0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
66 tayangan6 halaman
Rahiang Sanjaya melanjutkan perjalanannya untuk merebut kembali takhta Galuh dari Rahiang Purbasora. Di sebuah desa, ia menyaksikan pertarungan silat antara Pwah Kenanga dengan Aria Sengka, kepala pengawal Kerajaan Kalingga. Pertarungan sengit itu hampir saja menghina martabat Pwah Kenanga, namun seseorang menyerang Aria Sengka secara diam-diam untuk membela Pwah Kenanga.
Deskripsi Asli:
Sejarah Kerajaan Galuh
Judul Asli
RAHIANG SANJAYA _ PERJALANAN MEREBUT TAHTA KARATUAN GALUH #2
Rahiang Sanjaya melanjutkan perjalanannya untuk merebut kembali takhta Galuh dari Rahiang Purbasora. Di sebuah desa, ia menyaksikan pertarungan silat antara Pwah Kenanga dengan Aria Sengka, kepala pengawal Kerajaan Kalingga. Pertarungan sengit itu hampir saja menghina martabat Pwah Kenanga, namun seseorang menyerang Aria Sengka secara diam-diam untuk membela Pwah Kenanga.
Rahiang Sanjaya melanjutkan perjalanannya untuk merebut kembali takhta Galuh dari Rahiang Purbasora. Di sebuah desa, ia menyaksikan pertarungan silat antara Pwah Kenanga dengan Aria Sengka, kepala pengawal Kerajaan Kalingga. Pertarungan sengit itu hampir saja menghina martabat Pwah Kenanga, namun seseorang menyerang Aria Sengka secara diam-diam untuk membela Pwah Kenanga.
Pagi-pagi sekali Rahiang Sanjaya menyiapkan kuda tunggangannya yang mempunyai
panggilan Si Jagur, kuda jantan berwarna hitam yang sangat gagah dan kuat. Setelah peristiwa “ngahiang” nya Sang Sena (ayahnya), maka Rahiang Sanjaya memutuskan untuk turun gunung memulai perjalanannya merebut kembali Karatuan Galuh dari tangan Rahiang Purbasora. Sesuai dengan pesan dari Sang Sena, tujuan pertama dari Rahiang Sanjaya adalah Rahiangtang Kidul yang berada di Denuk. Setelah semua perbekalan sekedarnya sudah naik ke atas kuda tunggangannya, Si Jagur, Rahiang Sanjaya menyempatkan diri mendatangi pondok tempat Sang Sena “ngahiang”. Dibawanya sebuah batu bulat sebesar kepala bayi dan di letakkannya sebagai tanda bahwa di tempat tersebut telah “ngahiang” seorang Raja dari Karatuan Galuh. “Ramanda…aku Rahiang Sanjaya bersumpah di hadapanmu untuk merebut kembali Karatuan Galuh!!!” suara Rahiang Sanjaya bergetar sambil berlutut di depan tempat “ngahiang” Sang Sena. Rahiang Sanjaya memacu kudanya menuruni lereng Gunung Merapi, setelah berkuda seharian akhirnya mulai memasuki sebuah pedukuhan yang cukup ramai. “Ah..lebih baik aku beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan” batin Rahiang Sanjaya sambil melompat turun dari kudanya. Dituntunnya Si Jagur menuju kesebuah tegalan yang banyak rumput hijau. “Makanlah dulu Jagur, sekalian kita berisirahat di sini” ujar Rahiang Sanjaya mengusap kepala si Jagur sambil berjalan menuju sebuah pohon besar yang cukup rindang untuk beristirahat. “Pedukuhan apakah ini?” gumam Rahiang Sanjaya sambil mulai melahap bekal yang dibawanya. Setelah dirasa cukup beristirahat, Rahiang Sanjaya menuntun kudanya memasuki pedukuhan, dihampirinya sebuah warung yang sepertinya berjualan makanan lalu ditambatkannya Si Jagur pada tempat penyimpanan kuda. “Mohon maaf boleh saya bertanya, apa nama pedukuhan ini?” tanya Rahiang Sanjaya kepada seorang lelaki tua yang sepertinya adalah pemilik warung tersebut. “Pedukuhan Tambangan Raden” jawab lelaki pemilik warung. “Sepertinya Raden habis perjalanan jauh, silahkan masuk dan beristirahatlah dulu di dalam” sambungnya ramah sambil mempersilakan Rahiang Sanjaya masuk ke dalam warungnya. Sejenak Rahiang Sanjaya merasa ragu untuk masuk ke dalam warung karena sebenarnya dia tidak mempunyai benggol tetapi setelah dipikir-pikir dan hari yang menjelang malam akhirnya diputuskan untuk sejenak beristirahat di dalam warung. Suasana di dalam warung cukup ramai dengan beberapa tamu yang sepertinya pendatang seperti dirinya. Dipilihnya tempat duduk di pojok kanan warung yang menghadap ke arah pintu masuk. Tak lama berselang, laki-laki pemilik warung menghampirinya sambil membawa poci dan sebuah cangkir dari tanah liat. “Silakan diminum Raden, silakan beristirahat sebelum meneruskan perjalanan. Jangan khawatir akan dimintai bayaran” ujar pemilik warung seolah tahu bahwa Rahiang Sanjaya tidak memiliki uang. “Terima kasih paman, memang betul saya tidak mempunyai benggol” ujar Rahiang Sanjaya. “Tidak apa-apa Raden, kalau sekedar air teh dan nasi putih tidak usah dibuat sungkan” kata pemilik warung sambil meninggalkan meja Rahiang Sanjaya sambil tersenyum. Rahiang Sanjaya menuangkan air teh dari poci ke dalam cangkir, tapi baru saja dia menyimpan poci ke atas meja tiba-tiba masuklah seorang wanita cantik berbaju kuning muda dan berusia setengah baya berpakaian ringkas ke dalam warung lalu duduk di kursi berseberangan dengan tempat duduknya. Rahiang Sanjaya adalah laki-laki muda yang dibesarkan di tengah hutan lereng Gunung Merapi, sehingga masih sangat polos jika melihat wanita cantik. Tatapannya tidak lepas dari wanita yang sebenarnya lebih cocok menjadi ibunya itu. Tiba-tiba terdengar tawa menggelegak dari meja di samping Rahiang Sanjaya, “Ha..ha..ha…sungguh sebuah keajaiban, menjelang malam seperti ini turun seorang bidadari” gelak seorang laki-laki berpakaian hitam sambil bangkit dari tempat duduknya menghampiri ke arah wanita tersebut. “Wahai bidadari, siapakah namamu?” tanya laki-laki itu sambil duduk di kursi yang berada di depan wanita cantik itu. Wanita cantik itu terlihat tenang dan tersenyum sambil menjawab acuh tak acuh, “Hmm..nama yang indah, cocok sekali dengan wajahmu yang cantik. Perkenalkan namaku Aria Sengka” ujar pria itu sambil menyodorkan tangannya ke arah Pwah Kenanga. Pwah Kenanga hanya mendengus sambil bergumam, “Dari namamu sepertinya kau adalah seorang petinggi” “Ha..ha..betul sekali cantik, aku adalah seorang kepala pengawal dari Kerajaan Kalingga” jawab Aria Sengka dengan congkak. “Tidak ada malunya seorang petinggi Kerajaan Kalingga mengganggu seorang wanita” ujar Pwah Kenanga sambil tetap acuh tak acuh bahkan memandangun tidak ke arah Aria Sengka. Aria Sengka yang tadinya berniat menggoda Pwah Kenanga menjadi tersinggung mendapat perlakuan yang seolah-olah merendahkannya. Sementara Rahiang Sanjaya tidak lepas pandangannya dari Pwah Kenanga yang terlihat semakin mempesona dengan sikap yang tidak pedulinya. “Heh..perempuan jalang lihat kepadaku, jangan kau berani menghinaku. Aku mampu membeli dirimu” kata Aria Sengka meradang. “Sayang sekali..seorang petinggi Kalingga tidak mempunyai sopan santun pada perempuan” ujar Pwah Kenanga sambil menuangkan teh dari poci ke dalam cangkir dihadapannya. Aria Sengka semakin membuncah amarahnya, dengan sekali kibas poci dan cangkir di hadapan Pwah Kenanga berhamburan. Pwah Kenanga yang merasa terancam langsung berdiri sambil tersenyum sinis. “Hanya segitu saja kemampuanmu wahai petinggi Kalingga yang agung” Pemilik warung yang melihat gelagat tidak baik segera menghampiri mereka dan berkata, “Sudah..sudah..Raden, mohon jangan membuat keributan di sini. Kasihanilah saya rakyat kecil ini” suara laki-laki tua itu menghiba. “Minggir paman…akan kuberi pelajaran perempuan jalang ini” hardik Aria Sengka sambil mendorong pemilik warung tersebut. Karena dorongan Aria Sengka dibarengi tenaga dalam, laki-laki tua itu terpental dan terjerembab di pojok warung. “He..he..seperti ini kah kelakukan petinggi Kalingga? Beraninya hanya orang-orang lemah” Pwah Kenanga dengan suara yang merendahkan. “Walaupun berwajah cantik dan bertubuh indah, jangan kira aku tidak berani melukaimu” teriak Aria Sengka sambil melayangkan pukulan ke arah Pwah Kenanga. Pwah Kenanga menyambut pukulan Aria Sengka dan terjadi benturan. Pwah Kenanga terjajar ke belakang menandakan bahwa tenaga dalamnya berada di bawah Aria Sengka. “Ha..ha..bagaimana perempuan jalang, apakah sekarang kau bersedia menemani tidurku” ujar Aria Sengka terkekeh melihat bahwa ilmu silat Pwah Kenanga masih berada di bawah ilmunya. Pwah Kenanga sadar bahwa tenaga dalamnya jauh di bawah Aria Sengka, namun mana mau wanita cantik ini menyerah. “Jangan banyak bicara seperti banci” jerit Pwah Kenanga sambil mencabut pedangnya dan berkelebat secepat kilat ke arah leher Aria Sengka. Aria Sengka mundur sambil mencabut goloknya menangkis pedang Pwah Kenanga yang mengarah ke lehernya dan..trang!! kedua senjata tersebut beradu. Kembali Pwah Kenanga terjajar mundur, tangannya kesemutan dan hampir saja pedangnya terlepas. “Hmm..bahaya, sepertinya aku tidak akan mampu menandinginya” batin Pwah Kenanga mulai jerih. Tetapi walaupun begitu mana mau Pwah Kenanga menyerah, disertai lengkingan yang keras tubuhnya berkelebat hanya menyisakan bayangan kuning menyerang ke arah Aria Sengka. “Sekarang rasakan golok ini, aku akan memeberimu pelajaran” teriak Aria Sengka dan sejurus kemudian tubuhnya ikut berkelebat mengimbangi serangan-serangan dari Pwah Kenanga. Aria Sengka bukanlah orang sembarangan, sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan dan akhirya dipercaya oleh Kerajaan Kalingga menjadi kepala pengawal. Serangan-serangan Pwah Kenanga dihindarinya dengan mudah bahkan di jurus kelima Pwah Kenanga melompat mundur dari arena pertempuran sambil menjerit kaget dan mukanya merah padam. “Kurang ajar, laki-laki mesum” Pwah Kenanga seolah menahan tangis sambil memegangi baju bagian dadanya yang robek memperlihatkan tubuh mulusnya. “Ha..ha..walaupun kau sudah tidak muda lagi ternyata tubuhmu masih kencang dan mulus” Aria Sengka terkekeh sambil matanya menyipit melihat kemolekan tubuh Pwah Kenanga. “Aku akan mengadu nyawa denganmu” jerit Pwah Kenanga sambil melompat ke arah Aria Sengka sambil menebaskan pedangnya. Dengan tenang Aria Sengka menghindar ke kiri sambil goloknya di arahkan menahan pedang Pwah Kenanga. Pedang Pwah Kenanga patah menjadi dua sedangkan tubuhya kembali terjajar ke belakang. Aria Sengka sepertinya tidak mau melepaskan Pwah Kenanga, dia mengejar dengan golok mengarah ke dada lalu meluncur deras ke arah kakinya. Pwah Kenanga menjerit kaget sambil mencoba melompat mundur menghindari tebasan golok Aria Sengka. Baju dan celana Pwah Kenanga sobek besar di beberapa tempat memperlihatkan putih dan dadanya yang putih membusung. Sementara Rahiang Sanjaya hanya terpana melihat pertarungan yang sengit tersebut, baginya ini adalah pertarungan silat pertama yang dilihatnya. Walaupun Sang Sena, ayahnya, telah menurunkan banyak ilmu kesaktian tapi belum pernah dipakainya bertarung. Pemilik warung menggigil ketakutan melihat warungnya yang berantakan. “Bajingan mesum, lebih baik kau bunuh aku daripada kau hina seperti ini” Pwah Kenanga setengah menangis sambil mencoba menutupi dadanya yang putih membusung. “Ha..ha..aku pasti akan membunuhmu setelah menikmati kehangatan tubuhmu” ujar Aria Sengka sambil meleletkan lidahnya. “Buka celanamu…” teriak Aria Sengka sambil menebaskan goloknya ke arah celana Pwah Kenanga yang sudah pasrah tidak bisa menghindar lagi hanya bisa memejamkan matanya. Sesaat lagi golok Aria Sengka akan mempermalukan Pwah Kenanga tiba-tiba selarik cahaya biru menghalangi. Aria Sengka terjajar mundur sambil berteriak, “Bajingan..siapa yang menyerangku diam-diam” sambil menahan sakit ditangannya, Aria Sengka mengedarkan pandangannya. “Aku tidak suka caramu memperlakukan perempuan” ujar laki-laki muda berbaju hitam yang ternyata adalah Rahiang Sanjaya sambil memegang keris panjang yang mengeluarkan cahaya kebiru-biruan. “Cepat pakai baju ini” ujar Rahiang Sanjaya sambil melemparkan baju ke arah Pwah Kenanga. Dengan cepat Pwah Kenanga menyambutnya dan memakainya menutupi tubuhnya yang hampir setengah telanjang. “Siapa kau anak muda? Berani-beraninya mencampuri urusan Kerajaan Kalingga” hardik Aria Sengka ke Rahiang Sanjaya. “Aku bukan siapa-siapa” ujar Rahiang Sanjaya pendek. “Rasakan ini” jerit Aria sengka sambil mengarahkan goloknya ke leher Rahiang Sanjaya. “Hati-hati anak muda” teriak Pwah Kenanga yang khawatir akan keselematan pemuda yang telah menyelamatkannya. Rahiang Sanjaya tersenyum ke arah Pwah Kenanga, lalu berkelebat menyambut serangan Aria Sengka. Tubuh keduanya bergerak sangat cepat hanya kelihatan bayangannya, kursi dan meja berhamburan berantakan. Pertarungan sengit hanya terjadi sekitar 6 jurus, setelah itu terlihat Aria Sengka terdesak oleh Rahiang Sanjaya. Beberapa kali wajahnya terlihat meringis setiap terjadi benturan goloknya dengan keris panjang Rahiang Sanjaya, sampai akhirnya Pukulan tangan kiri Rahiang Sanjaya mendarat di dada Aria Sengka diikuti oleh sabetan kaki kiri menghajar pinggangnya. Aria Sengka terpelanting dan goloknya terlepas, tubuhnya jatuh ke atas tanah dan dari sela bibirnya mengalir darah. Sepertinya pukulan Rahiang Sanjaya telah menyebabkan Aria Sengka terluka dalam. “Kau..kau..” erang Aria Sengka lalu jatuh tak sadarkan diri. Rahiang Sanjaya segera menyarungkan keris panjangnya dan menoleh ke arah Pwah Kenanga. “Sebaiknya nyimas segera meninggalkan tempat ini sebelum dia sadar” ujar Rahiang Sanjaya. “Terima kasih Raden, sebaiknya kita berdua segera meninggalkan tempat ini karena sebentar lagi pasukan Kerajaan Kalingga pasti akan mencari kita” bisik Pwah Kenanga sambil memegang tangan Rahiang Sanjaya. Seumur hidup Rahiang Sanjaya belum pernah dipegang oleh perempuan, tubuhnya berdesir dan darahnya seolah mengalir lebih cepat. Mukanya memerah dadu. Pwah Kenanga menghampiri laki-laki tua pemilik warung sambil mengeluarkan benggol dari saku celananya, “Terimalah ini paman, untuk mengganti segala kerusakan” ujar Pwah Kenanga. Setelah memberikan benggol kepada pemilik warung, Pwah Kenanga menghampiri Rahiang Sanjaya. “Ikuti aku” bisiknya sambil memegang tangan Rahiang Sanjaya.