Anda di halaman 1dari 11

TATA KELOLA PERUSAHAAN, BIROKRASI, DAN KORPORASI

“Disusun Sebagai Ujian Tengah Semester”

Tata Kelola Organisasi

Disusun Oleh :

Rollis Ayu Ditasari

W100170028

MAGISTER AKUNTANSI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Tema Good Corporate Governance ini, menjadi tema yang sering
dibicarakan dan diskusikan di Indonesia belakangan ini, terutama sejak era reformasi,
substansi dari tema ini adalah terkelolanya manajemen perusahaan secara fair,
independen, transparansi, akuntabilitas dan dan wajar. Sejak terjadinya era reformasi
banyak orang meyakini bahwa manajemen birokrasi dan pengelolaan perusahaan dan
organisasi di zaman orde baru jauh dari sifat-sifat good corporate governance. Bahkan
penulis meyakini hal tersebut juga menjadi penyakit kronis sampai saat ini, walaupun
banyak orang yang sudah sadar bahwa hal itu harus diperbaiki. Bahkan kasus krisis
financial di Amerika Serikatpun bagian dari krisis dalam pengelolaan organisasi yang
sudah kronik.Seiring dengan berkembang pesatnya ekonomi syariah, maka diyakini
ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang paling terbuka dalam penerapan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance di atas.

2. Rumusan Masalah
1. Tata kelola perusahaan (good corporate governance)
2. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan
3. Bagaimana melaksanakan tata kelola perusahaan sesuai GCG
4. Tata kelola birokrasi
5. Tata kelola korporasi

3. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui tata kelola perusahaan(GCG)
2. Agar mengetahui prinsip-prinsip tata kelola perusahaan
3. Agar mengetahui bagaimana melakasana tata kelola perusahaan (GCG)
4. Agar mengetahui tata kelola birokrasi
5. Agar mengetahui tata kelola korporasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tata Kelola Perusahaan (Good Corporate Governance)


tata kelola perusahaan(good corporate governance) adalah suatu keharusan bagi
setiap perusahaan untuk memiliki visi dan misi dari keberadaanya.
Visi dan misi merupakan peryataan tertulis tentang tujuan-tujuan kegiatan usaha
yang di lakukan.
Tentunya suatu kegiatan yang terencana baik dan terprogram dapat tercapai dengan
keberadaan sistem tata kelola perusahaan yang baik pula.selain itu, perlu di bentuk
kerjasama tim yang baik dan solid dengan berbagai pihak, terutama dari seluruh jajaran
karyawan dan top manajemen.
Sistem tata kelola organisai perusahaan yang baik ini menuntut di bangunnya dan di
jalankanya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dalam proses manajerial
perusahaan.dengan mengenal prinsi-prinsip yang berlaku secara universal ini di harapkan
perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para
stakeholdernya.

B. Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan


Sejak di perkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governance berikut ini
telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia,termasuk indonesia.prinsip-prinsip
tersebut disusun seuniversal mungkin, sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau
perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum,aturan atau tata nil ai yang berlaku di
negara masing-masing.
Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ini antara lain :
1. Akuntabilitas ( accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan
komisaris dan direksi beserta kewajiban –kewajibannya kepada pemegang saham dan
stakeholder lainnya.dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelola

3
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang
saham(share holder).
Sedangkan komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib
memberikan nasihat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan
perusahaan dapat tercapai.pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan
pembinaan dalam rangka pengelola perusahaan.
2. Pertanggung jawab (responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan
melakukan kegiatannya secara bertanggung jawab.sebagai pengelola perusahaan
hendaknya di hindari segala biaya transaksi yang berpotensi yang merugikan pihak
ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang telah sepakati, seperti tersirat pada
undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.
3. Keterbukaan ( transparancy )
Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan antara lain keadaan keungaan,
kinerja keuangan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. audit yang di lakukan secara
independen.keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui
keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.
4. Kewajaran ( fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan
perlakuan yan adil dari perusahaan.peberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang
praktik-praktik tercela yang di lakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain.
Setiap anggota direksi harus melakukan keterbukaan jika menemukan transaksi-transaksi
yang mengandung benturan kepentingan.
5. Kemandirian ( independency )
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan agar dapat bertindak secara
mandiri sesuai peran dan fungsi yang di milikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak
mana punyang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku.tersirat
dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap memberikan pengakuan
terhadap pengakuan terhadap hak stake holder yang ditentukan dalam undang-undang
maupun peraturan perusahaan.

4
C. Bagaimana melaksanakan tata kelola perusahaan sesuai GCG
Dalam praktinya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ini perlu dibangun
dan dikembangkan secara bertahap.perusahaan harus membangun sistem pedoman tata
kelola perusahaan yang akan dikembangkannya. Demikian juga dengan karyawan,mereka
perlu memahami dan diberikan bekal pengetahuan tentang prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik yang akan dijalankan perusahaan.untuk memudahkan memberikan
gambaran bagaimana prinsip-prinsip GCG tersebut akan di bangun, dipahami dan di
laksanakan,berikut ini diberikan beberapa acuan praktis yang perlu di kembangkan lebih
lanjut di masing-masing perusahaan.
acuan ini diuraikan mengikuti urutan butir-butir prinsip GCG yang telah dibahas
diatas:
 Accountability :
Pimpinan, manajer, dan karyawan perusahaan telah engetahui visi, misi , tujuan dan
target-target operasioal di perusahaan.
Pimpinan, manajer, karyawan perusahaan telah mengetahui dan memahami peran, tugas
tanggung jawab masing-masing.
 Responsibility
Pimpinan, manajer, dan karyawan perushaan telah mengetahui dan memahami seluruh
peraturan perusahaan yang berlaku.
Pimpinan, manajer, dan karyawan perusahaan telah menerapkan sistem tata nilai dan
budaya perusahaan yang di anut perusahaan.
 Transparancy dan disclosure:
Bahwa berbagai pemegang kepentingan ( manajamen,karyawan, pelanggan) dapat
melihat dan memahami proses dalam pengambilan keputusan manajerial diperusahaa.
Pemegang saham berhak memperoleh informasi keuangan perushaan yang relevan secara
berkala dan teratur.
 Fairness:
Pengelola dan kyariawan perusahaan akan memerhatikan kepentingan seluruh
stakeholder secara wajar menurut ketentuan yang berlaku umum.

5
Perlakuan adil kepada seluruh pihak pemegang kepentingan ( nasabah, pelanggan,
pemilik dalam memberikan pelayanan dan informasi.
 Independency:
Keputusan pimpinan perusahaan hendaknya lepas dari kepentingan berbagai pihak yang
merugikan perusahaa.
Proses pengambilan keputusan di perusahaan telah dilakukan secara objektif untuk
kepentingan perusahaan.
D. Tata kelola birokrasi
Birokrasi juga dioperasikan oleh serangkaian aturan serta prosedur yang bersifat
tetap. Terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggung jawab setiap
bagian-bagiannya 'mengalir’dari’atas'ke'bawah.'
Selain itu, birokrasi juga disebut sebagai badan yang menyelenggarakan Civil
Service (pelayanan publik). Birokrasi terdiri dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif,
dan posisi mereka ini 'datang dan pergi.' Artinya, mereka-mereka duduk di dalam birokrasi
kadang dikeluarkan atau tetap dipertahankan berdasarkan prestasi kerja mereka. Seorang
pegawai birokrasi yang malas biasanya akan mendapat teguran dari atasan, yang jika teguran
ini tidak digubris, ia kemungkinan besar akan diberhentikan dari posisinya. Namun, jika
seorang pegawai menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan, ada kemungkinan ia akan
dipromosikan untuk mendapat posisi yang lebih tinggi (tentunya dengan gaji dan
kewenangan yang lebih besar pula).
Karakteristik birokrasi yang umum diacu adalah yang diajukan oleh Max Weber.
Menurut Weber antara lain:
1. Organisasi yang disusun secara hirarkis
2. Setiap bagian memiliki wilayah kerja khusus.
3. Pelayanan publik (civil sevants) terdiri atas orang-orang yang diangkat, bukan dipilih, di
mana pengangkatan tersebut didasarkan kepada kualifikasi kemampuan, jenjang
pendidikan, atau pengujian (examination).

Ditinjau secara politik, karakteristik birokrasi menurut Weber hanya menyebut hal-
hal yang ideal. Artinya, terkadang pola pengangkatan pegawai di dalam birokrasi yang
seharusnya didasarkan atas jenjang pendidikan atau hasil ujian, kerap tidak terlaksana. Ini

6
diakibatkan masih berlangsungnya pola pengangkatan pegawai berdasarkan kepentingan
pemerintah.
Departemen-departemen dalam kabinet terdiri atas beberapa beberapa lembaga
birokrasi yang dibedakan menurut tugasnya. Ada departemen tenaga kerja, departemen
pertahanan, atau departemen pendidikan. Tugas utama dari departemen-departemen ini
adalah melaksanakan kebijaksanaan umum yang telah digariskan oleh lembaga eksekutif
maupun yudikatif.
Agen-agen federal merupakan kepanjangan tangan dari lembaga kepresidenan. Ia
dibentuk berdasarkan pilihan dari presiden yang tengah memerintah, oleh sebab itu sifatnya
lebih politis ketimbang murni administratif. Organisasi NASA di sana merupakan salah satu
contoh dari agen-agen federal. Contoh dari birokrasi ini juga diposisikan oleh FBI (Federal
Bureau Investigation). Di Indonesia agen-agen seperti ini misalnya Badan Tenaga Atom
Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Korporasi-korporasi federal merupakan birokrasi yang memadukan antara posisinya
sebagai agen pemerintah sekaligus sebagai sebuah lembaga bisnis. Di Indonesia contoh yang
paling endekati adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Meskipun negara (eksekutif)
terkadang masih merupakan pihak yang paling menentukan dalam pengangkatan pejabatnya,
tetapi secara umum sebagai sebuah lembaga bisnis ia memiliki otoritas untuk menentukan
jenis modal dan juga memutuskan apakah perusahaan akan melakukan pemekaran organisasi
atau sebaliknya, perampingan. Di Indonesia, contoh dari korporasi-korporasi milik negara
ini misalnya Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Garuda Indonesia Airways (GIA),
Perusahaan Listrik Negara (PNL) atau Bank Mandiri.
Agen-agen Pengaturan Independen, sebagai jenis birokrasi yang terakhir, merupkan
birokrasi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk menyelenggarakan regulasi ekonomi
terhadap dunia bisnis, di mana penyelenggaraan tersebut berkaitan secara langsung dengan
kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kini dibentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) yang berfungsi untuk melakukan rekstrukturisasi kalangan bisnis tanah air
yang di masa lalu dianggap banyak merugikan keuangan negara, dan secara lebih jauh,
kesejahteraan masyarakat Indonesia akibat, katakanlah, 'kredit-kredit macet' mereka. Selain
itu, contoh bisa kita sebutkan misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi

7
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), dan sejenisnya.

E. Tata kelola korporasi


Sejak krisis ekonomi, wacana tata kelola korporasi mengemuka. Tetapi lain
wacana lain realitanya. Survei Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang
dilakukan Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) bersama majalah SWA
menunjukkan realita menyedihkan. Belum lagi masuk substansi survei, tingkat partisipasi
responden menunjukkan begitu inferiornya isu tata kelola di kalangan perusahaan publik.
Pada survei keempat tahun 2004, dari sekitar 330 perusahaan yang tercatat di BEJ,
hanya 22 perusahaan yang bersedia menjadi responden. Sejak survei pertama, perusahaan
yang bersedia mengikuti survei selalu kurang dari 10 persen dari total perusahaan publik di
BEJ. Tahun 2001 responden hanya 22 emiten, tahun 2002 menjadi 33 emiten, dan tahun
2003 hanya 34 emiten yang bersedia menjadi responden.
Bagi orang yang sedikit belajar tentang tata kelola korporasi, kenyataan ini tidak
terlalu mengejutkan. Di mana pun, tata kelola korporasi pada setiap perusahaan secara
individual merupakan cermin sistem tata kelola secara nasional. Dengan kata lain, tata
kelola secara mikro (micro- governance) amat ditentukan tata kelola secara makro (macro-
governance). Sehingga, di tengah amburadulnya tata kelola pemerintahan selama ini, wajar
tata kelola korporasi tidak berkembang baik.
Selama ini, tata kelola korporasi sering hanya direduksi dalam pengertian mikro,
seperti didefinisikan dalam prinsip-prinsip tata kelola, seperti transparansi, independensi,
kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas. Ada pula penilaian tata kelola korporasi,
masih dalam skala mikro, dari struktur kepemilikan (ownership structure), kehadiran
komisaris independen atau sistem penggajian eksekutif.Pertama-tama, tata kelola korporasi
merupakan konsep makro. Kita mengira model perusahaan negara (BUMN) dan
perusahaan keluarga menjadi masalah utama inefisiensi sebagaimana terjadi di negara kita.
Padahal, BUMN lazim di Singapura, sementara di Taiwan dan Hongkong model
perusahaannya berbasis keluarga. Mengapa mereka tetap efisien dan kita tidak?
Jawabannya, mereka memiliki sistem nasional yang baik dalam tata kelola korporasi. Tata

8
kelola korporasi tidak semata ditentukan oleh kualitas tiap perusahaan, tetapi terlebih oleh
sistem makro yang melingkupinya.
Dengan begitu, asumsi di balik privatisasi sejumlah BUMN sering tidak relevan.
Privatisasi dan tata kelola korporasi adalah dua hal berbeda dan bisa tidak saling
berhubungan. Dalam sistem nasional yang korup, privatisasi justru menimbulkan persoalan
baru. Pertama, privatisasi berisiko menjadi ladang korupsi. Kedua, masuknya investor
asing melalui privatisasi kemungkinan besar akan berdampak positif bagi kinerja individu
perusahaan, tetapi jika sistem nasional masih korup, bisa jadi investor baru akan
memindahkan usahanya ke negara lain.
Kerangka macro-governance amat penting menanggapi indikasi korupsi di
sejumlah BUMN yang kini berkasnya di tangan Tim pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). Tugas utama tim baru yang dibentuk melalui Keputusan Presiden
Nomor 11 Tahun 2005 ini menguak tindak pidana korupsi di sejumlah BUMN dan
lembaga pemerintah lainnya.
Tentang BUMN, dari 158 perusahaan dengan aset Rp 1,313 triliun, hanya
menghasilkan laba Rp 25 triliun. Bahkan ada 13 BUMN terus merugi. Dikorupsi atau
tidak, faktanya BUMN sebagai unit bisnis amat buruk. Parahnya, kinerja buruk menimpa
BUMN besar seperti Pertamina, Garuda Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara, dan
Perhutani.
BUMN perlu diprivatisasi, tetapi privatisasi bukan satu-satunya solusi. Dalam
macro-governance yang baik, siapa pun pemilik perusahaan: negara atau keluarga, swasta
asing atau lokal, tidak penting. Yang lebih penting, membangun tata kelola secara makro.
Dan dalam konteks ini, peran lembaga seperti KPK dan Tipikor menjadi sangat
signifikan.Ke mana kita.
Dua hal perlu diperhatikan dalam membangun tata kelola korporasi. Secara mikro
perlu dilakukan penataan ulang, seperti privatisasi dan divestasi guna memengaruhi
kepemilikan, mengganti dirut, menghadirkan komisaris independen, menyusun sistem
penggajian, dan sebagainya. Juga penerapan prinsip "normatif" tata kelola korporasi,
seperti transparansi, independensi, kewajaran, akuntabilitas, dan responsibilitas perlu
digalakkan.

9
Namun, tak ada artinya mengembangkan micro-governance tanpa membangun
macro-governance. Pemburuan terhadap koruptor perlu dilanjutkan di segala level, baik di
BUMN maupun lembaga pemerintah. Pada gilirannya, sektor swasta akan terpengaruh
secara positif.
Saat ini, Tipikor tengah berkonsentrasi membenahi BUMN. Namun, pemerintah
juga pernah amat menentukan nasib perusahaan swasta melalui BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional). Cukup beralasan dalam usaha membangun kualitas kelembagaan
yang baik, pemberantasan korupsi juga diarahkan ke lembaga yang pernah begitu berkuasa
ini.Bisa dipastikan, seluk-beluk korupsi di KPU tidak sebanding dengan rumit dan
besarnya indikasi korupsi yang melanda BPPN. Tidaklah adil bagi anggota KPU yang
harus menghadapi tuduhan dan cercaan, sementara petinggi BPPN, meski sudah berlalu,
tidak pernah disentuh.

10
REFERENSI

Bartono , P.H.,S.E.2005. Today business ethics, jakarta:Elek Media komputindo.

Budiman, Arief, dkk.1999.Corporate social responsibilty.jakarta:ICSD.

Budiman, Arif.1990.sistem perokonomian pancasila dan ideologi ilmu sosial di


indonesia.jakarta:Gramedia pustaka utama.

DeGegeorge,R.2002.Business Ethics, upper saddle river. N.J.Prentice Hall 5 th edition.

Djojohadikusumo, Sumitro.1991. Perkembangan Pemikiran ekonomi. Jakarta: Yayasan obor


indonesia.

Ernawati,DR. Erni R.2007.Bussines Ethics.Bandung:Afabeta

Franz Magins suseno.1991.Etika,yogjakarta:kanisius.

Griffin,RW & Pustay,MW.2005. Internasional Bussines,New Jersey:Prentice Hall


International.

Keraf,A.Sony.1998.Etika Bisnis tumtutan dan Relevansinya.Jakarta:kanisius.

Mubyarto.1998. Sistem dan Moral Ekonomi. Jakarta: LP3ES

Philips, Kotler. 2002. Marketing Management.New Jersey: Prentice Hall, Pearson,


Education International.

Pieris,john dan jim, Nizam. 2007. Etika bisnis dan Good Corporate Governance. Jakarta:
pelangi Cendika.

Rudito,Bambang dan Famiola, Melia. 2007 . Etika Bisnis dan tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di indonesia.Jakarta:Rekayasa Sain.

11

Anda mungkin juga menyukai