175030400111035
2. Contoh transaksi yang dilakukan memenuhi legal form namun tidak mempunyai
substansi ekonomi
Salah satu kontrak bisnis internasional yang sering menjadi permasalahan adalah ketika
sebuah kontrak dikategorikan sebagai pemberian jasa dari luar negeri. Sebut saja dalam
sebuah kontrak dengan judul Management Support Service dengan pembayaran yang
dikenal sebagai Management Fee. Dalam kontrak terdapat materi terkait
penggunaan software dalam operasional sebuah perusahaan (penggunaan software tentu
akan menimbulkan perjanjian lisensi yang selanjutnya akan ada pembayaran royalti),
pengaturan mengenai kebijakan yang harus diambil terkait dengan kebijakan
kepegawaian, perekrutan pegawai, dan kebijakan terkait gaji karyawan termasuk juga
pengaturan cara pembukuan. Seluruhnya rinci dijelaskan seakan-akan mereka adalah
perusahaan asing tersebut yang menjadi pengatur seluruh operasional perusahaan, bahkan
pemilik seakan-akan tidak memiliki kekuatan dalam bertindak. Jika memang transaksi
berupa jasa, maka seharusnya yang terjadi adalah adanya peran aktif dari pemberi jasa
dalam menyelesaikan sesuatu. Namun hal yang terjadi disini adalah seakan-akan terdapat
proses imparting knowledge atas kebijakan-kebijakan yang seharusnya dijalankan sebuah
perusahaan agar mencapai tujuan utama sebuah perusahaan dan cenderung pasif.
Ketika ditemukan sebuah kontrak dengan berbagai nama yang digunakan oleh para pihak
maka yang perlu diperhatikan bukanlah judul kontraknya namun bentuk materiil dari apa
yang terjadi sesungguhnya. Konsep ini dikenal dengan substance over form. Konsep ini
telah diterima sebagai kebiasaan internasional yang kemudian menjadi sumber hukum
internasional sehingga setiap negara dapat menggunakan konsep ini untuk dapat
digunakan dalam mengakmodir kepentingan tertentu. Yang menjadi fokus adalah bentuk
substansi dari apa yang terjadi dalam kontrak tersebut. Ketika sebuah kontrak bernama
“services” atau dikenal dengan pemberian jasa maka perlu diperhatikan jasa seperti
apakah yang diberikan. Jika jasa yang diberikan berupa pengetahuan dari pengalaman-
pengalaman sebelumnya yang ternyata akan membuat sebuah perusahaan dapat
meningkatkan penghasilan, maka sudah jelas transaksi ini dapat dikategorikan sebagai
royalti atas know-how atau dalam tax treaty dikenal sebagai the use of or the right of
information concerning industrial, commercial, and scientific experience. Sehingga akan
ada hak pemotongan/pemungutan pajak dari negara sumber (Indonesia) dengan
pembatasan persentase tertentu.
Selain hal tersebut, jawaban lain yang akan penulis ungkapkan adalah karena ada satu
skema penghindaran pajak yang sering digunakan wajib pajak luar negeri dalam
memberikan jasa sehingga menjadi sebuah transaksi yang tidak dipajaki diseluruh
jurisdiksi. Sebut saja negara Singapura. Selain karena adanya penyempitan pengertian
Royalti dalam tax treaty Indonesia – Singapura, hukum domestik Singapura itu sendiri
menyatakan secara jelas bahwa atas setiap penghasilan dari pemberian jasa yang diterima
dari luar negeri akan dikecualikan dari pemajakan di Singapura. Demikian juga di
Indonesia, berdasarkan tax treaty Indonesia – Singapura sepanjang mengenai pemberian
jasa tidak melebihi time test dan melalui BUT maka Indonesia tidak berhak memajaki
dan harus melepaskan hak pemajakannya kepada negara Singapura.
Kemudian berdasarkan hukum domestik Singapura juga tidak akan dipajaki. Dari model
transaksi ini sebenarnya telah terjadi penyimpangan makna tax treaty yang pada mulanya
menghindari pemajakan berganda atau avoiding double taxation menjadi claiming double
non-taxation. Jika ingin menggunakan doktrin substance over form sebenarnya fiskus
dapat menerjemahkan skema transaksi management fee tersebut menjadi royalti sehingga
negara sumber (Indonesia) berhak untuk memajaki dengan pembatasan persentase
tertentu sesuai dengan tax treaty Indonesia – Singapura dan wajib pajak wajib melakukan
pemotongan atas transaksi tersebut dengan mengabaikan kontrak pemberian jasa yang
mereka miliki.
Ada suatu skema transaksi di mana sebuah perusahaan asing tidak dapat memanfaatkan
tarif tax treaty karena melakukan treaty abuse melalui salah satu contoh kasus yang
sering ditemukan sebagai berikut:
2. ABC Inc seharusnya dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% melalui pemotongan
pajak oleh pemotong pajak wajib pajak dalam negeri yaitu PT. XYZ.
6. Alamat ABC Inc dalam form DGT 1 berlokasi di negara bagian Maryland,
Amerika Serikat
8. Secara ringkas mungkin itu bukanlah suatu masalah, karena kedua alamat sama-
sama di Amerika Serikat jadi tax treaty Indonesia – Amerika Serikat masih dapat
diberlakukan. Namun ada satu kondisi di mana perbedaan alamat ini ternyata
mengakibatkan dampak yang krusial bagi penerimaan negara.
Sumber:
https://www.pajak.go.id/artikel/delaware-loophole-skema-penghindaran-pajak-di-
amerika-serikat-indonesia-rugi-apa
https://tirto.id/dugaan-adaro-menghindari-pajak-mengingatkan-pada-kasus-asian-agri-
edHZ
https://www.pajak.go.id/artikel/substance-over-form-doctrine-dalam-kontrak-bisnis-
internasional
https://www.coursehero.com/file/p4knaaf/Contoh-lain-dari-substansi-ekonomi-
adalah-transaksi-converting-note-Misalnya/