Anda di halaman 1dari 7

ESSAY KULTUR JARINGAN

PRINSIP-PRINSIP DASAR KULTUR JARINGAN DAN SEJARAH


PERKEMBANGAN KULTUR JARINGAN

Prita Sari Dewi S.P., M.Sc., Ph.D.

Oleh :

Neskyka Alea Shafaa

A1D019214

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN

PURWOKERTO

2020
A. Definisi dan Aplikasi Kultur Jaringan

Kultur berarti budidaya dan jaringan merupakan sekelompok sel yang


memiliki bentuk dan fungsi yang sama hal ini karena pada kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi suatu tanaman yang baru yang
memiliki sifat seperti induknya. (Suryowinoto. 1991). Sedangkan dalam budidaya
pada tanaman yang dilaksanakan dalam suatu wadah (container) atau botol-botol
dengan media khusus dan alat-alat serba steril dinamakan dengan invitro. Pada
tanaman-tanaman yang direkayasa reproduksi yang melalui sebuah jaringan yang
umumnya pada tanaman yang mempunyai nilai dalam ekonomi yang tinggi
misalnya seperti: anggrek, tembakau, karet, cokelat dan kopi.

Kultur jaringan tanaman juga merupakan suatu metode atau teknik


mengisolasi bagian tanaman (protoplasma, sel, jaringan, dan organ) dan
menumbuhkannya pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang
terkontrol sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman lengkap. Penggunaan teknik kultur jaringan pada
awalnya hanya untuk membuktikan teori “totipotensi” (“total genetic potential”)
yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann (1838) yang menyatakan bahwa
sel tanaman sebagai unit terkecil dapat tumbuh dan berkembang apabila dipelihara
dalam kondisi yang sesuai.

Saat ini teknik kultur jaringan digunakan bukan hanya sebagai sarana
untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tanaman saja, tetapi sudah
berkembang menjadi metoda untuk berbagai tujuan seperti:

a. Mikropropagasi (Perbanyakan tanaman secara mikro)


Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tanaman dalam
skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis
tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan
ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan
dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial
berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias (anggrek, bunga potong, dll.),
tanaman buah-buahan (seperti pisang), tanaman industri dan kehutanan (kopi, jati,
dll). Dengan menggunakan metoda kultur jaringan, jutaan tanaman dengan sifat
genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas.
Oleh karena itu metoda ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanayakan
tanaman secara vegetatif.

b. Perbaikan tanaman

Seperti telah diketahui bahwa dalam usaha perbaikan tanaman melalui metoda
pemuliaan secara konvensional untuk mendapatkan suatu galur murni akan
memerlukan enam atau tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun
persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, antara lain dengan cara memproduksi
tanaman haploid melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan
penggandaan kromosom, akan mempersingkat waktu untuk mendapatkan tanaman
yang homozigot.

c. Produksi tanaman yang bebas penyakit (virus)

Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan


tanaman yang bebas dari virus. Pada tanaman yang telah terinfeksi virus, sel-sel
pada tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus.
Dengan cara mengkulturkan bagian meristem pada media kultur yang cocok akan
diperoleh tanaman yang bebas virus. Teknik ini telah banyak digunakan dalam
memproduksi berbagai tanaman hortkultura yang bebas penyakit.

d. Transformasi genetik

Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu


keberhasilan rekayasa genetika tanaman (transfer gen). Sebagai contoh transfer
gen bakteri (seperti gen cry dari Bacillus thuringensis) kedalam sel tanaman akan
terekspresi setelah regenerasi tanaman transgeniknya tercapai.

e. Produksi senyawa metabolit sekunder

Kultur sel-sel tanaman juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa


biokimia (metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll.
Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai contoh
produksi secara komersial senyawa “shikonin” dari kultur sel Lithospermum
erythrorhizon.

B. Sejarah Kultur Jaringan

Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada tahun 1838


ketika Schwann dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan
bahwa sel-sel bersifat otonom, dan pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi
tanaman lengkap. Teori yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi
Haberlandt pada awal abad ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan tanaman
dapat diisolasi dan dikultur dan berkembang menjadi tanaman normal dengan
melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya. Walaupun
usaha Haberlandt menerapakan teknik kultur jaringan tanaman pada tahun 1902
mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907-1909 Harrison, Burrows, dan
Carrel berhasil mengkulturkan jaringan hewan dan manusia secara in vitro.

Keberhasilan aplikasi teknik kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan


tanaman secara vegetatif pertama kali dilaporkan oleh White pada tahun 1934,
yakni melalui kultur akar tomat. Selanjutnya pada tahun 1939, Gautheret,
Nobecourt, dan white berhasil menumbuhkan kalus tembakau dan wortel secara in
vitro. Setelah Perang Dunia II, perkembangan teknik kultur jaringan sangat cepat,
dan menghasilkan berbagai penelitian yang memiliki arti penting bagi dunia
pertanian, kehutanan, dan hortikultura yang telah dipublikasikan.

Pada awalnya, perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berada di


belakang teknik kultur jaringan manusia. Hal itu disebabkan lambatnya penemuan
hormon tanaman (zat pengatur tumbuh). Ditemukakannya auksin IAA pada tahun
1934 oleh Kögl dan Haagen-Smith telah membuka peluang yang besar bagi
kemajuan kultur jaringan tanaman. Kemajuan ini semakain pesat setelah
ditemukannya kinetin (suatu sitokinin) pada tahun 1955 oleh Miller dan
koleganya. Pada tahun1957, Skoog dan Miller mempublikasikan suatu tulisan
”kunci” yang menyatakan bahwa interaksi kuantitatif antara auksin dan sitokinin
berpengaruh menentukan tipe pertumbuhan dan peristiwa morfogenetik di dalam
tanaman. Penelitian kedua ilmuwan tersebut pada tanaman tembakau
mengungkapkan bahwa rasio yang tinggi antara auksin terhadap sitokinin akan
menginduksi morfogenesis akar, sedangkan rasio yang rendah akan menginduksi
morfogenesis pucuk. Namun pola yang demikian ternyata tidak berlaku secara
universal untuk semua spesis tanaman.

Ditemukannya prosedur perbanyakan secara in vitro pada tanaman


anggrek Cymbidium 1960 oleh Morel, serta diformulasikannya komposisi
medium dengan konsentrasi garam mineral yang tinggi oleh Murashige dan Skoog
pada tahun 1962, semakin merangsang perkembangan aplikasi teknik kultur
jaringan pada berbagai spesies tanaman. Perkembangan yang pesat pertama kali
dimulai di Perancis dan Amerika, kemudian teknik ini pun di kembangkan di
banyak negara, termasuk Indonesia, dengan prioritas aplikasi pada sejumlah
tanaman yang memiliki arti penting bagi masing-masing negara.

Meningkatnya penelitian kultur jaringan dalam dua dekade terakhir telah


memberi sumbangan yang sangat besar bagi ahli pertanian, pemuliaan tanaman,
botani, biologi molekuler, biokimia penyakit tanaman, dan sebagainya. Karena
kultur jaringan telah mencapai konsekuensi praktis yang demikian jauh di bidang
pertanian, pemuliaan tanaman dan sebagainya maka dapat dipastikan junlah
penelitian dan aplikasi teknik ini akan terus meningkat pada masa-masa
mendatang.
C. Prinsip Dasar Kultur Jaringan

Dalam menjalankan perannya, kultur jaringan menggunakan prinsip


memperbanyak tanaman melalui sistem vegetatif. Alat yang digunakan berupa
botol kultur sehingga seringkali disebut dengan istilah in vitro, suatu istilah dari
bahasa Latin yang mengandung arti ‘dalam kaca’.

Jaringan yang dikembangkan melalui kondisi dan medium tertentu ini


menerapkan teori dasar yang dinamakan totipotensi. Dari sini masing-masing
bagian tumbuhan akan berkembangbiak dengan baik karena semua bagian tumbuh
tersebut mempunyai jaringan-jaringan yang hidup. Hasil dari pengembangbiakan
ini selanjutnya akan bersifat seperti induknya.

Dalam pelaksanaannya, kultur jaringan membutuhkan beberapa prasyarat


dukungan sehingga jaringan yang dikembangbiakan bisa terus hidup. Salah
satunya prasyarat paling penting yang harus dipenuhi adalah media yang
kondisinya steril. Media ini dipakai sebagai wadah untuk jaringan, sehingga bisa
tumbuh dan hidup dengan cara mengambil kandungan nutrisi.

Media yang dipakai dalam kultur jaringan ada 2 jenis, padat dan cair.
Media yang berbentuk padat biasanya berupa gel, sedangkan yang cair berbentuk
larutan nutrisi dan air. Nutrisi yang terkandung di media berperan sebagai
penggerak sistem metabolisme dan penyuplai vitamin.

Persyaratan lainnya berupa hormon dan zat yang mengatur pertumbuhan


di jaringan perekim yang fungsinya membantu jaringan. Tujuannya agar jaringan
tersebut mampu membelah diri (meristematik) dan berkembang jadi jaringan
adventif seperti akar, tunas, pucuk serta daun di lokasi-lokasi yang bukan
sewajarnya.

Proses semacam ini lebih sering disebut dengan istilah dediferensiasi,


yaitu daya kemampuan suatu sel untuk menjadi meristematik dan menciptakan
titik pertumbuhan yang baru. Hal ini biasanya muncul dengan tanda terjadinya
peningkatan kegiatan pembesaran sel, pembelahan hingga pertumbuhan jaringan.

Metode memperbanyak tanaman atau kultur jaringan melalui konsep in


vitro dapat dilakukan dengan 3 cara. Masing-masing adalah memperbanyak tunas,
membentuk tunas adventif dan yang terakhir embriogenesi somatik. Jaringan yang
dipakai sebagai bagian yang dikulturkan (eksplan) juga mempunyai beberapa
macam bentuk. Pertama merupakan jaringan muda yang masih aktif melakukan
meristematik atau membelah diri dan belum pernah mengalami perubahan sel atau
diferensiasi.

Contoh dari jaringan muda ini antara lain pucuk akar, tepian daun, tunas
aksiler, tunas apikal dan kambiun di batang. Jaringan-jaringan tersebut
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk menjalankan proses regenerasi.
Jaringan kedua dinamakan jaringan parenkima, merupakan jaringan yang
menyusun tanaman yang sudah bisa menjalankan fungsinya dan pernah
mengalami diferensiasi. Contohnya yaitu jaringan akar atau batang yang jadi
tempat penyimpanan cadangan makanan serta daun yang sudah mengalami
fotosintetis.

Anda mungkin juga menyukai