Anda di halaman 1dari 4

UNIVERSITAS PERTAHANAN

Tugas Review Film The Patriot

Dosen Pengampu:

Kolonel Laut (KH) Dr. Panji Suwarno, S.E., M. Si, CIQnR

OLEH:

GAFFAR MU’AQAFFI

120200302012

FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL

PROGRAM STUDI KEAMANAN MARITIM

BOGOR

2020
The Patriot

Sutradara: Roland Emmerich


Produser: Dean Devlin
Mark Gordon
Gary Levinsohn
Skenario: Robert Rodat
Tahun Rilis: 2000
Anggaran: 110 juta Dollar
Keuntungan: 215.3 juta Dollar

Waktu itu tahun 1776. Benua Amerika panas. Rakyat di sana tidak bisa lagi bergeming
dengan kesewenang-wenangan Raja George yang memungut pajak tinggi. Lalu mereka
bergerak, mengumpulkan dana dari berbagai penjuru, dan memutuskan buat angkat bedil
melawan Inggris. Maka amunisi disiapkan, panji-panji dikibarkan, dan pemuda-pemuda yang
anti-Inggris direkrut ke dalam gerakan perlawanan. Revolusi Amerika dimulai.
Salah satu pemuda yang melawan itu adalah Gabriel Martin, seorang pemuda usia
tanggung putra “pahlawan Fort Wilderness” yang melegenda, Benjamin Martin, yang
diperankan oleh Mel Gibson dalam sebuah film berjudul The Patriot tahun 2000. Ia nekat,
walaupun ayahnya sendiri adalah seorang tokoh Charleston yang menolak perang
kemerdekaan. Dalam sebuah rapat besar, Benjamin, yang sudah berpengalaman dalam
perang melawan Perancis dan Suku Indian itu mengatakan, “perang…akan berkobar tidak
hanya digaris depan, atau di suatu medan perang yang jauh, tapi di tengah-tengah kita. Di
sekitar rumah kita”. Ia benar. Tidak lama kemudian, South Carolina luluh lantah, Charleston
dibakar, dan banyak legiun gugur dalam pertempuran. Dan yang paling mengguncangkan,
anak laki-laki Benjamin yang lain, dibunuh dengan sadis di depan matanya sendiri. Ia
menangis meratap. Ia diam dalam beribu kata.
Perang, sebuah istilah yang terdengar begitu menyeramkan itu, adalah sebuah
kewajaran di masa lampau, bahkan hingga saat ini. Ia seringkali diasosiasikan dengan
patriotisme, dengan jargon-jargon yang membakar emosi: “demi bangsa Amerika”, demi
agama, demi kebebasan, dan demi apapun itu. Ada sesuatu yang dibela, yang dielu-elukan
hingga nyawa boleh ditukar dan dipersembahkan. Mengapa bisa begitu? Mengapa
kehidupan sekarang bisa digadaikan demi cita-cita yang, bisa jadi kita tak sempat
menikmatinya di masa depan? Misalkan kita gugur dalam suatu konfrontasi dan tak sempat
minum satu sloki minuman perjamuan kemenangan? Mungkin peperangan sendiri adalah
perihal perjudian. Artinya, perang adalah permisalan kita mempersiapkan modal untuk
dipertaruhkan. Apabila kita menang, kita akan mendapatkan untung besar, dan apabila
kalah, uang kita raib, dan harus siap menahan lapar. Ini adalah suatu ikhtiar untuk
mendapatkan kenikmatan hidup yang lebih dibandingkan sekarang.
Tapi modal judi tak segaris dengan nyawa manusia, dan uang tak sanggup
menggantinya. Ia sakral sekali. Hal yang menjadi masalah adalah mayoritas politisi di dunia
ini tidak menyadari kemurnian itu, bahkan termasuk pencetus Revolusi Amerika sendiri.
Dengan alasan prestise, dendam, arogansi, para elite sebuah negeri mudah
mendeklarasikan perang. Pasukan disiapkan, dan apabila gagal dalam pertempuran,
serdadu yang baru dan sehat akan terus dikerahkan. Lagipula, bukankah para serdadu itu
bangga jika harus melayani negaranya? Agamanya? Atau bangsanya? Perang tak berakhir
sebelum semuanya habis dan kita tak lagi punya apa-apa untuk disodorkan ke dalam
medan.
Yuval Noah Harari mendeskripsikan fenomena ini dalam bukunya yang berjudul
Homo Deus, salah satu buku yang dinobatkan sebagai karya non-fiksi terbaik oleh Majalah
Time pada tahun 2017. Bagi Harari, dosen Universitas Ibrani itu, semua siklus perang pada
dasarnya disebabkan oleh adanya “mitos besama”, di mana hal ini mampu memberikan
makna hidup bagi siapa yang berkorban untuknya. Mati untuk negara dan bangsa terasa
lebih berharga dibandingkan mati karena keracunan makanan. Mati untuk agama terasa
begitu mulia dibandingkan mati karena bunuh diri. Karena mencintai negara dan agama
lebih utama daripada mencintai diri sendiri. Lebih dari itu, bagi Harari, tak berhentinya
peperangan walaupun kekalahan sudah banyak ditelan, disebabkan oleh suatu jebakan
psikologis dari politisi sebuah negeri. Bayangkan apabila Indonesia berperang melawan
Jepang, dan kita sudah kalah di berbagai kesempatan. Apakah Presiden Indonesia
menyerah dan kemudian berkata kepada kepada keluarga yang ditinggalkan bahwa
Indonesia akan bertekuk lutut, dan menghiraukan begitu saja perasaan kesedihan dan
kehilangan mereka? Tentu tidak. Presiden, alih-alih akan berkata, “Gunawan dan Sutoyo
adalah pahlawan! Mereka benar-benar mempersembahkan hidupnya demi negeri tercinta
ini, dan kita pastikan kematian mereka tidaklah sia-sia. Kita akan terus lanjutkan perjuangan
ini sampai titik darah penghabisan!”. Dan perang dilanjutkan, kita mobilisir lagi pemuda-
pemuda baru, untuk kekalahan-kekalahan baru.
Alkisah, Gabriel Martin, setelah kekasihnya dibakar hidup-hidup di sebuah gereja
dusun oleh tantara Inggris, marah dan ingin membalas dendam. Ia menyerang dengan
sporadis tanpa perencanaan yang matang. Akibatnya ia dengan mudah dikalahkan. Ia mati
dengan satu hunusan pedang menancap di dadanya. Benjamin Martin, sang veteran perang
itu, menangis sejadi-jadinya. Dua buah hatinya telah terenggut oleh peperangan yang kejam
ini. Lalu Kolonel Harry Burwell datang dengan duka, sembari mengajak Benjamin, teman
lamanya itu, untuk bergabung ke dalam gerakan perlawanan, dan “membalaskan dendam
Gabriel”. Benjamin termenung dalam, lalu berkata dengan suara baritonnya “Mengapa
manusia berpikir mereka dapat membenarkan kematian?” Apakah membunuh dengan
alasan-alasan abstrak dapat dibenarkan? Apakah mempersembahkan nyawa demi hal-hal
abstrak harus dipertahankan?

Anda mungkin juga menyukai