Anda di halaman 1dari 18

ARGOEKOSISTEM SEBAGAI BENTUK

APLIKASI BIOMANAJEMEN

Iwan Setiawan
Biomanajemen 17 Juni 2021

PENDAHULUAN

Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mengenal dan
membutuhkan pemukiman dalam arti luas (tempat bernaung dan infrastrukturnya). Mereka
membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan tanaman bahan makanan dan
bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya melalui berbagai pengalaman. Mereka
mengembangkan pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman
musiman dan memberikan unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah
menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian
sangat tergantung alam (gangguan iklim, hama dan penyakit).

Peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin


meningkat akhir-akhir ini dihasilkan satu tehnologi antara lain : mekanisasi, varietas baru,
cara pengendalian pengganggu, pemupukan, irigasi dan perluasan tanah dengan membuka
hutan dan padang rumput, hingga peningkatan hasil tanaman melalui cara-cara genetika
tanaman (rekayasa genetic) dan pengelolaan lingkungan dengan menyertakan peningkatan
masukan materi dan energi dalam agroekosistem.

Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan implikasi ekologi dalam ekosistem dan
mempengaruhi struktur dan fungsi biosfere. Pengelolaan lingkungan (sumberdaya alam)
menimbulkan beberapa persoalan, di antaranya berupa erosi tanah, pergantian iklim, pola
drainase dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.

Pada tahun 1977 State of World Environment Report (UNEP), memperingatkan


bahwa, tanah yang dapat ditanami luasannya terbatas, hanya ± 11% permukaan bumi dapat
diusahakan untuk pertanian. Secara total 1.240 juta ha untuk populasi 4.000 juta (rata-rata
0,31 ha/orang). Area ini pada tahun 2.000 akan tereduksi sampai hanya tinggal 940 juta ha
dengan populasi penduduk dunia 6.250 juta. Sehingga perbandingan lahan/orang tinggal 0,15
ha saja. Ini merupakan suatu peringatan dan memerlukan perhatian segera. Untuk itu
dibutuhkan suatu system dari lingkungan hidup yang saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas dilahan pertanian untuk menjadikan
suatu lahan pertanian dapat berproduksi secara berkelanjutan.

KONSEP ARGOEKOSISTEM

1. 1. Pengertian Argoekosistem
Ada beberapa pendapat yang mengungkapkan tentang pengertian agroekosistem.
Ada yang berpendapat bahwa agroekosistem adalah sistem interaksi antara manusia
dengan lingkungan biofisik, sumber daya pedesaan, dan pertanian guna meningkatkan
kelangsungan hidup penduduknya. (Anonim, 2014).

Agroekosistem adalah pertanian yg bersifat hubungan timbal balik antara


sekelompok manusia (masyarakat) dan lingkungan fisik dari lingkungan hidupnya guna
memungkinkan kelangsungan hidup kelompok manusia (masyarakat) itu. (Anonim,
2014)

Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro.


 Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling
berkaitan dan saling mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang
serasi.

 Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan
lingkungannya.

 Ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang
terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi).

 Agro adalah Pertanian, dapat berarti sebagai kegiatan produksi/industri biologis


yang dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak. Pengertian lain
sebagai lingkungan buatan untuk kegiatan budidaya tanaman dan ternak.
Pertanian dapat juga dipandang sebagai pemanenan energi matahari secara
langsung atau tidak langsung melalui pertumbuhan tanaman dan ternak
(Anonim, 2014).

Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan


pertanian. Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan
akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah pertanian
spesifik akibat penggunaan masukan teknologi (Anonim, 2014). Masalah lingkungan
serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan, meluasnya padang alang-
alang, degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis, desertifikasi, serta menurunnya
keanekaragaman. Masalah lingkungan ini sebagai akibat adanya kurusnya lahan seiring
meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi pertanian, masukan teknologi
pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa agroekosistem


merupakan suatu ekosistem alami yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
mempertahankan kehidupan dan tersusun makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak
hidup (abiotik). Manusia, dalam hal ini memiliki peran penting yang berperan
sebagai petani, melakukan intervensi terhadap sistem lingkungan dengan tujuan
utama meningkatkan produktivitas sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan
hidup bagi keluarganya. Dalam perspektif yang lebih luas, peran yang juga ikut
dalam mendukung intervensi adalah masyarakat, yang dikarenakan untuk
menghasilkan pangan dengan harga yang terjangkau bagi mereka-mereka yang
tidak bekerja di sektor pertanian, seperti halnya para pekerja di sektor-sektor
industri, dan lain sebagainya.

Ekosistem alam (nature ecosystem) memiliki lingkup dan pengertian yang


berbeda dengan agroekosistem. Dalam agroekosistem, penggunaan sumber energi
tidak hanya menggunakan sumber energi pada sinar matahari, air dan nutrisi tanah,
akan tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang sudah dikonsolidasikan oleh
manusia, seperti pupuk, pestisida, teknologi dan lain sebagainya. Hal lain yang
membedakan adalah tingkat keanekaragaman hayati pada agroekosistem cenderung
rendah, didominasi oleh varietas-varietas yang seragam, serta kontrol dikendalikan
oleh faktor eksternal, dalam hal ini manusia, bukan oleh feedback system sebagaimana
yang terjadi pada ekosistem alam. Hal ini, dalam agroekosistem, manusia adalah
faktor yang memegang peranan sangat penting untuk menglola dan memanfaatkan
agroekosistem yang ada.

Atas dasar itu, maka sebagaimana yang ditulis Rambo (1983) dalam Iskandar
(2009), untuk menganalisis agroekosistem perlu diarahkan pada proses interaksi antara
dua sistem yang menjadi penopang utama, yakni system sosial (social system) dan
ekosistem alam(natural ecosystem). Conway (1987) memperkenalkan kepada kita
tentang sistem properti yang penting untuk diperhatikan dalam setiap analisis
agroekosistem, yaitu: produktivity, stability, sustainability, dan equitability, dengan
kata lain keempat hal di atas merupakan empat aspek yang ada dalam agroekositem.
Dengan memperhatikan sistem property atau aspek ini, menurutnya, pengelolaan
agroekosistem dapat terkontrol sedemikian rupa sehingga bisa memberikan kontribusi
optimal pada sistem sosial tanpa harus menghancurkan ekosistem alam. Berangkat dari
gagasan Rambo dan Conway tersebut, setidaknya ada tiga komponen analisis penting
dalam sebuah agroekosistem, pertama: unsur-unsur yang menopang sistem produksi
atau sering disebut sebagai faktor produksi (modal, tenaga kerja, sumber daya fisik
dll); kedua model interaksi dari unsur-unsur penopang sistem (harmoni, disharmoni
atau gabungan antara keduanya); dan yang ketiga adalah arah dan kecenderungan
dari sistem (sustainabilitas, stabilitas, produktivitas dll).

Agroekosistem ditopang oleh dua system yang saling berinteraksi dan


mempengaruhi, yakni sistem natural dan sistem sosial. Beberapa komponen natural
dalam agroekosistem antara lain meliputi faktor-faktor biofisik seperti tanah, air, iklim,
tumbuhan, hewan dan lain sebagainya yang satu sama lain berinteraksi dalam suatu
mekanisme tertentu sehingga perubahan pada komponen yang satu akan berpengaruh
pada keberadaan komponen yang lain. Misalnya saja, perubahan iklim yang mengarah
pada tingkat kekeringan tertentu akan berpengaruh pada ketersediaan air di dalam
tanah, yang pada gilirannya juga akan memberikan pengaruh pada sebaran tumbuhan
dan hewan yang ada di atasnya. Demikian juga dengan sistem sosial, beberapa
komponen demografi, organisasi sosial, ekonomi, institusi politik dan sistem
kepercayaan Rambo, (1983) adalah hal- sosial seperti hal yang saling memberikan
pengaruh pada terbentuknya karakter tertentu, daya tahan, stabilitas dan tingkat
kemajuan.

Sementara itu, interaksi antara system sosial dan system natural dalam sebuah
agroekosistem juga saling memberikan pengaruh. Perubahan pada system natural akan
berpengaruh pada system sosial, dan sebaliknya perubahan dalam system sosial juga
akan memberikan pengaruh pada system natural. Contoh menarik untuk hal ini adalah
laporan Jacobson dan Adams (1953) tentang kemunduran kebudayaan Mesopotamia
yang diyakini terjadi akibat meningkatnya kadar garam pada kanal-kanal irigasi
mereka; dan laporan Drew (1983) tentang meningkatnya kerusakan ekosistem
pegunungan di Eropa sejak dipergunakannya alat-alat pertanian dari logam di sana.

Dalam hal ini, Geerzt (1963) membedakan agroekosistem di Indonesia menjadi


dua, yakni agro-ekosistem intensif di jawa dan agro-ekosistem ekstensif di luar jawa.
Apa yang dinamakan sebagai agroekosisem intensif, adalah sebuah agroekosistem
yang didominasi oleh tanaman tunggal yang terbuka, sangat tergantung pada mineral
yang dibawa air sebagai bahan makanannya (oleh karenanya pada tahap tertentu juga
memerlukan intervensi bangunan air), memiliki keseimbangan yang relative stabil, dan
cenderung mengatasi tekanan penduduk dengan cara memusatkan. Salah satu contoh
dari agroekosistem intensif ini adalah sawah yang banyak terdapat di Jawa. Sementara
itu yang dinamakan sebagai agroekosistem ekstensif adalah sebuah agroekosistem yang
memiliki tingkat keragaman tanaman cukup tinggi, bersifat tertutup, peredaran zat-zat
makanan yang menopang sistem terjadi melalui mekanisme kehidupan (biotis),
memiliki tingkat keseimbangan tinggi dan cenderung mengatasi tekanan jumlah
penduduk dengan cara menyebarkan. Contoh dari model agroekosistem seperti ini
adalah ladang-ladang tebas bakar yang banyak terdapat di luar Jawa. Kendatipun
demikian, menurut Geertz, baik sawah maupun ladang pada dasarnya adalah sebuah
usaha untuk mengubah ekosistem alam sehingga dapat menaikkan arus energy ke
manusia. Persawahan mencapai hal ini dengan cara mengolah kembali alam sekitar,
sedangkan perladangan dengan cara meniru alam sekitar.

Hubungan agroekosistem dengan ekosistem alami

Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal
pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan
tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya
melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan pertanian dengan
membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan memberikan
unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah menghasilkan kemudian
dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian sangat tergantung alam,
gangguan iklim, hama dan penyakit.

Agroekosistem (ekosistem pertanian) ditandai oleh komunitas yang


monospesifik dengan kumpulan beberapa gulma. Ekosistem pertanian sangat peka akan
kekeringan, frost, hama/penyakit sedangkan pada ekosistem alam dengan komunitas
yang kompleks dan banyak spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan terhadap
gangguan iklim dan makhluk perusak. Dalam agroekosistem, tanaman dipanen dan
diambil dari lapangan untuk konsumsi manusia/ternak sehingga tanah pertanian selalu
kehilangan garam-garam dan kandungan unsur-unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain.
Untuk memelihara agar keadaan produktivitas tetap tinggi kita menambah pupuk pada
tanah pertanian itu. Secara fungsional agroekosistem dicirikan dengan tingginya lapis
transfer energi dan nutrisi terutama di grazing food chain dengan demikian hemeostasis
kecil.

Kesederhanaan dalam struktur dan fungsi agroekosistem dan pemeliharaannya


untuk mendapatkan hasil yang maksimum, maka menjadikannya mudah goyah dan
peka akan tekanan lingkungan seperti kekeringan, frost, meledaknya hama dan penyakit
dan sebagainya. Peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan penduduk
yang semakin meningkat akhir-akhir ini dihasilkan satu tehnologi antara lain:
mekanisasi, varietas baru, cara pengendalian pengganggu, pemupukan, irigasi dan
perluasan tanah dengan membuka hutan dan padang rumput.

Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan implikasi ekologi dalam ekosistem


dan mempengaruhi struktur dan fungsi biosfere. Peningkatan hasil tanaman
dimungkinkan melalui cara-cara genetika tanaman dan pengelolaan lingkungan dengan
menyertakan peningkatan masukan materi dan energi dalam agroekosistem. Varietas
baru suatu tanaman dikembangkan melalui program persilangan dan saat akan datang
dapat diharapkan memperoleh varietas baru melalui rekayasa genetika yang makin
baik. Varietas baru mempunyai syarat-syarat kebutuhan lingkungan dan ini penting
untuk diketahui ekologinya sebelum disebarkan ke masyarakat dengan skala luas.
Pengelolaan lingkungan menimbulkan beberapa persoalan pada erosi tanah, pergantian
iklim, pola drainase dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.

1. 2. Tujuan dan Manfaat Agroekosistem


Dari tinjauan produktivitas organik dengan masukan energi, agroekosistem
dunia saat ini menghasilkan ± 10 milyar ton bahan kering/tahun. Cahaya matahari yang
masuk ke kanopi tanaman digunakan dalam proses fotosintesis yang menghasilkan
kekuatan dalam produktivitas organik. Penelitian dari beberapa disiplin menghasilkan
suatu kesimpulan bahwa sekarang ada 3 mekanisme fotosintesis ialah siklus Kelvin,
C4 - asam dekarboksilat dan metabolisme asam grasulacean. Sejumlah tanaman penting
(jagung, gula, shorgum dan sebagainya) mempunyai jalur C 4. Produktivitas bersih
tanaman C4 lebih tinggi dari tanaman siklus Kelvin. Tanaman selama puncak musim
pertumbuhan mengkonversi 6 - 8% total energi sinar matahari ke bahan organik dalam
produksi kotor. Produksi bersih rata-rata ½ produksi kotor itupun hanya 50% yang
dapat untuk heterotrop (hewan dan manusia).

Efisiensi konversi energi berbeda karena :


- beda varietas
- musim pertumbuhan
- kondisi pertumbuhan/pertanaman

Table hubungan antara energi solar dan produksi bersih/kotor (K cal/cm2/hr)


Tanaman Radiasi Solar Prod. Bersih Prod. Kotor Author’s
Montieth, ‘65
Gula (Hawai) 4.000 190 306
Montieth, ‘65
Jagung (Israel) 6.000 190 405
Montieth, ‘65
Gula bit (Ingg.) 2.650 144 202
Dwivedi, ‘70
Gandum (India) 1.567 43 55
Singh, MK,
Padi (India) 2.904 60 -
‘74
Sumber : K.C. Misra (1980)

Di samping cahaya dan suhu, sebagai pengendali produksi bersih dalam agro-
ekosistem adalah kelembaban tanah, nutrisi dan kompetisi baik intra/antar spesies.
Untuk lebih mendalami variasi produksi bahan kering kita perlu mengetahui beda
varietas dan kondisi lingkungan dengan analisis pertumbuhan (growth analysis) yaitu
dengan mendeterminasi :
1. Laju asimilasi per unit luas daun (NAR)
2. Laju produksi bahan kering per unit berat bagian tanaman (RGR)
3. Luas daun per unit luas lahan (LAI)

RGR menentukan produktivitas, nilai tertinggi pada fase vegetatif awal untuk
menuju NAR yang lebih besar. Tetapi NAR turun karena adanya peneduhan daun pada
puncak periode pertumbuhan vegetatif, RGR menunjukkan menurun tajam. Penurunan
RGR diimbangi dengan peningkatan LAI dan NPP. Pada waktu tanaman mendekati
masak, ukuran relatif akan turun dan juga efisiensi asimilasinya karena
adanya sheding dan senescence yang memungkinkan RGR turun dengan tajam juga
NPP.
Pada tanaman semusim yang merupakan dasar tanaman pertanian menunjukkan
produktivitas/kesatuan luas relatif rendah karena tanaman semusim hanya produktif
untuk masa kurang dari 6 bulan. Penanaman ganda dengan menggunakan 2 - 3 tanaman
yang produksinya sepanjang tahun dapat mendekati produktivitas kotor komunitas alam
yang terbaik.
Suatu perbandingan produktivitas primer bersih musiman komunitas terestrial
memperlihatkan sedikit lebih tinggi untuk tanah yang diusahakan. Lebih tingginya
produktivitas bersih di agroekosistem karena adanya tambahan masukan energi, nutrisi,
perbaikan genetika tanaman pertanian dan tindakan pengendalian serangga.

Table Produksi primer bersih musiman (t/ha) komunitas terestrial


Komunitas Produksi Author’s

hutan musim tropik 15,50 Misra, 1972


Padang rumput 7,44-23,13 Singh, J.S., 1967
Jagung/Gandum 24,45 Misra dan Pandey, ‘72

Tanah pertanian merupakan ekosistem tersubsidi yang diperlukan untuk


membuat kondisi optimum yang diinginkan dengan tujuan efisiensi produsen pada
tingkat batas maksimum. Subsidi itu tentu saja sangat diperlukan, lebih-lebih dengan
waktu singkat harus menghasilkan, seperti pada kebanyakan tanaman semusim antara
60 - 90 hari saja subsistem produsen mencapai kemasakan dan efisiensi fotosintesis
menurun karena umur.
Setelah panen kira-kira 85 - 905 enersi terakumulasi dalam bagian atas tanah
yang kemudian masuk ke grazing food chain yang sederhana terutama meliputi
manusia dan ternak.

Menurut Singh (1974) dalam anonim, 2014. pada padi produksi bersih 5 - 60%
berbentuk jerami dan biji. Dalam agrosistem daerah sedang (temperate) lebih 50%
enersi yang dipanen, digunakan sebagai makanan ternak untuk produksi daging dan
susu (protein).

Di daerah tropika sebagian besar populasi manusia hidup dengan tingkat enersi
rendah sedang di daerah temperate, tinggi. Enersi yang masuk ke detritus food chain 
10 - 15% dari produksi bersih.

Jerami dan daun jatuh ke tanah dan akar-akar merupakan sumber masukan
enersi kimia ke dalam subsistem tanah. Jumlah ini umumnya tidak mencukupi untuk
memelihara kesuburan tanah pada taraf optimum. Enersi yang masuk ke dalam
“detritus food chain” belum banyak diketahui sampai saat ini.

Dalam ekosistem terestrial sumber/mineral dari tanah, secara alami status nutrisi
dipelihara oleh adanya proses daun Biogeokimia.

Di dalam agroekosistem sebagian besar nutrisi terikut sebagai hasil panen dan
tidak kembali lagi secara alami sehingga diperlukan pemupukan. Karena itu daur yang
biasa terjadi terputus/asiklik

2. 3. Bentuk-bentuk Agroekosistem
Berdasarkan jenis sampai varietas tanaman yang ditanam, diantaranya:
a) Monokultur, yaitu satu jenis atau satu varietas tanaman saja yang di tanam dalam
agroekosistem
b) Polikultur, yaitu penanaman lebih dari satu jenis atau varietas tanaman dalam satu
kawasan agroekosistem. Meliputi: tumpang sari (Multiple cropping), tanam lajur
(Intercropping) dan tanam bergilir lebih dari satu jenis atau varietas tanaman
(alleycropping).

Berdasarkan kondisi lahan, meliputi:


a) Lahan kering
b) Lahan basah
c) Gambut
d) Rawa
Berdasarkan penggunaan lahan, yaitu:
a) Perkebunan
Perkebunan merupakan usaha penanaman tumbuhan secara teratur sesuai
dengan ilmu pertanian dan mengutamakan tanaman perdagangan. Perkebunan penting
bagi bahan ekspor dan bahan industri. Jenis-jenis tanaman perkebunan khususnya di
Indonesia antara lain karet, kelapa sawit, kopi, teh, tembakau, tebu, kelapa, cokelat,
kina, kapas, cengkih (Soerjani, 2007).
Pada sistem pengairan, pertanian lahan kering, kondisi topogragfi memegang
peranan cukup penting dalam penyediaan air, serta menentukan cara dan fasilitas
pengairan. Sumber – sumber air biasanya berada pada bagian yang paling rendah,
sehingga air perlu dinaikkan terlebih dahulu agar pendistribusiannya merata dengan
baik. Oleh karena itu, pengairan pada lahan kering dapat berhasil dan efektif pada
wilayah yang datar datar – berombak (Kurnia, 2004).

b) Persawahan
Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah atau dengan
pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik daripada cara yang lain,
bahkan merupakan cara yang sempurna karena tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu
dengan dibajak, diairi secara teratur, dan dipupuk (Rustiadi, 2007).
Sawah bukaan baru dapat berasal dari lahan kering yang digenangi atau lahan
basah yang dijadikan sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg merupakan pembatas
pertumbuhan dan hasil padi pada lahan sawah bukaan baru. Hara N, P dan K
merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).
Lahan untuk sawah bukaan baru umumnya mempunyai status kesuburan tanah
yang rendah dan sangat rendah.Tanah-tanah di daerah bahan induknya volkan tetapi
umumnya volkan tua dengan perkembangan lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan
kejenuhan basa rendah bahkan sangat rendah.Kandungan bahan organik, hara N, P, K
dan KTK umumnya rendah (Suharta dan Sukardi, 1994).
Padi (oryza sativa l) tumbuh baik di daerah tropis maupun sub- tropis.Untuk
padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi lahan tempat penanaman
sangat penting.Oleh karena air menggenang terus- menerus maka tanah sawah harus
memiliki kemampuan menahan air yang tinggi, seperti tanah yang lempung.
c) Ladang
d) Agriforestri (hutan tanaman)
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan berpindah,
pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak proses ekosistem alami
dan komposisi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi,
termasuk perkebunan modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah
ekosistem secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang
alam sebelumnya yang tersisa (Karyono, 2000).

e) Kebun/pekarangan campuran
Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan sebuah
bangunan. Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang
saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan
sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk
kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara
tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekarangan
merupakan satu kesatuan terpadu (Pratiwi, 2004).

PERMASALAHAN DALAM AGROEKOSISTEM

1. Degradasi lahan
Degradasi lahan kering selama ini lebih tersorot pada kekeliruan pembukaan
dan pengelolaan lahan oleh perladangan berpindah. Sistem pembukaan lahan dengan
cara tebas-bakar (slash and burn) dan biasanya terletak pada lahan yang miring akan
mengawali terjadinya erosi. Kebiasaan membakar kayu dan ranting sisa pembukaan
lahan biasanya diteruskan oleh petani dengan membakar sisa tanaman. Bila pembakaran
dilakukan hanya sekali saja waktu pembukaan lahan tidak akan banyak merusak tanah,
tetapi pembakaran yang dilakukan berulang-ulang setiap musim akan lekas menurunkan
kadar bahan organik tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanah.

Pembakaran sisa-sisa tanaman tiap tahun akan mempercepat proses pencucian


dan pemiskinan tanah. Merosotnya kadar bahan organik tanah akan memperburuk sifat
fisik dan kimia tanah. Struktur tanah menjadi tidak stabil, bila terjadi hujan maka
pukulan butir hujan akan cepat menghancurkan agregat tanah, dan partikel-partikel
tanah yang halus akan mengisi ruang pori. Terisinya ruang pori oleh partikel tanah
menyebabkan turunnya kapasitas infiltrasi tanah dan meningkatkan aliran permukaan
dan mempercepat laju erosi tanah. Hilangnya lapisan atas tanah karena erosi
menyebabkan produktivitas lahan menurun, dan karena akan muncul horizon B yang
kadar bahan organiknya rendah maka tanah akan terdegradasi.

2. Kerusakan Tubuh Tanah


Tanah sebagai suatu sistem dinamis, selalu mengalami perubahan-perubahan,
yaitu perubahan segi fisik, kimia ataupun biologi tanahnya. Perubahan-perubahan ini
terutama karena pengaruh berbagia unsur iklim, tetapi tidak sedikit pula yang dipercepat
oleh tindakan atau perlakuan manusia. Kerusakan tubuh tanah yang diakibatkan
berlangsungnya perubahan-perubahan yang berlebihan misalnya kerusakan dengan
lenyapnya lapisan olah tanah yang dikenal dengan nama erosi.

Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah dan
kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut
umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran sifat-
sifat fisik dan kimia tanah.

Erosi merupakan penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan.


Permasalahan degradasi lahan dan beratnya erosi disebabkan oleh 1) curah hujan yang
mempunyai nilai erosivitas tinggi, 2) tanah peka erosi, 3) kemiringan lereng melebihi
batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan, 4) cara pengelolaan tanah dan
tanaman yang salah termasuk kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang
salah, dan 5) tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang
mempercepat kerusakan lahan yaitu merosotnya kadar bahan organik karena
pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara.

Erosi berlangsung secara alamiah yang kemudian berlangsungnya itu


dipercepat oleh beberapa tindakan atau perlakuan manusia terhadap tanah dan tanaman
yang tumbuh di atasnya. Pada erosi alamiah tidak menimbulkan malapetaka bagi
kehidupan manusia atau keseimbangan lingkungan, karena dalam peristiwa ini
banyaknya tanah yang terangkut seimbang dengan pembentukan tanah, sedang erosi
yang dipercepat (accelerated erotion) sudah dapat dipastikan banyak menimbulkan
kerugian kepada manusia seperti : bencana banjir, kekeringan, turunnya produktivitas
tanah, longsor, dll. Pada peristiwa erosi yang dipercepat volume penghanyutan tanah
adalah lebih besar dibandingkan dengan pembentukan tanah, sehingga penipisan lapisan
tanah akan berlangsung terus yang pada akhirnya dapat melenyapkan atau terangkut
habisnya lapisan tersebut. ( Mulyani, 2005)

3. Dampak Pemupukan yang Berlebihan


Pemupukan dilakukan untuk memberikan zat makanan yang optimal kepada
tanaman, agar tanaman dapat memberikan hasil yang cukup. Pemupukan dan pupuk
buatan dapat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menurun). Jika tanah menjadi
asam, produktivitas tanaman pertanian akan merosot.

Selain itu, unsur nitrogen yang terkandug di dalam pupuk dapat menyebabkan
terbentuknya larutan nitrit di dalam tanah. Larutan nitrit itu dapat meresap ke dalam
sumur penduduk yang berdekatan. Pemupukan yang berlebihan dan larut ke dalam air
juga dapat menyebabkan meningkatkan kesuburan sungai (eutrofikasi). Ganggang dan
tumbuhan sungai, misalnya eceng gondok, tumbuh dengan subur. Akibatnya hewan-
hewan air akan kekurangan oksigen sehingga mengalami kematian. Selain itu,
meningkatnya kesuburan tumbuhan air dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan
pada waduk dan bendungan. (Anonim, 2014)

4. Kerusakan Tubuh Tanah


Dalam suatu agroekosistem, khusunya yang diolah sedemikian rupa untuk
memenuhi kebutuhan penduduknya (pertanian) pasti membutuhkan lahan untuk
mengelola sumber daya yang ada. Namun, akibat dari pertambahan penduduk yang
makin meningkat dari tahun ke tahun mengakibatkan penggunaan lahan untuk
pemukiman dan industri semakin besar sehingga lahan yang dulunya sebagai lahan
pertanian menjadi semakin sempit. Dan lagi lahan pertanian di Indonesia banyak pula
yang belum benar-benar dimanfaatkan untuk pertanian karena lahan tersebut berupa
lahan kritis dan gambut yang memerlukan perlakuan dan penanganan lebih apabila
dijadikan lahan untuk pertanian. Untuk lahan-lahan kritis, gambut, serta tanah kosong
yang tidak dimanfaatkan akhirnya dialihfungsikan untuk daerah pemukiman maupun
industri. (Anonim, 2014)

5. Ketergantungan Petani terhadap Pestisida, Pupuk Anorganik dan Varietas Unggul


Akibat petani yang mengintensifkan penggunaan pestisida untuk
menanggulangi serangan hama dan penyakit pada tanaman yang dibudidayakannya,
petani tersebut memiliki ketergantungan terhadap pestisida, karena minimnya
pengetahuan petani untuk memanfaatkan pestisida nabati yang aman serta memanfaatkan
musuh alami sesuai program PHT.

Petani pada masa Revolusi Hijau lebih mempercayakan pestisida untuk


memberantas hama dan penyakit yang menyerang karena pestisida tersebut bekerja
efektif dan langsung ke sasarannya. Begitupula dengan ketersediaan pupuk anorganik
untuk meningkatkan produksi pertanian, petani selalu melakukan pemupukan intensif
dengan pupuk anorganik bahkan terkesan berlebihan sehingga dalam usahataninya petani
sangat bergantung kepada ketersediaan pupuk anorganik.

Varietas unggul pun diperlukan sebagai modal untuk menghasilkan produksi


yang tinggi pada masa Revolusi Hijau sehingga tanpa varietas yang unggul, petani
merasa produksinya akan menurun dan tidak dapat menutupi biaya produksi sehingga
petani mengalami kerugian. (Anonim, 2014)

6. Munculnya Ketahanan (Resistensi) Hama terhadap Pestisida


Timbulnya ketahanan hama terhadap pemberian pestisida yang terus menerus,
merupakan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis. Munculnya
resistensi adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama
terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami,
spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu
yang digunakan petani.

Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan pestisida DDT, diketahui
muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500
spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.
(Anonim, 2014)

7. Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi
pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat
lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas
dan efesiensi pengendalian dengan pestisida. Resurgensi hama terjadi karena pestisida,
sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang
terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan
karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia
makanan dalam jumlah cukup.

Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk


mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih
baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali
alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya
populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan. (Anonim, 2014)

8. Ledakan Populasi Hama Sekunder


Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan
banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida
adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama
sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi
hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya
bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan
oleh terbunuhnya musuh alami, akibat penggunaan pestisida yang berspektrum luas.

Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran,
tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah
efektif mengendalikan populasi hama sekunder. Peristiwa terjadinya ledakan populasi
hama sekunder di Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan
persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida
Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning
Scirpophaga incertulas.

Penelitian dirumah kaca membuktikan, dengan menyemprotkan Dimecron pada


tanaman padi muda, hama ganjur dapat berkembang dengan baik, karena parasitoidnya
terbunuh. Munculnya hama wereng coklat Nilaparvata lugens setelah tahun 1973
mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia,
mungkin disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk
mengendalikan hama sundep dan weluk. (Anonim, 2014)

9. Perubahan iklim
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan
curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu panjang (50-100
tahun) dan disebabkan oleh kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan
pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan.

Pertanian Konvensional Menyumbang Terjadinya Perubahan Iklim Pertanian


konvensional yang intensif (baik dari sisi pemakaian mesin pertanian atau luas lahan)
memicu penebangan hutan untuk membuka lahan. Gundulnya hutan berarti hilangnya
bahan organik dari tanah. Padahal bahan organik berperan mengikat air dan menahan
laju penguapan. Tak heran lebih banyak terjadi kekeringan. Berkurangnya jumlah
vegetasi juga menurunkan kelembapan udara dan meningkatkan suhu udara. Produksi
pupuk dan pestisida kimia yang dipakai pertanian konvensional juga menghasilkan gas
rumah kaca yang merupakan salah satu pemicu terjadinya perubahan iklim. Sementara
aplikasinya pada lahan telah menurunkan kesuburan dan menyebabkan erosi tanah.

Fenomena perubahan iklim terkait pertanian, pertama, pergeseran atau


perubahan pola musim. Kini di hampir seluruh wilayah Indonesia, batas musim hujan
dan kemarau tak lagi jelas. Secara perlahan pergeseran ini mulai mengubah pola tanam.
Ini khususnya dirasakan daerah pertanian tadah hujan. Jika saat semai tak tepat, bisa jadi
benih tak akan tumbuh karena kekurangan air. pergeseran musim hujan dan kemarau
memengaruhi proses pembungaan tanaman. Ini bisa mengurangi hasil panen dan
ketersediaan benih untuk musim tanam berikutnya.

Kedua, terjadinya kenaikan suhu. Laporan terakhir dari Intergovernmental Panel


on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa dalam satu abad terakhir terjadi
kenaikan rata-rata suhu dunia sebesar 0,76° C. Diprediksikan, tahun 2050 akan terjadi
kenaikan sebesar 2° C. Kondisi ini menyebabkan banyak sumber air di pegunungan yang
mengairi sungai-sungai mengering. Kenaikan suhu juga menjadi ancaman serius bagi
petani, terkait dengan pola penyebaran hama dan penyakit. Karena kondisi lingkungan
menghangat, ada beberapa hama dan penyakit yang tadinya bukan ancaman serius bagi
pertanian, berubah menjadi sangat merusak. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Hama
penyakit yang dahulu ganas bisa berkurang serangannya karena perubahan suhu.

Ketiga, kekeringan berkepanjangan yang makin banyak terjadi. Kian


menipisnya ketersediaan air ini disebabkan oleh peningkatan evaporasi dan
evapotranspirasi akibat peningkatan suhu udara dan hilangnya vegetasi penutup tanah.
Selain itu juga disebabkan oleh curah hujan yang makin sedikit. Belakangan banyak
terjadi ketidakseimbangan jumlah air di musim kemarau dan musim hujan. Masyarakat
mengalami kekurangan air di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan. Banjir dan
kekeringan juga menyebabkan kegagalan panen.

PENUTUP

Agroekosistem merupakan suatu ekosistem alami yang telah dimodifikasi oleh


manusia untuk mempertahankan kehidupan dan tersusun makhluk hidup (biotik) dan
makhluk tak hidup (abiotik). Manusia, dalam hal ini memiliki peran penting yang
berperan sebagai petani, melakukan intervensi terhadap sistem lingkungan dengan tujuan
utama meningkatkan produktivitas sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Agroekositem memiliki manfaat dalam produktivitas primer sebagai penghasil
energi, aliran nutrisi dan daur nutrisi.
Permasalahan dalam agroekosistem antara lain degradasi lahan, kerusakan tubuh
tanah, pemupukan yang berlebihan, lahan pertanian yang semakin sempit,
ketergantungan terhadap pestisida, pupuk anorganik dan varietas unggul, munculnya
resistensi hama terhadap pestisida, resurgensi hama, dan ledakan hama skunder serta
terjadinya perubahan iklim.
Agroekosistem dapat dipandang sebagai sistem ekologi pada lingkungan pertanian.
Pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan lingkungan akibat
penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan masalah pertanian spesifik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. http://fp.uns.ac.id/~hamasains/ekotan%208.htm. Diakses 24 Januari 2014

Anonim. 2014. Pengertian agroekosistem. http://www.artikata.com/arti-318031-


agroekosistem.html. Diakses pada tanggal 22 januari 2014.

Anonim. 2014. Agroekosistem Tanaman Pangan. http://prasarekzambonk.blogspot.com


/2012/03/laporan-praktikum-lapang-dasar.html. Diakses pada tanggal 22 januari 2014.

Anonim. 2014. Karakteristik Zona Agroekosistem dan Kesesusaian Lahan.


http://iphect.blogspot.com/2012/11/karakteristik-zona-agroekosistem-dan.html. Diakses pada
tanggal 22 januari 2014.

Anonim. 2014. http://dinamuthmainnah.blogspot.com/2009/12/pencemaran-dan-kerusakan-


lingkungan.html. Diakses pada tanggal 22 januari 2014

Anonim. 2014. http://usitani.wordpress.com/2009/02/26/dampak-negatif-penggunaan-


pestisida/, Diakses pada tanggal 22 januari 2014

Anonim. 2014. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/09145/diny_dinarti.pdf. Diakses pada 22


Januari 2014

Anonim. 2014. http://fp.uns.ac.id/~hamasains/BAB%20VIIIdasgro.htm. Diakses pada 22


Januari 2014

Dra. D.A.. Pratiwi dkk. 2004. Biologi. Erlangga, Jakarta

Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung:


Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran.

Karyono, Tri Harso (2000), Teori Adaptasi dan Keberlakuannya Bagi Penentuan Suhu

Kurnia, Undang. 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Balai
penelitian tanah

Nyaman di Indonesia, Jurnal Kalang, Volume II, Nomor 1, Januari.

Mulyani, Sutedjo. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta

Rustiadi, Ernan, dkk, 2007, “Perencanaan dan Pengembangan Wilayah”, Crestpent Press,
P4W-LPPM IPB, Bogor

Suharta, N. Dan M. Soekardi. 1994. Potensi sumber daya lahan untuk pencetakan sawah
irigasi di lokasi PIADP Kalimantan dan Sulawesi. Risalah penelitian Potensi Sumber Daya
Pengembangan Lahan Untuk Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi

Kurnia, Undang. 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Balai
penelitian tanah.

Anda mungkin juga menyukai