Anda di halaman 1dari 6

RAHIANG SANJAYA : PERJALANAN MEREBUT

TAHTA KARATUAN GALUH #4


www.bedapandang.com

KEBO SAKETI DAN ISTRINYA, NILAM!

Setelah tinggal beberapa hari tinggal di pondoknya Pwah Kenanga, pagi itu Rahiang
Sanjaya akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Denuk untuk
menemui Rahiangtang Kidul.
“Nyimas, saatnya aku pergi meneruskan perjalananku. Sudah terlalu lama tinggal di
sini”  ujar Rahiang Sanjaya kepada Pwah Kenanga yang sedang menyisir dan
mengeringkan rambutnya yang basah.
“Kenapa harus secepat itu Raden, apakah aku kurang melayanimu?”  jawab Pwah
Kenanga yang sekarang memanggil Raden kepada Rahiang Sanjaya setelah mengetahui
asal usulnya.
“Tidak..tidak..bukan seperti itu Nyimas, aku sangat senang berada di pondok
bersamamu. Tapi aku punya tugas yang harus diselesaikan”  Rahiang Sanjaya
meyakinkan Pwah Kenanga sambil memandangnya mesra.
Setelah menggulung rambutnya di atas kepalanya, Pwah Kenanga bangkit dari duduknya
menghampiri ke arah Rahiang Sanjaya yang sedang duduk bersila tidak jauh darinya.
Pwah Kenanga berlutut di hadapannya lalu menggenggam tangan Rahiang Sanjaya
dengan erat.
“Ah…Raden, berat sekali tugasmu. Andai saja aku dapat membantumu”  lirih Pwah
Kenanga yang sudah mendapat cerita dari Rahiang Sanjaya mengenai niatnya merebut
kembali tahta Karatuan Galuh dari Purbasora.
“Tidak Nyimas, ini bukan tugas tapi adalah sebuah kewajiban buatku. Tidak menjadi
sebuah beban”  ujar Rahiang Sanjaya tersenyum sambil meremas tangan halus Pwah
Kenanga.
“Raden, tidak bisa kah tinggal satu malam lagi? Biar aku bisa melayanimu untuk yang
terakhir kali.”  lirih Pwah Kenanga sambil menahan airmata yang mulai menggenang di
sudut matanya. Walaupun perbedaan usia mereka sangat jauh bahkan usia Pwah
Kenanga hampir 2 kali usia Rahiang Sanjaya, tetapi ikatan rasa sayang diantara mereka
begitu kuat.
“Tidak Nyimas, hari ini adalah hari yang baik untuk memulai lagi perjalananku”  suara
Rahiang Sanjaya parau, berat baginya meninggalkan Pwah Kenanga yang selama
beberapa hari ini telah merubahnya menjadi lelaki dewasa. Diciuminya kedua tangan
Pwah Kenanga dengan mesra.
“Raden..”  rintih Pwah Kenanga sambil memeluk Rahiang Sanjaya, disusupkannya
wajahnya di dada anak muda yang entah mengapa sangat disayanginya.
Mereka berpelukan seolah tidak mau dipisahkan, berguling di atas lantai pondok yang
dingin. Darah seolah mendidih oleh gairah yang selama berhari-hari tak jua surut,
gemerisik angin menggoyangkan daun-daun di luar pondok seakan menyamarkan suara
deru nafas yang berkejaran.
“Raden…lebih baik merubah penampilanmu supaya tidak menarik perhatian orang” ujar
Pwah Kenanga sambil membelai dada bidang Rahiang Sanjaya.
“Menurutmu aku harus berpenampilan seperti apa? Sejak aku kecil sudah terbiasa
seperti ini” jawab Rahiang Sanjaya.
“Sebentar Raden….”  Pwah Kenanga beringsut mendekati rak yang terdapat tumpukkan
pakaian lalu mengambil beberapa helai dan diangsurkannya ke Rahiang Sanjaya.
“Pakailah Raden, badan dan wajahmu harus lebih tertutup supaya orang lain tidak bisa
mengenali garis kebangsawananmu” ujar Pwah Kenanga.
“Pakai caping ini dan berhati-hatilah di jalan, jangan orang lain mengenali jati diri aslimu.
Karena bisa saja mereka adalah mata-mata Kerajaan Galuh” ujar Pwah Kenanga sambil
bergelayut di tangan kiri Rahiang Sanjaya. Mereka berjalan berdampingan mesra
meninggalkan pondok menuju ke tepian sungai Lohku. Matahari sudah di atas kepala,
namun teriknya seolah tidak terasa oleh mereka.
“Nyimas sepeninggal aku sebaiknya mencari laki-laki yang akan bisa menjagamu. Aku
khawatir Aria Sengka masih tergila-gila kepadamu” Rahiang Sanjaya sengaja menggoda
Pwah Kenanga.
Digoda seperti itu, wajah Pwah Kenanga memerah dadu sambil mencubit pinggang
Rahiang Sanjaya.
“Sayangnya laki-laki yang kucintai masih terlalu muda, lebih cocok menjadi anakku”
Pwah Kenanga balik menggoda Rahiang Sanjaya.
Sesampainya di tepi sungai Lohku sudah tersedia rakit yang akan dipakai Rahiang
Sanjaya melintasi sungai. Dilepaskannya pelukan Pwah Kenanga di tangannya lalu
menuntun Si Jagur naik ke atas Rakit, setelah itu Rahiang Sanjaya kembali menghampiri
Pwah Kenanga.
“Nyimas aku pergi, terima kasih atas semua kebaikanmu”  parau suara Rahiang Sanjaya
menahan kesedihan.
“Selamat jalan Raden, semoga tujuanmu cepat tercapai” tangis Pwah Kencana pecah.
“Setelah berhasil, aku berjanji akan menemuimu lagi di sini” bisik Rahiang Sanjaya sambil
mengusap pipi Pwah Kenanga yang basah oleh air mata.
“Tidak Raden, jangan pernah berjanji, carilah perempuan bangsawan yang sebanding dan
sebaya dengamu” isak Pwah Kenanga.
“Pergilah Raden dan tetaplah berhati-hati. Jangan mudah percaya kepada orang
lain”  bisik Pwah Kenanga. Dikecupnya bibir Rahiang Sanjaya lalu secepat kilat Pwah
Kenanga berkelebat meninggalkan meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Pwah Kenanga, Rahiang Sanjaya bergegas melompat ke atas rakit yang
sudah berada Si Jagur  kudanya. Dengan mengandalkan tenaga dalamnya, Rakit melaju
cepat melintasi sungai Lohku. Sementara di balik rungkun  ilalang, Pwah Kenanga
mengawasinya dengan berurai air mata.
Sesampainya di seberang sungai, Rahiang Sanjaya melompat ke daratan lalu menarik Si
Jagur  turun dari atas rakit. Setelah menambatkan kembali rakit ke batang pohon,
Rahiang Sanjaya melompat dengan enteng ke atas punggung Si Jagur, dilepaskannya
pandangan ke arah seberang sungai.
“Terima kasih Nyimas”  gumam Rahiang Sanjaya sambil mengangkat  caping  di atas
kepalanya lalu memacu si Jagur ke arah barat.
Rahiang Sanjaya memacu kudanya secepat kilat, dibantu dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang cukup tinggi sehingga Si Jagur  seolah tidak merasakan beban
dipunggungnya. Menjelang malam Rahiang Sanjaya memasuki sebuah pedukuhan yang
cukup padat. Rumah-rumah yang berjejer rapi di kiri kanan jalan menunjukkan bahwa
pedukuhan itu cukup makmur.
“Lebih baik aku melewati saja pedukuhan ini” gumam Rahiang Sanjaya sambil memacu
kudanya melintasi pedukuhan tersebut. Tidak berapa lama Rahiang Sanjaya sudah keluar
dari pedukuhan tersebut menuju ke arah hutan yang cukup lebat dan sangat gelap.
Rahiang Sanjaya melompat turun dari punggung Si Jagur  lalu menuntunnya berjalan
memasuki hutan dan berhenti di pinggir sebuah tegalan rumput yang cukup luas.
“Hush..sana Jagur..kita istirahat dan makan dulu di sini”  ujar Rahiang Sanjaya sambil
menepuk punggung Si Jagur. Lalu diambilnya buntelan berisi bekal yang diberikan oleh
Pwah Kenanga.
Cahaya matahari yang malu-malu muncul dari arah timur membangunkan Rahiang
Sanjaya yang pulas tertidur beralaskan daun di bawah sebuah pohon Kiara.
Dipicingkannya matanya karena silau lalu bangun dari tempatnya tidur sambil
menggosok-gosok kedua matanya.
“Ah..aku kesiangan” batin Rahiang Sanjaya yang sejak tinggal di pondok bersama Pwah
Kenanga seringkali terbangun setelah matahari terbit. Sebuah kebiasaan yang
berlawanan dengan kehidupannya di lereng Gunung Merapi, biasanya sebelum matahari
terbit Sang Sena, ayahnya, sudah akan menggemblengnya dengan latihan silat.
Setelah membereskan buntelannya dan mencuci mukanya dengan cireumis  yang
menggenang di atas daun-daun, Rahiang Sanjaya mengencangkan caping yang menutup
kepala dan sebagian mukanya lalu bersiul memanggil Si Jagur, kuda tunggangannya.
Si Jagur yang mendengar siulan majikannya berlari menghampiri Rahiang Sanjaya, sekali
lompat sudah bertengger di atas punggungnya. Ditepuk-tepuknya leher Si Jagur  sambil
berkata,
“Ayo Jagur, berlarilah secepat kilat supaya kita segera sampai di tujuan”
Seolah mengerti apa yang di ucapkan oleh Rahiang Sanjaya, Si Jagur  melompat dan
berlari dengan kencang seolah berkejar-kejaran dengan matahari menuju ke arah barat.
Seolah tidak merasakan lelah dan capai, seharian Si Jagur  terus memacu langkahnya,
menjelang petang sampailah mereka di sebuah bukit yang cukup tinggi. Rahiang Sanjaya
menepuk punggung Si Jagur memintanya berhenti,
“Hush..hush..berhentilah dulu, kita istirahat dan bermalam saja di sini”  ujar Rahiang
Sanjaya berbicara kepada Si Jagur seolah berbicara dengan manusia. Si Jagur
memperlambat langkahnya lalu berhenti di bawah sebuah pohon besar. Rahiang Sanjaya
sebat melompat turun dan membiarkan Si Jagur beristirahat sambil makan rumput-
rumput yang tumbu lebat.
“Hmmm..sepertinya terdengar suara gemuruh, tapi suara dari mana?”  Rahiang Sanjaya
membatin.
“Lebih baik aku melihatnya dari atas pohon saja”  sekali genjot, tubuh Rahiang Sanjaya
seolah terbang melayang ke atas pohon yang paling tinggi dan hinggap di atas dahan.
Diedarkannya pandangan ke arah selatan dilihatnya garis pantai dengan riak ombaknya
yang sangat besar, lalu di sebelah barat terlihat sebuah pedukuhan yang sangat besar
dan juga sungai yang cukup lebar.
“Ah…ternyata sudah dekat dengan pantai, lebih baik aku menyusuri pantai ini saja untuk
menghindari orang-orang Kerajaan Galuh” batin Rahiang Sanjaya sambil melompat turun.
Baru saja kakinya menginjak tanah, terdengar teriakan-teriakan orang saling memaki.
Rahiang Sanjaya menajamkan pendengarannya mencari dari mana arah suara tersebut.
Dengan berhati-hati diikutinya arah suara tersebut, dari balik pohon yang besar dilihatnya
sedang terjadi perkelahian antara dua orang lelaki yang tidak jelas telihat karena gerakan
mereka cukup cepat. Sementara tak jauh dari arena pertempuran terlihat sebuah pedati
yang ditarik seekor kerbau dan juga seorang perempuan cantik bersama seorang anak
kecil yang tidak berhenti menangis.
“Ah..ada apa lagi ini?” gumam Rahiang Sanjaya gusar.
Sementara di arena pertempuran rupanya sudah berjalan tidak seimbang, gerakan
mereka sudah tidak secepat tadi bahkan seorang dari mereka tersungkur sambil
memegangi dadanya yang terkena pukulan, dari sudut bibirnya meleleh darah segar.
“Mau lari kemana kau Kebo Saketi, aku tidak akan melepaskanmu”  teriak laki-laki yang
bertubuh tinggi besar.
“Aku sudah membayar semua utangku Ranggalewa, jadi jangan ganggu lagi
keluargaku” jawab lelaki yang dipanggil Kebo Saketi sambil mencoba berdiri.
“Ha..ha..ha..tidak semudah itu Kebo Saketi. Kau harus menyerahkan istrimu dan pedati
kerbau itu kepadaku. Baru bisa melunasi semua hutang-hutangmu” dengus Ranggalewa
bengis.
“Kau boleh mengambil pedati dan kerbaunya tapi lepaskan keluargaku.”  suara Kebo
Saketi memelas.
Tiba-tiba perempuan yang berdiri dekat pedati kerbau menghambur ke arah mereka dan
berlutut di hadapan Ranggalewa.
“Kakang Ranggalewa..tolong ampuni dan biarkan kami pergi. Kami sudah tidak
mempunyai harta lagi untuk diserahkan kepadamu”  ujar perempuan cantik itu sambil
bercucuran air mata.
“Nilam..cepat kau menyingkir, aku akan mengurusmu setelah membunuh suamimu yang
tidak becus ini”  bentak Ranggalewa kepada perempuan yang ternyata adalah istri dari
Kebo Saketi.
Melihat istrinya berlutut di depan Ranggalewa, Kebo Saketi segera menariknya dan
mendorongnya ke arah pedati.
“Nilam cepat minggir dan bawa Sancaka lari dari sini” perintah Kebo Saketi pada istrinya.
Nilam memeluk adik laki-lakinya yang bernama Sancaka sambil berbisik.
“Sancaka, cepat kau pergi dari sini dan pergilah ke kakek di kaki Gunung Lawu. Belajarlah
ilmu silat dan kesaktian pada kakek”
“Tapi keuceu (panggilan kakak perempuan), bagaimana dengan dirimu dan
kakang?” Sancaka bergeming.
“Jangan pikirkan kami, tapi kau harus ingat bahwa yang membunuh keuceu dan
kakangmu adalah Ranggalewa….balaskan dendam kami!!!” ujar Nilam bergetar.
Setelah dipaksa oleh Nilam, Sancaka akhirnya bersedia untuk melarikan diri.
“Baiklah keuceu, Sancaka berjanji untuk membalaskan dendam ini” suara Sancaka parau
sambil memeluk Nilam, setelah itu berlari kencang ke arah timur.
“Nilam, kau juga segera pergi” teriak Kebo Saketi lemah lalu menyemburkan darah segar
dari mulutnya. Kebo Saketi ambruk tidak bergerak.
“Tidak Kakang..aku akan bersamamu menyambut maut”  ujar Nilam sambil mencabut
pisau yang terselip di pinggangnya.
“Ha…ha..ha..Nilam aku akan mengampuni nyawamu asalkan kau mau menjadi
istriku” Ranggalewa tergelak.
“Kakang Ranggalewa..aku adalah adik dari istrimu, bagaimana mungkin kau
menginginkan aku jadi istrimu?”  lengking Nilam sambil memandang penuh kebencian
pada Ranggalewa.
“Nilam…wajah dan tubuhmu jauh lebih indah daripada kakakmu. Sejak lama aku ingin
memperistrimu tapi Kebo Saketi sialan itu telah mengancurkan rencanaku”  jawab
Ranggalewa sambil berjalan mendekati Nilam.
“Berhenti Kakang..jangan mendekat atau aku akan membunuh diriku” ujar Nilam sambil
mendekatkan pisau ke lehernya.
“Nilam..kau jangan bodoh, aku akan membahagiakanmu kalau perlu aku akan
meninggalkan kakakmu” teriak Ranggalewa sambil menghentikan langkahnya.
“Jangan mimpi Kakang, kau telah menjebak suamiku dengan hutang yang sangat besar,
hanya untuk memuaskan nafsu binatangmu. Terkutuk kau!!!”  jerit Nillam sambil
mengayunkan pisau ke arah lehernya sendiri.
“Jangan Nilam….!!!” teriak Ranggalewa kaget.
Di saat yang kritis tiba-tiba,
“Trang…”  pisau di tangan Nilam terpental sebelum menyentuh lehernya yang jenjang.
Sebuah caping  telah menghantam pisau di tangan Nilam disusul sebuah bayangan
berkelebat cepat menyambar Nilam dan menghilang di balik pepohonan.

Anda mungkin juga menyukai