianjurkan oleh Leopold dan Sporlin
(1894).
b. Pemeriksaan Dalam (Vaginal Examination)
Sebelum persalinan, diagnosa presentasi dan posisi janin dengan
pemeriksaan dalam belum bisa diambil hasilnya, karena bagian
terendah janin terpaksa diraba pada seviks yang masih tertutup dan
segmen bawah rahim. Tetapi, pada waktu persalinan, setelah terladi
dilatasi serviks, dapat diperoleh informasi. Pada presentasi vertex,
posisi dan variasinya dapat diketahui dengan membedakan

18
berbagai suturae dan fontanellae, pada presentasi muka, dengan
membedakan bagian-bagian dari muka; dan pada presentasi
sungsang, dengan palpasi sakrum dan tuberositas ossis ishii.
c. Auskultasi
Jika hanya dengan auskultasi saja tidak dapat diperoleh informasi
yang pasti, maka kadang-kadang informasi diperkuat dengan
palpasi. Biasanya suara jantung janin disalurkan melalui bagian
cembung (convex) janin yang berdekatan dengan dinding uterus.
Karena iru, suara jantung janin pada presentasi vertex dan
sungsang paling jelas didengar pada punggung dan presentasi
muka pada dada janin. Daerah abdomen yang suara jatung janin
paling jelas terdengar bervariasi, dan sejauh mana bagian terendah
telah turun.
d. Sonografi
Sebagai alat pembantu diagnostik lain pada kasus yang meragukan.
Pada wanita gemuk atau pada wanita yang dinding perutnya kaku,
pemeriksaan ini memberikan informasi untuk memecahkan
berbagai masalah diagnostik dan mengarah pada pengenalan dini
suatu presentasi sungsang atau bahu yang mungkin luput dari
pengamatan sampai persalinan lanjut. Dengan menggunakan USG,
kepala dan tubuh janin dapat ditentukan letaknya tanpa adanya
bahaya potensial radiasi. Tetapi, terkadang informasi yang
diperoleh dari rontgenografi jauh lebih besar dari resiko minimal
yang dapat terjadi dari sekali penggunaan sinar-X untuk diagnosa.

II. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


 Gangguan rasas nyaman (nyeri) b.d. kerusakan jaringan otot dan
sistem saraf d.d. keluhan nyeri, ekspresi wajah menyeringai
Intervensi:
1. Kaji tingkat rasa tidak nyaman sesuai dengan tingkatan
nyeri

19
2. Beri posisi fowler atau posisi datar atau miring ke salah
satu sisi
3. Ajarkan teknik relaksasi seperti relaksasi napas dalam,
bimbing untuk membayangkan sesuatu
4. Kaji TTV (takikardi, hipertensi, pernapasan cepat)
5. Motivasi klien untuk mobilisasi dini setelah pembedahan
bila sudah diperbolehkan
6. Laksanakan pengobatan sesuai indikasi seperti analgesik
intravena
7. Observasi efek analgetik (narkotik)
8. Observasi tanda vita: nadi, tekanan darah, pernapasan

 Gangguan eliminasi miksi (retensi urine) b.d. trauma mekanik,


manipulasi pembedahan, adanya edema pada jaringan sekitar dan
hematom, kelemahan pada saraf sensorik dan motorik
Intervensi:
1. Catat pola miksi dan monitor pengeluaran urine
2. Lakukan palpasi pada kandung kemih, observasi adanya
ketidaknyamanan dan rasa nyeri
3. Lakukan tindakan agar klien dapat miksi dengan pemberian
air hangat, mengatur posisi, mengalirkan air keran
4. Jika memakai kateter, perhatikan apakah posisi selang
kateter dalam keadaan baik, monitor intake output,
bersihkan daerah pemasangan kateter 1x/hari, periksa
keadaan selang kateter (kekakuan, tertekuk)
5. Perhatikan kateter urine: warna, kejernihan, dan bau
6. Kolaborasi dalam pemberian cairan dan obat untuk
melancarkan urine
7. Ukur dan catat urine yang keluar dan volume residual urine
750cc perlu pemasangan kateter tetap sampai tonus otot
kandung kemih kuat kembali

20
 Kurang pengetahuan tentang efek pembedahan dan perawatan
selanjutnya b.d. salah dalam menafsirkan informasi dan sumber
informasi yang kurang benar
Intervensi:
1. Jelaskan bahwa tindakan seksio sesarea mempunyai
kontraindikasi yang sedikit, tapi membutuhkan waktu yang
lama untuk pulih, menggunakan anastesi yang banyak dan
memberikan rasa nyeri yang sangat setelah operasi
2. Jelaskan dan ajarkan cara perawatan luka bekas operasi
yang tepat
3. Motivasi klien melakukan aktivitas sesuai kemampuan
4. Jelaskan aktivitas yang tidak boleh dilakukan

III. Evaluasi Keperawatan


 Klien dan janin bebas dari tanda-tanda distress atau komplikasi
 Klien menunjukkan pemahaman tentang metode pelahiran yang
dipilih
 Klien melahirkan bayi yang sehat
 Klien memperlihatkan berkurangnya kecemasan dan ketakutan
seperti yang ditunjukkan dengan ekspresi wajahnya dan perbaikan
relaksasi
 Klien memperlihatkan strategi koping yang positif

2.3 Lilitan Tali Pusat


2.3.1 Definisi
Lilitan tali pusat adalah tali pusat yang dapat membentuk lilitan
sekitar badan, bahu, tungkai atas/ bawah dan leher pada bayi. Keadaan ini
dijumpai pada ait ketuban yang berlebihan, tali pusat yang panjang, dan
bayinya yang kecil.
Tali pusat atau Umbilical cord  adalah  saluran kehidupan bagi janin
selama  dalam kandungan, dikatakan saluran kehidupan karena saluran
inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat – zat gizi dan oksigen

21
janin. (Sarwono, 2008). Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini sudah tak
diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau dijepit. (Sarwono,
2008). 
Tali pusat sangatlah penting. Janin bebas bergerak dalam cairan
amnion, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan
baik. Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang
besar kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Tali pusat dapat
membentuk lilitan sekitar badan, bahu, tungkai atas / bawah, leher.
Keadaan ini dijumpai pada air ketuban yang berlebihan, tali pusat yang
panjang, dan bayinya yang kecil.
Sebenarnya lilitan tali pusat tidaklah terlalu membahayakan namun,
menjadi bahaya ketika memasuki proses persalinan dan terjadi kontraksi
rahim dan kepala janin turun memasuki saluran persalinan. Lilitan tali
pusat bisa menjadi semakin erat dan menyebabkan penurunan utero-
placenter, juga menyebabkan penekanan / kompresi pada pembuluh-
pembuluh darah tali pusat. Akibatnya suplai darah yang mengandung
oksigen dan zat makanan ke bayi menjadi hipoksia.

2.3.2 Etiologi
Pada usia kehamilan sebelum 8 bulan umumnya kehamilan janin
belum memasuki bagian atas panggul. Pada saat itu ukuran bayi relative
kecil dan jumlah air ketuban berlebihan ( polihidramnion) kemungkinan
bayi terlilit tali pusat.
Tali   pusat yang panjang menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali
pusat bayi rata-rata 50 – 60 cm, namun tiap bayi mempunyai tali pusat
bebeda-beda. Dikatakan panjang jika melebihi 100 cm dan dikatakan
pendek jika kurang dari 30 cm.
Puntiran tali pusat secara berulang-ulang kesatu arah. Biasanya
terjadi pada trimester pertama dan kedua. Ini mengakibatkan arus darah
dari ibu ke janin melalui tali pusat terhambat total. Karena dalam usia
kehamilan umumnya bayi bergerak bebas.

22
Lilitan tali pusat pada bayi terlalu erat sampai dua atau tiga lilitan,
hal tersebut menyebabkan kompresi tali pusat sehingga janin mengalami
hipoksia / kekurangan oksigen.

2.3.3 Tanda dan gejala


a. Pada bayi dengan umur kehamilan dari 34 minggu namun bagian
terendah janin (kepala/bokong) belum memasuki bagian atas rongga
panggul.
b. Pada janin letak sungsang/lintang yang menetap meskipun telah
dilakukan usaha memutar janin (versi luar/ knee chest position) perlu
dicurigai pada adanya lilitan tali pusat.
c. Tanda penurunan DJJ dibawah normal, terutama pada saat kontraksi.

2.3.4 Patofisiologi
Kesulitan yang mungkin terjadi berkaitan dengan tali pusat dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Tali pusat pendek, artinya kurang dari 40 cm.
b. Gerak janin terbatas sehingga ada kemungkinan tumbuh
kembangnya terganggu.
c. Tarikan yang keras pada tali pusat pendek dapat menimbulkan
solusio plasenta.
d. Tali pusat yang pendek dapat terjadi karena:
a) Absolute pendek kurang dari 40 cm.
b) Terjadi karena lilitan tali pusat khususnya pada leher janin.
e. Tarikan tali pusat pendek karena lilitan tali pusat pada leher dapat
menimbulkan gangguan aliran nutrisi dengan akibat fetal distress.
f. Turunnya kepala janin ke PAP, dapat pula menimbulkan fetal
distress, karena lilitannya makin erat, sampai meninggal jika
tindakan terlambat.
g. Saat inpartu, tali pusat pendek dapat menimbulkan komplikasi:

23
h. Bagian terendah tidak dapat/sulit masuk pintu atas panggul, jalan
lahir sehingga tetap di atas simfisis.
i. Tarikan tali pusat pendek dapat menimbulkan inversion uteri dengan
segala komplikasinya.
a) Tali pusat panjang.
b) Karena tali pusat terlalu panjang dapat terjadi lilitan beberapa
kali di leher.
c) Aktivitas janin yang banyak dapat menimbulkan simpul tali
pusat sehingga apabila terjadi tarikan, maka simpul dapat
menyebabkan aliran nutrisi dan O2 berkurang dan
mengakibatkan fetal distress sampai janin meninggal intrauteri.
d) Pada janin hamil ganda monoatomik, tali pusatnya saling
berlilitan sehingga menimbulkan fetal distress dan kematian
intrauteri.
e) Tali pusat satu janin dapat saja melilit pada janin lainnya dengan
akibat yang sama (Manuaba, 2007; h.506-507).

24
Usia Kehamilan ≤ 8
bulan

Janin masuk atas


panggul

Aliran nutrisi
terganggu
Bayi kecil Air ketuban berlebih

Fetal distres

Tali pusar panjang


Perfusi O2
↓ Ke
Ansietas sc Tali pusar terlilit
jaringan

Insisi abdomen Tali pusar terpuntir


PO2 darah &

PCO2
Jalan masuk Arus darah ke ibu
organisme janin terhambat

Hipoventilasi
Resiko
Resiko gangguan
infeksi
hubungan ibu janin
Asfiksia
Sumber : (Manuaba, 2007; h.506-507).

2.3.5 Komplikasi
Kesulitan yang mungkin terjadi berkaitan dengan tali pusat dapat
dijabarkan menurut Manuaba (2007) sebagai berikut:
a. Tali pusat pendek, artinya kurang dari 40 cm.
1.Gerak janin terbatas sehingga ada kemungkinan tumbuh-
kembangnya terganggu.
2.Tarikan yang keras pada tali pusat pendek dapat menimbulkan
solusio plasenta.
3.Tali pusat yang pendek dapat terjadi karena:
 Absolut pendek kurang dari 40 cm.

25
 Terjadi karena lilitan tali pusat khususnya pada leher
janin.
4.Tarikan tali pusat pendek karena lilitan tali pusat pada leher
dapat menimbulkan gangguan aliran nutrisi dengan akibat fetal
distres.
5.Turunnya kepala janin ke PAP, dapat pula menimbulkan fetal
distres, karena lilitannya makin erat, sampai meninggal jika
tindakan terlambat.
6.Saat inpartu, tali pusat pendek dapat menimbulkan komplikasi:
 Bagian terendah tidak dapat-sulit masuk pintu atas
panggul, jalan lahir sehingga tetap di atas simfisis.
 Tarikan tali pusat pendek dapat menimbulkan inversio
uterus dengan segala komplikasinya.
b. Tali pusat yang panjang
1.Karena tali pusat terlalu panjang dapat terjadi lilitan beberapa
kali di leher.
2.Aktivitas janin yang banyak dapat menimbulkan simpultali
pusat sehingga apabila terjadi tarikan, maka simpul dapat
menyebabkan aliran nutrisi dan O2 berkurang dan
mengakibatkan fetal distres sampai janin meninggal intrauteri.
3.Pada janin hamil ganda monoamniotik, tali pusatnya dapat
saling berlilitan sehingga menimbulkan fetal distres dan
kematian intrauteri.
4.Tali pusat satu janin dapat saja melilit pada janin lainnya dengan
akibat yang sama.

2.3.6 Penanganan medis


a. Melalui pemeriksaan teratur dengan bantuan USG untuk melihat
apakah ada gambaran tali pusat disekitar leher. Namun tidak dapat
dipastikan sepenuhnya bahwa tali pusat tersebut melilit leher
janin/tidak. Apalagi untuk erat/tidaknya lilitan. Namun dengan USG
berwarna (Coller Doppen) atau USG tiga dimensi dan dapat lebih

26
memastikan tali pusat tersebut melilit/tidak dileher atau sekitar tubuh
yang lain pada janin, serta menilai erat tidaknya lilitan tersebut.
b. Memberikan oksigen pada ibu dalam posisi miring. Namun, bila
persalinan masih akan berlangsung lama dengan DJJ semakin lambat
(bradikardia), persalinan harus segera diakhiri dengan operasi
Caesar.
c. Jika tali pusat melilit longgar di leher bayi, melepaskan melewati
kepala bayi namun jika tali pusat melilit erat dileher dengan menjepit
tali pusat dengan klem di dua tempat, kemudian memotong
diantaranya, kemudian melahirkan bayi dengan segera. Dalam situasi
terpaksa bidan dapat melakukan pemotongan tali pusat pada waktu
pertolongan persalinan bayi.

2.4 Ketuban Pecah Dini


2.4.1 Konsep Dasar
A. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda - tanda persalinan dan setelah ditunggu satu jam
belum dimulainya tandapersalinan. Waktu sejak pecahnya ketuban
sampai terjadi kontraksi rahim disebut Kejadian ketuabn pecah dini
(Manuaba, 2010: 229).
Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya kantong ketuban
sebelum persalinan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan
maupun pertengahan kehamilan jauh sebelum waktu melahirkan.
KPD preterm yaitu KPD terjadi sebelum kehamilan 37 minggu ,
KPD yang memanjang yaitu KPD yang terjadi lebih dari 12 sebelum
waktu melahirkan (Sarwono, 2012: 677).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa KPD
adalah pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda persalinan.
Ketuban pecah dini yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu
disebut KPD preterm sedangkan ketuban pecah dini yang terjadi
setelah usia kehamilan 37 minggu disebut KPD aterm.

27
B. Etiologi
Dari beberapa laporan menyebutkan fakor-faktor yang
berhubungan dengan penyebeb KPD adalah :
a. Infeksi
Ada 2 penyebeb dari infeksi yaitu :
1) Infeksi genetalia
Dari berbagai macam infeksi yang terjadi selama kehamilan
disebabkan oleh candida candidiasis vaginalis, bakterial
vaginosis dan trikomonas yang bisa menyebebkan
kekuarangnya kekuatan membran selaput ketuban sehigga
akan terjadi ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2010)
2) Infeksi (amnionitis / koreoamnitis)
Koreoamnitis adalah keadaan dimana koreon amnion dan
cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Amnionitis sering
disebebkan group bakteri streptococus microorganisme, selain
itu bakteroide fragilis, laktobacilli dan stapilococus epidermis
adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan pada cairan
ketuban. Bakteri tersebut melepaskan mediator inflamasi yang
menyebebkan kontraksi uterus. Hal ini akan menyebabkan
pembukaan sercix dan pecahnya selaput ketuban (Sualman,
2009)

b. Servik yang tidak mengalami kontraksi ( Inkompetensia )


Inkompetensi servik dapat menyebabkan kehilangan kehamilan
pada termester kedua. Kelainan ini berhubungan dengan
kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis.
Bisa juga karena kasus bedah servik pada konisasi, produksi
eksisi elektrosurgical, dilatasi berlebihan servik pada terminasi
kehamilan atau bekas laserasi (Sarwono, 2012).

28
c. Trauma
Trauma yang disebabkan misalnya hubungan sesual saat hamil
baik dari frekwensi yang lebih 3 kali seminggu, posisi koitus
yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang terlalu dalam
sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini
(Sualman, 2009).

d. Faktor Paritas
Faktor Paritas seperti primipara dan multipara. Primipara yaitu
wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik
mampu bertahan hidup. Pada primipara berkaitan dengan kodisi
psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis
seperti emosi dan termasuk kecemasan pada kehamilan.

e. Riwayat ketuban pecah dini


Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali
mengalami ketuban pecah dini kembali. Hal ini karena akibat
adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane
sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan pada
preterm terutama pada pasien yang beresiko tinggi karena
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen
yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya. (Sarwono,
2012)

f. Tekanan intra uteri yang meningkat secara berlebihan


Misalnya pada hidramnion dan gemelli atau bayi besar
(Cuningham,2006).

g. Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun ( primi tua)
Pada ibu hamil dengan usia yang terlalu muda keadaan uterus
kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan untuk
mengalami ketuban pecah dini dan pada ibu hamil dengan usia

29
lebih 35 tahun tergolong usia terlalu tua untuk melahirkan
( primitua) sehingga beresiko tinggi untuk terjadi ketuban pecah
dini (Sarwono, 2009).

C. Patofisiologi
Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan ketuban pecah dini
dengan menginduksi kontraksi uterus dan atau kelemahan fokal kulit
ketuban . Banyak mikroorganisme servikovaginal, menghasilkan
fosfolipid C yang dapat meningkatkan konsentrasi secara local asam
arakidonat, dan lebih lanjut menyebabkan pelepasan PGE2 dan
PGF2 alfa dan selanjutnya menyebabkan kontraksi miometrium .
Pada infeksi juga dihasilkan produk sekresi akibat aktivitas
monosit/makrofag , yaitu sitokrin, interleukin 1 , factor nekrosis
tumor dan interleukin 6. Platelet activating factor yang diproduksi
oleh paru-paru janin dan ginjal janinyang ditemukan dalam cairan
amnion , secara sinergis juga mengaktifasi pembentukan sitokin.
Endotoksin yang masuk kedalam cairan amnion juga akan
merangsang sel-sel disidua untuk memproduksi sitokin dan
kemudian prostaglandin yang menyebabkan dimulainya persalinan.
Adanya kelemahan local atau perubahan kulit ketuban adalah
mekanisme lain terjadinya ketuban pecah dini akibat infeksi dan
inflamasi . Enzim bacterial dan atau produk host yang disekresikan
sebagai respon untuk infeksi dapat menyebabkan kelemahan dan
rupture kulit ketuban . Banyak flora servikoginal komensal dan
patogenik mempunyai kemampuan memproduksi protease dan
kolagenase yang menurunkan kekuatan tenaga kulit ketuban.
Elastase leukosit polimorfonuklear secara spesifik dapat memecah
kolagen tipe III papa manusia, membuktikan bahwa infiltrasi
leukosit pada kulit ketuban yang terjadi karena kolonisasi bakteri
atau infeksi dapat menyebabkan pengurangan kolagen tipe III dan
menyebabkan ketuban pecah dini.

30
D. Mekanisme terjadinya Ketuban Pecah Dini
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion terdiri atas
amnion dan korion yang sangat erat ikatannya. Lapisan ini terdiri
atas sel epitel, sel mesenkrim, dan sel trofoblas yang terkait dalam
matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air
ketuban serta melindungi janin terhadap infeksi. Ketuban pecah pada
ibu hamil disebabkan oleh adanya kontraksi uterus dan peregangan
yang berulang.Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu
terjadi perubahan biokimia, yang menyebabkan selaputketuban
inferior rapuh. Selaput ketuban pada kehamilan muda sangat kuat,
pada trimester 3 selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya
kekuatan selaput ada hubungannya dengan pembesaran
uterus,kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pecahnya ketuban pada
kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada
kehamilan prematur disebabkan oleh faktor-faktor eksternal,
misalnya infeksi yang menjalar kevagina (Sarwono, 2012: 679).
Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi karena pembukaan
prematur servik dan membran terkait dengan pembukaan terjadi
devolarisasi dan nekrosis serta dapat di ikuti pecah spontan jaringan
ikat yang menyangga membran ketuban, dipercepat dengan infeksi
yang mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase. Masa
interval sejak ketuban pecah dini sampai terjadi kontraksi disebut
fase laten (Manuaba,2010: 119).

E. Komplikasi
Menurut Varney (2010) komplikasi akibat ketuban pecah dini
adalah:
a. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera timbul persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm
90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah, sedangkan pada

31
kehamilan 28-34 minggu 50% persalinan terjadi dalam 24 jam. Pada
kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.

b. Infeksi
Resiko infeksi meningkat pada ibu dan janin , pada ibu terjadi
korioamnionitis, pada bayi terjadi septikemia, pneumonia, dan pada
umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada
ketuban pecah dini prematur infeksi lebih sering dari pada
aterm.Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah
dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.

c. Hipoksia dan asfiksia


Dengan pecahnya ketuban akan terjadi oligohidramnion yang
menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat
hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidroamnion, semakin sedikit air ketuban , janin semakin gawat

d. Sindrom deformitas janin


Bila ketuban pecah terlalu dini maka akan menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat. Komplikasi yang sering terjadi pada
ketuban pecah dini sebelum kehamilan 37 minggu adalah sindrom
distres pernafasan, ini terjadi pada 10-40% bayi baru lahir.resiko
infeksi akan meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, semua ibu
hamil dengan ketuban pecah dini prematur sebaiknya dievaluasi
untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis. Selain itu kejadian
prolaps atau keluarnya tali pusat bisa terjadi pada ketuban pecah
dini. Resiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban
pecah dini preterm, kejadiannya hampir 100%, apabila ketuban
pecah dini preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang 23
minggu.

32
F. Penatalaksanaan
Menurut Sarwono (2010)
a. Penatalaksanaan konservatif
- Beri antibiotik bila ketuban pecah > 6 jam berupa ampisillin 4x
500 mg atau gentamisin 1x80 mg.
- Umur kehamilan < 32 – 34 minggu dirawat selama air ketuban
masih keluar sampai air ketuban tidak keluar lagi.
- Berikan steroid 2x6 mg selama 2 hari untuk kematangan paru
janin.

b. Penatalaksanaan aktif
Kehamilan > 37 minggu dilakukan:
- Induksi oksitosin, jika gagal dilakukan seksio sesarea
- Berikan misoprosol 50 mg intra vagina tiap 6 jam, maksimal 4
kali pemberian , jika gagal

G. Penatalaksanaan medis
- Cara induksi yaitu 5 ui ositosin dalam dektrose 5% dimulai 4
tetes / menit, tiap ¼ jam dinaikan 4 tetes sampai maksimum 40
tetes/menit. Pada keadaan CPD, letak lintang harus dilakukan
seksio sesarea. Bila ada tanda – tanda infeksi beri antibiotik
dosis tinggi dan persalinan diakhiri (sarwono,2010).
1. Dirawat di Rumah Sakit
2. Jika ada nyeri perdarahan dan nyeri perut pikirkan
solusio plasenta
3. Jika ada tanda-tanda infeksi (demam. Cairan vagina
berbau) berikan antibiotic seperi pada amnionitis
4. Jika tdak ada tanda-tanda infeksi dan kehamilan
<37 minggu :
a)   Berikan antibiotic untuk mengurangi morbiditas ibu
dan janin.

33
b)   Berikan kortikosteroid untuk memperbaiki
kematangan paru janin.
c)    Lakukan persalinan pada  kehamilan 37 minggu
d)   Jika terdapat his dan lendir darah kemungkinn terjadi
persalinan preterm (Miranie , Hanifah, dan Desy
Kurniawati. 2009)

H. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ketuban pecah dini tidak sulit ditegakkan dengan
keterangan terjadi pengeluaran cairan mendadak disertai bau yang
khas. Selain keterangan yang disampaikan pasien dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan yang menetapkan bahwa cairan yang keluar
adalah air ketuban, diantaranya tes ferning dan nitrazine tes.
Langkah pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah
dini dapat dilakukan:
1. Pemeriksaan spekulum, untuk mengambil sampel cairan
ketuban di froniks posterior dan mengambil sampel
cairan untuk kultur dan pemeriksaan bakteriologis.
2. Melakukan pemeriksaan dalam dengan hati-hati,
sehingga tidak banyak manipulasi daerah pelvis untuk
mengurangi kemungkinan kemungkinan infeksi asenden
dan persalinan prematuritas. (Manuaba, 1998) Menurut
Nugroho (2010), pemeriksaan penunjang ketuban pecah
dini dapat dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
(USG):

2.4.2 Asuhan keperawatan


A. PENGKAJIAN
Dokumentasi pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang
dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat
data dasar  tentang klien dan membuat catatan tentang respon
kesehatan klien ( A.Aziz Alimul h, 2000 )

34
1. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku
bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal
masuk rumah sakit nomor register  , dan diagnosa
keperawatan.
1. Keluhan utama
2. Riwayat kesehatan
– riwayat kesehatan dahulu
penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung,
hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau
abortus.
- Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatkan cairan
ketuban yang keluar pervaginan secara sepontan kemudian
tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
- Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti
jantung, DM, HT, TBC, penyakit kelamin, abortus, yang
mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada klien
( Depkes RI, 1993:66)
- Riwayat psikososial
Riwayat klien nifas  biasanya cemas bagaimana cara
merawat bayinya, berat badan yang semakin meningkat
dan membuat harga diri rendah.
3. Pola-pola fungsi kesehatan
- pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban
pecah dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan
perawatan serta kurangnya mrnjaga kebersihan tubuhnya
akan menimbulkan masalah dalam perawatan dirinya
- Pola Nutrisi dan Metabolisme

35
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu
makan karena dari keinginan untuk menyusui bayinya.
- Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas
seperti biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak
membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah, pada klien nifas
didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami
kelemahan dan nyeri. 
- Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan
sering /susah kencing selama masa nifas yang ditimbulkan
karena terjadinya odema dari trigono, yang menimbulkan
inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi
karena penderita takut untuk melakukan BAB.
- Pola istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan
tidur karena adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis
setelah persalinan
- Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien
dengan keluarga dan orang lain.
- Pola penagulangan sters
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
- Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat
luka janhitan dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada
pola kognitif klien nifas primipara terjadi kurangnya
pengetahuan merawat bayinya
- Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan
kehamilanya, lebih-lebih menjelang persalinan dampak

36
psikologis klien terjadi  perubahan konsep diri antara lain
dan body image dan ideal diri
- Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan
seksual atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena
adanya proses persalinan dan nifas ( Sharon J. Reeder,
1997:285)
- Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pada saat menjelang persalinan dan sesudah
persalinan klien akan terganggu dalam hal ibadahnya
karena harus bedres total setelah  partus sehingga aktifitas
klien dibantu oleh keluarganya.
4. Pemeriksaan fisik
- kepala
bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-
kadang terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah
ada benjolan
- Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar
tioroid, karena adanya proses menerang yang salah
- Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata,
konjungtiva, dan kadang-kadang keadaan selaput mata
pucat (anemia) karena proses persalinan yang mengalami
perdarahan, sklera kunuing
- Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana
kebersihanya, adakah cairan yang keluar dari telinga.
- Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum
kadang-kadang ditemukan pernapasan cuping hidung
- Dada

37
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper
pigmentasi areola mamae dan papila mamae
- Genitaliua
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban,
bila terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang
dibentuk anak dalam kandungan menandakan adanya
kelainan letak anak.( cristina ibrahim, 1993: 50)
- Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus
karena ruptur
- Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan
karena membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau
karena penyakit jantung atau ginjal.
- Muskulis skeletal
Pada klien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak
karena adanya luka episiotomi
- Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah
turun, nadi cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.

B. Diagnosa keperawatan
a. Risiko infeksi berhubungan dengan keluhan pecah dini
b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan ketegangan
otot rahim

C. Intervensi
a. Risiko infeksi berhubungan dengan ketuban pecah dini
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selm 3 x 24 jam
diharapkan pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi dengan
kriteria :

38
- Tanda infeksi tidak ada
- Tidak ada lagi cairan ketuban yang keluar dari pervaginam
- DJJ normal
- Leokosit kembzli normal
- Suhu tubuh normal
Intervensi :
1. Kaji tanda – tanda infeksi
2. Pantau keadaan umum pasien
3. Bina hubungan saling percaya melalui komunikasi terapeutik
4. Berikan lingkungan yang nyaman untuk pasien
5. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat antiseptik
sesuai terapi
Rasional :
1. Untuk mengetahui tanda – tanda infeksi yang muncul
2. Untuk melihat perkembangan kesehatan pasien
3. Untuk memudahkan perawat melakukan tindakan
4. Agar istirahat pasien terpenuhi
5. Untuk proses penyembuhan pasien

b. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan ketegangan


otot rahim
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selm 3 x 24 jam
diharapkan pasien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi dengan
kriteria :
1. Tanda – tanda vital dalam batas normal
2. Pasien tampak tenang dan rileks
3. Pasien mengatakan nyeri pada perut berkurang
Intervensi :
1. Kali tanda – tanda vital pasien
2. Kaji skala nyeri (1 -10 )
3. Ajarkan pasien teknik relaksasi

39
4. Atur posisi pasien
5. Berikan lingkungan yanga nyaman dan batasi pengunjung

Rasional :
1. Untuk mengetahui keadaan umum pasien
2. Untuk mengetahui derajat nyeri pasien dan menentukan
tindakan yang akan dilakukan
3. Untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien
4. Untuk memberikan rasa nyaman
5. Untuk mengurangi tingkat stress pasien dan pasien dapat
beristirahat

D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan baian dari proses
keperwatan. tujuan implemntasi dalah mengatasi masalah ynag
terjadi pada manusia. Setelah rencana keperawatan disusun, maka
rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk mencapai
tujuan yang diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan
baik dan sesuai dengan waktu ynag itentukan. Implemntasi ini juga
dilakukan oleh perawat dan harus menjunjung tinggi harkat dan
martabat sebagai manusia yang unik (hidayat,2002)

E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan.
Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi
yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil
yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap
perencanaan(Hidayat, 2002). Menurut Rohman dan Walid (2009),
evaluasi keperawatan ada 2 yaitu:
1. Evaluasi proses (formatif) yaitu valuasi yang dilakukan setiap
selesai tindakan. Berorientasi pada etiologi dan dilakukan

40
secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan
tercapai.
2. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah
akhir tindakan keperawatan secara paripurna. Berorientasi
pada masalah keperawatan dan menjelaskan keberhasilan atau
ketidakberhasilan. Rekapitulasi dan kesimpulan status
kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang
ditetapkan.

41
BAB III
ANALISIS JURNAL

Pengertian
Pesalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang
terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan
presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik
pada ibu maupun pada janin (Prawirohardjo, 2001).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat
hidup dari uterus melalui vagina ke dunia luar (Wikjiosastro, 2002). Sementara
menurut Irene dan Margaret (2002) persalinan adalah proses bergeraknya janin,
plasenta dan membrane keluar dari uterus yang tidak disadari yang
menghasilkan affacement dan dilatasicerviks  yang menghasilkan persalinan.
Persalinan patologis disebut juga dengan dystocia berasal dari
bahasaYunani. Dys atau dus artinya jelek atau buruk, tocos artinya persalinan.
Persalinan patologis adalah persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi ibu
dan anak. (Departemen of Gynekologi, 1999). Sementara persalinan normal
menurut WHO adalah persalinan yang dimulai secara spontan, beresiko rendah
pada awal persalinan dan tetap selama proses persalinan. Bayi dilahirkan secara
spontan dalam persentase belakang kepala usia kehamilan 37 minggu sampai 42
minggu, setelah persalinan ibu dan bayi dalam kondisi sehat. (Depkes, 2002).

Faktor – faktor yang mempengaruhi persalinan patologis


1) Power
Power adalah kekuatan oleh adanya His atau Kontraksi rahim.
Kontraksi rahim terjadi sejak awal persalinan yaitu pada kala I. His yang tidak
adekuat dapat mengakibatkan persalinan patologis pada setiap kala persalinan.
Pada awal kala I his masih jarang yaitu satu kali dalam 15 menit dan kekuatan
20 detik, semakin lama makin cepat, yaitu 3 kali dalam 10 menit dengan
kekuatan 60 detik, yang memerlukan waktu sekitar 8 sampai 12 jam pada
primi para dan 12 jam pada multi para. Bila kontraksi rahim tidak adekuat,
dapat mengakibatkan serviks sebagai jalan lahir tidak terbuka. Oleh karena itu

42
untuk merangsang kontraksi rahim dilakukan induksi persalinan dengan
menggunakan sintosinon drip. Apabila kemajuan persalinan juga tidak ada
maka biasanya dilakukan tindakan bedah yaitu dengan seksio sesaria
(Prawirohardjo, 2005).

2) Passage ( jalan lahir)


Waktu persalinan anak akan melewati jalan lahir, yang terdiri dari
tulang dan otot. Tulang panggul terdiri dari tiga bidang, yaitu pintu bawah
panggul. Selain itu otot-otot vagina dan perineum apabila kaku dapat
menghalangi lahirnya anak. Bila salah salah satu ukuran panggul tersebut tidak
normal, janin tidak dapat melewati jalan lahir sehingga harus dilahirkan dengan
seksio sesaria, vakum ekstraksi.

3) Passenger (anak)
Berat anak yang normal adalah 2500 sampai 4000 gram. Apabila
ukuran anak melebihi 4000 gram anak tidak bisa melewati jalan lahir. Untuk
mencegah macet persalinan dan robekan jalan lahir yang luas dan aspeksia
pada janin biasanya dilakukan persalinan dengan tindakan seksio sesaria.

4) Posisi Ibu
Posisi ibu mempengaruhi anatomi dan fisiologi penyesuaian untuk
kelahiran. Posisi yang benar memberi keuntungan . perubahan posisi sering
menghilangkan letih, penambahan kenyamanan dan memperbaiki sirkulasi.
Posisi yang benar termasuk jongkok, berdiri jalan. Dalam posisi yang benar
dapat membantu penurunan janin, kontraksi uterus umumnya lebih kuat dan
kuat dan juga efisien untuk dilatasi servik, menghasilkan persalinan yang lebih
pendek, cepat. Dalam penambahan posisi benar, mengambil posisi yang benar
menurunkan timbulnya tekanan tali umbilicalis.

43
Peran Karakteristik Ibu dalam Persalinan Patologis
1) Umur
Pada umur ibu kurang dari 20 tahun rahim dan panggul belum tumbuh
mencapai ukuran dewasa. Akibanya apabila ibu hamil pada umur ini mungkin
mengalami persalinan lama atau macet, karena ukuran kepala bayi lebih besar
sehingga tidak dapat melewati panggul. Sedangkan pada umur ibu yang lebih
dari 35 tahun, kesehatan ibu sudah mulai menurun, jalan lahir kaku, sehingga
rigiditas tinggi. Selain itu beberapa penelitian yang dilakukan bahwa
komplikasi penelitian yang dilakukan bahwa komplikasi kehamilan yaitu
Preeklamasi, Abortus, partus lama lebih sering terjadi pada usia dini. Lebih
dari 35 tahun akibatnya ibu hamil. Lebih dari 35 tahun. Pada zaman dahulu
akibanya ibu hamil pada usi ini mungkin lebih besar anak cacat, persalinan
lama, yaitu lebih dari 12 jam pada primi para dan lebih dari 12 jam dan 8 jam
pada multi para. Selain itu dapat mengakibatkan perdarahan karena uterus tidak
berkontraksi (Depkes, 2001).

2) Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan ibu. Sampai dengan paritas
tiga rahim ibu bisa kembali seperti sebelum hamil. Setiap kehamilan rahim
mengalami pembesaran, terjadi peregangan otot-otot rahim selama 9 bulan
kehamilan. Akibat regangan tersebut elastisitas otot-otot rahim tidak kembali
seperti sebelum hamil setelah persalinan. Semakin sering ibu hamil dan
melahirkan, semakin dekat jarak kehamiilan dan kelahiran, elastisitas uterus
semakin terganggu, akibatnya uterus tidak berkontraksi secara sempurna dan
mengakibatkan perdarahan pasca kehamilan (Prawirohardjo, 2005).

3) Pendidikan
Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi, yang bekerja di sektor formal
mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi tentang kesehatan, lebih
aktif menentukan sikap dan lebih mandiri mengambil tindakan perawatan.
Rendahnya pendidikan ibu, berdampak terhadap rendahnya pengetahuan ibu.

44
Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Makin rendah pengetahuan ibu,
makin sedikit keiinginan memanfaatkan pelayanan kesehatan (Rukmini, 2005).

4) Perilaku Ibu
Perilaku adalah merupakan totalitas penghayatan dan aktifitas
seseorang yang merupakan hasil bersama baik eksternal maupun internal. Ibu
hamil harus berperilaku sehat, agar kehamilan tidak mempunyai masalah yang
dapat mengakibatkan komplikasi dalam persalinan. Adapun perilaku ibu
selama hamil meliputi: kunjungan, asupan gizi, makan tablet zat besi sejak
kehamilan 20 mg, senam hamil, perawatan jalan lahir, pemanfaatan layanan
kesehatan.

5) Status pasien
Menurut Roekmini dan Wiludjeng (2005) status ibu bersalin yang
dirawat di ruang bersalin terdiri dari 2 bagian yaitu ibu bersalin, ibu yang
datang sendiri dan ibu yang dirujuk. Bila ibu di rujuk sejak kala I kemungkinan
ibu masih bisa mendapatkan asuhan yang lengkap pada tiap tahap persalinan,
namun bila ibu dirujuk pada kala dua, tiga dan empat, biasanya kondisi ibu
sudah dalam bermasalah. Untuk menyelamatkan janin biasanya dilakukan
persalinan dengan tindakan persalinan yaitu: seksio sesaria, vakum ekstraksi,
induksi persalinan, manual plasenta dan lain-lain.

Peran asuhan dalam persalinan patologis


1) Asuhan Selama Persalinan kala I
Persalinan kala I adalah waktu yang diperlukan untuk pembukaan jalan
lahir dari 1 CM pada awal persalinan kala I sampai pembukaan serviks 10 CM.
Waktu yang dibutuhkan 12 jam pada primi para dan 6 sampai 8 jam pada multi
para. His pada awal kala 1 tiap 10 -15 menit dan kekuatan 20 detik dan
berangsur bertambah menjadi 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar
60 detik menjelang bayi lahir. (Syaiffudin, 2002). Selama kala I ibu perlu
mendapatkan asuhan sayang ibu yang meliputi:

45
a) Dukungan emosional
Kelahiran seorang bayi akan mempengaruhi kondisi emosional seluruh
keluarga. Oleh karena itu usahakan suami atau anggota keluarga yang lain terlibat
dalam proses persalinan. Usahakan agar mereka melihat, membantu jika
memungkinkan. Selama persalinan ibu akan merasa nyeri menderita dan merasa
kuatir tentang proses persalinan yang akan dilalui. Yakinkan ibu agar tidak merasa
takut dan cemas dengan :
(1) Memberikan dukungan dan meyakinkan diri pasien
(2) Memberikan informasi mengenai proses dan kemajuan persalinanya
(3) Mendengar keluhannya dan mencoba untuk sensistif terhadap
perasaannya
(4) Pengaturan posisi
Anjurkan ibu yang sedang dalam proses persalinan untuk
mendapatkan posisi yang paling nyaman. Berjalan, duduk atau
jongkok akan membantu proses penurunan kepala janin. Anjurkan ibu
untuk berjalan dan bergerak, tidak berbaring telentang. Tidur telentang
dapat menekan pembuluh darah (Vena Cava Inferior), yang dapat
mengakibatkan suplai berdarah ke janin berkurang sehingga bayi
gawat janin. (Syaiffudin, 2005). Posisi yang dianjurkan: (a)
Melakukan perubahan posis (b) Menganjurkan posisi sesuai dengan
keinginan ibu, jika ibu ingin di tempat tidur dianjurkan tidur miring ke
kiri(c) Menganjurkan ibu untuk berjalan-jalan di ruang bersalin (d)
Anjurkan ibu didampingi suami atau keluarga untuk memijat atau
menggosok pungung dan membasuh muka antar kontraksi. (e) Ibu
diperbolehkan melakukan aktifitas sesuai kesanggupannya. (f)
Ajarkan ibu teknik relaksasi, cara bernafas. Ibu diminta untuk menarik
nafas panjang, menahan nafasnya sebentar kemudian dilepas dengan
cara meniup udara keluar sewaktu serasa kontraksi

46
b) Pemberian cairan
Anjurkan ibu untuk minum cairan yang mengandung nutrisi atau air bias.
Cairan akan memberi tenaga dan mencegah ibu dari dehidrasi yang akan dapat
mempengaruhi His. Dehidrasi akan membuat ibu lelah, menurunkan kekuatan his.

c) Kebersihan Infeksi yang dapat terjadi selama proses persalinan akan


dapat menyebabkan kematian atau penyakit pada janin. Penolong persalinan harus
mencari sesering mungkin, menggunakan alat yang steril untuk mencegah infeksi.
Ibu dalam proses persalinan dianjurkan berkemih setiap 2 jam agar tidak
menghambat penurunan kepala janin dan kenyamanan ibu. Tidak dianjurkan
melakukan kateterisasi (mengeluarkan urin dengan alat).

2) Asuhan Selama Persalinan Kala II


Persalinan kala II ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dalam
untuk memastikan pembukaan serviks sudah lengkap atau kepala janin sudah
tampak di vulva dengan diameter 5-6 cm. Penanganan yang sebaiknya
deiberikan pada ibu antara lain (Syaiffudin, 2002).
a) Anjurkan pendamping memberikan dorongan/ dukungan selama
proses persalinan dan kelahiran.dengan alasan memisahkan ibu
orang yang memberikan dukungan akan berkaitan dengan hasil
persalinan yang baik.
b) Berikan dorongan dan besarkan hati ibu. Jelaskan kemajuan
persalinan pada ibu dan keluarga, serta ibu dalam meneran.
c) Biarkan ibu memilih posisi yang sesuai meneran.
d) Penolong harus memberikan rasa aman dan nyaman, menghilangkan
rasa takut pada ibu, memberikan dukungan moral serta membesarkan
hati ibu.dukungan ini membantu ibui agar santai. Memberikan pujian
saat ibu mengejan.
e) Menjaga kebersihan diri, agar terhindar dari infeksi. Jika ada darah
lendir atau cairan ketuban keluar dari vagina segera dibersihkan.
f) Mengipas dan memijat untuk menambah kenyamanan bagi ibu.

47
g) Memberi dukungan mental untuk mengurangi kecemasan atau
ketakutan ibu dengan cara: menjaga privasi ibu, penjelasan tentang
proses dan kemajuan persalinan.
h) Mengatur posisi ibu dalam membimbing mengedan dapat dipilih
berbagai macam posisi berikut: jongkok, tidur miring, setengah
duduk. Posisi tegak ada kaitannya dengan berkurangnya rasa nyeri,
mudah mengedan, kurangya mentrauma vagina dan perineum dan
infeksi.
i) Menjaga kandung kemih tetap kosong, oleh karena itu itu ibu
dianjurkan berkemih sesering mungkin.
j) Memberikan cukup minum, disamping untuk memberi tenaga dan
mencegah dehidrasi.
k) Pada saat mengedan, bantu ibu memperoleh posisi yang paling
nyaman. Setiap posisi memiliki keuntungannya masing - masing,
misalnya posisi setengah duduk dapat membantu turunya kepala
janin jika persalinan berjalan lambat.
l) Ibu dibimbing mengejan, selama his, anjurkan kepada ibu untuk
mengambil nafas. Mengejan tanpa diselingi bernafas, kemungkinan
dapat menurunkan PH pada arteri umbilcius yang dapat
menyebabkan denyut jantung tidak normal. Minta ibu bernafas selagi
kontrraksi ketika kepala janin akan lahir. Hal ini menjaga agar
perineum meregang pelandan mengontrol lainnya kepala serta
mencegah robekan. Setelah bayi lahir nilai warna kulit, tonus otot,
kemampuan bernafas dan aktifitas.
m) Periksa denyut jantung janin (DJJ) pada saat kontraksi dan setelah
setiap kontraksi untuk memastikan janin tidak mengalami bradikardi.

3) Asuhan Selama Persalinan Kala III


Asuhan pada kala III (Pengeluaran Aktif Plasenta) membantu
menghindarkan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penatalaksanaan aktif
kala III meliputi:

48
a) Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang
juga mempercepat pelepasan plasenta. Oksotosin dapat diberikan
dalam 2 menit setelah kelahiran bayi. Jika oksotosin tidak tersedia,
rangsangan puting payudara ibu atau susukan bayi guna
menghasilkan oksitosin alamiah.
b) Lakukan penegangan tali pusat terkendali ( PTT) dengan cara: satu
tangan diletakkan pada korups uteri tepat di atas simfisis puubis.
Selama kontraksi tangan mendorong korups uteri dengan gerakan
dorso cranial kearah beakang dan ke arah 20 kepala ibu. Tangan
yang lain memegang tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat (2-
3 menit). Selama kontraksi dilakukan tarikan terkendali pada tali
pusat yang terus menerus, dalam tegangan yang sama dengan tangan
ke uterus.
c) PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada
uterus merasakan kontraksi atau ibu dapat juga memberi tahu
petugas ketika ia merasakan kontraksi. Ketika uterus sedang tidak
berkontraksi, tangan petugas dapat tetap berada pada uterus tetapi
bukan melakukan PTT. Ulangi langkah-langkah PTT pada setiap
kontraksi sampai plasenta terlepas.
d) Begitu plasenta terasa terlepas, plasenta di keluarkan dengan
menggerakkan tangan atau klem pada tali pusat mendekati plasenta.
Plasenta di keluarkan dengan gerakan ke bawah dan ke atas sesuai
dengan kalan lahir. Kedua tangan dapat memegang plasenta dan
perlahan memutar plasenta searah jarum jam untuk mengeluarkan
selaput ketuban.
e) Segera setela plasenta dan selaputnya dikeluarkan, fundus uteri
dipijat agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi
pengeluaran darah dan mencegah perdarahan pasca persalinan, jika
uterus tidak berkontraksi kuat selama 10-15 detik atau jika
perdarahan hebat terjadi maka segera laktoni kompresi bimanual
dalam. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1- 2 menit, ikuti
protokol untuk perdarahan pasca persalinan.

49
f) Jika amenggunakan manajemen aktif dan plasenta belum juga lahir
dalam waktu 30 menit, periksa kandung kemih dan lakukan
katerisasi jika kandung kemih penuh, periksa adanya tanda-tanda
pelepasan plasenta, berikan oksitosin 10 unit Intra muskuler dimana
dosis ketiga dalam jarak waktu 15 menit dari pemberian oksitosin
dosis pertama, siapkan rujukan jika tidak ada tanda-tanda pelepasan
plasenta.
g) Periksa ibu secara seksama dan jahit semua robekan pada serviks
atau vagina atau perbaiki episiotomi.

4) Asuhan Selama Persalinan Kala IV


Dua jam pertama setelah persalinan merupakan awal yang kritis bagi
ibu dan bayi.kemungkinan perdarahan akibat tidak adanya kontraksi, uterus
yang lelah karena rahim ibu baru saja mengalami perubahan fisik. Rahim yang
selama inii membesar akan berangsur kembali seperti di luar hamil. Penolong
harus tinggal bersama ibu untuk memastikan kondisi fital sign, keadaan rahim.
Asuhan kala IV meliputi:
a) Pemeriksaan fundus uteri tiap 15 menit pada jam pertama dan setiap
20-30 menit selama jam kedua. Jika kontraksi tidak kuat, pijat uterus
sampai menjadi keras. Apabila uterus berkontraksi, otot uterus akan
menjepit pembuluh darah untuk menghentikan perdarahan. Hal ini
dapat mengurangi kehilangan darah dan mencegah perdarahan pasca
persalinan.
b) Pemeriksaan tekanan darah, nadi, kandung kemih dan perdarahan
setiap 15 menit pada jam pertamadan setiap 30 menit selama jam
kedua.
c) Menganjurkan ibu untuk minum demi mencegah dehidrasi dan
menawarkan ibu makanan dan minuman yang disukainnya.
d) Membersihkan ibu, vulva, dan perineum. Kenakan pakaian ibu yang
bersih dan kering.
e) Membiarkan ibu beristirahat karna lelah melahirkan bayinya dan
membantu ibu pada posisi yang aman.

50
f) Membiarkan bayi berada pada ibu untuk meningkatkan hubungan
bayi dan ibu sebagai permulaan dengan menyusui bayinya.
g) Segera seteslah bayi lahir adalah waktu yang tepat untuk memulai
memberikan ASI (Air Susu Ibu) karena menyusui juga membantu
uterus berkontraksi.
h) Jika ibu perlu ke kamar mandi, ibu boleh bangun dan dibantu karena
masih dalam keadaan lemah atau pusing setelah persalinan. Pastikan
ibu sudah buang air kecil dam 3 jam pasca persalinan.
i) Ajari ibu atau anggota keluarga tentang bagaimana merangsang
kontraksi mengenal tanda-tanda bahaya bagi ibu dan bayi.

51
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada
usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit. Persalinan dimulai sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan
perubahan pada serviks (membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya
plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika kontraksi uterus tidak
mengakibatkan perubahan serviks. (JNKP-KR, 2008)
Persalinan patologis disebut juga dengan dystocia berasal dari bahasa
Yunani. Dys atau dus artinya jelek atau buruk, tocos artinya persalinan.
Persalinan patologis adalah persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi
ibu dan anak. (Departemen of Gynekologi, 1999). Yang termaasuk persalinan
patologis adalah seperti abnormalitas cairan ketuban, malpresentasi dan
malposisi, lilitan tali pusat, dan ketuban pecah dini.

4.2 Saran
Ibu hamil harus berperilaku sehat, agar kehamilan tidak
mempunyai masalah yang dapat mengakibatkan komplikasi dalam persalinan.
Adapun perilaku ibu selama hamil meliputi: kunjungan, asupan gizi, makan
tablet zat besi sejak kehamilan 20 mg, senam hamil, perawatan jalan lahir,
pemanfaatan layanan kesehatan.

52
DAFTAR PUSTAKA

A.B. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal.Jakarta: YBP-SP
Asrining, Surasmi., Handayani, Siti., Kusuma, Nur,. 2003. Perawatan Bayi Risiko
Tinggi.Jakarta : EGC
Bernard G, Ewlgman MD,et al (1993). Effect of ultrasound screening on perinatal
outcome, The New England Jurnal of Medicine : 329-12
Farrer, Helen. 2005. Perawatan Maternitas Edisi 2. Jakarta : EGC.
I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Kee JL. 2005. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 2. Jakarta; EGC
Manuaba, IBG. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: CV Trans Info Media.
Padila. 2015. Asuhan Keperawatan Maternitas II. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pritchard, Jack A, dkk. 1991. Obstetri Williams, Ed. 17. Alih bahasa, Hariadi.
Surabaya: Airlangga University Press.
Reeder, Sharon J., dkk. 2012. Keperawatan Maternitas: Kesehatan Wanita, Bayi,
& Keluarga, Ed. 18, Vol. 2. Alih bahasa, Yati Afiyanti, dkk. Editor
edisi bahasa Indonesia, Eka Anisa Mardella. Jakarta: EGC.
Saifuddin, AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina Pustaka Saifuddin,
Sinclair C (2009). Buku Saku Kebidanan. Jakarta; EGC
Sukami, Icesmi dan Sudarti. 2014. Patologi: Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan
Neonatus Risiko Tinggi. Yogyakarta: Nuha Medika.

53

Anda mungkin juga menyukai