Anda di halaman 1dari 19

A.

DEFINISI
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan
peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk
dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal.
Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan kuat. Sebagai
akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air dan garam. Hal ini akan
mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan,
kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak (congestive)
(Udjianti, 2010).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan Triyanti,
2007).
Gagal jantung adalah sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur atau
fungsi jantung sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk
memompa darah ke jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
(Ardini 2007).

B. ANATOMI FISIOLOGI JANTUNG

Gambar 1.1 Anatomi jantung

1
Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan
membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung
melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang kekurangan
oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah
akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida; jantung kemudian
mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke
jaringan di seluruh tubuh. 
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah
(disebut diastol); selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar
dari ruang jantung disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi
secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara
bersamaan. Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak
karbondioksida dari seluruh tubuh mengalir melalui 2 vena besar (vena kava)
menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan
mendorong darah ke dalam ventrikel kanan. 
Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam
arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru. Darah akan mengalir melalui pembuluh
yang sangat kecil (kapiler) yang mengelilingi kantong udara di paru-paru,
menyerap oksigen dan melepaskan karbondioksida yang selanjutnya
dihembuskan. 
Darah yang kaya akan oksigen mengalir di dalam vena pulmonalis menuju
ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung, paru-paru dan
atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner. Darah dalam atrium kiri akan didorong ke
dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah yang kaya akan
oksigen ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar dalam
tubuh). Darah kaya oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-
paru. 

2
C. SISTEM PEREDARAN DARAH
Sistem peredaran darah berfungsi untuk mengedarkan zat makanan ke
seluruh tubuh. Zat makanan berguna untuk pertumbuhan, mengganti sel-sel yang
rusak, dan untuk beraktivitas. Sistem peredaran ini dibedakan menjadi:
1. Sistem peredaran darah kecil (sistem peredaran paru-paru)
Merupakan sistem peredaran yang membawa darah dari jantung ke paru-paru
kembali lagi ke jantung. Pada peristiwa ini terjadi difusi gas di paru-paru, yang
mengubah darah yang banyak mengandung CO2 dari jantung menjadi O2
setelah keluar dari paru-paru.
Mekanisme aliran darah sebagai berikut:
Ventrikel kanan jantung –> Arteri pulmonalis –> paru-paru –> vena
pulmonalis –> atrium kiri jantung
2. Sistem peredaran darah besar (peredaran darah sistemik)
Merupakan sistem peredaran darah yang membawa darah yang membawa
darah dari jantung ke seluruh tubuh. Darah yang keluar dari jantung banyak
mengandung oksigen.
Mekanisme aliran darah sebagai berikut:
Ventrikel kiri –> aorta –> arteri superior dan inferior –> sel / jaringan tubuh –>
vena cava inferior dan superior –> atrium kanan jantung

Gambar 1.2 Sistem Peredaran Darah

3
D. ETIOLOGI
Menurut Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF) dikelompokan
berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung)
Hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia kronis/ berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung)
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect
(ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
d. Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut

Secara umum penyebab dari CHF yaitu:


1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya
gagal jantung.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap
sebagai mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas
jantung.
4. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia, dan anemia
memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.

4
Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas elektrolit dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.

Penyebab lain dari CHF yaitu,


1. Backward Dan Forward Failure
Apabila ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka darah akan
terbendung dan tekanan di atrium serta vena-vena dibelakangnya akan naik
(hipotesis backward failure oleh James Hope pada tahun1832)
Menurut teori ini manifestasi gagal jantung timbul akibat berkurangnya
aliran darah (cardiac output) ke sistem aterial, sehingga terjadi pengurangan
perfusi pada organ-organ yang vital dengan segala akibatnya (hipotesis
forward failure oleh Mackkenzie pada tahun 80 an setelah hipotesis backward
failure)
Kedua hipotesis ini nsaling melengkapi serta menjadi dasar patofisiologi
gagal jantung: kalau ventrikel gagal mengosongkan darah maka menurut
hipotesis Backward failure:
a. Isi dan tekanan (volumedan pressure) pada ahir fase diastolik meninggi.
b. Isi dan tekanan akan meninggi pada atrium dibelakang ventrikel yang gagal
c. Atrium ini akan bekerja dengan keras
d. Tekanan pada vena dan kapiler dibelakang ventrikel yang gagal akan
meninggi
e. Terjadi transudasi pada jaringan interstitial(baik pulmonal maupun
sistemik)
Forward failure tejadi akibat berkurangnya output ventrikel kiri dan
renjatan kardiogenik dan yang akan menimbulkan berkurangnya perfusi
jaringan/ organ. Sedangkan backward failure terjadi akibat adanya output yang
tidak sama (inequal) antara kedua ventrikel yang meskipun bersifat sementara
berakibat tejadinya edema paru yang akut.
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan
metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi
untuk mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi:
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap
peningkatan volume

5
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap
cairan
2. RAA system
Renin Angiotensin Aldosteron System atau disebut juga RAAS adalah
suatu sistem/mekanisme hormon yang mengatur keseimbangan tekanan darah
dan cairan dalam tubuh.
Mekanisme kerja dari RAAS dapat dimulai dari 3 proses:
a. Penurunan volume darah yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
darah di glomerulus. (hipotensi/renal artery stenosis)
b. Stimulasi sel juxtaglomerular oleh saraf simpatis
c. penurunan konsentrasi osmotic cairan tubular di macula densa. (penurunan
kadar sodium)
3 proses diatas dapat merangsang sel-sel jukstaglomerular di ginjal untuk
melepaskan enzim renin, kemudian renin ini akan bersirkulasi ke seluruh tubuh
yang kemudian akan bertemu dengan angiotensinogen yang diproduksi di hati
untuk melepaskan enzim angiotensin I. Angiotensin I akan berubah menjadi
Angiotensin II setelah diubah oleh Angiotensin Converting Enzim (ACE) yang
dihasilkan oleh endotelium pembuluh paru. Angiotensin II akan menyebabkan
beberapa efek, yaitu :
a. vasokontriksi di seluruh tubuh terutama di arteriol yang akan meningkatkan
tahanan perifer total sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri.
b. menurunkan eksresi garam dan air sehingga meningkatkan volume ekstra
sel yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri juga.
c. merangsang sekresi aldosteron di kalenjar adrenal yang kemudian
meningkatkan reabsorpsi garam dan air oleh tubulus ginjal.
d. merangsang central nervous system untuk menjadi haus sehingga kelenjar
pituitary posterior mengeluarkan hormon vasopresin (ADH) yang akan
menstimulasi reabsorpsi air di ductus collectivus dan peningkatan tonus
simpatis, meningkatkan cardiac output.
3. Sistem Saraf Simpatis Dan ADH
Aktivasi sistem saraf simpatis pada gagal jantung, melalui stimulasi
baroreseptor, dapat mengingkatkan kecepatan detak jantung, vasokonstriksi
pembuluh darah akibat perangsangan reseptor alfa dan menghasilkan
6
peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya. Refleks simpatis bekerja
maksimal dalam jangka waktu 30 detik. Peningkatan kecepatan detak jantung
dan kontraktilitas secara langsung meningkatan curah jantung. Vasokonstriksi
vaskular mangakibatkan peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga
meningkatkan beban awal dan meningkatkan stroke volume melalui
mekanisme frank starling. Konstriksi arteriol pada gagal jantung meningkatkan
tahananan pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah.
Adanya distribusi regional reseptor-reseptor alfa sedemikian rupa
menyebabkan aliran darah diredistribusikan ke alat-alat vital (jantung dan otak)
dan dikurangi ke organ-organ perifer seperti kulit, organ-organ splanknik dan
ginjal. Namun pada aktivasi sistem RAA dan neurohormonal berikutnya
menyebabkan peningkatan tonus vena (preload jantung) dan arteri (afterload
jantung), meningkatkan norepinefrin plasma, retensi progresif natrium dan air.
Penurunan perfusi dari jantung akan menyebabkan stimulasi sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen ginjal yang menstimulasi pelepasan
norepenefrin dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal dan membatu
pelepasan aldosteron dari adrenal, sehingga dapat menyebabkan retensi
natrium dan air di dalam tubuh.
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik. ACE
(Angiotensin Converting Enzyme) memegang peranan fisiologis penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat
di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang
sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua jalur, yaitu:
Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
7
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin
menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan
darah.
Retensi cairan oleh ginjal dan peningkatan volume darah terjadi selama
beberapa jam atau hari. Normalnya ginjal menerima suplai darah sebanyak
1100 ml/menit atau sekitar 20 – 25% dari curah jantung. Tujuan utama dari
tingginya aliran darah ke ginjal adalah untuk menyediakan cukup plasma untuk
mengimbangi laju filtrasi glomerulus yang tinggi yang dibutuhkan untuk
pengaturan volume cairan tubuh dan konsentrasi suatu zat terlarut secara
efektif. Oleh karena itu penurunan darah ke ginjal akan menurunkan GRF
(Glomerular Filtration Rate). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya oligouria,
yang berarti menurunnya keluaran urin dibawah tingkat asupan air dan zat
terlarut. Jika aliran darah ginjal sangat menurun, dapat terjadi penghentian total
keluaran urin, yang disebut anuria.
Ginjal dapat mengkompensasi kekurangan aliran darah ginjal pada
keadaan aliran darah ginjal sekitar 20-25% keadaan normal. Ketika aliran
darah ginjal menurun, maka GFR dan jumlah natrium klorida yang difiltrasi
oleh glomerulus akan ikut menurun termasuk penurunan filtrasi BUN.

E. PATOFISIOLOGI
Kelainan fungi otot jantung disebabkan karena aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi, kelainan fungsi
otot jantung menyebabkan menurunnya kontraktilitas otot jantung. Aterosklerosis 
koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena  terganggunya aliran darah
8
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung.
Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan
beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot
jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan
tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan
akhirnya akan terjadi gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat
penyakit jantung yang sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung.
Mekanisme yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui
jantung (stenosis katup semilunar), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(temponade pericardium, perikarditis konstruktif, stenosis katup
arterioventrikular), atau pengosongan jantung abnormal (insufisiensi katup AV).
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal
ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventriel kanan. Gagal ventrikel kiri
murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel berpasangan atau
sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan penurunan
perfusi jaringan.

9
Pathway CHF

10
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Peningkatan volume intravaskular.
2. Kongesti jaringan akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat
turunnya curah jantung.
3. Edema pulmonal akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis yang
menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli; dimanifestasikan
dengan batuk dan nafas pendek.
4. Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat peningkatan tekanan
vena sistemik.
5. Pusing, kekacauan mental (confusion), keletihan, intoleransi jantung terhadap
latihan dan suhu panas, ekstremitas dingin, dan oliguria akibat perfusi darah
dari jantung ke jaringan dan organ yang rendah.
6. Sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan, serta peningkatan volume
intravaskuler akibat tekanan perfusi ginjal yang menurun (pelepasan renin
ginjal).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung sel darah lengkap: anemia berat atau anemia gravis atau polisitemia
vera
2. Hitung sel darah putih: Lekositosis atau keadaan infeksi lain
3. Analisa gas darah (AGD): menilai derajat gangguan keseimbangan asam basa
baik metabolik maupun respiratorik.
4. Fraksi lemak: peningkatan kadar kolesterol, trigliserida, LDL yang merupakan
resiko CAD dan penurunan perfusi jaringan
5. Serum katekolamin: Pemeriksaan untuk mengesampingkan penyakit adrenal
6. Tes fungsi ginjal dan hati: menilai efek yang terjadi akibat CHF terhadap
fungsi hepar atau ginjal
7. Echocardiogram: menilai senosis/ inkompetensi, pembesaran ruang jantung,
hipertropi ventrikel
8. Cardiac scan: menilai underperfusion otot jantung, yang menunjang
penurunan kemampuan kontraksi.
9. Rontgen toraks: untuk menilai pembesaran jantung dan edema paru.
10. Kateterisasi jantung: Menilai fraksi ejeksi ventrikel.
11. EKG: menilai hipertropi atrium/ ventrikel, iskemia, infark, dan disritmia
11
H. KOMPLIKASI
1. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
2. Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata. merupakan stadium akhir dari
disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila vetrikel kiri
mengalami kerusakan yang sangat luas. Tanda syok kardiogenik adalah
tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi
dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang
dingin dan lembab.
3. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Non Farmakologis
a. CHF Kronik
1) Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi oksigen melalui istirahat atau pembatasan aktivitas.
2) Diet pembatasan natrium (< 4 gr/hari) untuk menurunkan edema.
3) Menghentikan obat-obatan yang memperparah seperti NSAIDs karena
efek prostaglandin pada ginjal menyebabkan retensi air dan natrium
4) Pembatasan cairan (kurang lebih 1200-1500 cc/hari)
5) Olah raga secara teratur
b. CHF Akut
1) Pembatasan aktivitas
2) Oksigenasi (ventilasi mekanik)
3) Pembatasan cairan (< 1,5 liter/hari).
2. Farmakologis
a. Diuretik :
diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal, penggunaan
harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
b. Digoxin :
meningkatkan kontraktilitas dan memperlambat frekuensi jantung. Obat ini
tidak digunakan untuk kegagalan diastolik yang mana dibutuhkan
pengembangan ventrikel untuk relaksasi,

12
c. Isobarbide dinitrat :
mengurangi preload dan afterload untuk disfungsi sistolik, hindari
vasodilator pada disfungsi sistolik.
d. Terapi vasodilator :
digunakan untuk mengurangi tekanan terhadap penyemburan darah oleh
ventrikel.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung b/d respon fisiologis otot jantung, peningkatan
frekuensi, dilatasi, hipertrofi atau peningkatan isi sekuncup
2. Gangguan pertukaran gas b/d kongesti paru, hipertensi pulmonal, penurunan
perifer yang mengakibatkan asidosis laktat dan penurunan curah jantung.
3. Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya napas, depresi pusat pernapasan
4. Perfusi perifer tidak efektif b/d menurunnya curah jantung, hipoksemia
jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
5. Kelebihan volume cairan b/d berkurangnya curah jantung, retensi cairan dan
natrium oleh ginjal, hipoperfusi ke jaringan perifer dan hipertensi pulmonal
6. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antar suplai oksigen, kelemahan
umum, tirah baring lama/immobilisasi.

J. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO. TUJUAN & KH INTERVENSI RASIONAL
DX
1. Tujuan: 1. Pantau tekanan 1. Perbandingan dari tekanan
Tidak terjadi darah, ukur memberikan gambaran
penurunan curah tangan/paha, untuk yang lebih lengkap tentang
jantung. evaluasi awal bidang masalah vascular.
2. Catat keberadaan, 2. Denyutan karotis, jugularis,
Kriteria hasil: kualitas denyutan radialis dan femoralis
1. Tanda vital sentral dan perifer mungkkin
dalam batas 3. Auskultasi tonus teramati/terpalpasi.
yang dapat jantung dan bunyi 3. Umum terdengar pada
diterima nafas pasien hipertensi berat
(disritmia 4. Amati warna kulit, karena adanya hipertrofi
terkontrol atau kelembaban suhu, atrium
hilang) dan masa pengisiaan 4. Adanya pucat, dingin, kulit

13
2. Bebas gejala kapiler lembab, dan masa
gagal jantung 5. Catat edema umum pengisian kapiler lambat
3. Melaporkan dan tertentu mungkin berkaitan dengan
penurunan 6. Berikan lingkungan vasokonstriksi
episode dispnea, tenang, nyaman, 5. Dapat mengindikasikan
angina kurangi gagal jantung, kerusakan
4. Ikut serta dalam aktivitas/keributan ginjal, dan vascular.
aktivitas yang lingkungan 6. Membantu untuk
mengurangi 7. Pertahankan menurunkan rangsangan
beban kerja pembatasan aktifitas simpatis:meningkatkan
jantung. 8. Lakukan tindakan relaksasi
yang nyaman 7. Menurunkan stress dan
9. Anjurkan tekhnik ketegangan yang
relaksasi, panduan mempengaaruhi tekanan
imajinasi, aktivitas darah
pengalihan 8. Mengurangi
10. Pantau respons ketidaknyamanan dan dapat
terhadap obat untuk menurunkan rangsangan
mengontrol tekanan simpatis
darah. 9. Menurunkan rangsangan
11. Kolaborasi berikan yang dapat menimbulkan
obat-obatan sesuai stress, sehingga dapat
indikasi menurunkan tekanan darah.
12. Kolaborasi berikan 10. Respon terhadap terapi
pembatasan cairan obat tergantung pada
dan diit natrium individu dan efek sinergis
sesuaii indikasi. obat
11. Karena efek kerja obat
bervariasi waktupun
secara umum dapat
menurunkan tekanan
darah
12. Dapat menangani retensi
cairan dengan respon
hipertensi.

2. Setelah diberikan 1. Posisikan pasien 1. Melancarkan pernapasan


asuhan keperawatan untuk klien
3×24 jam, memaksimalkan 2. Untuk mendeteksi adanya
diharapkan ventilasi udara gangguan pernapasan
kerusakan 2. Monitor frekuensi, 3. Memperlancar saluran
pertukaran gas ritme, kedalaman pernapasan
teratasi. pernapasan. 4. Mendeteksi adanya
Kriteria hasil: 3. Kaji keperluan gangguan respirasi dan

14
1. RR klien normal suctioning dengan kardiovaskuler
16-20 x/menit melakukan auskultasi 5. Untuk mengetahui tekanan
2. Irama 4. Monitor tekanan gas darah (O2 dan CO2)
pernapasan darah, nadi, sehingga kondisi pasien
teratur temperature, dan tetap dapat dipantau.
3. Kedalaman status respirasi, sesuai 6. Posisi yang tepat
inspirasi normal kebutuhan. menyebabkan berkurangnya
4. AGD dalam 5. Pantau gas darah tekanan diafragma ke atas
batas normal arteri (AGD), serum sehingga ekspresi paru
5. Tidak ada tanda- dan tingkat elektrolit maksimal sehingga klien
tanda sianosis urine. dapat bernafas dengan
6. Berikan posisi untuk leluasa.
memfasilitasi
ventilasi yang
memadai

3. Tujuan: 1. Posisikan pasien semi 1. Untuk memaksimalkan


Setelah dilakukan fowler potensial ventilasi
tindakan 2. Auskultasi suara 2. Memonitor kepatenan jalan
keperawatan selama nafas, catat hasil napas
3 x 24 jam pasien penurunan daerah 3. Memonitor respirasi dan
menunjukkan ventilasi atau tidak keadekuatan oksigen
keefektifan pola adanya suara adventif 4. Menjaga keadekuatan
nafas 3. Monitor pernapasan ventilasi
Kriteria hasil: dan status oksigen 5. Melihat apakah ada
1. Frekuensi, yang sesuai obstruksi di salah satu
irama, 4. Mempertahankan jalan bronkus atau adanya
kedalaman napas paten gangguan pada ventilasi
pernapasan 5. Catat pergerakan 6. Memonitor keadaan
dalam batas dada, simetris atau pernapasan klien
normal tidak, menggunakan
2. Tidak otot bantu pernafasan
menggunakan 6. Monitor pola nafas:
otot-otot bantu bradypnea, tachypnea,
pernapasan hiperventilasi,
3. Tanda Tanda respirasi kussmaul,
vital dalam respirasi cheyne-
rentang normal stokes dll
(tekanan darah,
nadi, pernafasan)
(TD 120-90/90-
60 mmHg, nadi
80-100 x/menit,
RR : 18-24

15
x/menit, suhu
36,5 – 37,5 C)

4. Setelah dilakukan 1. Kaji secara 1. Sirkulasi perifer dapat


tindakan komprehensif menunjukan keparahan
keperawatan selama sirkulasi perifer penyakit
3x24 jam 2. Evaluasi nadi perifer 2. Pulsasi yang lemah
diharapkan masalah dan edema menunjukan kardiak
ketidakefektifan 3. Elevasi anggota output menurun
perfusi jaringan badan 20 atau lebih
0
3. Untuk meningkatkan
perifer teratasi. 4. Ubah posisi pasien venous return
Kriteria hasil: setiap 2 jam 4. Untuk mencegah
1. TTV dalam batas 5. Dorong latihan komplikasi terjadinya
normal ROM sebelum dekubitus
2. Warna kulit bedrest 5. Menggerakan otot sendi
normal 6. Monitor tanda-tanda agar tidak kaku
3. Suhu kulit vital 6. Mengupayakan TTV
hangat 7. Monitor status tetap stabil
4. Kekuatan fungsi pernapasan, 7. Mengetahui kestabilan
otot normal kedalaman, pola kondisi pernapasan pasien
5. Nilai pernapasan
laboratorium
dalam batas
normal
5. Tujuan: 1. Pantau pengeluaran 1. Pengeluaran urine
Tidak terjadi urine, catat jumlah mungkin sedikit dan pekat
kelebihan volume dan warna saat hari karena penurunan perfusi
cairan dimana diuresis ginjal. Posisi terlentang
Kriteria hasil: terjadi. membantu diuresis
1. Klien akan 2. Pantau/ hitung sehingga pengeluaran
mendemonstrasi keseimbangan urine dapat ditingkatkan
kan volume pemasukan dan selama tirah baring.
cairan stabil pengeluaran selama 2. Terapi diuretik dapat
dengan 24 jam. disebabkan oleh
keseimbangan 3. Pertahakan duduk kehilangan cairan tiba-
masukan dan atau tirah baring tiba/berlebihan
pengeluaran dengan posisi (hipovolemia) meskipun
2. Bunyi nafas semifowler selama edema/asites masih ada.
bersih/jelas fase akut. 3. Posisi tersebut
3. Tanda vital 4. Pantau TD dan CVP meningkatkan filtrasi
dalam rentang (bila ada). ginjal dan menurunkan
yang dapat 5. Kaji bising usus, produksi adh sehingga
diterima catat keluhan meningkatkan diuresis.
4. Berat badan anoreksia, mual, 4. Hipertensi dan

16
stabil dan tidak distensi abdomen peningkatan cvp
ada edema dan konstipasi. menunjukkan kelebihan
5. Menyatakan 6. Pemberian obat cairan dan dapat
pemahaman sesuai indikasi menunjukkan terjadinya
tentang (kolaborasi) : peningkatan kongesti paru,
pembatasan diuretik, tiazid. gagal jantung.
cairan 7. Konsultasi dengan 5. Kongesti viseral (terjadi
individual. ahli diet. pada gjk lanjut) dapat
mengganggu fungsi
gaster/intestinal.
6. Diuretik meningkatkan
laju aliran urine dan dapat
menghambat reabsorpsi
natrium/klorida pada
tubulus ginjal. Tiazid
meningkatkan diuresis
tanpa kehilangan kalium
berlebihan.
7. Perlu memberikan diet
yang dapat diterima klien
yang memenuhi kebutuhan
kalori dalam pembatasan
natrium.

6. Tujuan: 1. Periksa tanda vital 1. Hipotensi ortostatik dapat


Klien dapat sebelum dan segera terjadi dengan aktivitas
melakukan aktifitas setelah aktivitas, karena efek obat
khususnya bila klien
yang di inginkan (vasodilasi), perpindahan
menggunakan
vasodilator, diuretik cairan (diuretik) atau
Kriteria hasil: dan penyekat beta. pengaruh fungsi jantung.
1. Berpartisipasi 2. Catat respons 2. Penurunan/
pada aktivitas kardiopulmonal ketidakmampuan
yang di inginkan terhadap aktivitas, miokardium untuk
2. memenuhi catat takikardi, meningkatkan volume
perawatan diri disritmia, dispnea
sendiri sekuncup selama aktivitas
berkeringat dan
3. mencapai pucat. dapat menyebabkan
peningkatan 3. Evaluasi peningkatan segera
toleransi peningkatan frekuensi jantung dan
aktivitas yang intoleran aktivitas. kebutuhan oksigen juga
dapat diukur 4. Implementasi peningkatan kelelahan dan
4. dibuktikan oleh program rehabilitasi
menurunnya kelemahan.
jantung/aktivitas
kelemahan dan 3. Dapat menunjukkan
(kolaborasi)
kelelahan. Penguatan dan peningkatan dekompensasi

17
perbaikan fungsi jantung daripada kelebihan
jantung dibawah aktivitas.
stress, bila fungsi 4. Peningkatan bertahap pada
jantung tidak dapat
aktivitas menghindari kerja
membaik kembali.
jantung/konsumsi oksigen
berlebihan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. (2007). Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada Usia
Lanjut dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari - Desember
2006. Semarang: UNDIP
Johnson, M.,et all.(2000). Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. (2007). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Nurarif & Kusuma. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnose
medis & NANDA NIC-NOC

Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indicator Diagnostic. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Santosa, Budi. (2007). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika
Udjianti, Wajan J. (2010). Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

19

Anda mungkin juga menyukai