APLIKASI BIOMANAJEMEN
Iwan Setiawan
Biomanajemen 17 Juni 2021
PENDAHULUAN
Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mengenal dan
membutuhkan pemukiman dalam arti luas (tempat bernaung dan infrastrukturnya). Mereka
membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan tanaman bahan makanan dan
bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya melalui berbagai pengalaman. Mereka
mengembangkan pertanian dengan membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman
musiman dan memberikan unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah
menghasilkan kemudian dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian
sangat tergantung alam (gangguan iklim, hama dan penyakit).
Semua aktivitas pertanian itu menyebabkan implikasi ekologi dalam ekosistem dan
mempengaruhi struktur dan fungsi biosfere. Pengelolaan lingkungan (sumberdaya alam)
menimbulkan beberapa persoalan, di antaranya berupa erosi tanah, pergantian iklim, pola
drainase dan pergantian dalam komponen biotik pada ekosistem.
KONSEP ARGOEKOSISTEM
1. 1. Pengertian Argoekosistem
Ada beberapa pendapat yang mengungkapkan tentang pengertian agroekosistem.
Ada yang berpendapat bahwa agroekosistem adalah sistem interaksi antara manusia
dengan lingkungan biofisik, sumber daya pedesaan, dan pertanian guna meningkatkan
kelangsungan hidup penduduknya. (Anonim, 2014).
Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan
lingkungannya.
Ekosistem adalah sistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang
terlibat dalam proses bersama (aliran energi dan siklus nutrisi).
Atas dasar itu, maka sebagaimana yang ditulis Rambo (1983) dalam Iskandar
(2009), untuk menganalisis agroekosistem perlu diarahkan pada proses interaksi antara
dua sistem yang menjadi penopang utama, yakni system sosial (social system) dan
ekosistem alam(natural ecosystem). Conway (1987) memperkenalkan kepada kita
tentang sistem properti yang penting untuk diperhatikan dalam setiap analisis
agroekosistem, yaitu: produktivity, stability, sustainability, dan equitability, dengan
kata lain keempat hal di atas merupakan empat aspek yang ada dalam agroekositem.
Dengan memperhatikan sistem property atau aspek ini, menurutnya, pengelolaan
agroekosistem dapat terkontrol sedemikian rupa sehingga bisa memberikan kontribusi
optimal pada sistem sosial tanpa harus menghancurkan ekosistem alam. Berangkat dari
gagasan Rambo dan Conway tersebut, setidaknya ada tiga komponen analisis penting
dalam sebuah agroekosistem, pertama: unsur-unsur yang menopang sistem produksi
atau sering disebut sebagai faktor produksi (modal, tenaga kerja, sumber daya fisik
dll); kedua model interaksi dari unsur-unsur penopang sistem (harmoni, disharmoni
atau gabungan antara keduanya); dan yang ketiga adalah arah dan kecenderungan
dari sistem (sustainabilitas, stabilitas, produktivitas dll).
Sementara itu, interaksi antara system sosial dan system natural dalam sebuah
agroekosistem juga saling memberikan pengaruh. Perubahan pada system natural akan
berpengaruh pada system sosial, dan sebaliknya perubahan dalam system sosial juga
akan memberikan pengaruh pada system natural. Contoh menarik untuk hal ini adalah
laporan Jacobson dan Adams (1953) tentang kemunduran kebudayaan Mesopotamia
yang diyakini terjadi akibat meningkatnya kadar garam pada kanal-kanal irigasi
mereka; dan laporan Drew (1983) tentang meningkatnya kerusakan ekosistem
pegunungan di Eropa sejak dipergunakannya alat-alat pertanian dari logam di sana.
Manusia telah mengubah ekosistem alam secara luas sejak mulai mengenal
pemukiman. Mereka membersihkan hutan dan lahan rumput untuk mengusahakan
tanaman bahan makanan dan bahan makanan ternak untuk dirinya dan ternaknya
melalui berbagai pengalaman. Mereka mengembangkan pertanian dengan
membersihkan tanah, membajaknya, menanam tanaman musiman dan memberikan
unsur-unsur yang diperlukan, seperti pupuk dan air. Setelah menghasilkan kemudian
dipanen. Sejak menebar benih sampai panen tanaman pertanian sangat tergantung alam,
gangguan iklim, hama dan penyakit.
Di samping cahaya dan suhu, sebagai pengendali produksi bersih dalam agro-
ekosistem adalah kelembaban tanah, nutrisi dan kompetisi baik intra/antar spesies.
Untuk lebih mendalami variasi produksi bahan kering kita perlu mengetahui beda
varietas dan kondisi lingkungan dengan analisis pertumbuhan (growth analysis) yaitu
dengan mendeterminasi :
1. Laju asimilasi per unit luas daun (NAR)
2. Laju produksi bahan kering per unit berat bagian tanaman (RGR)
3. Luas daun per unit luas lahan (LAI)
RGR menentukan produktivitas, nilai tertinggi pada fase vegetatif awal untuk
menuju NAR yang lebih besar. Tetapi NAR turun karena adanya peneduhan daun pada
puncak periode pertumbuhan vegetatif, RGR menunjukkan menurun tajam. Penurunan
RGR diimbangi dengan peningkatan LAI dan NPP. Pada waktu tanaman mendekati
masak, ukuran relatif akan turun dan juga efisiensi asimilasinya karena
adanya sheding dan senescence yang memungkinkan RGR turun dengan tajam juga
NPP.
Pada tanaman semusim yang merupakan dasar tanaman pertanian menunjukkan
produktivitas/kesatuan luas relatif rendah karena tanaman semusim hanya produktif
untuk masa kurang dari 6 bulan. Penanaman ganda dengan menggunakan 2 - 3 tanaman
yang produksinya sepanjang tahun dapat mendekati produktivitas kotor komunitas alam
yang terbaik.
Suatu perbandingan produktivitas primer bersih musiman komunitas terestrial
memperlihatkan sedikit lebih tinggi untuk tanah yang diusahakan. Lebih tingginya
produktivitas bersih di agroekosistem karena adanya tambahan masukan energi, nutrisi,
perbaikan genetika tanaman pertanian dan tindakan pengendalian serangga.
Menurut Singh (1974) dalam anonim, 2014. pada padi produksi bersih 5 - 60%
berbentuk jerami dan biji. Dalam agrosistem daerah sedang (temperate) lebih 50%
enersi yang dipanen, digunakan sebagai makanan ternak untuk produksi daging dan
susu (protein).
Di daerah tropika sebagian besar populasi manusia hidup dengan tingkat enersi
rendah sedang di daerah temperate, tinggi. Enersi yang masuk ke detritus food chain
10 - 15% dari produksi bersih.
Jerami dan daun jatuh ke tanah dan akar-akar merupakan sumber masukan
enersi kimia ke dalam subsistem tanah. Jumlah ini umumnya tidak mencukupi untuk
memelihara kesuburan tanah pada taraf optimum. Enersi yang masuk ke dalam
“detritus food chain” belum banyak diketahui sampai saat ini.
Dalam ekosistem terestrial sumber/mineral dari tanah, secara alami status nutrisi
dipelihara oleh adanya proses daun Biogeokimia.
Di dalam agroekosistem sebagian besar nutrisi terikut sebagai hasil panen dan
tidak kembali lagi secara alami sehingga diperlukan pemupukan. Karena itu daur yang
biasa terjadi terputus/asiklik
2. 3. Bentuk-bentuk Agroekosistem
Berdasarkan jenis sampai varietas tanaman yang ditanam, diantaranya:
a) Monokultur, yaitu satu jenis atau satu varietas tanaman saja yang di tanam dalam
agroekosistem
b) Polikultur, yaitu penanaman lebih dari satu jenis atau varietas tanaman dalam satu
kawasan agroekosistem. Meliputi: tumpang sari (Multiple cropping), tanam lajur
(Intercropping) dan tanam bergilir lebih dari satu jenis atau varietas tanaman
(alleycropping).
b) Persawahan
Sawah adalah pertanian yang dilaksanakan di tanah yang basah atau dengan
pengairan. Bersawah merupakan cara bertani yang lebih baik daripada cara yang lain,
bahkan merupakan cara yang sempurna karena tanah dipersiapkan lebih dahulu, yaitu
dengan dibajak, diairi secara teratur, dan dipupuk (Rustiadi, 2007).
Sawah bukaan baru dapat berasal dari lahan kering yang digenangi atau lahan
basah yang dijadikan sawah. Hara N, P, K, Ca, dan Mg merupakan pembatas
pertumbuhan dan hasil padi pada lahan sawah bukaan baru. Hara N, P dan K
merupakan pembatas pertumbuhan dan hasil padi pada ultisol (Widowati et al., 1997).
Lahan untuk sawah bukaan baru umumnya mempunyai status kesuburan tanah
yang rendah dan sangat rendah.Tanah-tanah di daerah bahan induknya volkan tetapi
umumnya volkan tua dengan perkembangan lanjut, oleh sebab itu miskin hara, dengan
kejenuhan basa rendah bahkan sangat rendah.Kandungan bahan organik, hara N, P, K
dan KTK umumnya rendah (Suharta dan Sukardi, 1994).
Padi (oryza sativa l) tumbuh baik di daerah tropis maupun sub- tropis.Untuk
padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi lahan tempat penanaman
sangat penting.Oleh karena air menggenang terus- menerus maka tanah sawah harus
memiliki kemampuan menahan air yang tinggi, seperti tanah yang lempung.
c) Ladang
d) Agriforestri (hutan tanaman)
Praktek agrikultur dengan intensitas rendah seperti perladangan berpindah,
pekarangan tradisional, talun, rotasi lahan, menyisakan banyak proses ekosistem alami
dan komposisi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Sistem dengan intensitas tinggi,
termasuk perkebunan modern yang seragam dan peternakan besar, mungkin merubah
ekosistem secara keseluruhan sehingga sedikit sekali biota dan keistimewaan bentang
alam sebelumnya yang tersisa (Karyono, 2000).
e) Kebun/pekarangan campuran
Pekarangan adalah areal tanah yang biasanya berdekatan dengan sebuah
bangunan. Lahan pekarangan beserta isinya merupakan satu kesatuan kehidupan yang
saling menguntungkan. Sebagian dari tanaman dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan
sebagian lagi untuk manusia, sedangkan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk
kandang untuk menyuburkan tanah pekarangan. Dengan demikian, hubungan antara
tanah, tanaman, hewan piaraan, ikan dan manusia sebagai unit-unit di pekarangan
merupakan satu kesatuan terpadu (Pratiwi, 2004).
1. Degradasi lahan
Degradasi lahan kering selama ini lebih tersorot pada kekeliruan pembukaan
dan pengelolaan lahan oleh perladangan berpindah. Sistem pembukaan lahan dengan
cara tebas-bakar (slash and burn) dan biasanya terletak pada lahan yang miring akan
mengawali terjadinya erosi. Kebiasaan membakar kayu dan ranting sisa pembukaan
lahan biasanya diteruskan oleh petani dengan membakar sisa tanaman. Bila pembakaran
dilakukan hanya sekali saja waktu pembukaan lahan tidak akan banyak merusak tanah,
tetapi pembakaran yang dilakukan berulang-ulang setiap musim akan lekas menurunkan
kadar bahan organik tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanah.
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah dan
kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut
umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk
pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran sifat-
sifat fisik dan kimia tanah.
Selain itu, unsur nitrogen yang terkandug di dalam pupuk dapat menyebabkan
terbentuknya larutan nitrit di dalam tanah. Larutan nitrit itu dapat meresap ke dalam
sumur penduduk yang berdekatan. Pemupukan yang berlebihan dan larut ke dalam air
juga dapat menyebabkan meningkatkan kesuburan sungai (eutrofikasi). Ganggang dan
tumbuhan sungai, misalnya eceng gondok, tumbuh dengan subur. Akibatnya hewan-
hewan air akan kekurangan oksigen sehingga mengalami kematian. Selain itu,
meningkatnya kesuburan tumbuhan air dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan
pada waduk dan bendungan. (Anonim, 2014)
Pada tahun 1947, dua tahun setelah penggunaan pestisida DDT, diketahui
muncul strain serangga yang resisten terhadap DDT. Saat ini, telah didata lebih dari 500
spesies serangga hama telah resisten terhadap berbagai jenis kelompok insektisida.
(Anonim, 2014)
7. Resurgensi Hama
Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi
pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat
lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas
dan efesiensi pengendalian dengan pestisida. Resurgensi hama terjadi karena pestisida,
sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang
terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan
karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia
makanan dalam jumlah cukup.
Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran,
tetapi juga membunuh serangga berguna, yang dalam keadaan normal secara alamiah
efektif mengendalikan populasi hama sekunder. Peristiwa terjadinya ledakan populasi
hama sekunder di Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan
persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida
Dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning
Scirpophaga incertulas.
9. Perubahan iklim
Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan
curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu panjang (50-100
tahun) dan disebabkan oleh kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan
pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan.
PENUTUP
Karyono, Tri Harso (2000), Teori Adaptasi dan Keberlakuannya Bagi Penentuan Suhu
Kurnia, Undang. 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Balai
penelitian tanah
Mulyani, Sutedjo. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Rustiadi, Ernan, dkk, 2007, “Perencanaan dan Pengembangan Wilayah”, Crestpent Press,
P4W-LPPM IPB, Bogor
Suharta, N. Dan M. Soekardi. 1994. Potensi sumber daya lahan untuk pencetakan sawah
irigasi di lokasi PIADP Kalimantan dan Sulawesi. Risalah penelitian Potensi Sumber Daya
Pengembangan Lahan Untuk Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi
Kurnia, Undang. 2004. Prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering. Balai
penelitian tanah.