Anda di halaman 1dari 3

Black Brothers hingga hari ini masih menjadi kelompok Band dari Tanah Papua yang legendaris dan

pernah sukses di kancah Nasional maupun Internasional. Belum ada group band, bahkan artis yang bisa
setenar Black Brothers.

Jatuh bangun kelompok band asal Kota Jayapura ini tak banyak diketahui orang. Namun band ini
sanggup meruntuhkan hegemoni band rock Indonesia yang saat itu didominasi oleh kelompok band dari
Pulau Jawa.

Adapun fakta yang telah kami rangkum, sebagai berikut:

Awal berdiri pada tahun 1974, Black Brothers menggunakan nama Band PDK. Mereka menggunakan
nama PDK karena menggunakan alat band milik Dinas Pendikan dan Kebudayaan Provinsi Irian Jaya.
Rumah no 8 milik orang tua Andy Ayamiseba, Dirk Ayamiseba di Jalan Lembah II Angkasa Indah,
Jayapura. Di garasi rumah inilah Black Brothers memulai karir musiknya.

Black Brothers didirikan oleh 9 orang. Mereka adalah Andy Ayamiseba, Hengky MS, Benny Bettay,
August Rumwaropen, Stevy Mambor, Yochi Patipeiluhu, Willem Ayamiseba, David Rumagesang dan
Amri Kahar.

Selama aktif di blantika musik Indonesia, perusahaan rekaman Irama Tara telah merekam lagu-lagu
Black Brothers dalam11 album. Irama Tara merekam lagu-lagu hits Black Brothers dalam 3 album Lagu-
lagu terbaik Irama Tara. Black Brothers menciptakan 2 lagu keroncong berjudul Keroncong Kenangan
yang diciptakan oleh Hengky MS dan Kr. Gunung Sicloop ciptaan Jochie Phu. Vokalis dalam dua lagu
keroncong ini adalah Stevie Mambor, penabuh drum Black Brothers yang memiliki suara khas.

Tanggal 28 Desember 1976, Black Brothers melakukan show pertamanya di Istora Senayan, Jakarta.
Dalam show ini Black Brothers tampil bersama SAS, sebuah grup rock dari Surabaya. Yalikole, lagu
berirama disko yang diciptakan oleh Black Brothers masuk dalam deretan lagu disko terbaik di Eropa
pada tahun 1983.

Dua tahun sejak didirikan, Black Brothers memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Di tahun 1976 ini,
setelah bermukim di Jakarta selama beberapa minggu, Black Brothers mendapatkan kontrak pertama
mereka untuk tampil di sebuah restoran.

Setelah era Black Brothers mulai pudar, tercatat 4 grup band yang mencoba mengulang kesuksesan
Black Brothers dengan menggunakan kata “Black” sebagai nama band mereka. Grup band ini adalah
Black Papas, Black Sweet, Black Power, dan Black Family.

Dalam album Those Shocking Shaking Days:Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk
1970–1978 I (2011), "Saman Doye" dari band Black Brothers adalah lagu yang menonjol. Ia tak memakai
lirik bahasa Indonesia atau Inggris, melainkan bahasa Papua. Namun, semburan funk di lagu itu sama
kencangnya dengan, katakanlah, "Shake Me" dari AKA, atau "Don't Talk About Freedom" dari The Gang
of Harry Roesli. Betotan bass yang kenes, suara sax yang tebal, desahan di awal lagu, mengeluarkan
aroma funk nan tegas. Pengamat musik Taufiq Rahman terpukau oleh "Saman Doye." Ia terkesan karena
tak menyangka di Papua tahun 1970-an ada band yang memainkan funk-rock sama baiknya dengan
band funk yang berjaya di era 1960-1970-an, War. "Mendengar intro poliritmis 'Saman Doye', saya
seperti kembali ke Detroit era akhir dekade 1960-an dan berpikir kalau Black Brothers sebenarnya bisa
menjadi superstar funk di Chicago atau L.A." Keheranan Taufiq beralasan. Mungkin hal itu juga menimpa
banyak pendengar musik lain. Di era 1970-an, keriuhan musik rock kebanyakan berpusat di Jawa. Pada
era itu muncul God Bless, AKA, The Rollies, hingga Giant Step. Namun, Black Brothers menjulang dari
Papua. Sejak akhir 1960-an, tanah Papua kedatangan militer Indonesia dalam jumlah besar. Ada banyak
pertempuran terjadi antara militer Indonesia dengan warga Papua. Di sisi lain, militer Indonesia juga
membuat band untuk mengisi waktu senggang.

Dominggus A Mampioper dari Tabloid Jubi mencatat ada banyak band yang dibentuk oleh instansi.
Angkatan Laut, misalkan, membentuk grup Varunas. Kodam Cenderawasih punya grup Tjenderawasih,
sedangkan Acub Zaenak yang pernah menjabat Gubernur Papua 1973-1975, membentuk kelompok
Band Pemda. "Musik berkembang pesat di Papua. Ada beberapa nama dan grup band lokal yang
bermain di klub malam, atau bar. Bahkan ada festival band yang memunculkan musisi Papua," ujar
antropolog Ibiroma Wamla. Pada periode bersamaan, pemuda Henky Merantoni merantau dari Manado
ke Biak. Ia pemusik yang punya jam terbang cukup tinggi. Pernah bermain di kapal Tampomas II, juga
kapal Finish. Gitaris andal ini juga dikenal sebagai pencipta lagu ulung. Saat pindah ke Biak, lalu ke
Jayapura, tak butuh waktu lama untuk bergabung dengan Iriantos. Di Iriantos, Hengky berperan sebagai
gitaris utama. Personel lainnya adalah Sandhy Betay (vokal), Marthy Messet (vokal utama), Agustinus
Romaropen (gitar), Benny Betay (bass), Yohi Patipeiluhu (keyboard), Amry Kahar dan David Rumagesan
(saksofon), dan Stevy Mambor (drum). Dengan peran manajer lihai bernama Andy Ayamiseba, Iriantos
pindah ke Jakarta untuk mengejar karier musik pada 1976. Berkat tangan dinginnya, beberapa pekan
setelah tiba di Jakarta, mereka sudah mendapat kontrak bermain di sebuah restoran. Peran Andy juga
makin penting saat mengubah nama band ini, dari Iriantos menjadi Black Brothers. Setelah menambang
jam terbang cukup banyak, Black Brothers dilirik oleh label rekaman Irama Tara. Di bawah label yang
didirikan oleh Nyo Beng Seng itu, Black Brothers merekam album pertama mereka, Irian Jaya I. Di album
ini juga ada lagu "Kisah Seorang Pramuria" yang diciptakan Hengky. Menurut Ibiroma, album itu sempat
mendapat kritik karena menampilkan lagu "Kisah Seorang Pramuria" yang sudah populer lebih dulu oleh
The Mercys. Black Brothers dianggap mendompleng nama besar Mercys. Padahal lagu itu adalah ciptaan
Hengky yang dibuat pada 1972. Saat itu Hengky masih bermain dalam grup Galaxy's 69 di Sorong.
Hengky juga seperti punya ketertarikan dengan tema pramuria. Setidaknya ia membuat beberapa lagu
dengan judul mengandung kata pramuria. Selain lagu tersohor itu, ada juga "Cinta dan Pramuria",
"Untukmu Pramuria", "Doa Pramuria", Balada Pramuria", dan "Pramuria Tapi Biarawati." Di album
perdana Black Brothers, ada beberapa lagu hits. Salah satunya adalah interpretasi ulang lagu daerah
Papua, "Apuse". Awalnya lagu ini bertempo lambat. Hingga di menit 1:20, saat gitar solo Hengky masuk,
tempo berubah jadi ngebut. Funk dengan tenaga penuh! Diakhiri dengan sirkus sinkopasi antara gitar
dan drum. Salah satu momen penting dalam karier Black Brothers datang pada 28 Desember 1976. Atas
inisiatif kelompok mahasiswa Papua di Jakarta, Black Brothers manggung bersama SAS, grup band
pecahan AKA yang terdiri dari Soenata Tanjung, Arthur Kaunang, dan Syech Abidin. Dua band funk rock
ini manggung di Istora Senayan.

Anda mungkin juga menyukai