Anda di halaman 1dari 111

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI DESA SIDOMULYO
WILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN
MADIUN

Oleh:
GUSTI AYU PUTRIYANI
201303022

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
TAHUN 2017

i
SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENYAKIT
ISPA PADA BALITA DI DESA SIDOMULYO WILAYAH KERJA
PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN MADIUN

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar sarjana Kesehatan Masyarakat Dalam


Program StudiI lmu Kesehatan Masyarakat STIKES Bhakti Husada Mulia
Madiun

Oleh :

GUSTI AYU PUTRIYANI


NIM. 201303022

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : GUSTI AYU PUTRIYANI


NIM 201303022

Dengan ini menyatakan bahwa proposal yang berjudul : FAKTOR-

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA

BALITA DI DESA SIDOMULYO WILAYAH KERJA PUSKESMAS

WONOASRI KABUPATEN MADIUN ini adalah bukan skripsi orang lain baik

sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah

disebutkan sumbernya.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya dan apa

bila pertanyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapatkan sanksi.

Madiun, Agustus 2017

GUSTI AYU PUTRIYANI


NIM. 201303022
RIWAYAT HIDUP

Nama : Gusti Ayu Putriyani


Jenis Kelamain : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Madiun, 17 Mei 1994
Agama : Islam
Alamat : Desa Wonoasri RT 04 RW 02, Kecamatan
Wonoasri, Kabupaten Madiun.

Riwayat Pendididkan :
1. SDN WONOASRI 01 TAHUN 2007
2. SMP NEGERI 1 WONOASRI TAHUN 2010
3. SMA NEGERI 01 NGLAMES TAHUN 2013
4. Tahun 2013 diterima di STIKES BHAKTI HUSADA MULIA
MADIUN jurusan S1 Kesehatan Masyarakat dengan Peminatan
Kesehatan Lingkungan

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan Rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor-

Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ini dapat

penulis selesaikan dengan baik.

Terima kasih yang setinggi-tingginya saya haturkan kepada pihak-pihak

yang telah berkontribusi dalam penyusunan proposal ini, yaitu :

1. Zaenal Abidin, S.KM.,M.Kes selaku Ketua Stikes Bhakti Husada Mulia

Madiun dan Ketua Dewan Penguji.

2. Riska Ratnawati, S.KM.,M.Kes selaku Pembimbing 1 yang telah

memberikan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Avicena Sakufa Marsanti, S.KM.,M.Kes selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun dan

Pembimbing 2.

4. Pimpinan, pegawai dan seluruh staff di Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun yang telah memberikan ijin serta kerjasamanya selama proses

pengambilan data.

5. Seluruh Dosen Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti

Husada Mulia Madiun.

6. Keluarga tercinta yang selalu memberikan bantuan, Support, do’a yang

terbaik pastinya.

vii
7. Teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes Bhakti Husada

Mulia Madiun angkatan 2013 yang saling memberikan support dalam

menyelesaikan tugas akhirnya.

Demikian proposal skripsiini, kritikdan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak selalu penulis harapkan. Akhir kata penulis sampaikan terima

kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam penyusunan proposal skripsi

ini dari awal sampai akhir.

Madiun, Agustus 2017


Penulis

GUSTI AYU PUTRIYANI


NIM. 201303032

viii
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun 2017

ABSTRAK

Gusti Ayu Putriyani

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENYAKIT


ISPA PADA BALITA DI DESA SIDOMULYO WILAYAH KERJA
PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN MADIUN.

73 Halaman +13 tabel + 4 gambar + 13 lampiran

Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita berkunjung ke pelayanan


kesehatan diakibatkan ISPA. ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang
dibandingkan negara maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30%
dan 10%-15%. Faktor resiko instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status gizi,
status imunisasi. Faktor resiko ekstrinsik meliputi kepadatan hunian, populasi
udara, serta faktor pengetahuan ibu. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor
yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita.
Jenis penelitian analitik dengan pendekatan crossectional. Teknik sampling
penelitian adalah simple random sampling, dan uji chi square.
Hasil penelitian ini diketahui bahwa hasil yang diperoleh menunjukkan
Umur < 2 tahun 30%, Pengetahuan buruk (27,5%) , Status Imunisasi lengkap
(72,5%) dan Kepadatan Hunian yang tidak sehat (50%) dengan kejadian ISPA
yang ada di wilayah Puskesmas Wonoasri. Hasil analisa bivariat ada pengaruh
antara umur balita dengan kejadian ISPA {-value = 0,04, RP (95%CI )= 8, 40
(1,76-40,02)}, ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA {-
value = 0,018, RP (95%CI)= 5,76 (1,24-26,56)}, tidak ada pengaruh antara ststus
imunisasi dengan kejadian ISPA {-value = 0,117 , RP (95%CI) = 0,19 (0,72-
14,15)}, ada pengaruh antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA { -
value = 0,013, RP (95%CI) = 7,36 (1,33-40,54)}.
Bagi Puskesmas Wonoasri diharapkan lebih meningkatkan program
kesehatan khususnya program pemberantasan penyakit ISPA dapat lebih
diperbaiki dan memberikan penyuluhan mengenai syarat rumah sehat dan bahaya
asap rokok terhadap balita, sehingga angka kejadian penyakit ISPA pada balita
mengalami penurunan.

Kata Kunci: Kejadian ISPA, Umur, Pengetahuan Ibu, Status Imunisasi, Kepadatan
Hunian.

ix
Public Health Study Program

Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun 2017

ABSTRACT

Gusti Ayu Putriyani

FACTORS THAT AFFECTS OCCURRENCES OF A DISEASE TRACT IN


TODDLERS IN THE VILLAGE SIDOMULYO THE WORKING AREAS
OF PUSKESMAS WONOASRI KABUPATEN MADIUN .

73 pages + 13 tables + 4 pictures + 13 Enclosures

According to who 2012, equal to 78 % toddlers visit health services


caused by tract. Ari are more prevalent in developing countries than developed
countries with the each of 25 % -30 % and 10 % -15 %. Risk factors intrinsic
covering age, sex, nutritional status, immunization status. Risk factors extrinsic
covering density occupancy, population air, as well as the knowledge mother. The
purpose of research to know of factors affect occurrences of a disease tract in
toddlers.

The kind of research analytic with the approach crossectional . Technique


sampling research is simple random sampling , and the chi square .

The result of this research be seen that the results show age was < 2 years
30 % , knowledge bad ( 27.5 % ) , status complete immunization ( 72,5 % ) and
density occupancy unhealthy ( 50 % ) with the genesis tract in the area of
puskesmas wonoasri . The results of the analysis bivariat is influence between the
ages of toddlers with the genesis tract {-value = 0.04 , RP ( 95 % CI) = 8 , 40
( 1,76-40,02 ) } , is influence between knowledge mother with the incident tract
{- value = 0,018 , RP ( 95 % CI) = 5,76 ( 1,24-26,56 ) } , no influence between
ststus immunization with the genesis tract {-value = 0,117 , RP ( 95 % CI) =
0,19 ( 0,72-14,15 ) } , is influence between the density of the occupancy of a room
with a tract {-value = 0,013 , RP ( 95 % CI) = 7,36 ( 1,33-40,54 ) } .

For puskesmas wonoasri is expected to be more promote the program of


health, especially disease eradication tract program could be more repaired and
provide information on condition of a healthy house and the danger of cigarette
smoke to toddlers , these figures occurrences of a disease tract in toddlers decline .

Keywords: Accidents of Respiratory Infections, Mother Knowledge,


Immunization Status, Residential Density.

x
DAFTAR ISI

Sampul Depan ................................................................................................ i


Sampul Dalam ............................................................................................... ii
Lembar Persetujuan..............................................................................................iii
Lembar Pengesahan..............................................................................................iv
Lembar Pernyataan......................................................................................... v
Daftar Riwayat Hidup...........................................................................................vi
Kata Pengantar.....................................................................................................vii
Abstrak.................................................................................................................vii
Daftar Isi...............................................................................................................ix
Daftar Gambar......................................................................................................xi
Daftar Tabel.........................................................................................................xii
Daftar Lampiran.................................................................................................xiii
BAB 1PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 7
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 8
2.1 ISPA.......................................................................................... 8
2.2 Faktor-faktor penyebab terjadinya ISPA........................................23
2.3 Pengetahuan Ibu.............................................................................28
2.4 Status Imunisasi..............................................................................29
2.5 Kepadatan Hunian..........................................................................32
2.6 Kerangka Teori...............................................................................35
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN.........36
3.1 Kerangka Konsep...........................................................................36

3.2 Hipotesis.........................................................................................37
xi
BAB 4 METODE PENELITIAN........................................................................38
4.1 Desain Penelitian............................................................................38
4.2 Populasi Dan Sampel......................................................................38
4.3 Teknik Sampling.............................................................................40
4.4 Kerangka Kerja...............................................................................41
4.5 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional variabel..................42
4.6 Instrumen Penelitian.......................................................................44
4.7 Uji Validitas Dan Reliabilitas.........................................................44
4.8 Lokasi Dan Waktu Penelitian.........................................................45
4.9 Prosedur Pengumpulan Data...........................................................45
4.10 Tehnik Pengolahan Data Dan Analisa Data..................................46
4.11 Analisa Data...................................................................................48
4.12 Etika Penelitian..............................................................................50
Bab 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...............................................52
5.2 Hasil Penelitian...............................................................................54
5.2.1 Karakteristik Responden.........................................................54
5.2.2 Analisa Data Univariat............................................................56
5.2.3 Analisa Data Bivariat..............................................................59
5.3 Pembahasan....................................................................................63
5.3.1 Kejadian ISPA Pada Balita.....................................................63
5.3.2 Pengaruh Umur Dengan Kejadian ISPA.................................65
5.3.3 Pengaruh Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA...............67
5.3.4 Pengaruh Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA................69
5.3.5 Pengaruh Kepadatan Hunian Dengan Kejadian ISPA.............70
5.4 Keterbatasan Penelitian..................................................................71
6.1 KESIMPULAN...............................................................................72
6.2 SARAN...........................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR GAMBAR

Halama

n Gambar 2.1 Kerangka Teori.............................................................................35


Gambar 3.1 Kerangka Konsep.............................................................................36
Gambar 4.1 Kerangka kerja penelitian................................................................41
Gambar 5.1 Peta Wilayah Desa Sidomulyo Kec Wonoasri Kab Madiun............41

xiii
DAFTAR TABEL

Halama

n Tabel 4.1 Definisi Operasional.........................................................................43


Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia Balita........................54
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin....................54
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan Ibu Balita.......55
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan Ibu Balita..........56
Tabel 5.5 Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita.................................................56
Tabel 5.6 Frekuensi Usia Balita...........................................................................57
Tabel 5.7 Frekuensi Pengetahuan Ibu..................................................................58
Tabel 5.8 Frekuensi Status Imunisasi..................................................................58
Tabel 5.9 Frekuensi Kepadatan Hunian...............................................................59
Tabel 5.10 Tabulasi Silang Menurut Proporsi Umur Balita................................60
Tabel 5.11 Tabulasi Silang Menurut Proporsi Pengetahuan................................60
Tabel 5.12 Tabulasi Silang Menurut Proporsi Status Imunisasi..........................61
Tabel 5.13 Tabulasi Silang Menurut Proporsi Kepadatan Hunian......................62

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Survey Data Awal Dari Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik
Dalam Negri Pemerintah Kabupaten Madiun
Lampiran 2 Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden
Lampiran 3 Kuesioner
Lampiran 4 Lembar Bimbingan
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian Dari Kampus Stikes BHM Madiun
Lampiran 6 Surat Izin Penelitian Dari Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Dalam
Negri Pemerintah Kabupaten Madiun
Lampiran 7 Surat Selesai Melakukan Penelitian Dari Puskesmas Wonoasri
Kabupaten Madiun
Lampiran 8 Output Validitas Kuesioner
Lampiran 9 Output Karakteristik Responden
Lampiran 9 Output Distribusi Frekuensi
Lampiran 10 Output Uji Chi Square Variabel
Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 13 Lembar Persetujuan Perbaikan Skripsi

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat adalah

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sebagian besar dari infeksi saluran

pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk-pilek, disebabkan oleh virus, dan

tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Infeksi saluran pernapasan

bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua

golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Penyakit ISPA merupakan

penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem pertahanan tubuh anak

masih rendah

Menurut WHO tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke

pelayanan kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih

banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju dengan

persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita

akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita pada tahun 2004 (Fitri,

2012). India, Bangladesh, Indonesia, dan Myanmar merupakan negara dengan

kasus kematian balita akibat ISPA terbanyak (Usman, 2012). Kematian balita

akibat ISPA di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 20.6% dari tahun 2010

hingga tahun 2011 yaitu 18.2% menjadi 38.8% (Layuk dan Noer, 2015). Di

Indonesia penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit

1
2

yang sering terjadi pada anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di

Indonesia diperkirakan sebesar 3-6 x pertahun. Ini berarti seorang balita rata-rata

mendapat serangan batuk, pilek sebanyak 3-6 x setahun. Sebagai kelompok

penyakit, ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien

disarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat dipuskesmas dan

15%-30% kunjungan berobat dibagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit

disebabkan oleh ISPA (DepKes.RI, 2009). Kematian akibat ISPA terutama

Pneumonia di Indonesia, pada akhir 2000 sekitar 450.000 balita usia 0-5 tahun.

Diperkirakan sebanyak 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500

korban perbulan atau 416 kasus perhari atau 17 anak perjam atau seorang bayi /

balita tiap lima menit (Depkes.RI, 2009).

Prevalensi kejadian ISPA pada balita cenderung meningkat sesuai dengan

meningkatnya umur. antara laki-laki dan perempuan relatif sama, dan sedikit lebih

tinggi di pedesaan. ISPA cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan

pendidikan dan tingkat pengeluaran per kapita lebih rendah (Riskerdas, 2007).

Data di atas menunjukkan masih tingginya angka kejadian penyakit ISPA

di Indonesia. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas

dua kelompok besar yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik

meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, satatus

imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A. faktor ekstrinsik meliputi

kepadatan hunian, populasi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembapan, suhu, letak

dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan

keluarga serta faktor ibu baik pendidikan ibu, umur ibu, maupun pengetahuan ibu.
3

Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik

rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung

berinteraksi dengan penghuninya (Depkes, 2009, Panduan konseling bagi petugas

klinik sanitasi di puskesmas). Namun dalam penelitian ini hanya membatasi pada

faktor umur, pengetahuan ibu status imunisasi, dan kepadatan hunian.

Faktor imunisasi sebagai penyebab penyakit ISPA, karena Balita yang

memiliki status imunisasi yang tidak lengkap akan lebih mudah terserang penyakit

dibandingkan dengan balita yang memiliki status imunisasi lengkap (Layuk dan

Noer, 2015). Faktor kepadatan hunian merupakan penyebab timbulnya penyakit

ISPA. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh

bagi penghuninya. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya

oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama

ISPA akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lainnya (Notoatmodjo,

2013).

Faktor pengetahuan Ibu juga menjadi penyebab terjadinya ISPA.

Tingginya angka kejadian ISPA pada bayi di Indonesia, salah satunya di sebabkan

oleh pengetahuan ibu yang kurang tentang ISPA . Perilaku ibu menjadi sangat

penting karena didalam merawat anaknya ibu sering kali berperan sebagai

pelaksanaan dan pengambilan keputusan dan pengasuhan anak yaitu dalam hal

memberikan makan, perawatan, kesehatan dan penyakit. Dengan demikian bila

prilaku ibu baik dalam pengasuhan makaan dapat mencegah dsan memberikan

pertolongan pertama pada anak balita yang mengalami ISPA dengan baik (Titi

dkk) (Intan Silviana, 2014).


4

Penelitian tentang faktor penyebab ISPA dilakukan oleh Sri Hayati (2014)

tentang Gambaran Faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada

Balita Di Puskesmas Pasirkaliki Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan

sebagian besar responden mempunyai riwayat Berat Badan Lahir Rendah, hampir

setengah responden mempunyai status gizi kurang, sebagian status imunisasi

lengkap, sebagian besar kepadatan tempat tinggal kurang dan hampir seluruh

responden mempunyai lingkungan fisik ventilasi tidak baik.

Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun Faskes Tingkat Pertama BPJS

Kesehatan di Kabupaten Madiun Terletak di Jl. Raya Wonoasri, Desa Wonoasri,

Kecamatan Wonoasri, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Puskesmas wonoasri

membawahi 10 desa, salah satunya desa sidomulyo. Di desa sidomulyo

merupakan salah satu desa yang banyak terjadi kasus ISPA pada balita dengan

berbagai faktor. Dari observasi awal yang dilakukan kebanyakan warga desa

daerah sidomulyo memang memiliki rumah yang lumayan luas tetapi untuk

ruangan kamar belum memenuhi syarat sehat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Wonoasri angka kejadian

penyakit ISPA pada Balita (12 - 60 bulan) pada bulan Juli sampai dengan bulan

Desember 2016 berjumlah 88 balita. Adapun rinciannya yaitu pada bulan juli

berjumlah 4 balita, pada bulan agustus berjumlah 14 balita, pada bulan September

berjumlah 22 balita, pada bulan oktober berjumlah 16 balita, pada bulan

November berjumlah 20 balita dan pada bulan desember berjumlah 12 balita. Dari

rincian data angka kejadian penyakit ISPA pada Balita (12 - 60 bulan) pada bulan
5

Juli sampai dengan bulan Desember 2016 mengalami penurunan dan peningkatan

yang belum stabil.

Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa. Hal

ini disebabkan sistem pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi

masih dalam tahap perkembangan. Salah satu penyakit infeksi yang paling sering

diderita oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ( Syafarilla,

2011). Maka solusi yang dapat dilakukan adalah menjaga kesehatan balita agar

memiliki ketahanan tubuh yang kuat terhadap penyakit.

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi

terhadap gangguan penyakit (Depkes RI, 2014). Para ahli kesehatan menyebutkan

bahwa di banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak

adalah 65 gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang

merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2013).

Salah satu faktor penyebab ISPA juga yaitu keadaan lingkungan fisik dan

pemeliharaan lingkungan rumah. Pemeliharaan lingkungan rumah dengan cara

menjaga kebersihan di dalam rumah, mengatur pertukaran udara dalam rumah,

menjaga kebersihan lingkungan luar rumah dan mengusahakan sinar matahari

masuk ke dalam rumah di siang hari, supaya pertahanan udara di dalam rumah

tetap bersih sehingga dapat mencegah kuman dan termasuk menghindari

kepadatan penghuni karena dianggap risiko meningkatnya terjadinya ISPA

(Maryunani, 2010). Namun hal ini sering diabaikan oleh para orang tua. Hal ini

disebabkan karena orang tua tidak banyak mengetahui tentang cara menjaga

kesehatan khususnya balita untuk mencegah terjadinya ISPA.


6

Dari uraian di atas perlu suatu penelitian tentang Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Desa Sidomulyo Wilayah

Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ‟Bagaimana Faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita Di Desa Sidomulyo

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun ?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

penyakit ISPA pada balita Di Desa Sidomulyo Kabupaten Madiun.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mendeskripsikan umur, status imunisasi, pengetahuan ibu dan

kepadatan hunian pada balita dengan kejadian penyakit ISPA Di

Desa Sidomulyo Kabupaten Madiun.

2. Menganalisa pengaruh umur dengan kejadian penyakit ISPA pada

balita.

3. Menganalisa pengaruh pengetahuan Ibu dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

4. Menganalisa pengaruh status imunisasi dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita .


7

5. Menganalisa pengaruh kepadatan hunian dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dapat digunakan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan

faktor penyebab ISPA.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Masyarakat

Diharapkan hasil penelitian untuk digunakan sebagai bahan informasi

dan masukan bagi masyarakat terutama Ibu yang memiliki Balita

pengidap ISPA.

2. Bagi Pihak Instansi Puskesmas

Sebagai bahan pemasukkan dan pertimbangan puskesmas untuk bisa

memberikan informasi tentang kejadian penyakit ISPA pada balita

mengenai faktor-faktor menurut umur, pengetahuan ibu, status

imunisasi dan kepadatan hunian.

3. Bagi Penulis

Diharapkan dalam memberikan wawasan yang luas bagi penulis tentang

faktor-faktor penyebab terjadi ISPA pada balita.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas

dan bawah menurut Nelson (2012), Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi

yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common

cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis.

Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah

didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder,

yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis,

bronkiolitis dan pneumonia aspirasi.

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan

akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung

kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi

kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan

atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah

satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga

alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan

pleura (Nelson, 2013).

8
9

Jadi ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi

disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan

pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

2.1.2. Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab

ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus,

Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2010).

2.1.3. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2

bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):

1. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

a. Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau

napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu

6x per menit atau lebih.

b. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
10

1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang

dari ½ volume yang biasa diminum)

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Stridor

5) Wheezing

6) Demam / dingin.

2. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

a. Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah

ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus

dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

b. Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

2) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

c. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor
11

e) Gizi buruk

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk,

pilek dan sesak.

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari

390 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu

makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan bawah:

a. Infeksi saluran pernapasan atas:

1) Batuk pilek

Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nesofaring dan hidung

yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung berlangsung

lebih berat kerena infeksi mencakup daerah sinus paranasal, telinga

tengah, dan nesofaring disertai demam yang tinggi. Faktor

predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan.

Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian musim

(Ngastiyah, 2005).
12

2) Sinusitis

Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat

berupa sinusitis maksilaris atau sinusitis frontalis. Biasanya paling sering

terjadi adalah sinusitis maksilaris, disebabkan oleh komplikasi

peradangan jalan napas bagian atas, dibantu oleh adanya faktor

predisposisi. Penyakit ini dapat disebabkan oleh kuman tunggal, namun

13 dapat juga disebabkan oleh campuran kuman seperti streptokokus,

pneumokokus, hemophilus influenzae, dan klebsiella pneumoniae. Jamur

dapat juga menyebabkan sinusitis (Ngastiyah, 2005).

3) Tonsilitis

Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada

tonsil atau amandel. Organisme penyebabnya yang utama meliputi

streptokokus atau staphilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar

melalui sistem limpa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi, bisa

menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar

masuknya udara. Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi

pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah, sakit

tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat berwarna

putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses pada tonsil.

4) Faringitis

Faringitis adalah proses peradangan pada tenggorokan. Penyakit ini juga

sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun juga bisa disebabkan oleh
13

bakteri, seperti hemolytic stretococcy, staphylococci, atau bakteri lainnya

Tanda dan gejala faringitis antara lain membran mukosa dan tonsil

merah, demam, malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, serak dan batuk

(Behrman, 2009).

5) Laringitis

Laringingitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang

membentuk laring. Penyebab laringitis umumnya adalah streptococcus

hemolyticus, streptococcus viridans, pneumokokus, staphylococcus

hemolyticus dan haemophilus influenzae. Tanda dan gejalanya antara

lain demam, batuk, pilek, nyeri menelan dan pada waktu bicara, suara

serak, sesak napas, stridor. Bila 14 penyakit berlanjut terus akan terdapat

tanda obstruksi pernapasan berupa gelisah, napas tersengal-sengal, sesak

dan napas bertambah berat (Ngastiyah, 2005).

b. Infeksi saluran pernapasan bawah

1) Bronkitis

Bronkitis merupakan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian

bawah, terjadi peradangan di daerah laring, trakhea dan bronkus.

Disebabkan oleh virus, yaitu: rhinovirus, respiratori sincytial virus

(RSV), virus influenzae, virus para influenzae, dan coxsackie virus.

Dengan faktor predisposisi berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi

udara. Dengan tanda dan gejala batuk kering, suhu badan rendah atau

tidak ada demam, kejang, kehilangan nafsu makan, stridor, napas

berbunyi, dan sakit di tengah depan dada (Ngastiyah, 2005).


14

2) Bronkiolitis

Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang lazim,

akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan oleh

virus sinsisium respiratorik (VSR), virus para influenzae, mikroplasma,

dan adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun pertama,

dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 2009). Yang

didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek

beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan

dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).

3) Pneumonia

Pneumonia adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian bawah yang

mengenai parenhim paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu

streptococcus pneumonia dan haemophillus influenza. Pada bayi dan

anak kecil ditemukan staphylococcus aureus sebagai penyebab

pneumonia yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi

15.Gejala pneumonia bervariasi, tergantung umur penderita dan

penyebab infeksinya. Gejala-gejala yang sering didapatkan pada anak

adalah napas cepat dan sulit bernapas, mengi, batuk, demam, menggigil,

sakit kepala, dan nafsu makan hilang (Syair, 2009).


15

4) Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterium bovis. Penyakit

tuberkulosis pada bayi dan anak disebut tuberkulosis primer merupakan

suatu penyakit sistemik, dan berlangsung secara perlahan-lahan.

Ditandai dengan gejala batuk, demam, berkeringat malam, penurunan

aktifitas, kehilangan berat badan, dan sukar bernapas (Ngastiyah, 2005).

5) Komplikasi

Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh

sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi

penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan

yang baik dapat menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal,

penutupan tuba eustachi, empiema, meningitis dan bronkopneumonia

serta berlanjut pada kematian karena adanya sepsis yang menular

(Ngastiyah, 2005).

2.1.4. Penyebab penyakit ISPA

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah

satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang

biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak

menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah

tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar

kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah
16

mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak

nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung

zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen

yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2012).

2.1.5 Tanda dan Gejala ISPA

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran

pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema

mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur

fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara

lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus

(muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara

nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada),

hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak

mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (Nelson, 2010). Sedangkan

tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2012) adalah :

a. Gejala dari ISPA Ringan

Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Batuk

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal

pada waktu berbicara atau menangis).


17

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba.

b. Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang

dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur

satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan

menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung

dapat digunakan arloji.

2) Suhu lebih dari 390C (diukur dengan termometer).

3) Tenggorokan berwarna merah.

4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).

7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.

c. Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.

3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.


18

4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah.

5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.

6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

7) Tenggorokan berwarna merah.

Tanda dan gejala ISPA sangat bervariasi antara lain demam, pusing,

malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),

photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara napas),

dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada),

hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas apabila tidak

mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian.

2.1.6. Penatalaksanaan Kasus ISPA

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang

benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya

kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk

yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman penatalaksanaan

kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang

akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek

biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi

penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan

minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita

ISPA.
19

Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut

(Smeltzer & Bare, 2012) :

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan

mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan

anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila

menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak

tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka

baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat

gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka

sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia

dapat didiagnosa dan diklasifikasi.

b. Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai

berikut :

1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada

kedalam (chest indrawing).

2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai

demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat.

Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.


20

c. Pengobatan

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigendan sebagainya.

2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di

rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk

lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,

dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun

panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada

pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai

pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang

tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda

bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.

d. Perawatan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya

yang menderita ISPA.

1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan


21

dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6

jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan

dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,

dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu

jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,

diberikan tiga kali sehari.

3) Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang

yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI

pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,

kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

5) Lain-lain

a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal

dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.

b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi

cukup dan tidak berasap.


22

d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar

selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik,

usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan

untuk pemeriksaan ulang.

8. Pencegahan ISPA

Menurut Depkes RI, (2012) pencegahan ISPA antara lain:

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik.

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita

atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.

Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna,

banyak minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang

cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan

tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat,

sehingga dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke

tubuh kita.

b. Imunisasi

Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun

orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita

supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan

oleh virus / bakteri.


23

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan

mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah,

sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa

menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik 24 dapat

memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat

bagi manusia.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA Infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang ditularkan

oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang

tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa

virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi

yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei

(sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara

droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit

penyakit).

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya ISPA

Faktor-faktor penyebab ISPA terbagi dalam kelompok yaitu intrinsik

dan ekstrinsik (Depkes, 2009).Faktor internal merupakan suatu keadaan

didalam diri penderita (balita) yang memudahkan untuk terpapar dengan bibit

penyakit (agent) ISPA yang meliputi jenis kelamin, umur, berat badan lahir,

status gizi, dan status imunisasi.


24

2.2.1 Faktor Intrinsik

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor resiko terhadap kejadian ISPA yaitu

laki-laki lebih beresiko di banding perempuan, hal ini disebabkan aktivitas

anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan sehingga peluang untuk

terpapar oleh agent lebih banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Yusuf

dan Lilis (2011), didapatkan hasil bahwa proporsi kasus ISPA menurut

jenis kelamin tidak sama, yaitu laki-laki 59% dan perempuan 41%,

terutama pada anak usia muda.

b. Umur

Umur mempunyai pengaruh cukup besar untuk terjadinya

ISPA.Anak dengan umur <2 tahun merupakan faktor resiko terjadinya

ISPA.Hal ini disebabkan karena anak dibawah dua tahun imunitasnya

belum sempurna dan saluran napas lebih sempit. Kejadian ISPA pada bayi

dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek,

hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan balita merupakan kejadian

infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan

secara alamiah.

c. Status Gizi Balita

Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan

untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi

menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti

kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi


25

menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun

dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari

terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit. Penelitian yang

dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa infeksi protozoa pada

anak-anak yang tingkat gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan

dengan anak-anak yang gizinya baik (Notoatmodjo, 2013).

d. Status Imunisasi

Imunisasi berarti memberikan kekebalan terhadap suatu penyakit

tertentu.Salah satu strategi untuk mengurangi kesakitan dan kematian

akibat ISPA pada anak adalah dengan pemberian imunisasi.Pemberian

imunisasi dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada balita

tertutama penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Setiap anak

harus mendapatkan imunisasi dasar terhadap tujuh penyakit utama

sebelum usia satu tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, hepatitis B, polio,

campak. Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit

infeksi seperti campak, polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepa-

titis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat

penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong

ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.
26

2.2.2 Faktor Ekstrinsik

a. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusanmenteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentangpersyaratan

kesehatan rumah, satu orang minimal menempatiluas rumah

8m².Dengan kriteria tersebut diharapkan dapatmencegah penularan

penyakit dan melancarkan aktivitas.Keadaan tempat tinggal yang padat

dapatmeningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.Penelitian

menunjukkan ada hubungan bermakna antarakepadatan dan kematian

dari bronkopneumonia pada bayi,tetapi disebutkan bahwa polusi udara,

tingkat sosial, danpendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor

ini(Prabu, 2009).

b. Ventilasi kurang memadai

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara ataupengerahan udara

ke atau dari ruangan baik secara alamimaupun secara mekanis. Fungsi

dari ventilasi dapatdijabarkan sebagai berikut :

a) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandungkadar oksigen

yang optimum bagi pernapasan.

b) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asapataupun debu dan

zat-zat pencemar lain dengan carapengenceran udara

c) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

d) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan danbangunan.


27

e) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkanoleh radiasi

tubuh, kondisi, evaporasi ataupun keadaaneksternal. Mendisfung-

sikan suhu udara secara merata(Prabu, 2009).

c. Asap Dalam Ruangan

Pencemaran udara dalam rumah terjadi terutama karena aktivitas

penghuninya, antara lain ; penggunaan bahan bakar biomasa untuk

memasak maupun memanaskan ruangan, asap dari sumber penerangan

yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, asap rokok,

penggunaan insektisida semprot maupun bakar. Disamping itu

ditentukan juga oleh ventilasi, penggunaan bahan bangunan sintetis

berupa cat dan asbes (Anwar, A., 2012).Penggunaan bahan bakar

biomasa seperti kayu bakar untuk memasak, arang dan minyak tanah

muncul sebagai faktor resiko terhadap terjadinya infeksi saluran

pernapasan.Saat ini sebagian masyarakat pedesaan masih menggunakan

bahan bakarbiomasa untuk memasak. Ditambah lagi dengan kebiasaan

ibu yang membawa bayi/anak balitanya di dapur yang penuh asap

sambil memasak akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk

terkena ISPA dibandingkan dengan ibu yang tidak membawa bayi/anak

balitanya didapur.

d. Tingkat Pengetahuan Ibu

Keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan, serta

upaya pencegahan penyakit.Padakelompok masyarakat dengan tingkat


28

pendidikan yang rendah pada umumnya status ekonominya rendah pula.

Mereka sulit untuk menyerap informasi mengenai kesehatan dalam hal

penularan dan cara pencegahannya. Pendidikan yang rendah

menyebabkan masyarakat tidak tahu cara untuk memilih makanan yang

bergizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan (Soewasti,

dkk.,2007). Tingkat pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor

resiko yang meningkatkan kematian ISPA terutama

pnemonia.Kekurangpahaman orang tua terhadap pnemonia juga

menyebabkan keterlambatan mereka mambawa anak mereka yang sakit

pada tenaga kesehatan.Mereka beranggapan bahwa bayi/anak balita

mereka hanya menderita batuk-batuk biasa, yang sebenarnya

merupakan tanda awal pnemonia.Orang tua hanya memberikan obat

batuk tradisional yang tidak memecahkan masalah (Tuminah, S., 2009).

2.3Pengetahuan Ibu

Ichram (2005) pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan

melibatkan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

1. Tingkat pendidikan.

Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi

sehingga makin banyak pula pengetahuan tentang ISPA.


29

2. Informasi.

Seseorang dengan sumber informasi yang lebih banyak akan memiliki

pengetahuan yang luas.

3. Budaya.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk bagi kesehatan

mereka terutama dalam penyakit ISPA.

4. Pengalaman.

Pengalaman adalah suatu cara untuk memperoleh

kebenaranpengetahuan tentang ISPA dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah tentang ISPA.

5. Sosial ekonomi.

Masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih rentan

terkena ISPA (Suliha, 2012)

Menurut penelitian Susi hartati (2011) ibu balita yang pengetahuannya

rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,4 kali

dibandingkan ibu balita yang berpengetahuan tinggi.

2.4Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai

status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat
30

ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan

imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat

dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat

dicegah (Behrman, 2009).

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh bayi terhadap

gangguan penyakit (Depkes RI, 2004). Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa di

banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka kematian anak adalah 65

gangguan gizi dan infeksi. Hal ini dapat dicegah dengan imunisasi yang

merupakan hal mutlak dalam memelihara kesehatan dan gizi anak (Moehji, 2003).

Ada dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

Pemberian imunisasi pada anak biasanya dilakukan dengan cara imunisasi aktif,

karena imunisasi aktif akan memberi kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif

diberikan hanya dalam keadaan yang sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh

anak belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit yang

ganas. Perbedaan yang penting antara jenis imunisasi aktif dan imunisasi pasif

adalah:

1) untuk memperoleh kekebalan yang cukup, jumlah zat anti dalam tubuh

harus meningkat; pada imunisasi aktif diperlukan waktu yang agak lebih

lama untuk membuat zat anti itu dibandingkan dengan imunisasi pasif.

2) kekebalan yang terdapat pada imunisasi aktif bertahan lama (bertahun-

tahun) sedangkan pada imunisasi pasif hanya berlangsung untuk

beberapa bulan. Sesuai dengan program pemerintah (Departemen

Kesehatan) tentang Program Pengembangan Imunisasi (FPI), maka anak


31

diharuskan mendapat perlindungan terhadap 7 jenis penyakit utama, yaitu

penyakit TBC (dengan pemberian vaksin BCG), difteria, tetanus, batuk

rejan, poliomielitis, campak dan hepatitis B. Imunisasi lain yang

dianjurkan di Indonesia pada saat ini adalah terhadap penyakit gondong

dan campak Jerman (dengan pemberian vaksin MMR), tifus, radang

selaput otak oleh kuman Haemophilus influenzae tipe B (Hib), hepatitis

A, cacar air dan rabies (Markum, 2002:15).

2.3.1 Jenis-jenis imunisasi wajib:

1) Vaksin BCG. Pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG

mengandung kuman BCG yang masih hidup. Jenis kuman ini telah

dilemahkan.

2) Vaksin DPT Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan

kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria,

pertusis (batuk rejan) dan tetanus.

3) Vaksin DT (Difteria, Tetanus). Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus yaitu

bila anak sudah tidak diperbolehkan atau tidak lagi memerlukan imunisasi

pertusis, tapi masih memerlukan imunisasi difteria dan tetanus.

4) Vaksin Tetanus Terhadap penyakit tetanus, dikenal 2 jenis imunisasi yaitu

imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin yang digunakan untuk imunisasi

aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan

dan kemudian dimurnikan.


32

5) Vaksin Poliomielitis. Imunisasi diberikan untuk mendapatkan kekebalan

terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang

masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu: 1) Vaksin yang

mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk),

cara pemberiannya dengan penyuntikan 2) Vaksin yang mengandung virus

polio tipe I, II, dan III yang masih hidup tetapi telah dilemahkan (vaksin

Sabin), cara pemberiannya melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.

6) Vaksin Campak. Imunisasi diberikan untuk mendapat kekebalan tehadap

penyakit campak secara aktif.

7) Vaksin Hepatitis B. Vaksinasi dimaksudkan untuk mendapat kekebalan aktif

terhadap penyakit Hepatitis B. Penyakit ini dalam istilah sehari-hari lebih

dikenal sebagai penyakit lever.

Imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti

mencegah kejadian ISPA (Dinkes RI, 2010:10).

2.5 Kepadatan Hunian

Menurut Azwar (2010), rumah dapat diartikan sebagai tempat untuk

melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat

untuk melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang sosial. Secara umum

rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang

gerak yang cukup dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.


33

2) Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy, komunikasi yang sehat antar

anggota keluarga dan penghuni rumah.

3) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah

meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas

vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian tidak berlebihan dan cukup sinar

matahari pagi.

4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul

karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak

mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat

penghuninya jatuh tergelincir.

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.

Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar

minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu

kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 2009 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan

tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya

oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian

cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran

panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan
34

tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka

semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri.

Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun

dan diikuti oleh peningkatan CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan

adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.

2.5.1 Standar Ukuran Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 2009).

a. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa

dinyatakan dalam m² per orang.

b. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,

minimum 8 m²/orang.

c. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya

tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua

tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit

sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis. 1989).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan

ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat

kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10

m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh

hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 2009).
35

2.6 Kerangka Teori

Kerangka teor ifaktor-faktor penyebab terjadinya ISPA dalam


penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Jenis Kelamin

Umur
Faktor Intrinsik
Status Gizi Balita

Status Imunisasi

Kejadian ISPA
Ventilasi Kurang

Asap dalam ruangan


Faktor Ekstrinsik

Pengetahuan Ibu

Kepadatan Hunian

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi Depkes (2009), Notoatmodjo (2013), Prabu (2009),


Tuminah,S (2009)

Keterangan:

: Diteliti : Berpengaruh

: Tidak diteliti
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas

Faktor Instrinsik: Variabel Terikat

1. Umur
2. Status Imunisasi Kejadian ISPA

Faktor Ekstrinsik:
1. Pengetahuan Ibu
2. Kepadatan Hunian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

36
37

3.2 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh umur terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada Balita Di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun.

2. Ada pengaruh pengetahuan ibu terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun.

3. Ada pengaruh status imunisasi terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun.

4. Ada pengaruh tingkat hunian terhadap terjadinya penyakit ISPA Pada

Balita Di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten

Madiun.
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan untuk mengarahkan penelitian

yang pengontrol faktor yang mungkin akan mempengaruhi validitas penemuan

(Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yaitu

penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan

data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Menurut

Sugiyono (2012:23) dikatakan metode kuantitatif karena data penelitian berupa

angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Desain penelitian dalam

penelitian ini menggunakan analitik dengan pendekatan cross sectional. Desain

penelitian analitik adalah penelitian yang bertujuan mencari keterkaitan antara

faktor-faktor penyebab, serta mampu memprediksi kejadian suatu penyakit.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin

meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya

merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini

adalah Ibu ataupengasuhyang memiliki balita yang berumur 12- 60 bulan dengan

kejadian ISPApada bulan Juli 2016 sampai dengan bulan Desember 2016,

sebanyak 88 balita.

38
39

4.2.1 Sampel

Sampel merupakanbagian populasi yang dipilih dengan menyeleksi porsi

dari populasi yang dapat mewakili kriteria populasi (Nursalam, 2008). Adapun

pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumusslovinsebagaiberikut:

= 39,5dibulatkan 40

Jadi jumlah responden dalam penelitian ini adalah 88balita. Kriteria

pengambilan sampel dibedakan menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003: 96)

- Balita yang berusia 12- 60bulan dengan penyakit ISPA.

- Ibu ataupengasuhyang memiliki Balita mengidap penyakit ISPA

2. Kriteria Eksklusiadalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena sebab-sebab tertentu

(Nursalam, 2003: 97).

- Subyek menolak untuk dijadikan responden.


40

4.3 Teknik Sampling

Teknik sampling adalah suatu proses seleksi sampel yang digunakan

dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili

keseluruhan populasi yang ada (Hidayat, 2008).

Pengambilan sampel di lakukan dengan menggunakan teknik Simple

Random Sampling yaitu pengambilan sampel secara random atau acak

(Notoatmodjo, 2002:85), karena dimaksudkan untuk menghindari kerancuan

sehingga taksiran pengaruh factor penelitian terhadap variabel hasil benar-benar

murni pengaruh factor penelitian itu. Pada penelitian ini peneliti akan memilih

sampel sesuai dengan criteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu

sebanyak 40 balita yang diperoleh dari data angka kejadian penyakit ISPA pada

balita di puskesmas wonoasri bulan juli sampai dengan desember 2016.


41

4.4 Kerangka Kerja

Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan

penelitian yang akan dilakukan.

Populasi
Ibu yang memiliki Balita yang berusia 12– 60 bulan dengan penyakit ISPA
selama bulan Juli-Desember 2016 di Desa Sidomulyo = 88 balita

Sampel
Sebagian balita yang mengidap ISPA di Desa Sidomulyo Puskesmas Wonoasri yaitu sebanyak 40 responden

Sampling
Simple random sampling

Jenis Penelitian / Desain penelitian


Korelasi / Cross sectional

Pengumpulan data

Variabel bebas Variabel terikat


Umur Kejadian ISPA
Tingkat pengetahuan Ibu
Status Imunisasi
Kepadatan Hunian

Pengolahan data
Editing, coding, skoring, entry, tabulating, cleaning

Analisa data
Chi Square

Hasil dan kesimpulan


Gambar 4.1 Kerangka Kerja Penelitian
Pelaporan
42

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.5.1 Identifikasi Variabel

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2013). Dalam penelitian ini terdapat variabel

yaitu :

1. Variabel Independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau nilainya

menetukan variabel lain (Nursalam, 2013). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah Umur, Pengetahuan Ibu, Status Imunisasi dan

kepadatan hunian.

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang diamati dan diukur untuk

menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas

(Nursalam, 2013). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

penyebab ISPA.

4.5.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari sesuatu yang didefinisikan tersebut, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena. Pada definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi,

komunikasi, dan replikasi (Nursalam, 2013).


43

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Kriteria


Kejadian Kejadian penyakit Data Skunder Terdiagnosa Nominal Tidak ISPA= 1
ISPA ISPA yang ditandai Puskesmas penyakit ISPA ISPA= 0
dengan gejala batuk, Wonoasri
pilek disertai dengan
demam yang diagnosa
oleh dokter.
Umur Usia balita pada saat 12 – 60 Bulan Kuesioner Nominal Umur≤ 2 Th =
penelitian yang (Data Umum) 1
dinyatakan dalam Umur> 2 Th=
bulan. 0
Pengetahu- Kemampuan ibu Menjawab Kuesioner Nominal Pengetahuan
an Ibu dalam menjawab pertanyaan baik (mean>5)
pertanyaan peneliti. dengan benar =1
Pengetahuan
buruk (mean≤
5) = 0

Status Kelengkapan 1.Vaksin BCG Kuesioner Nominal Imunisasi


Imunisasi imunisasi dasar yang 2.Vaksin DPT Dasar lengkap
harus diberikan pada 3.Vaksin Dif- (Skor >5) = 1
balita sesuai dengan teri, Tetanus Imunisasi
usianya 4.Vaksin Teta- Dasar tidak
nus lengkap
5.Vaksin (Skor≤ 5) = 0
Polimielitis
6.Vaksin
Campak
7.Vaksin
Hepatitis B
Kepadatan Kepadatan penghuni Hasil bagi Wawancara Dokumen - Sehat
Hunian kamar yang memenuhi antara luas Observasi dan observasi apabila luas
syarat kesehatan lantai kamar Pengukuran lantai
dengan jumlah dengan dengan
peng-huni >10 rollmeter jumlah
m²/orang penghuni >1
0 m²/orang
=1
- Tidak sehat
luas lantai
dengan
jumlah
penghuni <
10 m²/orang
=0
44

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian,

juga terkait dengan bahan penelitian (Supardi dan Surahman, 2014). Instrumen

yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner danobservasi. Kuesioner

berisi beberapa pernyataan tertutup yang langsung diajukan kepada responden.

Kuesioner yang telah dibuat sedemikian rupa sehingga responden tinggal

mencentang jawaban yang dianggap benar.

4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas

4.7.1 Uji Validitas

Validitas adalah hasil perhitungan tiap-tiap item kuesioner dibandingkan

dengan tabel nilai r product moment. Jika r dihitung didapatkan lebih besar dari r

tabel pada taraf signifikan 5%, maka yang diuji coba dinyatakan valid

(Hidayat,2008).

4.7.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukan konsistensi suatu alat

pengukur. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap

konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang

sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Pengukuran reliabilitas

menggunakan rumus Alpha Cronbach. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika

menunjukan nilai Alpha Cronbach> 0,6 (Hidayat, 2008).


45

4.8 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan diDesa Sidomulyo wilayah kerja Puskesmas

Wonoasri Madiun.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli-Agustus 2017.

4.9 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2013). Proses-proses dalam pengumpulan data pada penelitian ini

melalui beberapa tahap yaitu :

1. Mengurus ijin penelitian dengan membawa surat dari Stikes Bhakti

Husada Mulia Madiun kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

Kabupaten Madiun.

2. Mengurus ijin kepada Puskesmas Wonoasri.

3. Meminta data responden dari Puskemas Wonoasri Madiun.

4. Melakukan uji simple random sampling pada subyek penelitian.

5. Memberikan penjelasan kepada calon responden dan bila bersedia menjadi

responden dipersilahkan untuk menandatangani inform consent.

6. Memberikan penjelasan kepada responden tentang cara pengisian

kuesioner.

7. Memberikan kesempatan kepada responden untuk bertanya kepada peneliti

apabila ada yang tidak jelas dengan kuesioner.


46

8. Memberikan waktu kepada responden untuk mengisi kuesioner.

9. Responden menyerahkan kembali kuesioner yang telah diisi kepada

peneliti.

4.10 Teknik Analisa Data

Menurut Setiadi (2007), dalam proses pengolahan data penelitian

mengunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah upaya untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan

kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menguji hipotesis

atau menjawab tujuan penelitian.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategorik. Pemberian kode ini sangat

diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual,

menggunakan kalkulator, maupun dengan menggunakan komputer.

Berikut langkah pengkodean dari masing-masing variabel yang diteliti :

a. Usia : < 2 tahun diberi kode “1” dan usia ≥ 2tahun) diberi kode “0”

b. Pendidikan : SMP diberi kode “1”, SMA diberi kode “2”, Diploma

diberi kode “3” dan Sarjana diberi kode “4”.

c. Pekerjaan : IRT diberi kode “1”, Petani diberi kode “2”, Pedagang

diberi kode “3”, PNS diberi kode “4”.

d. Pengetahuan : Baik diberi kode “1”, ”, Buruk diberi kode “0”


47

3. Skoring

Azwar (2012) menjelaskan bahwa, skoring adalah memberikan

perilaku terhadap item – item yang perlu diberi penilaian atau skor

terhadap hasil pengisian kuesioner pada responden, kemudian hasil

pengisian kuesioner dikelompokkan dalam bentuk nominal.

4. Entry

Entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program

atau software komputer.

5. Tabulating

Proses pengelompokan jawaban–jawaban yang serupa dan menjumlahkan

dengan teliti dan teratur. Setelah jawaban terkumpul kita kelompokkan

jawaban yang sama dengan menjumlahkannya. Pada tahapan ini data

diperoleh untuk setiap variabel disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi

dalam bentuk tabel.

6. Cleaning

Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah

dientri, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada

saat meng-entri data ke komputer.


48

4.11 Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa data univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik variabel umur, pengetahuan Ibu, status imunisasi dan kepadatan

hunian. Penelitian (Notoatmodjo,2013). Sifat data secara umum dibedakan atas

dua macam yaitu data kategori berupa skala ordinal dan nominal, data numerik

berupa skala rasio dan interval.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga berkorelasi

atau berhubungan (Notoadmodjo, 2012). Uji statistik yang digunakan adalah Chi

Square. Penguji statistik dalam penelitian ini dilakukan menggunakan SPSS 16.0

For Windows. Dari uji statistik ini akan diperoleh kemungkinan hasil uji yaitu

signifikasi atau bermakna dengan α = 0,05. Jika nilai p value ≤ 0,05 maka terdapat

korelasi yang bermakna antara variabel yang di uji. Hipotesa diterima nilai p value

≤ 0,05 (Nursalam, 2008).

Syarat yang berlaku pada Uji Chi Square yaitu:

a. Tidakadasel yang mempunyainilai expected kurangdari 5, maksimal

20 dari jumlah cell.

b. Jika syarat Uji Chi Square tidak terpenuhi, maka dipakai uji

alternatifnya:

1) Bilatabel 2x2, dannilai E <dari 5 namun tidak lebih dari 20%

jumlah sel maka uji yang dipakai adalah “fisher’s exact test”.
49

2) Bilatabel 2x2 dan tidak ada nilai E < 5 maka uji yang dipakai

adalah “continuity correction test”

3) Bila tabelnya lebih dari 2x2, maka digunakan uji “pearson chi

square” atau menggunakan sel yang baru.

Dari penjelasan diatas maka untuk menjawab kasus penelitian ini

digunakan uji statistik pearson chi square bila tabel variabel lebih dari 2x2, untuk

mengetahui hubungan antar variabel, tingkat kesalahan 5% atau taraf signifikan

yaitu α (0,05):

1. Jika nilai p ≤ (0,05) maka hipotesis penelitian (Ha) diterima, berarti:

a. Ada Pengaruh antara umur dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.

b. Ada Pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita.

c. Ada Pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita.

d. Ada Pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit ISPA

pada balita.

2. Jikanilai p ≥ (0,05) makahipotesispenelitian (Ho) ditolak, berarti:

a. Tidak ada pengaruh antara umur dengan kejadian penyakit ISPA pada

balita.

b. Tidak ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengankejadian penyakit

ISPA pada balita.

c. Tidak ada pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.


50

d. Tidak ada pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit

ISPA pada balita.

4.12 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2007), etika dalam melakukan penelitian meliputi :

1. Prinsip Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian khususnya menggunakan subjek

penelitian adalah manusia, maka prinsip yang harus dipahami adalah :

a. Prinsip manfaat

Penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat untuk

kepentingan manusia. Prinsip ini bisa ditegakan dengan membebaskan,

tidak menimbulkan kekerasan, dan tidak menjadikan manusia untuk

dieksploitasi.

b. Prinsip menghormati manusia

Berdasarkan prinsip ini manusia berhak untuk menentukan pilihan

antara mau dan tidak untuk diikutsertakan menjadi subjek penelitian.

c. Prinsip keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia dengan

menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak menjaga

privasi manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap manusia.

2. Masalah Etika Penelitian

a. Informed consent

Informed consent diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed

consent ini merupakan lembar persetujuan untuk menjadi responden.


51

Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya.

b. Prinsip Anonimity

Anonimity berarti dalam menggunakan subjek penelitian tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data. Peneliti hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data tersebut.

c. Prinsip Confidentialy

Dalam hal kerahasiaan, informasi yang sudah didapatkan dari

responden harus menjamin kerahasiaannya. Masalah ini merupakan

masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil

penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.


BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan hasil dan pembahasan dari pengumpulan data

dengan kuesioner yang telah diisi oleh responden mengenai Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Sidomulyo Wilayah

Kerja Puskesmas Wonoasri. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari –

Juli 2017 dengan jumlah sebanyak 40 responden.

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Wonoasri adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan

Kabupaten Madiun yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

kesehatan di wilayah kecamatan Wonoasri. Sebagai Unit Pelaksana Teknis dinas

kesehatan Kabupaten Madiun, Puskesmas Wonoasri berperan menyelenggarakan

sebagian tugas teknis operasional dinas kesehatan Kabupaten Madiun dan

merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta merupakan ujung tombak

pembangunan kesehatan nasional.

Kecamatan Wonoasri merupakan salah satu dari 15 Kecamatan di wilayah

Kabupaten Madiun yang memiliki Batas-batas Wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Kecamatan Pilangkenceng

2. Sebelah Timur : Kecamatan Mejayan

3. Sebelah Selatan : Kecamatan Wungu

4. Sebelah Barat : Kecamatan Balerejo

52
53

Desa Sidomulyo merupakan salah satu desa yang dibawahi oleh

Puskesmas Wonoasri. Desa sidomulyo ada tiga dusun yaitu meliputi:

1. Sidomulyo

2. Sindon

3. Kedunggong

Gambar 5.1 Peta Wilayah Desa Sidomulyo Kecamatan Wonoasri

Kabupaten Madiun

Luas Wilayah Desa Sidomulyo yaitu 202, 350 Ha. Dengan Batas Wilayah:

1. Utara : Wonoasri

2. Timur : Plumpung Rejo

3. Selatan: Jatirejo

4. Barat : Banyukambang

Puskesmas Wonoasri bertanggung jawab hanya untuk sebagian upaya

pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Madiun sesuai dengan kemampuannya, sedangkan penanggung jawab utama

penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah Kabupaten

Madiun adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun.


54

5.2. Hasil Penelitian

5.2.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi usia balita, jenis kelamin balita,

pendidikan ibu, pekerjaan ibu di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas

Wonoasri.

1. Usia Balita

Karakteristik responden menurut usia balita dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Usia Balita


No. Usia Balita Jumlah Persentase (%)
1 < 2 tahun 11 27.5%
2 ≥ 2 tahun 29 72.5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer 2017

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui sebagian besar balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri yang menjadi responden dalam

penelitian ini berusia lebih dari atau 2 tahun sebanyak 29 balita atau 72,5%.

2. Jenis Kelamin Balita

Karakteristik responden menurut jenis kelamin balita dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin


No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Perempuan 19 47,5%
2 Laki-Laki 21 52,5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017
55

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui sebagian besar balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri yang menjadi responden dalam

penelitian ini berjenis kelamin laki-laki sebanyak 21 anak atau 52,5% dan

sebagian kecil responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 balita

atau 47,5%.

3. Pendidikan Ibu

Karakteristik responden menurut pendidikan ibu dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pendidikan Ibu Balita


No. Jenjang Pendidikan Ibu Jumlah Persentase (%)
1 SMP 5 12,5%
2 SMA 21 52,5%
3 Diploma 6 15,0%
4 Sarjana 8 20,0%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui sebagian ibu balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri yang menjadi responden dalam

penelitian ini berjenjang pendidikan SMA sebanyak 21 orang atau 52,5% dan

sebagian kecil responden yang berjenjang pendidikan SMP sebanyak 5 orang atau

12,5%.

4. Pekerjaan Ibu

Karakteristik responden menurut pekerjaan ibu balita dapat dilihat pada tabel

berikut ini.
56

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan Ibu Balita


No. Jenis Pekerjaan Ibu Balita Jumlah Persentase (%)
1 Ibu Rumah Tangga (IRT) 15 37,5%
2 Petani 10 25,0%
3 Pedagang 10 25,0%
4 PNS 5 12,5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui sebagian ibu balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri yang menjadi responden dalam

penelitian ini bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 15 orang atau

37,5% dan sebagian kecil responden yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil

(PNS) sebanyak 5 orang atau 12,5%.

5.2.2. Analisa Data Univariat

1. Variabel Kejadian ISPA pada Balita

Hasil analisis deskriptif variabel Kejadian ISPA pada Balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel berikut ini.

Hasil analisis distribusi frekuensi variabel Kejadian ISPA pada Balita di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.5. Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Desa Sidomulyo


Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri

No. Kejadian ISPA Jumlah Persentase (%)


1 ISPA 11 27,5%
2 Tidak ISPA 29 82,5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017
57

Berdasarkan tabel 5.5 di atas dapat diketahui dari 40 responden di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri dengan kejadian ISPA dalam

kategori ISPA sebanyak 11 balita (27,5%), dan yang termasuk dalam kategori

Tidak ISPA sebanyak 29 balita (82,5%).

2. Variabel Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA meliputi umur balita,

pengetahuan ibu, status imunisasi, dan kepadatan hunian.

a. Umur Balita

Hasil analisis deskriptif variabel usia balita terdapat pada tabel 5.7 berikut

ini.

Hasil analisis distribusi frekuensi variabel usia balita di Desa Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel

berikut ini.

Tabel 5.6. Frekuensi Usia Balita di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja


Puskesmas Wonoasri

No. Umur Balita Jumlah Persentase (%)


1 < 2 tahun 12 30%
2 ≥ 2 tahun 28 70%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.6 di atas dapat diketahui bahwa dari 40 responden di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri dalam kategori umur < 2

tahun sebanyak 12 balita (30%), dan kategori umur ≥ 2 tahun sebanyak 28 balita

(70%).
58

b. Pengetahuan Ibu

Hasil analisis distribusi frekuensi variabel pengetahuan ibu di Desa Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.7. Frekuensi pengetahuan ibu di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja


Puskesmas Wonoasri

No. Pengetahuan Ibu Jumlah Persentase (%)


1 Buruk 11 27,5%
2 Baik 29 72,5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.7 di atas dapat diketahui bahwa dari 40 responden di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri dengan kejadian ISPA

dalam kategori buruk sebanyak 11 balita (27,5%), dan kategori baik sebanyak 29

balita (72,5%).

c. Status Imunisasi

Hasil analisis distribusi frekuensi variabel pengetahuan ibu di Desa Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.8. Frekuensi status imunisasi di Desa Sidomulyo Wilayah Kerja


Puskesmas Wonoasri

No. Status Imunisasi Jumlah Persentase (%)


1 Tidak Lengkap 11 27,5%
2 Lengkap 29 72,5%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017
59

Berdasarkan tabel 5.8 di atas dapat diketahui bahwa dari 40 responden di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri dengan kejadian ISPA

dalam kategori tidak lengkap sebanyak 11 balita (27,5%), dan kategori Lengkap

sebanyak 29 balita (72,5%).

d. Kepadatan Hunian

Hasil analisis distribusi frekuensi variabel kepadatan hunian di Desa Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri terdapat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.9. Frekuensi Kepadatan Hunian di Desa Sidomulyo Wilayah


Kerja Puskesmas Wonoasri
No. Kepadatan Hunian Jumlah Persentase (%)
1 Tidak Sehat 20 50%
2 Sehat 20 50%
Total 40 100.0
Sumber : Data primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.9 di atas dapat diketahui bahwa dari 40 responden di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri dengan kejadian ISPA

dalam kategori tidak sehat sebanyak 50 responden (50%), dan kategori sehat

sebanyak 50 responden (50%).

5.2.3. Analisa Data Bivariat

Analisis bivariat ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian penyakit ISPA meliputi umur balita, pengetahuan ibu,

status imunisasi, dan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA di Desa Sidomulyo

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri.


60

1. Umur Balita

Tabel 5.10. Tabulasi Silang Menurut Proporsi Umur Balita dengan


Kejadian ISPA
Umur Kejadian ISPA Total -value RP
ISPA Tidak ISPA (95%CI)
N % N % N %
< 2 tahun 7 17,5 5 12,5 12 30 0,04 8,40 (1,76-
≥ 2 tahun 4 10 24 60 28 70 40,02)
Total 11 27,5 29 72,5 40 100

Sumber Data: Analisis Chi Square

Berdasarkan tabel 5.10 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA pada

responden yang pernah sakit ISPA dengan kategori umur < 2 tahun yaitu

sebanyak 7 balita (17,5%) dan tidak ISPA sebanyak 5 balita (12,5%). Sedangkan

umur ≥ 2 tahun yang pernah sakit ISPA sebanyak 4 balita (10%) dan tidak ISPA

sebanyak 24 balita (60%).

Hasil analisis uji statistik Chi Square diperoleh -value (0,04 < 0,050) maka

ada pengaruh antara umur balita dengan kejadian ISPA di Desa Sidomulyo

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri. Dan hasil analisis yang diperoleh nilai RP

8,4 yang artinya responden dengan umur < 2 tahun memiliki resiko 8,4 kali

terkena ISPA dibandingkan dengan umur yang ≥2 tahun.

2. Pengetahuan Ibu Balita

Tabel 5.11. Tabulasi Silang Menurut Proporsi Pengetahuan Ibu Balita dengan
Kejadian ISPA
Pengetahuan Kejadian ISPA Total -value RP
ISPA Tidak ISPA (95%CI)
N % N % N %
buruk 6 15 5 12,5 11 27,5 0,018 5,76 (1,24-
Baik 5 12,5 24 60 29 72,5 26,56)
Total 11 27,5 29 72,5 40 100
Sumber Data: Analisis Chi Square
61

Berdasarkan tabel 5.11 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada responden yang pernah sakit ISPA dengan kategori pengetahuan ibu buruk

yaitu sebanyak 6 responden (15%) dan yang tidak ISPA sebanyak 5 balita

(12,5%). Sedangkan dengan kejadian ISPA dengan kategori pengetahuan ibu baik

sebanyak 5 responden (12,5%) dan tidak ISPA sebanyak 24 responden (60%).

Hasil analisis uji statistik Chi Square diperoleh -value (0,018 < 0,050)

maka ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di Desa

Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri. Dan hasil analisis yang diperoleh

nilai RP 5,7 yang artinya responden dengan pengetahuan yang buruk memiliki

resiko 5,7 kali terkena ISPA dibandingkan dengan pengetahuan yang baik.

3. Status Imunisasi

Tabel 5.12. Tabulasi Silang Menurut Proporsi Status Imunisasi dengan


Kejadian ISPA
Status Kejadian ISPA Total -value RP
imunisasi (95%CI)
ISPA Tidak ISPA
N % N % N %
Tidak 5 12,5 6 15 11 27,5 0,117 0,19(0,72-
lengkap 14,15)
lengkap 6 15 23 57,5 29 72,5
Total 11 27,5 29 72,5 40 100
Sumber Data: Analisis Chi Square

Berdasarkan tabel 5.12 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita yang pernah sakit ISPA dengan kategori tidak lengkap yaitu sebanyak

5 balita (12,5%) dan yang tidak ISPA sebanyak 6 balita (15%). Sedangkan dengan

kejadian ISPA dengan kategori lengkap sebanyak 6 balita (15%) dan tidak ISPA

sebanyak 23 balita (57,5%).


62

Hasil analisis uji statistik Chi Square diperoleh -value (0,117 > 0,050)

maka tidak ada pengaruh antara umur status imunisasi dengan kejadian ISPA di

Desa Sidomulyo Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri. Dan hasil analisis yang

diperoleh nilai RP 0,19 yang artinya responden dengan imunisasi yang lengkap

tidak memiliki resiko.

4. Kepadatan Hunian

Tabulasi Silang Menurut Proporsi Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA


Kepadatan Kejadian ISPA Total -value RP
hunian (95%CI)
ISPA Tidak ISPA
N % N % N % 0,013 7,36(1,33-
Tidak sehat 9 22,5 11 27,5 20 50 40,54)
Sehat 2 5 18 45 20 50
Total 11 27,5 29 72, 40 100

Sumber Data: Analisis Chi Square

Berdasarkan tabel 5.13 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita yang pernah sakit ISPA dengan kategori tidak sehat yaitu sebanyak 9

responden (22,5%) dan yang tidak ISPA sebanyak 11 responden (27,5%).

Sedangkan dengan kejadian ISPA dengan kategori sehat sebanyak 2 responden

(5%) dan tidak ISPA sebanyak 18 responden (45%).

Hasil analisis uji statistik Chi Square diperoleh -value (0,013 < 0,050)

maka ada pengaruh antara umur balita dengan kejadian ISPA di Desa Sidomulyo

Wilayah Kerja Puskesmas Wonoasri. Dan hasil analisis yang diperoleh nilai RP

7,3 yang artinya bahwa responden dengan kepadatan hunian yang tidak sehat

memiliki resiko 7,3 kali terkena ISPA dibandingkan dengan kepadatan hunian

yang sehat.
63

5.3. Pembahasan

5.3.1. Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Sidomulyo Kabupaten Madiun

Kejadian ISPA di Puskesmas Wonoasri Kecamatan Wonoasri Kabupaten

Madiun merupakan wilayah yang rawan akan penyakit ISPA. Meningkatnya

kejadian ISPA di sebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi. Kejadian

ISPA pada balita di desa sidomulyo wilayah Puskesmas Wonoasri Madiun yaitu

balita dengan umur < 2 tahun lebih beresiko terkena ISPA, responden dengan

pengetahuan yang buruk lebih beresiko terkena ISPA , Status Imunisasi lengkap

tidak beresiko terkena ISPA, dan kepadatan hunian kamar yang tidak sehat lebih

beresiko terkena ISPA.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian

bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan

menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Bayi di bawah

lima tahun adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih

rentan terhadap berbagai penyakit.

Penyakit ISPA di wilayah Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun masuk

dalam 10 besar penyakit yang paling banyak di derita oleh balita. Pengetahuan

yang dimiliki oleh orang tua terutama ibu berperan dalam pengambilan keputusan

apabila ada anggota keluarga yang sakit . Didukung oleh penelitian Nasution, dkk

(2009) di Jakarta yang meneliti ISPA pada Balita menemukan pengetahuan

responden tentang ISPA berada dalam kategori cukup.


64

Status imunisasi merupakan faktor risiko ISPA. Pemberian imunisasi

menunjukkan konsistensi dalam memberi pengaruh terhadap kejadian ISPA,

bahwa bayi yang tidak mendapat imunisasi sesuai dengan umur berisiko

menderita ISPA dan ada hubungan bermakna antara pemberian imunisasi dengan

kejadian ISPA pada balita. Vitamin A pun esensial untuk kesehatan dan

kelangsungan hidup karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap

penyakit infeksi.

Selain itu Penyakit ISPA dipengaruhi oleh kualitas udara dalam rumah.

Berdasarkan penelitian Chahaya dan Nurmaini (2005) di Deli Serdang, ventilasi

ruangan mempunyai pengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Selain itu,

pencemaran udara di dalam rumah dilihat dari paparan asap rokok. Berdasarkan

laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika mencatat tidak kurang dari 300 ribu

anak anak berusia 1 sampai 5 tahun menderita bronchitis dan pneumonia, karena

turut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang di sekitarnya terutama ayah

dan ibunya (Karlinda dan Warni, 2012). Penelitian Winarni, dkk (2010), ada

pengaruh perilaku merokok orang tua dan anggota keluarga yang tinggal dalam

satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan keterangan di atas maka pengetahuan adalah hasil proses tahu

dan setelah melalui proses pengindraaan terhadap suatu objek tertentu melalui

panca indera manusia, yaitu: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan memegang peranan penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang.


65

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit

yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian ISPA

dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas

imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum anak berusia di

atas dua tahun kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Status munisasi yang

diteliti pada anak balita di Desa Bontongan dengan cara melihat KMS dan

melakukan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner.

Anak balita dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah mendapat

imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.

Menurut peneliti di daerah desa sidomulyo kejadian penyakit ISPA pada

balita masih sangat banyak, dari hasil survey dan observasi yang dilakukan

peneliti masih menemukan sebagian ibu yang pengetahuannya kurang mengenai

penyakit ISPA, Status imunisasi masih ada yang belum lengkap, dan kepadatan

hunian kamar yang kurang memadai dengan standart sehat.

5.3.2. Pengaruh Umur Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa

Sidomulyo Kabupaten Madiun

Berdasarkan tabel 5.11 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita di desa sidomulyo wilayah kerja peskesmas wonoasri pada balita

dengan kategori umur < 2 tahun lebih banyak terkena ISPA yaitu (17,5%)

dibandingkan dengan balita dengan kategori umur ≥ 2 tahun (10%). Berdasarkan

analisis bivariate menunjukkan bahwa ada pengaruh umur dengan kejadian ISPA

di desa sidomulyo wilayah kerja puskesmaas wonoasri, dengan diketahui nilai RP


66

8,4 yang artinya balita dengan umur < 2 tahun memiliki resiko 8,4 kali terkena

ISPA dibandingkan dengan umur yang ≥2 tahun.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya,

seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura. ISPA merupakan infeksi saluran

pernapasan yang berlangsung selama 14 hari (Maulana, 2007). Secara anatomik,

ISPA dikelompokkan menjadi ISPA atas misalnya batuk pilek, faringitis,

tonsillitis, dan ISPA bawah seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia. ISPA atas

jarang menimbulkan kematian walaupun insidennya jauh lebih tinggi daripada

ISPA bawah.

Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi

akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan

orang dewasa. Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut

terutama di sebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang belum

memperoleh kekebalan alamiah (Alasagaf dan Mukti, 2008). Risiko akan berlipat

ganda pada anak usia dibawah dua tahun yang daya tahan tubuhnya masih belum

sempurna. ISPA pada anak dibawah dua tahun harus diwaspadai oleh orang tua,

karena dapat menyebabkan kematian.(PDPERSI, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Saftari (2009) dengan judul

Hubungan Antara Faktor Usia dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) Bagian Bawah pada Anak Usia 1 Bulan - 5 Tahun bertujuan untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian ISPA bagian
67

bawah pada anak balita yang berkunjung ke unit rawat jalan dan unit rawat inap

bagian anak RS. Dr. Moewardi Surakarta. Hasil yang diketahui dimana semakin

tua umur anak semakin menurun terjadinya infeksi saluran pernapasan akut pada

balita. Makanya peneliti melakukan penelitian ini untuk mengetahui distribusi

usia penderita ISPA bagian bawah pada balita.

Menurut peneliti bahwa anak dengan kejadian ISPA adalah di bawah lima

tahun. Usia balita merupakan usia yang sangat rawan terjangkit penyakit ISPA.

Untuk menghindarinya perlu anak dengan usia kurang dari enam tahun

merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit ISPA. Untuk itu ibu balita

sebaiknya lebih menjaga balitanya diusia yang masih dibawah enam tahun karena

raawan dengan berbagai macam penyakit termasuk penyakit ISPA.

5.3.3 Pengaruh Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa

Sidomulyo Kabupaten Madiun

Berdasarkan tabel 5.12 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita di desa sidomulyo wilayah kerja peskesmas wonoasri pengetahuan ibu

buruk lebih banyak terkena ISPA yaitu (15%) dibandingkan dengan pengetahuan

ibu yang baik (12,5%). Berdasarkan analisis bivariate menunjukkan bahwa ada

pengaruh pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di desa sidomulyo wilayah kerja

puskesmaas wonoasri, dengan diketahui nilai RP 5,7 yang artinya responden

dengan pengetahuan yang buruk memiliki resiko 5,7 kali terkena ISPA

dibandingkan dengan pengetahuan yang baik.

Pengetahuan adalah hasil dari proses pembelajaran dengan melibatkan

indra penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengecap. Peningkatan


68

pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, akan tetapi juga dapat

diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu

objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek

inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.

Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan

sikap yang semakin positif terhadap objek tersebut.

Penelitian oleh Rara Alfaqinisa (2015) hubungan antara tingkat

Pengetahuan, Sikap,Dan Perilaku Orang Tua Tentang Pneumonia Dengan Tingkat

Kekambuhan Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngesrep

Semarang bahwa mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang, akan

lebih mudah terkena pneumonia kembali dikarenakan mereka kurang mengerti hal

apa saja yang berhubungan dan yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan

pneumonia pada balita mereka. Dengan tingkat pengetahuan semakin baik maka

kemungkinan untuk terjadinya kekambuhan pneumonia akan semakin kecil.

Menurut peneliti tingkat pengetahuan Ibu harus baik, hal ini untuk

kesehatan balita agar tidak terjadi ISPA. Di Desa Sidomulyo, para ibu-ibu

memiliki pengetahuan baik, hal ini rutin mengajak balita ke Posyandu, dan di sana

mereka diberikan penyuluhan, diberikan ilmu tentang kesehatan dan memberikan

imunisasi kepada balita tetapi ada juga ibu-ibu yang masih kurang tingkat

pengetahuannya.
69

5.3.4 Pengaruh Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa

Sidomulyo Kabupaten Madiun

Berdasarkan tabel 5.13 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita di desa sidomulyo wilayah kerja peskesmas wonoasri status imunisasi

lengkap dan tidak terkena ISPA (57,5%). Berdasarkan analisis bivariate

menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara status imunisasi dengan kejadian

ISPA di desa sidomulyo wilayah kerja puskesmaas wonoasri, dengan nilai RP

0.19 yang artinya responden dengan imunisasi yang lengkap tidak memiliki

resiko.

Hasil penelitian ini di dukung oleh Lisdianti dan Saparwati (2014) bahwa

tidak ada hubungan Status Imunisasi Terhadap Kejadian ISPA Pada Anak Usia

Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasir Putih Sampit Kalimantan Tengah. Hasil

penelitian ini bisa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu dimana sebagian besar

adalah SMA. Dengan pendidikan tersebut ibu telah banyak terpapar informasi

tentang pentingnya imunisasi bagi anaknya baik dari tempat sekolahnya dulu

maupun informasi dari media televisi, cetak dan internet.

Salah satu pencegahan penyakit ISPA antara lain dengan imunisasi.

Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun orang

dewasa. Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak

mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus/bakteri.

Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti

polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B dan Campak. Bahkan imunisasi

juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Penyakit


70

yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan

batuk rejan (Depkes RI, 2005).

Menurut peneliti status imunisasi di Desa Sidomulyo Puskesmas Wonoasri

adalah sudah baik, hampir semua balita sudah diimunisasi. Hal ini karena

perkembangan jaman yang modern, sehingga informasi tentang kebaikan

imunisasi sudah diketahui oleh Ibu-Ibu baik dari saudara, teman, kiriman dari

media sosial (WA, atau BBM). Hanya sebagian kecil yang masih kurang status

imunisasinya.

5.3.5 Pengaruh Kepadatan Hunian Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di

Desa Sidomulyo Kabupaten Madiun

Berdasarkan tabel 5.12 di atas, dapat diketahui bahwa kejadiaan ISPA

pada balita di desa sidomulyo wilayah kerja peskesmas wonoasri kepadatan

hunian kamar yang tidak sehat lebih banyak terkena ISPA yaitu (22,5%)

dibandingkan dengan kepadatan hunian kamar yang sehat (5%). Berdasarkan

analisis bivariate menunjukkan bahwa ada pengaruh kepadatan hunian kamar

dengan kejadian ISPA di desa sidomulyo wilayah kerja puskesmaas wonoasri,

dengan diketahui nilai RP 7,3 yang artinya responden dengan kepadatatan hunian

kamar yang tidak sehat memiliki resiko 7,3 kali terkena ISPA dibandingkan

dengan kepadatan hunian kamar yang sehat.

Menurut Azwar (2010), rumah dapat diartikan sebagai tempat untuk

melepaskan lelah, beristirahat, tempat bergaul dengan keluarga, sebagai tempat

untuk melindungi diri dari segala ancaman, sebagai lambang sosial.


71

Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya.

Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar

minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu

kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus.

Berdasarkan Kepmenkes RI No.829 tahun 2009 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan

lebih dari dua orang tidur dalam satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan

tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya

oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian

cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.

Berdasarkan observasi yang dilakukan bahwa oleh peneliti kepadatan

hunian setiap keluarga yang menjadi responden memiliki rata-rata 3 kamar

dengan luas minimal 8 m2. Tetapi masih ada sebagian responden yang memiliki

kamar yang kurang dari 8 m2. Bila tingkat kepadatan hunian dalam kategori padat,

maka tingkat resiko polusi debu makin besar. Hal ini sangat membahayakan bagi

balita yang rawan terkena ISPA.

5.4. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti masih terdapat

keterbatasan yang ditemukan oleh peneliti. Keterbatasan penelitian tersebut

diantaranya sebagai berikut :

1. Instrumen dalam penelitian ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan

literatur yang didapatkan peneliti mengenai faktor-faktor penyebab ISPA.

2. Keterbatasan biaya dan waktu dalam melakukan


72

BAB 6

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah:

1. Kejadian ISPA di Puskesmas Wonoasri Kecamatan Wonoasri

Kabupaten Madiun diketahui bahwa hasil yang diperoleh menunjukkan

Umur < 2tahun 30%, Pengetahuan buruk (27,5%) , Status Imunisasi

lengkap (72,5%) dan Kepadatan Hunian yang tidak sehat (50%) dengan

kejadian ISPA yang ada di wilayah Puskesmas Wonoasri Madiun.

2. Ada pengaruh antara umur balita dengan kejadian ISPA dengan hasil

-value = 0,04, RP (95%CI)= 8, 40 (1,76-40,02).

3. Ada pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA dengan

hasil -value = 0,018, RP (95%CI)= 5,76 (1,24-26,56).

4. Tidak ada pengaruh antara ststus imunisasi dengan kejadian ISPA

dengan hasil -value = 0,117 , RP (95%CI)= 0,19 (0,72-14,15).

5. Ada pengaruh antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian ISPA

dengan hasil -value = 0,013, RP (95%CI)= 7,36 (1,33-40,54).


73

6.2 SARAN

1. Bagi masyarakat atau ibu, untuk mencegah dan menguranngi terjadinya

ISPA pada balita diharapkan lebih meningkatkan lingkungan yang sehat

dengan cara menambahkan ventilasi dalam kamar sehingga udara dapat

masuk dan mengurangi kelembapan udara, jika ada keluarga yang

merokok usahakan tidak merokok didalam ruangan.

2. Bagi Puskesmas Wonoasri diharapkan lebih meningkatkan program

kesehatan khususnya program pemberantasan penyakit ISPA dapat lebih

diperbaiki dan memberikan penyuluhan mengenai syarat rumah sehat dan

bahaya asap rokok terhadap balita, sehingga angka kejadian penyakit

ISPA pada balita mengalami penurunan.

3. Bagi peneliti selanjutnya kami sarankan untuk melakukan penelitian

lanjutan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada

balita seperti faktor kepadatan hunian, ventilasi kurang dan asap dalam

ruangan di desa sidomulyo wilayah kerja puskesmas wonoasri.


DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. 2009. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indeks.

Depkes RI, 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Depkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.

DepKes.RI, 2009 Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Fitri, 2012. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting Pada
Balita (12-59 bulan). Riskerdas , UI.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:


Salemba Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul, 2012, Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba


Medika.

Ichram. 2005. Waspadai Penyakit pada Anak. Jakarta : PT.Indeks.

Intan Silviana, 2014 Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit Ispa Dengan
Perilaku Pencegahan Ispa Pada Balita Di PHPT Muara Angke Jakarta
Utara . Jurnal Universitas Esa Unggula, Jakarta.

Layuk dan Noer, 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Dinas
Kesehatan DKI.

Lubis, Namora Lumongga Lubis. 2009. Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta:


Kencana.

Markum, A.H , 2002. Imunisasi, Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran UI Press.

Maryunani, Anik. 2010. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta


: Trans Info Medika.

Moehji, 2013. Ilmu Gizi. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Muttaqin, 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut. EGC. Jakarta.

Nelson, 2013. Pengertian Definisi Operasional Info. Jakarta: PT.Obor.

Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta. Dinkes.

52
53

Notoatmodjo, Soekidjo. 2013. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : PT


Rineka Cipta.

Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pendekatan Praktis.

Prabu, Putra. 2009. Rumah Sehat dan Perilaku Sehat. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahajeng E, Tuminah S. 2009. Prevalensi Determinannya ISPA di Indonesia.


Jakarta: Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Riskerdas. (Riset Kesehatan Dasar). 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Soewasti, dkk., 2007. Pedoman Nasional. Penanggulangan ISPA. Cetakan ke 8.


Jakarta: Depkes RI.

Sri Hayati. 2014. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Jakarta: Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.

Suhandayani, 2010. Infeksi Saluran Pernafasan Akut dan Penanggulangannya.


Medan: Universitas Sumatera Utara.

Suliha,dkk,2012. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Cetakan I. Jakarta :


EGC.

Supardi dan Surahman, 2014. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Susi Hartati. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian.
Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo, Jurnal UI.

Syafarilla, 2011. Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta: Erlangga.

Syair, Umar. 2009. Transformasi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja


di Indonesia, Jakarta: UI Press.

Usman, 2012. Penilaian Status Gizi. PT. Gramedia : Jakarta.


LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

( Informed Consent )

Denganhormat,

Saya sebagai mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES


Bhakti Husada Mulia Madiun,

Nama : Gusti Ayu Putriyani

NIM : 201303022

Bermaksud untuk melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Desa Sidomulyo Wilayah
Kerja Puskesmas Wonoasri Kabupaten Madiun Dalam Menyelesaikan Tugas
Akhir (Skripsi) Di STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun Tahun 2017”.

Adapun informasi yang Bapak Ibu berikan akan dijamin kerahasiaannya


dan saya bertanggung jawab apabila informasi yang diberikan merugikan bapak
ibu.

Sehubungan dengan hal tersebut, apabila bapak ibu setuju ikut serta dalam
penelitian ini dimohon untuk menandatangani kolom yang telah disediakan.

Untuk kesediaan dan kerjasamanya saya mengucapkan terima kasih.

Madiun, Agustus2017

Peneliti Responden

Gusti Ayu Putriyani


NIM 201303022

54
55

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


PENYAKIT ISPA PADA BALITA DI DESA SIDOMULYO WILAYAH
KERJA PUSKESMAS WONOASRI

1. PetunjukJawaban
Isilahjawaban di bawahinidanberilahtandacentang (√) padajawaban yang
dianggapbenar.
2. Identitas
UsiaBalita :
JenisKelaminBalita :
PendidikanIbu :
Jenis PekerjaanIbu:
3. Pernyataan
A. Pengetahuan Ibu
Skala Pengukuran :
B = Benar
S = Salah
Pertanyaan Jaw
aba
n

Penyakit ISPA merupakanpenyakit yang


berbahayabagibalita
Penyakit ISPA disebabkanoleh virus danbakteri
ISPA adalahsuatutandadangejalaakutakibatinfeksi yang
terjadidisetiapbagiansaluranpernafasan
ISPA menyerangtenggorokan, hidungdanparu-paru
Penyakit ISPA bisadisembuhkan
Tandadangejaladaripenyakit ISPA adalahbatuk,
demamdanpusing.
Gejala ISPA adalahringan, sedang, berat.
Penyembuhan ISPA dapatdilakukan di rumah
ISPA adalahpenyakitmenular
Penularanpenyakit ISPA melaluiudara yang tercemar
56

B. Status Imunisasi
Keterangan :
Y = Ya
T = Tidak

Pertanyaan Jaw
aba
n

BalitaibusudahdiberikanImunisasi
Sudahmelakukanimunisasi BCG
Sudahmelakukanimunisasi DPT
SudahmelakukanimunisasiDifteri
Sudahmelakukanimunisasi Tetanus
SudahmelakukanimunisasiPolimielitis
SudahmelakukanimunisasiCampak
Sudahmelakukanimunisasi Hepatitis B
57

C. Kepadatan Hunian

Lembar Observasi

No. Jumlah Banyaknya Jumlah orang Luas Keterangan


Keluarga Kamar dalam 1 kamar kamar
58
59
60
61
62
63
64

Output Karakteristik Responden

Frequencies

Statistics
jenis
usia balita kelamin pendidikan ibu pekerjaan ibu
balita
N Valid 40 40 40 40
Missing 0 0 0 0

Frequency Table

usia balita
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid < 2 tahun 11 27.5 27.5 27.5
≥ 2 tahun 29 72.5 72.5 100.0
Total 40 100.0 100.0

jenis kelamin balita


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent ercent
Valid perempuan 19 47.5 47.5 47.5
laki-laki 21 52.5 52.5 100.0
Total 40 100.0 100.0

pendidikan ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SMP 5 12.5 12.5 12.5
SMA 21 52.5 52.5 65.0
Diploma 6 15.0 15.0 80.0
Sarjana 8 20.0 20.0 100.0
Total 40 100.0 100.0
65

pekerjaan ibu
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid IRT 15 37.5 37.5 37.5
Petani 10 25.0 25.0 62.5
Pedagang 10 25.0 25.0 87.5
PNS 5 12.5 12.5 100.0
Total 40 100.0 100.0

Output Distribusi Frekuensi


Statistics

pengetahuan_i kepadatan_huni
umur_balita bu status_imunisasi an kejadian_ISPA

N Valid 40 40 40 40 40

Missing 0 0 0 0 0

Mean .70 .72 .72 .50 .72

Std. Deviation .464 .452 .452 .506 .452

umur_balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid <2 12 30.0 30.0 30.0

>2 28 70.0 70.0 100.0

Total 40 100.0 100.0

pengetahuan_ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid buruk 11 27.5 27.5 27.5

baik 29 72.5 72.5 100.0

Total 40 100.0 100.0


66

status_imunisasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak lengkap 11 27.5 27.5 27.5

lengkap 29 72.5 72.5 100.0

Total 40 100.0 100.0

kepadatan_hunian

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak sehat 20 50.0 50.0 50.0

sehat 20 50.0 50.0 100.0

Total 40 100.0 100.0

kejadian_ISPA

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ISPA 11 27.5 27.5 27.5

tidak ISPA 29 72.5 72.5 100.0

Total 40 100.0 100.0


67

Output uji chi square umur balita


Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
umur_balita * kejadian_ISPA 40 100.0 0 .0% 40 100.0%
%

umur_balita * kejadian_ISPA Crosstabulation


Count
kejadian_ISPA

ISPA tidak ISPA Total


umur_balita <2 7 5 12
>2 4 24 28
Total 11 29 40

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2- sided) (2- sided) sided)
Pearson Chi-Square 8.174a 1 .004
b
Continuity Correction 6.114 1 .013
Likelihood Ratio 7.786 1 .005
Fisher's Exact Test
.008 .008
Linear-by-Linear Association 7.970 1 .005
N of Valid Casesb 40
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.30.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for umur_balita
8.400 1.763 40.024
(<2 / >2)
For cohort kejadian_ISPA =
4.083 1.464 11.387
ISPA
For cohort kejadian_ISPA =
.486 .245 .966
tidak ISPA
N of Valid Cases 40
68

Output uji chi square pengtahuan ibu


Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pengetahuan_ibu *
40 100.0 0 .0% 40 100.0%
kejadian_ISPA
%

pengetahuan_ibu * kejadian_ISPA Crosstabulation


Count
kejadian_ISPA

ISPA tidak ISPA Total


pengetahuan_ibu buruk 6 5 11
baik 5 24 29
Total 11 29 40

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2- sided) (2- sided) sided)
Pearson Chi-Square 5.566a 1 .018
b
Continuity Correction 3.853 1 .050
Likelihood Ratio 5.233 1 .022
Fisher's Exact Test
.042 .027
Linear-by-Linear Association 5.427 1 .020
N of Valid Casesb 40
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.03.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
pengetahuan_ibu (buruk / 5.760 1.249 26.566
baik)
For cohort kejadian_ISPA =
3.164 1.208 8.285
ISPA
For cohort kejadian_ISPA =
.549 .282 1.072
tidak ISPA
N of Valid Cases 40
69

Output uji chi square status imunisasi


Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
status_imunisasi *
40 100.0 0 .0% 40 100.0%
kejadian_ISPA
%

status_imunisasi * kejadian_ISPA Crosstabulation


Count
kejadian_ISPA

ISPA tidak ISPA Total


status_imunisasi tidak lengkap 5 6 11
lengkap 6 23 29
Total 11 29 40

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2- sided) (2- sided) sided)
Pearson Chi-Square 2.453a 1 .117
b
Continuity Correction 1.368 1 .242
Likelihood Ratio 2.326 1 .127
Fisher's Exact Test
.137 .122
Linear-by-Linear Association 2.392 1 .122
N of Valid Casesb 40
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.03.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
status_imunisasi (tidak 3.194 .721 14.154
lengkap / lengkap)
For cohort kejadian_ISPA =
2.197 .839 5.753
ISPA
For cohort kejadian_ISPA =
.688 .389 1.217
tidak ISPA
N of Valid Cases 40
70

Output uji chi square kepadatan hunian


Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kepadatan_hunian *
40 100.0 0 .0% 40 100.0%
kejadian_ISPA
%

kepadatan_hunian * kejadian_ISPA Crosstabulation


Count
kejadian_ISPA

ISPA tidak ISPA Total


kepadatan_hunian tidak sehat 9 11 20
sehat 2 18 20
Total 11 29 40

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (1-
Value df (2- sided) (2- sided) sided)
Pearson Chi-Square 6.144a 1 .013
b
Continuity Correction 4.514 1 .034
Likelihood Ratio 6.525 1 .011
Fisher's Exact Test
.031 .015
Linear-by-Linear Association 5.991 1 .014
N of Valid Casesb 40
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for
kepadatan_hunian (tidak 7.364 1.337 40.548
sehat / sehat)
For cohort kejadian_ISPA =
4.500 1.108 18.271
ISPA
For cohort kejadian_ISPA =
.611 .401 .932
tidak ISPA
N of Valid Cases 40
71

Lampiran Dokumentasi Pada Saat Survey


72

Lampiran Dokumentasi Saat Observasi Dan Pengukuran Kamar


73

Anda mungkin juga menyukai