Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan

nasional yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta

ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Pemberantasan penyakit menular merupakan salah satu upaya

pembangunan dibidang kesehatan yang berperanan penting dalam

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi.

Salah satu kegiatan pengendalian penyakit menular terutama TB dapat

berlangsung efektif, efisien dan tepat sasaran maka diperlukan suatu

kegiatan surveilans epidemiologi dimana hasil kegiatan surveilans

sangat menentukan tindakan pengambilan keputusan dalam perencanaan,

pelaksanaan maupun evaluasi kegiatan. Dengan adanya kegiatan

surveilans TB ini juga dapat memantau kemampuan program TB baik

dalam hal mendeteksi kasus TB, menjamin selesainya pengobatan TB dan

kesembuhan pasien TB.

Penyakit Tuberkulosis sebagai salah satu penyakit menular,

sampai saat ini upaya penanggulangan dan pemberantasannya belum

sesuai dengan yang diharapkan. Menurut data survei kesehatan rumah

tangga (SKRT) Tahun 2012 penyakit Tuberkolosis merupakan penyebab

kematian ketiga terbesar setelah penyakit Kardiosvaskuler dan penyakit

saluran pernapasan. Tuberculosis (TB) merupakan penyebab utama


kematian dan kesakitan di dunia terutama di Negara-negara berkembang.

Berdasarkan data WHO, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 9.000.000

orang dilaporkan sebagai kasus TB paru di dunia. Tuberkulosis menduduki

peringkat kedua kematian (1,5 juta kasus) yang disebabkan oleh penyakit

infeksi di dunia setelah infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Sedangkan menurut laporan WHO 2009, Indonesia merupakan

penyumbang penderita TB terbesar No.3 di Dunia setelah India dan

China, serta diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB, dan

kematian karena TB sekitar 130.000 atau secara kasar diperkirakan

setiap 100.000 penduduk di Indonesia terdapat 130 penderita baru TB

Paru atau BTA Positif.

Di provinsi Lampung diketahui bahwa angka BTA positif pada tahun

2007-2012 cenderung berfluktuatif naik turun, sedangkan angka konversi

dan kesembuhan nampak berfluktuatif naik turun. Untuk mencapai target

perlu dilakukan berbagai upaya. Upaya yang dilakukan harus terus

diperbaiki dan ditingkatkan karena angka kesembuhan TB Paru BTA + ini

belum mencapai target ≥ 85%. Jumlah TB paru klinis dibandingkan

antara kabupaten/kota, maka Kota Bandar Lampung dengan kasus terbesar

dan Kota Metro dengan kasus terkecil, sedangkan BTA positifnya terbesar

adalah Kota Bandar Lampung dan terkecil adalah Kota Metro, menunjukan

bahwa Case Date Rate (CDR) penemuan penderita baru TBC BTA

positif Provinsi Lampung selama tiga tahun persentasenya meningkat


tetapi pada tahun 2007 sedikit menurun menjadi 40,5%, persentase ini

masih jauh dari yang ditargetkan yaitu sebesar 70%.

Berdasarkan data yang didapatkan di Rumah Sakit Pertamina

Bintang Amin pada bulan 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Desember

2017 didapatkan 6 kasus baru Tuberkulosis. Dari data yang didapatkan di

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dapat dilihat bahwa terdapat

peningkatan di bulan Desember dan berbagai variabel yang akan kami

analisis. Sehingga penulis ingin melakukan survei mengenai kasus

Tuberkulosis di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana distribusi data penyakit Tuberkulosis (TB) paru pada

tahun 2017 di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung?

1.3. Tujuan

a. Tujuan Umum

Mengetahui angka kejadian pada penderita TB paru di Rumah Sakit

Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung tahun 2017.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui usia dan jenis kelamin pada penderita TB paru di

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung tahun

2017.
2. Untuk mengetahui tempat tinggal pada penderita TB paru di Rumah

Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung tahun 2017.

1.4. Manfaat

1. Untuk Mahasiswa Koas

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan khususnya mengenai surveilans penyakit TB di

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

2. Untuk Masyarakat

Hasil kegiatan ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui

penyakit TB sehingga dapat mencegah terjadinya penularan

penyakit TB dan menurunkan angka kejadian TB di masyarakat.

3. Untuk Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan

surveilans di rumah sakit khususnya mengenai TB


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis paru

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang

terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal

dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu

sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb

paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan

granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular

melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin
1
atau bicara .

2.1.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes (2007)
1
yaitu :

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar

pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru

7
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran

kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada

Tb Paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif.

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

Tb positif.

 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA

negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika

non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi:

Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

b. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat

pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi

kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan

(Depkes RI, 2006)


2.2 Epidermiologi

A. Personal

1. Umur

Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak.

Sebagian besar penderita Tb Paru di Negara berkembang

berumur dibawah 50 tahun. Data WHO menunjukkan bahwa kasus

Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada umur

produktif 15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008

menunjukkan jumlah penderita baru Tb Paru positif 87,6% berasal

dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada


3
usia lanjut (≤ 55 tahun) .

2. Jenis Kelamin

Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak, laki-

laki dan perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki

3
usia produktif .

3. Stasus gizi

Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan fungsi

seluruh sistem tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan

dibutuhkan manusia untuk memproteksi tubuh terutama mencegah

(1,4)
terjadinya infeksi yang disebabkan oleh `mikroorganisme .Bila

daya tahan tubuh sedang rendah, kuman Tb paru akan mudah

masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paru-

paru kemudian berkembang biak.Tetapi, orang yang terinfeksi


kuman TB Paru belum tentu menderita Tb paru. Hal ini bergantung

pada daya tahan tubuh orang tersebut. Apabila, daya tahan tubuh

kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant) dan

tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan

tubuh lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit.

Penyakit Tb paru Lebih dominan terjadi pada masyarakat yang

status gizi rendah karena sistem imun yang lemah sehingga


3,4
memudahkan kuman Tb Masuk dan berkembang biak .

a. Tempat

1. Lingkungan

TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang

ditularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat

mempengaruhi penyebaran Tb paru salah satunya adalah

lingkungan yang kumuh,kotor. Penderita Tb Paru lebih banyak

terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang


3
kumuh dan kotor .

2. Kondisi sosial ekonomi

Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin. Data WHO

pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat

3
Tb paru sebagaian besar berada di negara yang relatif miskin .

b. Waktu

Penyakit Tb paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja, dan kapan saja

tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh


pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk

3
terjadinya Tb paru .

2.3 Etiologi

Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

4
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) .

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu

batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada

suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut

terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam

tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar

dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,

atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari

seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),

maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis

ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
4,5
tersebut .
2.4 Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis,

mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis

6
utama . Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat

digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB

6,7
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis .

2.4.1 Gejala

a) Gejala sistemik/umum

o Penurunan nafsu makan dan berat badan.

o Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

o Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b) Gejala khusus

o Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke

paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang

membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah

yang disertai sesak.

o Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada.


2.4.2 Tanda

Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan

kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau

dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan

fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meingkat, perkusi redup, bunyi

7
napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru .

Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke

sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau

8
tanda adanya penebalan pleura .

2.4.3 Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak

untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak

yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi-

9
sewaktu (SPS) .

1. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis

datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek

membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi

hari kedua

2. P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas.
3. S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi hari.

Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu

pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan dengan

Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana `

pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk


9
penapisan) .

3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali BTA +


negatif
1 kali positif, 2 kali negatif Ulangi
BTA 3
kali
Bila 1 kali positif, dua kali negatif BTA +

Bila 3 kali negatif BTA -

Tabel 2 Intepretasi hasil pemeriksaan Tb paru

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang merup


(8).
akan rekomendasi dari WHO

Tidak ditemukan BTA dalam Negatif


100 lapang pandang
Ditemukan 1-9 BTA dalam Di tulis dalam jumlah kuman yang
100 lapang pandang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA + (1+)
dalam 100 lapang pandang
Ditemukan 1-10 BTA dalam ++ (2+)
1 lapang pandang
Ditemukan >10 BTA dalam +++ (3+)
1 lapang pandang

Tabel 3 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis Tb paru skalaUATLD


2.4.4 Pemeriksaan Bactec

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak yang

kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin

ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara

cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji

kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth

10
Indicator Tube (MGIT) .

2.4.5 Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang spe

sifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam

kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan

keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah

satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai

predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit

dapat menggambarkan daya tahan tubuh penderita.

LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang normal juga tidak

10
menyingkirkan diagnosa TBC .

2.4.6 Pemeriksaan radiologis


Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi

ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana pada

pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa

10,11
kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :

o Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)

o Hemoptisis berulang atau berat

o Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.

11
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif :

o Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan

segmen superior lobus bawah paru.

o Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau

nodular.

o Bayangan bercak milier.

o Efusi Pleura

11
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif :

o Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan

atau segmen superior lobus bawah.

o Kalsifikasi.

o Penebalan pleura.
Gambar 1 Alur Diagnosis Tb Paru

2.5 Patogenesis

Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+ ,Pada waktu

batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler

11
(percikan dahak) .

2.5.1 Infeksi Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di

jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan

kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah

11,12
satu nasib sebagai berikut :

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad

integrum)

b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,

garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)

c. Menyebar dengan cara perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.

1) Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian

penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar

hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada

saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman

tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini

ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus

yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun

ke paru sebelahnya atau tertelan.

3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen.

Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan

virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara


spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,

penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu

berkulosismilier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis

Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis

pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,

genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin

berakhir dengan:

Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat

ensefalomeningitis, tuberkuloma ).

Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan

tuberkulosis primer.
Gambar 2 Skema Patogenesis Infeksi Primer Tb paru
2.5.2 Infeksi Post Primer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis

postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk

tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena

dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang

dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus

inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
12
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacatSarang tersebut

akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan

jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh

dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali

dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan

keju dibatukkan keluar.

2) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan

kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar.

Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal

(kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:


Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang

pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang

disebutkan di atas.

Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh,

tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti

lagi.

Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau

kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya

mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus

dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 3 Skema patogenesis infeksi Tb paru post primer

2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan

kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya

sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.

Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah

dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah

yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan

perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat
13
dibandingkan antibakteri lain :

Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,

Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin ,

Amikasin, Kuinolon.

Ob Dosis yg dianjurkan Dosis (mg) /


at berat badan (kg)
Dosis(mg/kgB DosisM
Harian (mg/ Intermi- < 40 40- >6
B/hari) aks
kgBB / hari) tten (mg/Kg 60 0
(mg)
/BB/ kali)

R 08-Des 10 10 600 300 45 60


0 0
H 04-Jun 5 10 300 150 30 45
0 0
Z 20-30 25 35 750 10 15
00 00
E 15-20 15 30 750 10 15
00 00
S 15-18 15 15 1000 Sesu 75 10
ai 0 00
kan
BB
Tabel 4 Jenis dan Obat OAT

Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori

14
yaitu :

1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol

setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan

rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:

a. Penderita baru TBC paru BTA positif.

b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3

Diberikan kepada :

a. Penderita kambuh.

b. Penderita gagal terapi.

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.

3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3

Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung

(10)
aktif .

4. Kategori 4: RHZES

Diber ikan pada kasus Tb kronik .

Katego Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan


ri
I - TB paru 2 RHZE / 4 RH atau
BTA+
2 RHZE / 6 HE
-BTA-,lesi luas *2RHZE / 4R3H3
II - Kambuh dan -RHZES / 1RHZE / sesuai Bila streptomisin
Gagal peng- hasil uji resistensi atau alergi, dapat
Obatan 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE diganti kanamisin
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
Berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini(lihat
uraiannya) atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
III -TB paru BTA- 2 RHZE / 4 RH atau
dengan lesi 6 RHE atau
minimal *2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
-MDR TB Sesuai uji resistensi+OAT lini
2 atau H seumur hidup

Tabel 5 Paduan pengobatan Tb paru

2.7 Efek samping obat

Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

14,15
selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat yaitu :

1. Isoniazid (INH)

Sebagian besar pasien Tb parudapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh


karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat

penting dilakukan selama pengobatan.

2. Rifamisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan

pengobatan simptomatis ialah:

o Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

o Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang-kadang diare

o Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang-kadang diare

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

o Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT

harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru

pada keadaan khusus

o Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila

salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan

dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

o Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni,

keringat, air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena

proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus


diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu

khawatir.

3. Pirinizamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai

pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi

(beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis

Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan

penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,

kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.

Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang

dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30

mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan

kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.

Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan

okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan

dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut


akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan

umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan

gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah

telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.

Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya

dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan

tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul

tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek

samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar

mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan.

Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh

diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran

janin.

2.8 Komplikasi

Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan

komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru

17
dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema,

laryngitis, usus.

2. Komplikasi pada stadium lanjut:


Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut

adalah:

a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok

hipovolemik

b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus

c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru

d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang

pecah

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan

sebagainya

2.9 Length of stay

Menurut data RSUD. Soedarso pada bulan November 2012, lama rawat

inap pasien Tb paru rata-rata adalah 7-12 hari tergantung pada kondisi keparahan

pasien Tb paru . Namun yang terbanyak dari data tersebut adalah pasien dewasa

berusia 18-49 tahun dengan kasus baru. Indikasi-indikasi pasien Tb paru rawat

18
inap adalah sebagai berikut :

a. Batuk darah masif

b. Keadaan umum buruk

c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleura masif / bilateral


f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

2.10 Sistem pembiayaan

Dibawah ini adalah beberapa sistem pembiayaan yang sering digunakan di


19,20
rumah sakit- rumah sakit di Indonesia :

1. Biaya sendiri

2. Asuransi kesehatan

a. Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

BPJS kesehatan di Indonesia menganut prinsip ekuitas adalah

kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan

kebutuhan medis yang terikat dengan besaran iuran yang

dibayarkan. Jaminan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin

dan kurang mampu telah mampu meningkatkan akses

penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan.

b. Jamkesmas

Jamkesmas adalah sebuah program jaminan kesehatan untuk

warga Indonesia yang memberikan perlindungan sosial

dibidang kesehatan untuk menjamin masyarakat miskin dan t

idak mampu yang iurannya dibayar oleh pemerintah agar

kebutuhan dasar kesehatannya yang layak dapat

terpenuhi

c. Askes (Asuransi Kesehatan)


Askes adalah asuransi kesehatan bagi pegawai negri /yang dikelola

oleh PT. Pesero Askes. Sedangkan Astek (Asuransi Tenaga Kerja)/

Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) adalah asuransi bagi tenaga

kerja swasta yang dikelola oleh PT. Astek. Sedangkan yang di

maksud dengan asuransi perusahaan/ kantor adalah

perusahaan/kantor yang menyediakan biaya atau tempat berobat

bagi karyawan dan mungkin keluarganya bila sakit.

d. Asuransi Kesehatan

`Asuransi yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem,

atau bisnis dimana memberikan perlindungan finansial (atau ganti rugi

secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya

dimana orang yang mengikuti asuransi akan mendapatkan

penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga

yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau

sakit, yang melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam

jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin

perlindungan tersebut seperti CAR, AXA, Prudential, dll.


2.2. Definisi Surveilans

Beberapa ahli telah mendefenisikan surveilans. Langmuir dari Center of Disease

Control (CDC) dari Atlanta, Amerika Serikat mendefenisikan surveilans sebagai

latihan pengawasan berhati-hati yang terus menerus, berjaga-jaga terhadap distribusi

dan penyebaran infeksi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan itu, yang cukup

akurat dan sempurna yang relevan untuk penanggulangan yang efektif 29 . Sementara

menurut Kepmenkes RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman

Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit

Tidak Menular Terpadu, menyebut bahwa surveilans adalah adalah kegiatan analisis

secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah

kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan

penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan

penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data,

pengolahan, dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program

kesehatan30.

Dari kedua definisi tersebut diatas, maka dapat dirumuskan bahwa kegiatan-

kegiatan dalam surveilans adalah sebagai berikut28:

- pengumpulan data secara sistematis dan terus menerus

- pengolahan, analisis dan interpretasi data untuk menghasilkan informasi

- penyebarluasan informasi yang dihasilkan kepada orang-orang atau institusi

yang dianggap berkepentingan, dan

- menggunakan informasi yang dihasilkan dalam manajemen yaitu

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian.31

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data

secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)


kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan

masalah kesehatan lainnya. Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan

kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi,

mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-

perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans

menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan

langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit. Kadang digunakan istilah

surveilans epidemiologi.32

2.2.1Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan

populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat

dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.33

Tujuan Surveilans :

1. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi masalah kesehatan atau penyakit pada

suatu wilayah

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan prioritas masalah kesehatan.

Minimal ada tiga persyaratan untuk menetapkan prioritas masalah kesehatan

untuk ditanggulangi yaitu besarnya masalah, adanya metode untuk mengatasi

masalah, dan tersedianya biaya untuk mengatasi masalah. Dengan data surveilans

yang layak dapat diketahui besaran masalah dari setiap masalah kesehatan yang

ada dan keefektifan dari sebuah metode yang digunakan.

3. Untuk Mengetahui cakupan pelayanan. Atas dasar data kunjungan ke puskesmas,

dapat diperkirakan cakupan pelayanan puskesmas itu terhadap karakteristik

tertentu dari penderita, dengan membandingkan proporsi penderita menurut


karakteristik tertentu yang berkunjung ke puskesmas, dan proporsi penderita

menurut karakteristik yang sama di populasi dasar atas dasar data statistic dari

daerah yang bersangkutan.

4. Untuk kewaspadaan dini terjadinya Kejadian Luar Bisaa (KLB).

KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian/kematian yang bermakna

secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu 1. Setiap kasus

gizi buruk juga diperlakukan sebagai KLB.Salah satu penyakit yang dapat

diimunisasi yang dapat menimbulkan KLB adalah campak, yang harus

dilaporkan oleh puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota (DKK). Bila puskesmas

melakukan pengolahan dan analisa setiap minggu, maka ini merupakan

kewaspadaan dini untuk mengetahui minggu keberapa frekuensi kasus campak

lebih meningkat dari bisaanya.

5. Untuk memantau dan menilai program. Setelah keputusan dirumuskan dan

intervensi dilakukan, kita dapat menilai berhasil atau tidaknya intervensi tersebut

dari data surveilans di rentang waktu berikutnya, apakah sudah terjadi penurunan

insiden atau prevalensi penyakit tersebut.34

Tujuan khusus surveilans:

1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit

2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini

outbreak

3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease

burden) pada populasi;

4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,

implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan

5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;


6. Mengidentifikasi kebutuhan riset.35

2.2.2 Manfaat Survailence

1. Deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya

2. Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit

3. Identifikasi kelompok resiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat

4. Identifikasi faktor resiko dan penyebab lainnya

5. Deteksi perubahan layanan kesehatan yang terjadi

6. Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis

7. Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya

8. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan

kesehatan di masa datang.36

2.2.3 Pendekatan Survailance

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis37:

1) Surveilans pasif

2) Surveilans aktif

Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data

penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas

pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk

dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit

infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan

analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah

kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan

cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan


kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya

rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggung jawab utama memberikan

pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing.38

Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan

berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis

lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus

baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi

laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans

pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan

tanggung jawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.

Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada

surveilans pasif. Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut

community surveilance.39

Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari

komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus

bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader

kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas

kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih

menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi

laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu40.


BAB III
PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS

A. Pengumpulan Data dan Analisis

Pada pengumpulan data kasus TB paru di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

Tahun 2017 didapatkan jumlah pasien TB sebanyak 6 pasien terhitung dari periode 1

januari 2017 – 31 desember 2017 dimana dikatagorikan berdasarkan jenis kelamin,

waktu, usia dan tempat sebagai berikut :

3.1 Jenis kelamin

Table 3.1 berdasarkan variabel jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 4 66,7 %

Perempuan 2 33,4%

Pada data yang didapatkan dari periode 1 januari 2017 – 31 desember 2017

sebanyak 4 laki-laki dan 2 perempuan. Data tertinggi didapatkan pada jenis kelamin

laki-laki sebanyak 4 pasien (66,7%).

3.2 Waktu

Tabel 3.2 berdasarkan variabel waktu

Waktu Jumlah Persentase

November 1 16,7 %

Desember 5 83,3 %
Pada data yang didapatkan dari periode 1 januari 2017 – 31 desember 2017

sebanyak 1 pasien di bulan November dan 5 pasien di bulan Desember. Data tertinggi

didapatkan pada Waktu yaitu bulan desember sebanyak 5 pasien (83,33%) .

3.3 Usia

Tabel 3.3 berdasarkan variabel usia

Jenis Jumlah Persentase


Remaja Akhir 17-25 tahun 1 16,7 %
Dewasa Awal 26-35 tahun 1 16,7 %

Dewasa Akhir 36-45tahun 1 16,7%


Lansia Awal 46-55 tahun 1 16,7%
Manula >65 tahun 2 33,4%

Pada data yang didapatkan dari periode 1 januari 2017 – 31 desember 2017

sebanyak 1 pasien dengan usia remaja akhir, 1 pasien dewasa awal, 1 pasien dewasa

akhir, 1 pasien lansia awal dan 2 pasien dengan usia manula dengan usia rata-rata 49,5

yang tergolong pada kelompok usia lansia awal dan persentase tertinggi pada usia

manula sebanyak 2 pasien (33,4%).

3.4 Tempat

Pada data yang didapatkan berdasarkan tempat tidak dapat dianalisis

dikarenakan keterbatasan informasi yang diperoleh.

B. Pembahasan

Hubungan faktor risiko dengan TB Paru

Diketahui bahwa jumlah pasien TB Paru dari periode 1 januari 2017 – 31

desember 2017 di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin terbanyak pada jenis kelamin

laki-laki (66,7%) hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perbandingan

laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.


Variabel usia terbanyak pada kelompok usia manula (33,4%) dengan rata-rata

usia 49 tahun, hal ini dikarenakan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin

bertambahnya usia semakin menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia (imun).

Karena keterbatasan waktu penulis dan terdapat kendala dalam pengumpulan

data sehingga pengelompokan variable tempat yang dalam hal ini adalah kondisi

lingkungan rumah dan sekitarnya tidak dapat terealisasi.

C. Tindak Lanjut

Untuk menindak lanjuti kasus TB paru yang telah dibahas perlu dilakukan

beberapa hal diantaranya adalah penyuluhan tentang bahaya TB yang dapat dilakukan

oleh petugas kesehatan setempat atau faskes pertama dari tempat tinggal pasien masing

masing akan tetapi perlu juga dibantu oleh masyarakat agar dapat terealisasikan hal hal

yang dapat mencegah penularan TB tersebut.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari data yang di dapatkan pada kasus TB paru periode 1 januari 2017 – 31

desember 2017 di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin sebagai berikut :

1. Pada pasien TB paru berdasarkan Jenis kelamin, didapatkan jumlah pasien tertinggi

adalah jenis kelamin laki-laki sebanyak 4 pasien (66,7%).

2. Pada pasien TB paru berdasarkan Waktu, didapatkan jumlah pasien tertinggi adalah

pada bulan desember sebanyak 5 pasien (83,3%).

3. Pada pasien TB paru berdasarkan Usia, didapatkan jumlah pasien tertinggi pada usia

manula sebanyak 2 pasien (33,4%) dengan rata-rata usia 49,5 tahun

4. Pada data yang didapatkan berdasarkan alamat tidak dapat dianalisis dikarenakan

keterbatasan informasi yang diperoleh

B. SARAN

1. Untuk petugas kesehatan masyarakat, petugas kesehatan dapat membina masyarakat

untuk mengatur pola, mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan

yang muncul dalam lingkungan masyarakat.

2. Untuk masyarakat, pada dasarnya jika kita melakukan hidup bersih dan sehat serta

menjaga lingkungan disekitar kita. Maka itu sudah baik untuk menghindarkan diri

dari penyakit dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui

terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai penduduk yng

hidup dengan prilaku dan dalam lingkungan sehat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi kelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia, 2009; 2230-472.

2. World Health Organization. Guidelines for prevention of tuberculosis in health


care facilities in resource limited settings.Geneva, Switzerland: WHO.1999.
Available from: http://whqlibdoc.who.int/hq/1999/WHOTB99.269.pdf ,di akses
16 Desember 2013.

3. Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2012. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Jawa Tengah. Avaiable from: www.dinkesjatengprov.go.id,
diakses 30 Oktober 2013.

4. Anonim g. 2010. Diagnosis dan faktor yang mempengaruhi TB-MDR.


Avaiable from :http://ppti.files.wordpress.com, diakses tanggal 16
Februari 2014.
s
5. Menaldi Rasmin, Faisal Yunus dkk. 2005.Profil Penderita Tuberkulosis Paru di
Poli Paru di Rs Persahabatan Januari-Juli 2005. Jakarta. Avaiable from:
http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri-01-07/jurnal-5.html, di akses 16
Februari 2014

6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberculosis Paru dalam IPD’s


Compedium of Indonesia Medicine 1st Edition. Jakarta : PT. Medinfocomm
Indonesia ; 2009. h. 122-42

7. Crofton J, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. London: Oxford; 1999.


Hal 9-22

8. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. Algorithm for


Tuberculosis Screening and Diagnosis in Peoplewith HIV. N Engl J Med
2010;362:707-16

9. Pai M, Kalant ri SP. Bacteriophage-based tests fortuberculosis. Editorial. 2005;


23(3):149-50.

10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman,Diagnosis dan


Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006.
Hal. 14.
11. Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasar- dasar
Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press, 2008. hal.73-1098.

12. Faisal, A,“Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch Pulmonum Orang


Dewasa”.Majalah Radiologi Indonesia Tahun ke-2, No 2 : 31–35. 1991

13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional:


penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2. Jakarta: Depkes
RI;2008.hal.8-14.

14. Gitawati, R, Sukasediati, N, Studi Kasus Hasil Pengobatan TB Paru di 10


Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999. CerminDunia Kedokteran. No. 137 :
17–20. 2002.

15. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia; 2002. P. 13, 120-27. Kusnindar.
1990. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia.
CerminDunia Kedokteran. No.63 Hall. 8 – 12

16. World Health Organization. WHO report on the Global tuberculosis control
report.(Online); 2011(cited 2011 November 17). Available from: URL: ht
tp//www.whql i bdoc.who.int /publ icat i ons/2011 /9789241564380_eng.pdf

17. Persatuan Ahli Penyakit Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI 1996 ; VII : 915-918

18. Freddy Panjaitan. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat Inap
di RSU dr.Soedarso Pontianak Periode September-November 2010. Avaiable
from:http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/view/1758 , diakses 16
Februari 2014

19. Agus, Fx. FaktorRisiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Punggelan Kecamatan Banjarnegara. Universitas Diponegoro; Semarang. 2001.

20. Sihombing Eka. Karakteristik Penderita TB Paru Rawat Inap Di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan Tahun 2004-2007. 2007. Avaiable form:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16379, diakses 10 Juli 2014.

21. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


Kejadian TB paru pada usia dewasan (Studi kasus di balai pencegahan dan
pengobatan Penyakit paru pat i). Undip website. 2006. Hal. 2. ht
tp://eprints.undip.ac.id/5283/.
22. Oehadian Amaylia. Aspek Hematologi Tuberkulosis. 2009. Avaiable
from:http://repository.unpad.ac.id. diakses 10 Juli 2014.
23. Widmann, Frances K., alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk., 1992, Tinjauan
Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1, EGC,
Jakarta, hlm. 117-132
24. Arsyad Z. Evaluasi faal hati pada penderita tuberkulosis paru yang mendapat
terapi obat anti tuberkulosis. CDK 1996; 110:15-8.
25. Fordiastiko. Panatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus
pada Penderita Diabetes Melitus. Paru 1995; 15:105-10.
26. Nasronudin. HIV & AIDS : Pendekatan biologi molekuler klinik dan sosial.
Airlangga University Press 2007; p.1-309.
27. Amiruddin, R. 2012. Surveilans Kesehatan Masyarakat. Kampus IPB Pres
Taman Kencana Bogor: PT Penerbit IPB Press.
28. Amiruddin, R. 2013. Mengembangkan Evidence Based Public Health (Ebph)
Hiv Dan Aids Berbasis Surveilans. Jurnal Adminsitrasi & Kebijakan Kesehatan
Indonesia, 2.02.
29. Azwar, A. 1993. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT Bina Rupa Aksara.
30. Budiarto, E dkk. 2003. Pengantar Epidemiologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
31. Buku Petunjuk Pelaksanaan Surveilans, 2000. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah. Proyek Upaya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Jawa
Tengah.
32. Farich, A. 2012. Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Gosyen
Publising. Sleman, Yogyakarta.
33. Hasyim, H. Manajemen Penyakit Lingkungan Berbasis Wilayah. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 2008, 11.02.
34. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesi
Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaran
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
35. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu.
36. Mary, TF., Erika S, Lauren D, Pia D.M..M, Anna E.W (2014). Journal of Public
Health dan Epidemiology. Routine dissemination of summary syndromic
surveillance data leads to greater usage at local health departments in North
Carolin. www.academicjournals.org. Diunduh 04 Januari 2015
37. Masrochah, S. 2006. Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi Sebagai
Pendukung Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Di
Dinas Kesehatan Kota Semarang. PhD Thesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro.
38. Mukhtar, Q. 2003. Journal of Epidemiology and Community Health 2005.
Global behavioral risk factor surveillance. www. jech.bmj.com. Diunduh 04
Januari 2014.
39. Myrnawati, 2000. Peningkatan Fungsi Epidemiologi Dalam Menyongsong Era
Desentralisasi. Majalah Kedokteran Indonesia ( The Journal Of Indonesia
Medical Association, Volume 3, Maret 2002). Jakarta: Yayasan Penerbitan
IDI.
40. Noor, NN. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka
Cipta.
68

Anda mungkin juga menyukai