Anda di halaman 1dari 218

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tata kelola perusahaan (corporate governance) merupakan satu konsep

baru yang sampai saat ini belum tercapai kesepakatan bersama dalam

mengartikannya. Para ahli baik ahli ilmu hukum dan ahli ilmu ekonomi,

organisasi internasional maupun badan-badan yang dibentuk di beberapa negara,

serta komite-komite yang memfokuskan dalam menelaah corporate governance

memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai hakikat corporate

governance.1

Kesimpangsiuran mengenai hakikat corporate governance ini akan

diuraikan dengan meninjau hakikat dari masing-masing kata yang terdapat dalam

frasa corporate governance, yaitu corporate dan governance. Hakikat corporate

atau perusahaan yang menjadi objek dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yaitu tentang perusahaan sebagai badan

hukum dan entitas mandiri yang dilanjutkan dengan memahami hakikat

governance atau pengelolaan. Terdapat dua karakter definisi, yaitu corporate

governance sebagai suatu sistem dan corporate governance sebagai model

pengelolaan perusahaan.2

Meninjau hakikat corporate atau perusahaan akan langsung menuju

prinsip utama yang melekat pada perusahaan, yaitu prinsip perusahaan sebagai
1
Wahyu Kurniawan, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2012, hlm. 1
2
AC, Fernando, Corporate Governance: Principles, Policies, and Practice, Delhi:
Darling Kindersley, 2006, hlm. 9.
2

badan hukum dan prinsip perusahaan sebagai entitas hukum mandiri.3 Kedua

prinsip hukum yang melekat pada perusahaan merupakan konsep fundamental

dalam hukum perusahaan pada umumnya yang dikenal di hampir seluruh negara

termasuk dalam sistem hukum perusahaan Indonesia.4

Secara normatif, kedudukan perusahaan sebagai badan hukum dan entitas

hukum mandiri telah diatur dalam UUPT Tahun 2007. Perusahaan sebagai badan

hukum secara tegas diatur pada Pasal 1 angka 1 UUPT 2007 yang menyatakan:

“Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan


hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Sedangkan perusahaan sebagai entitas hukum mandiri tidak diatur secara

eksplisit dalam UUPT Tahun 2007, tetapi dapat ditemukan karakternya pada Pasal

3 ayat (1) yang menegaskan bahwa, “Pemegang saham perseroan tidak

bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan

dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang

dimiliki.” Kedua prinsip hukum tersebut seringkali disamaartikan antara satu

dengan lainnya meskipun pada kenyataannya mempunyai ruang lingkup yang

berbeda.

Hampir satu abad yang lalu, Arthur W. Marchen Jr. telah menyadari

adanya problematika terhadap kesimpangsiuran dari kedua prinsip hukum

tersebut.5 Oleh karena itu, Machen Jr. menjelaskan perbedaan antara perusahaan

3
Indra Bastian, Akutansi Sektor Publik, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 239.
4
Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, hlm 139.
5
Machen Jr., Arthur W., Corporate Personality, Harvard Law Review Vol. XXIV No. 4,
hlm. 258
3

sebagai badan hukum dan sebagai entitas hukum yang mandiri. Perusahaan

sebagai badan hukum menitikberatkan pada melekatnya hak-kewajiban-tanggung

jawab dalam diri perusahaan serta berkaitan dengan sejarah berdirinya suatu

badan hukum yang dilatarbelakangi oleh dua teori besar, yaitu teori fiksi dan teori

entitas natural. Hal ini berbeda dengan prinsip perusahaan sebagai entitas hukum

mandiri. Prinsip hukum ini lebih mengarah pada pemisahan harta dan tanggung

jawab antara perusahaan dengan pendiri atau pemegang saham. Kegunaan prinsip

hukum ini adalah menentukan secara tegas bagaimana kedudukan harta kekayaan

dan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham.6

Corporate Governance berkaitan erat dengan permasalahan yang timbul

dari pemisahan antara pemilik perusahaan dengan pengelola jalannya perusahaan.

Pada saat pemilikan perusahaan dipisahkan dengan pengelolanya, diperlukan

suatu sistem yang menjadi penengah dalam segala permasalahan, yaitu Corporate

Governance. Corporate Governance dapat memberikan jawaban kepada investor

berkaitan dengan investasi yang telah ditanamkannya pada perusahaan, yaitu

bagaimana para investor percaya bahwa pengurus perseroan dapat memberikan

keuntungan, bagaimana investor yakin bahwa para pengurus perseroan tidak akan

mencuri modalnya atau tidak melakukan kesalahan dalam mengelola modalnya,

dan bagaimana investor dapat mengontrol para pengurus perseroan.7

Sistem tata kelola perusahaan yang tertib dan terbuka ini, yang biasa

disebut dengan Good Corporate Governance (GCG), bahkan dipromosikan lebih

6
Wahyu Kurniawan, Op. Cit, hlm. 2-3
7
Badriyah Rifai Amirudin, Artikel Pendidikan Network ; Peran Komisaris Independen
dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan
Publik,http://researchengines.com/badriyahamirudin, terakhir diakses pada tanggal 1 Januari 2014.
4

lanjut oleh berbagai institut manajemen dan lembaga keuangan dunia seperti The

World Bank dan Asian Development Bank serta berbagai kalangan akademis di

dunia pendidikan. Pada saat ini hampir sebagian besar buku bacaan wajib dalam

bidang manajemen umum dan strategic management salah satu babnya akan

membahas masalah ini dan mereka menyarankan agar GCG mulai dijalankan oleh

perusahaan-perusahaan modern di dunia. Sistem tata kelola perusahaan yang baik

(Good Corporate Governance) merupakan jalinan keterikatan antara stakeholder

perusahaan yang digunakan untuk menetapkan dan mengawasi arah strategi dan

kinerja usaha suatu organisasi. Dalam prakteknya Good Corporate Governance

merupakan acuan tertulis (pedoman) mengenai kesepakatan antar para

stakeholders dalam mengidentifikasikan dan merumuskan keputusan-keputusan

strategis secara efektif dan terkoordinasi. Dengan bekal dari pedoman tersebut

maka dapat dibangun kepercayaan antara pemilik perusahaan dan para pengurus

perusahaan. Guna mengawasi lebih lanjut kinerja perusahaan dan menjaga

kepentingan para pemilik modal, maka pemilik perusahaan melalui Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS), mengangkat anggota komisaris untuk duduk dalam

Dewan Komisaris.

Menurut konsep Good Corporate Governance, perusahaan akan

memperoleh nilai perusahaan (value of the firm) yang maksimal apabila fungsi

dan tugas masing-masing pelaku organisasi bisnis yang modern dapat dipisahkan

dengan membentuk:
5

1. Board of Directors, dengan syarat mereka bekerja full time dan tidak

boleh merangkap pekerjaan. Mereka mengelola perusahaan melalui

berbagai keputusan managerial strategic perusahaan.

2. Board of Commisionners (BOC), meliputi komisaris biasa dan komisaris

independen serta berbagai komite yang dibentuknya. Fungsi utama BOC

adalah mengawasi arah kepengurusan dan jalannya perusahaan menurut

prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Langkah pertama dan utama untuk menciptakan Good Corporate

Governance (GCG) dalam suatu perusahaan adalah keberadaan dewan komisaris

yang berperan aktif, independen, dan konstruktif. Walaupun struktur dewan

komisaris di setiap negara berbeda, ada satu semangat yang sama untuk

menghindari adanya satu orang individu dalam komisaris yang memiliki

kekuasaan mutlak. Salah satunya dengan cara pengimbangan melalui keberadaan

Komisaris Independen. Dengan struktur tersebut, dewan komisaris diharapkan

dapat tetap independen terhadap kepentingan suatu kelompok tertentu terutama

terhadap pemegang saham pengendali. Dalam hal ini, Komisaris Independen

diharapkan dapat tetap berpegang pada kepentingan perusahaan secara

keseluruhan dan mempertimbangkan kepentingan semua stakeholders, misalnya

kepentingan pemegang saham minoritas, komunitas di lingkungan perusahaan

beroperasi, karyawan, dan pelanggan, dalam proses pengambilan keputusan-

keputusan dalam dewan. Dengan kata lain, mereka harus mendasarkan pada

nurani dan kemandirian. Kombinasi kemampuan dan pengalaman dewan


6

komisaris harus bersifat dinamis sesuai kebutuhan strategis dan kontekstual

perusahaan. Dewan komisaris sebaiknya terdiri atas individu-individu dengan

beragam pengalaman dan latar belakang, dan bila perlu dengan rentang usia yang

berbeda-beda, sehingga dapat tercipta suatu tim dengan kombinasi kemampuan

dan pengalaman kolektif yang solid.

Sentralisasi isu GCG didasari asumsi bahwa penyimpangan prinsip-prinsip

GCG yang terjadi pada perusahaan-perusahaan konglomerasi Indonesia telah ikut

memberikan kontribusi bagi terciptanya krisis ekonomi yang mulai terjadi sekitar

tahun 1997.

Asumsi tersebut sesuai dengan kenyataan tidak sedikit perusahaan


konglomerasi baik yang bergerak di sektor riil maupun jasa gulung tikar dan
harus masuk ke dalam Pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), sebagai akibat praktik-praktik penyimpangan prinsip-prinsip GCG,
menyebabkan ribuan orang termasuk para profesional kehilangan pekerjaan,
sehingga meningkatkan angka pengangguran.8

Salah satu perangkat yang dibutuhkan perusahaan dalam melaksanakan


kegiatan bisnis untuk bisa meningkatkan daya saingnya adalah Good
Corporate Governance. Perusahaan-perusahaan yang menjalankan Good
Corporate Governance secara baik dan berkelanjutan memiliki nilai lebih
bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum
menjalankan Good Corporate Governance.9

Buruknya penerapan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di

Indonesia mengakibatkan rendahnya minat investor asing untuk menanamkan

modalnya di Indonesia padahal masuknya modal ke Indonesia melalui investor

asing diharapkan menjadi salah satu altenatif untuk recovery ekonomi Indonesia.

8
Yusuf Faisal, Pedoman Praktis Dewan Komisaris, Komite Audit dan Sekretaris
Korporat Perusahaan Terbuka (Tbk.) & BUMN Plus Prinsip-Prinsip & Praktek Good Corporate
Governance, Jakarta: Institut Komisaris Perseroan Indonesia, 2002, hlm. 7
9
I Nyoman Tjager, Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada
BUMN, dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, diedit oleh Heru
Subiyantoro dan Singgih Riphat, Jakarta: Kompas, 2004, hlm. 43
7

Imbas dari penerapan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di

Indonesia diharapkan dapat menjadi salah satu jalan keluar dari krisis yang

berkepanjangan. Melalui penerapan prinsip-prinsip GCG diharapkan perusahaan-

perusahan konglomerasi yang sedang sakit bisa segera survive. Begitu pula

dengan perusahaan-perusahaan yang tidak masuk dalam program pengawasan dan

penyehatan, tetap bisa bertahan dan mempunyai daya saing yang tinggi dalam

dunia bisnis baik di kancah pergaulan global maupun domestik. Hal ini penting

karena keberadaan perusahaan mempunyai multiplyer effects, sehingga sangat

terkait dan mempengaruhi berbagai sektor khususnya di bidang ekonomi

masyarakat dalam lingkup yang luas. Terlebih jumlah perseroan terbatas yang

terdaftar di Indonesia saat ini sudah mencapai 23.941 perusahaan, dan setiap

harinya terus bertambah10. Sedangkan jumlah Badan Usaha Milik Negara yang

berbentuk persero saat ini berjumlah 12211.

Perhatian terhadap GCG sendiri terutama ditujukan pada PT Terbuka,

yang didasari pada pandangan bahwa GCG menjadi kebutuhan utama bagi PT

Terbuka untuk menjamin dan melindungi investor publik atas dana yang

dikeluarkannya untuk membeli saham perusahaan dari penyimpangan-

penyimpangan oleh pengurus perseroan atau pihak pengendali perusahaaan,

adalah asumsi yang dapat diterima, apalagi dilihat dari kepentingan untuk

menarik investor, dalam rangka pemulihan krisis.

10
Badan Pusat Statistik, Jumlah Perusahaan Industri Besar-Sedang 2008-2013 Menurut
Subsektor, diakses pada 1 Januari 2015.
11
Dianalisis berdasarkan data BUMN dengan klasifikasi Persero tidak termasuk Perum.
Lihat www.bumn.go.id diakses pada 1 Januari 2015.
8

Terkait pengelolaan PT di Indonesia, belum sepenuhnya mengedepankan

prinsip tata kelola yang baik meskipun UU No. 40 Tahun 2007 secara tersirat

mengatur perihal tata kelola perusahaan yang baik. Namun berdasarkan catatan

Asian Depelopment Bank mengenai nilai perkembangan Good Corporate

Governance (2014) di Indonesia hanya 54.55, relatif kalah dengan negara-negara

seperti Malaysia 71.69, Singapura 71.68, Thailand 75.39, Philipina 57.99 dan satu

tingkat di atas Vietnam 33.87. Berdasarkan catatan, Thailand memegang indeks

tertinggi penerapan Good Corporate Governance pada Tahun 2014.12 Kondisi ini

menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih rendah dalam menerapkan

Good Corporate Governance diantara negara-negara tetangga.13

Hal ini juga dikuatkan Etty Retno Wulandari, advisor senior Otoritas Jasa

Keuangan, yang menyatakan bahwa assessment terhadap corporate governance di

Indonesia masih belum memuaskan (data ROSC Corporate Governance 2004-

2009, CLSA-ACGA Assessment 2005-2012, ASEAN Scorecard 2013). 14 Laporan

ini mengindikasikan, jika Good Corporate Governance belum sepenuhnya

menjadi budaya pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, masih perlu dukungan

kuat pemerintah dan masyarakat guna menanamkan nilai budaya perusahaan yang

berpedoman pada Good Corporate Governance. Implementasi Good Corpoarate

12
Asian Development Bank, ASEAN corporate governance scorecard: Country reports
and assessments 2013–2014. Mandaluyong City, Philippines, Asian Development Bank, 2014,
hlm 3.
13
Penilaian dilakukan terhadap seluruh perseroan terbatas yang tercatat dan terdaftar pada
Kementerian Hukum dan HAM, namun hanya sebagain kecil saja yang benar-benar menerapkan
prinsip GCG, dan umumnya dilakukan oleh perseroan terbatas di bidang perbankan atau yang
sudah IPO dan Badan Usaha Milik Negara.
14
Seminar Transformasi Budaya Korporasi melalui Good Corporate Governance (GCG)
dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti, yang digelar oleh Fakultas Ekonomi Trisakti pada
Kamis , 11 Desember 2014.
9

Governance terus menjadi sorotan belakangan ini. Banyak kasus tindak korupsi

dan penyelewengan lainnya yang jelas menunjukan penerapan Good Corporate

Governance masih sebatas pemenuhan regulasi. Makna dan manfaat dari

implementasi Good Corpoarate Governance belum dipahami dengan benar oleh

para pelaku Good Corporate Governance baik korporasi, pemerintahan, maupun

lembaga publik.

Melihat beberapa masalah baik internal maupun eksternal perseroan, maka

selayaknya prinsip Good Corporate Governance harus dilaksanakan dan ada

ketentuan kuat untuk menerapkannya. Secara legal formal, ketentuan mengenai

prinsip GCG belum secara eksplisit diatur dalam UU PT, sementara untuk BUMN

prinsip tersebut diatur pelaksanaannya melalui peraturan menteri BUMN.

Permasalahannya adalah efektifitas dan kekuatan penerapannya yang masih

lemah. Bagi BUMN, penerapan GCG adalah kewajiban dalam upaya mewujudkan

tata kelola perusahaan yang baik, maka atas dasar itulah Menteri BUMN

mengeluarkan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/2011

tentang penerapan GCG pada BUMN.

Lemahnya penerapan GCG di Indonesia juga memiliki kaitan dengan

lemahnya penerapan prinsip Good Goverment Governance (GGG), karena ada

sinergi antara GCG dan GGG. Jika penerapan GGG baik tentu akan ada tekanan

pada penerapan GCG yang baik pula, dan sebaliknya jika GGG lemah, maka

penerapan GCG juga akan lemah. Intinya adalah penekanan pada penerapan

prinsip GGG di lingkungan birokrasi yang baik akan menimbulkan efek terhadap

perapan GCG yang baik pada perseroan terbatas. Data yang dirilis Transparency
10

International masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan indeks Good

Governance diurutan ke-34 pada Tahun 2014.15

Atas dasar itu penting untuk mengubah tata aturan yang selama ini

mengatur perseroan terbatas menjadi lebih kongkret dan memberikan penekanan

yang kuat agar dapat lebih optimal dalam menerapkan prinsip Good Corporate

Governance. Penerapan ini tentu akan berdampak positif terhadap perkembangan

indeks penerapan Good Corporate Governance pada khususnya, serta secara

umum pada peningkatan pembangunan perekonomian oleh perseroan terbatas

yang menjadi motor penggerak.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti

perihal prinsip Good Corporate Governance tersebut dalam bentuk disertasi

dengan judul, “Rekonstruksi Pengaturan Prinsip Good Corporate

Governance Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Berbasis Nilai

Keadilan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas,

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance dalam

pengelolaan perseroan terbatas saat ini?

2. Apa problematika pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance

dalam pengelolaan perseroan terbatas saat ini?

15
Transparancy International, Corruption Perseption Indeks 2014, www.tranparency.org
diakses 5 Juli 2015.
11

3. Bagaimana rekonstruksi pengaturan prinsip Good Corporate

Governance dalam pengelolaan perseroan terbatas yang berbasis nilai

keadilan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance

dalam pengelolaan perseroan terbatas saat ini.

2. Untuk mengkaji problematika pelaksanaan prinsip Good Corporate

Governance dalam pengelolaan perseroan terbatas saat ini.

3. Untuk mengkaji dan menemukan rekonstruksi pengaturan prinsip Good

Corporate Governance dalam pengelolaan perseroan terbatas yang

berbasis nilai keadilan dan hukum progresif.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perusahaan

khususnya tentang analisis yuridis terhadap prinsip good corporate

governance dalam pengelolaan perseroan terbatas berbasis nilai keadilan

hukum progresif dan menjadi tambahan pustaka bagi siapa saja yang ingin

meneliti lebih dalam mengenai permasalahan ini.


12

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang

sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan

khususnya tentang implementasi terhadap prinsip good corporate

governance dalam pengelolaan perseroan terbatas berbasis nilai keadilan

hukum progresif.

a. Manfaat Bagi Penegak Hukum

Bagi penegak hukum, penerapan prinsip GCG dapat menjadi

acuan dalam rangka menegakkan keadilan bagi jalannya tata kelola

perusahaan yang baik dengan menekankan prinsip hukum progresif

dalam setiap tindakan yang dilakukan penegak hukum.

b. Manfaat Bagi Eksekutif

Bagi eksekutif yang menjalankan prinsip GCG dapat

meminimalisir malpraktik pengelolaan perusahaan agar sesuai dengan

tujuan perusahaan dan bermanfaat bagi terciptanya tujuan pembangunan

perekonomian nasional melalui penguatan perusahaan.

c. Manfaat Bagi Masyarakat

Penerapan GCG bertujuan memberikan jaminan pada masyarakat

yang turut serta dalam proses pembangunan ekonomi melalui

keikutsertaan dalam praktik bisnis, sehingga menciptakan kepercayaan

dan daya saing kuat di tengah pelaku bisnis.


13

E. Kerangka Teori

1. Pengertian dan Konsep Corporate Governance

Corporate governance merupakan suatu permasalahan yang tidak

pernah usang untuk terus dikaji oleh semua pelaku bisnis, akademisi,

pembuat kebijakan dan lain sebagainya. Pemahaman tentang praktik

corporate governance terus berevolusi dari waktu ke waktu. Kajian mengenai

corporate governance mulai disinggung untuk pertama kalinya oleh Berle

dan Means pada tahun 1932 ketika mereka membuat sebuah buku yang

menganalisis terpisahnya kepemilikan saham (ownership) dan kontrol.

Pemisahan saham dan kontrol tersebut menyebabkan timbulnya suatu konflik

kepentingan antara para pemegang saham dengan pihak manajemen dalam

struktur kepemilikan perusahaan yang tersebar (dispersed ownership).16

Pada akhir tahun 1980-an sudah mulai banyak kesimpulan yang

menyatakan bahwa struktur kepemilikan dalam bentuk dispersed ownership

dapat memberikan dampak bagi buruknya kinerja manajemen.17 Untuk

pertama kalinya, pada tahun 1992 usaha untuk melembagakan corporate

governance dilakukan oleh Bank of England dan London Stock Exchange

dengan membentuk Cadbury Committee (Komite Cadbury), yang bertugas

menyusun corporate governance code yang menjadi acuan utama

(banchmark) di banyak negara.18

16
H. Kent Baker, Ronald Anderson, Corporate Governance, A synthesis of Theory,
Research and Practice, New Jersey: John Wiley and Sons Inc, 2010, hlm. 176.
17
Stilpon Nestor dan John K. Thompson, Corporate Governance Patterns in OECD
Economics: Is Convergence Under Way, Makalah disampaikan pada Seminar Corporate
Governance in Asia: A Comparative Perspective, t.t., hlm. 37
18
Kesho Prasad, Corporate Governance, New Delhi: PHI Learning Private Limited,
2011, hlm. 97.
14

Komite Cadbury mendefinisikan corporate governance sebagai:19

“Corporate governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan


mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara
kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk
menjamin kelangsungan eksistensi dan pertanggungjawabannya kepada
stakeholders. Hal ini berkaitan erat dengan peraturan kewenangan
pemilik, direktur, manajer, pemegang saham dan sebagainya”.

Sedangkan OECD mendefinisikan corporate governance sebagai:20

“Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board,


pemegang saham dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan
perusahaan. Corporate governance yang baik dapat memberikan
rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang
merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus
memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong
perusahaan menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”.

Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-

117/M-MBU/2002, corporate governance adalah:

“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika”.

Menurut Price Waterhouse Coopers:21

“Corporate governance sangat terkait dengan pengambilan suatu


keputusan yang efektif. Corporate governance dibangun melalui suatu
kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-
kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai
bisnis yang menguntungkan, efisien dan efektif dalam mengelola risiko
dan bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan
stakeholders”.

19
Komite Cadbury, The Business Roundtable, Statement on Corporate Governance,
Washington DC, 1997, hlm. 1
20
Iman Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate
Governance (GCG), Cet. I, Jakarta: Harvarindo, 2002, hlm. 2
21
Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good
Corporate Governance, Cet. 2, Jakarta: Program Pascasarjana FH UI, 2002, hlm. 37
15

Selain empat definisi mengenai corporate governance di atas, masih

terdapat definisi-definisi lain. Stijn Claessens22 menyatakan “bahwa,

pengertian corporate governance dapat dimasukkan ke dalam dua kategori”.

Kategori pertama, corporate governance lebih condong pada serangkaian

pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur

pembiayaan, perlakuan terhadap para pemegang saham dan stakeholders.

Kategori kedua, corporate governance lebih melihat pada kerangka secara

normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem hukum,

sistem peradilan, pasar keuangan dan sebagainya yang memengaruhi perilaku

perusahaan.

Kategori pertama akan sangat cocok untuk dijadikan dasar analisis

dalam mengkaji corporate governance di satu negara, misalnya melihat

bagaimana Dewan Direksi memenuhi transparansi dan akuntabilitas dalam

pengambilan keputusan, bagaimana menentukan kompensasi yang layak bagi

executive perusahaan, bagaimana korelasi antara kebijakan tentang buruh dan

kinerja perusahaan. Sedangkan kategori kedua dijadikan dasar analisis dalam

mengkaji corporate governance secara komparatif, misalnya melihat

bagaimana berbagai perbedaan dalam kerangka normatif yang dibangun akan

memengaruhi pola perilaku perusahaan, investor dan lainnya.

Banyak upaya telah dilakukan untuk menyusun, mengelaborasi, dan

bahkan menyempurnakan aturan seputar corporate governance yang

dituangkan dalam berbagai regulasi. Banyak negara telah membuat dan


22
Stijn Claessens, Corporate Governance and Development Focus 1, Makalah
disampaikan pada Global Corporate Goverance Forum, 2003, hlm. 4
16

memperluas cakupan aturan hukum corporate governance, bahkan

mengadopsinya langsung dari negara-negara maju. Selain upaya-upaya dari

banyak negara seperti di atas, ada pula inisiatif yang datang dari lembaga

semacam OECD yang mengeluarkan beberapa prinsip mendasar tentang

corporate governance. Survei terakhir menunjukkan ratusan kaidah-kaidah

corporate governance telah diadopsi oleh berbagai lembaga.23

Masalah pelaksanaan hukum kontrak secara jelas merupakan isu yang

jauh lebih penting dari sekadar kita bicara tentang corporate governance.

Pelaksanaan hukum kontrak merupakan masalah umum yang memengaruhi

aspek corporate governance secara khusus. Douglas North (1991)

mengatakan “how effectively agreements are enforced is the single most

important determinant of economic performance”.24

Hasil riset terkini juga mendukung hal tersebut, yang menyebutkan

bahwa pelaksanaan (enforcement) terhadap hukum adalah ciri yang

membedakan antara negara maju dengan negara yang sedang berkembang.

Lebih dalam lagi, beberapa analisis oleh para ahli menyebutkan kemajuan

pembangunan suatu negara dipengaruhi oleh seberapa kuat perlindungan

terhadap hak milik pribadi.

Defond dan Hung yang telah banyak melakukan studi di berbagai

negara, menemukan bahwa penegakan hukum jauh lebih penting ketimbang

aturan-aturan yang dibuat ketika menjelaskan masalah penggantian CEO


23
OECD, Corporate Governance of Stated Owned Enterprises, t.t: OECD Publishing,
2005, hlm, 181.
24
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance,
Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha, Jakarta: LKPMK FH UI, 2006,
hlm. 116
17

perusahaan. Bukti empiris juga menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-

kasus seputar insider trading jauh lebih berguna bagi pengembangan industri

pasar modal ketimbang hanya membuat aturannya saja. Penegakan hukum

yang lemah ini memengaruhi pola kontrol dan ownership perusahaan-

perusahaan di suatu negara. Hal tersebut juga akan memengaruhi fungsi dan

mekanisme corporate governance yang ada, seperti self enforcement, auditor,

media dan social control dan lain sebagainya. Kelemahan hal-hal tersebut di

atas direspon corporate governance sebagai high concentration

ownership”.25

Suatu sistem corporate governance yang menyoroti aspek tingginya

tingkat konsentrasi ownership dimiliki hampir di semua negara berkembang

maupun yang sedang dalam masa transisi. Tingginya konsentrasi ownership

tersebut memiliki social cost baik pada tingkat perusahaan maupun pada

tingkat negara. Pada tingkat perusahaan, beban cost tersebut menyangkut

eksploitasi yang dilakukan oleh manajer dan pemilik perusahaan, kinerja

perusahaan yang buruk, rendahnya pengelolaan risiko, dan masalah likuiditas

yang mempersulit perdagangan saham oleh para investor. Pada tingkat

negara, beban cost yang dihadapi adalah tidak berkembangnya industri pasar

modal. Struktur kepemilikan juga dapat memengaruhi keefektifan

mekanisme-mekanisme dari corporate governance yang ada.

Kelemahan dari mekanisme-mekanisme tersebut tidak hanya

mengandalkan perbaikan hukum dan regulasi. Mengadopsi seluruh standar

25
Ibid
18

corporate governance dari negara-negara maju mungkin saja dapat

mengurangi keinginan para investor untuk menjadi pengendali. Tetapi,

pengadopsian standar-standar tersebut, tanpa melalui debat publik dan

adaptasi yang cukup justru membuat pelaksanaannya menjadi tidak efektif.

Berkaitan dengan kondisi di atas, negara-negara berkembang dan

negara-negara yang sedang dalam masa transisi pasca krisis diharuskan

memiliki kemampuan dalam memfungsikan dan mereformasi implementasi

dari mekanisme-mekanisme corporate governance yang sudah dimiliki,

dengan masih dibayang-bayangi lemahnya institusi pengadilan dan lembaga

enforcement yang ada. Tantangan yang dihadapi bukan bagaimana

mengurangi konsentrasi kepemilikan, tetapi bagaimana memperkecil social

dan economic cost yang kerap kali timbul akibat struktur kepemilikan

perusahaan.

2. Prinsip Good Corporate Governance Dalam Tata Kelola Perusahaan


Yang Baik.

Dalam dunia usaha, dikenal prinsip Good Corporate Governance

(GCG) yang harus diikuti oleh seganap perseroan guna terwujudnya tata

kelola perusahaan yang baik. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa

asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran

perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,

independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai


19

kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan

pemangku kepentingan (stakeholders).

Terdapat lima prinsip dalam GCG yang diuraikan sebagai berikut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency)

Prinsip Dasar tranparansi adalah untuk menjaga obyektivitas

dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi

yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan

dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil

inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan

oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku

kepentingan lainnya.

Terdapat Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip transparansi

dalam CGC, sebagai berikut;

1) Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu,

memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta

mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan

haknya.

2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi tidak

terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan,

kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus,

pemegang saham pengendali, kepemilikan saham oleh anggota

Direksi dan anggota Dewan Komisaris beserta anggota


20

keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem

manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian

internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat

kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat mempengaruhi

kondisi perusahaan.

3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak

mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan

kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

4) Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional

dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.

Prinsip transparansi ini sendiri juga merupakan salah satu prinsip

tertua dalam bidang hukum perusahaan. Penerapan prinsip ini pada

umumnya ditujukan untuk menghindari berbagai kemungkinan buruk

akibat kurang terbukanya perusahaan terhadap para pemegang saham,

seperti adanya suatu pernyataan yang menyesatkan, sistem akuntansi

yang buruk dan penyalahgunaan informasi keuangan.26

Penerapan prinsip transparansi ini bertujuan untuk mereduksi

penyalahgunaan wewenang oleh direksi atau komisaris, akan lebih

memudahkan pengawasan bagi tindakan-tindakan yang diambil oleh

para anggota direksi dan komisaris. Perusahaan akan terikat kewajiban

untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan kinerjanya

26
Bisman Nasution, Prinsip Keterbukaan Dalam Good Corporate Governance, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 6, 2003, hlm. 6
21

selama ini. Transparansi ini tidak hanya untuk mengenai laporan

keuangan, yang sudah merupakan suatu hal yang biasa, melainkan juga

untuk mengetahui informasi mengenai manajemen perusahaan dan

berbagai transaksi bisnis yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut

selama ini.

Meski demikian, transparansi informasi tidak bersifat absolut.

Karena tetap ada pembatasan-pembatasan mengenai informasi apa saja

yang dapat diberikan. Mengingat pemberian informasi yang berlebihan

akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi perusahaan. Pembatasan ini

biasanya dikaitkan dengan 2 hal, yaitu siapa saja yang berhak mengakses

informasi dan jenis informasi apa saja yang dapat dikeluarkan.

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip Dasar dari penerapan prinsip akuntabilitas adalah

perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,

terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap

memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku

kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan

untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Terdapat Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip akuntabilitas

dalam CGC, sebagai berikut;


22

1). Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung

jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan

secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan

(corporate values),dan strategi perusahaan.

2). Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan

dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan

tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

3). Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian

internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan.

4). Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran

perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan,

serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and

punishment system).

5). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap

organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada

etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct)yang telah

disepakati.

Pelaksanaan prinsip akuntabilitas ini sendiri dapat didasarkan

pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit

yang sehat. Prinsip akuntabilitas dapat dicapai melalui pengawasan yang

efektif didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara pemegang

saham, komisaris dan direksi. Praktik audit yang sehat dan independen

akan sangat diperlukan untuk menunjang akuntabilitas suatu perusahaan


23

dan hal tersebut nantinya dapat dilakukan dengan mengefektifkan

peranan komite audit.27

Prinsip akuntabilitas berkaitan erat dengan prinsip transparansi,

karena dengan adanya prinsip akuntabilitas, segala informasi material

yang telah diberikan dapat diolah sedemikian rupa sehingga dihasilkan

bahan yang komprehensif dalam melakukan pengawasan terhadap

kinerja suatu perusahaan. Prinsip akuntabilitas ini juga turut mendukung

keberadaan doktrin fiduciary duties yang pada dasarnya memberikan

konsep normatif mengenai wewenang dan tanggung jawab direksi dan

komisaris dalam menjalankan perusahaan, sehingga doktrin fiduciary

duties tersebut dapat dimplmenetasikan secara konkret.

c. Prinsip Tanggung-Jawab/ Resposibilitas (Responsibility)

Prinsip Dasar dari penerapan prinsip responsibilitas adalah

perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan

sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka

panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

Terdapat Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip responsibilitas

dalam CGC, sebagai berikut;

27
Sofyan A. Djalil, http://www.nccg-indonesia.org diakses pada Taggal 5 Januari 2015.
24

1) Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian

dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws).

2) Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan

antara lain peduliterhadap masyarakat dan kelestarian

lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat

perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.

d. Prinsip Independensi (Independency)

Prinsip Dasar dari penerapan prinsip independensi adalah Untuk

melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola

secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak

saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip independensi adalah sebagai

berikut:

1) Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya

dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh

kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict

of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga

pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

2) Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan

fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan


25

peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan

atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.

e. Prinsip Keadilan/ Kesetaraan (Fairness)

Prinsip Dasar dari penerapan prinsip kewajaran dan kesetaraan

adalah dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa

memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku

kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Pedoman pokok pelaksanaan prinsip kewajaran dan kesetaraan adalah

sebagai berikut:

1) Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku

kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan

pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses

terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam

lingkup kedudukan masing-masing.

2) Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan

wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat

dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.

3) Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam

penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya

secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras,

golongan, gender, dan kondisi fisik.


26

Secara umum, penerapan prinsip Good Corporate Governance yang

konkret, memiliki tujuan terhadap perusahaan sebagai berikut:28

a. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing;

b. Mendapatkan cost of capital yang lebih murah;

c. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja

ekonomi perusahaan;

d. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholder terhadap

perusahaan;

e. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum”.

Melalui pemenuhan kepentingan yang seimbang, benturan

kepentingan yang terjadi di dalam perusahaan dapat diarahkan dan dikontrol

sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan timbulnya kerugian bagi suatu

perusahaan. Berbagai macam korelasi antara implementasi prinsip-prinsip

GCG di dalam suatu perusahaan dengan kepentingan para pemegang saham,

kreditor, manajemen perusahaan, karyawan perusahaan dan tentunya para

anggota masyarakat, merupakan indikator tercapainya keseimbangan

kepentingan.

Penelitian McKinsey menunjukkan bahwa pada saat melakukan joint

venture, perusahaan asing yang akan menjalankan usaha di Indonesia,

senantiasa melakukan evaluasi terhadap mitra kerjanya (partner) melalui

kualifikasi penerapan GCG oleh perusahaan tersebut, di luar laporan

keuangan dan kinerja perusahaan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa

para calon investor sangat peduli dengan prinsip-prinsip GCG dan


28
I Nyoman Tjager, Op. Cit., 2004, hlm. 574
27

memperhitungkan calon-calon penerima modalnya berdasarkan penerapan

prinsip GCG dalam perusahaan mereka.

3. Etika Bisnis dan Perilaku Good Corporate Governance

Selain prinsip GCG, tata kelola perusahaan harus juga menjunjung

tinggi etika bisnis dan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka

panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh

karena itu diperlukan pedoman perilaku yang dapat menjadi acuan bagi organ

perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan

etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.

Hal-hal yang harus dimiliki oleh perusahaan terkait pelaksanaan etika

bisnis ini adalah:

a. Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan yang

menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan

usahanya.

b. Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan

usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang

disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan

etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya

perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.

c. Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan

dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat

dipahami dan diterapkan.


28

d. Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai

visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan

nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan.

e. Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal,

namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor

usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing

perusahaan.

f. Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya,

adil dan jujur.

b. Etika Bisnis dan Perilaku Good Corporate Governance

Berbicara tentang etika tentu tidak lepas dari pandangan orang

tentang perilaku. Perilaku dapat dinilai baik atau tidak baik, khususnya dalam

hubungannya dengan manusia, sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang

diyakini dan berkembang di lingkungannya. Sesungguhnya etika juga berlaku

bukan hanya dalam hubungannya dengan manusia, akan tetapi bisa juga

terkait hubungan dengan lingkungan alam sekitarnya, yaitu bagaimana

manusia mengelola lingkungan alam sekitarnya, agar dapat diberdayakan

dengan memberikan manfaat bagi masyarakat banyak dengan tetap

memperhitungkan lingkungan yang dapat memberikan manfaat secara

berkelanjutan, dan tidak merugikan masyarakat atas perlakuan tersebut.

Dalam dunia bisnis terdapat lima bentuk mitos tentang etika bisnis,

yang menggambarkan keterkaitan tingkah laku bisnis dengan moral.29

29
Bambang Rudito dan Melia Farmiola, Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial
Perusahaan di Indonesia, Bandung, Rekayasa Sains, 2007, hlm. 28.
29

a. Mitos pertama, menyatakan bahwa etika bersifat personal,

kebebasan individu bukan sesuatu yang bersifat umum dan tidak

untuk diperdebatkan. Mitos ini mengacu pada sifat personal atau

keyakinan agama, dan ini adalah suatu pilihan apakah yang

dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk.

b. Mitos kedua, menyatakan bahwa bisnis dan etika jangan disatukan

atau dicampuradukkan. Dalam mitos ini dikatakan bahwa bisnis

pada dasarnya suatu tindakan yang amoral, sebab aktivitas bisnis

berada pada pasar bebas, mitos ini didasari pada pemikiran logika

dan sama sekali tidak terkait dengan masalah agama atau bahkan

etika dan prinsip-prinsip dasar.

c. Mitos ketiga, menyatakan bahwa etika dalam bisnis adalah

berhubungan. Mitos ini adalah salah satu dari mitos yang paling

populer, dan ini dipegang sebagai dasar bahwa tidak ada cara yang

diyakini benar atau salah. Benar atau salah tergantung dari

kacamata yang menyatakannya atau yang terlibat.

d. Mitos keempat, menyatakan bahwa bisnis yang baik berarti

mempunyai etika yang baik. Alasan dari pernyataan ini bahwa

sebuah perusahaan akan selalun menjaga kesan sebuah

perusahaan yang baik, menerapkan keadilan dan mempunyai

perjanjian kerjasama yang baik dengan pelanggan maupun

dengan karyawan untuk mendapatkan keuntungan yang

terlegitimasi, legal, sehingga secara tidak langsung sebuah


30

perusahaan yang bekerja dengan baik otomatis mempunyai etika

yang baik.

e. Mitos kelima, menyatakan bahwa informasi dan perhitungan adalah

sesuatu yang amoral. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa

informasi dan perhitungan pada dasarnya berada pada area kelabu

(grey area). Ini menggambarkan bahwa pilihan tindakan yang

dilakukan oleh sebuah perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya

mengacu pada areal tengah antara oposisi yang kembar (binary

opposition) dimana sisi kiri adalah buruk dan sisi kanan adalah

baik, dan perusahaan akan memilih keadaan di tengah antara baik

dan buruk.

Terkait dengan mitos yang mana yang akan diyakini, tidak lepas dari

pribadi manusia masing- masing. Setiap pribadi manusia tentu memiliki hati

nurani. Hati nurani dimaksudkan sebagai peghayatan tentang baik atau buruk

berhubungan dengan tingkah laku. Menurut Bertens hati nurani akan

memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu, yang

berhubungan dengan sesuatu yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati

nurani berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati

martabat terdalam kita.30

Lebih lanjut dijelaskan oleh Bertens, hati nurani berkaitan erat dengan

kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran, yaitu kesanggupan

manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang

dirinya. Oleh karena itu untuk menentukan bagaimana posisi etika dalam
30
Robert K. Bartens, Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 25.
31

bisnis, tidak lepas dari kepribadian masing-masing orang, karena hati nurani

memainkan beberapa peran, baik perasaan, kehendak, maupun rasio, yang

pada akhirnya terjadinya kasus-kasus yang berawal dari tingkah laku yang

tidak bermoral. Ada tiga alasan mengapa orang memilih tindakan-tindakan

tidak etis yaitu:31

a. Orang akan berbuat apa yang paling leluasa bisa diperbuatnya.

Orang cenderung melakukan hal-hal yang dianggap mudah,

dianggap hal kecil atau sepele, walaupun pada akhirnya menyadari

bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan diri sendiri maupun

orang lain.

b. Orang akan berbuat demi suatu kemenangan. Dalam dunia bisnis,

persaingan tidak dapat dihindari, bahkan harus hadapi, untuk

membuktikan akan kemampuan beradaptasi terhadap terjadinya

suatu perubahan lingkungan. Untuk memperoleh kemenangan

seringkali dilakukan dengan melakukan perbuatan yang tidak etis.

Seakan-akan kemenangan hanya dapat dicapai dengan tindakan

yang tidak etis.

c. Orang selalu mencoba merasionalisasikan pilihan-pilihannya

dengan relativisme. Kecenderungan orang untuk bersikap

longgar terhadap diri sendiri, menilai diri sendiri menurut nilai-

nilai baiknya, tetapi mengukur orang lain dari tindakan-tindakan

terburuk. Setiap orang seakan-akan memiliki standar yang

ditentukan sendiri, yang dianggap baik dan benar.


31
Babang Rudito, Op., Cit, hlm 45.
32

Aktivitas bisnis yang dilakukan dengan penuh tanggun jawab, akan

tercermin melalui keputusan-keputusan bisnis yang dilakukan oleh para

pelaku bisnis, didalam memainkan perannya.

Perusahaan sebagai suatu organisasi tentu tidak dapat melaksanakan

aktivitasnya tanpa keterlibatan dengan lingkungan, termasuk dalam hal ini

meliputi tiga elemen, yaitu pemerintah, swasta dan komunitas. Menurut

Rachman, Kondisi komunitas yang baik akan menciptakan daya saing bagi

perusahaan, dapat membuat keputusan (judgement), mana karena dengan

kondisi komunitas yang baik, yang baik dan harus dilakukan atau mana

yang buruk dan tidak boleh dilakukan.32

Pelaku bisnis secara personal hendaknya memiliki kemampuan

kepribadian untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan.

Dengan mengedepankan etika bisnis, tidak akan menyebabkan kerugian bagi

aktivitas bisnis yang dilakukan, bahkan sebaliknya dalam pranata sosial

komunitas akan memunculkan kepercayaan yang memiliki kekuatan nilai

yang lebih berarti. Dalam kenyataannya masih sering kita dengar

pemberitaan melalui media massa, tercermin kemampuan perusahaan dalam

menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan upah yang tinggi, membangun

kesejahteraan, membeli produk lokal dan membayar pajak. Lebih lanjut dikat

akan isu-isu sosial dapat mempengaruhi daya saing perusahaan, diantaranya:

a) keselamatan kerja; b) kesetaraan gender; c) kesehatan pekerja; d)

penggunaan air; e) penggunaan energi; f) dampak lingkungan; g) kemiskinan

32
M Nurdizal Rachman, Panduan Lengkap Perencanaan CSR, Jakarta, Penerbit
Swadaya, 2011, hlm. 87.
33

pada komunitas sekitar perusahaan; h) ketrampilan dan pendiidkan pekerja.

Kepada siapa perusahaan lebih memperhatikan atau fokus pada elemen

tertentu, sangat tergantung pada ketentuan-ketentuan serta kondisi yang ada.

Di Indonesia, peran pemerintah sebagai bagian dari stakeholder sangat lah

dominan. Hal ini disebabkan karena kondisi kemajemukan yang ada. Suku

bangsa, agama, latar belakang pendidikan yang beragam, perbedaan budaya

dengan sistem hubungan sosial yang berbeda, pada akhirnya juga akan

mempengaruhi hubungan sosial antara perusahaan dengan lingkungan.

Wujud hubungan perusahaan dengan stakeholder dapat digambarkan sebagai

berikut:33

HUBUNGAN PERUSAHAAN DAN STAKEHOLDERS

Sumber Daya Manajemen Masyarakat dan


Ekonomi Bisnis Lingkungan

Profit

Stakeholders

Stakeholders dapat meliputi: Owner's, supplier , konsumen, manajer,

tenaga kerja, pemerintah, pesaing, dan masyarakat umum. Dalam setiap

pembahasan tentang aktivitas bisnis, tidak lepas dari pembahasan peran

lingkungan bisnis bagi perusahaan. Hubungan perusahaan dengan


33
Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional, Yogyakarta, Ekonosia,
1998, hlm. 11.
34

stakeholder bersifat timbal balik. Stakeholder dapat menyediakan berbagai

sumber daya yang penting bagi perusahaan, selanjutnya perusahaan dalam

aktivitasnya bisnisnya dengan melibatkan stakeholder akan menciptakan

modal lingkungan, modal intelektual, modal sosial dan modal finansial, yang

keseluruhannya akan berguna bagi pertumbuhan jangka panjang yang

berkelanjutan, baik bagi perusahaan maupun bagi lingkungan bisnis.

Etika Bisnis dan Perilaku Good Corporate Governance adalah sebagai

berikut:

a. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan

kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku

kepentingan.

b. Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara

berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan.

c. Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang

disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman

perilaku.

Pedoman Perilaku dalam prinsip Good Corporate Governance adalah

sebagai berikut;

a. Fungsi Pedoman Perilaku

Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai perusahaan

dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan

bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan. Pedoman

perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan,


35

pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap

peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku

yang tidak etis.

b. Benturan Kepentingan

Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik

antara kepentingan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis

pribadi pemegang saham, angggota Dewan Komisaris dan Direksi,

serta karyawan perusahaan. Dalam menjalankan tugas dan

kewajibannya, anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan

perusahaan harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis

perusahaan diatas kepentingan ekonomis pribadi atau keluarga, maupun

pihak lainnya. Anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan

perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan atau

keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain. Dalam hal

pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur

benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan

ikut serta. Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan

harus mengeluarkan suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang saham

yang tidak mempunyai benturan kepentingan. Setiap anggota Dewan

Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan yang memiliki

wewenang pengambilan keputusan diharuskan setiap tahun membuat

pernyataan tidak memiliki benturan kepentingan terhadap setiap


36

keputusan yang telah dibuat olehnya dan telah melaksanakan pedoman

perilaku yang ditetapkan oleh perusahaan.

c. Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi

Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan

perusahaan dilarang memberikan atau menawarkan sesuatu, baik

langsung ataupun tidak langsung, kepada pejabat negara dan atau

individu yang mewakili mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan. Setiap anggota Dewan Komisaris dan

Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk

kepentingannya, baik langsung ataupun tidak langsung, dari mitra

bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Donasi oleh perusahaan ataupun pemberian suatu aset

perusahaan kepada partai politik atau seorang atau lebih calon anggota

badan legislatif maupun eksekutif, hanya boleh dilakukan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Dalam batas kepatutan

sebagaimana ditetapkan oleh perusahaan, donasi untuk amal dapat

dibenarkan. Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta

karyawan perusahaan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak

memberikan sesuatu dan atau menerima sesuatu yang dapat

mempengaruhi pengambilan keputusan.

d. Kepatuhan Terhadap Peraturan

Organ perusahaan dan karyawan perusahaan harus

melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan.


37

Dewan Komisaris harus memastikan bahwa Direksi dan karyawan

perusahaan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan

peraturanperusahaan. Perusahaan harus melakukan pencatatan atas harta,

utang dan modal secara benar sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku umum.

e. Kerahasiaan Informasi

Anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta

karyawan perusahaan harus menjaga kerahasiaan informasi

perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, peraturan

perusahaan dan kelaziman dalam dunia usaha. Setiap anggota Dewan

Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan

dilarang menyalahgunakan informasi yang berkaitan dengan

perusahaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi rencana

pengambil-alihan, penggabungan usaha dan pembelian kembali saham.

Setiap mantan anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan

perusahaan, serta pemegang saham yang telah mengalihkan sahamnya,

dilarang mengungkapkan informasi yang menjadi rahasia perusahaan

yang diperolehnya selama menjabat atau menjadi pemegang saham di

perusahaan, kecuali informasi tersebut diperlukan untuk pemeriksaan

dan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau tidak

lagi menjadi rahasia milik perusahaan.

f. Pelaporan Atas Pelanggaran dan Perlindungan Bagi Pelapor


38

Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan

memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika

bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan

perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu. Setiap

perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan

terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap

etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan

perundang-undangan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat

memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan

implementasi GCG.

F. Kerangka Pemikiran Disertasi

Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance merupakan bentuk

tata kelola perusahaan yang baik, namun masih terdapat beberapa masalah dalam

penerapan CGC dalam pengelolaan perusahaan yang baik. Menggunakan sistem

hukum yang dibangun Friedman, prinsip pengelolaan perusahaan yang baik harus

terikat dalam bentuk sistem hukum, yang terbagi antara struktur hukum, substansi

hukum dan budaya hukum, sehingga penerapan CGC tidak hanya sebatas syarat

atau ketentuan umum yang hanya menjadi pedoman tanpa ada penanaman nilai

secara legal formal dalam ketentuan mengenai tata kelola perusahaan yang baik

berbasis prinsip GCG.


39

Prinsip GCG akan dibangun dalam bentuk ketentuan legal formal guna

memberi kekuatan yuridis yang mampu mengikat setiap perseroan terbatas yang

terdiri dari organ-organ perseroan baik itu dewan direksi, dewan komisaris dan

pemilik modal agar mengedepankan prinsip GCG dalam melakukan kegiatan

pengelolaan perseroan terbatas.

Prinsip GCG yang menjadi pedoman direkonstruksi menjadi prinsip-

prinsip yang berbasis keadilan dan hukum progresif sesuai dengan sistem hukum

Friedman, yaitu Struktur hukum, merupakan lembaga hukum yang merupakan

organ penegak hukum, dalam hal ini sikap penegak hukum terkait penekanan

prinsip GCG harus diperkuat melalui kontrol yang dibangun oleh organ perseroan

agar memberikan sikap pengawasan yang berkeadilan dan bertanggungjawab.

Pengawasan harus dilakukan dengan mekanisme internal dan eksternal guna

mencapai tujuan yang maksimal dan kontrol yang kuat dari penegak hukum.
40

Penegakan hukum terhadap GCG harus dilakukan segenap pihak termasuk

negara sebagai fasilitator, hal ini terkait izin mendirikan perusahaan yang harus

benar-benar menjadi perhatian negara. Banyaknya perusahaan yang berdiri namun

belum mampu berkontribusi maksimal dalam proses pembangunan ekonomi

nasional dikarenakan lemahnya controling negara melihat kebutuhan akan

pentingnya sebuah perusahaan didirikan. Sebagai contoh, ketentuan mengenai

pengadaan barang dan jasa oleh lembaga negara dan daerah yang memberikan

kualifikasi pihak ketiga wajib berbentuk badan hukum. Ketentuan ini bertujuan

untuk memberikan jaminan secara hukum bagi pihak yang menggunakan uang

negara. Namun konsekuensi dari peraturan tersebut menimbulkan banyak

perusahaan-perusahaan yang didaftarkan secara masif agar dapat bermain uang

negara dalam hal pegadaan barang dan jasa. Sehingga tujuan perusahaan untuk

meningkatkan pembangunan ekonomi negara berujung pada menggerogoti uang

negara. Penegakan hukum dalam kasus tersebut masih dalam tahap represif yaitu

jika terjadi pelanggaran yang dilakukan perusahaan baru ada penindakan yang

terjadi, sementara tindakan preventif guna mencegah perusahaan-perusahaan

sejenis masih belum maksimal.

Bukti dari masih lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan-

perusahaan yang tidak memiliki kontribusi tersebut dapat ditemukan pada kasus

korupsi, dimana direktur perusahaan tidak memenuhi ketentuan, seperti dalam

kasus PT Imagi Media Jakarta dalam kasus korupsi pengadaan Videotron senilai

Rp. 23,4 Miliar. Semula dengan adanya perusahaan didirikan bertujuan untuk

membangun sistem ekonomi berakhir dengan pragmatisme.


41

Kemudian substansi hukum, merupakan penjelmaan prinsip GCG dalam

bentuk peraturan agar mengikat setiap organ perseroan dan ada unsur sanksi,

sehingga prinsip GCG memiliki daya paksa bagi organ perseroan untuk ikut dan

menjalankan prinsip tersebut. Jika GCG tidak memiliki kekuatan memaksa, maka

GCG hanya menjadi petunjuk yang tidak memiliki kekuatan hukum memaksa

organ perseroan untuk tunduk. Konteks negara sebagai fasilitator adalah dengan

membentuk peraturan perundangan yang memberikan ketentuan terhadap tujuan

dari perusahaan tersebut didirikan. Pengaturan terhadap perusahaan agar juga

memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian negara. Pengaturan

harus mampu menjadi pedoman dalam menjamin tiap pihak yang terlibat dalam

perusahaan agar dapat memberikan dasar dari setiap kebijakan yang diambil.

Terakhir, budaya hukum, merupakan efek yang dihasilkan jika prinsip

tersebut sudah dijalankan oleh organ perseroan dan menjadi budaya dalam setiap

tindakan dalam pengelolaan perseroan agar terwujudnya tata kelola perusahaan

yang baik. Tata kelola perusahaan yang baik harus bermula dari kebiasaan baik

dalam menjalankan tugas, kebiasaan baik tersebut merupakan budaya yang telah

tertanam, sehingga praktis setiap tindakan mengikuti budaya. Budaya hukum

dalam penerapan GCG menjadi manivestasi dari kuatnya penegakan hukum dan

peraturan yang diterapkan pada setiap tindakan perusahaan maupun organ

perusahaan itu sendiri. Dengan demikian jika kondisi perusahaan telah baik, maka

budaya mengelola perusahaan secara sehat juga telah tercapai.

G. Metode Penelitian
42

1. Paradigma Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem; sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.

Hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam

satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh

dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan

bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari

sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat

tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat tersebut

(sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaidah tersebut

dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk

menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.

Penelitian Hukum adalah suatu penelitian yang mempunyai obyek

hukum, baik hukum sebagai suatu ilmu atau aturan-aturan yang sifatnya

dogmatis maupun hukum yang berkaitan dengan perilaku dan kehidupan

masyarakat. Penelitian Hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu,

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu

dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan

yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian


43

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul di dalam gejala bersangkutan. Metode adalah proses, prinsip, dan tata

cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian merupakan suatu

kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan

secara metodologis, sistematis dan konsisten.34

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yuridis empiris,

yaitu penelitian yang berdasarkan kepada penelitian lapangan untuk

memperoleh data primer dan juga dilakukan penelitian kepustakaan untuk

memperoleh data sekunder di bidang hukum. Berdasarkan pandangan

Soetandyo di dalam bukunya Joko Purwono, penelitian hukum empiris

merupakan penelitian-penelitian yang berupa studi-studi empirik untuk

menemukan teori-teori mengenai proses bekerjanya hukum dalam

masyarakat.35

3. Sifat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang

bersifat eksploratif analitis. Bersifat eksploratif artinya penelitian ini

diharapkan dapat menggali lebih dalam aturan perseroan terbatas dalam

penerapan prinsip Good Corporate Governance pada perseroan terbatas.

34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 42
35
Joko Purwono, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, UNS, 1993, hlm. 17-18
44

Sedangkan bersifat analitis artinya dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

menguraikan berbagai temuan data baik primer maupun sekunder langsung

diolah dan dianalisis dengan tujuan untuk memperjelas data tersebut secara

kategori, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas atau dikaji

secara logis.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan hukum

doktrinal yang menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach).

5. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Data Primer

Data primer merupakan data atau fakta-fakta yang diperoleh

langsung melalui penelitian di lapangan termasuk keterangan dari

responden yang berhubungan dengan objek penelitian dan praktik yang

dapat dilihat serta berhubungan dengan obyek penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang secara tidak langsung yang

memberikan bahan kajian penelitian dan bahan hukum yang berupa


45

dokumen, arsip, peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur

lainnya. Data sekunder ini diperoleh dari:36

1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat

mengikat yang terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

c) Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan

dengan penelitian ini.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum

primer, yang terdiri dari:

a) Berbagai literatur/buku-buku yang berhubungan dengan

materi penelitian.

b) Berbagai hasil seminar, lokakarya, simposium, dan

penelitian karya ilmiah dan artikel lain yang berkaitan

dengan materi penelitian.

3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, yang terdiri dari: Kamus Hukum,

36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu Pengantar
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13
46

Kamus Inggris-Indonesia, Kamus Umum Bahasa Indonesia,

dan Ensiklopedia.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian lapangan atau wawancara serta studi kepustakaan.

a. Penelitian Lapangan (Wawancara)

Penelitian lapangan merupakan penelitian yang dilakukan secara

langsung terhadap obyek yang diteliti sehingga diperoleh data primer

yang berasal dari hasil wawancara terhadap narasumber penelitian.

1) Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi penelitian di

seluruh Indonesia.

2) Narasumber

Dalam hal ini narasumber adalah para pengelola perseroan

terbatas (pemegang saham, direksi, dan komisaris), pejabat

terkait (pejabat Kementerian Hukum & HAM, Otoritas Jasa

Keuangan, dan lain-lain), notaris, corporate lawyers, serta para

pakar hukum perusahaan, dimana penentuan samplenya adalah

menggunakan metode purposive non random sampling.

b. Studi Kepustakaan
47

Studi kepustakaan adalah metode untuk memperoleh data

penelitian dengan cara mempelajari dan menganalisa keseluruhan isi

pustaka yang terkait dengan masalah penelitian. Adapun pustaka yang

menjadi acuan adalah buku-buku, literatur, surat kabar, catatan, tabel,

kamus, peraturan perundangan-undangan, serta dokumen-dokumen

lainnya yang terkait dengan masalah yang diteliti.

7. Analisa Data

Data yang diperoleh dari kegiatan penelitian selanjutnya dianalisis

secara tepat untuk memecahkan suatu masalah hukum yang telah diteliti.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis yang

kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang

dibahas.

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode

kualitatif deskripsi, di mana analisis sudah dilakukan bersama dengan proses

pengumpulan data, selanjutnya terus sampai dengan waktu penulisan laporan

dengan menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma hukum atau

kaidah hukum serta fakta hukum yang akan dikaitkan dengan permasalahan

ini. Hal ini apabila dirasakan kesimpulan kurang maka perlu ada verifikasi

kembali untuk mengumpulkan data dari lapangan dengan tiga komponen

yang aktivitasnya berbentuk interaksi baik antar komponen maupun dengan

proses pengumpulan data. Dalam bentuk ini, peneliti tetap bergerak di antara
48

ketiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan-

kegiatan pengumpulan data berlangsung.

8. Validitas Data

Data yang digunakan dari proses telaah kepustakaan yang dilakukan

dengan menganalisis penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Selanjutnya data tersebut digunakan sebagai data primer untuk mengkaji

intepretasi penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada

perseroan terbatas.

9. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan pengetahuan dari penelusuran penulis atas hasil-hasil

penelitian yang sudah ada, penelitian berkaitan dengan rekonstruksi prinsip

good corporate governance dalam pengelolaan perseroan terbatas ini adalah

sudah pernah dilakukan dalam tema dan permasalahan-permasalahan yang

sama akan tetapi fokus bahasannya berbeda. Adapun hasil penelitian

rekonstruksi prinsip good corporate governance dalam pengelolaan

perseroan terbatas yang pernah ada yang berkaitan dengan disertasi seperti

tersebut dalam tabel berikut ini:

Tabel Matriks Perbandingan


Perbedaan dengan
No Judul Disertasi Penyusun Fokus Penelitian
Disertasi Promovendus
49

1 Peran Good Ahmad 1. Peran good corporate 1. Pengaturan


Corporate Yulius Eka governance sektor pelaksanaan prinsip
Governance Putra perbankan dalam good corporate
Sektor (Universitas mendukung governance dalam
Perbankan dalam Gadjah Mada manajemen risiko pengelolaan perseroan
Mendukung Yogyakarta) sebagai implementasi terbatas terhadap
Manajemen prinsip kehati-hatian direksi dan komisaris
Risiko sebagai 2. Kendala-kendala yang 2. Problematika dalam
implementasi dihadapi oleh bank pelaksanaan prinsip
Prinsip Kehati- dalam melaksanakan good corporate
hatian37 good corporate governance terhadap
governance sebagai direksi dan komisaris
upaya untuk saat ini
mendukung 3. Rekonstruksi ideal
manajemen risiko prinsip good corporate
dalam implementasi governance dalam
prinsip kehati-hatian pengelolaan perseroan
3. Upaya-upaya hukum terbatas terhadap
yang harus ditempuh direksi dan komisaris
oleh pihak bank dalam
mengatasi kendala-
kendala yang terjadi
dalam penerapan good
corporate governance
sebagai upaya untuk
mendukung
manajemen risiko
dalam implementasi
prinsip kehati-hatian
2 Analisis Yuridis Hertu Fokus masalah yang 1. Pengaturan
Terhadap Apriana diteliti dalam tesis ini pelaksanaan prinsip
Prinsip-Prinsip (Universitas adalah penerapan prinsip good corporate
Pengelolaan Sebelas good corporate governance dalam
Perusahaan Yang Maret, Solo) governance dalam UU No pengelolaan perseroan
Baik (Good 40 Tahun 2007 tentang terbatas terhadap
Corporate Perseroan Tebatas. direksi dan komisaris.
Governance) 2. Problematika dalam
Dalam Undang- pelaksanaan prinsip
Undang Nomor good corporate
40 Tahun 2007 governance terhadap
Tentang direksi dan komisaris
Perseroan saat ini.
Terbatas38 3. Rekonstruksi ideal
prinsip good
corporate
governance dalam
37
Ahmad Yulius Eka Putra, “Peran Good Corporate Governance Sektor Perbankan
Dalam Mendukung Manajemen Risiko Sebagai Implementasi Prinsip Kehati-Hatian”, Tesis,
Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009
38
Hertu Apriana, “Analisis Yuridis Terhadap Prinsip-Prinsip Pengelolaan Perusahaan
Yang Baik (Good Corporate Governance) Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, Magister Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, 2010.
50

pengelolaan
perseroan terbatas
terhadap direksi dan
komisaris
3 Penerapan Asas Denri 1. Pener 4. Pengaturan
Transparansi Kasworo apan asas transparansi pelaksanaan prinsip
Pelayanan (Universitas dalam pelaksanaan good corporate
Perizinan dalam Gadjah Mada pelayanan perizinan governance dalam
Rangka Yogyakarta) oleh Pemerintah pengelolaan perseroan
Mewujudkan Daerah Kabupaten terbatas terhadap
Good Bantul direksi dan komisaris
Governance39 2. Pener 5. Problematika dalam
apan asas transparansi pelaksanaan prinsip
dalam pelaksanaan good corporate
pelayanan perizinan governance terhadap
oleh Pemerintah direksi dan komisaris
Daerah Kabupaten saat ini
Bantul telah sesuai 6. Rekonstruksi ideal
dengan prinsip-prinsip prinsip good corporate
good governance governance dalam
pengelolaan perseroan
terbatas terhadap
direksi dan komisaris

Penelitian ini sendiri lebih berfokus untuk menemukan applied teori baru

yang belum ada dengan tujuan untuk merekonstruksi hukum formal dalam rangka

rekonstruksi ideal prinsip good corporate governance dalam pengelolaan

perseroan terbatas.

39
Denri Kasworo, “Penerapan Asas Transparansi Pelayanan Perizinan Dalam Rangka
Mewujudkan Good Governance”, Tesis, Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kenegaraan
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009
51

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Grand Theory: Teori Keadilan

Sebagai Grand Theory dalam penyusunan disertasi ini dipergunakan teori

keadilan Aristoteles. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois

Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum

Alam mengutamakan “the search for justice”.40 Terdapat macam-macam teori

mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan

kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori

itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics.41

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan

dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,

dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,

yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari

filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan”.42

40
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII, Yogyakarta:
Kanisius, 1995, hlm. 196
41
Roger Crisp, Aristotle: Nichomachean Ethics, UK: Cambridge University Press, 2000,
hlm. 45.
42
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hlm. 24
52

Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan

mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat

pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.

Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang

sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika

dikatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan

proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan

kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles

menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif

dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua

dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama

rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami

dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah

bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada

yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan

oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa

apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga

lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
53

jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya

bagi masyarakat.43

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang

salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan

korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang

dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya

perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan

mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah

terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.

Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan

sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.44

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya

dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus

dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis

yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan

ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang

ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan

pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber

pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan

serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap

merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.45

43
Ibid, hlm. 25
44
Ibid
45
Ibid, hlm. 26-27
54

Permasalahan keadilan dalam dunia bisnis, masih menjadi topik penting.

Keadilan berhubungan dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya atau

bisa juga dikatakan keselarasan antara porsi dan penempatan sesuati pada

tempatnya. Dari keadilan akan menciptakan keadaan yang seimbang, tidak berat

sebelah atau tidak memihak. Keadilan akan terus diupayakan untuk tercapai,

sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara yang tercantum dalam sila 5 dalam Pancasila, yaitu Keadilan Sosial

Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Terwujudnya keadilan, dibutuhkan keterlibat

kemampuan bersikap etis.

Dunia bisnis di Indonesia, lebih banyak dimiliki oleh pihak swasta, dengan

bentuk badan hukum seperti PT, CV, NV, atau perseorangan. Bentuk badan

hukum tersebut, di dalam menjalankan aktivitasnya menggunaka asas

perseorangan dan bukan kesejahteraan anggota. Didalam aktivitas tersebut,

memungkinkan seseorang atau sekumpulan orang pemilik modal melakukan

aktivitas menjual barang atau jasa untuk mendapatkan keuntungan atau laba.

Dengan demikian dalam aktivitas bisnis akan bercirikan terjadinya pertukaran

yang melibatkan adanya uang untuk dipertukarkan dengan benda lain dengan nilai

yang sudah ditentukan. Keuntungan yang diperoleh dari pertukaran tersebut akan

dapat meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Dengan kondisi seperti itu,

sarat akan munculnya ketidakadilan didalam perusahaan, baik kepada karyawan,

konsumen, maupun masyarakat.

Pertukaran dalam bisnis akan mengakibatkan dikotomi antara produsen

dan konsumen. Konsumen berada dalam posisi yang lemah baik dalam dimensi
55

kesepakatan harga, kualitas produk yang tidak dipahami oleh konsumen, maupun

terkait dengan proses penjualan melalui tenaga penjualan yang seringkali berakhir

dengan perasaan merasa tertipu oleh bujuk rayu tenaga penjual. Konflik dengan

karyawan/buruh, dapat dilihat dengan banyaknya kasus pemogokan kerja atau

demo oleh para pekerja yang sering disertai tindakan kekerasan, hal ini

membuktikan adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh pekerja atas kebijakan-

kebijakan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan. Konflik intern perusahaan yang

seringkali muncul terkait dengan masalah penggajian, pesangon, pemecatan,

diskriminasi pekerja perempuan, semakin marak dewasa ini. Kasus konflik sosial

antara perusahaan dengan masyarakat,46 juga semakin menjadi bahan pemberitaan

di surat kabar, misalnya terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan menyebabkan

dampak sosial yang sangat dirasakan; pencemaran sungai oleh perkebunan sawit

di wilayah Buol, seperti yang terjadi pada anak sungai Buol, sepanjang 3 km dan

menyebabkan gatal-gatal pada penduduk yang menggunakan air sungai

tersebut,selain juga mematikan ikan serta belut yang menyebabkan bau amis yang

menyengat. Ketidakadilan juga dirasakan masyarakat Papua. Kehadiran PT

Freeport Indonesia, dengan memanfaatkan sumber daya alam di Indonesia, tetapi

tidak memberikan manfaat yang dapat mensejahterakan masyarakat di sekitar,

serta kesadaran masyarakat akan pengaruh pertambangan terhadap ancaman

kehidupan dan lingkungan.

Tidak dipungkiri bahwa keberadaan perusahaan dalam aktivitas bisnis,

dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan menghasilkan produk-produk dan


46
Bambang Rudito, Melia Farniola, Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan
di Indonesia, Bandung, Rekayasa Sains, 2007, hlm. 95.
56

jasa yang dibutuhkan masyarakat, serta memberikan sumbangan yang besar

terhadap perkembangan perekonomian daerah maupun lingkup negara. Warga

masyarakat setempat seringkali menikmati manfaat yang besar, dengan

keberadaan perusahaan tersebut. Namun disisi lain perusahaan juga berpotensi

menimbulkan permasalahan- permasalahan di berbagai aspek, antara lain seperti

telah diungkapkan dalam uraian diatas, bahwa industri juga berkontribusi terhadap

kerusakan lingkungan dan tatanan kehidupan masyarakat.

Dampak negatif keberadaan perusahaan, bukan sesuatu yang tidak dapat

diatasi. Membina hubungan yang baik diantara perusahaan, masyarakat dan

lingkungan dengan disertai kedewasaan dan kearifan serta tanggung jawab sosial,

maka keuntungan jangka panjang akan dapat dirasakan. Implementasi Tanggung

jawab sosial (Corporate Social Responsibility atau disingkat CSR), saat ini belum

dilaksanakan dengan benar, bahkan penolakan terhadap kewajiban tersebut, masih

berkelanjutan hingga saat ini. Pro dan kontra terhadap CSR tidak terelakkan. Bagi

para pengusaha, CSR akan membebani keuangan perusahaan, karena saat ini

kewajiban perusahaan sudah sangat dirasakan berat, tekait dengan kewajiban

pembayaran pajak yang terus meningkat, ketentuan tentang ketertiban usaha

dengan standar lingkungan hidup juga menguras keuangan perusahaan. Kondisi

tersebut semakin parah, jika dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan

bahwa: 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR,

209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR.47

47
Ibid
57

Bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan

(116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan),

ketiga, sumbangan pada yayasan social (39 perusahaan) keempat, pengembangan

komunitas (4 perusahaan).

Permasalah-permasalah terkait dengan ketidakadilan dalam bisnis, perlu

mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, khususnya bagi para pengusaha.

Perwujudan keadilan dalam bisnis harus berjalan seiring dengan peningkatan

kemampuan para pengusaha dalam menanggapi kondisi-kondisi sosial yang ada,

sehingga dapat tercipta dampak positip bagi lingkungan dan komunitas. Dalam

tulisan ini, dimaksudkan untuk menjelaskan tinjauan tentang perwujudan keadilan

dalam bisnis melalui tanggung jawab sosial perusahaan.

Tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR),

merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumen, karyawan, pemegang

saham, komunitas dan lingkungan, dalam segala aspek. Secara umum CSR

dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan menerapkan

pembangunan berkelanjutan, yang diartikan sebagai proses pembangunan (lahan,

kota, bisnis, masyarakat dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan

sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”.48

Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan

ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan.

Perusahaan dianggap memiliki kewajiban untuk memiliki tanggung jawab

sosial karena seiring dengan sumbangan pembangunan perekonomian yang

48
M Nurdizal Rachman, Op., Cit, hlm. 11.
58

diberikan oleh perusahaan, secara langsung atau tidak langsung juga

memanfaatkan sumber daya lingkungan. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan

dapat mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu tanggung jawab sosial

perusahaan menjadi kewajiban. Seperti tertulis dalam Pasal 15 huruf b dan Pasal

34 ayat 1 Undang- Undang Penanaman Modal, disebutkan, setiap penanam modal

berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka

dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,

pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan

kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Demikian pula dalam Undang-undang Pasal 74 Ayat 1 UU No 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, menyebutkan bahwa PT yang menjalankan

kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Belum seluruh perusahaan memahami konsep CSR dengan benar,

terutama bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Kegiatan CSR merupakan

kegiatan yang menunjang pembangan yang berkelanjutan, yaitu kegiatan yang

tidak hanya berdampak pada kuntungan secara materi, melainkan terkait dengan

konsekuensi sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Implementasi CSR dapat

dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, antara lain kegiatan yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki lingkungan. Seperti

yang dilakukan oleh Starbuck di Aceh, membuka lahan 10.000 ha untuk

pemberdayaan kopi pada masyarakat Aceh. Disatu pihak Starbuck akan

memperoleh manfaat dengan hasil pertanian kopi, sebagai bahan baku yang
59

diperlukan dalam aktivitas bisnis yang dilakukan. Contoh lain seperti yang

dilakukan oleh Unilever dengan melakukan pengembangan UKM untuk

penanaman kedelai hitam dan budidaya ikan air tawar. Hasil pertanian dan

budidaya tersebut digunakan sebagai bahan baku Royco dan bahan baku kecap

merek Bango.49 Bentuk kegiatan yang lain dapat berupa pemberian beasiswa

untuk anak-anak sekolah disegala tingkatan pendidikan, bantuan dana untuk

perbaikan infrastruktur, dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan dalam

penentuan bentuk kegiatan hendaknya dapat mengakomodasi kepentingan

stakeholder.

Pembangunan berkelanjutan bukan hanya tanggung jawab pemerintah,

melainkan setiap insan di bumi ini berperan untuk mewujudkan kesejahteraan

sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Terlebih bagi pengusaha, dalam

aktivitas bisnisnya telah memperoleh banyak keuntungan yang berasal dari

pemanfaatan sumber daya yang ada. Konsep CSR akan mendorong pengusaha

melakukan aktivitas bisnis dengan lebih mengedepankan aspek etika.

Menurut William J.Byron terdapat empat tingkat tanggung jawab sosial,

yaitu ekonomis, legal, etis, dan bebas atau filantropis. Pada tingkat ketiga adalah

tanggung jawab etis, yaitu dimaksudkan ssebagai penghormatan terhadap

martabat manusia (termasuk didalamnya karyawan, konsumen, rekan kerja,

pesaing dan sebagainya). Selain itu tanggung jawab etis juga termasuk sebagai

penghormatan atas lingkungan fisik yang telah menjadi dampak atas kegiatan

perusahaan. Dalam implementasi bisnis, pelaku usaha harus menjaga


49
Joko Prastowo, Miftachul Huda, Corporate Sosial Responsibility: Kunci Meraih
Kemuliaan Bisnis, Yogyakarta, Samudra Biru, 2011, hlm.33.
60

keseimbangan alam melalui sikap menghormati lingkungan dengan memberikan

perlindungan terhadap lingkungan.50

Aspek etika dalam bisnis, dapat mengendalikan pengaruh buruk bagi

masyarakat dan lingkungan hidup. Aktivitas bisnis yang dilakukan oleh

perusahaan dalam konteks tanggung jawab sosial dapat dikategorikan dalam tiga

bentuk.51

1. Hubungan Masyarakat (Public Relations)

Usaha untuk menanamkan persepsi positip kepada komunitas tentang

kegaitan yang dilakukan oleh perusahaan. Kegiatan yang dilakukan dapat

dalam bentuk kegiatan- kegiatan sosial, dan dimaksudkan untuk menjalin

hubungan baik antara perusahaan dengan komunitas

2. Strategi Defensif

Usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk menangkis anggapan

negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan

tentang sesuatu hal. Atau dengan kata lain melakukan kegiatan-kegiatan

tertentu dengan maksud membersihkan nama baik.

3. Keinginan Untuk Melakukan Kegiatan Yang Baik Yang Berasal


Dari Visi Perusahaan.

Kegiatan perusahaan dalam konteks ini tidak untuk mengambil suatu

keuntungan secara materil, tetapi berusaha untuk menanamkan kesan baik

terhadap komunitas berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Dengan demikian

kegiatan bersifat tulus dan pada umumnya kegiatan tanggung jawab sosial

50
Joko Prastowo, Miftachul Huda, Op Cit, hlm. 50.
51
Bambang Rudito, Op Cit, hlm. 56.
61

yang dilakukan berkaitan dengan kebudayaan perusahaan yang berlaku,

sehingga dalam kegiatan tersebut akan tersirat etika perusahaan. Contoh

kegiatan ini antara lain: membangun infrastruktur; mengembangkan

pendidikan; membangun klinik-klinik kesehatan; membangun jaringan

komunikasi, dan lain-lain.

Tiga bentuk kegiatan tersebut, jika dilaksanakan oleh perusahaan, akan

menciptakan kesan yang baik bagi perusahaan, melalui kegiatan perusahaan

dalam konteks ini sama akhirnya dapat menciptakan loyalitas pelanggan kepada

perusahaan. Dengan demikian kegiatan CSR bukan kegiatan yang merugikan

perusahaan, melainkan akan memberikan dampak positip bagi perusahaan, disisi

lain akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menciptakan hubungan timbal

balik tersebut, diperlukan rasa tanggung jawab yang besar dengan tidak

mengabaikan prinsip keadilan. Konsep keadilan harus dipahami dengan benar.

Konsep keadilan yang dapat diterima secara umum adalah yang menyangkut

kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak

dengan orang atau pihak lain. Sesuai dengan konsep keadilan menurut Aristoteles,

Keadilan Komutatif, yaitu keadilan untuk mengatur hubungan yang adil antara

orang yang satu dan yan lain atau antara warganegara yang satu dengan warga

negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara

warga yang satu dengan warga yang lain. Prinsip keadilan komutatif menurut

Adam Smith adalah tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai

manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya,

miliknya atau reputasinya. Lebih lanjut dijelaskan, Pertama, keadilan tidak hanya
62

menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap

pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-

sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar

oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar

hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah

berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan

terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan

dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang

sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.

Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai

keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang

adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar

semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman,

memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan

menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang.

Keadilan dalam penindakan terhadap pelanggar peraturan juga harus

dikedepankan, melihat banyaknya penindakan, baik sangksi administratif maupun

pidana telah dilakukan, namun perusahaan tetap saja dapat mencari jalan guna

meluruskan kepentingannya. Itikad baik harus mampu dibangun oleh perusahaan

dalam pengelolaan perusahaan.

Kasus pelanggaran yang kerap terjadi saat ini adalah, maraknya

pembakaran lahan guna membuka areal perkebunan baru. Padahal peraturan dan

sanksi telah dilakukan, namun banyak perusahaan masih dapat lepas dari jerat
63

sanksi. Hal ini terjadi karena konsep keadilan dalam penindakan pelanggaran

belum tertata dengan jelas.

B. Middle Theory

1. Teori Sistem Hukum Friedman

Teori sistem hukum Friedman ini dimaksudkan untuk mendukung

teori Kepastian Hukum sebagai Applied Theory dalam mengkaji dan

menganalisis persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah hukum

yang bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum.

Pada hakikatnya, sebuah sistem adalah sebuah unit yang beroperasi

dengan batas-batas tertentu. Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau

sosial. Tubuh manusia, sebuah mesin pinball, dan gereja Katolik Roma

semuanya adalah sistem. David Easton telah mendefinisikan sistem politik

sebagai kumpulan interaksi dengan mempertahankan batas-batas tertentu

yang bersifat bawaan dan dikelilingi oleh sistem-sistem sosial lainnya yang

terus menerus menimpakan pengaduh padanya.52

Definisi yang agak mendalam ini berpijak pada konsep fundamental

tertentu. Sistem politik adalah “sekumpulan interaksi”, sebuah sistem sosial

dengan kata lain bukan sebuah struktur atau mesin, melainkan perilaku dan

perilaku yang saling berelasi dengan perilaku lainnya. Sistem memiliki batas-

batas, artinya seorang pengamat yang teliti bisa melihat dari mana awal dan

52
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perpective, Russel Sage
Foundation, New York, diterjemahkan oleh M. Khozim, 2009, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu
Sosial, Bandung: Nusa Media, 1975, hlm. 6
64

ujungnya. Ia bisa menandai perbedaannya dari sistem-sistem lainnya.

Kumpulan interaksi apapun bisa disebut sebagai sistem, jika seorang

pengamat bisa menjelaskannya, dengan menemukan batas-batas riilnya atau

mendefinisikan sebagiannya.

Namun apa yang menjadi batas-batas sistem hukum (legal system)?

Bisakah kita membedakan sistem hukum dari sistem-sistem sosial lainnya?

Bisakah kita mengatakan, dengan kata lain, darimana awal dan akhirnya?

Istilah legal berarti terkait dengan hukum, karena itu, untuk mendefinisikan

suatu sistem hukum kita memerlukan semacam definisi-definisi kerja

mengenainya.

Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah

organisme kompleks dimana struktur, substansi dan kultur berinteraksi.

Untuk menjelaskan latar belakang dan efek dari setiap bagiannya diperlukan

peranan dari banyak elemen sistem tersebut. Yang pertama, hal itu

bergantung pada ketentuan hukum yang berlaku. Di sini struktur dan

substansi merupakan ciri-ciri kukuh yang terbentuk pelan-pelan oleh

kekuatan-kekuatan sosial dalam jangka panjang. Semua itu memodifikasi

tuntutan-tuntutan yang berlangsung dan pada dirinya merupakan endapan

jangka panjang dari tuntutan-tuntutan sosial lainnya.

Kultur hukum juga bisa mempengaruhi tingkat penggunaan

pengadilan, yakni sikap mengenai apakah akan dipandang benar atau salah,

berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan. Sebagian orang juga

bersikap masa bodoh terhadap hak-hak mereka atau takut menggunakannya.


65

Nilai-nilai demikian secara keseluruhan dan dalam jangka panjang turut

memberi bentuk dan ciri hukum-hukum perceraian itu sendiri.

Teori sistem hukum, yang dikembangkan oleh Friedmann,

menguraikan bahwa hukum sebagai suatu sistem, dalam operasinya memiliki

tiga komponen yang saling berinteraksi, yaitu struktur (structure), substansi

(substance) dan kultur (culture). Struktur hukum adalah kelembagaan yang

diciptakan oleh sistem hukum.53

Selanjutnya, substansi hukum terdiri atas peaturan hukum substantif

dan peraturan hukum tentang bagaimanakah seharusnya lembaga-lembaga

yang diciptakan oleh peraturan hukum substantif berperilaku, yang

berdasarkan pendapat HLA Hart, suatu substansi sistem hukum adalah

kesatuan dari peraturan hukum primer (primary rules), yaitu norma-norma

tentang perilaku dan peraturan hukum sekunder (secondary rules), yaitu

norma-norma tentang norma-norma perilaku, misalnya bagaimana

menentukan validitas norma-norma tentang perilaku, bagaimana menegakkan

(enforce) norma-norma tentang perilaku, dan sebagainya.54

Menurut Hart, ada dua kondisi minimum sebagai syarat bagi

eksistensi sistem hukum, yaitu pertama, adanya dasar pengakuan yang

didukung oleh peraturan hukum sekuder yang diterima sebagai mengikat oleh

aparatur hukum yang bertugas menciptakan, mengubah, menerapkan,

menegakkan, atau mengevaluasi peraturan hukum primer; kedua, tiap-tiap

53
Ibid, hlm. 14
54
Ibid
66

warga negara mematuhi peraturan hukum primer, paling tidak dikarenakan

ketakutan akan hukuman.55

Syarat kedua bagi eksistensi sistem hukum menurut Hart tersebut

memiliki relevansi teoritis dengan komponen ketiga dari sistem hukum

menurut Friedman, yaitu kultur hukum, yang dipahaminya sebagai dukungan

sosial atas hukum, seperti kebiasaan, pandangan, cara berperilaku dan

berpikir, yang menggerakkan dukungan masyarakat untuk mematuhi atau

tidak mematuhi aturan.56

Menurut Friedman, sistem hukum mempunyai fungsi merespons

harapan masyarakat terhadap sistem hukum, dengan cara antara lain

mendistribusikan dan memelihara nilai-nilai yang dipandang benar oleh

masyarakat, dengan merujuk kepada keadilan. Jadi keadilan menurut

Friedman, adalah tujuan akhir dari sistem hukum.57

Berangkat dari teori sistem hukum di atas, maka pada dasarnya sistem

hukum mempunyai fungsi merespons harapan masyarakat dalam pengaturan

waralaba sebagai pola kemitraan berbasis asas efisiensi berkeadilan dalam

sistem hukum usaha mikro, kecil dan menengah.

Mengkaji sistem hukum, tidak bisa terlepas dari teori Lawrence

Friedman. Friedman membagi sistem hukum dalam tiga hal. 58 Pertama, Legal

Substance (Sustansi Hukum), yang mana sistem ini adalah peraturan-

55
HLA Hart, The Concept of Law, London: The English Language Book Society and
Oxford University Press, 1972, hlm. 49-60
56
Lawrence M. Friedman, Op. Cit., 1975, hlm. 14
57
Ibid, hlm. 17-18
58
Lawrence Friedman, The Legal System A Social Perspective, Newyork: Russel Sage
Foundation, 1975, hlm. 14.
67

peraturan yang dipakai oleh para pakar pelaku hukum pada waktu melakukan

perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum.

Substansi Hukum Dalam teori Lawrence M Friedman hal ini disebut

sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu

dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang

berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka

keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan

hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai

negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa

Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah

menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah

peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak

tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di

Indonesia.

Kedua, Legal Structure (Struktur Hukum), yang mana sistem ini

adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan

menurut ketentuan-ketentuan formalnya oleh para penegak hukum.

Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir

Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau

tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan

UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga


68

penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan

tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat

justitia et pereat mundus”-meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat

penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa

bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan

aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

Ketiga, Legal Culture (Budaya Hukum), yang mana sistem ini

merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum digunakan. Keadaan budaya hukum ini tercermin pada

masyarakat yang biasanya takut dan tidak berkenan untuk berurusan dengan

aparat penegak hukum.

Kultur hukum menurut Lawrence Friedman adalah sikap manusia

terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta

harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau

disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum

masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta

budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai

hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.


69

Achmad Ali selain mengutip pendapat Friedman juga memberikan

penambahan sehingga berjumlah lima unsur sistem hukum, 59 yaitu; Pertama,

struktur hukum yang merupakan keseluruhan institusi-institusi hukum yang

ada beserta aparat-aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para

polisinya, kejaksaan denganpara jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya.

Kemudian yang kedua substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma dan

norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis,

termasuk putusan pengadilan yang telah inkrach. Ketiga adalah Kultur, yaitu

opini-opini, kepercayaan, kebiasaan, cara berfikir, cara bertindak baik dari

penagak hukum maupun dari masyarakat, tentang hukum dan berbagai

fenomena yang berkaitan dengan hukum. Keempat, Profesionalisme, yang

merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok

penagak hukum. Kelima, kepemimpinan yang merupakan unsur kemampuan

dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penagk hukum utamanya

kangan petinggi hukum.

2. Teori Kesadaran Hukum

Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, kesadaran hukum

menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga

menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat

tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya dilakukan

59
Acmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Kencana Persada,
2009, hlm 203
70

atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang sebaiknya

dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum.60

Achmad Ali dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori

Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)

Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), membagi

kesadaran hukum menjadi dua macam yakni kesadaran hukum positif, identik

dengan ketaatan hukum‟ dan kesadaran hukum negatif, identik dengan

“ketidaktaatan‟.61

Mengenai kesadaran hukum, Ewick dan Silbey berpendapat

bahwa, “the term ‘legal consciousness’ is used scientists to refer to the ways

in which people make sense of law and legal institutions, that is, the

understandings which give meaning to people’s experiences and

action.”62

Yang berarti kesadaran hukum, adalah istilah yang digunakan

para ilmuwan untuk merujuk pada cara-cara orang memahami

lembagalembaga hukum dan hukum, yaitu pemahaman yang memberi makna

pada pengalaman orang-orang dan tindakan). Kesadaran hukum

merupakan suatu proses psikhis yang terdapat dalam diri manusia, yang

mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi, tentang asas

kesadaran hukum, ada pada setiap manusia, oleh karena setiap manusia

mempunyai rasa keadilan. Begitu pentingnya kesadaran hukum di dalam

memperbaiki sistem hukum, maka tak heran dari tokoh-tokoh mazhab


60
Hessel Nogi Tangkilisan, Manajemen Publik, Jakarta, Grasindo, 2005, hlm. 31.
61
Ahmad Ali, Op Cit, hlm. 298.
62
Ibid
71

sejarah seperti Krabbe dan Kranenburg bersikukuh mengatakan bahwa

kesadaran hukum merupakan satu-satunya sumber hukum.63

Paul Scholten sendiri yang melahirkan teorinya tentang kesadaran

hukum atau yang dalam Bahasa Belanda disebut Rechtsgefuhl atau

Rechtsbewustzijn dengan tegasnya menyatakan bahwa kesadaran hukum

adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada

hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar

kesadaran hukum, karenanya kesadaran hukum adalah sumber dari semua

hukum. Selengkapnya Paul Scholten mengatakan:

Met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoordeel


over eenig concreet geval, doch het in ieder mensch levend
bewustzijn van wat recht is of behoort te zijn, een bepaalde
categorie van ons geestesleven, waardoor wij met onmiddellijke
evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen
recht en onrecht, gelijk we dat doen tusschen waar en onwaar,
goed en kwaad, schoon en leelijk.64

Pandangan Scholten di atas pada intinya menjelaskan kepada kita

bahwa istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian

hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang

hidup pada manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang

seharusnya hukum. Kesadaran hukum masuk kategori tertentu dari

kehidupan kejiwaan, yang menyebabkan kita dengan evidensi melepaskan

diri dari lembaga-lembaga hukum positif, dalam membedakan antara

63
Susuilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam berlakunya UUD
1945, Jakarta, Graha Ilmu, 2006, hlm. 29.
64
Laica Marzuki, Siri': Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar : Sebuah
Telaah Filsafat Hukum, Makasar, Hasanudin University Press, 1995, hlm. 82.
72

hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan

tidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek).

Di dalam ilmu hukum ada banyak pendapat mengenai kesadaran

hukum sebagaimana juga telah dikemukakan diatas. Di antara sekian banyak

pengertian-pengertian itu, terdapat suatu rumusan bahwa sumber satu-

satunya hukum dan kekuatan mengikatnya adalah kesadaran hukum. 65

Kesadaran hukum sangat diperlukan untuk mengoptimalisasikan

penegakan hukum terhadap penerapan prinsip Good Corporate Governance.

Brian H. Bix dalam karya editornya yang berjudul A Dictionary of

Legal Theory sebagaimana dikutip Achmad Ali menguraikan tentang

obligation to obey the law (kewajiban untuk menaati hukum), bahwa

merupakan satu isu penting yang senantiasa muncul berulang di dalam ilmu

hukum adalah apakah atau seluas apakah adanya an obligation to obey

the law (satu kewajiban untuk menaati hukum). Oleh an obligation to

obey (suatu kewajiban untuk menaati), maka referensi yang umum dalam

hal itu biasanya adalah karena adanya a moral obligation (kewajiban moral),

dimana a legal obligation to obey the law (suatu kewajiban hukum untuk

menaati hukum) adalah being a near-tautology. Kedua, kewajiban hukum

tersebut, biasanya diasumsikan untuk menjadi a prima-facie obligation

(kewajiban utama), yang dapat mengatasi jika ada satu alasan moral

yang lebih kuat untuk bertindak yang bertentangan dengan preskripsi

hukum. Ketiga, diantara para komentator yang memercayai bahwa ada suatu

65
Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, , 2009, hlm. 167,
73

kewajiban moral untuk menaati hukum, maka kesimpulan

merekabiasanya diadakan untuk menerapkan hanya terhadap sistem

hukum yang bersifat umum.

Hari Chand dalam bukunya yang berjudul Modern Jurisprudence

mengutip pendapat Weber mengenai mengapa orang menaati hukum

sebagaimana yang ditulis berikut:

Weber says that the motive obedience may be of many defferent kinds.
They are predominantly utilitarian, ethical or subjectively
conventional, i.e., consisting of the fear of disapproval by
theenvironment. Tracing the habit of obeying, Weber finds that it is a
primary psychological fact though it is not possible to know the
experiences of the first homo sapiens. He say: it not due the
assumed binding force of some rule or norm that the conduct of
primitive man manifests certain factual regularities, especially in his
relation to his fellows. On the contrary, those organically
conditioned regularities which we have to accept as psychological
reality, are primary. It is from them that the concept of ‘natural
norm’ arises.66

Weber mengatakan bahwa motif dari ketaatan mungkin banyak

perbedaan jenisnya. Mereka sebagian besar adalah kemanfaatan, etis atau

subyektif konvensional, yaitu, terdiri dari rasa takut ditolak oleh

lingkungan. Menilik kebiasaan untuk menaati, Weber menemukan bahwa

itu adalah fakta psikologis primer meskipun tidak mungkin untuk

mengetahui pengalaman dari homo sapiens (manusia) pertama.Dia berkata:

itu bukan karena kekuatan mengikat diasumsikan dari beberapa aturan

atau norma yang termanifestasi dari perilaku manusia primitif dalam

keteraturan faktual tertentu, terutama dalam hubungannya dengan teman-

temannya. Sebaliknya, keteraturan organik yang kita terima sebagai


66
Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Kuala Lumpur, Book
Services, 1994, hlm. 176.
74

kenyataan psikologis yang utama. Ini adalah dari mereka bahwa konsep

“norma alamiah‟ yang timbul. Dengan demikian ketaatan hukum

merupakan suatu kewajiban moral dan kewajiban hukum yang harus

dilaksanakan dalam kerangka penegakan hukum terhadap penerapan prinsip

Good Corporate Governance.

C. Applied Theory

1. Prinsip Good Government Governance

Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali

dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam

suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga

adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan

kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.

Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur

administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson,

yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27,

memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 130 tahun yang lalu.

Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik

dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang “governance” dalam

pengertian yang hendak dikaji saat ini dan yang diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia sebagai tatapemerintahan, penyelenggaraan

pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul

sekitar 20 tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga


75

pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai

persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para

teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good

governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya,

penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata-pemerintahan yang baik

(UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab

(LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan

yang bersih (clean government).67

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan

“governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik,

ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa.

Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih

dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam

governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa

mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai

masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep

governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law,

partisipatiof dan kemitraan.

Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yang paling tepat

meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in

society wield power and authority, and influence and enact policies and

decisions concerning public life, economic and social development.”

67
Sofyan Efendi, Membangun Good Governance Tugas Kita Bersama, Bahan Kuliah,
www. sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf diakses pada 6 Juli 2015
76

Yang berarti proses dimana berbagai unsur dalam masyarakat

menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan

kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan

ekonomi dan sosial.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa

dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (the state),

civil society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil),

dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan

bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik,

ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan

interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu

biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust),

transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good

governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah

kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.68

Konsep good governanceyang dianjur-anjurkan oleh lembaga-

lembaga donor internasional tersebut kemudian berubah akibat pengaruh

Amerika Serikat yang menggunakan globalisasi untuk menebarkan sistem

pasar bebas ke segala penjuru dunia. Sejak itu good governance diartikan

sama dengan less government. Semua kebutuhan masyarakat, termasuk

kebutuhan masyarakat di negara dapat dipenuhi lebih baik bila campur

tangan pemerintah tidak terlalu dominan. Berubahlah good governance

menjadi best government adalah less government.


68
Sofyan Efendi, Op.,Cit, hlm 3.
77

Kondisi good governance di Indonesia dari berbagai assessment

yang diadakan oleh lembaga-lembaga internasional selama ini

menyimpulkan bahwa Indonesia sampai saat ini belum pernah mampu

mengambangkan good governance. Mungkin karena alasan itulah gerakan

reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dari berbagai kampus telah

menjadikan good governance, walaupun masih terbatas pada pemberantasan

praktek KKN (clean governance). Namun, hingga saat ini salah satu

tuntutan pokok dari amanat reformasi itupun belum terlaksana. Kebijakan

yang tidak jelas, penempatan personl yang tidak kredibel, enforcement

menggunakan, sertra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada

kepentingnan bangsa telah menyebabkan dunia bertanya apakah Indonesia

memang serius melaksanakan good governance.

Tidak perlu disanggah lagi bahwa Indonesia Masa Depan yang kita

citacitakan amat memerlukan Good Governance seperti yang

dikonsepsualisasikan oleh IIAS. Pengembangan good governance tersebut

harus menjadi tanggungjawab kita semua. Dalam kondisi seperti

sekarang, pemerintah, yang selama ini mendapat tempat yang dominan

dalam penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi, sukar

diharapkan secara sadar dan sukarela, akan berubah dan menjelma menjadi

bagian yang efektif dari good governance Indonesia. Karena itu

pembangunan good governance dalam menuju Indonesia Masa Depan

harus dilakukan melalui tekanan eksternal dari luar birokrasi atau


78

pemerintah,yakni melalui pemberdayaan civil society untuk memperbesar

partisipasi berbagai warganegara dalam peneyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan eksternal kedua yang dapat “memaksa” timbuilnya

good governance adalah dunia usaha. Pola hubungan kolutif antara

dunia usaha dengan pemerintah yang terlah bnerkembang selama lebih 3

dekade harus berubah menjadi hubungan yang lebih adil dan terbuka.

Kunci untuk menciptakan good governance menurut pendapat

Sofyan Efendi adalah suatu kepemempinan nasional yang memiliki

legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat.

Masalah pemerintahan sebagai suatu kenyataan yang tak dapat di

hindarkan dalam hidup setiap warganegara memiliki banyak arti bagi mereka,

secara perorangan atau secara bersama-sama. Pemerintah adalah harapan dan

peluang untuk mewujudkan hidup yang sejahtera dan berdaulat melalui

pengelolaan kebebasan dan persamaan yang di miliki oleh warganegara. Pada

sisi lain pemerintah adalah tantangan dan kendala bagi warganegara terutama

ketika pemerintah terjauhkan dari pengalaman etika pemerintah. Suatu

masyarakat tanpa pemerintah adalah sebuah kekacauan massal. Di dalam

masyarakat manusia beradab di perlukan lebih banyak peraturan, di perlukan

juga lebih banyak upaya dan kekuatan untuk menjamin bahwa peraturan-

peraturan itu di taati.

Harapan lain yang ingn di wujudkan oleh setiap warganegara melalui

proses pemerintahan adalah berlangsungnya kehidupan secara wajar, dalam

semua bidang dan ukuran kehidupan mereka. Pemerintah pertama-tama di


79

harapkan dapat membentuk kesepakatan warganegara tentang bingkai

kepatutan dalam proses kehidupan kolektif warganegara. Dengan demikian,

kebutuhan akan kehidupan yang wajar mensyaratkan kewajiban pemerintah

untuk membentuk hokum yang adil dan melakukan penegakkan hokum demi

rasa keadilan tersebut pada semua warganegara. Untuk mewujudkan tujuan

dan harapan tersebut, maka di perlukan suatu system pemerintahan yang baik

dan efektif yang sesuai dengan prinsip-prinsip bersifat demokratis. Konsep

pemerintahan yang baik itu di sebut dengan good governance.

Menurut bahasa Good Governance berasal dari dua kata yang diambil

dari bahasa inggris yaitu Good yang berarti baik, dan governance yang

berarti tata  pemerintahan. Dari pengertian tersebut good governance dapat

diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik, atau pengelolaan/

penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Good governance didefinisikan sebagai suatu kesepakatan

menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah,

masyarakat, dan swasta untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik secara

umum. Arti good dalam good governance mengandung pengertian nilai yang

menjunjung tinggi keinginan rakyat, kemandirian, aspek fungsional dan

pemerintahan yang efektif dan efisien. Governance (tata pemerintahan)

mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga

dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan


80

hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di

antara mereka.69

Dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik sangat tergantung

dari ketiga lembaga yang menyusun governance tersebut yaitu pemerintah

(government), dunia usaha (swasta), dan masyarakat. Ketiga domain itu harus

saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Ketiga lembaga ini harus

menjaga kesinergian dalam rangka mencapai tujuan, karena ketiga domain ini

merupakan sebuah sistem yang saling ketergantungan dan tidak dapat

dipisahkan.

Ada kaitan erat antara governance (tata pemerintahan) dengan

government (pemerintah),dimana government (pemerintah) lebih berkaitan

dengan lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban

fungsi mengelola administrasi pemerintahan. Kalau Tata Pemerintahan

(Governance) lebih menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik-

baiknya antar elemen yang ada. Dengan demikian cakupan tata Pemerintahan

(Governance) lebih luas dibandingkan dengan Pemerintah (Government),

karena unsur yang terlibat dalam Tata Pemerintahan mencakup semua

kelembagaan yang didalamnya ada unsur Pemerintah (Government).

Hubungan antara Pemerintah (Government) dengan Tata

Pemerintahan (Governance) bisa diibaratkan hubungan antara rumput dengan

padi. Jika hanya rumput yang ditanam, maka padi tidak akan tumbuh. Tapi

kalau padi yang ditanam maka rumput dengan sendirinya akan juga turut

69
Hatifah E.J Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, hlm 2.
81

tumbuh. Jika kita hanya ingin menciptakan pemerintah (Government)  yang

baik, maka tata pemerintahan (Governance) yang baik tidak tumbuh. Tapi

jika kita menciptakan Tata Pemerintahan(Governance)  yang baik, maka

pemerintah(Government) yang baik juga akan tercipta.

Lembaga yang kedua yaitu dunia usaha (swasta) yang mampu

mempengaruhi atau menunjang terbentuknya pemerintahan yang baik. Dunia

usaha berperan dalam meningkatkan nilai pertumbuhan ekonomi dalam suatu

negara,semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dunia usaha maka semakin

maju juga perekonomian negara. Sedangkan peran negara disini sebagai

pengontrol pihak swasta agar tidak semaunya sendiri dalam melakukan

kebijakan-kebijakan. Misalnya pemerintah menetapkan nilai jual terendah

dan tertinggi suatu barang tertentu.

Masyarakat sebagai lembaga ketiga sangat berpengaruh dalam konsep

good government ini, karena masyarakat adalah indikasi yang paling nyata

untuk mengetahui apakah suatu negara itu sejahtera atau tidak. Masyarakat

berperan sebagai pengontrol pemerintah apabila terjadi penyelewengan-

penyelewengan dalam melaksanakan pemerintahanyya. Sedangkan

pemerintah harus memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan

kesejahteraan rakyat. Misalnya pembangunan fasilitas-fasilitas umum dan

kebijakan-kebijakan yang lainnya, yang berhubungan dengan kepentingan

umum.

Hubungan antara dunia usaha dengan masyarakat dapat dilihat  dari

aktivitas pasar, dimana disitu saling ketergantunagan antara keduanya. Dunia


82

usaha membutuhkan konsumen (masyarakat) untuk tetap dapat

melangsungkan dan mengembangkan usahanya. Begitu juga dengan

masyarakat sangat tergantung dengan dunia usaha untuk dapat

melangsungkan dan memenuhi kebutuhannya. Semua lembaga-lembaga

pembentuk governance saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya.

Apabila ada salah satu yang tidak melaksanakan perannya dengan baik maka

good governance sulit untuk diwujudkan.

Citra pemerintahan buruk yang di tandai dengan saratnya tindakan

korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) telah melahirkan sebuah fase sejarah

politik bangasa indonesia dengan semangat reformasi. Istilah Good

Governance secara berangsur menjadi populer baik di kalangan

pemerintahan, swasta maupun masyarakat secara umum. Di Indonesia, istilah

ini secara umum di terjemahkan dengan pemerintahan yang baik.

Konsep pemerintahan terus berkembang sejalan dengan

perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia. Dalam perkembangan

penyelanggaraan pemerintahan, saat sekarang di kembangkan suatu bingkai

baru penyelenggaraan pemerintahan yang di sebut good governance. Sebagai

suatu konsep yang banyak di populerkan pada era 1990-an, good governance

di artikan dan di definisikan secara beraneka ragam. Ada yang

menghubungkannya dengan pelaksanaan hak asasi manusia dan ada pula

yang melihatnya sebagai bagian dari prasyarat pembangunan berkelanjutan.

Namun suatu hal yang mendasar, good governance hanya akan di jumpai

pada system politik yang bersifat demokaratis.


83

Rodhes (1996, 653) menyatakan bahwa governance menegaskan

suatu perubahan dalam makna pemerintahan, yang menunjukkan suatu proses

pemerintahan yang baru atau suatu kondisi yang berubah dari penguasaan

yang tertata atau metode baru dengan mana masyarakat di perintah. Levefre

(1998) menyatakan bahwa governance memaparkan sistem aktor dan bentuk

baru tindakan publik yang di dasarkan pada fleksibilitas, kemitraan, dan

partisipasi sukarela.

Istilah Good Governance pertama kali di populerkan oleh lembaga

dana international, seperti Word Bank, UNDP dan IMF karena berpandangan

bahwa setiap bantuan international untuk pembangunan negara-negara di

dunia, terutama negara berkembang, sulit berhasil tanpa adanya Good

Governance di negara sasaran tersebut. Good Governance dapat di artikan

sebagai tindakan atau tingkah laku yang di didasarkan kepada nilai-nilai yang

bersifat mengarahkan. Dengan demikian ranah Good Governance tidak

terbatas kepada negara dan birokrasi pemerintahan saja, tetapi juga pada

ranah masyarakat sipil yang di presentasikan oleh organisasi non-pemerintah

sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan juga sektor swasta.

Singkatnya, tujuan terhadap Good Governance tidak selayaknya hanya di

tujukan kepada penyelanggara negara atau pemerintahan, melainkan juga

pada masyarakat di luar struktur birokrasi pemerintahan yang secara getol

dan bersemangat menurut penyelenggaran Good governance pada negara.

Sisi lain memaknai Good Governance sebagai penerjemahan konkrit

dari Demokrasi. Tegasnya, menurut taylor, Good Governance adalah


84

pemerintahan demokratis seperti yang di praktikkan dalam negara-negara

demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika misalnya. Demokrasi sebagai

suatu sistem pemerintahan di anggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang

baik karena paling merefleksikan sifat-sifat Good Governance yang secara

normatif di tuntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan

Dunia. Ia merupakan alternatif dari sistem pemerintahan yang lain seperti

totalitarinisme komunis atau militer yang sempat populer di negara-negara

dunia ketiga di masa perang dingin.

Adapun prinsip-prinsip Good Government Governance adalah

sebagai berikut:

a. Prinsip Keterbukaan/ Transparansi (Transparency)

Affan Gaffar menegaskan bahwa untuk mewujudkan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai dengan cita-cita good

governance seluruh mekanisme pengelolaan negara harus di lakukan

secara terbuka. Aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus di

lakukan secara terbuka adalah:

1) Penetapan posisi, kedudukan, dan jabatan

2) Kekayaan pejabat publik

3) Pemberian penghargaan

4) Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan

kehidupan

5) Kesehatan

6) Moralitas pejabat dan aparatur pelayanan public


85

7) Keamanan dan ketertiban

8) Kebijakan dan ketertiban

9) Kebijakan strategis untuk pecerahan kehidupan masyarakat

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan

masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga stakeholders.

Atau bisa dikatakan sebagai pertanggungjawaban pejabat publik

terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi

kepentingan mereka. Gunanya adalah untuk mengontrol dan menutup

peluang terjadinya penyimpangan seperti KKN.Indikator minimal

akuntabilitas antara lain:

1) Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar

prosedur pelaksanaan.

2) Adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan dan kelalaian

dalam melaksnakan tugas.

3) Adanya output dan income yang terukur

c. Prinsip Partisipatif (Participative)

Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, serta memberi dorongan bagi warga untuk menyampaikan

pendapat secara langsung atau tidak langsung dalam proses pengambilan

keputusan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat luas.

d. Penegakan Hukum (Rule of Law)


86

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-

perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan

hukum, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan

terutama hukum hak asasi manusia. Proses mewujudkacita good

governance, harus di imbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule

of lawdengan karakter-karakter antara lain sebagai berikut:

1) Supremasi hukum (the supremacy of law)

2) Kepastian hukum (legal certainty)

3) Hukum yang responsif

4) Penegakan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif

5) Indenpendensi peradilan

e. Prinsip Cepat Tanggap (Responsive)

Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus responsif

terhadap persoaalan-persoalan masyarakat. Pemerintah harus memahami

kebutuhan masyarakatnya jangan menunggu mereka menyampaikannya

keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan

menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian

melahirkan berbagai kebijakanstrategis guna memenuhi kepentingan

umum.

f. Prinsip Kesepakatan/ Konsensus (Concencus)

Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda

untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih

luas.
87

g. Prinsip Kesetaraan/ Keadilan (Equality)

Proses pengelolaan pemerintah harus memberikan peluang,

kesempatan, pelayanan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan.

Tidak seorang atau sekelompok orangpun yang teraniaya dan tidak

memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan pemerintah

seperti ini akan memperoleh legitimasi yang kuat dari public dan akan

memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat.

h. Prinsip Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)

Pemerintahan yang baik juga harus memenuhi kriteria

efektuvitas dan efesiensi, yakni berdayaguna dan berhasilguna. Kriteria

efektivitas biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat

menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai

kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan efesiensi biasanya di ukur

dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan

semua masyarakat.

i. Prinsip Visi Strategis (Strategic Vision)

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk

menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting

dalam kerangka perwujudan goodgovernance, karena perubahan dunia

dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat.


88

2. Teori Hukum Progresif

Teori Hukum Progresif dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo dimana

dinyatakan bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya

yaitu hukum untuk manusia, bukan sebaliknya sehingga manusia menjadi

penentu dan titik orientasi hukum. Hal ini mengingat di samping kepastian

dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia atau

memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Sehingga boleh dikatakan

bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam

konteks mencari kebahagiaan hidup.70 Satjipto Rahardjo menyatakan “….,

baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan ke depan,

sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan

manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks

hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri,

melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.71

Menurut Satjipto Rahardjo penegakan hukum progresif adalah

menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan

(according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih

dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum

tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual.

Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh

70
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2009, hlm.1
71
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007, hlm. ix
89

determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan

disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.72

Bagi hukum progresif proses perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum

dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat

melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap

peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing

the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku

hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari

keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali

terhadap suatu peraturan, pada titik inilah menurut Satjipto Rahardjo hukum

harus dibiarkan mengalir begitu saja menggeser paradigma hukum

positivisme untuk menemukan tujuannya sendiri. Agar hukum dirasakan

manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif

menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang

memang harus dilayaninya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dipahami bahwa secara substantif

gagasan pemikiran hukum progresif tidak semata-mata memahami sistem

hukum pada sifat yang dogmatik melainkan juga aspek perilaku sosial pada

sifat yang empirik di mana hukum dipandang sebagai suatu:

a. Institusi Yang Dinamis

72
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2009, hlm. xiii
90

Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa

institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya

hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam

proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).

Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak

secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu,

hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah

institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya

menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas

kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,

kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat

“hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the

making).73

Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu

bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya

hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan

sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum

sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang

selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan undang-undang

maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai

sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi

73
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education, 2010, hlm.
72
91

bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk

memenuhi kepentingan kepastian hukum.

b. Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan

Dasar filosofi dari pemikiran hukum progresif adalah suatu

institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang

adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.74 Hukum adalah untuk

manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai

kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena

itu menurut pemikiran hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari

manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif

yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini

semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi

problem-problem kemanusiaan.

c. Aspek Peraturan dan Perilaku

Orientasi pemikiran hukum progresif bertumpu pada aspek

peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun

sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku

atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah

terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun di sini, bahwa hukum bisa

dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya. Dengan


74
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas
Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP, 2009, hlm.
31
92

menempatkan aspek perilaku berada di atas aspek peraturan, faktor

manusia dan kemanusiaan mempunyai unsur compassion (perasaan

baru), sincerely (ketulusan), commitment (tanggung jawab), dare

(keberanian), dan determination (kebulatan tekad).

Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan di

atas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan

perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara

utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk

sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai

tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan

keadilan kepada siapapun. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada

peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan

hukum, akan memberikan pemahaman hukum sebagai proses

kemanusiaan.75

d. Ajaran Pembebasan

Pemikiran hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan

“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan

teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan”

itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.

Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka

diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan

“mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.


75
Ibid
93

Paradigma “pembebasan” yang dimaksud di sini bukan berarti

menjurus kepada tindakan anarkisme, sebab apapun yang dilakukan

harus tetap didasarkan pada logika kepatutan sosial dan logika keadilan

serta tidak semata-mata berdasarkan logika peraturan semata. Di sinilah

pemikiran hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati

nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali

“paradigma pembebasan” itu.

Dengan demikian paradigma pemikiran hukum progresif bahwa

“hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat konsep

pemikiran hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan

menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk

mewujudkannya.

3. Teori Badan Hukum

Dalam pergaulan hukum, manusia ternyata bukan satu-satunya

pendukung hak dan kewajiban. Di samping manuisa, masih ada

lagpendukung hak dan kewajiban yang dinamakan badan hukum

(rechtpersoon) untuk membedakan dengan manusia (natuurlijkpersoon).

Jadi, ada suatu bentuk hukum (rechtsfiguur) yaitu badan hukum yang

dapat mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban hukum dan dapat

mengadakan hubungan hukum.76

76
R. Ali Rido, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan dan Wakaf, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 53.
94

Badan hukum merupakan terjemahan istilah hukum belanda yaitu

rechtspersoon, persona moralis (latin) dan legal persoons (Inggris).

Pengertian menurut para sarjana yang dikutip dari Chidir Ali, antara lain:77

a. Menurut Maijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang

menjadi pendukung hak dan kewajiban.

b. Menurut Logemann, badan hukum adalah suatu personifikatie

yaitu suatu bestendigheid (perwujudan) hak dan kewajiban.

Hukum organisasi menentukan struktur intern dari personifikatie

itu.

c. Menurut E. Utrecht, badan hukum yaitu badan yang menurut

hukum berkuasa menjadi pendukung hak yang tidak berjiwa.

d. Menurut R. Subekti, badan hukum adalah suatu badan atau

perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan

perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan

sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

e. Menurut R.Rohmat Sumitro, badan hukum ialah suatu badan

yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang

pribadi.

f. Menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan, badan hukum adalah

kumpulan dari orang-orang, bersama-sama mendirikan suatu

badan dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk

tujuan tertentu.

77
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 21-22.
95

g. Menurut wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah badan

yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat

bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak,

kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang

lain atau badan lain.Dari pendapat para sarjana tersebut, pada

intinya adalah badan hukum atau pribadi hukum adalah sesuatu

yang dianggap sama dengan manusia kodrati, sehingga dapat

melakukan perjanjian, memiliki kekayaan, melakukan gugatan,

dapat digugat.

Perbedaannya dengan manusia adalah badan hukum tidak dapat

melakukan perkawinan dan tidak dapat dipenjara. Tetapi badan hukum

dapat dikenai hukuman denda atau administrasi.Persoalan badan hukum

telah menimbulkan bermacam-macam teori. Teori-teori tersebut

digunakan sebagai dasar pembenaran adanya badan hukum tersebut.

Macam-macam teori badan hukum menurut Joni Emirzon , 78 dapat

dibedakan antara lain teori-teori yang berusaha ke arah perniagaan

persoalan badan hukum, antara lain dengan jalan mengembalikan persoalan

itu kepada orang-orangnya (persoalan moralis), yang merupakan orang-

orang yang sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban. Golongan ini terbagi-

bagi antara lain:

a. Teori Propriete Collective/ Collective Vermogens

78
Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, Palembang: Prenhalindo Jakarta, 2000, hlm.
20.
96

Teori ini berasal dari Rudolf von Jhering yang diteruskan oleh

Planiol dan diteruskan lagi oleh Molengraff. Menurut teori ini

bahwa badan hukum itu bukan abstraksi dan bukan organisme,

melainkan semua para anggotanya bersama-sama mempunyai

eigendom, bertanggung jawab bersama-sama dan mempunyai hak

bersama-sama. Kekayaan dari badan hukum itu kepunyaan bersama

darisemua anggotanya itu.

b. Teori Organ

Teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke dan didukung

oleh L.G. Polano. Teori ini juga disebut Theori van de Organische

Rechtspersoonlijkheid. Menurut teori ini, bahwa badan hukum itu bukan

suatu hal yang abtsrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum itu

bukan suatu kekayaan (hak) yang tak bersubyek, tetapi badan

hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja sebagai

manusia biasa.

Golongan teori-teori lainnya yang masih mau mempertahankan

persoalan badan hukum, yaitu :

a. Fictie Theory
97

Teori ini dikemukakan oleh Friedrich Carl von Savigny

(Jerman) dan Opzomer (Belanda).79 Menurut teori ini bahwa badan

hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang

konkrit. Jadi, karena suatu abstraksi saja, maka tidak mungkin

menjadi suatu subyek dari rechtsbetreckking, sebab hak-hak itu

memberikan kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan

menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht).

b. Doel Vermogens Theory

Yaitu teori kekayaan yang bertujuan atau ajaran hak-hak yang

tanpa subyek. Ajaran ini terkenal dengan nama Zweckvermogen.

Teori ini dikemukakan oleh A. Brinz. Menurut teori ini bahwa

kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana

lazimnya. Kekayaan badan hukum dipandang sebagai wewenang

terlepas dari yang memegangnya atau onpersoonlijk subjekloos. Yang

penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan itu diurus

dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu, menurut teori ini tidak peduli

ma nusia atau bukandan tidak peduli kekayaan itu merupakan hak-hak

yang normal atau bukan. Yang terpenting adalah tujuan dari

kekayaan itu.

c. Yuridische Realtaitsleer (Teori Kenyataan Yuridis)


79
Jimly Ashiddiqie, Badan Hukum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/14.%20
Diunduh%201%20Maret%202012 diakses pada 5 Mei 2015
98

Teori ini dikemukakan oleh Meyers. Menurut teori ini bahwa

badan hukum itu merupakan suatu relaiteit, konkrit, riil, walaupun

tidak bisa diraba tetapi bukan khayal dan merupakan suatu yurische

realiteit. Teori ini menekankan bahwa hendaknya dalam

mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada

bidang hukum saja.

Dari beberapa teori tentang badan hukum di atas, dapat

ditentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi oleh suatu perkumpulan

yang berbentuk badan hukum. Selain persyaratan yang disebutkan oleh

Doktrin, harus juga dipenuhi syarat yang diminta oleh perundang-

undangan atau hukum kebiasaan dan yurisprodensi.

Untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus memenuhi

unsur:

a. Harus ada harta kekayaan terpisah dari kekayaan pribadi

anggotanya.

b. Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum,

dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu

orang atau beberapa orang saja.

c. Meskipun kepentingan itu tidak terletak pada orang-orang

tertentu, namun kepentingan itu harus stabil, artinya tak terikat

pada suatu waktu yang pendek saja, tetapi untuk jangka waktu

yang panjang..

d. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri.


99

e. Mempunyai tujuan tertentu.

f. Mempunyai kepentingan sendiri.

g. Adanya organisasi yang teratur.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nindyo Pramono , bahwa

salah satu ciri dari badan hukum adalah adanya kekayaan yang terpisah.

Namun apa yang dimaksud dengan kekayaan terpisah, tidak kita

temukan penjelasannya. Paling hanya dikatakan bahwa arti terpisah

adalah terpisah dari kekayaan si pendiri badan hukum tersebut.80

Di samping pengetahuan tentang teori badan hukum, perlu juga

dibahas tentang pembagian atau penggolongan badan hukum untuk

melihat secara komprehensif kedudukan badan hukum di Indonesia.

Pembagian badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut

macam-macamnya, jenisnya dan sifatnya.

a. Badan Hukum Menurut Macam-Macamnya

Menurut landasan hukum di Indonesia, dikenal dua macam

badan hukum yaitu:

1) Badan hukum orisinil (murni/ asli), yaitu negara.

2) Badan hukum yang tidak orisinil (tidak murni), yaitu badan-

badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan

ketentuan pasal 1653 KUHPerdata.

b. Badan Hukum Menurut Jenisnya

80
Nindyo Pramono, “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun
2003 tentang BUMN”, dalam Sri Rejeki Hartono, et.al, ed Permasalahan Seputar Hukum Bisnis:
Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006, hlm 142.
100

Pembagian badan hukum menurut jenisnya terbagi menjadi dua,

yaitu:

1) badan hukum publik, yaitu badan hukum yang diadakan

dan diakui oleh kekuasaan umum atau pemerintahan,

contohnya adalah negara termasuk didalamnya kotapraja

atau pemerintah propinsi dan pemerintah kota dan

kabupaten, Bank Indonesia dan lain-lain;

2) badan hukum perdata, yaitu badan-badan hukum yang

terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-

perorangan, contohnya adalah Perseroan Terbatas, Koperasi

dan Yayasan.

c. Badan Hukum Menurut Sifatnya

Pembagian badan hukum menurut sifatnya terbagi menjadi dua,

yaitu:

1) Korporasi (corporatie) dan;

2) Yayasan (stichting).

Di samping ketiga pembagian diatas, masih ada lagi pembagian

menurut sarjana yang lain seperti yang ditulis oleh Chidir Ali, yaitu :81

a. Menurut E. Utrecht dan Mohammad Soleh Djidang, badan hukum

terbagi atas:

1) Perhimpunan (vereniging), contohnya PT (NV), perusahaan

negara dan joint venture;

81
Chidir Ali, Op.,Cit, hlm. 23.
101

2) Persekutuan orang (gemmenschap van mensen) yang terbentuk

karena faktor-faktor kemasyarakatan, politik, dan sejarah,

contohnya negara, propinsi, kabupaten dan desa;

3) Organisasi orang yang didirikan berdasarkan undang-undang

tetapi bukan perhimpunan yang termasuk sub 1);

4) Yayasan.

b. Menurut Sri Soedewi M.S. badan hukum dibagi menjadi :82

1) Yang termasuk badan hukum ketatanegaraan, yaitu (1) daerah-

daerah otonom seperti propinsi, kabupaten/ kotapraja, dan (2)

lembaga-lembaga, majelis, dan bank-bank;

2) Yang termasuk badan hukum keperdataan, yaitu (1) zakelijk

lichaan yang diatur dalam buku II BW, yayasan, koperasi, PT,

I.M.A., dan lain-lain.

c. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, menggunakan

istilah pribadi hukum (corporations), membagi badan hukum

menjadi:83

1) Berdasarkan pendaftaran, yaitu ada yang terdaftar secara resmi

dan tidak;

2) Menurut sistem perdata internasional di Amerika Serikat,

dibedakan yaitu:

82
Handri Rahardjo, Hukum Perusahaan, Pustaka Yusticia, Yogyakarta, hlm 2009, hlm
19.
83
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata,, CV
Rajawali, Jakarta, hlm. 51.
102

a) Pribadi hukum yang mempunyai suatu kehidupan

tersendiri sebagai subyek hukum, mempunyai hak-hak

dan kewajiban perdata seperti negara, kotapraja,

associations yang bersifat pribadi hukum (incorporated)

seperti badan-badan usaha dagang, asosiasi yang tidak

bersifat komersial dan asosiasi koperasi, serta yayasan-

yayasan perdata (private fondations);

b) Asosiasi yang tidak berbadan hukum (unincorporated

associations) seperti assosiasi yang tidak mengejar

keuntungan, persekutuan-persekutuan dagang (limited

partnership, jointstock companies, business trust) dan

partnership secara umum;

c) Kontrak-kontak usaha bersama seperti joint adventures

(joint ventures, societas unius rei).

3) Dari segi kewenangannya, yaitu merupakan pribadi hukum

dalam hubungan internasional ada yang bersifat supranasional,

misalnya PBB dan ada yang bersifat multi nasional misalnya

pribadi hukum multi nasionalyang berpusat, pribadi hukum

multi nasional yang desentralized, usahausaha dagang multi

nasional dan pribadi hukum untuk maksud ekonomis yang

dibentuk berdasarkan suatu traktat internasional atau suatu

perundang undangan khusus.


103

Dari penjelasan pembagian badan hukum diatas, masih belum

kelihatan dimana bagian dari badan hukum asing, yaitu apakah berada

dalam wilayah badan hukum publik atau privat. Agar lebih jelas lagi, maka

perlu dibahas tentang kedudukan badan hukum asing dalam sistem

perundang-undangan di Indonesia.

Istilah badan hukum asing memang tidak dijumpai secara

eksplisit dalam teori-teori badan hukum dan pembagian atau

penggolongan badan hukum yang dilakukan oleh para sarjana-sarjana. Akan

tetapi istilah badan hukum asing terdapat dalam beberapa peraturan

perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain:

a. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Undang-Undang

Pokok Agraria, yaitu pada pasal 42 huruf D, pasal 45 huruf D

dan penjelasan pasal 41 dan 42. Untuk penjelasan yang lebih

lengkap akan diuraikan dalam bagian tersendiri.

b. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

yaitu pada pasal 1 angka 8 yaitu Modal asing adalah modal yang

dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing,

badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum

Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh

pihak asing.

c. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

yaitu pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf a, yaitu dalam

mendirikan perseroan diperlukan kejelasan mengenai


104

kewarganegaraan pendiri. Pada dasarnya badan hukum Indonesia

yang berbentuk Perseroan didirikan oleh warga negara

Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, kepada warga

negara asing atau badan hukum asing diberikan kesempatan

untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk

perseroan sepanjang undang-undang yang mengatur bidang

perseroan tersebut memungkinkan, atau pendirian perseroan

tersebut diatur.
105

BAB III

PELAKSANAAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE


DALAM PENGELOLAAN PERSEROAN TERBATAS

A. Perkembangan Prinsip Good Corporate Govenrnance

Beberapa tahun terakhir ini, istilah Good Corporate Governance (GCG)

kian populer. Tak hanya populer, istilah tersebut juga ditempatkan di posisi

terhormat. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk

tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan

persaingan bisnis global. Kedua, krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika

Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG.84

Pada tahun 1999, negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena

krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa

kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di negara-

negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih atau tetap

terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat masing-

masing.85
84
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance : Konsep dan Penerapannya di
Indonesia. Ray Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 55.
85
Djokosantoso Moeljono, Good Corporate Culture sebagai inti dari Good Corporate
Governance, Elex-Gramedia, Jakarta, 2005, hlm 2.
106

Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum

dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum menjalankan

governansi (Moeljono). Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998

menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling

rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan

Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia

ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.86

Konsultan manajemen McKinsey & Co, melalui penelitian pada tahun yang

sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan

Indonesia yang tercatat dipasar modal (sebelum krisis) ternyata overvalued.

Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan oleh

growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning stream.

Sebagai pembanding, nilai dari perusahaan publik yang sehat di negara maju

ditentukan dengan komposisi 30% dari growth expectation dan 70% dari current

earning stream, yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi,

sebenarnya terdapat ”ketidakjujuran” dalam permainan di pasar modal yang

kemungkinan dilakukan atau diatur oleh pihak yang sangat diuntungkan oleh

kondisi tersebut.87

Perhatian terhadap corporate governance terutama juga dipicu oleh skandal

spektakuler seperti, Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly

Peck, Maxwell, dan lain-lain. Keruntuhan perusahaan-perusahaan publiktersebut

dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktek curang dari manajemen

86
Ibid, hlm 24.
87
Loc.,Cit
107

puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena

lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate boards.

Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah

stewardship theory dan agency theory.88 Stewardship theory dibangun di atas

asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusiapada hakekatnya

dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki

integritasdan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan

fidusia yang dikehendaki para pemegang saham.89

Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai

dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik

maupun stakeholder.

Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson,

memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang

saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri,

bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.

Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respon lebih

luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai

pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada

agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada

berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.

88
Richard Chinn, Corporate Governance Handbook, Gee Publishing Ltd. London, 2000,
hlm 43.
89
John. C Shaw,, Corporate Governance and Risk: A System Approach, John Wiley &
Sons, Inc, New Jersey, 2003, hlm 23.
108

Good corporate governance(GCG) secara definitif merupakan sistem yang

mengatur dan mengendalikan perusahaanyang menciptakan nilai tambah (value

added) untuk semua stakeholder.90 Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep

ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi

dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk

melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan

terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good

corporate governance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan

responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip

good corporate governancesecara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas

laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja

yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental

perusahaan.91

Konsep good corporate governance baru populer di Asia. Konsep ini

relatif berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru

dikenal di Inggris pada tahun 1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam

kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika

Utara) mempraktikkan pada tahun 1999.

Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance

yaitu:

90
Robert A.G, Monk, dan Minow, N, Corporate Governance 3rdEdition, Blackwell
Publishing, 2003, hlm 43.
91
Fred. R Kaen, A Blueprint for Corporate Governance: Stregy, Accountability, and the
Preservation of Shareholder Value, AMACOM, USA. 2003, hlm 72.
109

1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam

melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam

mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan

pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan

terlaksana secara efektif.

3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di

dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta

peraturan perundangan yang berlaku.

4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan

dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan

pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan

peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip

korporasi yang sehat.

5. Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara

di dalam memenuhi hakhak stakeholderyang timbul berdasarkan

perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.

Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan

melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas

manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan

dan peraturan yang berlaku.


110

Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi

perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas

situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan

GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di

dalam perusahaan.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam

menerapkan GCG menggunakan pentahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw,2003).

1. Tahap Persiapan

Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama: 1) awareness building, 2)

GCG assessment, dan 3) GCG manual building. Awareness building

merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting

GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat

dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar

perusahaan. Bentuk kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya,

dan diskusi kelompok. GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur

atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG

saat ini.

Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG

dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan

infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG

secara efektif. Dengan kata lain, GCG assessment dibutuhkan untuk

mengidentifikasi aspek-aspek apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih

dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.


111

GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment

dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan

upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau pedoman

implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan

dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini

dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan manual

untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti:

a. Kebijakan GCG perusahaan

b. Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan

c. Pedoman perilaku

d. Audit commitee charter

e. Kebijakan disclosure dan transparansi

f. Kebijakan dan kerangkamanajemen resiko

g. Roadmap implementasi

2. Tahap Implementasi

Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya

adalah memulai implementasi di perusahaan. Tahap ini terdiri atas 3 langkah

utama yakni:

a. Sosialisasi, diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh

perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG

khususnya mengenai pedoman penerapan GCG. Upaya sosialisasi

perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu,
112

langsung berada di bawah pengawasan direktur utama atau salah

satu direktur yang ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan.

b. Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan

pedoman GCG yang ada, berdasar roadmap yang telah disusun.

Implementasi harus bersifat top down approach yang melibatkan

dewan komisaris dan direksi perusahaan. Implementasi hendaknya

mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management)

guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh

implementasi GCG.

c. Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi.

Internalisasi mencakup upayaupaya untuk memperkenalkan GCG di

dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan berbagai

peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa

penerapan GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu

kepatuhan yang bersifat superficial, tetapi benar-benar tercermin

dalam seluruh aktivitas perusahaan.

3. Tahap Evaluasi

Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari

waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG

telah dilakukan dengan meminta pihak independen melakukan audit

implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada. Terdapat banyak

perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan
113

di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan scoring. Evaluasi

dalam bentuk assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara

mandatory misalnya seperti yang diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi

dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta

capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan

perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.

Laporan World Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan, dari 144

negara yang disurvei, Indonesia berada pada rangking 46. 92 Fakta ini

menunjukkan bahwa Indonesia sebagai organisasi Negara bangsa memerlukan

budaya organisasi.

Budaya perusahaan merupakan konsep baru yang berkembang dari ilmu

manajemen dan ilmu psikologi industri dan organisasi (Moeljono,2005). Bidang-

bidang ilmu tersebut mencoba lebih dalam mengupas penggunaan konsep-konsep

budaya dalam ilmu manajemen dan organisasi dengan tujuan meningkatkan

kinerja organisasi. Konsep budaya perusahaan merupakan perkembangan lebih

lanjut dari ilmu manajemen dan organisasi.

Selain ilmu manajemen, ilmu hukum juga mencoba mengupas

permasalahan dan mencari cara agar budaya perusahaan dapat berjalan dengan

baik,dengan membentuk perangkat hukum mewadahi konsep yang digunakan

untuk membentuk budaya perusahaan yang baik.

92
Klaus Schwab, The Global Competitive Report 2014-2015. Geneva, the World
Economic Forum, 2014, hlm. 15.
114

B. Penerapan Prinsip Good Corporate Govenrnance di Indonesia

Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu. Krisis ini ternyata

berdampak luas teutama dalam merontokkan rezim-rezim politik yang berkuasa di

Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-

an dipandang sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi

mereka rapuh, yang pada akhirnya merambah pada krisis politik.

Sejak krisis tersebut melanda, sekarang dapat dilihat pertumbuhan kembali

Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan yang pernah

terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak perusahaan-

perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat

dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya.

Era pascakrisis di Indonesia ditandai dengan goncangan ekonomi

berkelanjutan. Mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para

konglomerat, yang berakibat pada penurunan iklim berusaha.93

Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan

beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia. Pertama,

konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak efektifnya fungsi

pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya transparansi

mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat, terlalu

tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak

93
Aburizal Bakrie, Good Corporate Governance: Sudut Pandang Pengusaha, YPMMI &
Sinergi Communication, Jakarta, 2002, hlm 74.
115

memadainya pengawasan oleh para kreditor. Dan jika Indonesia tidak segera

memulihkan keadaan, maka krisis 1998 dapat terjadi kembali.94

Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas

prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance oleh kumunitas bisnis dan

publik pada umumnya.95

Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia yakni, menetapkan

kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka nasional dan membangun inisiatif

sektor swasta. Terkait dengan kerangka regulasi, Bapepam bersama dengan self-

regulated organization (SRO) yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB telah

menghasilkan beberap proyek GCG seperti JSX Pilot project, ACORN, ASEM,

dan ROSC. Seiring dengan proyek-proyek ini, kementerian BUMN juga telah

mengembangkan kerangka untuk implementasi GCG.

Dalam kaitan dengan peran dan fungsi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) dapat memastikan bahwa berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, terus

menerus disempurnakan, serta berbagai pelanggaran yang terjadi akan

mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam hal regulatory framework, untuk mengkaji peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan korporasi dan program reformasi hukum, pada

umumnya terdapat beberapa capaian yang terkait dengan implementasi GCG

seperti diberlakukannya Undang-Undang tentang Bank Indonesia di tahun 1998,

Undang-Undang Anti Korupsi tahun 1999, dan Undang-Undang BUMN, serta

privatisasi BUMN tahun 2003.


94
Harian Kontan, “Jika Tidak Hati-Hati Krisis 1998 Bisa Terulang”
http://nasional.kontan.co.id, diakses pada 5 Mei 2015.
95
Mas Ahmad Daniri, Op.Cit, hlm 49.
116

Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pendaftaran Perusahaan, serta Undang-

Undang Kepailitan. Dalam pelaksanaan program reformasi hukum, terdapat

beberapa hal penting yang telah diterapkan, misalnya pembentukan pengadilan

niaga yang dimulai tahun 1997 dan pembentukan badan arbitrasi pasar modal

tahun 2001.

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)

berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung

jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat

internasional. Namun, walau menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang

melaporkan masih rendahnya perusahaan yang menerapkan prinsip tersebut.

Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG karena dorongan regulasi

dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip

tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.

CLSA dalam pernyataannya yang dimuat dalam websitenya menyatakan:

CG Watch 2014 reveals that overall Asia Pacific performance ratings of the
surveyed corporates have slipped yet again. Ex-Australia, ratings on the two
top markets, Singapore and Hong Kong, have slipped due to internal
conflicts of interest, weak leadership and opposition to reform from various
quarters. Japan has leapt to third position, with more concrete efforts to
improve governance. Malaysia, Taiwan and India have also moved up, but
Indonesia and the Philippines remain at bottom.96

Dalam pelaksanaan GCG, terdapat perbedaan pelaksanaannya di tiap

Negara, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lainseperti kerangka

96
CLSA, Corporate Governance Watch 2014 Dark Shades of Grey: Corporate
Governance and Sustainability in Asia, www.clsa.com diakses 23 Mei 2015.
117

hukum, maupun hal-hal yang tidak tertulis namun memiliki pengaruh yang luar

biasa pada tingkat keberhasilan penerapan prinsip-prinsip governanceyang baik.

Salah satu kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh lembaga-

lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank Dunia

terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik GCG.

Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses dan struktur yang digunakan

untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan

tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholders lain. Dari pengertian tersebut,

selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah permasalahan

mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup

diaplikasikannya prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairnessdan

responsibility.97

Konsultan manajemen McKinsey (2004) mendefinisikan transformasi

sebagai perubahan yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan menuju

tingkat kinerja yang lebih tinggi berdasar pada kapabilitas dan budaya

organisasi. Transformasi yang berhasil mensyaratkan arsitektur program yang

artikulatif dan konsisten pada tiga tingkat: agenda perubahan secara keseluruhan,

pokok-pokok kinerja yang ingin dicapai, dan inisiatif individual.

Daniri (2008) menyampaikan dalam Bisnis Indonesia bahwa ada Tiga

tingkat perubahan itu sejalan dengan Pedoman Umum GCG Indonesia yang

diluncurkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada


97
Umar Farouk, Good Corporate Governance dan Hukum Perusahaan (Good Corporate
Governance and Company Law), Bank & Manajemen Journal, ISSN 0215-8221, Jakarta,
September – October 2001, hlm. 40-44
118

2007. Pada level agenda perubahan, GCG membutuhkan komitmen dari seluruh

jajaran perusahaan dan skenario yang jelas tentang kemana arah yang dituju

dengan penerapan GCG.

Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia – McKinsey Consulting

Group mengindikasikan bahwa investor asing (Asia, Eropa, Amerika Serikat)

bersedia memberikan premium sebesar 26% - 28% bagi perusahaan Indonesia

yang secara efektif telah mengimplementasikan praktik GCG. Kesimpulan

yang dapat ditarik dari survei tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat

budaya GCG pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin

tinggi kepada perusahaan yang menerapkan GCG.98

Dalam hal ini, para investor akan sangat menghargai manajemen

perusahaan yang berani melakukan hal positif di dalam tata kelola

perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Namun demikian,

ternyata peringkat penerapan GCG Indonesia berada pada peringkat terendah dan

jauh lebih buruk dibanding Jepang, Taiwan, Korea, Thailand dan Malaysia. Hal

ini menjadi tantangan bagi pelaku bisnis khususnya sektor perbankan.99

Bank Indonesia, mengeluarkan Peraturan BI Nomor 8/4/PBI/2006

menunjukkan tingkat kesadaran yang tinggi dari Bank Indonesia akan kian

pentingnya perbankan nasional menerapkan GCG. Diharapkan dengan adanya

penilaian pelaksanaan GCG ini, masyarakat akan dapat menilai dan

menjatuhkan kepercayaannya kepada bank yang benar-benar telah

98
Edi Wibowo, Implementasi GCG di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan
Vol 10, No. 2 Tahun 2010, hlm. 135.
99
Mohamad Fajri dan Sofyan,Djalil, 2006, ”Penilaian GCG Perbankan”, Harian
Suara Karya, Kamis 16 Maret 2006.
119

menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik, sehingga masyarakat pun

akan merasa aman menyimpankan dananya di bank tersebut.

Bank Indonesia (BI) menemukan sekitar 69,3% bank yang beroperasi

di Indonesia belum memenuhi ketentuan GCG atau tata kelola yang baik. Dari

hasil evaluasi BI, sekitar 69,3% bank di Indonesia belum comply terhadap

ketentuan GCG. Hasil evaluasi ini diperoleh dari percobaan BI mengenai

penerapan beberapa pasal dari ketentuan GCG terhadap industri perbankan di

Indonesia. Evaluasi dilakukan terhadap 101 bank pada periode September 2007.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan

corporate governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu

mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini

disebabkan oleh adanya sejumlah kendala yang dihadapi oleh perusahaan-

perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya melaksanakan corporate

governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate governance dengan

baik. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala eksternal,

dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.

Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan

karyawan perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan

perusahaan tentang prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya

panutan atau teladan yang diberikan oleh pimpinan, belum adanya budaya

perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-prinsip good corporate

governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal.100

100
Djatmiko, H.E, ”Ada Kemajuan, Banyak Keprihatinan”, SWA,XX, 4, 2004.
120

Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate governance terkait

dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-enforcement).

Indonesia tidak kekurangan produk hukum. Secara implisit ketentuan-ketentuan

mengenai GCG telah ada tersebar dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 (UUPT), Undang-Undang dan Peraturan Perbankan, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya

oleh pemegang otoritas, seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,

Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan sangat lemah. Oleh

karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk membiasakan

proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan

praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG.

Baik kendala internal maupun kendala eksternal sama-sama penting

bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal bisa dipecahkan maka

kendala eksternal akan lebih mudah diatasi. Kendala yang ketiga adalah kendala

yang berasal dari struktur kepemilikan. Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam

saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang menyebar. Kepemilikan

yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki secara dominan

oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan

yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham

yang banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham

hanya memiliki saham sebesar 5% atau kurang).


121

Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur kepemilikan

terkonsentrasi adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan

dengan baik karena, pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau

sekelompok orang dapat menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan

sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan. Sama seperti halnya kendala

eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari struktur kepemilikan

terkonsentrasi dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal

yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-

hak dan tanggung jawab secara adil di antara berbagai partisipan dalam

organisasi (Dewan Komisaris, Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta

pemangku kepentingan lainnya), dan dampak negatif ini juga akan hilang jika

dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai Komisaris Independen

dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan (syarat-

syaratyang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen).

Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong dan

menciptakan iklim yang lebih independen, objektif, dan menempatkan

keadilan sebagai prinsip utama yang memperhatikan kepentingan pemegang

saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya. Peran Komisaris

Independen ini diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan

praktik corporate governance pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia,

termasuk BUMN. Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian

internal yang efektif tersebut terkait dengan upaya perusahaan untuk

mengatasi kendala internalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwadampak


122

negatif dari struktur kepemilikan akan hilang jika perusahaan mampu

mengatasi permasalahan yang terkait dengan kendala internalnya.101

C. Implementasi Good Corporate Governance dalam Peraturan Perundang-


Undangan

Salah satu peran penting guna mewujudkan prinsip GCG agar dapat

berjalan dengan baik adalah menyusunnya menjadi perangkat hukum, agar

seluruh perusahaan dapat menerapkannya menjadi budaya perusahaan. Adapun

beberapa aturan yang dibentuk adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999

Menjawab pentingnya GCG diterapkan, pemerintah Indonesia

memberikan respon dengan membentuk suatu komite pada tahun 1999

yang tugasnya merekomendasikan pedoman umum GCG yang pertama,

yaitu Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG).102

Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance

(KNKCG) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor:

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate

Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali

disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa

suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama,

maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia

101
Aries Susanti, Hubungan Antara Fungsi Elemen Organisasi dengan Terwujudnya
Prinsip Good corporate governance. Institut Teknologi Bandung, 2008, hlm . 42.
102
Stephan Spehl,Thomas Gruetzner, Corporate Internal Investigations: A Systematic
Overview of 13 Jurisdictions, Hart Publishing, Muchen, 2013, hlm. 230.
123

dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan PedomanGCG Perasuransian

Indonesia.

Sejak Pedoman GCG dikeluarkan pada tahun 1999, dan itu selama

proses pembahasan pedoman GCG sektor perbankan dan sektor

perasuransian telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar baik di

dalam negeri maupun di luar negeri. Walaupun peringkat penerapan GCG di

dalam negeri masih sangat rendah, namun semangat menerapkan GCG di

kalangan dunia usaha dirasakan ada peningkatan. Perkembangan lain yang

penting dalam kaitan dengan perlunya penyempurnaan Pedoman GCG

adalah adanya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997-1999 yang di

Indonesia berkembang menjadi krisis multidimensi yang berkepanjangan.

Krisis tersebut antara lain terjadi karena banyak perusahaan yang belum

menerapkan GCG secara konsisten, khususnya belum diterapkannya etika

bisnis. Oleh karena itu, etika bisnis dan pedoman perilaku menjadi hal

penting yang dituangkan dalam bab tersendiri.

Di luar negeri terjadi pula perkembangan dalam penerapan GCG.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah

merevisi Principles of Corporate Governance pada tahun 2004. Tambahan

penting dalam pedoman baru OECD adalah adanya penegasan tentang

perlunya penciptaan kondisi oleh Pemerintah dan masyarakat untuk dapat

dilaksanakannya GCG secara efektif. Peristiwa WorldCom dan Enron di

Amerika Serikat telah menambah keyakinan tentang betapa pentingnya

penerapan GCG. Di Amerika Serikat, peristiwa tersebut ditanggapi dengan


124

perubahan fundamental peraturan perundang-undangan di bidang audit dan

pasar modal. Di negara-negara lain, hal tersebut ditanggapi secara berbeda,

antara lain dalam bentuk penyempurnaan Pedoman GCG di negara yang

bersangkutan. Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah juga

makin menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik,

mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat

diwujudkan tanpa adanya good public governance dan partisipasi

masyarakat.

2. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-


PBUMN/1999

Selain itu, menjawab pentingnya prinsip GCG diterapkan di

Indonesia, maka melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN

Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999 tentang Pembentukan Komite Audit bagi

BUMN. Keputusan Menteri BUMN ini menjadi awal berdirinya auditor

BUMN dalam menjalankan prinsip GCG terpenuhi oleh perusahaan

negara.103

3. SE Menteri BUMN No. 106 Tahun 2000

Surat Edaran ini dikeluarkan dalam rangka memberikan arahan pada

BUMN untuk segera memberlakukan prinsip GCG dalam BUMN, guna

memberikan perubahan dan antisipasi dari krisis 1997 agar tidak lagi

terulang. Pertumbuhan BUMN selama ini ternyata tidak dibangun di atas

103
Adji Suratman, Konsep, proses, dan implementasi rencana kerja dan anggaran
perusahaan: studi kasus PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari (PERSERO), Intama Artha
Indonusa, Jakarta, 2000, hlm 82.
125

landasan korporasi yangkuat, sehingga banyak BUMN yang tidak mampu

bertahan menghadapi dampak krisis yang terjadi.104

Oleh karena itu, saat ini dan di masa yang akan datang, sangat penting

bagi BUMN untuk menerapkan good corporate governance dalam rangka

mencapai kinerja perusahaan yang lebih baik. Selain hal itu, Surat Edaran ini

digunakan sebagai landasan bahwa adanya kewajiban bagi BUMN untuk

menerapkan prinsip ini sebagai landasan hukum sebelum aturan dan

pedoman penyelenggaraan prinsip GCG dibentuk pada saat itu.

4. Keputusan Menteri BUMN No. 23 Tahun 2000

Keputusan Menteri BUMN ini menjadi keputusan lanjutan dari SE

Menteri BUMN Nomor 106 Tahun 2000, dalam keputusan ini memuat

pengembangan praktik GCG dalam lingkungan BUMN agar menerapkan

prinsip GCG dalam pengelolaan BUMN.105

5. Surat Edaran Ketua Bapepam Nomor Se-03/PM/2000

Selanjutnya Surat Edaran Ketua Bapepam Nomor Se-03/PM/2000

tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya Komite Audit dimiliki

oleh setiap Emiten. Keberadaan Komite Audit di Indonesia dimulai sejak

tahun 2001 untuk perusahaan terbuka di Indonesia melalui Surat Edaran

Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) No: SE-03/PM/2000 yang berisi

himbauan perlunya Komite Audit dimiliki oleh setiap Emiten dan Surat
104
I Nyoman Tjager, Corporate governance: tantangan dan kesempatan bagi komunitas
bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2003, hlm 128.
105
Jurnal hukum bisnis, Volume 24,Masalah 1-3 Tahun 2005, hlm. 38.
126

Direksi BEJ (Bursa Efek Jakarta) No: Kep. 339/BEJ/07-2001 mengenai

kewajiban perusahaan tercatat untuk memiliki Komite Audit serta jumlah

keanggotaan dari komite itu sendiri.

6. Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002106

Pada tahun 2002, keberadaan Komite Audit untuk BUMN terdapat

dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002 yang

berisi bahwa dalam membantu Komisaris/Dewan Pengawas, Komite Audit

bertugas:

a. Menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilakukan oleh

Satuan Pengawasan Intern maupun Auditor Eksternal sehingga

dapat dicegah pelaksanaan dan pelaporan yang tidak memenuhi

standar, Memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan

sistem pengendalian manajemen perusahaan serta pelaksanaannya.

b. Memastikan bahwa telah terdapat prosedur review yang

memuaskan terhadap informasi yang dikeluarkan BUMN, termasuk

brosur, laporan keuangan berkala, proyeksi/forecast dan lain-lain

informasi keuangan yang disampaikan kepada pemegang saham.

c. Mengindentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian

Komisaris/Dewan Pengawas.

106
Johny Sudarmono, Be G2C Good Governed Company, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2004, hlm 2.
127

d. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Komisaris/Dewan

Pengawas sepanjang masih dalam lingkup tugas dan kewajiban

Komisaris/Dewan Pengawas berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Keberadaan Komite Audit merupakan sebuah fenomena global yang

tidak hanya terjadi di Indonesia, Salah satu perusahaan Korea, Samsung,

mendirikan Komite Audit pada tahun 2000. Komite Audit di dalam

perusahaan Samsung adalah sebuah komite yang bertugas di bawah Direksi

yang mengawasi dan mendukung manajemen agar dapat memaksimalkan

nilai perusahaan melalui checks and balances. Komite Audit terdiri dari tiga

directors (direktur), lebih dari dua pertiga di antaranya harus berasal dari

independent directors. Sesuai dengan hukum dan peraturan yang relevan,

Komite Audit berwenang untuk mengaudit usaha bisnis perusahaan; meminta

laporan tentang status usaha Perseroan dan menyelidiki aset perusahaan;

menerima laporan dari Direksi; menyelidiki anak Perusahaan; meminta untuk

menghentikan tindakan yang melanggar hukum dan peraturan; meminta

pertemuan rapat umum pemegang saham;merekomendasikan kandidat

auditor eksternal. Dalam rangka menjaga independensi dan check-and-

balance bagi Komite Audit, Perusahaan memberikan hak kepada anggota

Komite Audit berikut dengan peraturan:

a. Beritikad baik;

b. Menyelidiki dan melaporkan kepada rapat umum pemegang saham

c. Menyelidiki dan melaporkan kepada Dewan;


128

d. Mempersiapkan Laporan Hasil Audit;

e. Mempersiapkan dan mengirim Laporan Audit;

f. Bekerja di bawah undang-undang Audit Eksternal Perusahaan Efek.

Komite Audit pada umumnya memiliki akses langsung dengan setiap

unsur pengendalian dalam perusahaan. Sehingga diperlukan suatu mekanisme

komunikasi antara Komite Audit dengan berbagai pihak, dengan kata lain

semakin lancar komunikasi akan semakin meningkat kinerja dari

pengendalian perusahaan. Hal ini sejalan dengan kerangka GCG (Good

Corporate Governance) sendiri yang memiliki kandungan permintaan

disclosure (pengungkapan) informasi yang kuat. Selain itu peran dan

tanggung jawab Komite Audit dalam segi Corporate Governance adalah

berupa pengawasan terhadap prosescorporate governance di perusahaan,

memastikan bahwa manajemen puncak mempromosikan budaya yang

kondusif bagi tercapainya good corporate governance, memonitor kepatuhan

terhadap code of conduct perusahaan, memahami semua permasalahan yang

dapat mempengaruhi baik kinerja keuangan maupun non-keuangan

perusahaan.107

7. Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/ 49/ M.EKON/


11/ 2004

Dengan latar belakang perkembangan tersebut, maka pada bulan

November 2004, Pemerintah dengan Keputusan Menko Bidang

Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah menyetujui


107
Antonius Alijoyo dan Subarto Zaini, Komisaris Independen: Penggerak Praktik GCG
di Perusahaan. PT Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004, hlm 2.
129

pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri

dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah

dibentuknya KNKG, maka Keputusan Menko Ekuin Nomor:

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG dinyatakan tidak

berlaku lagi.108

8. Keputusan Menteri BUMN No. 09A/MBU/2005 Tentang Proses


Penilaian Fit & Proper Test Calon Anggota Direksi BUMN

Guna memberikan kemajuan dalam pengelolaan BUMN, maka

penting dilakukannya penilaian pada Calon yang akan menjadi direksi

BUMN agar sesuai dengan kemampuan dan terpenuhi persyaratan dan

memiliki track record yang jelas, maka Kementerian BUMN juga

membentuk keputusan ini agar menemukan kandidat yang memiliki

kemampuan menghindari unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam

penunjukan calon direksi.

9. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang GCG yang


dirubah dengan PBI No. 8/14/GCG/2006

Penerapan prinsip GCG dilakukan pada setiap perseroan baik yang

dimiliki oleh pemerintah atau swasta. Dalam hal ini perseroan yang bergerak

di bidang perbankan juga harus menerapkan prinsip GCG guna memberikan

perbaikan pada pengelolaan perseroan juga memberikan pertenggungjawaban

pada stakeholder. Peraturan Bank Indonesia tersebut memerintahkan

pelaksanaan prinsip GCG pada Bank Umum, sehingga saat ini semua Bank

wajib menerapkan GCG dalam pengelolaan perusahaannya. Aturan ini


108
Jurnal Hukum Bisnis, Op Cit, hlm. 21.
130

mengikat setiap Bank karena Bank Indonesia memiliki kewenangan membuat

aturan dalam dunia perbankan.109

10. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008

Hal yang berbeda dari peraturan ini adalah tertulisnya salah satu

ketentuan prinsip GCG dalam peraturan ini, yaitu transparansi, dimana dalam

proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN, pihak yang kalah

tender dapat mengajukan keberatan saat pengumuman tender sudah

dilakukan.

11. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Kegiatan perusahaan (perseroan) di Indonesia didasarkan atas payung

hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,

namun kemudian dicabut dandigantikan dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 40 Tahun 2007. Beberapa ketentuan lama masih relevan

yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang masih

dipertahankan dan disempurnakan, antara lain:

a. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi

informasi yang ada,seperti: telekonferensi, video konferensi, atau

saran media elektronik lainnya (Pasal 77).

109
Aris Ananta, Mulyana Soekarni, Sjamsul Arifin (ed), The Indonesian Economy
Entering a New Era, ISEAS Publishing, Singapura, 2011, hlm. 354.
131

b. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan

status badan hukumdan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan.

c. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi

dan Dewan Komisaris, termasuk mengatur mengenai komisaris

independen dan komisaris utusan.

d. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggun jawab sosial dan

lingkungan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak

mengatur secara eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu, Undang-Undang

ini mengatur secara garis besar tentang mekanisme hubungan, peran,

wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan tata cara rapat, serta

proses pengambilan keputusan dari organ minimal yang harus ada dalam

perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan

Dewan Komisaris. Disamping itu juga diatur mengenai persyaratan dan tata

cara pengangkatan serta pemberhentian anggota Direksi dan Dewan

Komisaris.

RUPS merupakan organ tertinggi dan memegang wewenang tertinggi

dalam perusahaanyang berbadan hukum PT. Anggota Dewan Komisaris dan

Dewan Direksi diangkat dandiberhentikan oleh RUPS. Dewan Komisaris

bertugas untuk mengawasi tindakan Dewan Direksi serta memberikan

nasehat dan arahan kepada Dewan Direksi dalam menjalankanoperasi

perusahaan. Dewan Direksi bertugas untuk menjalankan kegiatan operasi

perusahaan berdasarkan arahan dan garis besar kebijakan yang telah


132

ditetapkan oleh RUPS, DewanKomisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan

yang berlaku dalam koridor hukum. Uraian tugas, wewenang, hak, dan

tanggung jawab masing-masing organ ini selanjutnya dituangkandalam

Anggaran Dasar Perseroan.Sehubungan dengan sistem hukum yang berkaitan

dengan organ Direksi dan Komisarisini, dapat dijumpai adanya dua sistem

pengelola puncak (top management ) suatu perseroan, yaitu:

a. Model Anglo Saxon ( single-board system) diikuti oleh Amerika

Serikat dan Inggris.Dalam model ini tidak dikenal adanya

pemisahan antara Direksi (selaku pelaksana)dengan Dewan

Komisaris (selaku pengawas). Kedua fungsi ini disatukan dan

disebutsebagai Board of Director.

b. Model Kontinental dianut oleh negara-negara lain selain Inggris

yang juga dianut olehIndonesia, menggunakan model two-board

system, di mana organ Dewan Direksi sebagai eksekutif Perseroan

dipisah dengan Dewan Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas

dan penasehat Direksi.

12. Keputusan Dewan Komisioner OJK No. 1/ KDK.01/ 2013

Sebagai pengganti Bapepam, Otoritas Jasa Keuangan juga

menekankan penerapan prinsip GCG dalam tata kelola perusahaan dengan

membentuk Corporate Governance Task Force (CGTF). CGTF yang

dibentuk merumuskan pedoman yang digunakan oleh perusahaan. Adapun

pedoman dilakukan dengan pendekatan penerapan prinsip GCG diperusahaan


133

dengan adanya itikad baik dari perusahaan karena belum adanya kewajiban

yang eksplisit mewajibkan GCG dilingkungan perusahaan umum.110

Pada dasarnya, Pedoman Umum GCG tidak memiliki kekuatan

hukum yang mengikat (non-binding force). Oleh karenanya,

implementasinya tidak dapat dipaksakan, baik di tataran regulator maupun

korporasi. Namun demikian, regulator menggunakan Pedoman Umum GCG

dari KNKG sebagai rujukan penting dalam mengembangkan peraturan-

peraturan yang relevan dengan tata kelola perusahaan. Selain itu, korporasi

juga dapat menggunakan pedoman-pedoman KNKG sebagai rujukan dalam

menyusun sistem, struktur dan pedoman tata kelola perusahaannya serta

peraturan internal perusahaan lainnya.

Hingga saat ini, Pedoman Umum GCG dari KNKG belum secara

meluas diterapkan dalam praktik bisnis di Indonesia. Hal ini dikarenakan

penerapan Pedoman Umum GCG bersifat sukarela dan tidak merupakan

bagian dari ketentuan perundang-undangan.

Sementara itu, dalam rangka mendorong perusahaan untuk

mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik, maka hal-hal yang

berkaitan dengan praktik tata kelola perusahaan diatur melalui peraturan

perundang-undangan. Misalnya, praktik tata kelola perusahaan yang baik di

Emiten dan Perusahaan Publik, implementasinya dilandaskan pada peraturan-

peraturan yang diterbitkan oleh OJK.

Implementasi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik oleh

Emiten dan Perusahaan Publik yang didasarkan pada kepatuhan terhadap


110
Otoritas Jasa Keuangan, Roadmap Tata Kelola Perusahaan Indonesia, 2013, hlm 16.
134

peraturan, pada akhirnya mendorong Emiten dan Perusahaan Publik untuk

menginternalisasikan praktik-praktik tata kelola yang baik tersebut. Namun

demikian, tidak semua aspek tata kelola perusahaan yang baik dapat

dijadikan peraturan, karena dapat mendorong beban implementasi yang besar

kepada Emiten dan Perusahaan Publik. Hal ini dikarenakan kemampuan

perusahaan untuk menerapkan regulasi berbeda, bergantung pada sektor,

industri, dan ukuran perusahaan. Oleh karena itu, pendekatan penerapan tata

kelola perusahaan yang baik melalui peraturan menjadi tidak fleksibel


135

BAB IV

PROBLEMATIKA PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE


GOVERNANCE PADA PERSEROAN TERBATAS

A. Problematika Hukum Pelaksanaan Prinsip Good Corporate Governance

Menurut Aristoteles, manusia merupakan zoon politicon (makhluk sosial).

Hal ini tidak dapat dipungkiri dari kenyataan yang ada, dimana manusia selalu

berinteraksi antara yang satu dan yang lainnya.111 Di samping sebagai makhluk

sosial manusia juga merupakan makhluk tuhan yang dianugerahi nafsu atau

kehendak yang mendorong manusia untuk bertindak. Nafsu inilah yang dapat

menjadi sebuah bencana apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu ada benarnya

apa yang dikatakan oleh Hobbes “hommo homini lupus bellum contra omnes”

yang artinya bahwa manusia ibarat serigala yang ganas dan saling memangsa satu

dan yang lainnya.112

Untuk mengatur tata kehidupan manusia yang dapat berpotensi menjadi

kacau dan tak beraturan itu, maka dibutuhkan suatu instrumen yang disebut

hukum. Dengan hukum ini manusia dipaksa untuk menghormati hak-hak orang

lain serta mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kondisi masyarakat yang

aman dan tertib (rust end orde), selain itu hukum juga diharapkan dapat

mengakomodasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan

111
Ahmad Suhaimi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, Gramedia, 2001, hlm 44.
112
Ernst Bloch, Terj. Dennis J Schmidt, Natural Law adn Human Dignity, Third Edition,
USA, MIT Press, 1996, hlm 47.
136

datang melalui pembentukan instrumen hukum baik berupa peraturan perundang-

undangan maupun kelembagaannya. Di dalam aliran pragmatic legal realism yang

dipelopori oleh Roscou Pond hukum dianggap sebagai a tools social of

engeneering (alat rekayasa sosial).113 Oleh karena itu suatu keniscayaan kiranya di

dalam masyarakat ada hukum (ubi societes ibi ius).114

Dalam rangka merajut kembali arah dan desain hukum di Indonesia,

setidaknya terdapat empat persoalan mendasar, yang harus ditelusuri dalam

sengkarut problematika sistem hukum di Indonesia. Pertama, terkait dengan

landasan filosofis arah pembangunan dan reformasi hukum, yang di dalamnya

sangat terkait dengan tujuan didirikannya negara, dan penegasan prinsip Negara

hukum; kedua, terkait dengan konfigurasi politik hukum, yang sangat memiliki

pengaruh dalam penciptaan dan kegunaan hukum; ketiga, masalah aktor atau

agen-agen yang menjalankan dan menerapkan hukum; dan keempat, berkait

dengan pembangunan budaya hukum, yang menempatkan hukum sebagai sarana

rekayasa sosial. Penegakan hukum yang berjalan secara efektif akan membawa

perubahan sosial sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat hukum. Upaya

pembenahan, dan reformasi hukum dilakukan mencakup seluruh subjek hukum

yang ada, baik manusia, maupun badan hukum (rechtpersoon) agar tujuan dari

pembangunan hukum tercapai dan memberikan perubahan yang progresif dalam

penegakkannya.

113
Sally Falk Moore, Law As Process: An Antropolical Approach (1978), Oxford, LIT
Verlag Munster-Hamburg and James Currey Publisher, 2000, hlm, 54.
114
Thomas Weatherall, Jus Cogens: International Law and Social Contract, Cambridge,
University Printing House, 2015, hlm. 25.
137

Problematika hukum diartikan sebagai permasalahan yang timbul dari

penegakan supremasi hukum di Indonesia yang memerlukan jawaban atas

permasalahan tersebut. Permasalahan hukum di Indonesia bukan hanya

merupakan fenomena yang ada di permukaan saja, melainkan telah merasuki sum-

sum sistem hukum itu sendiri.

Hukum di Indonesia seringkali tidak seiring sejalan dengan apa yang

diinginkan. Hukum di Indonesia tidak menjadi panglima melainkan menjadi

alat politik maupun alat kekuasaan. Karena sebagai panglima, hukum harus

mampu menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu kasus atau

perkara tanpa terpengaruh oleh tendensi atau kepentingan apapun yang melekat

di dalamnya.115

Problematika hukum di Indonesia sangat sulit untuk dirunut, bagaikan

mencari sampul pangkal atau ujung dari suatu lingkaran, sehingga membuat

kejahatan semakin berdaulat di dalam dunia hukum maupun dunia Peradilan

di Indonesia. Permasalahan penegakan hukum di Indonesia sering kali diawali

dalam dunia peradilan, mafia peradilan sering kali menjadi faktor utama dalam

permasalahan penegakan hukumtersebut, karena mafia peradilan bersifat

sistemik dan merasuki sum-sum penegakan hukum. Ketua Mahkama

Konstitusi, Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia, mengatakan

bahwa :

…Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat
sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
115
Yadyn, Problematika Penegakan Hukum di Indonesia Menuju Hukum yang Responsif
Berlandaskan Nilai-Nilai Pancasila, Makasar, Ringkasan Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu
Hukum, hlm, 5.
138

mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan


keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang
harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa
dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukm yang lebih banyak
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan.116

Keterpurukan hukum yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya

dekadensi moral subjek hukum, konsep atau metode berpikir “Money Oriented”

sedianya dapat diubah, sehingga dibutuhkan reformasi hukum tidak hanya

dalam hal pembaruan Undang-Undang atau substansi hukumnya (legal

substance reform), tetapi juga pembaruan struktur hukum (legal structure

reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal science/

education reform), bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan aspek

immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika/ moral hukum,

aparatur penagak hukum, serta ilmu/pendidikan hukum dapat dilakukan

pembaruan untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum).117

Hakikat pembaruan dan pembangunan hukum bukan terletak pada aspek

formal dan lahiriah (seperti terbentuknya Undang-Undang baru, struktur

kelembagaan baru, bertambahnya bangunan sarana peradilan, mekanisme atau

prosedur baru) melainkan justru terletak pada aspek immateriil, yaitu

bagaimana membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dalam hukum sehingga

melahirkan penegak keadilan yang berintegritas baik dan memiliki sifat

kemanusiaan dan rasa keadilan dalam dirinya, yang akan mendorong

116
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2001, hlm. 1
117
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Pranada Media Grup, 2010, hlm, 6.
139

terciptanya penegakan hukum yang lebih baik menuju ke arah hukum

progresif.

Pembaharuan sistem hukum atau yang menurut penulis merupakan sistem

hukum berbasis Indonesia Juriprudence tersebut, diharapkan mampu

menyerap aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum

tersebut harus sejalan dengan perkembangan yang hidup dalam masyarakat,

tidak semata-mata mengedepankan penjatuhan hukuman sebagai solusi atas

permasalahan hukum yang ada, melainkan berupaya menyelesaikan masalah

melalui jalan musyawarah, bukankah penyelesaian masalah melalui peradilan

untuk kasus-kasus kecil akan lebih membuat cost recovery negara

membengkak dan menambah pekerjaan baru bagi aparat penegak hukum itu

sendiri.

Strategi pembangunan hukum progresif dimulai dengan membangun

supremasi hukum sebagai pintu utama sebuah bangsa dalam melahirkan suatu

konsesi, bahwa hukum menjadi garda depan dalam menciptakan keamanan

dan stabilitas suatu bangsa. Namun hukum yang ada saat ini hanya

dipahami sebagai suatu aturan yang bersifat kaku, dan menekankan pada

aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan

persoalan-persoalan yang hidup dalam suatu masyarakat.

Teori pemikiran hukum progresif dihadirkan oleh Satjipto Rahardjo

yang secara garis besar dasar hukum dalam masyarakat, yaitu hukum

sebagai pelayan masyarakat, hukum sebagai bagian dari masyarakat yang

mampu memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat, dan hukum


140

sebagai fasilitator terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang hidup dan

berkembang dalam. Kebutuhan hukum progresif mampu menjawab persoalan

masyarakat hingga aspek pembangunan nasional yang merupakan bagian dari

masyarakat.118

Pembangunan nasional tidak terlepas dari beberapa sektor yang sangat

berpengaruh, yaitu sektor ekonomi yang menjadi pilar utama pembangunan

nasional, namun tidak hanya ekonomi, hukum juga memiliki peran yang lebih

guna mengatur kondisi perekonomian agar tetap pada tujuan pembangunan

nasional. Salah satu pihak yang menjadi subjek dalam bidang ekonomi adalah

perusahaan-perusahaan yang menjalankan tugas dan fungsinya dalam melakukan

kegiatan usaha dan memberikan kontribusi pada pembangunan perekonomian

nasional.

Namun dalam perkembangannya, perusahaan tidak hanya menjadi pilar

pembangunan nasional, terlebih lagi harus menjadi pilar keadilan dalam setiap

kegitan usaha yang dilakukan. Permasalahan ini menjadi serius dalam hal

perusahaan tidak menganut prinsip Good Corporate Governance sebagai

pedoman dalam pengelolaan perusahaannya. Permasalahan hukum penerapan

Good Corporate Governance membawa keadaan baru, perlunya aturan hukum

dalam melakukan law inforcement guna memberikan landasan hukum penerapan

prinsip Good Corporate Governance dapat terjamin.

Problematika penerapan prinsip Good Corporate Governance beragam di

Indonesia, dan masih banyak perusahaan belum menerapkan prinsip ini secara

maksimal. Hal ini dikarenakan aspek pengaturan yang belum eksplisit


118
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, 2010, hlm 147.
141

diterjemahkan oleh perusahaan sebagai aturan yang mengikat setiap perusahaan,

baik milik negara ataupun milik swasta.

Aspek pengaturan yang belum secara jelas tentang kewajiban menjalankan

prinsip ini, selalu menjadi dasar perusahaan untuk tidak menerapkan Good

Corporate Governance sebagai prinsip pengelolaan perusahaan. Sebagaimana

diketahui, aturan penerapan Good Corporate Governance secara eksplisit hanya

terdapat pada BUMN dan Perusahaan yang bergerak dalam bidang perbankan

melalui peraturan Gubernur BI, sementara perusahaan swasta yang bergerak di

berbagai bidang, belum mendapatkan kejelasan aturan yang memaksa perusahaan

tersebut menerapkan Good Corporate Governance.

Lemahnya kontrol hukum terhadap perusahaan yang belum menerapkan

aturan, mengakibatkan, banyaknya perusahaan yang tidak dapat terpantau dengan

jelas dalam melakukan kegiatan usahanya, apakah memiliki orientasi yang baik

dalam mendukung penegakkan hukum demi kemajuan sektor ekonomi nasional

atau tidak.

Kebebasan ini berimbas pada ketidakteraturan dalam tatanan perusahaan,

sehingga perusahaan akan selalu mencari jalan guna memberikan keuntungan

lebih pada perusahaan atau organ perusahaan.

Sebagai contoh kasus pelanggaran hukum oleh perusahaan adalah,

pembakaran hutan guna mendapatkan lahan baru untuk perluasan areal

perkebunan seperti yang terjadi di Riau dan di Kalimantan, pelanggaran ini

dilakukan dengan sadar, walaupun aturan telah mengatur mengenai kewajiban

perusahaan dalam memperhatikan lingkungan sebagai dasar pengelolaan kegiatan


142

usahanya. Namun aturan tersebut tidak dapat menjadi pedoman, karena

pengawasan terhadap perusahaan dilakukan secara represif, sementara

pengelolaannya kurang mendapatkan pengawasan lebih dari penegak hukum.

Seperti yang telah diuraikan di atas, masalah penerapan Good Corporate

Governance kerap mengalami masalah jika diterapkan menyeluruh, masalahnya

adalah hukum yang ada belum memberikan batasan-batasan yang menjadi

kewajiban perusahaan dalam tata kelola, seakan-akan mejadikan perusahaan

sebagai subjek hukum yang bebas dalam bertindak dalam mencari keuntungan,

tanpa menghiraukan kepentingan stakeholders atau shareholders.

Dalam proses pendaftaran perusahaan di Notaris sebagai contoh, masih

banyak perusahaan yang sudah mulai memiliki itikad tidak baik dalam arah tujuan

pendirian perusahaan tersebut dan memfungsikan perusahaannya sebagai tempat

mencari keuntungan pribadi dalam hal syarat pengadaan barang dan jasa di

instansi pemerintahan. Perusahaan-perusahaan yang dapat dikatakan tidak terikat

dengan prinsip Good Corporate Governance sebagaimana tidak eksplisit diatur

dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

B. Penegakan Hukum Dalam Pelaksanaan Prinsip Good Corporate


Governance

Hukum lahir dari suatu dimensi sosial yang bertujuan untuk

menciptakan ketertiban, keamanan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk

merumuskan hukum yang bersumber dari nilai masyarakat Indonesia adalah

bagaimana menciptakan hokum yang progresif yang mampu meng-

implementasikan keinginan dari bangsa Indonesia. Bahwa pilar utama lainnya


143

dalam membentuk hukum yang progresif adalah bagaimana membentuk

pemahaman yang baik dan menyeluruh kepada aparat penegak hukum dalam

memahami dan menjalankan aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-

nilai kemanusiaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bukan

hanya sekedar menjadi pelaksana Undang-undang. Hukum progresif selaras

dengan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa bangsa Indonesia yakni

Pancasila, yaitu pencerminan nilai kemanusiaan dan nilai keadilan.

Permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia

bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak progresif,

melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk

meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah

penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan

dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap

pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as

the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty.119

Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas terhadap penegakan hukum

2014, tingkat kepuasan terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman relatif

masih rendah. Untuk kejaksaan, misalnya, hanya 29,5 persen responden yang

menyatakan puas. Hanya KPK yang diapresiasi tinggi dengan level kepuasan

terhadap kinerja mencapai 72,2 persen. Akibatnya, sebagian besar responden (67

persen) menilai kinerja penegak hukum sepanjang 2014 belum berhasil

mengembalikan kepercayaan masyarakat.

119
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab Dan Solusinya,
Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 74.
144

Dalam tataran global, indeks hukum Indonesia dinilai sedang-sedang saja,

tidak terlalu bagus, juga tidak terlalu buruk. Itu tercermin dari Rule of Law Index

2014 yang disusun The World Justice Project, lembaga swadaya masyarakat

internasional yang berpusat di Amerika Serikat, dan Indonesia berada pada

peringkat 46 dari 99 negara dengan perolehan skor 52. 120 Itu artinya masyarakat

kurang percaya terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia.

Untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik maka diharapkan aparat

penegak hukum tidak sekedar menjadi boneka undang-undang, yang

melaksanakan ketentuan undang-undang secara normatif semata, melainkan

dibutuhkan Common Sense yang baik oleh aparatur penegak hukum. Common

Sense mengedepankan prinsip Sense Of Humanity yang dibutuhkan oleh aparat

penegak hukum dalam penanganan suatu perkara agar ke depan tidak terjadi lagi

perkara yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Mengedepankan peraturan

sebagai sesuatu yang serius adalah suatu seni yang kasuistis dan suatu

semangat pembelaan hukum (lawyerly virtue) yang ambigu.

Teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan

tidak kebal terhadap pengaruh sosial melainkan menjadi jembatan

penghubung antara pemikiran normatif legalistik formiil dengan pemikiran

responsif, integritas memiliki ciri dan landasan moral yang mampu

membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana

yang tidak baik.

120
M Fajar Marta, Mendamba Penagak Hukum Yang Dicinta Rakyat, Harian Kompas 7
Februari 2015, hlm 3.
145

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman

perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupanbermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya,

penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula

diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang

terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu

melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti

dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi

subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur

penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu

aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya

hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan

untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya,

yaitu dari segi hukumnya.121 Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna

yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-

nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun

nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit,

penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan

tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam


121
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, www.docudesk.com diakses pada 9 Juli 2015.
146

bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti

luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’dalam arti sempit.

Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan

nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris

sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’versus ‘the rule of just

law’atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’versus istilah ‘the rule by

law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’

terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang

formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di

dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law ’. Dalam istilah

‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada

hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh

hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’yang

dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum

sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan

penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti

materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik

oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan

hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk

menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
147

tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita

akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik

dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-

hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja.

Secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup

pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya

bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan

hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang

membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan.

Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’

dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti

hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris

juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan

hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat

yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah

‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang

harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri,

melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada

doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam

perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup

menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah


148

hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang

menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan

pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya

mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan

materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di

lapangan hukum perdata.

Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi

penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan

keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap norma hukum

sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan

kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma

hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang juga dasar dan mendasar.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi

penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,

aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,

dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir

pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-

pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan

kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan

kembali (resosialisasi) terpidana.


149

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga

elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum

beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme

kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk

mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang

mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi

hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum

acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah. Namun, selain

ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di

negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih

menyeluruh lagi.

Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan

persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya

menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum

mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam

masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya

sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan

tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapibukan saja berkenaan dengan

upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan

hukum baru.

Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang

seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and
150

rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum

(socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the

enforcement of law ). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum

(the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh

pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu,

pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai

agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda

tersebut di atas. Dalam artiluas, ‘the administration of law’itu mencakup

pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu

sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan

sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang

ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-

peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings),

ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan

pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses

masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat

terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat

dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’

yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga

perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat

(social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak
151

boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara

sistematis dan bersengaja.

Terkait penegakkan hukum terhadap perusahaan yang tidak menerapkan

Good Corporate Governance masih dikatakan lemah. Penerapan Good Corporate

Governance hanya sebatas pada perusahaan yang dapat langsung diatur oleh

negara seperti BUMN, dan perusahaan perbankan. Sementara perusahaan yang

bergerak di bidang lain, sulit untuk diatur karena keberadaan pemerintah hanya

sebagai fasilitator melalui regulasi yang tidak jarang diabaikan dalam

pelaksanaannya.

Ada empat penilaian negatif mengenai penerapan Good Corporate

Governance di Indonesia. Pertama, hanya sedikit yang yakin, bahwa Pemerintah

betul-betul serius dalam mendorong penerapan Good Corporate Governance.

Kedua, dalam pemberantasan korupsi Pemerintah menghadapi masalah

kredibilitas. Ketiga, keterbukaan informasi yang masih lemah terutama tentang

kejadian material dan transaksi saham dari direksi, kurangnya keterlibatan

investor, serta masih banyaknya antipati perusahaan terhadap Good Corporate

Governance. Keempat, penegakan hukum oleh regulator masih lemah dan kurang

independennya Self Regulatory Organization (SRO). Meski demikian, terdapat

juga beberapa penilaian positif, pertama, laporan kuartalan dari perusahaan publik

dinilai baik. Kedua, perlindungan yang memadai bagi pemegang saham minoritas.

Ketiga, kebijakan anti korupsi sudah menunjukkan hasil yang nyata. Keempat,

Indonesia terus melakukan perbaikan Good Corporate Governance melalui


152

penyempurnaan Pedoman Good Corporate Governance dan Pedoman Sektor

Perbankan.

Tidaklah sulit mencari contoh kelemahan tersebut. Misalnya dukungan

pemerintah terhadap Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang

secara histories dibentuk oleh Pemerintah justru sekarang menunjukkan kadar

yang tidak sekuat dahulu pada awal pembentukannya. Disamping itu, dalam

pemberantasn korupsi cukup banyak yang masih meragukan integritas penegak

hukum. Penegakan hukum oleh Regulator khususnya Ototitas Jasa Keuangan

dirasakan belum maksimal baik karena hambatan yuridis maupun non yuridis.

Dalam pelaksanaan Good Governance ada tiga pihak yang bertanggung jawab,

yaitu Penyelenggara Negara, termasuk eksekutif, legislatif dan yudikatif, dunia

usaha dan masyarakat. Penyelenggara Negara harus menciptakan lingkungan yang

kondusif untuk merupakan prasyarat terlaksananya Good Corporate Governance

dengan baik, misalnya menyediakan peraturan perundang-undangan dan

kebijakan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan dan

melaksanakan penegakan hukum secara konsisten.Dunia Usaha dan Masyarakat

harus menerapkan Good Governance dengan baik. Masyarakat juga harus

berpartisipasi dan melakukan kontrol sosial terhadap penegakan Good Corporate

Governance pada perusahaan.122

122
Yunus Husein, Penguatan Good Governance, Harian Sindo, 24 Desember 2007, hlm
6.
153

C. Budaya Hukum Perseroan Terbatas Dalam Pelaksanaan Prinsip Good


Corporate Governance

Satjipto Rahardjo, melihat budaya hukum sebagai landasan bagi

dijalankannya atau tidak suatu hukum positif di dalam masyarakat, karena

pelaksanaan hukum positif banyak ditentukan oleh sikap, pandangan serta nilai

yang dihayatinya.123 Oleh karena itu budaya hukum bagi masyarakat modern

dengan system terbuka akanberbeda dengan budaya hukum masyarakat

tradisionail yang bersifat tertutup. Sedangkan bagi masyarakat yang mengalami

perkembangan ia menyebut sebagai budaya hukum personal sebagai perwujudan

dari adanya kecenderungan untuk memperlakukan hukum serta lembaganya

dengan cara yang mudah dan menurut keinginan pribadi. Kultur hukum atau

budaya hukum merupakan salah satu komponen untuk memahami bekerjanya

system hukum sebagai suatu proses, di mana budaya hukumberfungsi sebagai

bensinnya motor keadilan. Dengan demikian tanpa didukung oleh budaya hukum

yang kondusif niscaya suatu peraturan atau hukum bisa direalisasikan

sebagaimana diharapkan baik oleh pembuat hukum maupun masyarakat sebagai

sasaran dari hukum.

Menurut para ahli anthropologi, budaya tidak sekedar berarti kumpulan

bentuk tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas akan tetapi budaya

diartikan sebagai katagori sisa sehingga didalamnya termasuk keseluruhan nilai

sosial yang berhubungan dengan hukum, berikut sikapsikap yang mempengaruhi

bekerjanya hukum, termasuk didalamnya rasa hormat atau tidak hormat kepada

hukum, kesediaan orang untuk memilih cara-cara informal untuk menyelesaikan

123
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1980, hlm. 85.
154

suatu sengketa. Termasuk pula kedalam budaya hukum adalah sikap-sikap dan

tuntutan-tuntutan terhadap hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnis,

ras, agama, lapangan pekerjaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda-beda.124

Mengkaji budaya hukum dalam perspektif hukum positif, bahwa hukum

yang berlaku di masyarakat dalam bentuk peraturan perundangundangan di dalam

bekerjanya di masyarakat diperlukan kesepadanan mengenai unsur-unsur yang

terdapat dalam hukum itu sendiri yang memandu bagaimana hukum itu

dirumuskan, diorganisasikan dan selanjutnya diterapkan. Budaya hukum diartikan

sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap anggota masyarakat yang berhubungan dengan

hukum, memiliki peran yang sangat penting bagi berhasil atau tidak bekerjanya

hukum di dalam masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur hukum yang

akurat dan sepadan dengan tujuan untuk menjawab efektifitas hukumdalam

rangka studi hukum dan masyarakat dibanding metoda konvensional yang

mengkaji hukum dari aspek historis semata.125

Demikian oleh karena melalui serangkaian nilai-nilai, kebiasaan, dan

perilaku dapat menunjukkan bagaimana kaidah-kaidah hukum itu dipersepsi

(secara logis rasional) oleh masyarakatnya (baik sasaran maupun pelaksana

kaidah). Kajian seperti itu merupakan realitas sosial tidaklah sesuai atau sepadan

dengan kaidah-kaidah normatif dalam rumusan peraturan hukum.126

AAG Peters menyatakan hukum sebagai lembaga yang bekerja di dalam

masyarakat minimal memiliki tiga perspektif dari fungsinya (fungsi Hukum). 127
124
Lawrence M Friedman, Op.,Cit, hlm. 27-30
125
Lawrence M.Friedman & Stewart Macaulay, Law And Behavioral Science, New York,
The Bobbs Memill Company Inc, 1977, hlm 1028-1031.
126
Ibid, hlm 858.
127
Ronny Hanitijo Soemitro, Studi Hukum Dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, 1985,
hlm. 10.
155

Pertama, perspektif kontrol sosial dari hukumyang merupakan salah satu dari

konsep-konsep yang biasanya paling banyakdigunakan dalam studi-studi

kemasyarakatan. Dalam perspektif ini, fungsi utama dari suatu sistem hukum

bersifat integratif karena dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara

reguralitas sosial dalam suatu system sosial. Oleh sebab itu Bergersecara tepat

mengemukakan tidak ada masyarakat yang hidup langgeng tanpa kontrol sosial

dari hukum sebagai sarananya. Agar hukum dapat mengemban fungsi kontrol

tersebut, ada 4 prasyarat fungsional dari suatu system hukum, yaitu (1) masalah

dasar legitimasi yakni menyangkut idiologi yang menjadi dasar penataan aturan

hukum, (2) masalah dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi

hukum beserta proses hukumnya, (3) masalah sanksi dan lembaga yang

menerapkansanksi tersebut, (4) masalah kewenangan penegakan hukum.128

Kedua, perspektif social engeneeringmerupakan tinjauan yang paling

banyak dipergunakan oleh para pejabat (the officials perspektif of the law)untuk

menggali sumber-sumber kekuasaan yang dapat di mobilisasikan dengan

menggunakan hukum sebagai mekanismenya. Dengan mengutip para penganjur

perspektif social-engineer by law, Satjipto Rahardjo mengemukakan ada 4 syarat

utama yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum tergolong engineer, yakni :

(1) penggambaran yang baik dari suatu situasi yang dihadapi, (2) analisa terhadap

penilaian-penilaian dan menentukan jenjang nilai-nilai, (3) verifikasi dari

128
Ibid, hlm. 98.
156

hipotesa-hipotesa, (4) adanya pengukuran terhadap efek dari undang-undang yang

berlaku.129

Ketiga, Perspektif emansipasi masyarakat terhadap hukum (the bottom up

view of the law). Hukum dalam perspektif ini meliputi banyak studi seperti

misalnya kemampuan hukum sebagai sarana penampung aspirasi masyarakat,

budaya hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan lain-lain. Berkenaan

dengan fungsi hukum khususnya fungsi rekayasa sosial, maka dewasa ini yang

diharapkan adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat, agar bertingkah

lakusesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat

sebagaimana dicita-citakan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan

kesadaran hukum masyarakat, di dalamnya terkandung nilai-nilai, pandangan-

pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Menurut

Lawrence M Friedman disebut sebagai budaya hukum.130

Menurut Chambliss dan Seidman, sebagaimana dikutip oleh Ronny

Hanitijo Soemitro, bahwa penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan

rekayasa masyarakat melibatkan penggunaan peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh pembuat hukum guna menimbulkan akibat pada peranan yang

dilakukan oleh anggota masyarakat dan oleh pejabat. Faktor-faktor yang

mempengaruhi usaha memanfaatkan hukum sebagai sarana untuk melakukan

rekayasa masyarakat adalah kegiatan pejabat penerap sanksi. Tindakan-tindakan

pejabat penerap sanksi merupakan landasan bagi setiap usaha untuk mewujudkan

129
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pembangunan Ilmu Hukum,
Bandung, Alumni, 1977, hlm. 10.
130
Esmi Warassih Pujirahayu Peny, Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial,
Bandung, Alumni, 1981, hlm.124
157

perubahan yang efektif di dalam masyarakat dengan penggunaan hukum sebagai

sarana. Untuk tiap pejabat ini terdapat serangkaian tujuan-tujuan untuk kedudukan

mereka masing-masing dan terdapat pula norma-norma yang menentukan

bagaimana mereka harus bertindak.131

Faktor kritis dalam menentukan bagaimana seorang pemegang peran akan

bertindak adalah norma-norma yang diharapkan akan dipatuhi oleh pemegang

peran, kekuatan-kekuatan sosial dan personal yang bekerja terhadap pemegang

peran dan kegiatan lembaga penerap sanksi terhadap pemegang peran.

Lawrence M. Friedman, menjelaskan bahwa setiap sistem hukum selalu

mengandung tiga komponen yakni struktur, substansi, dan kultur. Budaya hukum

akan berfungsi sebagai jiwa yang akan menghidupkan mekanisme hukum secara

keseluruhan akan tetapi sebaliknya bisa juga mematikan seluruh mekanisme

pelaksanaan hukum yang ditetapkan berlaku untuk masyarakat. Komponen kultur

merupakan penentu dalam pelaksanaan kebijakan efektif atau tidak, sehingga

sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola apotik terpengaruh oleh nilai-

nilai yang kurang memperhatikan aspek hukum ekonomi dan bisnis. Hukum

ekonomi dan bisnis yang memadai akan menunjang pembangunan hukum

kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat, (law as a tool of social

engneering), sehingga diharapkan tidak lagi adanya persaingan tidak sehat dalam

mengelola apotik yang berakibathanya mengejar profit (keuntungan) semata.

Padahal Apotik merupakan salah bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat

dalam upaya pemenuhan kebutuhan obat bagi masyarakat.

131
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hlm. 27.
158

Kajian terhadap budaya hukum bukan hanya sekedar membahas hukum

dalam konteks perubahan sosial semata, melainkan melihat bagaimana sistem

hukum yang satu berinteraksi dengan nilai-nilai sosial budaya lainnya. Terdapat

tiga komponen penting dalam hubungannya dengan pembangunan budaya hukum

di Indonesia. Pertama, pembangunan budaya hukum berkaitan dengan reformasi

peningkatan kualitas hukum substantif, di mana praktek ketatanegaraan selama ini

menunjukkan banyaknya produk hukum lembaga legislatif yang dibuat

sesungguhnya tidak identik dengan tegaknya negara hukum. Kedua, tegaknya

budaya hukum berkaitan dengan peranan struktur atau lembaga-lembaga hukum

dalam masyarakat, oleh karena itu hilangnya supremasi hukum bukan sekedar

diakibatkan oleh kekurangan otonomi lembaga peradilan, melainkan juga

disebabkan oleh kepastian hukum yang tidak didukung oleh doktrin preseden

hukum. Ketiga, faktor budaya yang berlaku di dalam masyarakat.132

Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa reformasi hukum dan keadilan

tidak hanya berarti reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup

reformasi system hukum secara keseluruhan yang meliputi substansi hukum,

struktur hukum dan budaya hukum, selanjutnya dikatakan bahwa masalah

reformasi hukum dan keadilan bukan semata-mata masalah sistem hukum, tetapi

terkat dengan keseluruhan system politik dan system sosial (termasuk system

ekonomi). Lebih jauh dikatakan bahwa reformasi hukum tidak hanya

memperbaharui substansi hukum melainkan juga legal structure reform dan legal

culture reform di mana di dalamnya terdapat pembaharuan etika hukum dan


132
Juwahir Tantowi, Budaya Hukum dan Kekerasan Dalam Dinamika Politik Indonesia,
Yogyakarta, UII
Press, 2001, hlm. 10
159

ilmu/pendidikan hukum. Dalam situasi krisis saat ini yang terpenting justru

pembaharuan hukum aspek immaterial dari hukum (budaya hukum, etika hukum

dan pendidikan hukum).133

Pembangunan budaya hukum tidak terbatas pada manusia saja sebagai

subjek hukum, perusahaan-perusahaan (rechtpersoon) juga harus menanamkan

nilai budaya hukum dalam pengelolaannya guna mencapai tujuan hukum yaitu

memberikan rasa keadilan bagi stakeholders. Budaya perusahaan merupakan

serangkaian nilai-nilai dan strategi, gaya kepemimpinan, visi & misi serta norma-

norma kepercayaan dan pengertian yang dianut oleh organ perusahaan dan

dianggap sebagai kebenaran yang menjadi sebuah pedoman bagi setiap elemen

suatu perusahaan untuk membentuk sikap dan perilaku. Hakikatnya, budaya

perusahaan bukan merupakan cara yang mudah untuk memperoleh keberhasilan,

dibutuhkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu andalan daya

saing perusahaan. Budaya perusahaan merupakan sebuah konsep sebagai salah

satu kunci keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Menurut Schein mendefinisikan budaya perusahaan (corporate culture)

sebagai suatu sistem nilai dan kepercayaan bersama yang berinteraksi dengan

orang-orang, struktur dan sistem suatu perusahaan untuk menghasilkan norma-

norma perilaku.134 Budaya perusahaan merupakan pedoman berprilaku bagi orang-

orang dalam perusahaan. Budaya perusahaan merupakan sistem penyebaran

kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan


133
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.1
134
Evelyn Chiloane-Tsoka, The Influence of Corporate Culture on Organisational
Change of First National Bank of Namibia, International Journal Bussines and Economic
Develovment, Vol 1 Number 3, November 2013, A Journal of the Academy of Business and Retail
Management (ABRM), hlm. 19.
160

mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya perusahaan dapat menjadi

instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya perusahaan

mendukung startegi perusahaan, dan bila budaya perusahaan dapat menjawab atau

mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.

Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan,

nilainilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan

pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah

adaptasi eksternal dan integrasi internal.135

Ada beberapa unsur yang berpengaruh terhadap pembentukan budaya

perusahaan. Deal & Kennedy dalam bukunya Corporate Culture: The Roles and

Ritual of Corporate, membagi dua unsur sebagai berikut. Pertama, Lingkungan

usaha. Kelangsungan hidup perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan

memberi tanggapan yang tepat terhadap peluang dan tantangan lingkungan.

Lingkungan usaha merupakan unsur yang menentukan terhadap apa yang harus

dilakukan perusahaan agar bisa berhasil. Lingkungan usaha yang terpengaruh

antara lain meliputi produk yang dihasilkan, pesaing, pelanggan, pemasok,

teknologi, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Maka dari itu, perusahaan harus

melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi lingkungan tersebut antara lain

seperti kebijakan penjualan penemuan baru, atau pengelolaan biaya dalam

menghadapi realitas pasar yang berbeda dengan lingkungan usahanya.

Kedua, nilai-nilai adalah keyakinan dasar yang dianut oleh sebuah

perusahaan. Setiap perusahaan mempunyai nilai-nilai inti sebagai pedoman

135
Anwar Prabu Mangkunegara.  Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung, Remaja.
Rosdakarya, 2005, hlm. 113.
161

berfikir dan bertindak bagi semua warga dalam mencapai tujuan atau misi

perusahaan. Nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh organ perusahaan antara

lain prinsip-prinsip yang dapat berfungsi sebagai jati diri bagi organ yang berada

dalam perusahaan. Prinsip tersebut merupakan prinsip yang membentuk karakter

budaya perusahaan menjadi lebih efektif dan memberikan jaminan kepada para

pihak untuk tetap dalam koridor nilai yang telah ditetapkan bersama. 136

Berbicara terkait nilai yang terdapat dalam perusahaan, ada baiknya

mengaitkan hal ini dengan prinsip Good Corporate Governance sebagai pedoman

tata kelola perusahaan yang baik. berdasarkan catatan ADB mengenai

perkembangan Good Corporate Governance (2014) di Indonesia 54.55, relatif

kalah dengan negara-negara seperti Malaysia 71.69 , Singapura 71.68, Thailand

75.39, Philipina 57.99 dan satu tingkat di atas Vietnam 33.87. Berdasarkan

catatan, Thailand memagang indeks tertinggi penerapan Good Corporate

Governance pada Tahun 2014.137

Dengan demikian, menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih

rendah dalam menerapkan Good Corporate Governance diantara negara-negara

tetangga. Hal ini juga dikuatkan Etty Retno Wulan dari, advisor Senior OJK,

assessment terhadap corporate governance di Indonesia masih belum memuaskan

(data ROSC Corporate Governance 2004 – 2009, CLSA – ACGA Assessment

2005 – 2012, ASEAN Scorecard 2013).138


136
Terrence E. Deal, Allan A. Kennedy, Corporate Culture: The Roles and Ritual of
Corporate, USA, Perseus Books, 2000, hlm 145.
137
Asian Development Bank, ASEAN corporate governance scorecard: Country reports
and assessments 2013–2014. Mandaluyong City, Philippines, Asian Development Bank, 2014,
hlm 3.
138
Seminar Transformasi Budaya Korporasi melalui Good Corporate Governance (GCG)
dalam rangka Dies Natalis Universitas Trisakti, yang digelar oleh Fakultas Ekonomi Trisakti pada
Kamis , 11 Desember 2014.
162

Laporan ini mengindikasikan, jika Good Corporate Governance belum

sepenuhnya menjadi budaya pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, masih

perlu dukungan kuat pemerintah dan masyarakat guna menanamkan bilai budaya

perusahaan yang berpedoman pada Good Corporate Governance. Implementasi

Good Corpoarate Governance terus menjadi sorotan belakangan ini. Banyak

kasus tindak korupsi dan penyelewengan lainnya, jelas menunjukan, penerapan

Good Corpoarate Governance masih sebatas pemenuhan regulasi. Makna dan

manfaat dari implementasi Good Corpoarate Governance belum dipahami

dengan benar oleh para pelaku Good Corpoarate Governance baik korporasi,

pemerintahan, maupun lembaga publik

D. Etika Perseroan Terbatas Dalam Pelaksanaan Prinsip Good Corporate


Governance

Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang artinya kebiasaan.139 Identik

dengan moral yang berasal dari bahasa latin “mos”, dalam bentuk jamakna

‘mores’ yang berarti adat atau cara hidup.140 Etika dan moral memeiliki arti yang

sama, namun dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral

digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika mengkaji sistem

nilai yang ada.141

139
Eksiklopedi Nasional Indonesia, Jilid V, Jakarta, Cipta Adi Pustaka, 1989, hlm. 205.
140
Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Jakarta, Rajawali Press, 1990, hlm. 13.
141
Ibid
163

West mendefiniskan etika “ethics is the systimatic study of nture of value

conceps, good -bad, ought, right, wrong, etc. And of the general principles which

justify in applying them to anything.142

Dari pengertian etika tersebut, dapat dilihat bahwa setiap manusia harus

mendasarkan diri pada etika agar dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai

dengan pedoman kebiasaan masyarakat yang telah disepakai dalam norma.

Ketentuan ini juga berlaku pada perusahaan sebagai rechtpersoon, dimana

memiliki tanggungjawab yang sama dengan manusia dalam menjalani kegiatan

usahanya agar tetap mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak yang terlibat di

dalamnya. Perusahaan harus senantiasa mendorong kepatuhan terhadap standar

etika dan berkomitmen untuk mengimplementasikannya, serta mewajibkan

seluruh pimpinan dari setiap tingkatan bertanggungjawab untuk memastikan

bahwa pedoman perilaku dipatuhi dan dijalankan dengan baik pada jajaran

masing-masing.

Perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi harapan pemegang saham

dan pemangku kepentingan (stakeholders). Perusahaan dikelola secara

profesional dengan senantiasa menjaga dan membina hubungan dengan semua

pemangku kepentingan (stakeholders) sesuai standar etika bisnis. Dalam

mengemban tanggung jawab tersebut, Perusahaan wajib menerapkan Pedoman

Good Corporate Governance secara konsisten, yang ditunjang dengan standar

etika perilaku bisnis dan individu yang dituangkan dalam pedoman kode etik

perusahaan.

142
Saul Axelrod, Effect Punishment on Human Behaviour, Waltham, Massachusetts,
Academic Press, 2013, hlm. 318.
164

Pedoman tersebut memberikan petunjuk praktis dan pedoman perilaku

bagi seluruh organ perusahaan, pegawai perusahaan, entitas anak dan afiliasi serta

Pemangku Kepentingan (stakeholders) lainnya yang harus dipatuh dalam

berinteraksi dengan semua pihak, dan harus dijadikan landasan dalam proses

pengambilan keputusan, serta sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan kerja

yang positif dalam mendukung terlaksananya kegiatan perusahaan dengan baik

dan benar, dalam batas-batas norma dan etika berusaha sesuai dengan Pedoman

Good Corporate Governance. Selain hal tersebut, Pedoman Kode Etik ini sebagai

sarana untuk terciptanya hubungan yang harmonis, sinergis, dan saling

menguntungkan antara pemangku kepentingan (stakeholders) dengan perusahaan.

Pedoman kode etik perusahaan harus disusun sesuai dengan etika dan

prinsip-prinsip, Good Corporate Governance dan praktik-praktik lazim terkini.

Langkah tersebut diikuti dengan sosialisasi dan pemberlakuan pedoman kode etik

perusahaan pada stakeholders.

Pedoman kode etik perusahaan harus digunakan sebagai landasan untuk

membentuk dan mengatur tingkah laku yang konsisten berdasarkan prinsip-

prinsip berkesadaran etis (ethical sensibility), berpikir etis (ethical reasoning), dan

berperilaku etis (ethical conduct) sebagai bagian upaya menumbuhkan integritas

yang tinggi. Pada akhirnya, integritas tinggi yang menyertai penerapan tata kelola

yang baik akan menjamin perwujudan visi, misi, falsafah, nilai-nilai, dan budaya

perusahaan.

Pedoman kode etik perusahaan menjelaskan kebijakan perilaku

perusahaan, jenis-jenis pelanggaran, mekanisme pengaduan pelanggaran dan


165

sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Kebijakan perilaku mengatur hal-hal yang

menjadi tanggung jawab perseroan, individu jajaran perseroan maupun pihak lain

yang melakukan bisnis dengan perseroan, meliputi, Pertama, etika bisnis

perusahaan merupakan penjelasan tentang bagaimana sikap dan perilaku

perusahaan sebagai suatu entitas bisnis bersikap, beretika, dan bertindak dalam

upaya menyeimbangkan kepentingan perusahaan dengan kepentingan stakeholder

sesuai dengan prinsip-prinsip good Corporate Governance dan nilai-nilai

korporasi yang sehat. Kedua, etika perilaku individu merupakan penjelasan

tentang bagaimana individu jajaran perseroan dalam berhubungan, bersikap,

beretika dan bertindak sesuai kaidah-kaidah dan ketentuan yang berlaku.

BAB V

REKONSTRUKSI PENGATURAN PRINSIP GOOD CORPORATE


GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN PERSEROAN
166

TERBATAS BERBASIS NILAI KEADILAN

A. Rekonstruksi Pengaturan Dalam Implementasi Prinsip Good Corporate


Governance Pada Perseroan Terbatas

Rekonstruksi berasal dari bahasa inggris “construct” yang memiliki arti

membangun dan “re” yang bermakna mengulang, sehingga pengertian

rekonstruksi adalah membangun ulang. Beberapa definisi juga disampaikan para

pakar. B.N Marbun mendefinisikan Rekonstruksi sebagai pengembalian sesuatu

ketempatnya yang semula, Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-

bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.143

Sementara James P. Chaplin mendefiniskan “reconstruction” sebagai

penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan

pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi

individu yang bersangkutan.144 Kemudian Ali Mudhofir menjelaskan

rekonstruksionisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang

bercirikan radikal. Bagi aliran ini persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan

dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya tata peradaban yang

baru.145

Rekonstruksi yang berarti membangun atau pengembalian kembali sesuatu

berdasarkan kejadian semula, dimana dalam rekonstruksi tersebut terkandung

nilai-nilai primer yang harus tetap ada dalam aktifitas membangun kembali

sesuatu sesuai dengan kondisi semula. Untuk kepentingan pembangunan kembali

143
B.N. Marbun, Kamus Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.469.
144
James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1997,hlm.421
145
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta,
Gadjahmada University Press, hlm. 213.
167

sesuatu, apakah itu peristiwa, fenomena-fenomena sejarah masa lalu, hingga pada

konsepsi pemikiran yang telah dikeluarkan oleh pemikira-pemikir terdahulu,

kewajiban para rekonstruktor adalah melihat pada segala sisi, agar kemudian

sesuatu yang coba dibangun kembali sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan

terhindar pada subjektifitas yang berlebihan, dimana nantinya dapat mengaburkan

susbstansi dari sesuatu yang ingin kita bangun tersebut.

Anthony Giddens salah seorang tokoh pemikir ilmu sosial, yang

mengatakan bahwa teori sosial memerlukan adanya rekonstruksi, ia menyusun

gagasan untuk merekonstruksi teori sosial dengan jalan melakukan kritik terhadap

tiga mazhab pemikiran sosial terpenting yakni ; sosiologi interpretatif,

fungsionalisme dan strukturalisme. Giddens bermaksud mempertahankan

pemahaman yang diajukan oleh tiga tradisi tersebut, sekaligus menemukan cara

mengatasi berbagai kekurangannya serta menjembatani ketidaksesuaian antara

ketiganya. Rancangan tersebut mencakup rekonseptualisasi atas konsep-konsep

tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannya menjadi

pendekatan teoretis baru. Rekonseptualisasi atas konsep tindakan, struktur dan

sistem diawali dengan memandang praktek-praktek sosial yang terus berlangsung

sebagai segi analitis terpenting.146

Tidak eksplisitnya peraturan perundang-undangan dalam masalah

penerapan Good Corporate Governance pada Perseroan Terbatas secara

menyeluruh adalah masalah yang difahami bersama namun sulit diselesaikan

dalam rangka penerapan prinsip Good Corporate Governance . Hal itulah yang

146
Peter Beilharz ( ed ), Teori-Teori Sosial ; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm.192-193.
168

menjadi penyebab rendahnya indeks penerpan Good Corporate Governance di

Indonesia. Sebagai salah satu upaya perbaikan tata kelola perseroan terbatas,

Indonesia telah menerapkan beberapa aturan Good Corporate Governance pada

BUMN dan Persoran Terbatas di bidang perbankan guna meningkatkan efektifitas

penerapan Good Corporate Governance secara menyeluruh di Indonesia.

Melalui peraturan Menteri BUMN dan Peraturan Gubernur Bank

Indonesia diharapkan menjadi motivasi bagi perseroan terbatas yang lain agar

mengikuti prinsip Good Corporate Governance sebagai suatu yang legal dan

legitimate. Namun tidak semudah itu perseroan terbatas menerapkan Good

Corporate Governance di lingkungannya, karena merasa aturan tersebut tidak

mengikat secara hukum. Oleh sebab itu, perbaikan kerangka regulasi adalah

prasyarat penting. Namun, sebelumnya diperlukan kaji ulang terhadap peraturan

perundang-undangan yang ada. Apa yang penting diperhatikan pemerintah untuk

kaji ulang peraturan guna mewujudkan penerapan prinsip Good Corporate

Governance yang berkepastian hukum, berkeadilan dan berjalan atas dasar tata

kelola perusahaan yang baik adalah pertanyaan pokok yang dibahas dalam

disertasi ini.

Mengacu pada prinsip-prinsip dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, perlu dikaji ulang peraturan perundang-

undangan didasarkan pada lima prinsip Good Corporate Governance yaitu

transparancy, responsibility, idependency, accountability dan fairness, serta perlu

adanya kepastian dan keadilan dalam tata kelola perusahaan yang baik. Melalui

penjabaran pada sejumlah kriteria dan indikator, penelitian ini ini menemukan
169

bahwa peraturan perundang-undangan yang terkait tata kelola perseroan terbatas

sangat lemah dalam penekanan prinsip Good Corporate Governance yang

berkeadilan dan prinsip kepastian hukum. Meskipun demikian upaya memenuhi

prinsip tata kelola terlihat menujukkan kemajuan meskipun belum sepenuhnya

menjamin tegaknya aturan terkait prinsip tersebut.

Studi ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera melakukan

pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

tata kelola perusahaan yang baik. Pada tahap pertama, pengkajian ulang, paling

tidak, dilakukan dari tingkat undang-undang hingga ke tingkat peraturan menteri

guna perlu melakukan harmonisasi pada sejumlah peraturan dengan mengacu

pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Penerapan prinsip Good Corporate Governance tersebut. Salah satu

agenda penting dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan di Indonesia

terhadap perusahaan di negara-negara tetangga. Terkait dengan penerapan prinsip

Good Corporate Governance secara menyeluruh diperlukan penyelarasan

peraturan perundang-undangan pada beberapa sektor yang berkaitan. Namun,

sebelum sampai pada hal itu diperlukan kaji ulang terhadap peraturan perundang-

undangan yang ada. Apa yang penting diperhatikan pemerintah untuk kaji ulang

peraturan guna mewujudkan penerapan Good Corporate Governance yang

berkepastian hukum, berkeadilan dan berjalan atas dasar tata kelola perusahaan

yang baik adalah pertanyaan pokok yang dikaji. Untuk kepentingan tersebut maka

dalam disertasi ini dibahas mengenai metode rekonstruksi peraturan yang

digunakan termasuk ruang lingkupnya, prinsip, kriteria dan indikator, analisis


170

terhadap derajat keterpenuhan indikator dan rekomendasi untuk pencapaian setiap

prinsip.

rekonstruksi peraturan yang dimaksud dalam disertasi ini merujuk pada

hasil penelaahan mendalam terhadap kesesuaian norma-norma dalam dan antar

peraturan perundang-undangan terkait tata kelola perusahaan yang baik. prinsip

Good Corporate Governance penting dijadikan rujukan karena dapat menjadi

pedoman untuk melaksanakan rekonstruksi peraturan perundang-undangan terkait

penerapan Good Corporate Governance. Sayangnya, rekonstruksi ini masih

belum sepenuhnya dilaksanakan. rekonstruksi yang dilakukan di sini membatasi

pada peraturan perundang-undangan di tingkat undang-undang hingga peraturan

Menteri pada urusan-urusan terkait tata kelola perseroan terbatas.

Rekonstruksi peraturan perlu dilakukan berdasarkan aspek formal dan

aspek substantif. Aspek formal adalah terpenuhinya tertib kewenangan dan

terpenuhinya syarat sebagaiaturan yang kokoh (robust regulation).

Tertib kewenangan sebagaimana disebutkan Susanti dan Ahmad (2013)

meliputi kesesuaian materi muatan peraturan dengan jenis dan hierarkinya dan

ketepatan lembaga yang mempunyai kewenangan membuat peraturan.

1. Aturan yang kokoh adalah aturan yang rumusan normanya jelas, rinci

dan selaras dengan aturan yang lain dalam peraturan perundang-

undangan yang sama atau peraturan perundang-undangan yang lain.

2. Aturan yang jelas adalah aturan yang rumusan normanya tegas, lugas,

tidak menimbulkan banyak penafsiran dan menggunakan istilah dalam

Bahasa Indonesia yang dikenal umum.


171

3. Aturan yang rinci adalah norma yang memuat langkah-langkah atau

bagian-bagian yang menjelaskan tahapan-tahapan suatu prosedur.

4. Aturan yang selaras adalah aturan yang rumusan normanya tidak

bertentangan dengan norma yang lain dalam peraturan yang sama atau

norma lain dalam peraturan yang berbeda baik yang setara atau berbeda

hierarkinya.

Aspek substantif meliputi tiga hal. Pertama adalah konsitusionalitas

peraturan. Artinya materi muatan peraturan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua adalah kesesuaian materi muatan dengan prinsip-prinsip umum yang diatur

dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Ketiga adalah kesesuaian dengan prinsip-

prinsip yang dimuat dalam peraturan.

Pemenuhan prinsip Good Corporate Governance masih belum spesifik

dalam peraturan perundang-undangan yang dikaji. Berikut beberapa prinsip Good

Corporate Governance yang masih secara tersirat diterapkan pada Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

1. Unsur Transparansi (Transparency)

Penerapan unsur transparansi dalam suatu perseroan dalam rangka

mewujudkan prinsip GCG dilakukan dengan pendekatan minimal

(Pendekatan Pasif) dan maksimal (pendekatan aktif), Pendekatan pasif yaitu

suatu perusahaan hanya melakukan transparansi sejauh yang diwajibkan oleh

Undang-Undang saja. Seperti mengumumkannya dalam dalam Berita

Negara, Tambahan Berita Negara atau surat kabar. Contoh pasal yang

memuat pendekatan ini, yaitu Pasal 44 ayat 2 yang berbunyi: “Direksi wajib
172

memberitahukan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (yaitu tentang

pengurangan modal) kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1

(satu) atau lebih surat kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari

terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.”

Sementara pendekatan aktif yaitu perusahaan tersebut secara aktif

melakukan keterbukaan dengan menerapkan prinsip management secara

terbuka dengan memberikan secara akurat, tepat waktu dan tepat sasaran

terhadap sebanyak mungkin akses kepada pihak pemegang saham maupun

stakeholders lainnya. Pasal yang memuat pendekatan ini, yaitu Pasal 50 ayat

2 yang berbunyi: “Selain daftar pemegang saham sebagaimana dimaksud

pada ayat 1, Direksi perseroan wajib mengadakan dan menyimpan daftar

khusus yang memuat keterangan mengenai saham anggota direksi dan dewan

komisaris beserta keluarganya dalam perseroan dan/atau pada perseroan lain

serta tanggal saham itu diperoleh.”

Kemudian Pasal 101 ayat 1 yang berbunyi “Anggota direksi wajib

melaporkan kepada perseroan mengenai saham yang dimiliki anggota direksi

yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan dan perseroan lain

untuk selanjutnya dicatat dalam daftar khusus.”

Selanjutnya Pasal 116 point b yang berbunyi “Dewan komisaris wajib

melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau

keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain.”

2. Unsur Akuntabilitas (Accountability)


173

Dalam rangka keterbukaan informasi di bidang finansial, patut

didayagunakan kelebihan sistem two-tier dari managemen perusahaan

sebagaimana di anut oleh negara- negara yang menerapkan sistem hukum

eropa continental, termasuk Indonesia. Dengan sistem two tier ini,

dimaksudkan adalah bahwa management suatu perusahaan dipimpin oleh dua

komando, dimana yang satu melakukan operasional perusahaan yang dalam

hal ini dilakukan oleh direksi, sedangkan komando yang lainnya adalah

dewan komisaris, yang bertugas untuk mengawasi, termasuk mengawasi

bidang keuangan, terhadap direksi. Pasal yang memuat unsur ini, yaitu Pasal

108 ayat 1 yang berbunyi “Dewan komisaris melakukan pengawasan atas

kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai

perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada direksi.”

3. Unsur Tanggung-Jawab/ Responsibilitas (Responsibility)

Yang ditekankan disini adalah perusahaan haruslah berpegang kepada

hukum yang berlaku dan melakukan kegiatan dengan bertanggung jawab

kepada seluruh stakeholder dan kepada masyarakat, dengan tidak melakukan

tindakan-tindakan yang merugikan para stakeholder maupun masyarakat

tersebut. Pasal yang memuat unsur ini, yaitu Pasal 97 ayat 4 yang berbunyi

“Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung

jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berlaku secara tanggung renteng

bagi setiap anggota direksi.”

Kemudian Pasal 114 ayat 4 yang berbunyi“ Dalam hal dewan

komisaris terdiri dari 2 orang angora dewan komisaris atau lebih, tanggung
174

jawab sebagaimana dimaksud pada pasal 3 berlaku secara tanggung renteng

bagi setiap anggota dewan komisaris.” Selanjutnya Pasal 152 ayat 1 yang

berbunyi“ Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan

yang mengangkatnya atas likuidasi perseroan yang dilakukan.”

4. Unsur Independensi (Independency)

Ketentuan prinsip Independensi yang merupakan Prinsip Dasar dari

penerapan prinsip independensi adalah Untuk melancarkan pelaksanaan

asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-

masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat

diintervensi oleh pihak lain. Ketentuan ini tidak jelas dipaparkan baik tersirat

maupun dalam bentuknya eksplisit. Ketentuan ini membawa pengaruh besar

dalam upaya penerapan independensi dalam tata kelola perseroan terbatas.

Adapun Pedoman Pokok Pelaksanaan prinsip independensi adalah

sebagai berikut:

a. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya

dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan

tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan

dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan

dapat dilakukan secara obyektif.

b. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi

dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan


175

perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar

tanggung jawab antara satu dengan yang lain.

5. Unsur Keadilan/ Keseteraan (Fairness/ Equal Treatment)

Pasal 53 ayat 2 “Setiap saham dalam klasifikasi yang sama

memberikan kepada pemegangnya hak yang sama “. Pasal ini menunjukkan

unsur fairness (non diskriminatif) antar pemegang saham dalam klasifikasi

yang sama untuk memperoleh hak-haknya, seperti : Hak untuk mengusulkan

dilaksanakannya RUPS, hak untuk mengusulkan agenda tertentu dalam

RUPS dan lain-lain.

Perusahaan, dalam hal ini yang berbentuk perseroan terbatas secara

fungsional dituntut memberikan nilai tambah (value added), baik berbentuk

financial return bagi para pemegang saham (shareholders) maupun social-

welfare, yang sekurang-kurangnya value added bagi stakeholders. Berkenaan

dengan hal ini perlu mendapat perhatian implementasi dan enforcement dari Pasal

2 Undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yakni

bahwa kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau

kesusilaan.

Sebagai preseden buruk berkenaan dengan penyalahgunaan fungsi

perseroan terbatas adalah munculnya praktik-praktik pendirian PT yang hanya

dimaksudkan sebagai “paper company”, yakni suatu perusahaan yang di atas


176

kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan sebagai perusahaan bayangan dalam

melakukan kegiatan usahanya. PT ini umumnya terdaftar dan berbadan hukum.

Dua hal ini adalah keharusan. Tujuannya adalah agar para calon korban banyak

yang tertipu sekalian untuk mengelabui para polisi juga mungkin. Mereka punya

nomor resmi laiknya perusahaan lain yang non abal-abal. Oleh sebab itu, jumlah

perseroan terbatas yang banyak di Indonesia, tidak juga memberikan kontribusi

terhadap pembangunan nasional.

Perbedaan yang jelas, tertera dalam Peraturan Menteri BUMN No 1 Tahun

2011 tentang penerapan Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik

Negara. Pada ketentuan ini jelas. Pada Pasal 2 Yat 2 menjelaskan “Dalam rangka

penerapan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi menyusun GCG

manual yang diantaranya dapat memuat board manual, manajemen risiko

manual, sistem pengendalian intern, sistem pengawasan intern, mekanisme

pelaporan atas dugaan penyimpangan pada BUMN yang bersangkutan, tata

kelola teknologi informasi, dan pedoman perilaku etika (code of conduct)”

Ketentuan ini tidak tertera dengan jelas pada UU Nomor 40 Tahun 2007,

maupun aturan pelaksana seperti peraturan pemerintah atau peraturan menteri

yang menangani BUMS. Kemudian pada Pasal 3 juga jelas menyatakan jika

prinsip GCG itu ada lima prinsip, dan yang tersirat hanya ada emapt prinsip yang

ada dalam UU PT, minus Independensi.

Atas dasar perlunya pengaturan eksplisit dalam bentuk peraturan yang

lebih kongkret dan jelas bagi BUMS dalam menerapkan prinsip GCG, maka perlu

mendorong agar Peraturan Menteri BUMN tetang Pelaksanaan GCG diadopsi


177

dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang juga membidangi

BUMS. Dan juga perlu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas agar memuat norma yang lebih jelas

tentang penerapan prinsip good Corporate Governance.

Rekonstruksi yang perlu dilakukan pada penerapan prinsip Good

Corporate Governance adalah, perlu adanya penambahan prinsip baru yaitu

Capability yang belum termasuk pada prinsip Good Corporate Governance yang

ada saat ini. Hal ini beranjak dari pentingnya prinsip Capability pada organ

perseroan guna memberi penguatan terhadap kelima prinsip lainnya.

Kapabilitas, yaitu Kemampuan. Namun pemaknaan kapabilitas tidak

sebatas memiliki keterampilan (skill) saja namun lebih dari itu, yaitu lebih paham

secara mendetail sehingga benar benar menguasai kemampuannya dari titik

kelemahan hingga cara mengatasinya. Kompetensi atau yang sering disinonimkan

dengan kapabilitas adalah kemampuan seorang pemimpin dalam menangani

berbagai tugas dan memecahkan berbagai masalah dalam rangka mencapai

tujuannya.147

Menurut Thomas O. Davenport, “organization capabilities are the

collective abilities of the business unit”.148 Kemudian Vadim Kotelnikov

menjelaskan “Capability represents the identity of your firm as perceived by both

your employees and your customers. It is your ability to perform better than

competitors using a distinctive and difficult to replicate set of business attributes.

147
Toto Tasmara, Spiritual Centered Leadership, Jakarta, Gema Insani Press, 2006, hlm.
54.
148
Jay L. Chatzkel, Knowledge Capital : How Knowledge-Based Enterprises Really Get
Built, New York, Oxford University Press, 2006, hlm. 197.
178

Capability is a capacity for a set of resources to integratively perform a stretch

task”.149

Setiap perusahaan membutuhkan kapabilitas dalam rangka menjalankan

kegiatan usahanya agar dapat mampu bersaing dan hidup berkelanjutan di

pasar.”A hallmark of the new economy is the ability of organizations to realize

economic value from their collection of knowledge assets as well as their assets of

information, production distribution, and affiliation.150

Demikian juga pentingnya kapabilitas dapa perseroan terbatas, agar

perseroan terbatas memiliki organ direksi dan komisaris yang benar-benar

mengerti akan perkerjaan yang dilakukan.

Pada Pada 93 dan 110 UU PT sebenarnya telah jelas mengatur tentang

syarat Direksi ataupun Komisaris pada perseroan terbatas. Bunyi Pasal tersebut

sebagai berikut:

(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang


perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam
waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan
pailit; atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.
(2) Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi kemungkinan instansi teknis yang berwenang menetapkan
persyaratan tambahan berdasarkan peraturan perundang - undangan.
(3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dibuktikan dengan surat yang disimpan oleh Perseroan.

149
Vadim Kotelnikov, Resource-Based View (RBV) of Firms, www.1000ventures.com
diakses 6 Juli 2015.
150
Murray E. Jennex, Case Studies in Knowledge Management, Hershey, Idea Group
Publishing, 2005, hlm. 223.
179

Ketentuan pada Ayat 1 memberikan kebebasan pada RUPS dalam

menentukan siapa direksi yang dapat diangkat, hanya dengan persyaratan cakap

hukum, tanpa ada ketentuan rinci terkait kapabilitas yang dapat membawa

perusahaan kearah yang lebih baik. Hal ini yang menjadi penyebab banyaknya

perusahaan-perusahaan fiktif yang menggunakan direksi yang tidak memiliki

kapabilitas. Kasus yang sempat muncul di pemberitaan adalah Kasus Nazarudin,

yang memiliki perusahaan dan menggunakan Office Boy sebagai direksi guna

menutupi perannya sebagai pemilik perseroan tersebut.

Berbeda halnya dengan penunjukan direksi di Lingkungan BUMN yang

lebih ketat dan terlihat memiliki rekam jejak yang baik sebagai direksi atau

komisaris sebelumnya, sehingga dianggap cakap hukum sekaligus memiliki

kapabiltas yang baik.

Ketentuan kapabilitas ini terlihat pada peraturan Gubernur BI Nomor

14/6/PBI/2012 yang berisi muatan sebagai berikut:

Dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan perlindungan kepada


masyarakat terhadap industri perbankan, perlu dipastikan bahwa pengelolaan
bank syariah dilakukan oleh pihak yang mampu dan patut (Fit and Proper)
sehingga pengelolaan bank syariah dilakukan sesuai dengan tatakelola yang
baik (good governance). Materi Pengaturan:
A. Perubahan yang utama dalam peraturan baru meliputi
1. Penyederhanaan mekanisme penilaian
2. Pengetatan sanksi dan konsekuensi bagi pihak yang dinyatakan
Tidak Lulus.
3. Meningkatkan kepastian eksekusi sanksi.
4. Pengaturan Fit and Proper Test bagi bank dalam penyelamatan,
penanganan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
B. Penyederhanaan proses uji kemampuan dan kepatutan:
1. New Entry
a. Bagi calon anggota Dewan Komisaris dan calon anggota
Direksi bank, wawancara hanya dilakukan apabila diperlukan
yaitu apabila ditemukan adanya informasi negatif atau apabila
180

yang bersangkutan dinilai tidak memiliki kompetensi yang


cukup di bidang perbankan.
b. Bagi calon PSP, wawancara tetap merupakan keharusan hanya
pelaksanaannya tidak harus menunggu seluruh penelitian
administratif selesai.
2. Existing
a. Pengumpulan bukti tidak harus melalui pemeriksaan khusus
namun dapat dilakukan melalui pengawasan aktif
(pemeriksaan), pengawasan pasif atau sumber lainnya.
b. Pengurangan penyampaian tanggapan dari pihak yang dinilai
atas hasil sementara dari semula 2 kali menjadi hanya sekali.
C. Penyederhanaan langkah–langkah penilaian dari 8 tahap menjadi 4 tahap
yaitu:
1. Klarifikasi temuan & bukti kepada pihak yang dinilai.
2. Penetapan dan penyampaian hasil sementara uji kemampuan dan
kepatutan.
3. Tanggapan dari Pihak Yang Dinilai atas hasil penilaian sementara.
4. Penetapan & pemberitahuan hasil akhir uji kemampuan dan
kepatutan.
D. Pengetatan sanksi dan konsekuensi Tidak Lulus.
1. Jangka waktu sanksi tidak dikaitkan dengan dampak perbuatan
pihak yang dinilai terhadap kerugian yang berpengaruh pada
permodalan, keuntungan dan/atau potensi kerugian bank syariah
namun dikaitkan dengan jenis dan frekuensi pelanggaran yang
dilakukan.
2. Terdapat peningkatan jangka waktu sanksi bagi pihak yang Tidak
Lulus yang tidak mematuhi konsekuensinya.
E. Faktor yang dinilai dalam Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) adalah:
1. Integritas dan Kelayakan Keuangan untuk Pemegang Saham
Pengendali (PSP).
2. Integritas, Kompetensi dan Reputasi Keuangan untuk anggota
Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pemimpin
Kantor Perwakilan Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif.
F. Pihak yang harus menjalani Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and
Proper Test) adalah:
1. Calon PSP, calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi,
calon Direktur UUS, dan calon Pemimpin Kantor Perwakilan Bank
Asing sebelum menjalankan fungsi dan tugasnya.
2. PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS,
Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing, dan Pejabat Eksekutif
yang sedang menjabat namun terindikasi melakukan pelanggaran
integritas, kelayakan/reputasi keuangan dan atau kompetensi.
G. Pihak-pihak yang ditetapkan predikat Tidak Lulus dilarang menjadi:
1. pemegang saham lebih dari 10% (sepuluh persen) dan/atau PSP
pada seluruh Bank Syariah.
181

2. pemegang saham pada Bank Umum Konvensional atau Bank


Perkreditan Rakyat.
3. anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur UUS, Pejabat
Eksekutif, atau pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing pada
industri perbankan dalam jangka waktu tertentu.
H. Pihak-pihak yang telah ditetapkan predikat Tidak Lulus dapat kembali
menjadi PSP, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, Direktur
UUS, dan Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Asing apabila telah
menjalani sanksi dan jangka waktu sanksi telah dilalui serta telah
menjalani Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) terlebih
dahulu.
I. LPS sebagai pengendali dari bank yang diselamatkan/ditangani tidak
harus melalui Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test)
namun calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan
calon Direktur UUS yang akan diangkat LPS wajib mengikuti Uji
Kemampuan dan Kepatutan (Fit And Proper Test).
J. Perbedaan mekanisme Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) bagi calon anggota Dewan Komisaris, calon anggota Direksi dan
calon Direktur UUS pada bank dalam penyelamatan/penanganan LPS,
yaitu persetujuan Bank Indonesia diberikan dalam 2 tahap yaitu: tahap 1
merupakan persetujuan sementara dan tahap 2 merupakan persetujuan
akhir.

Dengan ketentuan ini, maka organ perseroan dapat terjaring dengan baik

sehingga mampu meminimalisir banyaknya perseroan terbatas yang fiktif dalam

kegiatannya. Oleh sebab itu penting untuk merekonstruksi prinsip Good

Corporate Governance ditambah dengan prinsip capability sebagai penyeimbang

kelima prinsip Good Corporate Governance yang lainnya.

B. Prinsip Good Corporate Governance Dalam Upaya Mewujudkan


Keadilan

Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal

munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas,

mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial.

Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada

kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah,
182

namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.

Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa

latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu;

(1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya

justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan

yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan

(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum

suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).151

Ukuran mengenai keadilan seringkali ditafsirkan berbeda-beda. Keadilan

itu sendiri pun berdimensi banyak, dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi,

maupun hukum. Dewasa ini, berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang

senantiasa dijadikan topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang

berhubungan dengan penegakan hukum. Banyaknya kasus hukum yang tidak

terselesaikan karena ditarik ke masalah politik. Kebenaran hukumdan keadilan

dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak menemukan

keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa

hukum menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri

oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki

kekuasaan yang lebih tinggi.152

Bahkan Susanto membahas sesuatu yang tidak biasa dalam memaknai

keadilan, yang terkait dengan substansi yang ada di dalamnya. Keadilan akan

151
Muhammad Ali Syafa’at, Pemikiran Keadilan Plato, Aristotles dan John Rawls
safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/keadilan.pdf diakses pada 6 Juli 2015.
152
Muchsan, Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1985, hlm.
42.
183

dibenturkan dengan keraguan dan ketidakadilan, bahwa sesungguhnya keadilan

tidak akan berdaya tanpa ketidakadilan dan keraguan.153

Membahas konsep keadilan, menurutnya, yang kemudian akan

dibenturkan dengan ketidakadilan dan keraguan, akan memasuki medan wilayah

non sistematik, atau anti sistematik, bahkan hampir bersifat aphoristic, karena

membicarakan keadilan, ketidakadilan, keraguan kita berdiri pada wilayah

yang labil, goyah atau cair (melee). Oleh karena itulah, keadilan (hukum)

dianggap plural dan plastik.154

Keadilan, dalam literatur sering diartikan sebagai suatu sikap dan

karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan

berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang

membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.

Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang

tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair

(unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum

(law-abiding) dan fair.

Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua

tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah

adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan

masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan

mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Keadilan sebagai bagian

153
Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah Pembacaan
Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1 tahun 2010, hlm. 23.
154
Erlyn Indarti, “Demokrasi dan Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum”,
Aequitas Juris, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Fakultas
Hukum Universitas Katolik Widya Mandira, Vol. 2 (1), 2008, hlm.33
184

dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa

bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan

yang dilakukan adalah suatu kesa-lahan. Namun apabila hal tersebut bukan

merupakankeserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya

suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan

ketidakadilan.

Ukuran keadilan sebagaimana disinggung di atas sebenarnya menjangkau

wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita, dikarenakan berbicara

masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang masuk dalam tataran

filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling

dalam, bahkan Kelsen menekankan pada filsafat hukum Plato, bahwa keadilan

didasarkan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik.155

Pengetahuan akan hal yang baik secara fundamental merupakan persoalan

di luar dunia. Hal tersebut dapat diperoleh dengan kebijaksanaan. 156 Jelas

bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu-ilmu filsafat. Banyak filsafat yang

mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan. Kesemua itu termasuk

filsafat-filsafat yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu.

Keadilan merupakan salah satu contoh materi atau forma yang menjadi

objek filsafat. Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaraan

serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki

cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai

155
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta, PT. Rajawali Press, 1990, hlm. 118
156
Maryanto, Refleksi dan Relevansi Pemikiran Filsafat Hukum Bagi Pengembangan
Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Vol.
13 (1) tahun 2003, hlm. 52-54
185

pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan

tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk

menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya

penerapannya dalam kehidupan manusia.

Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu

sendiri, disamping kepastian hukum dan kemanfaatan. Mensikapi adanya

beberapa permasalahan (baca: kasus) hukum yang terjadi di negara Indonesia

yang kemudian dituangkan dalam beberapa putusan hakim sehingga membawa

pada satu Filsafat, dalam satu pengertiannya diartikan sebagaisuatu kebijaksanaan

yang rasional dari segala sesuatu, disamping diartikan sebagai suatu sikap dan

pandangan, serta suatu proses kritis dan sistematis dari segala pengetahuan

manusia. Diskursus mengenai keadilan terjadi di semua belahan dunia, tidak

terkecuali di Indonesia. Seperti yang diuraikan di muka, terjadinya gejolak sosial

yang ada di Indonesia diduga disebabkan oleh belum terciptanya keadilan seperti

yang diharapkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Mengingat hal-hal

yang telah diuraikan di atas, di samping itu, hadirnya keadilan semakin

dibutuhkan dengan semakin meningkatnya jumlah manusia yang diiringi dengan

meningkatnya kebutuhan hidup dan meningkatnya kompleksitas permasalahan

yang dihadapi. Dalam rangka menjelaskan kompleksitas tersebut, maka tulisan

ini dimaksudkan untuk menelaah tentang aspek keadilan dalam perspektif

penerapan prinsip good Corporate Governance pada tata kelola perseroan

terbatas.
186

Pada tanggal 16 Agustus 2007, pemerintah mengesahkan peraturan yang

mengatur mengenai Perseroan Terbatas yaitu Undang-undang No. 40 Tahun 2007

yang menggantikan UU Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995. Keberadaan

Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut diharapkan mampu menjamin

terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, dimana perseroan terbatas sebagai

suatu pilar pembangunan perekonomian perlu diberikan landasan hukum untuk

lebih memacu pembangunan nasional.

Diundangkannya Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, dilatar belakangi berbagai macam faktor, salah satunya faktor adalah

adanya pekembangan perekonomian dunia serta kemajuan di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi saat ini, yang mengharuskan

setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat diakomodir oleh suatu aturan

hukum yang sesuai dengan perkembangan dan kondisi masyarakat saat ini,

sehingga apabila terjadi persoalan di dalam masyarakat, hukum dapat dijadikan

sebagai pedoman atau rule of law.

Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dipandang

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya dalam bidang

perekonomian. Terlebih dalam hukum bisnis, di mana sebagai akibat pengaruh

globalisasi dan perdagangan bebas telah memberikan perubahan yang drastis

dalam kehidupan perekonomian pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya.

Eksistensi Perseroan Terbatas sangat penting, mengingat perseroan

terbatas merupakan salah satu bentuk perusahaan di Indonesia yang sangat

penting dan dominan dalam perekonomian. Oleh karena itu, aturan mengenai
187

hukum Perseroan Terbatas perlu senantiasa diperbaharui dalam rangka untuk

penyempurnaan aturan hukum mengenai Perseroan Terbatas.

Diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas membawa cukup banyak perubahan signifikan bagi dunia

usaha di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut wajib dicermati oleh semua

pihak, agar semua kegiatan usaha perseroan senantiasa dijalankan dalam koridor

hukum yang tepat dan benar.

Salah satu bentuk penyempurnaan Undang-undang No. 40 Tahun 2007

adalah pembaharuan tentang konsep pengelolaan perseroan. Pendirian perseroan

terbatas dihadapkan pada dua kepentingan, yaitu kepentingan pemegang saham/

pemilik serta kepentingan masyarakat luas dalam hal ini adalah stakeholder dan

shareholders. Sehingga dengan dua kepentingan yang saling tarik menarik ini,

diharapkan pada pengelolaan perseroan yang bisa mengakses kepentingan kedua

belah pihak.

Good Corporate Governance diperlukan untuk mendorong terciptanya

pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-

undangan. Penerapan Good Corporate Governance perlu didukung oleh tiga pilar

yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia

usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa

dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar

adalah negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan

yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan

peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten


188

(consistent law enforcement). Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG

sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha. Masyarakat sebagai pengguna produk

dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan

perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social

control) secara obyektif dan bertanggung jawab.

Tujuan pembaharuan Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun

2007, salah satunya adalah untuk mendukung implementasi Good Corporate

Governance. Pengelolaan yang baik lazim disebut dengan Good Corporate

Governance atau prinsip Tata Kelola Usaha yang Baik. Prinsip Tata Kelola Usaha

yang Baik diadopsi dari Undang-undang No. 1 Tahun 1995 maupun Undang-

undang No. 40 Tahun 2007. Permasalahan yang ada saat ini adalah bagaimana

pelaksanaan Good Corporate Governance mengenai tata kelola usaha yang sesuai

dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek.

Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah

akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan

mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan

pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan

bahwa sistem tata kelola perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil

ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada

pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut

pandang pemangku kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih


189

terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau

lingkungan.

Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan dalam

mendefinisikan Good Corporate Governance yang dapat mengakomodasikan

berbagai kepentingan. Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi semua

pihak yang berkepentingan dengan Good Corporate Governance disebabkan

karena cakupan Good Corporate Governance yang lintas sektoral. Definisi Good

Corporate Governance menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi

di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan

manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta

pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan

utama dari Good Corporate Governance adalah untuk menciptakan sistem

pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah

penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya

pertumbuhan perusahaan.

Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang

berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi dan

peran sesuai wewenang dan tanggung jawab. Pihak yang berperan meliputi

pemegang saham, dewan komisaris, komite, direksi, pimpinan unit dan karyawan.

Konsep Good Corporate Governance adalah konsep yang sudah saatnya

diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia terutama

BUMN, karena melalui konsep yang menyangkut struktur perseroan, yang terdiri

dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris dapat terjalin hubungan dan
190

mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang

harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan nilai

perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.

Prinsip Good Corporate Governance yang paling relevan dengan

pengembangan sistem dan mekanisme internal perusahaan adalah accountability.

Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing komponen perusahaan,

seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban,

wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga masing-masing

komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.

Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi maupun Komisaris

perlu mengamankan investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini Direksi harus

memiliki sistem dan pengawasan internal, yang meliputi bidang keuangan,

operasional, risk management dan kepatuhan (compliance). Sedangkan Komisaris

menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan wewenang oleh

Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.

Penerapan sistim Good Corporate Governance diharapkan dapat

meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders)

melalui beberapa tujuan berikut Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan

kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya

kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan

solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan.

Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat
191

dipertanggungjawabkan. Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share

holders dan stakeholders

Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan, Perseroan

menggunakan pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari

penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik. Berdasarkan keyakinan yang kuat,

maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk menerapkannya sesuai standar

internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola Perusahaan diterapkan secara

konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai acuan

sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri,

Perseroan juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam hal penerapan prinsip Good Corporate Governance harus disadari

bahwa penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan

adanya asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih dahulu

diterapkan oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan.

Melalui penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh

pelaku bisnis.

Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas implementasi Good Corporate Governance di Indonesia akan

terwujud tergantung pada penerapan dan kesadaran dari perseroan tersebut akan

pentingnya prinsip Good Corporate Governance dalam dunia usaha.

Salah satu prinsip Good Corporate Governance terkandung pengertian

Responsibility disamping keempat prinsip lainnya dalam Good Corporate

Governance. Prinsip Responsibility penekanannya diberikan kepada kepentingan


192

stakeholders perusahaan. Stakholders di sini dapat didefinisikan sebagai pihak-

pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya

adalah karyawan, pelanggan, konsumen, masyarakat di lingkungan sekitarnya

serta pemerintah selaku regulator.

Dari penjelasan tersebut prinsip fairness dalam Good Corporate

Governance melahirkan peran serta perusahaan dalam mewujudkan kaedilan

dalam tata kelolanya.

Istilah yang paling dekat dengan sifat adil dalam konteks Good Corporate

Governance adalah fairness yang biasa diterjemahkan kesetaraan dan kewajaran.

Menurut prinsip dasarnya, fairness adalah bahwa dalam melaksanakan

kegiatannya, perusahaan harus memperhatikan kepentingan pemegang saham dan

pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran.

Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah equilibrium atau titik keseimbangan

atau kesetimbangan. Misalnya, titik equlibrium itu merupakan titik perpotongan

kurva permintaan (demand) dan penawaran (supply) sehingga menghasilkan harga

dan jumlah yang seimbang (equlibrium) dengan syarat faktor-faktor lain dianggap

tetap (centeris paribus).

Segala sesuatu selalu mencari titik keseimbangannya. Menurut Al-Qur’an

dan ahli geologi, lapisan luar kulit bumi selalu bergerak mencari titik

keseimbangan. Proses mencari titik keseimbangan itu terkadang menyebabkan

gempa bumi maupun letusan gunung berapi. Dengan adanya kedua peristiwa itu

maka posisi bumi tetap stabil untuk kehidupan manusia.


193

Dalam konteks perekonomian, sesuatu yang tidak wajar (fair) pada

akhirnya akan mencari titik keseimbangannya itu sendiri. Proses menuju titik

keseimbangannya itu seringkali menimbulkan ongkos yang luar biasa. Misalnya,

beberapa waktu lalu harga minyak mentah sempat menyentuh angka di atas $100

per barrel. Angka ini menurut pengamat pasar tidak wajar karena ongkos produksi

hanya sekitar $12 per barrel. Setelah melambung demikian tinggi tiba-tiba harga

itu turun drastis hingga $30 per barrel. Ketika harga itu tinggi melebihi angka

yang wajar, banyak ongkos sosial, ekonomi, dan politik yang harus dibayar oleh

warga dunia. Masyarakat menjadi resah karena mahalnya BBM berpengaruh

terhadap harga barang-barang kebutuhan pokok. Keresehan ini dapat

menimbulkan protes sosial dan lama-kelamaan dapat menyebabkan kegoncangan

politik. timbulnya berbagai persoalan tersebut adalah ongkos yang harus dibayar

untuk kembali kepada harga atau nilai yang wajar (fair).

Segala sesuatu telah diciptakan dengan kewajarannya yang seimbang.

Ulah manusia serakahlah yang menyebabkannya menjadi tidak seimbang.

Dalam tata kelola perusahaan, istilah fairness biasa diartikan kewajaran.

Fairness atau kewajaran diartikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam

memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta

peraturan perundangan yang berlaku.157

Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem

hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor, khususnya

pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan

ini bisa berupa insider trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam),
157
Mas Achmad Daniri, Op.,Cit, hlm. 12.
194

fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau

keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti penerbitan saham baru,

merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.

Persoalan yang timbul dalam pengelolaan perusahaan, berasal dari

benturan kepentingan. Baik perbedaan antara manajemen (Dewan Komisaris dan

Direksi) dengan pemegang saham, maupun antara pemegang saham pengendali

(pemegang saham pendiri, di Indonesia biasanya mayoritas) dengan pemegang

saham minoritas (pada perusahaan publik biasanya pemegang saham publik).

Dalam situasi seperti, adanya prinsip fairness sangat membantu perusahaan agar

terhindar dari persoalan-persoalan tersebut.

C. Pengawasan Dalam Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada


Perseroan Terbatas

Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin

bahwa tugas atau pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan rencana yang telah

ditetapkan. Kebijaksanaan yang telah digariskan dan perintah (aturan) yang

diberikan.158

Untuk menjamin agar semua pekerjaan yang telah diberikan oleh

pimpinan kepada bawahannya dapat berjalan sesuai menurut rencana, maka

seorang pimpinan tersebut harus memiliki kemampuan untuk memandu,

menuntut, membimbing, memotivasi, mengemudikan organisasi, menjalin

jaringan komunikasi yang baik, sumber pengawasan yang baik, serta membawa

158
Sondang P Siagian, Teori dan Praktik Kepemimpinan, Jakarta, Rineka Cipta, 2003,
hlm. 112.
195

pengikutnya kepada sasaran yang hendak dituju sesuai ketentuan, waktu dan

perencanaan.159

Menurut Siagian pengawasan adalah merupakan langkah sekaligus

salah satu fungsi organik manajemen yang sangat penting dikatakan demikian

karena melalui pengawasan diteliti apakah hal yang tercantum dalam

melaksanakan dengan baik atau tidak.

Kartini kartono memberi pengertian pengawasan adalah pada umumnya

para pengikut dapat bekerja sama dengan baik kearah pencapaian sasaran dan

tujuan umum organisasi pengawasan untuk mengukur hasil pekerjaan dan

menghindari penyimpangan-penyimpangan jika perlu segera melakukan

tindakan korektif terhadap penyimpangan-penyimpangan tersebut.160

Siagian mengatakan pengawasan merupakan proses pengamatan dari

pelaksanaan seluruh organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang

sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan

sebelumnya.161 Pengawasan melekat adalah kegiatan mengamati, observasi

menilai, mengarahkan pekerjaan, wewenang yang diserahkan oleh atasan terhadap

bawahannya sehingga dapat diberikan sanksi terhadap bawahan secara struktural,

yang dilakukan secara kontiniu dan berkesinambungan. Sedangkan indikator

pengawasan yang akan dipergunakan dalam pengukuran variabel ini adalah

sebagai berikut:

159
Kartini Kartono, Psikologi sosial untuk manajemen perusahaan dan industri, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 81.
160
Ibid, hlm. 183.
161
SP Siagian, Op., Cit, hlm. 112.
196

1. Menentukan ukuran pelaksanaan. Artinya cara-cara untuk mengukur

pelaksanaan seperti kontiniuatau beberapa syarat minimal melakukan

pengawasan dalam suatu waktu seperti satu kali seminggu atau

beberapa kali sebulan bahkan mungkin beberapa jam setiap hari.

2. Memberikan penilaian. Artinya memberi nilaikesetiap pekerjaan yang

diberikan kepada bawahan, apakah pekerjaannya beik atau jelek.

3. Mengadakan korektif. Tindakan koreksi ini dimaksudkan koreksi

internal yaitu mengevaluasi berbagai metode pengawasan yang ada

seperti standar yang terlalu tinggi, dan eksternal yaitu ,memberikan

sanksi kepada bawahan.162

Karena itu pengawasan harus dipandang sebagai suatu sistem informasi,

karena kecepatan dan ketetapan tindakan korektif sebagai hasil proses

pengawasan bergantung pada macamnya informasi yang diterima.163

Tujuan dari pengawasan yang dikehendaki oleh organisasi sebenarnya

tidak lain merupakan cara untuk melihat dan melakukan kontrol terhadap suatu

rencana kerja. Sebab setiap kegiatan pada dasarnya selalu mempunyai tujuan

tertentu. Oleh karena itu pengawasan mutlak diperlukan dalam usaha pencapaian

suatu tujuan. Menurut Situmorang dan Juhir maksud pengawasan adalah

untuk:164

1. Mengetahui jalannya pekerjaan apakah lancar atau tidak

162
Kartini Kartono, Op., Cit, hlm. 153.
163
Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah.
Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm. 102.
164
M. Situmorang, dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintahan, Cet.1. Jakarta, Rineka Cipta, 1994, hlm. 21.
197

2. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan

mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-

kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru.

3. Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam

rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah

direncanakan.

4. Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat

pelaksanaan) seperti yang telah ditentuka dalam planning atau tidak.

5. Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah

ditetapkan dalam planning, yaitu standard.

Rachman juga mengemukakan tentang maksud pengawasan, yaitu:165

1. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana

yang telah ditetapkan

2. Untuk mengetahui apakah sesuatu telah berjalan sesuai denga instruksi

serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.

3. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-

kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan

perubahan-perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan

kegiatan-kegiatan yang salah.

4. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan

apakah dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga

mendapat efisiensi yang lebih benar.


165
Ibid, hlm. 22.
198

Dari kedua pendapat di atas dapat diatas dapat disimpulkan bahwa maksud

pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan kerja, hasil kerja, dan segala

sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak, seta mengukur

tingkat kesalahan yang terjadi sehinga mampu diperbaiki ke arah yang lebih

baik. Sementara berkaitan dengan tujuan pengawasan, Maman Ukas

mengemukakan:166

1. Mensuplai pegawai-pegawai manajemen dengan informasi-informasi

yang tepat, telitian lengkap tentang apa yang akan dilaksanakan.

2. Memberi kesempatan kepada pegawai dalam meramalkan rintangan-

rintangan yang akan menggangu produktivitas kerja secara teliti dan

mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan atau

mengurangi gangguan-gangguan yang terjadi.

3. Setelah kedua hal di atas telah dilaksanakan, kemudian para

pegawai dapat membawa kepada langkah terakhir dalam mencapai

produktivitas kerja yang maksimum dan pencapaian yang memuaskan

dari pada hasil-hasil yang diharapkan.

Situmorang dan Juhir mengemukakan bahwa secara langsung tujuan

pengawasan adalah untuk:167

1. Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana,

kebjaksanaan dan perintah.


166
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip Dan Aplikasi, Cetakan ketiga, Bandung,
AGNINI, 2004, hlm. 337.
167
M. Situmorang, Jusuf Juhir, Op., Cit, hlm. 26
199

2. Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan

3. Mencegah pemborosan dan penyelewengan

4. Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang

dihasilkan

5. Membina kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan

organisasi.

Sementara tujuan pengawasan menurut Soekarno adalah untuk

mengetahui apakah sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan,

mengtahui apakah sesuatu dilaksanakan sesuai dengan instruksi serta asas

yang ditentukan, mengetahui kesulitagn-kesulitan dan kelemahan-kelemahan

dlam bekerja, mengetahui apakah sesuatu berjalan efisien atau tidak, dan mencari

jalan keluar jika ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan,

atau kegagalan ke arah perbaikan.168

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada

pokoknya tujuan pengawasan adalah:

1. Membandingkan antara pelaksanaan dengan rencana serta instruksi-

instruksi yang telah di buat.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan-kesulitan, kelemahan-

kelemahan atau kegagalan-kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja.

168
Ateng Safrudin, Hubungan Kepala Daerah dan DPRD, Bandung, Torsito, 1982, hlm
33.
200

Demikian telah diuraikan beberapa definisi dan tujuan pengawasan secara

umum, dan hal ini memiliki kaitan dengan pengawasan yang harus dibangun

dalam rangka menjamin penerapan Good Corporate Governance dapat berjalan

dengan baik.

Pengawasan dalam bidang perbankan saat ini masih dilakukan oleh

Otoritas Jasa Keuangan, yang menggantikan Badan Pengawasan Penanaman

Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Tugas Otoritas Jasa Keuangan adalah

melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor

Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.169

Pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan terbatas hanya pada

sektor perbankan, sementara sektor yang lain minim pengawasan. Pengawasan

pada perseroan terbatas hanya dilakukan oleh komisaris, yang pengawasannya

terbatas pada kebijakan direksi, sementara yang mengawasi organ perseroan

terbatas secara menyeluruh termasuk RUPS tidak tercantum dalam UU Nomor 40

Tahun 2007. Oleh sebab itu penting melakukan rekonstruksi sistem pengawasan

pada perseroan terbatas secara menyeluruh guna menjamin penerapan Good

Corporate Governance diterapkan pada tiap kebijakan dan tata kelola perseroan

terbatas.

Menurut konsep Good Corporate Governance, struktur perusahaan harus

mempunyai hubungan pertanggungjawaban dan pembagian peran di antara

berbagai organ utama perusahaan seperti: pemegang saham, komisaris, dan

direksi. Struktur tersebut harus didesain untuk mendukung jalannya aktivitas

organisasi secara bertanggungjawab dan terkendali.


169
Otoritas Jasa Keuangan, Tugas dan Fungsi, www.ojk.go.id diakses pada 6 Juli 2015
201

Struktur tersebut dibagi ke dalam dua jenis, yaitu one-tier system dan two-

tier system, tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Sistem one-tier digambarkan sebagai sebuah struktur dimana hanya ada pimpinan

tanpa adanya pemisahan tersendiri untuk fungsi pengawasan; jikapun ada, tidak

ada batasan yang jelas antara keduanya. Jelas sistem ini mempunyai kekurangan

karena tidak adanya sistem pengawasan. Namun jika dilihat dari sisi positifnya,

dalam sistem ini pemimpin organisasi dapat leluasa dalam memberikan arahan

dan perintah berdasarkan visi dan misi perusahaan. Hal yang perlu diperhatikan

adalah sisi positif ini bisa terjadi jika pemimpin mempunyai integritas dan

kemampuan kontrol yang tinggi. Sangat berbeda dengan one-tier, pada konsep

two-tier terdapat badan pengawas yang mengontrol kebijakan yang dikeluarkan

oleh seorang pemimpin. Perbedaan mendasar antara one-tier dan two-tier adalah

pada sistem one-tier tidak jelas siapa yang menjalankan fungsi pengawasan,

karena yang ada hanya fungsi pengambil kebijakan yang dijalankan oleh

Chairman dan fungsi pelaksana kebijakan yang dijalankan oleh CEO.

Di Indonesia sendiri, struktur yang diterapkan adalah bentuk two-tier

dimana terdapat badan pengawas. Hal ini terlihat salah satunya di dalam UU No.

40 Tahun 2007, dimana telah ditegaskan bahwa komisaris dan direksi jelas

dipisahkan. Namun pelaksanaan dari konsep two-tier tersebut dirasa masih belum

jelas. Ada beberapa kerancuan yang menyebabkan pelaksanaanya pun lebih

cenderung kepada konsep one-tier, diantaranya adalah kurang jelasnya pemisahan

antara badan pengawas dengan dewan direksi sendiri yang berlawanan dengan apa

yang disebutkan dalam UU No. 40 Tahun 2007. Selain itu pekerjaan dewan
202

pengawas hanya bergantung dari laporan manajemen perusahaan yang pada

kenyataannya, laporan yang diterima seringkali kurang berkualitas, tidak tepat

waktu dan tidak akurat. Hal ini menyebabkan semuanya bersifat proforma yang

mengakibatkan tidak tercapainya efektifitas pengawasan.

Sebenarnya jika berbicara tentang kedua sistem tersebut, konsep two-tier

sangat menjanjikan performa organisasi yang bagus. Hal ini terkait dengan adanya

dewan komisaris yang merupakan pemegang kekuasaan sebagai pengawas.

Apalagi jika hal tersebut di terapkan di Indonesia, konsep two-tier yang juga

tertera di undang-undang tersebut juga sangat cocok, mengingat akan banyak

kekurangan dan penyelewengan jika kita memakai konsep one-tier. Namun ada-

tidaknya penyelewengan dan bagus-tidaknya performa sebuah perusahaan juga

sangat bergantung kepada sumber daya manusia yang ada dalam organisasi itu.

Sistem manajemen yang baik yang meliputi sistem perekrutan yang ketat dan

teruji akan menghasilkan orang-orang terbaik dalam bidangnya. Kemudian hal

tersebut akan menunjang performa perusahaan. Aspek lain yang dapat menjadikan

struktur two-tier berjalan dengan baik adalah kredibilitas dewan audit dimana

komite audit merupakan salah satu pilar penghubung antara dewan komisaris dan

dewan direksi karena masih banyak komisaris yang tidak mengetahui secara baik

fungsi dan perannya di sebuah perusahaan.170

Jadi, kedua sistem ini memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing

tergantung di negara mana sistem ini diterapkan. Apabila melihat negara Amerika

dan Inggris yang memang cara berpikir, bertindak, menjalankan bisnis, serta

170
Gregory Fancesco Maassen, an International Comparison of Good Governance
Models, Amsterdam, Spencer Stuart, 2002, hlm. 18.
203

penegakan hukumnya sudah lebih maju dibandingkan Indonesia yang masih sarat

dengan KKN dan kelemahan hukum, memang cocok untuk memakai one-tier

system. Di Indonesia sendiri rasanya belum bisa dijalankan sistem seperti ini

karena adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan

terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan,

tidak efektifnya dewan komisaris, dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia

sendiri. Pelaksanaan struktur organisasi baik one-tier maupun two-tier sangatlah

bergantung pada integritas masing-masing individu pemangku jabatan tersebut.

Untuk itu diharapkan peran pemerintah untuk dapat membentuk regulasi

guna menciptakan kerangka pengawasan di perseroan terbatas agar menjamin

penerapan Good Corporate Governance dapat berjalan, baik secara hukum

maupun budaya perusahaan.


204

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance sudah

dilakukan dan diterapkan di Indonesia namun secara explisit belum

terdapat pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, dan hanya terbatas pada Peraturan Menteri BUMN dan

Peraturan Gubernur Bank Indonesia, sehingga hanya BUMN dan

perseroan yang bergerak di sektor keuangan saja yang telah menerapkan

prinsip Good Corporate Governance dalam tata kelola perusahaannya.

Masih tersisa permasalahan penerapannya pada perseroan terbatas yang

dimiliki swasta yang bergerak dalam banyak sektor, padahal jumlah

perusahaan swasta cukup banyak, sehingga karena sumbangsihnya

terhadap kemajuan perekonomian nasional masih minim, hal ini terlihat

pada indeks penerapan Good Corporate Governance yang telah

dipaparkan pada BAB IV.

2. Problematika penerapan Good Corporate Governance di Indonesia

adalah budaya tata kelola perusahaan yang baik belum terbangun pada

banyak perseroan terbatas, hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan


205

yang dibangun dengan orientasi mengejar kepentingan pribadi, dan

pelanggaran-pelanggaran tata kelola perusahaan yang dilakukan tidak

hanya oleh direksi atau komisaris, melainkan seluruh organ perseroan.

Sehingga jika prinsip Good Corporate Governance diterapkan pada

perusahaan, akan semakin membatasi niat jahat perusahaan dalam

mencapai kepentinggannya. Ini disebabkan, aturan yang belum kongkret

memaksa perseroan terbatas untuk mengadopsi prinsip Good Corporate

Governance sebagai pedoman tata kelola perusahaannya. Tidak jelasnya

aturan, membuat kontrol terhadap perseroan terbatas menjadi lemah,

akhirnya banyak perusahaan yang hanya menjadi Paper Company.

3. Rekonstruksi yang harus dilakukan adalah, merekonstruksi muatan

prinsip Good Corporate Governance secara kongkret pada perseroan

terbatas, sehingga aturan tersebut memiliki daya paksa yang dapat

diterapkan beserta sanksi jika tidak menerapkan. Dengan demikian, teori

yang digunakan yanitu sistem hukum dapat tercapai. Jika aturannya

sudah jelas dan sanksinya juga jelas, maka perseroan terbatas terpaksa

mengadopasi perinsiap Good Corporate Governance. Kemudian

penguatan kapasitas penegak hukum dan badan pengawas yang

profesional yang dapat memantau kinerja setiap perseroan terbatas,

sehingga budaya perusahaan dapat berubah seiring waktu. Rekonstruksi

bukan hanya pada Undang-Undang semata, melainkan ada prinsip Good

Corporate Governance yang harus ditambah, yaitu Capability sehingga


206

perseroan dipimpin oleh mereka yang memiliki kapabilitas, dan otomatis

kapabilitas akan menjamin suatu perusahaan berjalan sesuai ketentuan

prinsip Good Corporate Governance dalam tata kelolanya. Pengawasan

juga perlu dilakukan, jika Otoritas Jasa Keuangan menjadi pengawas

perseroan disektor perbankan, maka perlu ada pengawas yang dibentuk

guna mengawasi kegiatan usaha perseroan terbatas di sektor lain,

sehingga mampu memberikan kontrol yang maksimal terhadap

perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia.

B. Saran-Saran

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

perlu mengatur secara eksplisit prinsip Good Corporate Governance

sebagai pedoman tata kelola perusahaan baik perusahaan BUMN

maupun BUMNS, dan jika tidak diadopsi pada Undang-Undang

tersebut, maka dapat diadopsi dalam peraturan pelaksana dari Undang-

Undang tersebut.

2. Guna mencegah sulitnya penerapan prinsip Good Corporate

Governance pada perusahaan, maka perlu adanya pengawasan pada

tingkat pendaftaran perseroan mulai dari awal dan pengawasan

berkelanjutan hingga laporan tahunan kemajuan dan permasalahan yang

dihadapi perseroan tersebut. Dengan demikian prinsip Good Corporate

Governance dapat diadopsi pada perseroan terbatas.


207

3. Guna mendukung adanya rekonstruksi, maka perlu diadopsi dalam

peraturan perundang-undangan, agar memiliki legitimasi dalam

penerapannya, dan memiliki daya paksa guna membenahi proses

pengawasan pada tata kelola perseroan terbatas.


208

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, A. 2001. Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab Dan Solusinya,


Ghalia Indonesia.

Ali, A. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta, Kencana
Persada.

Ali, C. 1987. Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Alijoyo, A. & Subarto Z. 2004. Komisaris Independen: Penggerak Praktik GCG


di Perusahaan. PT Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.

Ananta, A. 2011. Mulyana Soekarni, Sjamsul Arifin (ed), The Indonesian


Economy Entering a New Era, ISEAS Publishing, Singapura,
2011.

Arief, B.N. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Pranada
Media Grup, 2010.

Asian Development Bank. 2014. ASEAN corporate governance scorecard:


Country reports and assessments 2013–2014. Mandaluyong City,
Philippines, Asian Development Bank.

Axelrod, S. 2013. Effect Punishment on Human Behaviour, Waltham,


Massachusetts, Academic Press.

Baker, H.K. 2010. Ronald Anderson, Corporate Governance, A synthesis of


Theory, Research and Practice, New Jersey: John Wiley and Sons
Inc.

Bakrie, A. 2002. Good Corporate Governance: Sudut Pandang Pengusaha,


YPMMI & Sinergi Communication, Jakarta.

Bartens, R.K. 2007. Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Bastian, I. 2006. Akutansi Sektor Publik, Jakarta: Erlangga.


209

Basyaib, F. 2005. Manejemen Resiko, Jakarta: Grasindo.

Bebchunk, Lucian Arye, The Case For Increasing Shareholder Power, Harvard
Law Review, Working Draft, 2004.

Beilharz, Peter ( ed ), Teori-Teori Sosial ; Observasi Kritis Terhadap Para


Filosof Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.

Bloch, Ernst, Terj. Dennis J Schmidt, Natural Law adn Human Dignity, Third
Edition, USA, MIT Press, 1996.

Chand, Hari , Modern Jurisprudence, International Law Kuala Lumpur, Book


Services, 1994.

Chaplin, James P. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


1997.

Chatzkel, Jay L., Knowledge Capital : How Knowledge-Based Enterprises Really


Get Built, New York, Oxford University Press, 2006.

Chinn, Richard, Corporate Governance Handbook, Gee Publishing Ltd. London,


2000.

Chun, Changmin, Cross Border Transactions of Intermediated Securities, New


York: Springer Heidelberg, 2012.

Claessens, Stijn, Corporate Governance and Development Focus 1, Makalah


disampaikan pada Global Corporate Goverance Forum, 2003.

Crisp, Roger, Aristotle: Nichomachean Ethics, UK: Cambridge University Press,


2000.

Daeng, Hasanudin Rahmat, Manajemen Fit and Proper Test, Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2004.

Daniri, Mas Ahmad, Good Corporate Governance : Konsep dan Penerapannya di


Indonesia. Ray Indonesia, Jakarta, 2005.

Deal, Terrence E. , Allan A. Kennedy, Corporate Culture: The Roles and Ritual
of Corporate, USA, Perseus Books, 2000.

Dubiel, Stanley, Hindarmojo Hinuri (ed), Corporate Goverance: Terus


Melangkah Sambil Mencari Cara Terbaik, dalam Good Corporate
Governance: Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan
210

Korporasi Indonesia, Jakarta: Yayasan Pendidikan Pasar Modal


Indonesia, 2002.

Easterbrook Frank H, Daniel R Fischel, The Economic Structure of Corporate


Law, USA: Harvard University Press, 1996.

Eksiklopedi Nasional Indonesia, Jilid V, Jakarta, Cipta Adi Pustaka, 1989.

Emirzon, Joni , Hukum Bisnis Indonesia, Palembang: Prenhalindo Jakarta,


2000.

Faisal, Yusuf, Pedoman Praktis Dewan Komisaris, Komite Audit dan Sekretaris
Korporat Perusahaan Terbuka (Tbk.) & BUMN Plus Prinsip-
Prinsip & Praktek Good Corporate Governance, Jakarta: Institut
Komisaris Perseroan Indonesia, 2002.

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta: Rangkang Education, 2010.

Fattah, Nanang, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan


Sekolah. Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Fernando, AC, Corporate Governance: Principles, Policies, and Practice, Delhi:


Darling Kindersley, 2006.

Friedman, Lawrence M. & Stewart Macaulay, Law And Behavioral Science, New
York, The Bobbs Memill Company Inc, 1977.

Friedman. Lawrence, The Legal System A Social Perspective, Newyork, Russel


Sage Foundation, 1975.

Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta, PT. Rajawali Press, 1990.

Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa


dan Nusamedia, 2004.

Fuady, Munir Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya


dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Griffiths, Andrew, Contracting With Companies, Portland: Hart Publishing,


2005, hlm. 265.
Griffiths, Andrew, Shareholding and The Governance of Public Companies,
dalam Corporate Goverance & Corporate Control, diedit oleh
Saleem Sheikh and William Rees, London: Cavendish Publishing
Limited, 1995.
211

Hart, HLA, The Concept of Law, London: The English Language Book Society
and Oxford University Press, 1972.

Hartono, Sri Rejeki, et.al, ed Permasalahan Seputar Hukum Bisnis:


Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit,
Jogjakarta, 2006.

Hicks, Andrew, S.H.Goo, Cases and Materials on Company Law, London:


Oxford University Press, 2008.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet VIII, Yogyakarta:
Kanisius, 1995.

Jennex, Murray E., Case Studies in Knowledge Management, Hershey, Idea


Group Publishing, 2005.

Kaen, Fred. R, A Blueprint for Corporate Governance: Stregy, Accountability,


and the Preservation of Shareholder Value, AMACOM, USA.
2003.

Kartono, Kartini, Psikologi sosial untuk manajemen perusahaan dan industri,


Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Kasworo, Denri, “Penerapan Asas Transparansi Pelayanan Perizinan Dalam


Rangka Mewujudkan Good Governance”, Tesis, Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2009.

Khozim, M. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media, 2009.

Komite Cadbury, The Business Roundtable, Statement on Corporate Governance,


Washington DC, 1997.

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Hindarmojo Hinuri (ed),


Pedoman Good Corporate Governance, dalam Good Corporate
Governance: Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan
Korporasi Indonesia, , Jakarta, Yayasan Pendidikan Pasar Modal
Indonesia, 2002.
Kurniawan, Wahyu, Corporate Governance Dalam Aspek Hukum Perusahaan,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2012.

Kusuma, Mahmud, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik


Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Yogyakarta: Antony
Lib bekerjasama LSHP, 2009.
212

Maassen, Gregory Fancesco, an International Comparison of Good Governance


Models, Amsterdam, Spencer Stuart, 2002.

Mangkunegara, Anwar Prabu .  Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung,


Remaja. Rosdakarya, 2005.

Marbun, B.N., Kamus Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Marta, M Fajar, Mendamba Penagak Hukum Yang Dicinta Rakyat, Harian


Kompas 7 Februari 2015.

Marzuki, Laica, Siri': Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar :


Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Makasar, Hasanudin University
Press, 1995.

MD, Mahfud , Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2001.

Moeljono, Djokosantoso, Good Corporate Culture sebagai inti dari Good


Corporate Governance, Elex-Gramedia, Jakarta, 2005.

Monk, Robert A.G, , dan Minow, N, Corporate Governance 3rdEdition,


Blackwell Publishing, 2003.

Moore, Sally Falk, Law As Process: An Antropolical Approach (1978), Oxford,


LIT Verlag Munster-Hamburg and James Currey Publisher, 2000.

Muchsan, Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta, Penerbit Liberty, 1985.

Mudhofir, Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta,
Gadjahmada University Press, 2005.

Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif dan Fungsional, Yogyakarta,


Ekonosia, 1998.

Nestor, Stilpon Nestor dan John K. Thompson, Corporate Governance Patterns


in OECD Economics: Is Convergence Under Way, Makalah
disampaikan pada Seminar Corporate Governance in Asia: A
Comparative Perspective Press, 2001.

OECD, Corporate Governance of Stated Owned Enterprises, t.t: OECD


Publishing, 2005.

Otoritas Jasa Keuangan, Roadmap Tata Kelola Perusahaan Indonesia, Jakarta,


OJK, 2013.
213

Prasad, Kesho, Corporate Governance, New Delhi: PHI Learning Private


Limited, 2011.

Prastowo, Joko, Miftachul Huda, Corporate Sosial Responsibility: Kunci Meraih


Kemuliaan Bisnis, Yogyakarta, Samudra Biru, 2011.

Pujirahayu, Esmi Warassih (Peny), Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif


Sosial, Bandung, Alumni, 1981.

Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata,, CV


Rajawali, Jakarta, 2001.

Purwono, Joko, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan RI, UNS, 1993.

Putra, Ahmad Yulius Eka, “Peran Good Corporate Governance Sektor


Perbankan Dalam Mendukung Manajemen Risiko Sebagai
Implementasi Prinsip Kehati-Hatian”, Tesis, Magister Hukum
Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009.

Rachman, M Nurdizal, Panduan Lengkap Perencanaan CSR, Jakarta, Penerbit


Swadaya, 2011.

Rahardjo, Handri, Hukum Perusahaan, Pustaka Yusticia, Yogyakarta, hlm 2009.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1980.

Rahardjo, Satjipto, Pemanfaatan Ilmu Sosial Bagi Pembangunan Ilmu Hukum,


Bandung, Alumni, 1977.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, 2010.

Rahardjo, Satjipto, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis Tentang Pergulatan


Manusia dan Hukum, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta :


Genta Publishing, 2009.

Rido, R. Ali, Badan Hukum dan kedudukan Badan Hukum Perseroan,


Perkumpulan, Koperasi, Yayasan dan Wakaf, Alumni, Bandung,
2004.

Rudito, Bambang, Melia Farniola, Etika Bisnis dan Tanggungjawab Sosial


Perusahaan di Indonesia, Bandung, Rekayasa Sains, 2007.

Safrudin, Ateng, Hubungan Kepala Daerah dan DPRD, Bandung, Torsito, 1982.
214

Schneeman, Angela, The Law of Corporations and Other Bussines Organizations,


New York: Cengage Learning, 2012.

Schwab, Klaus, The Global Competitive Report 2014-2015. Geneva, the World
Economic Forum, 2014.
Shaw, John. C,, Corporate Governance and Risk: A System Approach, John Wiley
& Sons, Inc, New Jersey, 2003.

Siagian, Sondang P, Teori dan Praktik Kepemimpinan, Jakarta, Rineka Cipta,


2003.

Situmorang, M., dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintahan, Cet.1. Jakarta, Rineka Cipta,
1994.

Soekanto, Soerjono , Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, PT


RajaGrafindo Persada, , 2009.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normaif, Suatu


Pengantar Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Studi Hukum Dalam Masyarakat, Bandung, Alumni,


1985.

Spehl, Stephan, Thomas Gruetzner, Corporate Internal Investigations: A


Systematic Overview of 13 Jurisdictions, Hart Publishing, Muchen,
2013.

Sudarmono, Johny, Be G2C Good Governed Company, Elex Media


Komputindo, Jakarta, 2004.

Suhaimi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta, Gramedia, 2001.

Suharto, Susilo, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam berlakunya UUD


1945, Jakarta, Graha Ilmu, 2006.

Sullivan, John D., Hindarmojo Hinuri (ed), Good Corporate Governance:


Transparansi Antara Pemerintah dan Bisnis, dalam Good
Corporate Governance: Konsep dan Implementasi Perusahaan
Publik dan Korporasi Indonesia, Jakarta, Yayasan Pendidikan
Pasar Modal Indonesia, 2002.
215

Sumarto, Hatifah E.J, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Jakarta,


Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Suratman, Adji, Konsep, Proses, dan Implementasi Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan: Studi Kasus PT. Dok & Perkapalan Kodja Bahari
(PERSERO), Intama Artha Indonusa, Jakarta, 2000.

Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance,


Mengesampingkan Hak-Hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha,
Jakarta: LKPMK FH UI, 2006.

Susanti, Aries, Hubungan Antara Fungsi Elemen Organisasi dengan


Terwujudnya Prinsip Good corporate governance. Institut
Teknologi Bandung, 2008.

Tangkilisan, Hessel Nogi, Manajemen Publik, Jakarta, Grasindo, 2005.

Tantowi, Juwahir, Budaya Hukum dan Kekerasan Dalam Dinamika Politik


Indonesia, Yogyakarta, UII Press, 2001.

Tasmara, Toto, Spiritual Centered Leadership, Jakarta, Gema Insani Press, 2006.

Tjager, I Nyoman, Corporate governance: tantangan dan kesempatan bagi


komunitas bisnis Indonesia, Prenhallindo, Jakarta, 2003.

Tjager, I Nyoman, Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance pada


BUMN, dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan
Implementasi, diedit oleh Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat,
Jakarta: Kompas, 2004.

Tunggal, Iman Sjahputra dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good


Corporate Governance (GCG), Cet. I, Jakarta, Harvarindo, 2002.

Ukas, Maman, Manajemen Konsep, Prinsip Dan Aplikasi, Cetakan ketiga,


Bandung, AGNINI, 2004.

Usman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Belajar,


2009.

Weatherall, Thomas, Jus Cogens: International Law and Social Contract,


Cambridge, University Printing House, 2015.

Wicaksono, Frans Satrio, Tanggungjawab Pemagang Saham, Jakarta: Visimedia,


2009.
216

Wilamarta, Misahardi, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good


Corporate Governance, Cet. 2, Jakarta: Program Pascasarjana FH
UI, 2002.

Yadyn, Problematika Penegakan Hukum di Indonesia Menuju Hukum yang


Responsif Berlandaskan Nilai-Nilai Pancasila, Makasar,
Ringkasan Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, 2007.

Zubair, Achmad Charis, Kuliah Etika, Jakarta, Rajawali Press, 1990.

B. Jurnal

Arthur W. Machen Jr, Corporate Personality, Harvard Law Review Vol. XXIV
No. 4.

Darmabrata, Wahyono, et.al., Implementasi Good Corporate Governance dalam


Menyikapi Bentuk-Bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan
Komisaris Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 6,
2003.

Farouk, Umar Farouk, Good Corporate Governance dan Hukum Perusahaan


(Good Corporate Governance and Company Law), Bank &
Manajemen Journal, ISSN 0215-8221, Jakarta, September –
October 2001.

H.E, Djatmiko, , ”Ada Kemajuan, Banyak Keprihatinan”, SWA,XX, 4, 2004.

Indarti, Erlyn, “Demokrasi dan Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum”,


Aequitas Juris, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik
Widya Mandira Kupang, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Widya Mandira, Vol. 2 (1), 2008.

Jurnal hukum bisnis, Volume 24,Masalah 1-3 Tahun 2005.

Maryanto, Refleksi dan Relevansi Pemikiran Filsafat Hukum Bagi


Pengembangan Ilmu Hukum”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Vol. 13 (1) Tahun
2003.

Nasution, Bisman, Prinsip Keterbukaan Dalam Good Corporate Governance,


Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 6, 2003.

Susanto, Anthon F. , “Keraguan dan Ketidakadilan Hukum (Sebuah


Pembacaan Dekonstruktif)”, Jurnal Keadilan Sosial, Edisi 1 tahun
2010.
217

Tsoka, Evelyn Chiloane-, The Influence of Corporate Culture on Organisational


Change of First National Bank of Namibia, International Journal
Bussines and Economic Develovment, Vol 1 Number 3, November
2013, A Journal of the Academy of Business and Retail
Management (ABRM), 2013.

Wibowo, Edi, Implementasi GCG di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan


Kewirausahaan Vol 10, No. 2 Tahun 2010.

C. Artikel

Amirudin, Badriyah Rifai, Artikel Pendidikan Network ; Peran Komisaris


Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di
Tubuh Perusahaan
Publik,http://researchengines.com/badriyahamirudin, terakhir
diakses pada tanggal 1 Januari 2014.

Ashiddiqie, Jimly, Badan Hukum, http://www.jimly.com/pemikiran/view/14.%20


Diunduh%201%20Maret%202012 diakses pada 5 Mei 2015

Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, www.docudesk.com diakses pada 9 Juli


2015.

Badan Pusat Statistik, Jumlah Perusahaan Industri Besar-Sedang 2008-2013


Menurut Subsektor, www.bps.go.id diakses pada 1 Januari 2015.

CLSA, Corporate Governance Watch 2014 Dark Shades of Grey: Corporate


Governance and Sustainability in Asia, www.clsa.com diakses 23
Mei 2015.

Efendi, Sofyan, Membangun Good Governance Tugas Kita Bersama, Bahan


Kuliah, www. sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-
governance.pdf diakses pada 6 Juli 2015

Fajri, Mohamad dan Sofyan,Djalil, ”Penilaian GCG Perbankan”, Harian


Suara Karya, Kamis 16 Maret 2006.

Harian Kontan, “Jika Tidak Hati-Hati Krisis 1998 Bisa Terulang”


http://nasional.kontan.co.id, diakses pada 5 Mei 2015.

Husein, Yunus, Penguatan Good Governance, Harian Sindo, 24 Desember 2007.

Kotelnikov, Vadim, Resource-Based View (RBV) of Firms,


www.1000ventures.com diakses 6 Juli 2015.
218

Mas Achmad Daniri, http://www.nccg-indonesia.org diakses 1 Januari 2015

Otoritas Jasa Keuangan, Tugas dan Fungsi, www.ojk.go.id diakses pada 6 Juli
2015.

Sofyan A. Djalil, http://www.nccg-indonesia.org diakses pada Taggal 5 Januari


2015.

Syafa’at, Muhammad Ali, Pemikiran Keadilan Plato, Aristotles dan John Rawls
safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/keadilan.pdf diakses pada 6
Juli 2015.

D. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pasar Modal

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

Anda mungkin juga menyukai