7f519 4. Desain Tebal Perkerasan Jalan Lentur PDF
7f519 4. Desain Tebal Perkerasan Jalan Lentur PDF
A. Umum
Metode perencanaan penentuan tebal perkerasan didasarkan pada buku Petunjuk Perencanaan
Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen No. SNI 1732-1989-F.
CBR mewakili
h .CBR
1 1
1
3
h 2 .CBR 2 3 h3 .CBR 3 3 h n .CBR n
1 1 1
3
3
h1 h 2 h3 h n
(Sumber : Manual For Design and Construction of Asphalt Pavement, Japan Road
Association, 1980)
d. Jika h1+h2 < 40, CBR1 < CBR2 < CBR3 CBR mewakili > CBR1
e. Jika h1+h2 < 40, CBR2 < CBR1 < CBR3 CBR mewakili > CBR2
f. Jika h1+h2 < 40, CBR3 < CBR1 < CBR2 CBR mewakili > CBR3
Sumber : Design Parameter and Model for the Road Works Design System, Sub
Directorate of Technical Planning Bina Program Jalan, Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Bina Marga, April 1987.
h1
h2
h3
Pada satu segmen jalan, pengambilan CBR untuk perencanaan dilakukan setiap jarak 200
meter ditambah pada setiap lokasi terjadinya perubahan jenis tanah atau kondisi
lingkungan.
CBR design yang mewakili pada segmen jalan tersebut adalah :
CBR design = CBR rata-rata - std CBR
std CBR = standard deviasi nilai CBR.
Pada badan jalan yang terletak diatas tanah timbunan yang lebih besar dari 1 meter maka :
CBR design = CBR timbunan. Apabila perencanaan dilakukan serempak dalam beberapa
segmen sehingga diperlukan waktu yang singkat dalam penentuan nilai CBR design, maka
nilai CBR design dapat ditentukan dengan alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP) dan
dilakukan langsung dilapangan.
CBR design juga dapat diambil berdasar metode Bina Marga.
Persyaratan untuk perencanaan daya dukung tanah dasar yang baik minimum nilai CBR
adalah 6 %. Korelasi antara Daya Dukung Tanah (DDT) dengan CBR diberikan dalam
bentuk Nomogram seperti pada Gambar 5.3. dengan persamaan sebagai berikut :
DDT = 4,3 log (CBR) + 1,7
2. Faktor Regional
Faktor regional (Tabel 2.1.) ditentukan oleh beberapa hal yaitu :
Keadaan iklim
(<6%) ( 6 - 10 % ) ( > 10 % )
Iklim : > 900 mm/th 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa Komponen, 1987.
Faktor Regional
Tebal
Perkerasan
Indeks Permukaan
Gambar 2.2.
DDT CBR
100
10 90
80
70
60
50
9
40
30
8
20
7
10
6 9
8
7
6
5
5
4
4 3
3 2
2
1
Gambar 2.3. : Korelasi antara Daya Dukung Tanah (DDT) dan CBR
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada jalur
rencana ditentukan menurut Tabel 2.3.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 4
Desain Tebal Perkerasan Jalan Lentur
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa
Komponen, 1987.
4. Volume lalu-lintas
Untuk perencanaan jalan diperlukan suatu kemampuan memperkirakan volume lalu-lintas yang
diharapkan melewati suatu jalur jalan. Volume lalu-lintas adalah jumlah kendaraan yang
melewati satu titik pengamatan pada suatu jalur jalan selama satu satuan waktu. Untuk
mendapatkan volume lalu lintas dilakukan survey volume lalu lintas. Survai volume lalu-lintas
dilakukan selama 3 x 24 jam atau 3 x 16 jam terus menerus dari hari Selasa sampai dengan
Kamis dan bukan hari libur. Dalam survai volume lalu-lintas untuk kebutuhan perencanaan
tebal perkerasan, jenis kendaraan dibagi dalam komposisi sebagai berikut :
1) Sedan, jeep, dan station wagon
2) Oplet, pick up suburban dan combi (penumpang)
3) Micro truck dan Mobil penumpang
4) Bis kecil
5) Bis besar
6) Truk 2 As
7) Truk Tangki 2 As > 10 T
8) Truk Tangki gandengan
9) Truk 3 As atau lebih
Dari hasil survai volume lalu lintas dapat diketahui :
Lalu lintas Harian rata-rata (LHR).
Komposisi arus lalu lintas.
Catatan :
Tata-cara survai volume lalu-lintas (traffic counting), tergantung ketentuan lain yang
diberlakukan.
dimana :
L = beban sumbu kendaraan (ton)
k = 1 : untuk sumbu tunggal
= 0,086 : untuk sumbu tandem
= 0,021 : untuk sumbu triple
Dengan rumus diatas maka angka ekivalen beban sumbu kendaraan dapat diketahui, untuk
lebih praktisnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. : Angka ekivalen beban sumbu.
Beban sumbu Angka ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1.000 2.205 0,0002 -
2.000 4.409 0,0036 0,0003
3.000 6.614 0,0183 0,0016
4.000 8.818 0,0577 0,0050
5.000 11.023 0,1410 0,0121
6.000 13.228 0,2933 0,0251
7.000 15.432 0,5415 0,0466
8.000 17.637 0,9328 0,0794
8.160 18.000 1,0000 0,0860
9.000 19.841 1,4798 0,1273
10.000 22.046 2,2555 0,1940
11.000 24.251 3,3022 0,2840
12.000 26.455 4,6770 0,4022
13.000 28.660 6,4419 0,5540
Konfigurasi beban sumbu pada berbagai jenis kendaraan beserta angka ekivalen kendaraan
dalam keadaan kosong (min) dan dalam keadaan bermuatan (max), dapat dilihat pada Tabel
2.5.
Untuk perencanaan, berat kendaraan harus disurvai sehingga dapat diketahui berat rata-rata
tiap kendaraan yang melewati jalur tertentu. Tetapi bila waktu tidak mencukupi untuk
mengadakan survai maka diambil diantara dalam keadaan kosong sampai dengan keadaan
muatan maksimum. Angka Ekivalen tiap jenis kendaraan diatas dapat dihitung berdasarkan
Tabel 2.4. dengan persentase konfigurasi beban sumbu pada Tabel 2.5. serta rumus angka
ekivalen beban sumbu tunggal dan ganda diatas.
MAKSIMUM (ton)
MAKSIMUM (ton)
RODA TUNGGAL
SUMBU & TIPE
KONFIGURASI
BERAT TOTAL
UE 18 KSAL
MAKSIMUM
KOSONG
1,1
1,5 0,5 2,0 0,0001 0,0005
HP
50% 50%
25% 75%
1,22
5 20 25 0,0044 2,7416
TRUK
(Sumber : Manual Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No. 01/MN/BM/83).
6. Lintas ekivalen
Yang dimaksud dengan lintas ekivalen adalah suatu nilai ekivalen tingkat kerusakan jalan
akibat repetisi dari lintasan kendaraan selama satu satuan waktu.
Lintas Ekivalen dibedakan atas :
a. Lintas Ekivalen Permulaan
Yaitu besarnya lintas ekivalen pada saat jalan dibuka (awal umur rencana).
Dimana :
LHR = Lalu lintas harian rata-rata
n
C = Koefisien distribusi LEP LHRC E
j1
j j j
kendaraan sesuai dengan
jumlah lajur
E = Angka ekivalen (faktor kerusakan jalan akibat lalu lintas kendaraan)
J = Jenis kendaraan
i = Perkembangan j 1 lalulintas
7. Indeks Permukaan
Indeks Permukaan (IP) ini menyatakan nilai dari pada kerataan / kehalusan serta kekokohan
permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Indeks
permukaan ini diukur dari kemampuan pelayanan (service ability) suatu jalan berdasarkan
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 8
Desain Tebal Perkerasan Jalan Lentur
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya seperti yang tersebut dibawah ini :
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat
mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1,5 : Tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus).
IP = 2,0 : Tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5 : Menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
IP > 2,5 : Menyatakan permukaan jalan cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis
lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana
menurut Tabel 2.6.
Dalam menentukan IPt pada akhir umur rencana perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi
fungsional jalan dan LER menurut Tabel 2.7.
Laston 4 1000
3,9 - 3,5 > 1000
Lasbutag 3,9 - 3,5 2000
3,4 - 3,0 > 2000
HRA 3,9 - 3,5 2000
3,4 - 3,0 > 2000
Burda 3,9 - 3,5 < 2000
Burtu 3,4 - 3,0 < 2000
Lapen 3,4 - 3,0 3000
2,9 - 2,5 > 3000
Lastasbum 2,9 - 2,5
Buras 2,9 - 2,5
Latasir 2,9 - 2,5
Jalan Tanah 2,4
Jalan Kerikil 2,4
Klasifikasi Jalan
LER =
Lintas Ekivalen Rencana *) Lokal Kolektor Arteri Tol
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Tingkat pelayanan lalu-lintas selama umur rencana ditentukan dari rasio kehilangan
kemampuan pelayanan. Masa kemampuan pelayanan ini dapat dilihat pada Gambar
5.4.
IPo
5
4 IPt
3
Umur rencana
Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis
permukaan, pondasi, pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test
(untuk bahan dengan aspal), kuat tekan (untuk bahan yang stabilisasi dengan semen atau
kapur), atau CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah).
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa
Komponen, 1987.
Koefisien kekuatan relatif bahan untuk Cement Treated Base (CTB) sebagai berikut :
CTB dengan kuat tekan > 45 kg/cm2 : a = 0,23
CTB dengan kuat tekan 28 - 45 kg/cm2 : a = 0,20
CTB dengan kuat tekan < 28 kg/cm2 : a = 0,15
(Sumber : Teknik Jalan Raya, Clarkson H Oglesby, R Gary Hicks, Jilid 2, 1996)
dimana :
a1 = Koefisien kekuatan relatif lapisan permukaan.
a2 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi atas perkerasan beraspal.
a3 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi atas perkerasan berbutir.
a4 = Koefisien kekuatan relatif lapisan pondasi bawah.
D1 = Tebal lapisan permukaan.
D2 = Tebal lapisan pondasi atas perkerasan beraspal.
D3 = Tebal lapisan pondasi atas perkerasan berbutir.
D4 = Tebal lapisan pondasi bawah.
Nilai ITP dapat ditentukan dengan menempatkan nilai-nilai daya dukung tanah (DDT),
Lalu-lintas Ekivalen Rencana (LER) dan Faktor Regional (FR) pada Nomogram Gambar
2.6. – 2.7. – 2.8. yang diberikan pada lembar akhir dari bab ini.
dimana :
LER = Lintas Ekivalen Rencana.
ITP = Indeks Tebal Perkerasan.
IPo = Indeks permukaan pada awal umur rencana.
IPt = Indeks permukaan pada akhir umur rencana.
FR = Faktor Regional.
DDT = Daya Dukung Tanah.
Persamaan ini dapat untuk menyelesaikan nomogram seperti pada Gambar 2.6. – 2.7. – 2.8.
C. Konstruksi Bertahap
Konstruksi bertahap adalah konstruksi perkerasan lentur yang memiliki satu lapis pondasi
bawah, satu lapis pondasi atas dan dua lapis permukaan, dimana kedua lapis
permukaan tersebut dari bahan aspal beton atau sejenis yang dikerjakan secara berurutan
dengan selang waktu tertentu menurut ketetapan yang ditentukan dalam proses desain.
Perlu dijelaskan disini, bahwa pada saat pekerjaan lapis permukaan kedua (sebagai lapis
tambahan), kondisi struktur perkerasan tahap pertama masih stabil. Hal inilah yang
membedakan pekerjaan konstruksi bertahap dengan pekerjaan peningkatan jalan (pekerjaan
lapis tambahan) karena pada pekerjaan peningkatan jalan, di akhir masa layan, struktur
perkerasan lama telah mencapai kondisi kritis / runtuh.
Manfaat dari desain konstruksi bertahap antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut :
Memungkinkan peningkatan kondisi perkerasan dengan memperbaiki kelemahan setempat
yang dijumpai di antara konstruksi tahap pertama dengan tahap kedua.
Jika terdapat kesalahan perencanaan atau konstruksi atau material lapis pondasi atau
lapis pondasi bawah, maka koreksi masih dapat dilakukan dengan biaya yang lebih murah.
Jika beban lalu-lintas tidak dapat diperkirakan dengan baik maka penyesuaian desain
dapat dilakukan pada konstruksi tahap kedua.
Konstruksi bertahap dipertimbangkan seandainya pendanaan pembangunan jalan juga
harus disediakan secara bertahap juga.
Namun, disamping manfaat tersebut terdapat juga kerugian yang dapat terjadi akibat
pentahapan konstruksi perkerasan, seperti misalnya :
Kualitas lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah harus tetap baik sesuai dengan
persyaratan yang diminta.
Karena konstruksi perkerasan tahap kedua diberikan pada saat struktur perkerasan tahap
pertama masih dalam kondisi yang baik, maka hal ini dapat memberikan kesan bahwa
jalan yang masih baik sudah dilapis kembali.
Pembangunan konstruksi tahap kedua memberi dua kali gangguan lalu-lintas yaitu dalam
pengertian biaya transportasi total, gangguan terhadap kelancaran lalu-lintas tersebut
dapat meningkatkan biaya operasi kendaraan, biaya kelambatan perjalanan maupun biaya
kecelakaan.
Beberapa utilitas jalan yang sudah dibangun ditahap pertama harus dibangun kembali
setelah tahap kedua, seperti marka, posisi rambu, dan fasilitas drainase.
Ketentuan dasar desain konstruksi bertahap menurut metoda Analisa Komponen adalah
bahwa perioda desain tahap pertama harus ditetapkan tidak boleh lebih besar dari pada 50
% total masa layan. Dengan demikian, beban lalu-lintas yang dipikul oleh struktur
perkerasan pada tahap pertama dan kedua berturut-turut adalah :
a. Pada akhir tahap pertama, struktur perkerasan dianggap masih memiliki sisa umur sebesar 40
%, atau :
X LER1 = LER1 + 40 % X LER1
Dan didapat nilai : X = 1,67
Jadi, nilai ITP untuk konstruksi tahap pertama (ITP1) dapat dihitung berdasarkan beban lalu-
lintas sebesar 1,67 LER1
b. Konstruksi tahap pertama, tanpa pemberian konstruksi tahap kedua, akan mampu melayani
60 % dari total masa layan, atau :
Y LER2 = LER1 + LER2
= 60 % Y LER2 + LER2
Dan didapat nilai : Y = 2,50
Serupa seperti untuk ITP1, nilai ITP total (ITPtotal)yang diperlukan untuk memikul beban lalu-
lintas selama masa layan dapat dihitung berdasarkan beban lalu-lintas sebesar 2,5 LER2
d. Tebal lapis tambahan, sebagai pekerjaan tahap kedua dapat dihitung dengan rumus sebagai
ITP2
Do
ao
berikut :
dimana :
Do = Tebal lapis tambahan
ao = Koefisien kekuatan relatif
Sumber : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya dengan metode Analisa
Komponen, 1987.
Gambar 2.5. menunjukkan bagan alir perencanaan perkerasan cara Bina Marga Analisa
Komponen untuk perencanaan pelapisan tambahan.
BAGAN ALIR PERENCANAAN PERKERASAN CARA ANALISA KOMPONEN
BAGAN ALIR PERENCANAAN PERKERASAN
( PELAPISAN TAMBAHAN CARA
) ANALISA KOMPONEN
( UNTUK PELAPISAN TAMBAHAN )
Mulai
Indek Tebal
Test Pit Perkerasan (ITP)
Tebal Perkerasan
Pelapisan Tambahan
Selesai
Beban yang diperhitungkan adalah beban hidup yang berupa beban tekanan sumbu roda
kendaraan yang lewat diatasnya yang dikenal dengan axle load. Dengan demikian, beban
mati (berat sendiri) konstruksi diabaikan.
Kapasitas konstruksi perkerasan jalan dalam besaran sejumlah repetisi (lintasan)
beban sumbu roda lalu-lintas dalam satuan standar axle load yang dikenal dengan
satuan EAL (equivalent axle load). Satuan standar axle load adalah axle load yang
mempunyai daya rusak kepada konstruksi perkerasan sebesar 1. Dan axle load yang
bernilai daya rusak sebesar 1 tersebut adalah single axle load sebesar 18.000 lbs atau 18
kips atau 8,16 ton.
Tercapainya atau terlampauinya batas kapasitas konstruksi (sejumlah repetisi EAL) akan
menyebabkan berubahnya konstruksi perkerasan yang semula mantap menjadi tidak
mantap. Kondisi tidak mantap tersebut tidak berarti kondisi failure ataupun collapse.
Dengan demikian istilah failure atau collapse secara teoritis tidak akan (tidak boleh) terjadi
karena kondisi mantap adalah kondisi yang masih baik tetapi sudah memerlukan
penanganan berupa pelapisan ulang (overlay). Kerusakan total (failure, collapse)
dimungkinkan terjadi di lapangan, menunjukkan bahwa konstruksi perkerasan jalan
tersebut telah diperlakukan salah yaitu mengalami keterlambatan dalam penanganan
pemeliharaan baik rutin maupun berkala untuk menjaga tidak terjadinya collapse atau
failure dimaksud.
Banyak dikenal bentuk formula damage factor, dalam bahasan ini akan diberikan damage
factor yang sudah dianut oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).
4
P
DF Sgl 1 , 000
8 ,16
P P
4
P
DFTdm 0,086
8,16
P P
4
P
DFTrp 0,053
8,16
P P
Bila kita perhatikan damage factor formula sebagaimana tercantum diatas, dapat
ditarik beberapa kesimpulan yang sangat menarik sebagai berikut :
o Dari analisis konversi jenis truck diatas dapat dipetik kesimpulan bahwa
pemilihan jenis truck yang salah tidak hanya berdampak pada kecepatan
kerusakan jalan (sebagai kerugian Pembina Jalan) tetapi juga kerugian
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 21
Desain Tebal Perkerasan Jalan Lentur
ITP ITP
15 Nomogram
2 3 1
DDT P = 8,16 t 3
1 413
10
1 IPt = 2,5
9 211 IPo = 3,9 – 3,5
LE 4
10
8 10.000R
5.000 9
5
7 1.00 8 FR
0 500 6
6 7 0.5
100 1.0
2.0 7
5 50 6
5.0
8
4 10
5 5 9
3
1.0 10
0.5 4
2 11
1
1
3 213
14
1
5
ITP
ITP
15
1 Nomogram
2 3 143 P = 8,16 t 3
DDT
1 1
10 IPt = 2,0
2
11 IPo = 3,9 – 3,5
9 4
LE 10
8 10.000R 9
5.000 5
7 8
1.00 FR
0 50 6
6 7 0.5
0 1.0
100 2.0
5 6 7
50
5.0
8
4 10
5 5 9
3
1.0 10
0.5 4
2 11
1
1 2
13
3
14
1
5
Gambar 2.7. Nilai ITP dari Nomogram
15 Nomogram
1
413 3
DDT 2 3
1 1 P = 8,16 t
10 211 IPt = 1,5
4
IPo = 3,9 – 3,5
9 LER 10
9 5
8 10.000
5.000 8
7 1.00 FR 6
0 500 7 0.5
1.0
6 2.0 7
100 6
5 50 5.0
8
4 10 5 9
5
3 10
1.0 4
0.5 11
2
1
1 3 2
13
14
1
Gambar 2.8. : Nilai ITP 5
F. Rangkuman.
Dalam Bab II ini membahas Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan diuraikan tentang Ketentuan
Umum yang mendasari perencannan teknis jalan, yaitu : Peraturan perundangan terkait
perencanaan jalan dan beberapa pengertian istilah yang dianggap penting dalam perencanaan
jalan.
Persyaratan Teknis Perencanaan Jalan yang berkaitan dengan parameter : Kecepatan rencana,
Lebar Badan Jalan, Kapasitas Jalan, Jalan Masuk, Persimpangan Sebidang dan Fasilitas
berputar Balik, Bangunan Pelengkap Jalan, Perlengkapan Jalan, Penggunaan Jalan Sesuai
Fungsinya,dan Ketidak putusan Jalan
Kriteria Teknis Perencanaan Jalan.
Kriteria Teknis Perencanaan Jalan yang berkaitan dengan aspek : Tahapan Perencanaan Jalan,
Fungsi Jalan, Kelas Jalan, Bagian-bagian Jalan, Dimensi Jalan, Muatan Sumbu Terberat, Volume
lalu Lintas, Kapasitas, Persyaratan Geometrik Jalan, Konstruksi Jalan, Konstruksi Bangunan
Pelengkap Jalan, Perlengkapan Jalan, Kelestarian Lingkungan dan Ruang Bebas Jalan
E. Latihan
1. Sebutkan Undang-Undang yang berkaitan persyaratan teknis perencanaan jalan dan
uraikan tiga (3) contoh dari pasal/ketentuan yang ada, yang berkaitan dengan aspek teknis
perencanaan jalan.
2. Jelaskan mengenai pengertian kecepatan rencana
3. Jelaskan mengenai pengertian kapasitas jalan
4. Uraikan mengenai tahapan perencanaan jalan
5. Jelaskan mengenai pengertian muatan sumbu terberat