Anda di halaman 1dari 10

Etika Kehidupan Berbangsa

dan Good Governance

PENGANTAR

Dalam bab sebelumnya telah diuraikan bahwa etika organisasi diartikan sebagai pola sikap dan
perilaku yang diharapkan dari setiap individu dan kelompok dalam organisasi, yang akan membentuk
budaya organisasi yang sejalan dengan tujuan, visi, dan misi organisasi. Juga telah dikemukakan
bahwa prinsip-prinsip etika merupakan prasyarat dasar dalam pengembangan nilai-nilai etika atau
kode etik dalam hubungan antarindividu, individu dengan masyarakat, dan sebagainya. Etika yang
disusun atau dibuat sebagai aturan hukum yang akan mengatur kehidupan manusia, masyarakat,
organisasi, dan instansi pemerintah dan pegawai harus benar-benar dapat menjamin terciptanya
keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran bagi setiap orang.

Dalam bab ini selanjutnya akan diuraikan peranan etika dalam kehidupan berbangsa. Secara
normatif etika dalam kehidupan berbangsa ini telah dituangkan dalam TAP MPR Nomor
VI/MPR/2001. Selanjutnya dalam bab ini akan diuraikan pengertian dan prinsip-prinsip good
governance. Para PNS diharapkan tidak hanya memahami dengan baik hal-hal ini, tetapi juga
menjadi motor penggerak untuk menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan bahwa terbentuknya


Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan tersebut kemudian dikenal sebagai tujuan nasional
dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut MPR hasil gerakan
reformasi memandang perlu adanya pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa
bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain terjadinya krisis multidimensional yang
mengakibatkan ancaman serius bagi persatuan bangsa dan kemunduran dalam pelaksanaan etika
kehidupan berbangsa yang ditandai dengan terjadinya berbagai konflik sosial, berkurangnya sopan
santun dan budi luhur dalam pergaulan, melemahnya kejujuran dan sikap amanah, pelanggaran
hukum yang disebabkan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun luar negeri.

Faktor-faktor dari dalam negeri yang menjadi penyebab masalah tersebut di atas antara lain adalah
yang berikut ini.
1. Masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya pemahaman
terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit serta tidak harmonisnya pola interaksi antarumat
beragama.

2. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya


penumpukan kekuasaan di Pusat dan pengabaian terhadap kepentingan daerah.

3. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan dan kemajemukan


dalam kehidupan berbangsa.

4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang
sehingga melewati ambang batas kesabaran masyarakat dan munculnya perilaku ekonomi yang
bertentangan dengan moralitas dan etika.

5. Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa.

6. Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal dan lemahnya kontrol sosial untuk
mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika yang secara alamiah masih hidup di tengah-
tengah masyarakat.

7. Adanya keterbatasan kemampuan budaya lokal, daerah, dan nasional dalam merespons
pengaruh negatif budaya dari luar;

8. Meningkatnya prostitusi, media pornografi, dan perjudian; serta pemakaian, peredaran, dan
penyelundupan obat-obat terlarang.

Adapun faktor-faktor yang berasal dari luar negeri antara lain pengaruh globalisasi yang semakin
meluas dan persaingan

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 19

antarbangsa yang semakin tajam, serta makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam
perumusan kebijakan nasional.

Etika kehidupan berbangsa dalam TAP MPR ini diartikan sebagai rumusan yang bersumber dari
ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan
berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa sesuai TAP MPR tersebut
mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, displin, etos kerja, kemandirian, sikap
toleransi, rasa malu, tanggung jawab, serta menjaga kehormatan dan martabat diri sebagai warga
bangsa.
Etika kehidupan berbangsa menurut TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 meliputi etika dalam bidang
sosial budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakan hukum yang berkeadilan,
keilmuan, dan lingkungan.

Etika Sosial dan Budaya

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kembali kehidupan berbangsa yang berbudaya
tinggi. Caranya adalah dengan menggugah, menghargai, dan mengembangkan budaya nasional yang
bersumber dari budaya daerah agar mampu melakukan adaptasi, interaksi dengan bangsa lain, dan
tindakan proaktif sejalan dengan tuntutan globalisasi.

Etika Politik dan Pemerintahan

Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien,
dan efektif. Selain itu, etika ini juga dimaksudkan untuk menumbuhkan suasana politik yang
demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat,
menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki
rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik.

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 20

Etika politik dan pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan
antarkekuatan sosial politik dan antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-
besarnya kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada
kepentingan pribadi dan golongan. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama,
dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta
tisak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan berbagai tindakan yang tidak terpuji
lainnya.

Etika Ekonomi dan Bisnis


Etika ekonomi dan bisnis dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis, baik oleh
perseorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dapat melahirkan
kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong
berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan daya saing, serta terciptanya suasana
kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil. Etika ini mencegah
terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme; diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan
sehat, dan keadilan; serta menghindarkan perilaku menghalalkan segala cara dalam memperoleh
keuntungan.

Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan
keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh
peraturan yang berpihak kepada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya
supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan
yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan
menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk
manipulasi hukum lainnya.

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 21

Etika Keilmuan

Etika keilmuan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu, pengetahuan,
dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada
kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan
budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi atau kolektif dalam karsa, cipta, dan karya yang
tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif; dalam kegiatan membaca,
belajar, meneliti, menulis, berkarya, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan
ilmu, pengetahuan, dan teknologi.

Etika Lingkungan

Etika ini menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta
penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Etika kehidupan berbangsa ini diharapkan menjadi acuan dasar dalam meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berahlak mulia serta berkepribadian Indonesia.
Untuk itu, etika ini harus diimplementasikan melalui perwujudan dalam perilaku kehidupan sehari-
hari dengan arah kebijakan sebagai berikut.

 Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal; serta
pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin
masyarakat.

 Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi


pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran
agama dan budaya luhur bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan
keseimbangan antara kecerdasan intelektual serta kematangan emosional dan spiritual.

 Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan


berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan ahlak mulia; baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
maupun evaluasi.

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 22

GOOD GOVERNANCE
Good governance (GG) atau kepemerintahan yang baik merupakan isu yang paling mengemuka
dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Hal ini sudah menjadi tuntutan masyarakat
kepada pemerintah karena pola penyelenggaraan pemerintah yang lama sudah tidak sesuai lagi
dengan tatanan masyarakat yang telah berubah.

Tuntutan terhadap kepemerintahan yang baik ini tidak hanya muncul di negara-negara berkembang
yang pemerintahannya dinilai korup, tetapi juga sudah menjadi kecenderungan di negara-negara
maju seperti di Amerika dan Eropa. Hal ini disebabkan antara lain adanya prinsip dan kode etik yang
sama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini antara lain larangan untuk membocorkan
rahasia negara, mendahulukan kepentingan negara dan masyarakat daripada kepentingan pribadi
atau kelompok, dan kewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan Hal tersebut juga berkaitan erat dengan tuntutan terhadap aparatur
pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat yang menuntut adanya kejujuran,
keadilan/netralitas, dan disiplin aparat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu,
kepemerintahan yang baik menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam
mencapai tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Makna good dalam good governance sesungguhnya mengandung dua pengertian yaitu merupakan
”nilai-nilai” yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan
berkelanjutan, dan keadilan sosial. Makna lainnya adalah aspek-aspek fungsional dari pemerintahan
yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk tujuan nasional.

Bank Dunia mengartikan good governance sebagai penyelenggaraan pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi yang langka, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan kerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya
aktivitas kewirausahaan. UNDP memberikan definisi good governance sebagai hubungan sinergi dan
konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat yang memiliki karakteristik partisipasi,
aturan hukum, transparansi,

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 23

daya tanggap, orientasi konsensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.
Masing-masing karakteristik itu diuraikan berikut ni.

Partisipasi (Participation)
Setiap warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.

Aturan Hukum (Rule of law)

Hukum harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu atau tidak berpihak kepada siapapun,
terutama hukum dalam rangka hak asasi manusia.

Transparansi (Transparency)

Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Informasi harus dapat diakses dan
diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus tersedia secara memadai dan dapat
dipahami serta dimonitor dan dievaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)

Pelayanan harus diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah harus mampu
meningkatkan kepekaan terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat.

Orientasi Konsensus (Consensus orientation)

Kepemerintahan yang baik menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh
konsensus atau kesepakatan sehingga tercapai pilihan terbaik bagi bagi masing-masing pihak untuk
kepentingan yang lebih luas.

Keadilan (Equity)

Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup mereka.
ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 24

Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and efficiency)

Setiap kegiatan diarahkan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan apa yang telah digariskan
melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia sebaik mungkin.\

Akuntabilitas (Accountability)

Seluruh komponen pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik.

Visi strategis (Strategic vision)

Para pemimpin harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan yang jauh ke
depan sejalan dengan arah perkembangannya.

Kriteria tersebut kemudian dikembangkan oleh Bappenas pada 2002 yang menetapkan bahwa
karakteristik good governance adalah sebagai berikut.

 Tata pemerintahan yang berwawasan ke depan.

 Tata pemerintahan yang bersifat terbuka.

 Tata pemerintahan yang cepat tanggap.

 Tata pemerintahan yang akuntabel.

 Tata pemerintahan yang berdasarkan profesionalitas dan kompetisi.

 Tata pemerintahan yang menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif.

 Tata pemerintahan yang terdesentralisasi.

 Tata pemerintahan yang demokratis dan berorientasi pada konsensus.


 Tata pemerintahan yang mendorong partisipasi masyarakat.

 Tata pemerintahan yang mendorong kemitraan dengan swasta dan masyarakat.

 Tata pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum.

 Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada pengurangan kesenjangan.

 Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pasar.

 Tata pemerintahan yang memiliki komitmen pada lingkungan hidup.

ETIKA ORGANISASI PEMERINTAH 25

Berdasarkan uraian di atas maka wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan
negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan
interaksi yang konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Karena good governance
meliputi sistem administrasi negara, maka upaya untuk mewujudkannya juga merupakan upaya
melakukan penyempurnaan sistem administrasi negara secara menyeluruh.

Sebagai komitmen terhadap pelaksanaan good governance, di berbagai negara, terutama di negara-
negara maju telah dikembangkan berbagai pola kerja yang diarahkan pada peningkatan etos kerja
birokrasi pemerintahan melalui pengembangan norma-norma etika pemerintahan. Sidang umum
PBB pada 1996 telah mengeluarkan resolusi ”Action Against Corruption”. Resolusi tersebut
menuntut agar setiap negara anggota PBB melakukan tindakan yang diperlukan dalam mengatasi
semua praktik korupsi. Resolusi tersebut juga menghasilkan ”Kode Etik Internasional Dalam
Memerangi Korupsi” yang terdiri atas 11 (sebelas) butir prinsip. Salah satu di antaranya adalah:
”Para pejabat publik tidak boleh menggunakan kewenangannya bagi kepentingan
keuangan/kekayaan pribadi dan keluarganya.” Resolusi ini telah ditindaklanjuti oleh negara-negara
anggota PBB, termasuk Indonesia, antara lain dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.

Perwujudan good governance memerlukan komitmen dari semua pihak baik pemerintah maupun
masyarakat. Hal ini juga berarti menuntut adanya integritas, profesionalisme, serta etos kerja dan
moral yang tinggi dari seluruh komponen masyarakat khususnya aparatur pemerintah sebagai
penyelenggara pemerintahan. Etos kerja dan moral yang tinggi dari aparatur pemerintah merupakan
modal utama dalam mewujugkan good governance. Oleh karena itu, etos kerja dan moralitas harus
dibangun oleh setiap individu dan organisasi pada semua level pemerintahan sehingga tercipta
budaya kerja yang sesuai dengan amanat undang-undang yaitu yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Semua itu merupakan prasyarat dasar bagi upaya mewujudkan visi Indonesia
masa depan serta mencapai cita-cita luhur bangsa sebagaimana telah digariskan dalam Undang-
Undang Dasar 1945.

Anda mungkin juga menyukai