TERJEMAH
&
TAFSIR REFORMASI
JILID I
Surat 1 (Al-Faatihah)
s/d.
Surat 6 (Al-an`am)
Ahmad Hariadi
Penerbit
Judul:
Alquran Alhakim
Terjemah dan Tafsir Reformasi
Jilid 1 (surat 1 s/d. surat 6)
Penulis:
Ahmad Hariadi
Editor:
Tim Penerbit Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin
Perwajahan Isi:
Tim Penerbit Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin
Pewajah Sampul:
Tim Penerbit Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin
Cetakan:
Pertama, September 2020
Penerbit
(1)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah)
(2)
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,
dan / atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah).
iv
v
Prakata Penerbit
umat lain di mana-mana dengan Visi dan Misinya yang “Rohmatan lil
`aalamiiin”.
Demikianlah harapan penerbit, mudah-mudahan pemaparan
yang bermanfaat yang ada dalam Kitab tersebut dapat menjadi “
A`maal Jaariyah” dan “Al-Baaqiyaat ASh-Shoolihaat” bagi penulisnya,
Amin!
Pengantar Penulis
AHMAD HARIADI
2. Bapak KH. Sidik Abbas di Jombang, Jawa Timur, beliau ini adalah
ulama Muhammadiyah yang dahulunya ulama NU (di tempat beliau
ini, penulis belajar Qiro’at/membaca Alquran berdasarkan ilmu
Riwayah dan Diroyah, di samping menerjemahkan Alquran kata
demi kata dan tafsirnya yang disertai ilmu Nahwu Sorof di sana-
sini).
3. Kiai Adlan di Pesantren Cukir, Tebu Ireng, Jombang (di tempat ini
khusus memperdalam ilmu Qiro’at/bacaan Alquran berdasarkan ilmu
Riwayah dan Diroyah).
4. Ustazd Manshur, putra pendiri ideologi Persis, A. Hasan (di tempat
ini mempelajari ilmu Nahwu Sorof dengan memakai kitab “Alfiyah
bin Malik,” di samping mempelajari sendiri buku-bukunya A. Hasan,
terutama bukunya yang berjudul "Kitaabuttashriif 3 jilid" dan buku
“Soal-Jawab, 4 jilid”).
5. Bapak KH. Mukhtar Mukti di Ploso, Jombang (di tempat ini
mempelajari “Torikoh Siddiqiyyah”).
6. Bapak KH. Majid Ilyas di Plampitan, Peneleh, Surabaya (di tempat
ini selain mengikuti pengajian-pengajiannya di setiap pagi hari,
penulis sering berdialog langsung dengannya dalam masalah-
masalah yang pelik termasuk masalah ajaran Ahmadiyah).
7. Bapak HAMKA di Kebayoran Baru, Jakarta, dekat Mesjid Al-Azhaar
(dengan beliau ini penulis berdialog langsung tentang tiga masalah
penting ajaran Ahmadiyah selama tiga hari di rumahnya. Dan
dengan perantaraan rekomendasi Bapak Hamka-lah, penulis dapat
berjumpa dengan Bpk Muhammad Natsir, Pendiri Partai Masyumi
di kediamannya Jl. Cokroaminoto, Menteng, Jakarta. Dan dari
beliau inilah penulis memperoleh buku "Verslag Debat", hasil
perdebatan tentang 'tiga masalah penting ajaran Ahmadiyah' antara
A. Hassan Persis dengan dua mubalig Ahmadiyah, yaitu Rahmat
Ali HAOT dari India dan Abu Bakar Ayub HA dari Padang tahun
1933 di Gang Kenari, Batavia ... dst ... dst).
Beberapa minggu setelah itu, penulis memutuskan untuk baiat
masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah di Bandung pada bulan
Desember 1973 M. Dan satu tahun delapan bulan kemudian, penulis
diangkat menjadi mubalig Ahmadiyah pada bulan agustus 1975 M.
dengan tugas di Medan, Sumut ... dst ... dst.
Dan pada waktu menjadi mubalig Ahmadiyah di Kebayoran
Lama, Jakarta Selatan, penulis pernah diberi tugas oleh Pusat
xv
memberikan khotbah Jumat sebanyak kurang lebih 400 kali dari masjid
ke masjid, dari kantor ke kantor, dan dari perguruan tinggi ke
perguruan tinggi yang ada di Jakarta. Dari pengalaman ini, penulis
pun dapat pelajaran yang sangat berharga di waktu itu dan di kemudian
hari, karena di samping khotbah-khotbah Jumat, dialog-dialog dengan
sebagian para jamaah pun diadakan sesudah salat Jumat. Yang dari
itu semua, penulis dapat mengetahui secara langsung tentang pola
pikir yang berbeda-beda dari masing-masing mereka di dalam
memahami ajaran Islam, ada yang lunak, ada yang keras, ada yang
rasional, ada yang tidak rasional, dan ada juga yang taklid terhadap
kitab-kitab ulama tertentu dengan cara yang membabi buta dan lain-
lain.
Dan di sela-sela selama lebih dari sepuluh tahun tersebut,
penulis pun melakukan pengembaraan dengan memasuki secara
langsung ke dalam tubuh “Jamaah Tabligh” yang berpusat di masjid
Kebun Jeruk, Jakarta Pusat, dan di masjid Muttaqin, Ancol, Jakarta,
(masjid yang terakhir ini kepunyaan seorang dokter spesialis paru-
paru yang bernama dokter Nur). Dan kemudian, penulis beserta dokter
Nur tersebut mengamalkan Khuruuj fii sabiilillah selama 40 hari ke
pulau Batam … dst ... dst. Sehingga dengan pengalaman ini pun di
kemudian hari ada manfaatnya yang besar sekali bagi penulis, terutama
dalam masalah-masalah hadis-hadis palsu yang membenci dunia yang
ada dalam kitab "Fadlooilul-A’maal" yang biasa dijadikan rujukan
dalam pengajian-pengajiannya dan diamalkan oleh Jamaah Tabligh
tersebut. Sehingga pada waktu itu, penulis berpikir “alangkah baiknya
kalau mereka-mereka itu menomorsatukan Alquran untuk dipelajari
dan dikaji, sehingga mereka akan dengan mudah dapat mendeteksi
mana hadis-hadis yang palsu dan mana hadits-hadits yang benar-
benar sabda Rasulullah saw.”
Dan di sela-sela waktu tersebut (antara tahun 1998-1999),
penulis juga mengunjungi “Jamaah Salamullah” yang ada di Jl. Mahoni
30, Kemayoran, Jakarta. Di tempat tersebut, penulis menyaksikan
langsung berkali-kali, lebih dari sepuluh kali tentang keadaan seorang
wanita yang bernama Lia Aminudin, pendiri Jamaah tersebut tatkala
ia sedang menggigil, kejel-kejel disapa oleh wujud yang konon adalah
malaikat Jibril. Dan dalam keadaan setengah sadar inilah para
muridnya yang perempuan memegang erat-erat tangan dan kakinya,
dan ada salah seorang yang mengetik di laptop setiap perkataan yang
xviii
Teks Alquran
dalam Surat 27 ayat 81, dan kata dalam Surat 22 ayat 54, dan
Surat 30 ayat 53! )
Dan dalam Terjemahan Alquran ini, teks Arab Alqurannya sudah
disesuaikan dengan perbaikan-perbaikan yang tersebut (harap
menjadi maklum).
Dan kemudian teks ayat-ayat Alqurannya ditaruh di sebelah kanan,
dan terjemahan bahasa Indonesianya ditaruh di sebelah kiri. Dan
terjemahannya itu di setiap akhir halaman akan selalu dipaskan dengan
kata-kata Arab yang diterjemahkan yang ada di akhir halaman itu juga.
Penjelasan Tanda-tanda Baca Waqof/Berhenti dan Washol/
Tidak Berhenti yang Sudah Disederhanakan Berdasarkan Yang
Ada Dalam “Mushaf Standar Utsmani Indonesia”:
1. Tanda = Harus berhenti di tempat yang diberi tanda.
2. Tanda = Tidak boleh berhenti, kecuali tanda itu ada di akhir
ayat.
3. Tanda = Berhenti dan tidak berhenti sama-sama dibolehkan.
4. Tanda = Boleh berhenti, tetapi tidak berhenti lebih utama.
5. Tanda = Boleh tidak berhenti, tetapi berhenti lebih utama.
6. Tanda = Berhenti sejenak waktu membaca dengan tidak
boleh bernafas.
7. Tanda = Boleh berhenti di salah satu tempat yang diberi
tanda, tetapi tidak boleh berhenti pada keduanya.
8. Tanda
yang ada pada
kata = pada waktu membaca -nya, bibir bawah dinaikkan
ke atas, karena kata yang ada pada Surat 12
ayat 11 itu asalnya
Dan selanjutnya tanda Titik, tanda Koma, dan tanda-tanda baca
lainnya yang ada dalam terjemahan bahasa Indonesianya yang ada
dalam Terjema-hanAlquran ini, tidak selalunya mengikuti tanda-tanda
baca yang ada dalam teks Alqurannya. Hal ini biasa terjadi karena
berbeda-bedanya pemahaman terhadap sesuatu kalimat dalam ayat
Alquran. Sebagai contohnya dalam surat 12 ayat 24, pada kalimat:
diberi tanda baca huruf , dan di atas kata diberi tanda huruf ,
dan lagi di atas kata diberi tanda huruf . Sedangkan di dalam
Mushaf Alquran Standar Utsmani yang bukan Indonesia seperti yang
ada dalam Terjemah Alquran Departemen Agama cetakan Saudi
Arabia, di mana di atas kata diberi tanda huruf , dan di atas
kata tidak diberi tanda, dan lagi di atas kata diberi tanda huruf
. Dan dalam Terjemahan Depag tersebut setelah terjemahan kata
ditaruh tanda baca Koma, dan setelah terjemahan kata ditaruh
tanda baca Titik. Padahal tanda baca itu menunjukkan “tidak diberi
tanda Koma adalah lebih baik”, sedangkan tanda baca itu
menunjukkan “antara diberi tanda Koma dan tidak diberi tanda Koma
adalah sama saja”. Sedangkan dalam Terjemahan Alquran ini, sesudah
terjemahan kata diberi tanda Titik, dan sesudah terjemahan kata
diberi tanda Titik juga. Perbedaan tanda-tanda baca tersebut
terjadi karena berbeda-bedanya pemahaman dari orang-orang yang
memberi tanda baca di dalam memahami kalimat dalam sebuah ayat,
baik dalam teks Alqurannya ataupun dalam terjemahannya.
Untuk lebih jelasnya hal tersebut, dapat dilihat dalam kitab
Terjemah/Tafsir penulis “YASSARNAL-QUR’AN”pada kalimat yang
berhubungan dengan Nabi Yusuf dalam surat 12 ayat 24 dan
keterangannya No. 459.
xxxii
xxxiii
DAFTAR ISI
No. Hlm.
1. UNDANG-UNDANG HAK CIPTA ... ... ... ... iii
2. Prakata Penerbit ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... . v
3. Pengantar Penulis ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... vii
4. Biografi dan Pengembaraan Penulis ... ... ... xiii
5. Teks Alquran ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... xxix
6. Daftar Isi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. xxxiii
7. Terjemah dan Tafsir Reformasi (Surat 1 s/d.
Surat 6) ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 1 s/d. 223
8. Catatan Akhir Surat 1 s/d. Surat 6 ... ... ... ... 226
9. Daftar Buku/Kitab Bacaan ... ... ... ... ... ... ... 309
10. Diantara Buku-Buku Penulis yang Telah
Terbit ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 315
*******
TERJEMAH DAN TAFSIR
REFORMASI
SURAT 1
S/D.
SURAT 6
SURAT 1, AL-FAATIHAH 1 Juz 1
= PEMBUKA
, AN-NISAA', dan 5,
, baik yg di bawah garis
tasnya, tanda komanya
diri (').
SURAT 3, AALI `IMROON = 102 Juz 4
KELUARGA IMRAN
2
SURAT 4, AN-NISAA' = 152 Juz 6
PEREMPUAN-PEREMPUAN
1
SURAT 6, AL-AN`AAM = 202 Juz 7
HEWAN-HEWAN TERNAK
-
SURAT 6, AL-AN`AAM = 216 Juz 8
HEWAN-HEWAN TERNAK
1.Kata "bi" yang ada pada bismillah (bi dan ismi) diterjemahkan "dengan
perantaraan." Kata "bi" dalam ilmu Nahwu atau gramatika Arab itu bisa
mempunyai lebih dari 10 arti, yang di antaranya: a. dengan, b. dengan
perantaraan, c. demi, d. disebabkan, e. terhadap/pada, f. di dalam/dalam,
g. tentang, h. oleh, dan lain-lain (lihat kitab nahwu Alfiah di bagian huruf-
huruf Jar). Hal ini tentunya tergantung pada susunan kalimat, dan dalam
konteks apa seseorang itu memahaminya.
Seseorang dengan profesi apa pun dalam memahami surat Alfatihah
ayat 1 sampai dengan ayat 7 tersebut harus memahaminya secara utuh
dalam satu rangkaian, yakni "segala sesuatu di alam semesta ini
keberadaannya karena adanya rahmat atau kasih sayang Allah (surat 7
ayat 156 di kalimat 'rohmatii wasiat kulla syai'in')". Yang karenanya,
siapa pun dengan profesi apa pun yang dalam menjalani kehidupannya
sesuai dengan petunjuk wahyu Ilahi dalam Kitab Suci, maka seseorang
tersebut akan memperoleh rahmat-Nya dalam bentuk keberhasilan,
kepuasan, dan kebahagian sebagai balasan dari usaha keras dan
perjuangannya, baik kebahagian di dunia ini maupun sesudah kematian
nanti. Di saat itulah, dia selalu memuji Allah dari lubuk hatinya yang
paling dalam dengan mengatakan atau mengungkapkan, "Pujian yang
hakiki itu adalah milik Allah, Tuhan alam semesta, Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyang, Yang berkuasa menentukan hari pembalasan, baik
yang berbuat kebaikan maupun kejahatan. Oleh karena itu, hanya kepada
Engkau kami menghamba dan hanya kepada Engkau kami meminta
pertolongan, dan bimbinglah kami dalam menjalani kehidupan yang
penuh tantangan ini, terutama dalam menjalani profesi kami, agar
senantiasa sesuai dengan tuntunan-Mu. Yakni tuntunan yang telah
dijalani oleh orang-orang yang telah Engkau beri nikmat sebelum kami,
bukan tuntunan palsu yang telah dijalani oleh orang-orang yang Engkau
murkai, dan bukan pula tuntunan orang-orang yang menyimpang dari
tuntunan wahyu-Mu."
Makna dari rangkaian pokok tujuh ayat dalam surat Alfatihah itu, niscaya
akan melahirkan ungkapan yang lebih dalam dan lebih luas lagi bagi
seseorang yang lebih tinggi tingkat kesadarannya dalam mematuhi aturan
Ilahi. Yang hal ini tentunya sesuai dengan profesi, tingkat kedalaman
ilmu, dan berbagai pengalaman empiris serta spiritualnya.
Kata "Arrohmaan" di ayat 1 ini dalam Alquran disebut sebanyak 57 kali,
dan kata "Arrohiim/rohiim" sebanyak 114 kali. Keduanya adalah "sifat
CATATAN AKHIR SURAT 1, 227
AL-FAATIHAH
induk" dari sifat-sifat Allah yang lain. Dalam Alquran, tidak ada sifat-
sifat Allah yang lain diulang-ulang sebanyak itu. Kedua kata itu berasal
dari kata pokok/masdar "rohmat" yang artinya "kasih-sayang" dan disebut
dalam Alquran sebanyak 79 kali. Dan di dalam sifat Allah "Yang Maha
Pengasih lagi Maha penyayang" itu ada unsur yang maha penting, yakni
di samping Allah itu suka mengasih atau memberi, Dia juga suka
menyayangi.
2.Huruf alif dan lam yang ada pada kata "alhamdu" menunjuk kepada
makna tertentu alias isim Makrifat, maksudnya kata "alhamdu" di situ
menunjukkan kepada makna "pujian yang hakiki".
3.Kedua sifat Allah di ayat 1 diulangi lagi di ayat 3 ini, menunjukkan bahwa,
kedua sifat itu adalah sifat Allah yang maha penting.
5.Kata " kami menghamba" di ayat 5 ini adalah terjemahan dari kata
"na`budu" karena ia berasal dari masdar/kata pokok " `abdun" yang
artinya "hamba atau penghambaan." maksudnya " mengimani dan
mematuhi ketetapan-ketetapan Allah, baik perintah maupun larangan-
Nya, dll." Kata "na'budu" di situ sengaja tidak diterjemahkan dengan
arti "kami menyembah" karena kata "menyembah" itu lebih bersifat ritual
yang tentunya pengertiannya lebih sempit daripada kata "menghamba"
(lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia! ). Yang KBBI tersebut akan selalu
CATATAN AKHIR SURAT 1, 228
AL-FAATIHAH
7.Di ayat 7 ini ada tiga macam tuntunan atau pedoman yang dipegang
teguh oleh tiga golongan manusia:
a.Tuntunan golongan orang-orang yang dianugeri nikmat oleh Allah yang
bersumber dari wahyu Ilahi, yang di dalam memahaminya mau
menggunakan akal sehat serta hati nuraninya yang jujur lagi tulus.
b.Tuntunan golongan orang-orang yang dimurkai oleh Allah, yang
bersumber dari ajaran-ajaran palsu yang bertentangan dengan wahyu
Ilahi.
c. Tuntunan golongan orang-orang yang menyimpang/sesat, yang
bersumber dari ajaran-ajaran yang menyimpang dari wahyu Ilahi).
Golongan kesatu sifatnya umum, dan golongan kedua dan ketiga sifatnya
juga umum. Jadi golongan manusia dari bangsa apa pun dan dari
penganut agama manapun, kalau mereka mematuhi pesan-pesan wahyu
Ilahi dalam Kitab Suci, pastilah mereka akan masuk golongan yang
pertama. Jika mereka tidak mematuhinya dan mematuhi ajaran-ajaran
palsu, pastilah akan masuk golongan yang kedua dan ketiga. Oleh karena
itu, marilah kita selalu berdoa agar dalam menghadapi persoalan apa
pun, kita dapat ditunjuki oleh-Nya, sehingga dapat masuk ke dalam
golongan yang pertama. Jika tidak demikian, pastilah kita akan masuk
ke dalam golongan yang kedua dan ketiga. Kita berlindung kepada Allah
dari hal yang demikian.
CATATAN AKHIR SURAT 2, 229
AL-BAQOROH
1. Huruf inisial Alif, Lam, dan Mim yang mengawali surat ke 2 ini adalah
salah satu dari 29 surat Alquran yang diawali dengan huruf-huruf inisial.
Sedangkan surat-surat yang diawali oleh huruf inisial Alif, Lam, dan
Mim seperti di surat kedua ini ada di 6 surat, yakni di surat ke 2 ini,
surat ke 3, surat ke 29, surat ke 30, surat ke 31, dan surat 32. Para ahli
tafsir berbeda-beda dalam mengartikan huruf-huruf inisial tersebut. Di
antaranya ada yang mengartikan huruf Alifnya singkatan dari lafal "Al-
lah", huruf Lamnya singkatan dari lafal "Jibril", dan huruf Mimnya
singkatan dari lafal "Muhammad". Dan ada yang tidak mengartikan
dengan mengatakan, "Allah yang lebih mengetahui maksudnya." Dan
ada juga yang mengatakan, "huruf Alifnya ya huruf Alif, huruf Lamnya
ya huruf Lam, dan huruf Mimnya ya huruf Mim", dll.
Selama 14 abad, huruf-huruf inisial yang mengawali 29 surat Alquran
tersebut masih menjadi "rahasia Allah" dan selalu jadi tanda tanya bagi
mereka yang mempelajari Alquran. Rahasia atau misteri ini baru terkuak
setelah Dr. Rasyad Khalifa, seorang ahli biokimia Mesir warga negara
Amerika Serikat memulai menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa
Inggris tahun 1968. Ketika sampai surat ke 2 ayat 1, beliau berhenti.
Selama 4 tahun lebih berikutnya, beliau meneliti huruf-huruf inisial itu
menggunakan komputer. Penemuan awalnya tentang jumlah huruf Qof
di surat Qoof (surat ke 50), dan huruf Shod di surat Shood (surat ke 38),
dan huruf Nuun di surat Alqolam (surat ke 68). Hal ini dapat dilihat di
buku beliau yang terbit tahun 1973 "Miracle Of The Quran: Significance
Of The Misterious Alphabets". Dan di tahun 1974, beliau baru
menemukan, bahwa di balik huruf-huruf inisial yang ada di awal
berbagai surat Alquran tersebut ada suatu "struktur matematis yang
didasari oleh suatu kunci angka 19." Dan angka 19 ini diambil dari surat
74 ayat 30, yakni kalimat " 'alaihaa tis'ata asyaro" yang artinya "di
atasnya ada sembilan belas." Huruf inisial Alif Lam Mim di surat ke 2
ayat 1 ini ada rahasianya yang berhubungan dengan angka kunci 19:
Jumlah huruf Alif di surat ke 2 ini ada 4502, huruf Lam ada 3202, dan
huruf Mim ada 2195 jumlah semua ada 9899 = 19×251.
Di ayat 23 dan 24 surat ke 2 ini ada tantangan terhadap mereka yang
meragukan kalau ayat-ayat Alquran itu diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad, yakni tantangan, "Jika kamu ragu tentang ayat-ayat yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka datangkanlah
satu surat saja seperti surat ke 2 ini yang diawali dengan tiga huruf
inisial .... Jika kamu tidak dapat melakukannya dan pasti kamu tidak
CATATAN AKHIR SURAT 2, 230
AL-BAQOROH
4. Kata "iman" di sini "bukan iman warisan atau tradisi", tapi iman pilihan
hasil mengolah pikiran.
9. Kata "adam" di ayat ini bukan Nabi Adam dalam siklus generasi kita,
yang hidupnya sekitar 6 ribu tahun yang lalu, akan tetapi "manusia
secara umum". Hal ini dijelaskan dengan kata "basyaron/manusia
secara umum" di surat 15 ayat 28, dan dijelaskan dengan kata-kata
"innaa kholaqnaakum/sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
semua manusia ..., kemudian malaikat disuruh sujud kepada adam,
lalu bersujudlah mereka, kecuali iblis ... di surat 7 ayat 11 (jalan ceritanya
di ayat-ayat tersebut sama). Kata "sujud" di sini maksudnya "patuh
terhadap niat baik manusia", sedangkan hawa nafsu setan tidak mau
sujud/patuh terhadap niat baik manusia, selalu menentangnya.
Penjelasan panjang lebarnya, dapat dilihat di Catatan Akhir Surat 7 nomor
138 (jilid kedua).
10. Kata "kekal" untuk hukuman balasan bagi orang-orang yang kufur itu
ada batas waktunya, yang tentunya sesuai dengan kadar perbuatan
kufurnya (surat 6 ayat 160 di kalimat "man jaa'a bissayyiati falaa yujzaa
illaa mitsluhaa wa hum laa yudhlamuun", dan di surat 40 ayat 40 di
kalimat "man 'amila sayyiatan falaa yujzaa illaa mitsluhaa, dan di surat
10 ayat 27 di kalimat "wallazdiina kasabussayyi'aat jazaa'u sayyi'atin
mitslihaa, dan masih banyak ayat lagi).
Kalau kata "kekal" bagi orang-orang yang berada di dalam neraka (api
penderitaan) itu dimaknai "tidak ada batasnya atau terus menerus
nggak akan ada habis-habisnya", berarti mereka selamanya tidak akan
dapat menghamba kepada Allah di dalam surga (taman kebahagiaan),
padahal tujuan manusia diciptakan oleh-Nya, baik yang elite (jin)
ataupun manusia kebanyakan, akhirnya akan dapat menghamba
kepada Allah di dalam surga (taman kebahagiaan) di akhirat (surat 51
ayat 56/Dan tiada Aku ciptakan jin (manusia elite) dan manusia
(kebanyakan), melainkan dengan tujuan agar mereka dapat
menghamba kepada-Ku (di dalam surga/taman kebahagiaan di akhirat).
Jadi kesimpulannya: "Semua manusia, termasuk manusia yang paling
kufur dan jahat sekalipun kalau sudah habis masa hukumannya di
neraka (api penderitaan), pada akhirnya mereka akan dapat beribadah/
menghamba kepada Allah di dalan surga (taman kebahagiaan di
akhirat).
CATATAN AKHIR SURAT 2, 236
AL-BAQOROH
13. Siapa saja (bersifat umum) bisa beriman kepada Allah kalau dia mau
memilih suara kebaikan yang ditunjukkan dan diilhamkan oleh Allah
ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam (surat 90 ayat 10 dan surat
91 ayat 8). Karena pilihannya itu akhirnya dia beramal saleh atau
mengerjakan kebaikan seperti "jujur dalam perkataan dan perbuatan,
amanah dalam menjalankan tugas, rajin menambah pengetahuan dan
wawasan, tekun dalam melakukan penelitian dengan menghasilkan
penemuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, kasih sayang serta
peduli kepada sesama, dll." Itulah buah keimanan seseorang kepada
Allah yang berasal dari syahadat atau kesaksiannya, bahwa Allah
adalah Tuhannya (surat 7 ayat 172 di kalimat "alastu birobbikum,
qooluu balaa syahidnaa"). Namun sebaliknya, siapa pun orangnya yang
tidak mau memilihnya, dan dia malah memilih suara kejahatan hawa
nafsunya, maka kufurlah dia kepada Allah sebagai Tuhannya; ingkar
kepada syahadatnya, bahwa "Allah adalah Tuhannya". Di saat itu dia
telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya (surat 45 ayat
CATATAN AKHIR SURAT 2, 238
AL-BAQOROH
23). jadi, " iman dan kufur seseorang" itu erat kaitannya dengan dua
pilihan tersebut.
14. Frasa "hari akhir" yang didahului beriman kepada Allah dalam Alquran
disebut sebanyak 18 kali. Frasa tersebut lebih tertuju kepada
"konsekuensi atau akibat buruk dari perbuatan jahat seseorang, yang
pasti terjadi di kemudian hari dan di hari kemudian". Kalau seseorang
benar-benar percaya kepada hari akhir, pastilah dia takut untuk berbuat
jahat dan takut akibat buruknya, sehingga dia akan selalu berusaha
berbuat baik atau beramal saleh. Hal ini terjadi karena dia benar-benar
sadar bahwa perbuatan baik, pasti akan berakibat baik di kemudian
hari dan di hari kemudian. Siapa pun dan dari penganut agama manapun
yang membuktikan keimanannya kepada Allah dan hari akhir dalam
bentuk perbuatan baik atau amal saleh, pastilah mereka akan
memperoleh pahala dari Tuhannya dalam bentuk kehidupan yang aman
damai serta bahagia ; tidak dihinggapi rasa khawatir dan sedih hati,
baik di dunia ini ataupun sesudah kematiannya. Namun sebaliknya,
siapa pun dan dari penganut agama manapun yang keimanannya
kepada Allah dan Hari Akhir hanya sebatas di mulut, tanpa bukti
berbuat baik atau beramal saleh, maka mereka adalah " orang-orang
munafik/hipokrit" ( surat 2 ayat 8). Sebagai balasannya, mereka akan
memperoleh siksaan yang pedih dan mengalami hidup yang paling
menderita, baik di dunia ini ataupun sesudah kematiannya (surat 2
ayat 10 dan surat 4 ayat 145, dll).
16. Peristiwa pembunuhan terhadap seseorang dalam ayat ini, tidak seperti
yang ditafsirkan oleh kebanyakan mufassir, yang mana mereka
menafsirkan: ada seorang yang mati terbunuh, tanpa diketahui siapa
pembunuhnya, masing-masing orang saling tuduh- menuduh satu
sama lain. Akhirnya hal ini dilaporkan kepada Nabi Musa, lalu beliau
menyampaikan perintah Allah agar mereka menyembelih sapi betina,
supaya si mayit dipukul dengan sebagian anggota tubuh sapi yang
sudah mati, sehingga mayit itu bisa hidup kembali dan menerangkan
siapa pembunuhnya yang sebenarnya ...dll.(cerita ini kalau dibenarkan,
berarti meyakini, bahwa di dalam sapi betina itu ada sifat-sifat Ilahiyah
sebagaimana sebelumnya diyakini oleh sebagian Bani Israil). Cerita
ini tidak ada dasarnya sama sekali, baik secara naqli ataupun aqli,
bahkan bertentangan dengan nas Alquran dan akal sehat. Padahal
ayat 72 s/d ayat 74 ini adalah Bab baru, yang menceritakan sejarah
panjang Bani Israel, di mana selalu ada orang-orang yang keras kepala
dari antara mereka, yang menolak, bahkan berusaha membunuh nabi-
nabi/rasul-rasul Allah (lihat surat 2 ayat 87, surat 5 ayat 70 di kalimat
terakhir, dll.). Dan lihat Alkitab Perjanjian Baru di Injil Matius Bab 23
ayat 29 s/d ayat 32. Di situ Nabi Isa bersabda, "Celakalah kamu, hai
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik,
sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu
orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang
kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-
nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu
sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi,
penuhilah juga takaran nenek moyangmu!" Bahkan Nabi Isa sendiri
juga menjadi sasaran pembunuhan yang dikomandoi ulama-ulama ahli
taurat. Namun mereka gagal, baik dalam usaha mereka untuk
menghukum salib terhadapnya ataupun membunuhnya dengan cara
lain (surat 4 ayat 157). Sabda Nabi Isa di Injil Matius itu menjadi
pelajaran dan peringatan penting bagi orang-orang Islam yang
CATATAN AKHIR SURAT 2, 240
AL-BAQOROH
17. Kata "kekal" untuk hukuman balasan bagi orang-orang yang berbuat
berbagai kejahatan itu ada batas waktunya, yang tentunya sesuai
dengan kadar perbuatan jahatnya (surat 10 ayat 27 di kalimat
"walladzhiina kasabussayyi'aat jazaa'u sayyiatin mitsluhaa, dan surat
6 ayat 160 di kalimat "man jaa'a bissayyiati falaa yujzaa illaa mitsluhaa
wa hum laa yudhlamuun", dan di surat 40 ayat 40 di kalimat "man
`amila sayyiatan falaa yujzaa illaa mitsluhaa", dan masih banyak ayat
lagi). Kalau kata "kekal" bagi orang-orang yang berada di dalam neraka
itu dimaknai "tidak ada batasnya atau terus menerus nggak akan ada
habis-habisnya", berarti mereka selamanya tidak akan dapat
menghamba kepada Allah di dalam surga, padahal tujuan manusia
diciptakan oleh-Nya, baik yang elite (jin) ataupun manusia kebanyakan,
akhirnya akan dapat menghamba kepada Allah di dalam surga di akhirat
(surat 51 ayat 56/Dan tiada Aku ciptakan jin (manusia elite) dan
manusia (kebanyakan), melainkan dengan tujuan agar mereka dapat
menghamba kepada-Ku (di dalam surga di akhirat). Jadi kesimpulannya:
"Semua manusia, termasuk manusia yang paling jahat dan kufur
sekalipun kalau sudah habis masa hukumannya di neraka, pada
akhirnya akan dapat menghamba kepada Allah di dalam surga di
akhirat."
18. Kata "kekal" untuk balasan bagi orang-orang yang telah beriman dan
mengerjakan berbagai kebaikan adalah "kekal tanpa ada batasnya".
Hal ini terjadi karena orang-orang yang berada dalam surga, akan
selalu memperoleh pemberian nikmat dari Allah yang tidak ada putus-
putusnya (surat 11 ayat 108, lihat tiga kata terakhir di ayat itu, yakni
"`athoo'an ghoiro majzduuzd" yang artinya "pemberian yang tidak ada
putus-putusnya". Di samping itu nikmat Allah juga nggak bisa dihitung
(surat 14 ayat 34 di kalimat "wa in ta`udduu ni`matalloohi laa
tuhsuuhaa).
Dalam Alquran kata jamak "khoolidiin atau khooliduun" disebutkan
sebanyak 69 kali. Dan di surat 11 ayat 107 di kalimat terakhir ada
CATATAN AKHIR SURAT 2, 241
AL-BAQOROH
frasa yang berbunyi "inna robbaka fa`aalun limaa yuriid" yang artinya
"sesungguhnya Tuhanmu akan melalukan apa pun yang Dia inginkan",
yang sebelum frasa ini ada kalimat "kholidiina fiihaa maa
daamatissamawaatu wal-ardhu illaa maa syaa'a robbuka" yang artinya
"orang-orang yang menderita akan kekal di dalam neraka selama ada
langit dan bumi, kecuali Tuhanmu berkehendak lain. Sedangkan di ayat
108-nya, disebutkan bahwa "orang-orang yang berbahagia akan
berada dalam surga selama ada langit dan bumi, kecuali Tuhanmu
berkehendak lain". Di kalimat terakhir ayat 108 ini ada frasa "`athoo'an
ghoiro majzduuzd" yang penjelasan tentang "kekal" di dalam surga
ada di atas. Dan frasa "maa daamatissamawaatu wal-ardhu juga ada
di ayat 108 ini. Frasa ini adalah majas Isti`aaroh, suatu ungkapan yang
dipinjam untuk menerangkan bahwa "waktu di dalam surga itu lama
sekali", yang tentunya bagi ahli surga akan lama sekali dengan tidak
ada putus-putusnya sesuai dengan kehendak Allah (illaa maa syaa'a
robbuka `athoo'an ghoiro majzduuzd). Sedangkan untuk orang-orang
yang ada dalam neraka, majas Isti`aarohnya menerangkan bahwa
"mereka akan lama sekali dalam neraka sesuai dengan berbagai
kejahatan yang telah dilakukannya di dunia (lihat Catatan nomor 17
di atas). Kalau sudah habis masa hukumannya dalam neraka, mereka
pun akan keluar dari padanya, dan memulai menjalani kehidupan surga
sesuai dengan kehendak Tuhan dan keinginan-Nya (illaa maa syaa'a
robbuka, inna robbaka fa`aalun limaa yuriid).
21. Bentuk janji mereka ini di antaranya "kalau ada ayat-ayat Tuhan datang,
mereka berjanji pasti mau mengimaninya." Namun setelah ayat-ayat
itu datang begitu terangnya, mereka tidak mau beriman (Lihat surat 6
ayat 109).
22. Kata "setan" dalam Alquran bisa mempunyai arti yang bermacam-
macam, di antaranya; a. pemimpin jahat (surat 2 ayat 14), hawa nafsu
(surat 36 ayat 60), bisikan jahat (surat 23 ayat 97), dll. Dalam bahasa
Indonesia disebut "homonim" yakni jenis kata yang ejaan dan
CATATAN AKHIR SURAT 2, 242
AL-BAQOROH
23. Kata "sihir" dan kata turunannya dalam Alquran disebut sebanyak 62
kali. Kata tersebut termasuk jenis kata "homonim", sehingga dalam
Alquran kata "sihir" dan turunannya mempunyai arti yang bermacam-
macam, contoh kata "sihir" dalam ayat 102 ini diartikan dengan
"kepalsuan", dalam surat 7 ayat 116 kata "saharuu" diartikan
menyulap/mengelabuhi, kata "tusharuun" dalam surat 23 ayat 89
diartikan "ditipu/dikelabuhi", dll. Sehingga dalam berbagai kamus Arab,
termasuk kamus Lisanul Arab Almuhith karangan Ibnu Mandhur, kata
"sihir" dan turunannya mempunyai banyak arti, di antaranya: a.
kepalsuan, sulap, pengelabuhan/penipuan, tidak asli, memukau,
kebohongan ditampakkan sebagai kebenaran, memalingkan sesuatu
dari yang sebenarnya, dll.
24. "dua malaikat" dalam arti majas ini diterjemahkan dengan "dua orang
mulia", bukan malaikat dalam arti aslinya (lihat surat 12, surat Yusuf
ayat 31, Nabi Yusuf disebut atau diberi gelar "malaikat mulia").
25. Kata "fitnah" di ayat ini diartikan "ujian" karena memang setiap orang
yang kepadanya wahyu diturunkan, ajarannya sering dipalsukan di
kemudian hari oleh para pengikutnya sendiri; namanya dicatut di sana-
sini dengan menyebutkan beliau menyabdakan, mengerjakan, dan
menetapkan ini dan itu demi kepentingan tertentu, dll. Dalam hal ini
dapat diuji, siapa-siapa yang mengikuti ajaran asli dan siapa-siapa
yang mengikuti ajaran palsu.
26. Kata majmuk "izin Allah" di ayat ini maksudnya "siapa pun yang tidak
waspada, mana ajaran yang palsu dan mana ajaran yang asli, pastilah
mereka akan termakan oleh ajaran yang palsu). Sedangkan ajaran
palsu tersebut akhirnya akan membahayakan bagi dirinya dan
kelompoknya.
27. Kata jar-majrur "fil-aakhiroh" diartikan dengan "di kemudian hari dan
di hari kemudian", maksudnya "di kemudian hari pada waktu di dunia
dan di hari kemudian sesudah kematiannya". Karena siapa pun yang
CATATAN AKHIR SURAT 2, 243
AL-BAQOROH
32. Frasa "anak cucu rohaninya" terjemahan dari kata jamak "al-asbaath",
yang dalam Alquran disebut sebanyak 4 kali dalam konteks yang sama.
Kata al-asbaath ini berbeda dengan kata "zdurriyyat" yang artinya juga
"anak cucu", tapi sifatnya masih umum, bisa dikenakan kepada anak
cucu yang zalim (lihat surat 2 ayat 124, surat 37 ayat 113, dll).
36. Lihat informasi wahyu Alquran surat 9 ayat 36 (dari antara jumlah
bulan yang dua belas itu ada "empat bulan suci".
37. Kata "rofats" yang dimaknai dengan "menggauli isteri", lihat kata
"rofats" di surat 2 ayat 187.
38. Kata "al-mihaad" dalam Alquran disebut sebanyak 5 kali, dan selalu
dihubungkan dengan "Jahanam (api Jahanam). Dan kata "al-mihaad"
tersebut berasal dari fiil "mahada - yamhadu", yang masdar/kata
CATATAN AKHIR SURAT 2, 251
AL-BAQOROH
47. Tentang makna "kekal", bagi orang-orang yang berada di dalam neraka
(api penderitaan), lihat Catatan nomor 10.
50. Tentang makna "kekal" bagi orang-orang yang berada di dalam neraka
(api penderitaan), lihat Catatan nomor 10.
Kenapa banyak orang yang rajin salat, tapi tidak jujur, tidak amanah,
tidak bisa menahan amarah, dan sering melakukan tindak kejahatan?
Kerena mereka menganggap bahwa salat itu adalah tujuan, salatnya
hanya berhenti di masjid, di musholla, di atas sajadah, hanya formalitas
belaka tanpa makna, jauh dari akhlak mulia dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Celakalah orang-orang yang salat, yakni
mereka yang lalai dari tujuan salatnya, suka memamer-mamerkan
salatnya, dan menahan diri dari melakukan hal-hal yang bermanfaat
bagi orang lain (surat 107 ayat 4 - 7). Mereka inilah yang sebenarnya
pendusta atau pinista agama Allah (surat 107 ayat 1).
CATATAN AKHIR SURAT 3, 255
AALI `IMROON
55b. Dan takwil ayat-ayat mutasyaabihat itu hanya bisa dijangkau oleh
orang-orang yang punya ilmunya, surat 29 ayat 43. Yang tentunya
ilmu tersebut diajarkan oleh Allah kepada mereka, surat 55 ayat 4,
surat 96 ayat 5, dll.
kaum Muslimin yang menganggap hasil ijtihad imam Bukhori dan para
mujtahid itu mutlak sahih dan benar? Di samping itu, belum tentu
semua hadis yang ada dalam kitab-kitab para mujtahid hadis itu tulisan
mereka, begitu juga yang ada dalam kitab-kitab para Imam Mazhab.
Karena kepentingan tertentu, bisa saja hal itu dimasukkan oleh or-
ang-orang tertentu dalam cetak atau penerbitan ulang. Pada waktu
itu sampai beberapa abad kemudian, dalam penerbitan ulang masih
dilakukan dengan tulisan tangan, ditambah lagi sengketa politik dan
perebutan kekuasaan sering terjadi dalam tubuh kaum Muslimin).
Sehingga Nabi 1400 tahun lebih yang lalu pernah bersabda dalam hadis
Mutawatir Lafdhi, " Siapa saja yang dengan sengaja mengada-adakan
dusta atas namaku, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduk
dari api neraka alias hidup sengsara (man kazdzdaba `alaiyya
muta`ammidan fal-yatabawwa' maq`adahu minannaar). Jadi banyak
sekali hadis palsu/maudhu' yang diatasnamakan Nabi, padahal beliau
tidak pernah mengatakan, melakukan, dan menetapkan hal-hal seperti
yang ada dalam hadis-hadis palsu tersebut. Pengatasnamaan secara
dusta/mencatut nama seperti itu, sering terjadi dengan
mengatasnamakan para sahabat Nabi, para tabiin (generasi sesudah
sahabat), para Iman Mazhab, ataupun para Imam hadis itu sendiri,
dll. Dan di zaman modern ini, banyak para ulama, para cendekiawan
Muslim membahas dan memperdebatkan panjang lebar tentang hadis,
padahal itu sebenarnya bukan hadis Nabi, memperdebat perkataan/
qoul para mujtahid atau qoul para imam mazdhab, padahal belum tentu
qoul yang diperdebatkan itu adalah perkataan mereka.
Jadi kesimpulannya "ayat-ayat yang memerintahkan 'taatilah Rasul-
Nya' itu bukan berarti harus mengikuti hadis yang ada di dalam berbagai
kitab hadis. Akan tetapi maksudnya: mengikuti akhlak atau sunnah
beliau dalam melaksanakan ketetapan dan perintah Alquran yang
beliau terima; apa pun ketetapan dan perintah Alquran, beliau selalu
ikuti dalam rangka memberikan contoh terbaik (uswatun hasanah)
dalam pelaksanaannya". Adapun alasannya sebagaimana telah
disebutkan di atas secara panjang lebar.
59b. Nabi Isa diciptakan dari tanah. Hal ini sama dengan manusia secara
umum, juga diciptakan dari tanah (Surat 22 ayat 5, surat 30 ayat 20,
surat 35 ayat 11, dan surat 40 ayat 67).
59c. Kalimat "kun fayakuun" di ayat ini masih erat kaitannya dengan
proses penciptaan Nabi Isa; yakni dari tanah, lalu dari nuthfah/mani,
kemudian dari `alaqoh/segumpal darah ... dst seperti kalimat "kun
fayakuun" yang ada di surat 40 ayat 68, yang mana ayat 67
sebelumnya juga diterangkan proses penciptaan manusia secara
umum.
60. Frasa “suatu kalimat/firman yang sama” adalah terjemahan dari kata
"kalimatin sawaa'in ", maksudnya adalah “suatu kalimat atau firman
yang sama-sama diakui kebenarannya oleh berbagai penganut agama
samawi.” Hal tersebut ada tiga macam: 1. Kita tidak akan menghamba/
beribadah kecuali hanya kepada Allah. 2. Kita tidak akan
mempersekutukan/memadukan suatu ajaran apa pun dengan ajaran
Allah. 3. Kita tidak akan menjadikan para tokoh agama atau alim ulama
dari antara kita sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Berdasarkan petunjuk
Allah tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: Apabila
penganut suatu agama yang datang dari Allah, baik kaum Yahudi,
Nasrani, kaum Shabiin, maupun kaum Muslimin melanggar terhadap
tiga hal tersebut, maka dapat dipastikan semakin hari akan semakin
jauh dari “prinsip-prinsip dasar agama Allah tersebut”. Yang karenanya
akan timbul/muncul perselisihan yang semakin hari akan semakin
tajam antara penganut suatu agama dan juga perselisihan antara
kelompok di dalam intern agama itu sendiri. Sehingga tidak jarang
menimbulkan bentrok fisik dan saling menyerang di antara mereka.
Hal ini terjadi karena berbeda-bedanya pemahaman dari berbagai
penganut agama dan berbeda-bedanya pemahaman di antara
kelompok dalam intern agama itu sendiri. Kesemuanya itu terjadi
karena ajaran-ajaran palsu yang bertentangan dengan “prinsip-prinsip
dasar ajaran agama Allah” itu mereka yakini bahwa itu semua berasal
dari nabi-nabi, alim ulama dan tokoh-tokoh agama mereka. Padahal
belum tentu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh nabi-nabi
CATATAN AKHIR SURAT 3, 261
AALI `IMROON
61. Kata "ittaquu" dalam kalimat "ittaqullooha" yang ada dalam surat 3
ayat 102 itu adalah “perintah Allah” kepada orang-orang yang beriman,
yang terjemahannya “hendaklah kamu bertakwa/menyadari.” Dalam
Alquran, kata "ittaquu" selalu mempunyai satu maf’ul/objek, dan dalam
ayat itu maf ’ulnya adalah lafad "Allah" yang ada di kalimat
"ittaqullooha". Kata kerja "ittaqoo - yattaqii " yang “fi’il Amer”-nya
adalah "ittaquu" itu asal-asalnya adalah berasal dari kata kerja "waqoo
- yaqii - wiqooyatan" yang fi’il Amer-nya adalah "qi" kalau yang
diperintah mukhothob tunggal, dan kalau mukhothobnya jamak menjadi
"quu". Dan dalam Alquran, fi’il Amer "quu" ini selalu mempunyai dua
buah maf’ul, seperti dalam surat 66 ayat 6 yang berbunyi "quu
anfusakum wa ahliikum naaron" Kata "quu" di sini diterjemahkan
“hendaklah kamu menyadarkan". Dalam ayat ini maf’ul pertamanya
CATATAN AKHIR SURAT 3, 262
AALI `IMROON
insyaallah mereka akan bisa menerima visi dan misi Islam. Karena
selama “dakwah Islam” belum sampai kepada mereka, maka
bagaimana mereka akan dapat menerima visi dan misi Islam yang
begitu agung lagi mulia itu. Apa lagi kalau seandainya yang mereka
dengar dari juru dakwah karbitan selama ini bukan ajaran Islam yang
sebenarnya alias sudah terpalsukan. Kalau seandainya yang mereka
dengar itu benar-benar ajaran yang berasal dari wahyu Ilahi dalam
Alquran, yang tentunya dengan pemahaman yang benar, dibarengi
dengan akhlak mulia para dai dan kaum Muslimin, insyaallah para
Ahli Kitab yang saleh-saleh itu mau menerimanya. Namun sebaliknya
jika para dai dan kaum Muslimin cara dakwahnya serta tingkah
lakunya tidak meneladani cara dakwah dan akkhlak Rasulullah,
pastilah Ahli Kitab yang saleh-saleh itu, akan dengan tegas
menolaknya. Karena bagaimanapun apabila “visi dan misi Islam yang
benar lagi agung itu disampaikan kepada orang-orang di luar Islam,”
insyaallah “mereka yang berakal sehat serta berhati nurani yang
jujur mau menerimanya dengan setulus hati”. Hal ini terbukti di masa
Rasulullah, di masa para sahabatnya, dan di masa pengikut-
pengikutnya yang saleh, sehingga mereka bisa menaklukkan dan
memperoleh kejayaan dan kekuasaan yang tiada taranya dalam
sejarah kemanusiaan. Dan perlu ditambahkan di sini, bahwa
perbuatan baik apa saja yang dilakukan oleh orang-orang saleh dari
Ahli Kitab itu, maka perbuatan baik tersebut akan mendapatkan
pahala atau akibat baik dari Allah (ayat 115-nya). Hal tersebut
dikuatkan oleh surat 2 ayat 62, dan surat 5 ayat 69. Dalam kedua
ayat ini dengan tegas telah dikatakan “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-
orang Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir
dan mengerjakan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan
pahala/akibat baik dari sisi Tuhan mereka dan rasa khawatir tidak
akan menghinggapi mereka dan tidak pula mereka akan berdukacita.”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, maka sangat kelirulah anggapan
yang mengatakan, “bahwa orang yang di luar agama Islam kalau
berbuat baik tidak akan mendapatkan pahala dari Allah.” Apa sebab
anggapan yang keliru tersebut sering muncul di kalangan kaum
Muslimin? Sebabnya adalah “karena mereka mengikuti ajaran-ajaran
yang bersumber dari hadis-hadis palsu”. Karena memang banyak
hadis-hadis palsu yang mengatakan, “Orang-orang yang tidak
CATATAN AKHIR SURAT 3, 265
AALI `IMROON
62d. Tentang "Ahli Kitab yang mendapat pahala dari perbuatan baiknya",
lihat surat 2 ayat 62 di kalimat "falahum ajruhum `inda robbihim".
64. Dalam surat 3 ayat 117 ini, kata "dholamuu" diartikan dengan
"merusak" dan kata "anfusahum" diartikan dengan "jiwa mereka",
padahal yang pertama biasa diartikan dengan "menzalimi", dan yang
kedua biasa diartiartikan dengan "diri mereka sendiri". Hal ini tentunya
disesuaikan dengan konteks sebuah kalimat. Dalam Alquran yang
demikian itu bisa terjadi, bahkan sering terjadi, sebagai contoh lagi
dalam surat 35 ayat 17, kata "aziiz" biasa diartikan dengan "yang
perkasa atau Yang Maha Perkasa", namun dalam konteks ayat ini, ia
tidak bisa diartikan dengan arti "Yang Maha Perkasa" karena tidak
akan cocok, dan cocoknya diartikan dengan "sulit atau sukar, contoh
lagi dalam surat 35 ayat 9, kata "tutsiiru" diartikan dengan
"menggerakkan" karena kalau diartikan dengan "membajak"
sebagaimana arti aslinya tentu tidak akan cocok dengan konteks
kalimat. Dalam bahasa Indonesia, hal yang seperti itu disebut kata
"homonim", yakni sebuah kata, yang tulisannya dan bunyi pelafalannya
sama, namun artinya bisa berbeda-beda karena konteks kalimat
berbeda.
CATATAN AKHIR SURAT 3, 266
AALI `IMROON
68. Kalimat "Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan yang kamu alami sekarang, sampai nantinya Dia bedakan
mana orang yang salah (keimanannya) dan mana orang yang benar-
benar beriman" di awal ayat ini maksudnya "Allah tidak akan
membiarkan orang-orang yang mengaku beriman dalam keadaan
CATATAN AKHIR SURAT 3, 267
AALI `IMROON
69. Kalimat “Dan kesenangan hidup duniawi itu hanyalah kesenangan yang
selalu menipu/memperdayakan (seseorang)" adalah terjemahan dari
kalimat " wa mal-hayaatuddunya illaa mataa`ul-ghuruur". Kalimat yang
persis seperti ini dalam Alquran hanya ada di dua ayat, yang satunya
ada di dalam surat 57 ayat 20. Dari kedua ayat ini tersimpul peringatan,
bahwa kita disuruh waspada dan hati-hati terhadap kesenangan-
kesenangan duniawi yang sifatnya sementara, apa pun bentuknya.
Karena kalau kita tidak selalu ingat kepada aturan-aturan Allah, maka
kesenangan-kesenangan duniawi tersebut akan dapat memperdayakan
kita, sehingga di kemudian hari, kita bisa jatuh tergelincir karenanya.
Baik kesenangan tersebut berasal dari harta benda, pangkat,
kedudukan, anak isteri, keturunan terhormat, maupun lainnya.
Kesemuanya inilah yang disebut “kesenangan hidup duniawi”, yang
apabila kita tidak pandai-pandai memanfaatkannya sesuai dengan
aturan Allah, maka kita akan tertipu/terpedaya olehnya, sehingga akan
banyak melakukan perbuatan kufur, yang menyebabkan kita hidup
menderita, baik di dunia ini maupun sesudah kematian nanti (surat 3
ayat 56 dan surat 13 ayat 34). Tetapi sebaliknya, apabila kita pandai-
pandai memanfaatkannya sesuai dengan aturan Allah, maka
kesenangan-kesenangan yang sifatnya abadi akan kita peroleh, baik
di kemudian hari, lebih-lebih lagi sesudah kematian nanti. Memang
CATATAN AKHIR SURAT 3, 268
AALI `IMROON
harta benda, pangkat, kedudukan, dan lain-lainnya itu apabila kita mati,
tidak akan kita bawa, akan tetapi jika kesemuanya itu untuk manfaat
bagi orang banyak, maka "dampak positifnya atau pahalanya" itulah
yang akan kita bawa mati. Kita ambil sebuah contoh: Kalau ada
seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi, harta banyak, yang
kemudian dia memanfaatkan kedudukan dan hartanya itu untuk
kesejahteraan lahir batin keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya,
sehingga dengan perantaraan mana keluarganya dapat menjadi or-
ang-orang yang mapan, banyak orang yang tertolong, sebagian dapat
melanjutkan pendidikannya karena memang sebelumnya tidak mampu
padahal dia cerdas, sebagian lagi dapat memperoleh perkerjaan yang
wajar, kejahatan-kejahatan yang mestinya timbul di masyarakat dapat
diminimalisir, dan lain-lain, maka "dampak positifnya/pahalanya" dari
perbuatan mulia mereka itu akan dibawa mati. Jasa-jasa dan amal-
amal saleh/karya nyata seperti itu oleh Alquran disebut sebagai “Al-
Baaqiyaat Ash-shoolihaat,” dan menurut hadis Nabi disebut sebagai
“amal jariah”. Dan masih menurut Alquran “jasa-jasa dan amal-amal
saleh” yang seperti itulah yang harus dicita-citakan oleh seseorang
yang hidup di dunia ini, karena hal itu adalah “sebaik-baik cita-cita”,
“sebaik-baik sesuatu yang berdampak positif/pahala”, dan “sebaik-
baik benteng/maroddan yang dapat menghindarkan dari hal-hal yang
negatif dan jahat yang akan timbul” (surat 18 ayat 46 dan surat 19
ayat 76). Kalau ada pernyataan-pernyataan yang sering kita dengar
dari para dai dan mubalig yang mengatakan, “Apalah artinya kita hidup
di dunia ini yang cuma sebentar, kalau toh seseorang mati, maka harta
dan pangkat itu tidak akan dibawa.” Pernyataan-pernyataan tersebut
sepintas memang kelihatannya benar, tetapi apabila kita renungkan
dalam-dalam berdasarkan kacamata Alquran, maka pernyataan itu
adalah “keliru besar,” karena akhirnya kita akan menyepelekan
kehidupan di dunia ini, baik berupa pangkat, harta, dan lain-lain.
Padahal dengan perantaraan semua itu, seseorang akan dapat
beramal saleh/berkarya yang bermanfaat untuk orang banyak seluas-
luasnya, sehingga kehidupan masyarakat akan selalu sejahtera/
hasanah, baik di dalam kehidupan di dunia ini maupun di dalam
kehidupan sesudah kematian. Hal ini telah diisyaratkan dalam doa
yang telah diajarkan oleh Allah dalam Alquran “Robbanaa aatinaa fid-
dunya hasanah wa fil-aakhiroti hasanah wa qinaa adzaaban-naar”
(surat 2 ayat 201). Memang dalam Alquran banyak ayat yang
CATATAN AKHIR SURAT 3, 269
AALI `IMROON
72b. Kata "min" dalam kitab Nahwu Alfiyah ibnu Malik itu bisa punya arti
"sababiyah/sebab/karena).
74. Penyesalan orang-orang yang kufur pada hari pembalasan dalam ayat
ini sama dengan penyesalan orang yang kufur dalam surat 78 ayat
40, yakni orang yang kufur berkata, "Alangkah baiknya kalau aku dulu
menjadi tanah."
76. Kata "al-jibt" yang diterjemahkan dengan "hawa nafsu setan" dalam
Alquran hanya disebutkan satu kali.
79. Menaati Rasul di sini, bukan berarti mengikuti hadis-hadis yang yang
ada dalam puluhan kitab hadis, akan tetapi mengikuti risalah Ilahi
yang beliau sampaikan, dan mencontoh akhlak beliau dalam
mengamalkan Alquran, karena memang akhlak beliau adalah Alquran.
penjelasan hal penting ini, dapat dilihat di Catatan Akhir Surat 3 nomor
57.
82. Tentang "kekal" masa hukuman bagi orang yang melakukan tindak
kejahatan, lihat penjelasannya di Catatan Akhir Surat 2 nomor 10.
84. Kata "sujud" dimaknai dengan "salat". Gaya bahasa yang seperti ini
dalam ilmu Balaghah/Sastra Arab disebut "Majaz Juzi lilkulli", yakni
"yang disebut sebagian, namun yang dimaksudkan keseluruhan". Gaya
bahasa yang seperti ini dalam Alquran sangat banyak, di antaranya
seperti dalam surat 50 ayat 40 di frasa "adbaarossujuud", kata "sujud"
di sini maknanya "salat". Bukankah sujud itu bagian dari salat?
86. Dosa musyrik tidak akan diampuni oleh Allah, lihat Catatan nomor 75.
88. Frasa "Millah Ibrahim" dimaknai dengan "ajaran pokok Ibrahim". Dalam
Alquran surat 16 ayat 123 dan surat 3 ayat 95, Rasulullah dan orang-
orang yang beriman diperintahkan oleh Allah agar mengikuti "millah
Ibrahim". Adapun millah Ibrahim itu menurut surat 3 ayat 67 bentuknya
adalah "haniifan musliman wa maa kaana minal-musyrikiin", yakni
"amat setia terhadap Allah/haniifan, selalu berserah diri atau tunduk
terhadap aturan-Nya/musliman, dan tidak akan pernah menjadi or-
ang-orang yang musyrik/wa maa kaana minal-musyrikiin".
91. Di bagian akhir ayat 141 ini telah ditegaskan, "Bagi kaum atau bangsa
yang kufur, tidak ada jalan sama sekali untuk dapat mengalahkan
kaum yang benar-benar beriman. Kalau ada suatu kaum mengaku
CATATAN AKHIR SURAT 4, 281
AN-NISAA'
beriman, kok dapat dikalahkan oleh kaum lain berarti kaum tersebut,
keimanannya palsu, hanya sekedar pengetahuan (iman ilmu dan
warisan, bukan pilihan). Dan dapat dipastikan pelanggaran mereka
terhadap aturan Ilahi lebih banyak dari pada kaum yang mengalahkan;
tidak lebih jujur, tidak lebih amanah, tidak lebih rajin dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan wawasan, tidak lebih berkarya
yang bermanfaat bagi orang lain, tidak lebih bersatu alias di
internalnya terpecah-belah, selalu berebut jabatan, dll.
92. Kebanyakan ahli tafsir berkeyakinan bahwa Nabi Isa tidak disalib,
yang disalib itu orang lain yang diserupakan dengan beliau. Dalam
hal ini, penulis tidak setuju karena beberapa alasan:
1. Karena dalam ayat 157 itu, sebelum kata kerja "diserupan/syubbiha"
jelas-jelas hanya disebut “orang-orang Yahudi dan Isa,” dan kata
ganti/dhomir “mereka” selalu kembali kepada “orang-orang Yahudi”,
dan dlomir “dia” selalu kembali kepada “Isa”.
2. Dalam ayat tersebut tidak pernah disebut-sebut orang lain selain
keduanya.
3. Orang-orang Yahudi tidak pernah berhasil di dalam hendak
“menghukum salib” pada Nabi Isa, karena yang namanya “hukum
salib” adalah “mensalib seseorang sampai mati”.
Jadi, kalau seseorang dipenteng/dipalangkan di palang salib tapi tidak
sampai mati, maka dia tidak kena hukum salib, seperti itulah halnya
Nabi Isa. Karena orang-orang Yahudi tidak percaya/kufur kepada Isa
Almasih sebagai “Nabi atau Mesias ”, maka mereka pun berdaya upaya
sekuat tenaga untuk dapat membunuh Nabi Isa, baik melalui hukum
salib ataupun lainnya, dengan tujuan kalau mereka berhasil
membunuhnya berarti mereka dapat membuktikan bahwa Isa itu
“nabi palsu/mesias palsu”. Karena menurut Kitab mereka dalam
ulangan 18 ayat 20 ditegaskan bahwa “nabi palsu” itu matinya pasti
dengan jalan “mati terbunuh”. Dan Nabi Isa itu sendiri menyadari
benar terhadap daya upaya jahat mereka. Sehingga dalam surat 3
ayat 55, Allah menghibur Nabi Isa bahwa daya upaya jahat mereka
itu akan gagal dan kematianmu bukan di tangan mereka tetapi di
tangan-Ku. Wahyu yang menghiburnya itu berbunyi “Wahai Isa,
sesungguhnya Aku-lah yang akan mematikan engkau (secara wajar)
dan Aku-lah yang akan mengangkat (derajat) engkau di sisi-Ku, dan
Aku-lah yang akan membersihkan engkau (dari tuduhan jahat) orang-
CATATAN AKHIR SURAT 4, 282
AN-NISAA'
waktu itu Nabi Isa belum mati, dan hal itu disadari oleh murid-muridnya
yang lantas mereka menurunkan Nabi Isa dari palang salib dan
kemudian mereka mengurusnya dengan baik. Dan Yusuf Arimatea dan
Nekodemos selaku tabib terkenal dan juga selaku murid setia Nabi
Isa, mengobati bekas luka-lukanya sehingga sembuh … dan seterusnya
... dan seterusnya. Dan untuk menghindari hal tersebut dapat diketahui
oleh orang-orang yang Yahudi, maka Nabi Isa menemui murid-
muridnya dalam beberapa hari secara rahasia untuk memberikan
wasiat penting agar dilaksanakan oleh mereka. Dan setelah itu, Al-
lah memperlindungkan/menghijrahkan Nabi Isa dan Ibunya ke suatu
dataran tinggi/tanah subur yang berpenduduk dan yang bermata air
(surat 23 ayat 50), yang tentunya untuk melanjutkan misinya di dataran
tinggi yang sangat subur itu kepada domba-domba Bani Israel yang
ada di sana.
Dari peristiwa “tidak matinya Nabi Isa di palang salib”, yang hal ini
diakui juga oleh Kitab mereka (Ulangan 18 Ayat 20, Ibrani 5 ayat 7,
dll), maka dengan sendirinya akan batal dan gugurlah dua keyakinan
pokok yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani,
yaitu:
1. Akan batal dan gugurlah keyakinan orang-orang Yahudi yang
berkeyakinan bahwa, Nabi Isa itu adalah “nabi palsu/Mesias palsu”.
Karena ternyata dia terbukti tidak mati di palang salib.
2. Akan batal dan gugurlah keyakinan orang-orang Nasrani/Kristen
yang berkeyakinan bahwa, “Nabi Isa mati di palang salib” adalah
“untuk menebus dosa umat manusia”. Padahal sesuai dengan Kitab
mereka sendiri sebagaimana peristiwa yang disebutkan di atas,
bahwa “Nabi Isa itu tidak mati di palang salib.”
Dari perselisihan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani
tentang “masalah Isa” tersebut, maka Alquran menyelesaikan dan
memutuskan dengan kalimat, “padahal tiadalah mereka/Yahudi
membunuh pada dia/Isa dan tiadalah mereka menghukum salib/
menyalib dia sampai mati, akan tetapi dia/Isa diserupakan (waktu
pingsan di kayu salib seperti mati) kepada mereka/Yahudi. Dan
sesungguhnya orang-orang yang masih juga memperselisihkan
tentang masalah Isa itu (yang satunya menganggapnya “nabi palsu/
mesias palsu”. Dan yang satunya lagi menganggapnya “Nabi benar/
Mesias benar”, yang lantas diyakininya, bahwa matinya beliau di
palang salib adalah untuk menebus dosa umat manusia, yang lantas
CATATAN AKHIR SURAT 4, 284
AN-NISAA'
94. Frasa "hari akhir", penjelasan maknanya dapat dilihat di Catatan Akhir
Surat 2 nomor 14.
96. Kalimat "Dan jangan sekali-kali kebencian suatu kaum kepadamu dapat
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil" adalah terjemahan dari
kalimat Arab "wa laa yajrimannakum syana'aanu qoumin `alaa allaa
ta`diluu". Kalimat ini dari segi ilmu Nahwu/gramatika Arab dan dari
segi makna tidak bisa diterjemahkan dengan "Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak
adil" sebagaimana yang ada dalam banyak kitab terjemahan dan tafsir.
Hal itu karena: Frasa "syana'aanu qoumin" adalah “fail/pelaku” dari
“fiil /kata kerja yajrimanna". Penjelasan ini dapat dilihat dalam kitab
“I`roobul-Qur’aanil-Kariim (10 jilid)”, karangan “Muhyiddin Addirwisyi”.
Dalam ayat tersebut yang dipanggil adalah orang-orang yang beriman,
sedangkan orang-orang yang beriman dilarang membenci kepada umat
lain (surat 2 ayat 256 dan surat 10 ayat 99). Karena kebencian itu
sendiri akan menyebabkan seseorang tidak dapat berlaku adil.
Sedangkan orang-orang yang beriman dituntut harus selalu menjadi
“rohmatan lil `aalamiin bagi kaum lain” sebagaimana Rasulnya. Jadi,
pesan yang ada dalam ayat tersebut adalah “orang-orang yang beriman
dituntut agar selalu berlaku adil/jujur dalam situasi dan kondisi apa
pun, yakni harus adil/jujur dalam ucapan, adil/jujur dalam menilai,
adil dalam perbuatan, dan berlaku adil dalam hal apa pun terhadap
kaum lain, walaupun kaum lain itu membenci dan berlaku tidak adil
dan melakukan berbagai tindakan jahat terhadap orang-orang yang
beriman". Dan memang berlaku adil dalam situasi yang seperti itu
sangat sulit sekali. Tetapi walaupun begitu demi untuk keindahan dan
keberhasilan visi dan misi Islam, maka orang-orang yang beriman
dituntut dengan benar-benar agar dapat melakukannya. Sebagaimana
hal yang sulit itu pernah dilakukan oleh Rasulullah beserta para
sahabatnya dan pengikut-pengikutnya yang setia di masa lalu,
sehingga orang-orang yang beriman pada waktu itu memperoleh
kemenangan dan kejayaan yang begitu gemilang dalam sejarah
kemanusiaan.
100. Kata kerja "yartadda" diterjemahkan dengan “dia murtad atau berbalik
keluar atau berbalik menolak” karena kata kerja "yartadda" itu asal-
CATATAN AKHIR SURAT 5, 289
AL-MAA'IDAH
101. Kata "lau laa" dalam ayat ini diterjemahkan dengan “kalaulah tiada”
yakni diberlakukan sebagai “kata Syarat” yang walaupun di dalam
kitab “I’roobul Qur’aanil-Kariim, karangan Muhyiddin Addirwisyi”
disebutkan bahwa kata "lau laa" dalam ayat itu disebut sebagai
"adaatun littahdliidl", dengan makna "hallaa/hal laa" yang artinya
“kenapa tidak”. Penulis kurang menyetujui hal tersebut, karena dalam
surat 3 ayat 13 dan 14 dikatakan, “Kita tidak boleh menyamaratakan
bahwa semua Ahli Kitab itu tidak baik semua,” karena dari antara
mereka ada suatu kelompok yang teguh (dalam keimanan), yang mana
mereka membaca ayat-ayat Allah dalam keheningan malam, mereka
sujud/patuh kepada Allah, mereka beriman kepada Allah dan hari
akhir, mereka memerintah manusia untuk berbuat kebaikan, mereka
melarang manusia dari perbuatan mungkar, mereka selalu bersegera
melakukan berbagai perbuatan yang baik, dan mereka adalah or-
ang-orang yang saleh.
Jadi, menurut ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa dari antara Ahli Kitab
itu akan selalu ada orang-orang yang baik lagi saleh, termasuk
sebagian para alim ulama dan pendeta-pendeta mereka. Yang sifat-
sifatnya seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat itu. Seandainya
dari Ahli Kitab tidak ada sama-sekali seseorang yang mempunyai
sifat-sifat yang terpuji tersebut, niscaya akan terjadi huru-hara yang
tiada henti-hentinya di bumi ini disebabkan dari tingkah laku jahat
mereka yang tanpa kendali (di kalimat akhir surat 5 ayat 63 ini).
CATATAN AKHIR SURAT 5, 291
AL-MAA'IDAH
102. Frasa "bersedih hati" adalah terjemahan dari kata "ta'sa" yang berasal
dari kata kerja "asaa - ya'saa", yang artinya "bersedih hati". Kata
"ta'sa" tersebut bukan berasal dari kata kerja "yaisa - yaiasu", yang
artinya "berputus asa". Banyak penerjemah Alquran yang mengira
kata "ta'sa" itu berasal darinya, sehingga mereka menerjemahkannya
dengan "berputus asa".
109. Kata "sihir" dan kata turunannya dalam Alquran disebut sebanyak 62
kali. Kata tersebut termasuk jenis kata "homonim", sehingga dalam
Alquran kata "sihir" dan turunannya mempunyai arti yang bermacam-
macam, contoh kata "sihir" dalam ayat 7 ini diartikan dengan "tipuan".
Sehingga dalam berbagai kamus Arab, termasuk kamus Lisanul Arab
Almuhith karangan Ibnu Mandhur, kata "sihir" dan turunannya
mempunyai banyak arti, di antaranya: a. tipuan, kepalsuan, sulap,
pengelabuhan/penipuan, tidak asli, memukau, kebohongan
ditampakkan sebagai kebenaran, memalingkan sesuatu dari yang
sebenarnya, dll. Untuk lebih jelasnya, lihat Catatan Akhir Surat 2 nomor
23.
110. Kata "lau laa" dalam ayat ini tetap diterjemahkan dengan “kalaulah
tiada” yakni diberlakukan sebagai “kata Syarat”, yang jawab syaratnya
tidak disebutkan lafalnya/mahdzuf, namun maknanya tetap ada,
sehingga dalam Terjemahan ini jawab syarat akan tetap disebutkan
dengan diberi tanda kurung. Di dalam kitab “I’roobul Qur’aanil-Kariim,
karangan Muhyiddin Addirwisyi” disebutkan bahwa kata "lau laa"
dalam ayat 8 ini disebut sebagai "adaatun littahdliidl", dengan makna
CATATAN AKHIR SURAT 6, 295
AL-AN`AAM
111. Dalam Alquran ayat-ayat yang nada dasarnya seperti ayat 32 ini sangat
banyak sekali, di antaranya surat 29 ayat 64, surat, surat 47 ayat 36,
surat 57 ayat 20, dll. Oleh karena itu, banyak ayat-ayat Alquran yang
mewanti-wanti agar kita tidak tertipu oleh kehidupan duniawi. Namun
masih banyak para dai, ustadz, ulama, termasuk penulis sendiri di
masa lalu yang keliru dalam memahami ayat-ayat tersebut, yang
mengarah pada kesimpulan bahwa "kehidupan duniawi itu nggak
penting ... dst." Penjelasan panjang lebar, dapat dilihat di Catatan
Akhir Surat 3 nomor 69.
112. Kata "lau laa" yang diterjemahkan dengan "kalaulah tiada", bukan
dengan "kenapa tidak", penjelasannya dapat dilihat di Catatan Akhir
Surat 5 nomor 101.
116. Dalam ayat tersebut ada kalimat "in attabi`u illaa maa yuuhaa ilayya",
arti lafdhiyahnya: aku tidak mengikuti, kecuali apa-apa yang
diwahyukan kepadaku. Kalimat yang susunan kata-katanya persis
seperti ini dalam Alquran ada dalam 3 ayat; surat 6 ayat 50 ini, surat
10 ayat 15, dan surat 46 ayat 9. Semuanya didahului oleh kata "qul"/
Katakanlah olehmu (Muhammad!) Dalam Alquran ada puluhan ayat
yang maknanya seperti yang ada dalam 3 ayat tersebut, walaupun
susunan kata-katanya tidak persis seperti itu, di antaranya dalam surat
7:203, "qul innamaaa attabi`u maa yuuhaa ilayya min robbii" artinya:
Katakanlah olehmu (Muhammad!), "Sesungguhnya aku hanya
mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku dari Tuhanku."
Marilah ayat-ayat tersebut kita baca dan pikirkan dengan saksama!
Dari situ akan muncul banyak pertanyaan, di antaranya: Jika demikian
halnya, terus bagaimana dengan keberadaan hadis-hadis yang
jumlahnya ratusan ribu itu? Sedangkan penyeleksian dan pembukaan
hadis-hadis itu sendiri dilakukan oleh para imam hadis sekitar dua
sampai tiga abad setelah Nabi Muhammad wafat. Sedangkan banyak
kelompok kaum Muslimin yang menafsirkan ayat "taatilah Rasul-Nya"
dengan arti "harus mengikuti hadis" yang jumlahnya ratusan ribu itu.
Dan perlu diingat, bahwa waktu penyeleksian dan pembukuan hadis
itu keberadaan kertas tidak seperti sekarang, pembikinannya masih
secara manual. Waktu itu mesin untuk industri kertas dan mesin cetak
dengan bertenaga listrik belum ditemukan, dll. Yang lain-lain itu
silahkan masing-masing memikirkannya! Di samping itu, para
penyeleksi dan pembuku hadis tersebut kebanyakannya berada di kota-
kota yang amat jauh dari Bagdad, Kufah, Basrah, Mekah, Madinah,
dan pusat-pusat Islam lainnya. Kita ambil contoh: Imam Bukhori lahir
di Kota Bukhoro, Uzbekistan (Asia Tengah) dan wafat abad ketiga
hijriah. Dan Imam Muslim lahir di Naisabur, Uzbekistan, dan wafat
abad ketiga hijriah pula. Baiklah di bawah ini disebutkan di mana
CATATAN AKHIR SURAT 6, 297
AL-AN`AAM
dan kapan para penyeleksi dan pembuku hadis itu lahir dan wafat:
1. Bukhori L. Syawal 194 H/juli 810 M. W. 256 H/870 M. Bukhoro,
Uzbekistan, Asia Tengah.
2. Muslim L. 202 H/817 M. W. 261 H/875 M. Naisabur, Uzbekistan,
Asia Tengah.
3. Tirmidzi L. 209-210 H. Wafat 279 H/892 M. Daerah Tirmidz, bagian
selatan Iran.
4. Nasai L. 215 H. W. 303 H/915 M. Annasai/annasawi, Khurasan
(meliputi Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.)
5. Ibnu Majah L. 209 H. W. 273 H/886 M. Qazwin suatu kota di Irak.
6. Abu Dawud L. 202 H. W. 275 H/ 915 M. Sijistan, daerah perbatasan
Iran-Afganistan-Pakistan.
7. Imam Ahmad L. 164 H. W. 241 H. Bagdad, Irak.
Banyak biografi para mujtahid di bidang hadis tersebut yg dilebih-
lebihkan jalan ceritanya oleh para pengkultusnya dengan cara-cara
yang tidak masuk akal sehat. Contoh: Konon Imam Bukhori pernah
berkata, "Saya hafal seratus ribu hadis sahih dan saya juga hafal dua
ratus ribu hadis yang tidak sahih, dan hadis-hadis yang saya hafal itu
saya dapat menyebutkan susunan para perowinya/periwayat hadis."
Dan konon lagi selama 16 tahun beliau bisa menemui delapan puluh
ribu perowi hadis di Bagdad, Basroh, Kufah, Mekah, Madinah, dan
lain-lain kota di berbagai negeri. (pen. ingat alat transportasi di masa
itu tidak seperti di abad modern ini). Konon lagi beliau setiap
menyeleksi satu hadis, sebelumnya berwudu dulu, salat dua rakaat,
dan berdoa kepada Allah. Dan konon lagi beliau berkata, "Semua hadis
yang saya masukkan ke dalam kitab saya (Aljaami`ushshohiih/
kumpulan hadis shohih), semuanya shohih." Dan masih banyak lagi
perkataan dan perbuatan yang diatasnamakan kepada Imam Bukhori.
Padahal beliau tidak pernah mengatakan dan melakukan hal tersebut.
Karena beliau menyadari terhadap sabda Nabi yg intinya: Yang
namanya "mujtahid" di bidang apa pun itu bisa benar dan bisa salah.
Kalau benar dapat dua pahala, dan kalau salah dapat satu pahala.
Kedua kemungkinan ini amat disadari oleh Imam Bukhori dan para
mujtahid manapun. Sehingga mereka, termasuk Imam Bukhori selalu
berdoa dalam keheningan malam dengan doa "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan
kesalahan ... (surat 3 ayat 286)."
CATATAN AKHIR SURAT 6, 298
AL-AN`AAM
117. Dalam ayat 56 ini, dengan jelas ada larangan tidak boleh menghamba
kepada manusia sehebat apa pun, baik tokoh agama maupun
CATATAN AKHIR SURAT 6, 299
AL-AN`AAM
120. Nabi Ibrahim berdakwah kepada kaumnya yang musyrik untuk dibawa
kepada “tauhid yang murni.” Dalam surat 6 ayat 74 ini sampai dengan
ayat 83 telah disebutkan secara global tentang bagaimana liku-liku
dan berbagai cara yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim untuk
menyadarkan kaumnya, termasuk keluarga dekat beliau sendiri dari
berbagai kekeliruan dan kesalahan yang ditimbulkan oleh kemusyrikan.
Yang pada waktu itu sudah mendarah-mendaging dalam masyarakat
Mesopotamia/Irak.
Pada waktu beliau menjalankan dakwah itu, beliau sudah mempunyai
keyakinan yang sempurna terhadap Allah dan beliau sudah
mengetahui dan memahami dengan sempurna, yakni dari A sampai Z
tentang seluk-beluk kemusyrikan kaumnya, karena memang beliau
dilahirkan di tengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam ayat 76 s/d
ayat 78 ada kalimat-kalimat yang sering salah ditafsiri oleh sebagian
orang, sehingga mereka berkata, “Nabi Ibrahim di dalam
pengembaraan untuk mencari Tuhannya pernah jatuh dalam
kemusyrikan, pernah menyembah bintang, bulan, dan matahari.” Hal
ini dibantah dengan keras oleh wahyu Alquran, yakni oleh ayat 75
yang ada sebelumnya yang mengatakan bahwa, Nabi Ibrahim di dalam
menjalankan dakwahnya, beliau sudah sempurna keyakinannya
kepada Allah.” Padahal kalimat-kalimat dalam tiga ayat tersebut
maksudnya adalah “Nabi Ibrahim memperagakan keyakinan kaumnya
yang musyrik itu, ternyata setelah diperagakannya, keyakinan tersebut
adalah salah dan tidak terbukti, yakni bintang, bulan, dan matahari
itu bukanlah Tuhan, masing-masingnya itu tidak mempunyai kekuatan
untuk dapat menentukan nasib baik dan nasib buruk seseorang,
malahan masing-masingnya itu hanyalah ciptaan Tuhan yang
CATATAN AKHIR SURAT 6, 300
AL-AN`AAM
122. Kata "sampai atau sehingga" adalah terjemahan dari kata Huruf "wa",
lihat kata Huruf "wa" di awal ayat 13 surat 26. Memang kata Huruf
"wa" itu punya arti banyak, di antaranya " dan, sedangkan, padahal,
demi, setelah itu, seterusnya, namun, sampai, sehingga, dll, yang
CATATAN AKHIR SURAT 6, 302
AL-AN`AAM
123. Kata benda "yan`i" adalah kata pokok atau masdar dari fiil "yana`a -
yaina`u" yang artinya "menjadi masak". Dan dhomir atau kata ganti
"hii" sesudahnya adalah kembalinya kepada kata benda "tsamari"
yang artinya "buah".
mana yang benar dan mana yang salah, dan akhirnya prediksi kita
terhadap “kemungkinan” berbagai hal yang terjadi di masa-masa yang
akan datang akan sering selip, meleset, dan tidak tepat.
125. Dalam surat 6 ayat 108 ini ada frasa "orang-orang yang/manusia yang
oleh pengkultusnya selalu mereka puja-puji selain Allah, baik yang
mereka puja-puji itu sebagai ulama, mujtahid, orang-orang suci, or-
ang-orang yang terhormat, para penguasa, maupun lainnya.
Penjelasannya dapat dilihat dalam Catatan Akhir Surat 4 nomor 73 di
bagian bentuk kemusyrikan yang ketiga, dan dapat dilihat juga dalam
Catatan Akhir Surat 2 nomor 34.
127b. Dari ayat 114 ini, maka jelaslah bahwa kita harus benar-benar
menjadikan Allah sebagai “Satu-Satunya Hakim” atau dengan kata
lain kita harus menjadikan ketetapan wahyu Alquran sebagai “satu-
satunya hakim” yang dapat memutuskan dengan benar terhadap
permasalahan apa pun, karena ketetapan wahyu Alquran itu secara
terperinci telah diturunkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui
segala persoalan yang dihadapi oleh manusia. Dan dalam surat 6
ayat 38 ditegaskan lagi bahwa “Allah tidak alpakan/tinggalkan satu
pun ketetapan di dalam Kitab-Nya (Alquran). Bahkan dalam surat
16 ayat 89 ditegaskan bahwa “wahyu Alquran itu sebagai
penjelasan terhadap permasalahan apa pun, sebagai petunjuk,
sebagai rahmat, dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang
mau berserah diri kepada Allah/muslimin.” Kenapa kita selama ini
tidak menjadikan wahyu Alquran sebagai satu-satunya hakim yang
dapat memutuskan permasalahan kita yang serba rumit itu? Bahkan
kita menjadikan kitab-kitab selain Alquran, termasuk kitab-kitab
hadis sebagai hakim terhadap permasalahan kita, akibatnya
kehidupan umat Islam benar-benar sempit dan terhimpit, terpecah
belah, dan terbelakang dalam banyak hal (surat 20 ayat 124, surat
6 ayat 153).
Sebenarnya, jika para pakar, terutama pakar Muslim sesuai dengan
bidangnya masing-masing mau menekuni dan menggali dengan
saksama apa-apa yang terkandung dalam perbendaharaan ilmu
Alquran, niscaya mereka akan menemukan terhadap apa saja yang
mereka cari yang berhubungan dengan bidangnya masing-masing.
Sehingga benar-benar pada waktu itu wahyu Alquran sebagai
petunjuk, sebagai penerang, dan sebagai kabar gembira bagi
mereka untuk dapat mengembangkan profesinya, baik dalam bidang
hukum pidana, perdata, bidang ekonomi, bidang sosial politik, sci-
ence-tech’nology, maupun lainnya. Dan akhirnya semuanya itu
adalah untuk manfaat manusia (surat 3 ayat 110).
Dan dalam surat 15 ayat 21 ditegaskan bahwa "perbendaharaan
segala sesuatu, termasuk perbendaharaan ilmu Alquran itu ada di
sisi Allah dan Dia tidak akan menurunkannya, kecuali dengan ukuran
tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan zaman.
CATATAN AKHIR SURAT 6, 305
AL-AN`AAM
128. Dosa lahiriah adalah suatu perbuatan dosa yang dapat dilihat,
diselidiki oleh orang lain, seperti tidak jujur, tidak amanah, korupsi,
memfitnah, menuduh tanpa bukti, mencaci maki, mengada-adakan
dusta atas nama Allah, memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan ...dll.
Sedangkan dosa batiniah adalah suatu perbuatan dosa yang ada dalam
hati atau jiwa seseorang, seperti niat jahat,dengki, dendam, iri hati,
perasaan benar sendiri ... dll. Kedua perbuatan dosa ini saling
berkaitan satu sama lain. Dan keduanya ini sama-sama berdampak
buruk bagi pelakunya dan juga bagi orang lain, baik secara lahiriah
maupun batiniah.
134. Kata "lillah" dalam ayat 162 ini, diterjemahkan dengan “karena Al-
lah”, bukan dengan "untuk Allah", karena kalau diterjemahkan dengan
"untuk Allah", akan ada kesan, bahwa semua yang dikerjakan itu
“manfaatnya untuk Allah", karena memang Allah itu tidak butuh dan
tidak bergantung kepada ciptaan-Nya, bahkan ciptaan-Nya itulah yang
butuh dan bergantung kepada-Nya (surat 35 ayat 15, surat 47 ayat
38, surat 112 ayat 2, dan lain-lain). Dan istilah "karena Allah" itu
biasanya menjadi “ikhlas karena Allah”, sehingga apa pun yang kita
kerjakan harus ikhlas karena Allah, baik itu pekerjaan yang
berhubungan dengan Allah secara vertikal seperti salat, puasa, ibadah
haji, maupun yang berhubungan dengan sesama manusia dan
lingkungan.
Dan ucapan “karena Allah” atau “ikhlas karena Allah” ini sering kita
dengar diucapkan oleh seseorang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karenanya, istilah ucapan itu harus ditempatkan secara proporsional
CATATAN AKHIR SURAT 6, 307
AL-AN`AAM
21. Kitab Tafsir ATh-Thobariy, oleh Muhammad bin Jariir bin Yaziid
ATh-Thobariy.
22. Kitab Tafsir Al-Qur’an dan Terjemahan (cetakan Saudi Arabia),
oleh Departemen Agama/Kemenag Republik Indonesia.
23. Kitab Terjemahan Bahasa Indonesia dari Kitab The Holy Qur’an,
text, Translation and commentary: Abdullah Yusuf Ali.
24. Kitab Tafsir Al Furqon: A. Hasan, Persis
25. Kitab Tafsir Al-Qur’an, oleh Mahmud Yunus.
26. Kitab Tafsir Al-Azhar, oleh DR. Hamka.
27. Kitab Terjemah Al-Qur’an Al-Ibriiz (bahasa Jawa): Kiai Bisyri
Mustofa, Rembang.
28. Kitab Tarjamah Alfaadzil-Qur’an ‘Inaayah, oleh YAA-SALAM,
Jakarta.
29. Kitab Terjemah Al-Qur’an, oleh Nazwar Syamsu.
30. Kitab Bacaan Mulia: HB. Yasin.
31. Kitab Tafsir Al-Qur’an Jarwo-Jarwi (bahasa Jawa), oleh
Joyosugito.
32. Kitab Terjemahan dan Tafsir Singkat Ahmadiyah Qadiani
Terjemahan dari The Holy Qur’an with English Translation and
Commentary, oleh Yayasan Wisma Damai.
33. Kitab Terjemahan dan Tafsir Ahmadiyah Lahore, Terjemahan
dari The Holy Qur’annya Muhammad Ali.
34. Kitab Qur’an The Final Testament: Rashad Khalifa, Ph.D.
35. Kitab Al-Mu‘jamul-Mufahrosu li Alfaadzil-Hadiitsin-nabawiy, DR.
Weinsick (Dosen Bahasa Arab di Jami‘ah, Leiden, Belanda).
36. Kitab Shohih Bukhari, oleh Imam Bukhari.
37. Kitab Shohih Muslim, oleh Imam Muslim.
38. Kitab Musnad Ahmad, oleh Imam Ahmad bin Hambal.
39. Kitab Sunan Tirmidzi, oleh Imam Tirmidzi.
40. Kitab Sunan Nasai, oleh Imam Nasai.
41. Kitab Sunan Ibnu Majah, oleh Imam Ibnu Majah.
42. Kitab Al-Umm, oleh Imam Syafi‘i.
43. Kitab Silsilah Al-Ahaadiitsish-shohiihah, oleh Muhammad
Naasiruddin Al-Albaaniy.
44. Kitab Silsilah Al-Ahaadiitsidl-dlo‘iifah wal-Maudluu‘ah (4 jilid),
oleh Muhammad Naasiruddin Al-Albaaniy.
311
IDEM
319
IDEM
321