Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


DI FASYANKES PUSKESMAS

OLEH
Nama : Ria Gita Utami
NPM : 21149011121

Dosen Pembimbing
Ns. Amalia, S.Kep., M.Kes, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
TAHUN 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
DI FASYANKES (PUSKESMAS)

1. KONSEP FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN (FASYANKES)

Pembangunan kesehatan adalah upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat
terakses fasilitas pelayanan kesahatan karena kesahatan adalah hak asasi manusia (Sulistyorini
dkk, 2011).
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang selanjutnya disebut Fasyankes adalah suatu alat
dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (Permenkes No 52, 2018).
Fasilitas Pelayanan Kesehatan didirikan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa:
1. pelayanan kesehatan perseorangan; dan/atau
2. pelayanan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 6 tahun 2013 fasilitas pelayanan kesehatan
dibagi menjadi tiga yaitu;
1) Fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang
melayani dan melaksanakan pelayanan kesehatan dasar.
2) Fasilitas kesehatan tingkat kedua adalah jenis fasillitas pelayanan kesehatan yang melayani
dan memberikan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan spesialistik
3) Fasilitas kesehatan tingkat ketiga adalah jenis pelayanan kesehatan yang melayani dan
melaksanakan pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan spesialistik, dan pelayanan
kesehatan sub spesialistik.
PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT (PUSKESMAS)
A.Definisi
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 75, 2014).
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah salah satu sarana pelayanan
kesehatan masyarakat yang amat penting di Indonesia. Puskesmas adalah unit pelaksana
teknis dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatau wilayah kerja (Depkes, 2011)
Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya
kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat diterima dan terjangkau oleh
masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh
pemerintah dan masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa
mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes, 2009).

B. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi
apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab
wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah
(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional
bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Depkes RI, 2004).

C. Visi
Visi puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju Indonesia sehat. Indikator
utama yakni:
1) Lingkungan sehat. 
2) Perilaku sehat. 
3) Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu. 
4) Derajat kesehatan penduduk kecamatan.
D. Misi
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. 
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah
kerjanya. 
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan. 
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat berserta
lingkungannya.

E.Fungsi Puskesmas
Fungsi Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi
pembangunan kesehatan yaitu:
1) Menggerakkan pembangunan kecamatan yang berwawasan pembangunan,
2) Mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga untuk hidup sehat,
3) Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu,
4) Merata dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu,
kelompok dan masyarakat (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016).
Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pembangunan berawawasan kesehatan,
pusat pemberdayaan masyarakat, meyediakan dan menyelenggarakan pelayanan yang
bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang
berkualitas dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu
terwujudnya kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi Puskesmas dapat
dikelompokkan menjadi 2 (tiga), yaitu:
1) Sebagai pusat penggerak pembangunan berawawasan kesehatan masyarakat di wilayah
kerjanya melalu, sebagai berikut:
a) Upaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanyaagar
menyelenggarakan pebangunan yang berwawasan kesehatan.
b) Keaktifan memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap
program pembangunan di wilayah kerjanya.
c) Mengutamakan pemeliharaan keseatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan
penyembuhan dan pemulihan.
2) Pusat pemberdayaan masyarakat
a) Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan masyarakat
memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayan diri sendiri dan masyarakat
untuk hidup 12 sehat serta menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau
pelaksanaan program kesehatan serta memberikan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat diwilayah kerjanya.
b) Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis
maupun rujukan kesehatan kepada masayrakat dengan ketentuan bantuan tersebut
tidak menimbulkan ketergantungan.
3) Pusat Pelayanan Pertama
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu,
dan berkesinambungan, melalui pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan
kesehatan masyarakat (Herlambang, 2016).
F. Tenaga Kesehatan
Jenis Tenaga Kesehatan sebagaimana paling sedikit terdiri atas:
1. Dokter atau dokter layanan primer;
2. Dokter gigi;
3. Perawat;
4. Bidan;
5.Tenaga kesehatan masyarakat;
6.Tenaga kesehatan lingkungan
7.Ahli teknologi laboratorium medik;
8. Tenaga gizi; dan
9. Tenaga kefarmasian.
Tenaga non kesehatan harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan,
administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.
Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan
dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas
harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
G. Upaya Penyelenggaraan Kesehatan
Dalam rangka meningkatkan prinsip penyelenggaraan Puskesmas, agar mampu
mencapai tujuan yang diharapkan, serta mengembangkan dan membina pelayanan
kesehatan di wilayahnya secara efektif dan efisien, perlu disusun rencana lima tahunan
ditingkat Puskesmas. Dengan adanya Rencana Lima Tahunan Puskesmas, maka
kelangsungan pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan pada setiap tahun untuk satu
periode akan dapat lebih terjamin, walaupun terjadi pergantian pengelola dan pelaksana
kegiatan di Puskesmas maka diharapkan pengembangan program/kegiatan tetap berjalan
sesuai dengan Rencana Lima Tahunan yang telah ada (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan mayarakat tingkat pertama dan upaya
kesehatan perorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan dilaksanakan secara terintegrasi
dan berkesinambungan. Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama sebagaimana
dimaksud meliputi upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan masyarakat
pengembangan (Permenkes RI No 75 Tahun 2014).
Upaya kesehatan wajib Puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional, dan global, serta mempunyai daya tingkat tinggi untuk
peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama. Upaya
kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial dan
upaya kesehatan masyarakat pengembangan.
Upaya kesehatan masyarakat esensial meliputi:
1) Pelayanan promosi kesehatan
2) Pelayanan kesehatan lingkungan
3) Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana
4) Pelayanan gizi
5) Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan masyarakat
yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau bersifat ekstensifikasi
dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan.
Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama yang dapat dilakukan oleh Puskesmas di
antara:
1) Rawat jalan
2) Pelayanan gawat darurat
3) Pelayanan satu hari (one day care)
4) Home care; dan/atau
5) Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan
Untuk melaksanakan upaya kesehatan tersebut maka puskesmas harus
menyelenggarakan manajemen Puskesmas, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan
kesehatan masyarakat dan pelayanan laboratorium (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

2. KONSEP K3
a. Keselamatan Kerja
Keselamatan Kerja merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi
terjadinya kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian yang dapat berdampak
terhadap manusia maupun peralatan, objek kerja, tempat kerja dan lingkungan kerja secara
langsung dan tidak langsung (Kemenkes RI, 2015).

b. Kesehatan Kerja
Kesehatan Kerja adalah upaya peningkatan dari pemeliharaan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan
yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor
yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan
kerja yang mengadaptasi antara pekerjaan dengan manusia dan manusia dengan jabatannya
(Kemenkes RI, 2015).

c. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.


Menurut Tarwaka (2014) dalam bukunya Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja, pengertian Kesehatan dan Keselamatan
Kerja dapat dikelompokkan dalam pengertian secara filosofis, keilmuan dan dari sudut
pandang ilmu hukum.
1) Secara Filosofis
Secara filosofis K3 dapat didefinisikan sebagai suatu upaya untuk menjamin keutuhan
dan kesempurnaan baik secara rohani ataupun rohani manusia (pekerja) beserta hasil
karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera.
2) Secara Keilmuan
Secara keilmuan K3 dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu dan penerapannya baik
secara teknis maupun teknologi dalam upaya pencegahan terhadap kecelakaan dan
muculnya penyakit akibat kerja yang dilakukan.
3) Dari sudut pandang ilmu hukum
Dari sudut pandang ilmu hukum K3 didefiniskan sebagai sebagai upaya perlindungan
terhadap tenaga kerja serta orang lain yang berada di tempat kerja selalu dalam keadaan
sehat dan selamat, serta sumber sumber produksi dapat dijalankan secara aman,
produktif dan efisien

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Fasyankes


A. Definisi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
selanjutnya disebut K3 di Fasyankes adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping
pasien, pengunjung, maupun, masyarakat disekitar lingkungan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan agar sehat, selamat, dan bebas dari gangguan kesehatan dan pengaruh buruk
yang diakibatkan dari pekerjaan, lingkungan, dan aktivitas kerja.

B. Tujuan
Pengaturan K3 di Fasyankes bertujuan untuk terselenggaranya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di Fasyankes secara optimal, efektif, efisien dan berkesinambungan

C. Penyelenggaraan K3 di Fasyankes meliputi:


1. membentuk dan/atau mengembangkan SMK3 di Fasyankes dan menerapkan standar
K3 di Fasyankes.
2. Penyelenggaraan K3 di Fasyankes disesuaikan dengan karakteristik dan faktor risiko
pada masing-masing Fasyankes.

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan yang selanjutnya disebut SMK3 di Fasyankes adalah bagian dari sistem
manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara keseluruhan dalan rangka
pengendalian risiko yang berkaitan dengan aktivitas proses kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan guna terciptanya lingkungan kerja yang sehat, selamat, aman dan nyaman
bagi sumber daya manusia SDM Fasyankes baik tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan di Fasyankes.

SMK3 di Fasyankes meliputi:


1) Penetapan kebijakan K3 di Fasyankes
2) Perencanaan K3 di Fasyankes
3) Pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes
4) Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 di Fasyankes.
5) Peninjauan dan peningkatan kinerja K3 di Fasyankes

Standar K3 di Fasyankes meliputi:


a. pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 di Fasyankes;
b. penerapan kewaspadaan standar;
c. penerapan prinsip ergonomi;
d. pemeriksaan kesehatan berkala;
e. pemberian imunisasi;
f. pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di Fasyankes;
g. pengelolaan sarana dan prasarana Fasyankes dari aspek keselamatan dan kesehatan
kerja;
h. pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja;
i. kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana, termasuk kebakaran;
j. pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun;
k. pengelolaan limbah domestik.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1. Penetapan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Dalam pelaksanaan K3 di Fasyankes harus ada komitmen dari pimpinan
tertinggi Fasyankes yang dituangkan dalam kebijakan tertulis dan ditandatangani oleh
pimpinan tersebut. Kebijakan tersebut dapat terintegrasi dalam kebijakan Fasyankes
keseluruhan. Komitmen dan kebijakan tertulis tentang K3 di Fasyankes harus
diketahui oleh semua SDM Fasyankes dan terbaca oleh pengunjung serta diletakan di
tempat strategis yang bisa dilihat semua orang.
Komitmen Fasyankes dalam melaksanakan K3 di Fasyankes diwujudkan dalam
bentuk:
a. Penetapan Kebijakan dan Tujuan Program K3 di Fasyankes Secara Tertulis
Kebijakan dan tujuan Program K3 di Fasyankes ditetapkan oleh pimpinan
tertinggi Fasyankes dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Kebijakan tersebut
harus mudah dan mengerti serta diketahui oleh seluruh manajemen Fasyankes
(pimpinan dan SDM Fasyankes), pasien, pendamping pasien, pengunjung,
masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes, serta pihak lain sesuai dengan tata
cara yang tepat. Selain itu semua pihak di Fasyankes bertanggung jawab
mendukung dan menerapkan kebijakan pelaksanaan K3 di Fasyankes tersebut,
serta prosedur-prosedur yang berlaku di Fasyankes selama berada di lingkungan
Fasyankes. Kebijakan K3 di Fasyankes harus disosialisasikan dengan berbagai
upaya baik pada saat rapat pimpinan, rapat koordinasi, dan rapat lainnya, maupun
melalui spanduk, banner, poster, audiovisual, dan lain-lain. Bagi Fasyankes
berupa praktik mandiri tenaga kesehatan, sosialisasi kebijakan keselamatan dan
kesehatan kerja dapat dilakukan dengan media Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi (KIE) seperti banner, poster ataupun leaflet. Contoh komitmen Fasyankes
dalam menyelenggarakan K3 di Fasyankes sebagai berikut:
(LOGO DAN KOP FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN)

Kami berkomitmen untuk:

a. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja sumber daya manusia fasilitas


pelayanan kesehatan dan orang lain (pasien, pengunjung, pendamping pasien,
maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan).

b. Memenuhi semua peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang


berkaitan dengan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.

c. Melakukan perbaikan berkelanjutan terhadap manajemen dan kinerja fasilitas


pelayanan kesehatan guna meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja
yang baik di tempat kerja.

Untuk mewujudkan komitmen kami, maka kami akan:

a. Membangun dan memelihara manajemen keselamatan dan kesehatan kerja


berkelanjutan serta sumber daya yang relevan.

b. Membangun tempat kerja dan pekerjaan sesuai dengan peraturan perundang-


undangan dan persyaratan lainnya terkait keselamatan dan kesehatan kerja.

c. Menyediakan sumber daya untuk mendukung pelaksanaan keselamatan dan


kesehatan kerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

d. Memberikan pendidikan ataupun pelatihan terkait keselamatan dan kesehatan


kerja kepada sumber daya fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kinerja
di tempat kerja.

Tempat, Tanggal

Nama dan Tanda Tangan


b. Pengorganisasian Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Untuk terselenggaranya K3 di Fasyankes secara optimal, efektif, efisien,
dan berkesinambungan, Fasyankes dapat membentuk Tim K3 di Fasyankes atau
menunjuk satu orang sebagai pengelola K3 di Fasyankes tersebut. Dalam hal
Fasyankes berupa praktik mandiri tenaga kesehatan yang hanya terdapat 1 (satu)
sumber daya manusia, maka yang bersangkutan adalah pihak yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan K3 di Fasyankes. Tim K3 di Fasyankes ditetapkan
dengan Surat Keputusan Pimpinan Fasyankes yang memuat susunan organisasi,
uraian tugas, dan tanggung jawab.

Tugas tim K3 di Fasyankes antara lain sebagai berikut:


1) Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data terkait K3 di Fasyankes.
2) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada
Pimpinan yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes.
3) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes.
4) Merumuskan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, dan standar prosedur
operasional.
5) Melaksanakan program K3 di Fasyankes.
6) Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disampaikan kepada seluruh
SDM Fasyankes.
7) Membantu pimpinan Fasyankes dalam menyelenggarakan SMK3 di Fasyankes,
promosi, penelitian sederhana, dan pelatihan terkait K3 di Fasyankes.
8) Melakukan investigasi dalam setiap kejadian penyakit akibat kerja dan
kecelakaan akibat kerja.
9) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru dan pembangunan
gedung, serta pemeliharaannya.
10) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan K3 di Fasyankes.
11) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3
di Fasyankes.
Untuk penanggung jawab K3 di Fasyankes yang bukan dalam bentuk tim, antara
lain memiliki tugas sebagai berikut:
1) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes.
2) Melaksanakan program K3 di Fasyankes.
3) Mengumpulkan, mengolah, menganalisis data terkait K3 di Fasyankes, dan
menginformasikan kepada seluruh SDM Fasyankes.
4) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada
pimpinan Fasyankes yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes.
5) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3 di
Fasyankes.
2. Perencanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasyankes harus membuat perencanaan K3 di Fasyankes yang efektif agar
tercapai keberhasilan penyelenggaraan K3 di Fasyankes dengan sasaran yang jelas dan
terukur. Penyusunan perencanaan K3 di Fasyankes harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan, kondisi yang ada, dan berdasarkan hasil identifikasi risiko yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perencanaan K3 di Fasyankes
ditetapkan oleh pimpinan Fasyankes dengan mengacu pada kebijakan pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja. Selanjutnya perencanaan K3 di Fasyankes tersebut
diterapkan dalam rangka mengendalikan potensi bahaya dan risiko K3 di Fasyankes.
Contoh penyusunan identifikasi risiko, dapat mengacu pada tabel berikut:
Tabel 1. Contoh Identifikasi atau Pemetaan Risiko
No Ruang Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial Potensi untuk
kecelakaan
kerja (KAK)
1 Pendaftaran Suhu Spidol, tinta Kecoak, kontak Posisi statis, Pekerjaan
panas, dengan pasien postur tidak monoton,
penerangan natural, interpersonal
kurang penempatan
barang
2 Ruang Suhu Kecoak, kucing,
tunggu panas, nyamuk,
penerangan mikroorganisme
kurang
3 Poli Umum Suhu Alcohol, obat cair, Posisi statis, Interpersonal, Tertusuk jarum,
panas, thermometer,merc postur tidak pasien tertimpa barang
penerangan uri natural, banyak,
penempatan tuntutan
barang pasien
4 Poli gigi . . . . . .
5 Rekam . . . . . .
medik
6 dst . . . . . .

Berdasarkan identifikasi risiko tersebut, selanjutnya Fasyankes membuat


perencanaan K3 di Fasyankes. Contoh penyusunan perencanaan K3 di Fasyankes dapat
dilihat dari tabel berikut :
Tabel 2. Contoh Perencanaan Kegiatan K3 di Fasyankes Selama Setahun atau
Lima Tahun
Kegiatan Lokasi Penanggung Pelaksana Waktu Keterangan
Jawab
Sosialisasi Kesiapsiagaan Ruang Kepala PPI Tim K3 Kamis, 7 Waktu kegiatan
menghadapi kondisi pertemuan Tanggap agustus 2019 disesuaikan
darurat/bencana/kebakaran darurat/bencan/kebakaran pukul 14.00
s/d selesai

dan lain-lain

3.Pelaksanaan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan.
Pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes dilaksanakan berdasarkan rencana yang telah
ditetapkan dan merupakan bagian pengendalian risiko K3. Pelaksanaan K3 di Fasyankes
sesuai dengan standard K3 di Fasyankes yang meliputi:
1) Pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 di Fasyankes.
2) Penerapan Kewaspadaan Standar.
3) Penerapan prinsip ergonomi.
4) Pemeriksaan kesehatan berkala.
5) Pemberian Imunisasi.
6) Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di Fasyankes.
7) Pengelolaan sarana dan prasarana Fasyankes dari aspek keselamatan dan kesehatan
kerja.
8) Pengelolaan peralatan medis dari keselamatan dan kesehatan kerja.
9) Kesiapsiagaan mengahadapi kondisi darurat atau bencana termasuk kebakaran.
10) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun.
11) Pengelolaan limbah domestik.

4. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan.
Kemajuan program K3 di Fasyankes dipantau secara periodik guna dapat
ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai dengan risiko yang telah teridentifikasi dan
mengancu kepada rekaman sebelumnya serta pencapaian sasaran K3 di Fasyankes yang
lalu.
Pemantauan K3 di Fasyankes antara lain dapat dilakukan melalui:
1) Inspeksi (melihat, mengenali potensi risiko) tempat kerja secara teratur.
2) Inspeksi yang dilaksanakan oleh Tim K3/pengelola K3 di Fasyankes.
3) Masukan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.
4) Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat
inspeksi.
5) Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektifitasnya.
6) Laporan inspeksi yang diajukan kepada pimpinan Fasyankes atau Penanggungjawab
Fasyankes.
Evaluasi kegiatan dapat dilakukan minimal 1(satu) kali dalam setahun untuk
melihat capaian program berdasarkan rencana kegiatan tahunan. Berdasarkan hasil
pemantauan dan evaluasi, pimpinan Fasyankes bertanggung jawab menetapkan hasil
pemantauan dan evaluasi serta melaksanakan tindakan perbaikan dari hasil laporan
pemantauan dan evaluasi.

5. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan
Peninjauan dilakukan setiap tahun terhadap kinerja K3 di Fasyankes. Peninjauan
dilakukan untuk menjamin kesesuaian dan efektifitas penyelenggaraan K3 di fasyankes.
Peninjauan dilakukan terhadap kebijakan, perencanaan, pelaksanaan rencana, dan
pemantauan dan evaluasi.
Berdasarkan hasil peninjauan, dilakukan perbaian dan peningkatan kinerja K3 di
Fasyankes. Kinerja K3 dituangkan dalam indiator kinerja yang akan dicapai dalam
setiap tahun. Indikator kinerja K3 di fasyankes dapat ditentukan sesuai dengan
permasalahan yang ada di Fasyankes tersebut. Indikator yang dapat dipakai antaralain:
1) Adanya komitmen dan kebijakan pimpinan fasyankes yang dituangkan dalam lembar
komitmen.
2) Adanya Surat Keputusan Tim K3 di Fasyankes atau penunjukan pengelola K3 di
Fasyankes.
3) Adanya rencana kerja terkait K3 di Fasyankes.
4) Adanya dukungan sumber daya terlatih, alokasi dana, sarana dan prasarana peralatan
penunjang K3 di Fasyankes.
5) Adanya standard prosedur operasional yang memenuhi prinsip Keselamatan dan
kesehatan kerja dalam pelaksanaan kegiatan.
6) Adanya standar K3 di Fasyankes yang telah dilaksanakan oleh Fasyankeg.
7) Adanya peningkatan kapasitas dan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja bagi
SDM Fasyankes.
8) Dilaksanakannya pencatatan dan pelaporan terkait K3 di Fasyankes.
Hasil peninjauan dan perbaikan kinerja K3 di Fasyankes tersebut dapat
dibandingkan setiap tahun untuk melihat kemajuan program K3 di Fasyankes.
6. Pencatatan dan pelaporan
Tim K3 bertanggung jawab dan melaporkan kegiatan pelaksanaan K3 di Puskesmas
Nagaswidak kepada Kepala Puskesmas. Laporan berupa :
1) Laporan 6 Bulanan

2) Laporan Tahunan

3) Laporan insidentil

3. HAZARD
a. Definisi
Bahaya atau hazard merupakan segala hal atau sesuatu yang menpunyai kemungkinan
mengakibatkan kerugian baik pada harta benda, lingkunga, maupun manusia (Budiono,
2003).
Hazard adalah semua sumber, situasi ataupun aktivitas yang berpotensi menimbulkan
cedera (kecelakaan kerja) dan atau penyakit akibat kerja (PAK).
Menurut Departement of Occupational Safety and Health Malaysia (2008:5), hazard
(bahaya) adalah sebuah situasi atau sumber yang membahayakan dan memiliki potensi
untuk menyebabkan kecelakaan atau penyakit pada manusia, merusak lingkungan dan
merusak peralatan. Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan yang
berpotensi untuk menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakan atau
gangguan lainnya (Ramli, 2010:57).
b. Jenis Hazard (Bahaya)
Bahaya kerja dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu bahaya kesehatan, bahaya
keselamatan dan bahaya lingkungan. Bahaya kesehatan adalah segala aktivitas yang
menyebabkan timbulnya penyakit pada setiap pekerja. Bahaya keselamatan ialah aktivitas
yang dapat mengakibatkan kecelakaan atau kerusakan terhadap barang. Bahaya lingkungan
ialah bahaya yang dilepaskan ke lingkungan yang dapat menyebabkan efek yang bisa
merusak (Halim, 2016:280).
Menurut Ramli (2010:66) bahaya di klasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu bahaya
mekanis, bahaya listrik, bahaya fisis, bahaya biologis, dan bahaya kimia.
1) Bahaya Mekanis
Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak dengan gaya
mekanika baik yang digerakan dengan penggerak maupun secara manual.
2) Bahaya Listrik
Bahaya listrik adalah bahaya yang bersumber dari energi listrik. Bahaya yang
didapatkan dari energi listrik seperti kebakaran, sengatan listrik, dan hubungan singkat.
Hampir semua lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan
listrik, maupun peralatan kerja atau mesin yang menggunakan energi listrik.
3) Bahaya Fisis
Bahaya fisis ialah bahaya yang berasal dari faktor fisis seperti bising yang dapat
mengakibatkan ketulian atau kerusakan pada indera pendengaran, tekanan, getaran,
suhu panas atau dingin, sinar ultra violet maupun infra merah, cahaya atau penerangan
dan radiasi dari bahan radioaktif.
4) Bahaya Biologis
Bahaya biologis adalah bahaya yang bersumber dari unsur biologis seperti flora dan
fauna yang berasal dari aktivitas kerja atau lingkungan kerja.
5) Bahaya Kimiawi
Bahaya kimiawi yakni bahaya yang bersumber dari bahan kimia baik dari sifat maupun
kandungannya. Bahaya yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia antara lain :
a) Iritasi oleh bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti cuka air aki, asam keras,
dan lainnya.
b) Keracunan oleh bahan kimia yang bersifat toxic.
c) Kebakaran dan peledakan oleh bahan kimia yang bersifat mudah terbakar dan mudah
meledak seperti golongan senyawa hidrokarbon yaitu minyak tanah, premium, LPG
dan lainnya.
d) Polusi dan pencemaran lingkungan

4. PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK)


a. Definisi
Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
dan/atau lingkungan kerja (Perpres No.7 Tahun 2019). Pengertian PAK dalam Perpres
No.7 Tahun 2019 tersebut sama seperti pengertian sebelumnya yang diatur dalam
Permenaker No. Per. 01/Men/1981.
Menurut Suma’mur (1985) penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini artefisial oleh karena
timbulnya di sebabkan oleh adanya pekerjaan. Kepadanya sering diberikan nama penyakit
buatan manusia (Manmade disease).
Terdapat tiga istilah yang digunakan untuk mendefinisikan penyakit akibat kerja yaitu
penyakit yang timbul karena hubungan kerja, penyakit yang disebabkan karena pekerjaan
atau lingkungan kerja, dan penyakit akibat kerja. Ketiga istilah tersebut mempunyai
pengertian yang sama dan masing-masing memiliki dasar hukum dan perundang-undangan
yang menjadi landasannya. Penyakit akibat kerja yaitu penyakit yang penyebabnya adalah
pekerjaan dan atau lingkungan kerja (Suma’mur, 2009).
b. Jenis-jenis Penyakit Akibat Kerja
Ada beberapa jenis penyakit akibat kerja menurut Simposium Internasional oleh ILO
dalam Anizar (2009), yaitu :
1) Penyakit akibat kerja (occupational disease) Penyakit yang mempunyai penyebab yang
spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjan, yang pada umumnya terdiri dari satu
agen penyebab yang sudah diakui.
2) Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (work related disease) Penyakit yang
mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan
bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai
etiologi yang kompleks.
3) Penyakit yang mengenai populasi kerja (disease affecting working populations)
Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat
pekerja. Namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk untuk kesehatan.
c. Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Berdasarkan uraian Suma’mur (1985), faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit
akibat kerja dibagi dalam 5 golongan, yakni :
1) Golongan fisik
a) Suara yang biasanya menyebabkan pekak atau tuli.
b) Radiasi sinar-sinar Ro atau sinar-sinar radioaktif yang menyebabkan antara lain
c) penyakit susunan darah dan kelainankelainan kulit. Radiasi sinar inframerah bisa
mengakibatkan cataract kepada lensa mata, sedangkan sinar ultraviolet menjadi
sebab conjungtivitas photo electrica.
d) Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke, heat cramps atau hyperpyrexia
sedangkan suhu-suhu yang rendah antara lain menimbulkan frosbite.
e) Tekanan yang tinggi menyebabkan caisson disease.
f) Penerapan lampu yang kurang baik misalnya menyebabkan kelainan kepada indera
penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan.
2) Golongan kimiawi
a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis, di antaranya : silikosis, asbestosis.
b. Uap yang di antaranya menyebabkan mental fume fever dermatitis, atau keracunan.
c. Gas misalnya keracunan oleh CO, dan H2S.
d. Larutan yang menyebabkan dermatitis.
e. Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur dan yang
menimbulkan keracunan.
3) Golongan Infeksi, misalnya oleh bibit penyakit anthrax atau brucella pada pekerja-
pekerja penyamak kulit.
4) Golongan fisiologis, yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan konstruksi mesin, sikap
badan kurang baik, salah cara melakukan pekerjaan dan lain-lain yang semuanya
menimbulkan kelelahan fisik, bahkan lambat laun perubahan fisik tubuh pekerja.
5) Golongan mental psikologis, hal ini terlihat semisal pada hubungan kerja yang tidak
baik, atau misalnya keadaan membosankan monoton. Faktor penyebab penyakit akibat
kerja ini dapat bekerja sendiri maupun secara sinergistis.

d. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


Pencegahan terhadap penyakit akibat kerja seawal mungkin adalah kebijakan paling
utama. Sebagaimana pencegahan terhadap kecelakaan kerja, maka pencegahan penyakit
akibat kerja diperlukan peraturan perundang-undangan, standarisasi, pengawasan,
penelitian, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan semua sektor kehidupan. Pencegahan
mempunyai 2 (dua) aspek yaitu administratif dan teknis yaitu penerapan secara nyata
dilapangan pada tenaga kerja, pekerjaan dan lingkungan kerja. Secara teknis aktivitas
pencegahan adalah pengenalan risiko bahaya pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap
kesehatan beserta pengukuran, evaluasi, dan upaya pengendaliannya, pemeriksaan
kesehatan sebelum kerja, pra penempatan, berkala dan khusus; subsitusi bahan dengan
yang kurang pengaruh negatifnya kepada tenaga kerja; isolasi operasi atau proses produksi
yang berbahaya; dan pemakaian alat proteksi diri (Suma’mur, 2009).

5. PATIENT SAFETY (KESELAMATAN PASIEN)


a. Definisi
Keselamatan Pasien
adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Permenkes no 11, 2017)
Insiden Keselamatan Pasien
Insiden Keselamatan Pasien yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap kejadian yang
tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera
yang dapat dicegah pada pasien.
a) Setiap Insiden harus dilaporkan secara internal kepada tim Keselamatan Pasien dalam
waktu paling lambat 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam.
b) Laporan diverifikasi oleh tim Keselamatan Pasien untuk memastikan kebenaran adanya
Insiden.
c) Setelah melakukan verifikasi laporan tim Keselamatan Pasien melakukan investigasi
dalam bentuk wawancara dan pemeriksaan dokumen.
d) Berdasarkan hasil investigasi, tim Keselamatan Pasien menentukan derajat insiden
(grading) dan melakukan Root Cause Analysis (RCA) dengan metode baku untuk
menemukan akar masalah.
e) Tim keselamatan pasien harus memberikan rekomendasi keselamatan pasien kepada
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan hasil Root Cause Analysis (RCA)
f) Ketentuan lebih lanjut mengenai Root Cause Analysis (RCA) diatur dalam pedoman
yang disusun oleh Komite Nasional Keselamatan Pasien.
b. Tujuan
Pengaturan Keselamatan Pasien bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan fasilitas
pelayanan kesehatan melalui penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek pelayanan
yang disediakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan

A. SASARAN KESELAMATAN PASIEN


1) Mengidentifikasi pasien dengan benar
2) Meningkatkan komunikasi yang efektif
3) Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai
4) Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar, pembedahan pada
pasienyang benar
5) Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
6) Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.

SASARAN 1: MENGIDENTIFIKASI PASIEN DENGAN BENAR


Fasilitas pelayanan Kesehatan menyusun pendekatan untuk memperbaiki ketepatan
identifikasi pasien
Maksud dan tujuan:
Kesalahan karena keliru-pasien sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan
pengobatan. Keadaan yang dapat mengarahkan terjadinya error/kesalahan dalam
mengidentifikasi pasien, adalah pasien yang dalam keadaan terbius / tersedasi, mengalami
disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur, kamar, lokasi di
dalam fasilitas pelayanan kesehatan; mungkin mengalami disabilitas sensori; atau akibat
situasi lain.
Tujuan ganda dari sasaran ini adalah :
Untuk dengan cara yang dapat dipercaya/reliable mengidentifikasi pasien sebagai
individu yang dimaksudkan untuk mendapatkan pelayanan atau pengobatankedua, untuk
mencocokkan pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau
prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi,
khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat,
darah atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis;
atau memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan
sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan
dua nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal lahir,
gelang (-identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar atau lokasi pasien
tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan
penggunaan dua pengidentifikasi/penanda yang berbeda pada lokasi yang berbeda di
fasilitas pelayanan kesehatan, seperti di pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan
yang lain, unit gawat darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang
tanpa identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah mengatur semua situasi yang
memungkinkan untuk diidentifikasi.
Kegiatan yang dilaksanakan:
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan
nomor kamar atau lokasi pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan / prosedur.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada
semua situasi dan lokasi.

SASARAN 2: MENINGKATKAN KOMUNIKASI YANG EFEKTIF


Fasilitas pelayanan kesehatan menyusun pendekatan agar komunikasi di antara para
petugas pemberi perawatan semakin efektif.
Maksud dan tujuan:
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh
resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi
yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang
diberikan melalui telpon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang
mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan
segera /cito. Fasilitas pelayanan kesehatan secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan melalui telepon termasuk:
menuliskan (atau memasukkan ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil
pemeriksaan oleh penerima informasi; penerima membacakan kembali (read back) perintah
atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan
dibacakan ulang dengan akurat.untuk obat-obat yang termasuk obat NORUM/LASA
dilakukan eja ulang. Kebijakan dan/atau prosedur mengidentifikasi alternatif yang
diperbolehkan bila proses pembacaan kembali (read back) tidak memungkinkan seperti di
kamar operasi dan dalam situasi gawat darurat/emergensi di IGD atau ICU.
Kegiatan yang dilaksanakan:
1. Perintah lisan dan yang melalui telepon ataupun hasil pemeriksaan dituliskan secara
lengkap oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.
2. Perintah lisan dan melalui telpon atau hasil pemeriksaan secara lengkap dibacakan
kembali oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh individu yang memberi perintah atau
hasil pemeriksaan tersebut
4. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek yang konsisten dalam melakukan verifikasi
terhadap akurasi dari komunikasi lisan melalui telepon.

SASARAN 3: MENINGKATKAN KEAMANAN OBAT-OBATAN YANG HARUS


DIWASPADAI
Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai.
Maksud dan tujuan:
Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka penerapan
manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan
yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang persentasinya tinggi
dalam menyebabkan terjadi kesalahan/error dan/atau kejadian sentinel (sentinel event),
obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan mirip (Nama Obat, Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look-Alike Sound-Alike/ LASA). Daftar obat-obatan yang sangat
perlu diwaspadai tersedia di WHO. Yang sering disebut-sebut dalam isu keamanan obat
adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium/potasium
klorida [sama dengan 2 mEq/ml atau yang lebih pekat)], kalium/potasium fosfat [(sama
dengan atau lebih besar dari 3 mmol/ml)], natrium/sodium klorida [lebih pekat dari 0.9%],
dan magnesium sulfat [sama dengan 50% atau lebih pekat]. Kesalahan ini bisa terjadi bila
staf tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontrak
tidak diorientasikan sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada keadaan
gawat darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi
kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke
farmasi. Fasilitas pelayanan kesehatan secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur untuk menyusun daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan
datanya sendiri. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana yang
membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis sebagaimana ditetapkan oleh petunjuk dan
praktek profesional, seperti di IGD atau kamar operasi, serta menetapkan cara pemberian
label yang jelas serta bagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian rupa,
sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-
hati.
Kegiatan yang dilaksanakan:
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, lokasi,
pemberian label, dan penyimpanan obat-obat yang perlu diwaspadai
2. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan
secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja di
area tersebut, bila diperkenankan kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).

SASARAN 4: MEMASTIKAN LOKASI PEMBEDAHAN YANG BENAR,


PROSEDUR YANG BENAR, PEMBEDAHAN PADA PASIEN YANG BENAR
Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi.
Maksud dan tujuan:
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien operasi, adalah kejadian yang mengkhawatirkan
dan biasa terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan. Kesalahan ini adalah akibat dari
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/ tidak
melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
memverifikasi lokasi operasi. Di samping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat,
penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi
terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak
terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor
kontribusi yang sering terjadi. Fasilitas pelayanan kesehatan perlu untuk secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi
masalah yang mengkhawatirkan ini. Kebijakan termasuk definisi dari operasi yang
memasukkan sekurang-kurangnya prosedur yang menginvestigasi dan/atau mengobati
penyakit dan kelainan/disorder padatubuh manusia dengan cara menyayat, membuang,
mengubah, atau menyisipkan kesempatan diagnostik/terapeutik. Kebijakan berlaku atas
setiap lokasi di fasilitas pelayanan kesehatan dimana prosedur ini dijalankan. Praktek
berbasis bukti, seperti yang diuraikan dalam Surgical Safety Checklist dari WHO Patient
Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong
Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi melibatkan
pasien dan dilakukan dengan tanda yang segera dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan
secara konsisten di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan; dan harus dibuat oleh orang yang
akan melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar; jika memungkinkan,
dan harus terlihat sampai pasien disiapkan dan diselimuti. Lokasi operasi ditandai pada
semua kasus termasuk sisi (laterality), struktur multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau
multiple level (tulang belakang). Maksud dari proses verifikasi praoperatif adalah untuk :
− memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
− memastikan bahwa semua dokumen, foto (images), dan hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang;
− Memverifikasi keberadaan peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi”/Time out memungkinkan setiap pertanyaan yang belum terjawab
atau kesimpang-siuran dibereskan. Time out dilakukan di tempat tindakan akan dilakukan,
tepat sebelum dilakukan tindakan.
Maksud dan tujuan:
Fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan suatu tanda yang jelas dan dapat dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan/pemberi
tanda.
1. Fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua
dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
2. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out”
tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan.
3. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman proses untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan
tindakan pengobatan gigi/dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

SASARAN 5: MENGURANGI RISIKO INFEKSI AKIBAT PERAWATAN


KESEHATAN
Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Maksud dan tujuan:
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam
kebanyakan tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi
yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien
maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya dijumpai dalam semua
bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih-terkait kateter, infeksi aliran
darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi
mekanis). Pokok dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand
hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa
diperoleh dari WHO, fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi
pedoman hand hygiene yang diterima secara umum untuk implementasi pedoman itu di
Fasilitas pelayanan Kesehatan.
Kegiatan yang dilaksanakan:
1. Fasilitas pelayanan Kesehatan mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Fasilitas pelayanan Kesehatan menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan
SASARAN 6 : MENGURANGI RISIKO CEDERA PASIEN AKIBAT TERJATUH
Fasilitas pelayanan kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh.
Maksud dan tujuan:
Jumlah kasus jatuh menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap.
Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan
fasilitasnya, fasilitas pelayanan kesehatan perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan
mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa
meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan konsumsi alkohol, penelitian
terhadap gaya/cara jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program ini memonitor baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak
sengaja terhadap langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya
penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang atau pembatasan asupan cairan bisa
menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau integrasi kulit yang menurun. Program
tersebut harus diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kegiatan yang dilaksanakan:
1. Fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan proses asesmen awal risiko pasien jatuh dan
melakukan asesmen ulang terhadap pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi
atau pengobatan.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil
asesmen dianggap berisiko

B. STANDAR KESELAMATAN PASIEN


Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu:
1) Hak pasien
Hak pasien dan keluarganya untuk mendapatkan informasi tentang diagnosis dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, dan perkiraan biaya
pengobatan.
a) Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b) Rencana pelayanan dibuat oleh dokter penanggung jawab pelayanan.
c) Penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya dilakukan oleh
dokter penanggung jawab pelayanan.

2) Mendidik pasien dan keluarga


Mendidik pasien dan keluarga berupa kegiatan mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria Standar pendidikan kepada pasien dan keluarga sebagaimana dimaksud pada
meliputi:
a) Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap, dan jujur.
b) Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c) Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d) Memahami konsekuensi pelayanan.
e) Mematuhi nasihat dokter dan menghormati tata tertib fasilitas pelayanan kesehatan.
f) Memperlihatkan sikap saling menghormati dan tenggang rasa.
g) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan


Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan merupakan upaya fasilitas
pelayanan kesehatan di bidang Keselamatan Pasien dalam kesinambungan pelayanan
dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria standar Keselamatan Pasien dalam kesinambungan pelayanan meliputi:
a) Pelayanan secara menyeluruh dan terkoordinasi mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, pemindahan
pasien, rujukan, dan saat pasien keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan.
b) Koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan ketersediaan
sumber daya fasilitas pelayanan kesehatan.
c) Koordinasi pelayanan dalam meningkatkan komunikasi untuk memfasilitasi
dukungan keluarga, asuhan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi, rujukan, dan
tindak lanjut lainnya.
d) Komunikasi dan penyampaian informasi antar profesi kesehatan sehingga tercapai
proses koordinasi yang efektif.
4) Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien merupakan kegiatan mendesain proses baru
atau memperbaiki proses yang telah ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis insiden, dan melakukan perubahan untuk
meningkatkan kinerja serta Keselamatan Pasien.
Kriteria standar penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan Keselamatan Pasien meliputi:
a) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan proses perancangan (desain)
yang baik.
Proses perancangan (desain) yang baik dilakukan dengan mengacu pada visi,
misi, dan tujuan fasilitas pelayanan kesehatan, kebutuhan pasien, petugas pelayanan
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan tujuh langkah menuju Keselamatan
Pasien
b) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan pengumpulan data kinerja yang
antara lain terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi,
mutu pelayanan, dan keuanga.
c) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan evaluasi semua insiden dan
secara proaktif melakukan evaluasi 1 (satu) proses kasus risiko tinggi setiap tahun.
d) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menggunakan semua data dan informasi
hasil evaluasi dan analisis untuk menentukan perubahan sistem (redesain) atau
membuat sistem baru yang diperlukan, agar kinerja dan Keselamatan Pasien
terjamin.

5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien


Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien merupakan
kegiatan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dalam;
a) Mendorong dan menjamin implementasi Keselamatan Pasien secara terintegrasi
dalam organisasi melalui penerapan tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien.
b) Menjamin berlangsungnya kegiatan identifikasi risiko Keselamatan Pasien dan
menekan atau mengurangi insiden secara proaktif.
c) Menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan
pengambilan keputusan tentang Keselamatan Pasien.
d) Mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan
meningkatkan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan serta meningkatkan Keselamatan
Pasien
e) Mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusi setiap unsur dalam meningkatkan
kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan Keselamatan Pasien.
Kriteria standar peran kepemimpinan dalam meningkatkan Keselamatan Pasien
Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola Keselamatan Pasien.
Tersedia kegiatan atau program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan Insiden.
Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari fasilitas
pelayanan kesehatan terintegrasi dan berpartisipasi dalam Keselamatan Pasien.
a) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap Insiden, termasuk asuhan kepada pasien
yang terkena musibah, membatasi risiko, dan penyampaian informasi yang benar dan
jelas untuk keperluan analisis
b) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan Insiden
termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang analisis akar masalah
Kejadian Nyaris Cedera (KNC), KTD, dan kejadian sentinel pada saat Keselamatan
Pasien mulai dilaksanakan.
c) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis Insiden, atau kegiatan proaktif
untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan
dengan kejadian sentinel.
d) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan di dalam fasilitas pelayanan kesehatan dengan pendekatan antar
disiplin.
e) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan
perbaikan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan perbaikan Keselamatan Pasien,
termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
f) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif
untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan
Keselamatan Pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.

6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien


Mendidik staf tentang keselamatan pasien merupakan kegiatan pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien.
Kriteria Standar pendidikan kepada staf tentang Keselamatan Pasien:
a) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki program pendidikan, pelatihan
dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik Keselamatan Pasien sesuai dengan
tugasnya masing-masing.
b) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus mengintegrasikan topik Keselamatan
Pasien dalam setiap kegiatan pelatihan/magang dan memberi pedoman yang jelas
tentang pelaporan Insiden.
c) Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan pelatihan tentang
kerjasama tim (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan
kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien


Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
merupakan kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam merencanakan dan mendesain
proses manajemen informasi Keselamatan Pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi
internal dan eksternal yang tepat waktu dan akurat.
Kriteria standar komunikasi:
a) Tersedianya anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan Keselamatan Pasien.
b) Tersedianya mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.

a. Budaya Keselamatan Pasien


Segala upaya harus dikerahkan di Fasilitas pelayanan Kesehatan untuk menciptakan
lingkungan yang terbuka dan tidak menyalahkan sehingga aman untuk melakukan
pelaporan. Ciptakan budaya adil dan terbuka. Dimasa lalu sangat sering terjadi reaksi
pertama terhadap insiden di Fasilitas pelayanan Kesehatan adalah menyalahkan staf yang
terlibat, dan dilakukan tindakan-tindakan hukuman. Hal ini, mengakibatkan staf enggan
melapor bila terjadi insiden. Penelitian menunjukkan kadang-kadang staf yang terbaik
melakukan kesalahan yang fatal, dan kesalahan ini berulang dalam lingkungan Fasilitas
pelayanan Kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan lingkungan dengan budaya adil dan
terbuka sehingga staf berani melapor dan penanganan insiden dilakukan secara sistematik.
Dengan budaya adil dan terbuka ini pasien, staf dan Fasilitan Kesehatan akan memperoleh
banyak manfaat.
Kegiatan yang dilaksanakan untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :
1) Pastikan ada kebijakan yang menyatakan apa yang harus dilakukan oleh staf apabila
terjadi insiden, bagaimana dilakukan investigasi dan dukungan apa yang harus diberikan
kepada pasien, keluarga, dan staf.
2) Pastikan dalam kebijakan tersebut ada kejelasan tentang peran individu dan
akuntabilitasnya bila terjadi insiden.
3) Lakukan survei budaya keselamatan untuk menilai budaya pelaporan dan pembelajaran
di Fasilitas pelayanan Kesehatan anda.
Untuk tingkat Unit/Pelaksana :
1) Pastikan teman anda merasa mampu berbicara tentang pendapatnya dan membuat
laporan apabila terjadi insiden.
2) Tunjukkan kepada tim anda tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh Fasilitas
pelayanan Kesehatan menindak lanjuti laporan-laporan tersebut secara adil guna
pembelajaran dan pengambilan keputusan yang tepat.

6. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)


a. Definisi
Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari kemungkinan adanya
pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(Tarwaka, 2011).
Alat pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja
untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau
kecelakaan kerja. APD tidak secara sempurna dapat melindungi tubuhnya, tetapi dapat
mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Pengendalian ini sebaiknya tetap
dipadukan dan sebagai pelengkap pengendalian teknis atau pengendalian administrative
(Budiono, 2001)
APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang
yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber daya manusia dari potensi
bahaya di Fasyankes. Alat pelindung diri tidak mengurangi pajanan dari sumbernya, hanya
saja mengurangi jumlah pajanan yang masuk ke tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya
melindungi individu) dan spesifik (setiap alat memiliki spesifikasi bahaya yang dapat
dikendalikan). Implementasi APD seharusnya menjadi komplementer dari upaya
pengendalian di atasnya dan/atau apabila pengendalian di atasnya belum cukup efektif
(Permenkes No 52, 2018).
b. Jenis-jenis APD yang dapat tersedia di Fasyankes sesuai dengan kebutuhan sebagai
berikut:
1) Penutup kepala (shower cap)
2) Kacamata Khusus (safety goggle)
3) Pelindung wajah (face shield)
4) Masker
5) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan karet)
6) Jas Lab dan Apron (apron/jas lab)
7) Pelindung kaki (safety shoes dan sepatu boots)
8) Coverall
Contoh penggunaan APD dan lokasi penggunaannya dapat melihat tabel berikut:

No APD Lokasi Pemakaian APD


1 Penutup kepala Laboratorium, ruang
sterilisasi, ruang tindakan,
ruang KIA, dapur
2 Kacamata khusus Laboratorium, ruang tindakan dokter gigi, ruang
sterilisasi, ruang insersi IUD, pertolongan
persalinan, ruang pembuatan kacamata
3 Pelindung wajah Laboratorium, ruang
tindakan dokter gigi, ruang
persalinan
4 Masker Ruang persalinan, ruang tindakan untuk kasus
infeksi, balai pengobatan, ruang tindakan dokter
gigi, balai pengobatan, laboratorium, loket, ruang
rekam medik, ruang farmasi, dapur, cleaning
service, ruang pembuatan kacamata, unit transfusi
darah
5 Apron Ruang sterilisasi, ruang
persalinan, radiologi, ruang
tindakan dokter gigi, ruang
tindakan untuk kasus
infeksi
6 Sarung tangan Ruang tindakan, ruang KIA,
ruang tindakan dokter gigi,
ruang sterilisasi,
laboratorium, dapur,
cleaning service, optik, ruang
farmasi, unit tansfusi darah
7 Sepatu boot Tempat pembuangan limbah, ruang laundry,
pertolongan persalinan
8 Jas lab Ruang farmasi, laboratorium
9 Coverall Ruang observasi khusus dalam pelayanan
kekarantinaan kesehatan

Untuk faktor risiko biologi yang sangat infeksius dan bahan kimia, dapat menggunakan
bentuk APD secara lengkap atau merujuk pada juknis terkait. Berikut penjelasan masing-
masing APD beserta contoh gambar APD:
a) Penutup Kepala (shower cap)
Alat penutup kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari
jatuhnya mikroorganisme yang ada dirambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-
alat/daerah steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut petugas dari
percikan bahan–bahan dari pasien.
b) Penutup Teling (ear muff atau ear plug)
Penggunan APD penutup telinga di Fasyankes dalam proses pemberian asuhan
pelayanan kesehatan jarang digunakan. Penggunaan lebih sering jika ada sumber bising
di atas Nilai Ambang Batas (85 dba) seperti di unit ganset, proses pembangunan, dan
lainnya.
c) Kacamata Khusus (safety goggle)
Kacamata khusus (safety google) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi mata dari paparan bahan kimia berbahaya, percikan darah dan cairan tubuh,
uap panas, sinar UV dan pecahan kaca (scrub).
d) Pelindung wajah (face shield)
Alat pelindung wajah adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi wajah dari
terpapar cairan tubuh, darah, dan percikan bahan-bahan kimia.
e) Masker
Masker atau alat pelindung pernafasan adalah alat yang berfungsi untuk melindungi
pernafasan dari mikrobakterium dan virus yang ada di udara, dan zatzat kimia yang
digunakan. Bagi SDM Fasyankes yang menggunakan respirator harus dilatih untuk
menggunakan dan memelihara respirator khusus secara tepat. SDM Fasyankes harus
tahu keterbatasan dan pengujian kecocokan respirator secara tepat, minimal masker
dengan tipe N95 atau masker yang dapat memproteksi SDM dari paparan risiko biologi
maupun kimia.
f) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan bahan karet, kain)
Sarung tangan adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tangan dari darah dan cairan
tubuh, zatzat kimia yang digunakan, dan limbah yang ada.
g) Pelindung Kaki (sepatu boots, safety shoes)
Alat pelindung kaki adalah alat yang berfungsi untuk melindungi kaki dari darah, cairan
tubuh, zatzat kimia yang digunakan, benturan benda keras dan tajam, serta limbah yang
ada. SDM Fasyankes yang berdiri dalam jangka waktu lama ketika bekerja, perlu sepatu
yang dilengkapi bantalan untuk menyokong kaki. SDM Fasyankes yang bekerja dan
berhadapan dengan pekerjaan dengan risiko cidera akibat dari kejatuhan benda keras
yang mengenai jari kaki disarankan memakai sepatu dengan ujung yang keras.
h) Jas Lab dan Apron
Jas lab dan apron adalah alat yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari darah dan
cairan tubuh, zat-zat kimia yang digunakan, dan limbah yang ada.
i) Coverall
Coverall adalah alat yang berfungsi untuk melindungi seluruh tubuh dari kepala sampai
kaki dari penularan melalui percikan darah ataupun cairan tubuh sangat infeksius yang
masuk melalui mucous membrane atau luka. Penyediaan APD ini diutamakan pada
Fasyankes yang melakukan pelayanan dengan kasus karantina atau Fasyankes dengan
pandemic wabah, radiasi dan paparan bahan kimia yang sangat toksik.

7. SAMPAH DAN LIMBAH PUSKESMAS


a. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbah B3 secara aman dan sehat
wajib dilakukan oleh Fasyankes sesuai standar dan peraturan yang ada. Pengelolaan bahan
dan limbah B3 dalam aspek K3 Fasyankes harus memastikan pelaksaan pengelolaan
menjamin keselamatan dan kesehatan kerja SDM pengelola terbebas dari masalah
kesehatan akibat pekerjaanya. Kesalahan dalam pelaksanaan pengelolaan Bahan dan
Limbah B3 taruhannya adalah keselamatan dan kesehatan tidak hanya pekerja tetapi
pasien, keluarga pasien dan lingkungan Fasyankes.
b. Aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang harus di lakukan dalam pengelolaan
bahan dan limbah B3:
1) Indentifikas dan inventarisasi bahan dan limbah B3
2) Memastikan adanya penyimpanan, pewadahan, dan perawatan bahan sesuai dengan
karekteristik, sifat, dan jumlah.
3) Tersediannya lembar data keselamatan sesuai dengan karakteristik dan sifat bahan dan
limbah B3.
4) Tersedianya sistem kedaruratan tumpahan/bocor bahan dan limbah B3.
5) Tersedianya sarana keselamatan bahan dan limbah B3 seperti spill kit, rambu dan
simbol B3, dan lain lain.
6) Memastikan ketersediaan dan penggunaan alat pelindung diri sesuai karekteristik dan
sifat bahan dan limbah B3.
7) Tersedianya standar prosedur operasional yang menjamin keamanan kerja pada proses
kegiatan pengelolaan bahan dan limbah B3 (pengurangan dan pemilahan, penyimpanan,
pengangkutan, penguburan dan/atau penimbunan bahan dan limbah B3).
8) Jika dilakukan oleh pihak ke tiga wajib membuat kesepakatan jaminan keamanan kerja
untuk pengelola dan Fasyankes akibat kegagalan kegiatan pengelolaan bahan dan
limbah B3 yang dilakukan.
Pengelolaan Bahan dan limbah B3 secara teknis di setiap Fasyankes dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Pengelolaan Limbah Domestik
Limbah domestik merupakan limbah yang berasal dari kegiatan non medis seperti kegiatan
dapur, sampah dari pengunjung, sampah pepohonan dan lain-lain yang tidak mengandung
kuman infeksius, termasuk pula di dalamnya kardus obat, plastik pembungkus syringe, dan
benda lainnya yang tidak mengandung dan tidak terkontaminasi kuman patogen atau bahan
infeksius. Pengelolaan limbah domesitik secara aman dan sehat wajib dilakukan oleh
Fasyankes sesuai standar dan peraturan yang ada.
Pengelolaan limbah domestik Fasyankes harus memperhatikan hal hal sebagai berikut:
1) Penyediaan tempat sampah terpilah antara organik dan nonorganik dan dilengkapi oleh
tutup.
2) Tempat sampah dilapisi oleh kantong plastik hitam.
3) Penyediaan masker, sarung tangan kebun/ Rubber Gloves dan sepatu boots bagi petugas
kebersihan.
4) Cuci tangan memakai sabun setelah mengelola sampah.
5) Apabila terkena benda tajam atau cidera akibat buangan sampah, diharuskan untuk
melapor kepada petugas kesehatan untuk dilakukan investigasi kemungkinan terjadinya
infeksi dan melakukan tindakan pencegahan seperti pemberian vaksin Tetanus Toksoid
(TT) kepada petugas kebersihan. Pengelolaan limbah domestik secara teknis di setiap
Fasyankes dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN EVAKUASI


Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran di Fasyankes meliputi:
1) Identifikasi Area Berisiko Bahaya Kebakaran dan Ledakan
a) Mengetahui potensi bahaya kebakaran yang ada di Fasyankes.
b) Mengetahui lokasi dan area potensi kebakaran secara spesifik, dengan membuat denah
potensi berisiko tinggi terutama terkait bahaya kebakaran.
c) Inventarisasi dan pengecekan sarana proteksi kebakaran pasif dan aktif.
2) Proteksi kebakaran secara aktif, contohnya APAR, sprinkler, detektor panas dan smoke
detector
3) Proteksi kebakaran secara pasif, contohnya
a) jalur evakuasi
b) pintu darurat
c) tangga darurat
d) tempat titik kumpul aman
4) Pengendalian Kebakaran dan Ledakan di Fasyankes
a) Penempatan bahan mudah terbakar aman dari api dan panas.
b) Pengaturan konstruksi gedung mengikuti prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Penyimpanan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mudah terbakar dan gas medis
di tempat yang aman.
d) Larangan merokok.
e) Inspeksi fasilitas/area berisiko kebakaran secara berkala.
f) Simulasi kebakaran minimal dilakukan 1 tahun sekali untuk setiap gedung.
g) Pemantauan bahaya kebakaran terkait proses pembangunan di dalam/berdekatan dengan
bangunan yang dihuni pasien.

9. AUDIT INTERNAL K3

10. MANAJEMEN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA PUSKESMAS


a.Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan

1. Penetapan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan
Komitmen Fasyankes dalam melaksanakan K3 di Fasyankes diwujudkan dalam
bentuk:
a. Penetapan Kebijakan dan Tujuan Program K3 di Fasyankes Secara Tertulis
b. Pengorganisasian Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Tugas tim K3 di Fasyankes antara lain sebagai berikut:
1) Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data terkait K3 di Fasyankes.
2) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada
Pimpinan yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes.
3) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes.
4) Merumuskan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, dan standar prosedur
operasional.
5) Melaksanakan program K3 di Fasyankes.
6) Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disampaikan kepada seluruh
SDM Fasyankes.
7) Membantu pimpinan Fasyankes dalam menyelenggarakan SMK3 di Fasyankes,
promosi, penelitian sederhana, dan pelatihan terkait K3 di Fasyankes.
8) Melakukan investigasi dalam setiap kejadian penyakit akibat kerja dan
kecelakaan akibat kerja.
9) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru dan pembangunan
gedung, serta pemeliharaannya.
10) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan K3 di Fasyankes.
11) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3 di
Fasyankes.
Untuk penanggung jawab K3 di Fasyankes yang bukan dalam bentuk tim, antara lain
memiliki tugas sebagai berikut:
1) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes.
2) Melaksanakan program K3 di Fasyankes.
3) Mengumpulkan, mengolah, menganalisis data terkait K3 di Fasyankes, dan
menginformasikan kepada seluruh SDM Fasyankes.
4) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan kepada
pimpinan Fasyankes yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes.
5) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan K3 di
Fasyankes.
2. Perencanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
3. Pelaksanaan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Pemantauan K3 di Fasyankes antara lain dapat dilakukan melalui:
a) Inspeksi (melihat, mengenali potensi risiko) tempat kerja secara teratur.
b) Inspeksi yang dilaksanakan oleh Tim K3/pengelola K3 di Fasyankes.
c) Masukan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.
d) Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat
inspeksi.
e) Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektivitasnya.
f) Laporan inspeksi yang diajukan kepada pimpinan Fasyankes atau penanggung
jawab Fasyankes.
4. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Pemantauan K3 di Fasyankes antara lain dapat dilakukan melalui:
a) Inspeksi (melihat, mengenali potensi risiko) tempat kerja secara teratur.
b) Inspeksi yang dilaksanakan oleh Tim K3/pengelola K3 di Fasyankes.
c) Masukan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.
d) Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat
inspeksi.
e) Tindakan korektif dipantau untuk menentukan efektivitasnya.
f) Laporan inspeksi yang diajukan kepada pimpinan Fasyankes atau penanggung
jawab Fasyankes.

5. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan
Indikator yang dapat dipakai antara lain:
a) Adanya komitmen dan kebijakan pimpinan Fasyankes yang dituangkan dalam
lembar komitmen.
b) Adanya Surat Keputusan Tim K3 di Fasyankes atau Penunjukan pengelola K3 di
Fasyankes.
c) Adanya rencana kerja terkait K3 di Fasyankes.
d) Adanya dukungan sumber daya terlatih, alokasi dana, sarana dan prasarana
peralatan penunjang K3 di Fasyankes.
e) Adanya standar prosedur operasional yang memenuhi prinsip keselamatan dan
kesehatan kerja dalam pelaksanaan kegiatan.
f) Adanya standar K3 di Fasyankes yang telah dilaksanakan oleh Fasyankes.
g) Adanya peningkatan kapasitas dan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja bagi
SDM Fasyankes.
h) Dilaksanakannya pencatatan dan pelaporan terkait K3 di Fasyankes.
b. Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1. Pengenalan Potensi Bahaya dan Pengendalian Risiko Keselamatan dan Kesehatan
Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a) Pengenalan Potensi Bahaya
b) Penilaian Resiko
c) Pengendalian resiko K3
d) Alat pelindung diri
Jenis-jenis APD dan ruangan pemakaian APD yang dapat tersedia di Fasyankes
sesuai dengan kebutuhan sebagai berikut:
1) Penutup kepala (shower cap)
Laboratorium, ruang sterilisasi, ruang tindakan, ruang KIA, dapur
2) Kacamata Khusus (safety goggle)
Laboratorium, ruang tindakan dokter gigi, ruang sterilisasi, ruang insersi IUD,
pertolongan persalinan, ruang pembuatan kacamata
3) Pelindung wajah (face shield)
Laboratorium, ruang tindakan dokter gigi, ruang persalinan
4) Masker
Ruang persalinan, ruang tindakan untuk kasus infeksi, balai pengobatan, ruang
tindakan dokter gigi, balai pengobatan, laboratorium, loket, ruang rekam
medik, ruang farmasi, dapur, cleaning service, ruang pembuatan kacamata, unit
transfusi darah
5) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan karet)
Ruang tindakan, ruang KIA, ruang tindakan dokter gigi, ruang sterilisasi,
laboratorium, dapur, cleaning service, optik, ruang farmasi, unit tansfusi darah
6) Jas Lab dan Apron (apron/jas lab)
Ruang sterilisasi, ruang persalinan, radiologi, ruang tindakan dokter gigi, ruang
tindakan untuk kasus infeksi
7) Pelindung kaki (safety shoes dan sepatu boots)
Tempat pembuangan limbah, ruang laundry, pertolongan persalinan
8) Coverall
Ruang observasi khusus dalam pelayanan kekarantinaan kesehatan
2. Penerapan kewaspadaan standar
3. Penerapan prinsip ergonomi
Ruang lingkup yang harus dilaksanakan sesuai persyaratan ergonomi di Fasyankes
meliputi:
a) Penanganan Beban Manual (Manual Handling)
b) Postur kerja
c) Cara kerja dengan gerakan berulang
d) Sift kerja
e) Durasi kerja
f) Tata letak ruang kerja
4. Pemeriksaan kesehatan berkala
5. Pemberian imunisasi
6. Pembudayaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
7. Pengelolaan Sarana dan Prasarana dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja
8. Pengelolaan Peralatan Medis dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja
9. Kesiapsiagaan Menghadapi Kondisi Darurat atau Bencana, Termasuk Kebakaran
(Emergency Response Plan)
10. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
11. Pengelolaan Limbah Domestik

Anda mungkin juga menyukai