MAKANAN &
MINUMAN
Oleh : KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
DAFTAR ISI
HUKUM TOKEK
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz apa hukumnya makan tokek? Bolehkah jual beli tokek?
Jawab :
Tokek dalam bahasa Arab disebut dengan kata Saamm Abrash. Nama
ilmiahnya Gecko gekko. Binatang ini masih satu famili dengan cicak (Arab :
al-wazagh), yaitu famili Geckonidae. Nama ilmiah cicak Cosymbotus
platyurus.
Tokek hukumnya haram, karena terdapat nash-nash yang memerintahkan
membunuhnya. Adanya perintah membunuh suatu binatang adalah dalil
haramnya binatang itu. Sebab membunuh binatang tanpa menyembelihnya
akan membuat binatang itu menjadi bangkai (al-maitah). Padahal bangkai
hukumnya haram (Lihat QS Al-Maidah : 3).
Imam Syaukani telah membuat bab khusus dalam kitabnya Nailul Authar
dengan judul Bab Mengenai Binatang Yang Pengharamannya Dipahami dari
Perintah Membunuhnya atau Larangan Membunuhnya (Bab Maa Ustufiida
Tahriimuhu min Al-Amri bi-Qatlihi aw An-Nahyi 'an Qatlihi). (Imam
Syaukani, Nailul Authar, 12/484).
Dalam bab itu ada beberapa hadis, antara lain disebutkan :
عن عامر بن سعد عن أبيه أن النبي صلى هللا عليه وسلم أمر بقتل الوزغ وسماه
فويسقا
“Dari ‘Aamir bin Sa’ad, dari ayahnya (Sa’ad bin Abi Waqqash RA) bahwa
Nabi SAW telah memerintahkan untuk membunuh cicak dan Nabi SAW
menamainya fuwaisiq (binatang kecil yang fasik/tidak taat)." (HR Ahmad no
1523 dan Muslim no 144).
Dalil hadis ini menunjukkan adanya perintah syara' untuk membunuh cicak.
Perintah syara' untuk membunuh cicak adalah dalil bahwa cicak itu
hukumnya haram.
Namun pengharaman di atas tak hanya untuk cicak, namun juga meliputi
tokek. Para ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga
hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram.
Imam Nawawi berkata,"Menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih
satu jenis dengan tokek (saam abrash), karena tokek adalah cicak besar."
(Imam Nawawi, Syarah Muslim, Juz 7/406). Pengarang kitab Aunul Ma'bud
menerangkan bahwa, "Cicak itu ialah binatang yang dapat disebut juga
tokek." (Aunul Ma'bud, Juz 11/294). Imam Syaukani berkata,"Tokek adalah
salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar." (Imam Syaukani, Nailul
Authar, Juz 12/487).
Berdasarkan penjelasan di atas, hukum haramnya cicak dapat juga
diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka
tokek pun hukumnya haram. (Imam Syihabuddin Asy-Syafii, At-Tibyan
limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman, hal. 116; Imam
Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, Juz I/389; Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-
Minhaj, Juz 41/240; Mughniy Al-Muhtaj, Juz 18/194).
Dan jika suatu binatang haram dimakan, maka menjual-belikannya haram
juga. Hal ini sesuai kaidah fiqih : "Kullu maa hurrima 'ala al-'ibaad fa-
bai'uhu haram." "Segala sesuatu yang sudah diharamkan atas hamba,
menjual-belikannya haram juga." (Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Al-
Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/288).
Akan tetapi jika tokek itu akan dijadikan obat, maka menjualbelikannya
boleh dan tidak mengapa. Sebab berobat dengan sesuatu yang haram
hukumnya makruh, tidak haram. Nabi SAW pernah mengizinkan
Abdurrahman bin Auf RA dan Zubair bin Al-Awwam RA untuk berobat
dengan sesuatu yang haram, yaitu mengenakan sutera karena mereka
terkena penyakit gatal-gatal (HR Ahmad, no. 13178). Padahal sutera haram
dipakai oleh kaum laki-laki. (HR Abu Dawud no 3535, An-Nasa`i no 5053,
Ibnu Majah no 3585, Ahmad no 891).
Berdasarkan kaidah fiqih di atas dapat ditarik pemahaman sebaliknya
(mafhum mukhalafah) bahwa kalau sesuatu itu tidak diharamkan, maka
menjual belikannya juga tidak diharamkan. Jadi, menjual belikan tokek
untuk kepentingan pengobatan itu boleh dan tidak mengapa. Wallahu a'lam.
HUKUM ROKOK
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon penjelasan yang paling rajih tentang hukum merokok? (Afif,
Amuntai)
Jawab :
Terdapat khilafiyah hukum rokok menjadi 3 (tiga) versi pendapat di
kalangan ulama sebagai berikut;
Pertama, haram. Antara lain pendapat Muhammad bin Abdul Wahab, Abdul
Aziz bin Baz, Yusuf Qaradhawi, Sayyid Sabiq, dan Mahmud Syaltut.
Kedua, makruh. Antara lain pendapat Ibnu Abidin, Asy-Syarwani, Abu Sa’ud,
dan Luknawi.
Ketiga, mubah. Antara lain pendapat Imam Syaukani, Taqiyuddin Nabhani,
Abdul Ghani Nablusi, dan pengarang Ad-Durrul Mukhtar. (Wizarat al-Awqaf
Al-Kuwaitiyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Juz 10, Bab “At-Tabghu”; Abdul
Karim Nashr, Ad-Dukhan Ahkamuhu wa Adhraruhu, hal. 23; Ali Abdul
Hamid, Hukm ad-Din fi al-Lihyah wa At-Tadkhin, hal. 42).
Menurut kami, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang memubahkan,
kecuali bagi individu tertentu yang mengalami dharar (bahaya) tertentu,
maka hukumnya menjadi haram bagi mereka.
Rokok hukum asalnya mubah, karena rokok termasuk benda (al-asy-ya`)
yang dapat dihukumi kaidah fiqih :
كل فرد من أفراد األمرالمباح إذا كان ضارا أو مؤديا إلى ضرر حرم ذلك الفرد وظل
األمر مباحا
Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idza kaana dhaarran aw mu`addiyan
ilaa dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Setiap
kasus dari sesuatu (benda/perbuatan) yang mubah, jika berbahaya atau
mengantarkan pada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan,
sedangkan sesuatu itu tetap mubah). (Taqiyuddin Nabhani, Asy-
Syakhshiyah al-Islamiyah, 3/457).
Berdasarkan ini, rokok haram hanya bagi individu tertentu yang terkena
bahaya tertentu, semisal kanker jantung atau paru-paru. Namun tak berarti
rokok lalu haram seluruhnya, tetapi tetap mubah bagi selain mereka.
Kriteria bahaya yang menjadikan rokok haram ada 2 (dua). Pertama, jika
mengakibatkan kematian atau dikhawatirkan mengakibatkan kematian.
Bahaya semacam ini haram karena termasuk bunuh diri (QS An-Nisaa` :
29). Kedua, jika mengakibatkan seseorang tak mampu melaksanakan
berbagai kewajiban, semisal bekerja, belajar, sholat, haji, jihad, berdakwah,
dll. Bahaya ini diharamkan berdasar kaidah fiqih al-wasilah ila al-haram
haram (Segala perantaraan yang mengantarkan pada yang haram,
hukumnya haram). (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, 2/155).
Jika bahaya yang ada belum sampai pada kriteria di atas, maka rokok tetap
mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok (tadkhiin)
dalam kondisi ini (tak menimbulkan kematian atau kekhawatiran kematian,
atau mengakibatkan meninggalkan yang wajib), adalah tindakan
menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.
Dalil makruhnya menimbulkan bahaya bagi diri sendirinya, adalah hadis
bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang lelaki yang bernadzar
akan berdiri di terik matahari, dan tidak akan duduk, berbuka pada siang
hari (berpuasa), tidak berteduh, dan tidak berbicara. Nabi SAW bersabda :
وليتم صومه،مره فليتكلم وليستظل وليقعد
”Perintahkan ia untuk berbicara, berteduh, dan duduk, namun ia boleh
menyempurnakan puasanya.” (HR Bukhari, no 6326).
Dalil ini menunjukkan larangan (nahi) menimbulkan bahaya pada diri
sendiri. Namun karena larangan ini tidak tegas (jazim), maka hukumnya
makruh, bukan haram. (M. Husain Abdullah, ibid, 2/147). Wallahu
a’lam.
قوله تعالى أحل لكم صيد البحر هذا حكم بتحليل صيد البحر وهو كل ما صيد من
حياته
“Firman Allah Ta’ala لكم ص يد البح ر أحل (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini
merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang
diburu dalam keadaan hidupnya…” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Imam Al-Qurthubi,
6/318).
Dalil hadis antara lain sabda Nabi SAW :
HUKUM KALAJENGKING