Anda di halaman 1dari 2

APA

Agroekosistem adalah sebuah sistem lingkungan  yang telah dimodifikasi dan dikelola oleh
manusia untuk kepentingan produksi pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain.
Manusia, dalam hal ini sering disebut petani, melakukan intervensi terhadap system lingkungan
dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas sehingga mereka mampu memenuhi
kebutuhan hidup bagi keluarganya. Dalam perspektif yang lebih luas, masyarakat juga ikut
mendukung intervensi semacam itu karena kepentingan yang lain, yakni untuk menghasilkan
pangan dengan harga yang terjangkau bagi mereka-mereka yang tidak bekerja di sektor
pertanian, seperti para pekerja di sektor-sektor industri di perkotaan.

SIAPA

Dalam agroekosistem, manusia adalah faktor yang memegang peranan sangat penting, untuk
tidak mengatakan sentral. Pertaruhan yang lain juga terjadi pada saat musim panen tiba. Para
petani menjual kentang kepada para pembeli di kota-kota besar di Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jawa Tengah melalui agen-agen yang tersebar di daerah.

MENGAPA

Atas dasar itu, maka analisis agroekosistem perlu diarahkan pada proses interaksi antara dua
system yang menjadi penopang utama, yakni system sosial (social system) dan ekosistem
alam (natural ecosystem). Conway (1987) memperkenalkan kepada kita tentang system property
yang penting untuk diperhatikan dalam setiap analisis agroekosistem, yaitu: produktivity,
stability, sustainability, dan equitability. Dengan memperhatikan system property ini, menurutnya,
pengelolaan agroekosistem dapat terkontrol sedemikian rupa sehingga bisa memberikan
kontribusi optimal pada system sosial tanpa harus menghancurkan ekosistem alam. Berangkat
dari gagasan Rambo dan Conway tersebut, setidaknya ada tiga komponen analisis penting
dalam sebuah agroekosistem, pertama: unsur-unsur yang menopang system produksi atau
sering disebut sebagai faktor produksi (modal, tenaga kerja, sumber daya fisik dll); kedua model
interaksi dari unsur-unsur penopang system (harmoni, disharmoni atau gabungan antara
keduanya); dan yang ketiga adalah arah dan kecenderungan dari system (sustainabilitas,
stabilitas, produktivitas dll).

BAGAIMANA

Dalam hal agroekosistem ini, Geerzt (1963) membedakan agroekosistem di Indonesia menjadi
dua, yakni agro-ekosistem intensif di jawa dan agro-ekosistem ekstensif di luar jawa. Apa yang
dinamakan sebagai agroekosisem intensif, menurut Geertz, adalah sebuah agroekosistem yang
didominasi oleh tanaman tunggal yang terbuka, sangat tergantung pada mineral yang dibawa air
sebagai bahan makanannya (oleh karenanya pada tahap tertentu juga memerlukan intervensi
bangunan air), memiliki keseimbangan yang relative stabil, dan cenderung mengatasi tekanan
penduduk dengan cara memusatkan. Salah satu contoh datri agroekosistem intensif ini adalah
sawah yang banyak terdapat di Jawa. Sementara itu yang dinamakan sebagai agroekosistem
ekstensif adalah sebuah agroekosistem yang memiliki tingkat keragaman tanaman cukup tinggi,
bersifat tertutup, peredaran zat-zat makanan yang menopang system terjadi melalui mekanisme
kehidupan (biotis), memiliki tingkat keseimbangan ringkih dan cenderung mengatasi tekanan
jumlah penduduk dengan cara menyebarkan. Contoh dari model agroekosistem seperti ini
adalah ladang-ladang tebas bakar yang banyak terdapat di lua Jawa. Kendatipun demikian,
menurut Geertz, baik sawah maupun ladang pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk
mengubah ekosistem alam sehingga dapat menaikkan arus energy ke manusia.  Persawahan
mencapai hal ini dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sedangkan perladangan dengan
cara meniru alam sekitar.

Situasi semacam itulah yang menjadikan proses produksi pada agroekosistem cepat cenderung
mahal. Kendatipun demikian, salah satu kelebihannya adalah tanah dan iklim di dataran tinggi itu
sangat cocok untuk tanaman-tanaman hortikultura dan tanaman-tanaman komersial lainnya.
Tanaman-tanaman seperti ini, rata-rata memiliki tingkat keuntungan yang lebih baik
dibandingkan dengan tanaman-tanaman pada agroekosistem lambat di dataran rendah, seperti
padi dan palawija. Bahkan tidak jarang untuk produk-produk tertentu, seperti kentang misalnya,
disertai dengan fenomena booming hingga nilai keuntungan itu bisa berlipat ganda. Hal ini juga
didukung laporan-laporan abad ke 16 yang melukiskan bahwa sistem mata pencaharian di
daerah dataran tinggi sangat beragam, kompleks dan produktif (Reid 1988:19). Dengan
demikian, secara alamiah, agroekosistem cepat di dataran tinggi memang berbeda dengan
agroekosistem lambat di dataran rendah, terutama dalam hal resiko, input produksi dan tingkat
keuntungannya.

https://javlec.org/agroekosistem-cepat-sebuah-catatan-untuk-proses-produksi-di-datarantinggi/

Anda mungkin juga menyukai