Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS KESIAPAN PETANI DALAM MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.

0
(STUDI KASUS PROVINSI DI YOGYAKARTA)

Nurmawiya1, Robert Kurniawan 2


1 Jurusan Statistika Sosial dan Kependudukan Politeknik Statistika STIS
2 Jurusan Komputasi Statistika Politeknik Statistika STIS

Corresponding author: 16.9340@stis.ac.id

Abstract. Pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan
rakyat. Jumlah penduduk yang terus bertambah seharusnya diimbangi dengan peningkatan ketersediaan
pangan yang cukup. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya sektor pertanian seyogyanya diintegrasikan
dengan perkembangan teknologi. Revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan mesin otomatis
yang terintegrasi dengan jaringan internet merupakan tantangan menuju pertanian modern dalam mencapai
target swasembada pangan berkelanjutan. Namun, untuk menghadapi era tersebut diperlukan kesiapan dalam
berbagai aspek, terutama petani sebagai pelaksana. Sehingga, penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi
kondisi kesiapan petani dan melihat faktor yang memengaruhinya. Data yang digunakan adalah data dari
Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu data Survei Pendapatan Petani (SPP) 2013 Provinsi DI Yogyakarta.
Kesiapan petani diukur melalui pendekatan readiness subindex yang merupakan komposit dari networked
readiness index oleh World Economic Forum (WEF). Hasil analisis dengan metode regresi logistik biner
menunjukkan bahwa petani memiliki kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 jika
berpendapatan tinggi, berumur muda, mengikuti penyuluhan pertanian, dan berjenis kelamin laki-laki. Dengan
demikian, disarankan untuk memanfaatkan karang taruna dan kelompok tani sebagai sarana melaksanakan
penyuluhan dan pelatihan skill bertani. Di sisi lain, diperlukan sosialisasi penggunaan teknologi, seperti
internet yang akan memudahkan petani dalam menjual hasil produksi, sehingga dapat meminimalisasi rantai
distribusi.

Keywords: kesiapan petani, readiness subindex, logistik biner.

PENDAHULUAN

Pangan merupakan persoalan krusial dalam menunjang kelangsungan hidup rakyat. Sebagai pilar
penyedia pangan, sektor pertanian seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan pangan seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk. Maka dari itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan adanya
integrasi dengan perkembangan teknologi untuk melipatgandakan hasil produksi. Revolusi industri 4.0 sebagai
fase keempat dari perjalanan sejarah revolusi industri yang dimulai pada abad ke-18 merupakan solusi
sekaligus tantangan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan pangan berkelanjutan melalui pertanian modern.
Karakteristik utama dari revolusi industri 4.0 adalah adanya internet, 3D printer, teknik genetika,
penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan (green energy), pembangunan industri high tech, serta
transportasi berupa mobil listrik dan kereta ultra cepat (Prisecaru, 2016). Sementara itu, jika dikaitkan dengan
sektor pertanian, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam usaha pertanian untuk menghadapi revolusi
industri 4.0 adalah seperti pada bagan berikut.

| 165
Sumber : (Braun, et. al., 2018).
Pada bagan tersebut terlihat bahwa proses pertanian dalam era revolusi industri 4.0 erat berkaitan
dengan jumlah data yang besar, penanaman cerdas dan proses penjadwalan, akses yang fleksibel,
pengamanan arus data berkelanjutan, konstruksi moduler, dan mudah digunakan (user-friendly) yang mana
seluruhnya terintegrasi dalam sistem internet (Internet of Things/IoT). Melalui sitem tersebut memungkinkan
petani untuk berpartisipasi dalam e-commerce, sehingga konsumen dapat dengan mudah terhubung ke
penyuplai dan masuk dalam rantai distribusi (Prisecaru, 2016). Hal ini tentunya akan menguntungkan petani
dalam memaksimalkan hasil produksi dan meminimalisasi rantai distribusi.
Untuk menuju pertanian modern berbasis revolusi industri 4.0, diperlukan kesiapan dari seluruh aspek,
terutama petani sebagai pelaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran untuk mengetahui kesiapan petani
dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Ukuran tersebut memiliki urgensi terkait pengambilan dan evaluasi
kebijakan oleh stakeholder yang nantinya akan berpengaruh terhadap kesiapan petani di masa yang akan
datang.
Kesiapan petani tersebut dapat diukur melalui readiness subindex yang merupakan komposit dari
Networked Readiness Index (NRI). NRI adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa siap setiap negara
untuk menuai manfaat dari transisi revolusi industri 4.0 (Breene, 2016). NRI terdiri dari empat elemen, yaitu
environment subindex, readiness subindex, usage subindex, dan impact subindex. Dari empat elemen
tersebut, readiness subindex adalah elemen yang mengukur sejauh mana masyarakat di suatu negara
dipersiapkan untuk menggunakan konten digital dan infrastruktur informasi, komunikasi, dan teknologi yang
terjangkau (Bilbao-Osorio, et.al., 2014). Oleh karena itu, pengukuran kesiapan petani dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan terhadap readiness subindex. Selain mengukur kesiapan petani, penelitian ini juga
bertujuan untuk menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi kesiapan tersebut

166 |
METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu Survei Pendapatan Petani (SPP)
2013 Provinsi DI Yogyakarta. Jumlah rumah tangga (ruta) yang menjadi sampel dalam survei tersebut adalah
sebanyak 6075 ruta. Sementara itu, objek observasi dalam penelitian ini adalah petani yang merupakan
anggota ruta tersebut, yaitu sebanyak 6728 petani.
Kesiapan petani diukur melalui pendekatan terhadap readiness subindex. Readiness subindex terdiri dari
tiga pilar, yaitu infrastruktur dan konten digital, keterjangkauan, dan skill. Pilar infrastruktur dan konten digital
terdiri dari variabel konsumsi listrik per kapita, proporsi penggunaan mobile network, bandwith internet
internasional per pengguna, server internet yang aman, dan akses terhadap konten digital. Sementara itu,
pilar keterjangkauan terdiri dari tarif penggunaan seluler, tarif internet, serta indeks kompetisi internet dan
telepon. Kemudian, pilar skill terdiri dari kualitas sistem pendidikan, kualitas pendidikan matematika dan sains,
partisipasi pendidikan sekunder, dan status melek huruf. Untuk pembentukan indeks, masing-masing pilar
diberi bobot 1/3 (Bilbao-Osorio, et. al., 2014). Namun, karena keterbatasan data, pengukuran kesiapan petani
dalam penelitian ini hanya meliputi dua pilar, yaitu pilar skill yang terdiri dari status melek huruf dan partisipasi
pendidikan sekunder, serta pilar infrastruktur dan konten digital, yang hanya terdiri dari akses konten digital
melalui pendekatan akses teknologi, informasi, dan komunikasi. Kemudian, masing-masing pilar diberi bobot
½.
Kesiapan petani dapat dilihat dari kenaikan pendapatan dan kesejahteraan petani. Kenaikan pendapatan
petani mengindikasikan adanya kemampuan finansial untuk memiliki gadget atau peralatan lainnya dalam
menggunakan jasa layanan internet yang nantinya akan memicu penggunaan e-commerce pada kalangan
petani (Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI, 2018). Dalam penelitian ini, variabel kenaikan
pendapatan didekati melalui pendapatan yang kemudian akan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu pendapatan
rendah, menengah, dan tinggi. Kategori tersebut merujuk pada pembagian kelompok pendapatan oleh Bank
Dunia, yaitu 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah, dan 20%
penduduk berpendapatan tinggi (BPS, 2015). Berkaitan dengan pendapatan, di Indonesia terdapat
ketimpangan dalam memperoleh pendapatan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0,5 (The Global Gender
Gap Report 2014). Dalam hal ini laki-laki cenderung memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan
perempuan.
Di sisi lain, berdasarkan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun 2015, karakteristik petani pengguna
internet adalah petani muda yang sudah sadar teknologi. Untuk daerah Yogyakarta, sebagian besar petaninya
telah lanjut usia dan hanya sebagian kecil yang mengenal internet, bahkan beberapa ada yang tidak memiliki
handphone. Selain itu, dari 40 sampel petani di Yogyakarta hanya 12,5% yang memiliki akses ke internet.
Oleh karena itu, faktor umur dinilai memiliki pengaruh terhadap kesiapan petani.
Kemudian, faktor lain yang memengaruhi kesiapan petani adalah skill atau pelatihan. Menurut Payut,
orang-orang harus belajar dan beradaptasi untuk hidup dengan teknologi dan memanfaatkannya. Para pekerja
tidak harus digantikan dengan robot, akan tetapi mereka harus membagun skill (Jones, et. al., 2017). Hal ini
juga didukung dalam publikasi Deloitte Insight 2018, yaitu untuk menghadapi revolusi industri 4.0, pekerja
harus dijadikan prioritas dengan menciptakan budaya belajar dan kolaborasi, serta menciptakan kesempatan
pelatihan.
| 167
Berdasarkan kajian literatur tersebut, berikut adalah variabel-variabel yang digunakan.
Y : Status kesiapan petani (siap, tidak siap). Petani dikatakan siap jika nilai indeks kesiapan lebih dari
0,77. Hal ini merujuk pada klasifikasi NRI, yaitu dikatakan bagus jika bernilai 5,4 dari nilai maksimal 7.
X1 : Pendapatan petani (tinggi, menengah ke bawah (referensi kategori)).
X2 : Jenis kelamin (laki-laki, perempuan (referensi kategori)).
X3 : Umur petani.
X4 : Keikutsertaan penyuluhan (ya, tidak (referensi kategori)).
Dari variabel-variabel yang telah disebutkan di atas, maka model yang sesuai adalah model logistik biner
dengan beberapa prediktor (multiple logistic regression). Berikut adalah bentuk persamaan umumnya (Agresti,
2002).

………..…………. (1)
…......... (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut adalah hasil penelitian yang diringkas dalam beberapa tabel deskriptif sebagai berikut.
Tabel 1. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan
Siap Tidak Siap
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
934 13,88 5794 86,12
Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 13,88% petani yang siap menghadapi revolusi industri 4.0 atau
sebanyak 934 orang dari 6728 sampel petani, sedangkan sisanya tidak siap menghadapi revolusi industri 4.0.
Tabel 2. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Kelompok Pendapatan
Siap Tidak Siap
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Pendapatan Tinggi 247 18,36 1098 81,64
Pendapatan Menengah ke Bawah 687 12,76 4696 87,24
Tabel 2 menunjukkan terdapat 18,36% dari petani berpendapatan tinggi siap menghadapi revolusi
industri 4.0, sedangkan 81,64% sisanya tidak siap. Sementara itu, terdapat 12,76% dari petani berpendapatan
menengah ke bawah siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 87,24% sisanya tidak siap. Hasil ini
menunjukkan bahwa kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 dimiliki oleh petani yang
berpendapatan tinggi. Proksi ini memiliki kesesuaian dengan pernyataan Departemen Kajian dan Aksi
Strategis BEM FEB UI, 2018 tentang kenaikan pendapatan yang dapat mendukung kesiapan petani.

Tabel 3. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Jenis Kelamin

168 |
Siap Tidak Siap
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Laki-laki 821 15,91 4339 84,09
Perempuan 113 7,21 1455 92,79
Tabel 3 menunjukkan terdapat 15,91% dari petani laki-laki siap menghadapi revolusi industri 4.0,
sedangkan 84,09% sisanya tidak siap. Sementara itu, hanya 7,21% dari petani perempuan yang siap
menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 92,79% sisanya tidak siap. Hasil tersebut menunjukkan adanya
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut bersesuaian dengan publikasi The Global Gender
Gap Report 2014 oleh WEF.
Tabel 4. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Pengelompokan Status Umur Produktif
Siap Tidak Siap
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Umur produktif (15-64) 847 16,38 4325 83,62
Umur Tidak Produktif (>64) 87 5,59 1469 94,41
Tabel 4 menggunakan pengelompokan umur berdasarkan status umur produktifnya. Pengelompokan ini
hanya untuk memudahkan analisis deskriptif, sedangkan di model pada analisis inferensia variabel umur tidak
dikelompokkan. Tabel tersebut menunjukkan terdapat 16,38% dari petani umur produktif siap menghadapi
revolusi industri 4.0, sedangkan 83,62% sisanya tidak siap. Sementara itu, hanya 5,59% dari petani pada
umur tidak produktif yang siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 94,41% sisanya tidak siap. Hasil
ini membuktikan bahwa petani muda yang didekati dengan pengelompokan berdasarkan umur produktif lebih
siap menghadapi revolusi industri 4.0. Hal ini bersesuaian dengan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun
2015 karena petani muda sudah memiliki kesadaran terhadap teknologi.
Tabel 5. Frekuensi Petani Berdasarkan Status Kesiapan dan Keikutsertaan Penyuluhan
Siap Tidak Siap
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Ikut Penyuluhan 345 15,99 1812 84,01
Tidak Ikut Penyuluhan 589 12,89 3982 87,11
Tabel 5 menunjukkan terdapat 15,99% dari petani yang ikut penyuluhan siap menghadapi revolusi
industri 4.0, sedangkan 84,01% sisanya tidak siap. Sementara itu, terdapat 12,89% dari petani yang tidak ikut
penyuluhan siap menghadapi revolusi industri 4.0, sedangkan 87,11% sisanya tidak siap. Hasil tersebut
membuktikan bahwa minat petani untuk mengikuti penyuluhan pertanian cukup rendah. Hal ini bersesuaian
dengan hasil survei oleh Kemkominfo pada tahun 2015.
Selanjutnya, berikut adalah hasil penghitungan untuk analisis inferensia dengan model multiple
regression logistic menggunakan program R berdasarkan penjabaran pada Dasar-Dasar Statistika Dengan
Software R (Pramana, et. al., 2017).

Tabel 6. Estimasi Koefisien dan P-Value


| 169
Prediktor Estimasi Koefisien p-value
(Intercept) -0,5063 0,00323
Pendapatan tinggi 0,4048 2,79×
Laki-laki 0,7559 1,73×
Umur -0,0407 < 2×
Ikut penyuluhan 0,1312 0,08925
Uji Wald-Z atau uji parsial dapat dilihat melalui p-value dan berikut adalah hipotesis ujinya.
H0 : Tidak terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
H1 : Terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan terdapat cukup bukti bahwa setiap variabel independen
berpengaruh terhadap variabel dependen pada tingkat signifikansi 10%. Sementara itu, berdasarkan hasil
estimasi koefisien logistiknya dapat diperoleh model sesuai dengan persamaan (1) sebagai berikut.

Apabila ditransformasi logit, persamaannya mengikuti persamaan (2) seperti berikut.

Untuk mengetahui kecenderungan akibat pengaruh dari variabel dependen, koefisien logistik tersebut
dieksponensialkan, sehingga menghasilkan output berupa odds ratio. Berikut adalah odds ratio beserta
confidence interval odds ratio.
Tabel 7. Odds Ratio dan Confidence Interval Odds Ratio
Confidence Interval
Prediktor Odds Ratio
Batas bawah (2.5%) Batas atas (97,5%)
(Intercept) 0,6027 0,4295 0,8429
Pendapatan tinggi 1,499 1,264 1,7738
Laki-laki 2,1296 1,7332 2,6389
Umur 0,96 0,9546 0,9655
Ikut penyuluhan 1,14 0,9794 1,3255
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa petani yang berpendapatan tinggi memiliki
kecenderungan untuk siap menghadapi revolusi industri 4.0 1,5 kali lebih besar dibandingkan petani yang
berpendapatan menengah ke bawah. Petani laki-laki cenderung siap 2,13 kali lebih besar dibandingkan petani
perempuan. Lalu, setiap pertambahan satu tahun umur petani, maka petani tersebut cenderung siap 0,96 kali
lebih kecil. Dengan kata lain, semakin tua umur petani, semakin kecil pula kecenderungan untuk siap. Selain
itu, petani yang mengikuti penyuluhan cenderung siap 1,14 kali lebih besar dibandingkan petani yang tidak
mengikuti penyuluhan. Sementara itu, confidence interval adalah estimasi rentang nilai odds ratio pada tingkat
kepercayaan 95%. Artinya, dengan tingkat kepercayaan 95%, rentang odds ratio pendapatan tinggi
dibandingkan pendapatan menengah ke bawah diperkirakan berada pada 1,264 hingga 1,7738. Demikian pula
interpretasinya pada variabel yang lain.
170 |
Kemudian, untuk mengetahui apakah model yang terbentuk sudah memiliki kecocokan yang baik, maka
dilakukan uji kecocokan model dengan uji Hosmer-Lemeshow. Apabila harapan kejadian sukses sebesar
14%, maka jumlah grup yang direkomendasikan adalah greco = 202 untuk n = 5000 (Paul, et. al., 2012). Dalam
penelitian ini, harapan kejadian sukses sebesar 13,88% dan n = 6728, maka jumlah grup yang digunakan
untuk menguji kesesuaian model tersebut mengikuti jumlah rekomendasi, yaitu 202. Selanjutnya, hipotesis uji
kecocokan modelnya adalah sebagai berikut.
H0 : Terdapat kecocokan model yang baik.
H1 : Tidak terdapat kecocokan model yang baik.
Berdasarkan output, p-value yang dihasilkan adalah sebesar 0,93, sehingga pada tingkat signifikansi
10% pernyataan pada H0 gagal ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat
signifikansi 10%, tidak terdapat cukup bukti untuk mengatakan tidak terdapat kecocokan model yang baik.
Dengan demikian, model yang terbentuk sudah memenuhi goodness of fit. Selain itu, untuk mengetahui
keakuratan model, maka diperlukan receiver operating characteristics (ROC) seperti pada output berikut.

Dari output tersebut, dapat disimpulkan bahwa keakuratan dari model yang dibentuk masih dapat
diterima, dengan nilai kesesuaian model yang digunakan sebesar 0,6767

KESIMPULAN

Penelitian ini membuktikan bahwa pendapatan, jenis kelamin, umur, dan keikutsertaan penyuluhan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesiapan petani untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Pendapatan tinggi, jenis kelamin laki-laki, berumur muda, dan ikut serta dalam penyuluhan pertanian adalah
karakteristik-karakteristik yang dapat mengakibatkan kecenderungan lebih besar bagi petani untuk siap
menghadapi revolusi industri 4.0. Dari hasil penelitian ini pula menunjukkan bahwa sebagian besar petani di
Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi revolusi tersebut.
Oleh karena itu, disarankan agar memanfaatan karang taruna dan kelompok tani sebagai sarana
melaksanakan penyuluhan dan pelatihan skill bertani. Selain itu, melalui karang taruna dan kelompok tani pula
| 171
dapat dilakukan sosialisasi tentang penggunaan dan pentingnya manfaat teknologi, seperti internet yang akan
memudahkan petani dalam menjual hasil produksi dan mengetahui harga jual produksi. Kemudian, diharapkan
adanya keberlanjutan dari program dan pelatihan yang telah direalisasikan, sehingga petani dapat merasakan
manfaat dari program dan pelatihan tersebut dalam jangka panjang. Dengan demikian, petani akan lebih siap
untuk memasuki era pertanian modern berbasis revolusi industri 4.0

DAFTAR PUSTAKA

Agresti, A. (2002). Categorical Data Analysis Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. p: 182-186.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: CV. Dharmaputra. p: 59.
Bilbao-Osorio, B., Dutta, S., dan Lanvin, B. (2014). The Global Information Technology Report 2014 Rewards
and Risks of Big Data. Geneva: World Economic Forum. p: 6, 9, 34.
Braun, A. T., Colangelo, E., dan Steckel, T. (2018). Farming in The Era of Industrie 4.0, Elsevier. p: 981.
Deloitte Insight. (2018). The Fourth Industrial Revolution is Here – Are You Ready? (Report) . UK : Deloitte
Insight. p: 20.
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI 2018, ―Meninjau Kesiapan Sektor Agraria Indonesia
dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0‖, http://www.fmeindonesia.org/meninjau-kesiapan-sektor-
agraria-indonesia-dalam-menghadapi-revolusi-industri-4-0/, diakses pada 16 November 2018.
Jones, C., & Pimdee, P. (2017). Innovative Ideas: Thailand 4.0 and The Fourth Industrial Revolution, Asian
International Journal of Social Sciences, 17(1). p: 4-35.
Keith Breene, ‖What is ‗Networked Readiness Index‘ and Why Does It Matter?‖,
https://www.weforum.org/agenda/2016/07/what-is-networked-readiness-and-why-does-it-matter/,
diakses pada 17 November 2018.
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2015). Pemanfaatan dan Pemberdayaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi Pada Petani dan Nelayan. Jakarta : Kemkominfo. p: 46-61, 81-
84.
Paul, P., Pennell, M.L., dan Lemeshow, S. (2012). Standardizing The Power of The Hosmer–Lemeshow
Goodness of Fit Test in Large Data Sets, Statistic in Medicine. John Wiley & Sons. p : 67-80.
Pramana, S., Yordani, R., Kurniawan, R., & Yuniarto, B. (2017). Dasar-dasar Statistika dengan Software R
Konsep dan Aplikasi. Bogor: in media. p: 167-176.
Prisecaru, P. (2016). Challenges of The Fourth Industrial Revolution. Knowledge Horizons – Economics, 8(1).
p:57-62.
World Economic Forum. (2014). The Global Gender Gap Report 2014. Geneva: World Economic Forum. p:
208

172 |

Anda mungkin juga menyukai