Anda di halaman 1dari 12

2.

1 Fisiologi

2.1.1 Fisiologi Kardiovaskuler

Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah


keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme
sistim saraf otonom dan hormonal dengan autoregulasi terhadap kebutuhan
metabolime tubuh. Mekanisme otonom aktifitas otot jantung ini berasal dari
cetusan listrik (depolarisasi) pada otot jantung itu sendiri. Depolarisasi otonom
otot jantung berasal dari sekelompok sel-sel yang menghasilkan potensial listrik
yang disebut dengan nodus sinoatrial [sinoatratrial (SA) node]. SA node terletak
di atrium kanan berdekatan dengan muara vena cava superior.1,2

Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA node akan dialirkan keseluruh otot-
otot jantung (miokardium) sehingga menyebabkan kontraksi. Mekanisme
penyebaran impuls ini teratur sedemikian rupa sesuai dengan siklus kerja jantung.
Pertama impuls dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan
sehingga menyebabkan kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang
berasal dari sistim vena sitemik akan dipompakan ke ventrikel kana, dan darah
pada atrium kiri yang beraasl dari paru (vena pulmonalis) akan dialirkan ke
ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke ventrikel melalui sistim konduksi
nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV) node], terus ke atrioventricular (AV)
bundle dan oleh serabut purkinje ke seluruh sel-sel otot ventrikel jantung. Impuls
listrik yang ada di ventrikel terjadinya depolarisasi dan selanjutnya menyebabkan
otot-otot ventrikel berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang dikenal sebagai
denyut jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah ke paru untuk
pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut ventrikel kiri
akan mengalirkan darah ke seleuruh tubuh melalui aorta. Denyut jantung yang
berasal dari depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali permenit, dengan rata-rat
72 kali permenit.1,2

Kontraksi ventrikel saat mengeluarkan darah dari jantung disebut sebagai


fase sistolik atau ejeksi ventrukuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam satu
kali pompan pada fase ejeksi ventrikuler disebut sebagai ‘volume sekuncup’ atau
stroke volume, dan pada dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah
kontraksi rata-rata 72 kali permenit, maka dalam satu menit jumlah darah yang
sudah melewati dan dipompakan oleh jantung sekitar 5 liter, yang disebut sebagai
curah jantung (cardiac output). Secara matematis fisiologis dapat dirumuskan
sesuai gambar 1.

Gambar 1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Curah Jantung

Aktifitas listrik pada SA node yang menyebabkan kontraksi otot jantung


terjadi secara otonom tanpa kontrol pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh sistim
saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian seperti yang terlihat
pada gambar-1, sistim saraf otonom sangat berperan dalam pengaturan
kardiovaskuler dengan mempengaruhi frekuensi denyut dan kontraktilitas otot
jantung. Disamping itu sisitim saraf otonom juga mempengaruhi pembuluh darah
terhadap perubahan resistensi pembuluh darah.

Curah jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan dari
fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan
fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang disebut sebagai oxygen
delivery (DO2). Oksigen harus ditransportasikan secara efektif dari atmosfir ke
jaringan untuk menjaga metabolism tubuh tetap normal. Oksigen dalam darah
sebagian besar terikat pada hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil terlarut dalam
plasma. Satu gram Hb dapat membawa 1,34 ml oksigen, bilamana saturasi Hb
(SaO2) 100%. Oksigen yang terlarut dalam plasma berkisar 0,3 mL setiap 100 ml
darah pada PaO2 100 mmHg.10
Oksigen delivery (DO2) adalah sejumlah oksigen yang diantarkan ke seluruh
tubuh dari paru-paru. Ini merupakan hasil dari total aliran darah atau cardiac
output (CO) dan oxygen content dari darah arteri (CaO2) dalam milliliter per
menit.11

Gambar 2. Perhitungan Oxygen Delivery dan Hubungannya ke Curah Jantung

Tabel 2.2 Pengaruh relative anemia pada pengiriman oksigen10


Parameter Normal Anemia Anemia + Terapi Oksigen
Oksigen inspirasi 21 21 100
PaO2 (KPa) 12 12 85
SaO2 (%) 98 98 98
Konsentrasi Hb 150 75 75
(g/L)
Oksigen terlarut (ml/L) 3 3 19
Hb-terikat Oksigen (ml/L) 197 98 98
Total CaO2 (ml/L) 200 101 117
DO2 (ml/menit) 1000 505 585
Asumsi cardiac output 5
liter/menit
Gambar 2.1. Oksigen Delivery10

Oxygen content arteri adalah jumlah dari hemoglobin dan saturasi. Pada
keadaan sehat >98% oksigen terikat pada hemoglobin. Secara teori, setiap satu
gram Hb dapat berikatan dengan 1,34 ml dari oksigen. Bagaimanapun, secara
praktik, keadaan abnormal dari Hb seperti karboksihemoglobin dan
methaemoglobin, mengurangi kapasitas ikatan oksigen dengan Hb. Oksigen yang
larut dalam plasma ditentukan oleh koefisien pelarut dari oksigen pada suhu tubuh
(k2 ; 0,23 ml/L/kPa).11
Secara kuantitatif dapat dihitung sebagai berikut:

DO2 = CO x Hb X SaO2 + O2 terlarut dalam plasma

Contoh: Bila CO 5000 ml/menit, Hb 15g% (15 gram/100 ml), SaO2 100%
(1,0), PaO2 200 mmHg
DO2 = (5000/100 x 15 x 1,34 x 1,0) + (0,3 x 5000/100 x 200/100) per menit
DO2 = (50 x 15 x 1,34 x 1,0) + (0,3 x 50 x 2) per menit
DO2 = 1005 + 30 = 1035 ml/menit

Oksigen ini akan masuk ke sel jaringan sebagai bahan bakar untuk
metabolisme tubuh.11
Gambar 2.2. Diagram hemodinamik12

Gangguan pada faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung dapat


mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat
mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif.

2.2 Fisiologi Saraf Otonom

Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf
simpatis dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang
bekerja secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon
simpatis terhadap stress disebut juga sebagai ‘faight of flight response’
memberikan umpan balik yang spesifik pada organ dan sistim organ, termasuk
yang paling utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun.
Sedangkan sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama
pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai
sistim organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.3,4

Sistim saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen


torakolumbal, tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion
sarafnya berada di daerah paravertebre. Sistim saraf simpatis menimbulkan efek
pada organ dan sistim organ melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin)
atau noradrenalin (norepinefrin) endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di
sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian medula, sedangkan noradrenalin selain
dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan juga oleh sel-sel saraf (neutron)
simpatis pascaganglion.3,4

Respon yang muncul pada organ-organ target tergantung reseptor yang


menerima neurotrasmiter tersebut yang dikenal dengan reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta, rangsangan simpatis pada otot
jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1 menyebabkan peningkatan
frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung (inotropik). Efek
adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya dengan
reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi
(melalui reseptor beta-2).3,4

Sistem parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf kranial dan
medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang
memberikan efek parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervus VII
(fasialis), nervus-IX (glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan
parasimpatis pada masingmasing saraf tersebut memberikan efek spesifik pada
masing-masing organ target, namun yang memberikan efek terhadap fungsi
kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang berasal dari medulla spinalis
yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari daerah sakral-2 hingga 4.

Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotransmiter asetilkolin,


yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau
muskarinik. Sebagaimana halnya sistim saraf simpatis, sistim saraf parsimpatis
juga menimbulkan efek bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter
asetilkolin dengan reseptornya pada organ target. Efek yang paling dominan pada
fungsi kardiovaskuler adalah penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya
(negatif kronotropik dan inotropik) serta dilatasi pembuluh darah.

Dalam keadaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur fungsi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim simpatis
sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan kontraktilitas
otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk mensuplai
oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka respon
simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas jantung serta
vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume dalam sirkulasi
dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila gangguan yang
terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak dapat lagi
dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.2,5

Patofisiologi

Selama perdarahan hebat, terjadi ketidakseimbangan antara pengiriman


oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen. Kehilangan darah menyebabkan
ketidakstabilan hemodinamik, koagulopati, penurunan distribusi oksigen,
penurunan perfusi jaringan, dan hipoksia selular.6 Perdarahan akut menyebabkan
penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan ini dikenali oleh
baroreseptor pada arkus aorta, karotis, dan atrium. Dengan berkurangnya volume
darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini
menimbulkan peningkatan frekuensi jantung, tekanan darah, kontraktilitas
jantung. α-adrenergik bertanggung jawab terhadap vasokonstriksi, dan penurunan
distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran
pencernaan, dan otot, sehingga menjaga aliran darah ke jantung dan otak.7,8
Pada perdarahan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing
hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan
glukokortikoid dan β-adrenergik. Hiperglikemia sering didapatkan pada
perdarahan akut karena glukagon dan growthhormone meningkat pada
glukoneogenesis dan glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan
dan aktivitas insulin secara relatif sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.8
Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi
air pada tubulus distal. Renin-angiotensin-aldosteron dilepaskan oleh kompleks
juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean Arterial Pressure),
sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resorbsi natrium dan air.8
Sistem neuroendokrin merespons syok hemoragik dengan menyebabkan
peningkatan sirkulasi hormon antidiuretik (ADH). ADH dilepaskan dari kelenjar
pituitari posterior sebagai respons terhadap penurunan TD (seperti yang dideteksi
oleh baroreseptor) dan penurunan konsentrasi natrium (seperti yang dideteksi oleh
osmoreseptor). ADH secara tidak langsung menyebabkan peningkatan reabsorpsi
air dan garam (NaCl) oleh tubulus distal, duktus pengumpul, dan lengkung
Henle.13

Otot-otot skeletal tidak aktif bermetabolisme selama syok dan mampu


bertahan dalam iskemik lebih baik dari organ yang lain. Massa otot rangka yang
besar berkontribusi besar dalam pembentukan asam laktat dan radikal bebas dari
sel iskemik. Iskemia sel otot yang berkelanjutan menyebabkan peningkatan
natrium intraseluler dan air, dengan semakin menipisnya cairan di kompartemen
vaskular dan interstisial.6
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.8 Pada tingkat seluler, terjadi
perubahan dari metabolisme aerob menjadi anaerob.9 Perubahan ini menyebabkan
produksi metabolisme anaerob, seperti asam laktat, yang berakumulasi di sirkulasi
jika perfusi menurun. Senyawa ini menyebabkan perusakan langsung pada sel dan
membentuk sebagian besar racun yang dikeluarkan kembali ke sirkulasi pusat
ketika aliran kembali normal. Gejala sisa termasuk hipotensi, penurunan
kontaktilitas miokardium, aritmia, ensefalopati. Sel-sel iskemik juga
memproduksi dan melepaskan faktor inflamasi seperti prostasiklin, tromboksan,
prostaglandin, leukotrine, endotelin, complemen, interleukin, faktor tumor
nekrosis, dan lain-lain. Proses inflamasi sistemik yang menyebabkan disfungsi
berbagai organ vital dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.6,9

Gambar 1. Mekanisme Kompensasi Syok Hemoragik


Gambar 2 Kaskade Syok. Iskemik di setiap bagian tubuh dapat memicu respon inflamasi yang
akan berdampak pada organ noniskemik bahkan setelah perfusi sitemik kembali normal. 6

Fungsi jantung dipertahankan dari iskemik selama syok dengan tetap


mempertahankan atau bahkan meningkatkan aliran darah. Laktat, radikal bebas,
dan faktor humoral lainnya dilepaskan oleh sel-sel iskemik semuanya bertindak
sebagai inotropik negatif. Pada pasien dengan penyakit jantung atau trauma
jantung langsung memiliki faktor risiko besar untuk mengalami dekompensasi
karena stroke volume yang tetap menghambat kemampuan tubuh untuk
meningkatkan aliran darah sebagai respon dari hipovolemik dan anemia.6
Usus adalah salah satu organ yang pertama kali terkena dampak dari
hipoperfusi dan mungkin menjadi pemicu utama dari MOD. Vasokontriksi terjadi
lebih awal dan sering menyebabkan fenomena no-reflow, bahkan ketika
makrosirkulasi telah pulih. Kematian sel saluran cerna menyebabkan kerusakan
pada fungsi barrier dari usus dan menghasilkan peningkatan translokasi bakteri ke
hati dan paru-paru, dengan demikian berpotensi menyebabkan MOD dan ARDS.6
Paru adalah penyaring produk sampingan dari sel iskemik. Kompleks imun
dan faktor seluler berakumulasi di kapiler paru menyebabkan agregasi platelet dan
neutrofil, peningkatan permeabilitas kapiler, rusaknya jaringan paru, dan sindrom
distres pernapasan akut (ARDS).6
Hati memiliki mikrosirkulasi yang kompleks dan mungkin mengalami cedera
reperfusi selama pemulihan dari syok. Sel hepar juga aktif bermetabolisme dan
untuk penyimpangan dalam glukosa darah. Kegagalan fungsi hepar setelah syok
hampir selalu mematikan.6
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume sirkulasi
tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi tiga
tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan tahapan ireversibel.
Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat
mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon simpatis. Pada
tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya
dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini melalui
mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan organ-
organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas.
Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin.
Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut
sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki.
Keadaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistem filtrasi ginjal
yang disebut sebagai gagal ginjal akut.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A, Hall J. The Heart (Unit III, Chapter 9-13). Textbook of Medical
Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 45-
300.

2. Preston RR, Wilson T. Physiology: Lippincott's Illustrated Reviews Series.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012.

3. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. 5th ed:


Benjamin-Cummings Publishing Company; 2011.

4. Hidayat JK. Fisiologi Susunan Saraf Otonom. In: Soenarto RF, Chandra S,
editors. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 91-9.

5. Costanzo L. Physiology Cases and Problems. 4th ed. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins; 2012.
6. Henry, S., Brasel, K., Stewart, R.M., 2018, Advanced Trauma Life
Support Tenth Edition, American College of Surgeons, USA.

7. Taghavi, S. and Askari, R. ‘Hypovolemic Shock’, in StatPearls. StatPearls


Publishing. 2020.pp. 2–5

8. Bastian L. Syok Hemoragik. Repositori USU. 2019

9. Yao FF, Hemmings HC, Malhotra V, Fong J. Yao & Artusio’s


Anesthesiolgy Problem-Oriented Patient Management 9th Edition. China.
2020

10. McLellan, S. ., & Walsh, T. (2004). Oxygen delivery and


haemoglobin. Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain,
4(4), 123–126. doi:10.1093/bjaceaccp/mkh033 

11. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR. 2019. Anestesiologi dan


Terapi Intensif Edisi Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

12. Olson, K.R., 2011, Integrated Control and Response of The


Circulatory System, Indiana University School of Medicine, USA.

13. Kolecki, Paul. 2016. Hypoolemic Shock.


Emedicine.medscape.com

Anda mungkin juga menyukai