Anda di halaman 1dari 135

JUDUL

PENULIS

AFILIASI

1
LEMBAR TERIMA KASIH

2
DAFTAR ISI

3
KTA PENGANTAR

4
BLANK

5
BAB I
PENGEMBANGAN DIGITAL MARKETING UNTUK KOMODITAS
PERTANIAN KEBERLANJUTAN DI ERA 4.0 - ADAPTASI KEBIASAAN
BARU DI INDONESIA

Penulis :

Dr. Ir. Musdhalifah Machmud, MT


Deputy Ministry for Food and Agribusiness, Coordinating Ministry for Economic Affairs,
Republic of Indonesia

Dr. Ir. Amir Fikri, MM


Center for Business and Social Empowerment Binus University, Faculty Member
Magister Management Trisakti University

Dr. Frendy Ahmad Afandi, S. TP., M.Si


Kepala Sub Bidang Kebijakan Tanaman Perkebunan Lainnya, Deputy Ministry for Food
and Agribusiness, Coordinating Ministry for Economic Affairs, Republic of Indonesia

PENDAHULUAN
Tahun 2021 diyakini membawa perubahan ke arah yang positif, termasuk untuk perekonomian
global. Hal tersebut antara lain disebabkan adanya tren positif dari kinerja perekonomian di
sebagian besar negara pada triwulan terakhir 2020. Beberapa lembaga internasional seperti
International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Organisation for Economic Co-
operation and Development (OECD) memperkirakan ekonomi global tumbuh di kisaran 4%-
5,2% pada 2021. Menurut OECD Economic Outlook (Desember 2020), faktor utama
pendorong ekonomi global di tahun ini antara lain adalah percepatan distribusi vaksin,
kebijakan kesehatan yang komprehensif sebagai langkah mitigasi sebelum vaksinasi, stimulus
fiskal yang mendorong daya beli, kebijakan moneter yang akomodatif, reformasi struktural
yang mendukung pemulihan ekonomi, dan kerja sama internasional dalam penanganan
pandemic (OECD 2020).

Data yang dirilis oleh BPS (Februari 2021), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan 4-
2020 terkontraksi -2,19% (y-on-y), tetapi mengalami perbaikan dibandingkan pertumbuhan
ekonomi Triwulan 3-2020 yang terkontraksi sebesar -3,49% (y-on-y) (BPS 2021). Secara
keseluruhan, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar -2,07%
(c-to-c). Kontraksi pada tahun 2020 merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang melanda
6
seluruh dunia termasuk Indonesia. Sementara itu, beberapa sektor ekonomi Produk Domestik
Bruto (PDB) menurut lapangan usaha lain mengalami penurunan, sektor pertanian pada
Triwulan 4-2020 justru tumbuh sebesar 2,59% (y-on-y), walaupun tidak lebih besar
pertumbuhannya dari sektor Jasa Keuangan dan Asuransi (3,25%), dan Informasi dan
Komunikasi (10,58%). Lebih khususnya Sub Sektor tanaman perkebunan tumbuh 1,13%,
didorong oleh peningkatan produksi kelapa sawit. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi
menurut lapangan usaha, sektor pertanian pada tahun 2020 tumbuh sebesar 1,75% walaupun
lebih rendah dari pada tahun 2019 sebesar 3,61%.

ADAPTASI KEBIASAAN BARU DI ERA 4.0


Pandemi Covid-19 yang melanda sebagian besar wilayah dunia, mempunyai dampak
multidmensional seperti terhadap sistem kesehatan dan perlindungan sosialnya yang
menghadapi kendala kapasitas, stagnannya kinerja sektor produksi dan logistik karena
pembatasan mobilitas, sampai dengan ancaman kerawanan pangan. FAO menyebutkan dampak
pandemi akan lebih berat pada komunitas rentan yang sudah bergulat dengan kelaparan atau
krisis lainnya, terutama negara-negara yang sangat bergantung pada makanan impor (FAO
2020). Kelompok-kelompok yang rentan juga termasuk petani skala kecil, peternak, dan
nelayan. Petani kita, yang menurut data BPS 60% berumur lebih dari 45 tahun merupakan usia
yang rentan terhadap Covid 19 (BPS 2018). Di sisi input pertanian, pupuk yang 40% dan
pestisida yang 70% bahan aktifnya bergantung pada impor, stok yang ada hanya cukup untuk
empat hingga enam bulan kedepan. Di sisi petani sendiri terjadi kebingungan terutama akses
informasi yang tidak menentu yang membuat bingung.

Petani di desa-desa juga menghadapi tantangan mengakses pasar untuk menjual produk mereka
atau membeli bahan baku pertanian seperti pupuk, benih dan pestisida karena keterbatasan
suplai dan transportasi. Rantai pasokan makanan adalah jaringan yang kompleks yang
melibatkan produsen, konsumen, input pertanian dan perikanan, pemrosesan dan penyimpanan,
transportasi dan pemasaran. Di sisi lain, pandemi Covid-19 telah mengakibatkan market
disruption untuk komoditas pertanian (Khairad 2020). Terhentinya aktivitas sementara pasar
konvensional (tradisional maupun modern) dan terbatasnya ruang gerak rantai pasok pangan
dari wilayah produsen ke tangan konsumen akibat pembatasan sosial berskala besar di awal
pandemi memberikan peluang lain di sektor jasa secara virtual atau online services.

7
Fenomena lain yang kemudian muncul akibat pelaksanaan adaptasi kebiasaan baru adalah
konsumen berbelanja, menempuh pendidikan, kursus, meeting, dan melakukan beberapa
aktivitas primer secara online. Menurut wearesocial pengguna internet di Indonesia pada tahun
2020 adalah sebanyak 175,4 juta pengguna. Sementara itu sosial media digunakan oleh sekitar
160 juta pengguna di Indonesia pada tahun 2020, dengan jumlah smartphone yang terkoneksi
ke internet sebanyak 338,2 juta unit (Yudhi 2020). Hal ini menunjukkan pangsa pasar yang
sangat besar untuk pengembangan e-commerce.

DIGITAL MARKETING
Transaksi e-commerce di dunia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sebesar 20,2% per
tahun selama periode 2014-2020. Sementara itu transaksi e-commerce Indonesia meningkat 9
kali lipat dari yang semula pada tahun 2015 sebesar Rp 200 triliun menjadi sebesar Rp 1.850
triliun pada tahun 2020. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, sejak terjadinya covid-19
pada Maret 2020, frekuensi transaksi bank melalui kanal mobile banking maupun internet
banking mengalami peningkatan yang pesat. Pada Maret 2020, terdapat peningkatan transaksi
mobile banking 67,2 persen secara tahunan (yoy) atau 15 persen dari bulan sebelumnya (mom)
menjadi 267 juta transaksi. Sedangkan transaksi internet banking juga mengalami peningkatan
sebesar 48,4 persen (yoy) atau 11,9 persen (mom) menjadi 121 juta transaksi. Pada Agustus
2020, transaksi mobile banking meningkat 54,3 persen (yoy) atau 5,7 persen (mom) menjadi
302,6 juta transaksi dan transaksi internet banking naik 49,3 persen (yoy) atau empat persen
(mom) menjadi 135 juta transaksi (Yudhi 2020).

Kemenkominfo sudah membangun jaringan palapa ring yang menjangkau seluruh Indonesia
dengan kemampuan jaringan pita lebar. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) 2017 menyebutkan, penggunaan internet berdasarkan wilayah didominasi
Pulau Jawa 58,08%, diikuti Sumatera 19,09%, Kalimantan 7,97%, Sulawesi 6,73%, Bali-Nusa
5,63%, dan Maluku-Papua 2,49%. Penetrasi pengguna internet berdasarkan level ekonomi
mencakup 93,10% kelas sosial ekonomi atas, 89,95% kelas sosial ekonomi menengah, 58,55%
kelas sosial ekonomi bawah, dan 21,72% kelas sosial ekonomi sangat bawah.

Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan dunia digital adalah inklusi digital,
yang mencakup aspek connectivity, affordability, skill and awareness, local related content,
serta security and sovereignity. Pemasaran secara daring atau digital marketing menjadi salah
satu channel yang harus dioptimalkan oleh para pelaku agribisnis termasuk PT RPN sebagai
8
salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor pertanian lebih khususnya
memasarkan produk hasil penelitian maupun produk hilir perkebunan. Terlebih komposisi
penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 mayoritas akrab dengan internet terdiri
dari 25,87% generasi milenial, 27,94% generasi Z, dan 10,88% Post Gen Z (BPS 2021a).

Pemerintah dalam satu dekade terakhir telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang strategis
untuk pengembangan digital marketing dan e-commerce diantaranya yaitu: (1) Paket Kebijakan
Ekonomi XIV tentang Peta Jalan E-Commerce; dan (2) Peta Jalan E-Commerce 2019-2020
(Bahtiar 2020). Pemerintah saat ini tengah mengembangkan Strategi nasional (Stranas)
Ekonomi Digital, sebagai wujud nyata dalam mendorong perkembangan ekonomi digital dan
digitalisasi UMKM termasuk di dalamnya pengembangan Korporasi Petani yang terintegrasi
dengan pemanfaatan IoT (Internet of Things). Mengingat jumlah penduduk yang besar, tingkat
kepemilikan smartphone serta penetrasi internet yang tinggi, Indonesia memiliki potensi
ekonomi digital yang besar. Potensi ini secara pararel dapat turut mendorong produktivitas
pelaku agribisnis termasuk di masa pandemi. Perkembangan ekonomi digital memberikan
tantangan tersendiri terhadap UMKM, yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia.
Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan UMKM dalam memanfaatkan teknologi digital,
baik dalam memasarkan produknya maupun untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Selain itu juga
keterbatasan infrastruktur dan tenaga kerja yang kurang terampil masih menjadi kendala bagi
perkembangan ekonomi digital nasional.

Tantangan digitalisasi UMKM di Indonesia adalah rendahnya tingkat literasi digital, literasi
keuangan, dan literasi keuangan digital (Idah dan Pinilih 2019). Oleh karena itu kolaborasi
antara pemerintah dan pelaku industri digital diharapkan dapat mengatasi tantangan-tantangan
di atas serta mendorong perkembangan ekonomi digital serta kinerja UMKM nasional yang
lebih baik. Di Indonesia sendiri Kemenkominfo menargetkan sebanyak 6 juta UMKM akan Go
Digital pada tahun 2020. Selain itu, Kemenkominfo mengupayakan agar UMKM
berkemampuan e-commerce naik menjadi 10-12% dan kontribusi UMKM ke PDB bertambah
12%. Digitalisasi yang dapat meningkatkan akses terhadap berbagai layanan keuangan serta
korelasi dengan ekosistem ekonomi digital dapat membantu UMKM nasional bertahan dan
bertumbuh pada saat ini. Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi akan signifikan mengingat
lebih dari 97 persen tenaga kerja Indonesia dipekerjakan di UMKM dan lebih dari 60 persen
Produk Domestik Bruto (PDB) dihasilkan dari segmen tersebut.

9
PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN BERBASIS DIGITAL MARKETING
Prospek komoditas perkebunan di Indonesia sangat menjanjikan, karena subsektor perkebunan
di tahun 2020 menyumbang 3,63% dari 13,70% sumbangan sektor pertanian terhadap PDB
nasional. Laju pertumbuhan PDB Subsektor Perkebunan di tahun 2020 sebesar 1,33% (YoY).
Subsektor perkebunan juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar 8% dari total angkatan kerja
yang ada, yaitu sekitar 11 juta orang. Nilai ekspor komoditas perkebunan Indonesia di tahun
2019 dari yang terbesar ke yang terkecil, yaitu sawit (US$ 14,63 M), karet (US$ 3,53 M),
kelapa (US$ 1,71 M), kopi (US$ 1,62 M), kakao (US$ 1,12 M), dan teh (US$ 0,09 M). Adapun
share komoditas perkebunan Indonesia 2019 di pasar komoditas perkebunan internasional dari
yang terbesar ke yang terkecil, yaitu sawit (55,63%), karet (29,64%), kelapa (24,78%), kopi
(6,35%), teh (2,97%), dan kakao (2,42%) (UN Comtrade 2020).

Strategi digital marketing komoditas perkebunan dapat dilakukan dengan cara menentukan
terlebih dahulu produk unggulan perkebunan yang bernilai tinggi (seperti minyak sawit merah,
cokelat premium, teh putih, kopi eksotis, atau VCO berkualitas tinggi) untuk dikembangkan.
Selanjutnya dibuat road map pengembangan produk tersebut secara terintegrasi dalam bentuk
klaster industri. Perlu digaungkan juga keunggulan produk perkebunan Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara penghasil lainnya, seperti dari karakter produk, rasa, sifat fungsionalnya,
dan lain-lain. Indonesia juga dapat melakukan ekspansi penjualan kepada pasar non-tradisional
komoditas. Selanjutnya, perlu dibuat ekosistem digital dari hulu ke hilir, yang mencakup
penggunaan teknologi 4.0 seperti artificial intelegence, internet of things, dan block chain
(Satria 2020). Pemanfaatan teknologi tersebut baik dari aspek budidaya, pemanenan, logistik,
pembiayaan, pentracingan, pemasaran, maupun pembiayaannya. Untuk komoditas karet,
misalnya di Thailand sudah dilakukan digitalisasi di rubber market. Pembayarannya pun sudah
dilakukan secara cashless dan terintegrasi ke sistem komputerisasi. Jumlah stok barangpun
sudah dapat dipantau secara real time dan kualitasnya dapat di tracking hingga ke petani.
Permintaan di pasar komoditas maupun industri pengguna sudah terintegrasi oleh sistem
komputer, sehingga terjadi efisiensi yang luar biasa. Untuk komoditas teh, misalnya beberapa
waktu yang lalu Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung melelang teh eksotis tertua di
Indonesia berumur ratusan tahun secara online dan diperoleh harga sekitar Rp 1,25 juta per 250
gram teh. Praktik-praktik tersebut dapat diterapkan untuk menjual produk-produk premium

10
perkebunan lainnya tidak hanya ke konsumen, tetapi juga ke negara-negara mitra dagang utama
maupun non-tradisional.

UU Cipta Kerja juga mendorong penguatan ekosistem UMKM dan e-commerce melalui


berbagai macam kemudahan. Di antaranya terkait perizinan, sertifikasi, pembiayaan, akses
pasar, pelatihan, infrastruktur digital, penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, serta
iklim berusaha di sektor e-commerce. UU Cipta Kerja juga mengatur penguatan ekosistem
e-commerce, yang dapat mendukung upaya digitalisasi UMKM, meliputi antara lain percepatan
perluasan pembangunan infrastruktur broadband, di mana pemerintah pusat dan daerah
memfasilitasi dan memudahkan dalam membangun infrastruktur telekomunikasi. Pemerintah
terus mendorong upaya digitalisasi UMKM, yang merupakan bentuk realisasi dari dua agenda
besar pemerintah saat ini, yaitu agenda Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan Transformasi
Digital. Dengan demikian, diharapkan upaya yang dilakukan pemerintah ini akan dapat
merealisasikan potensi ekonomi digital Indonesia sebesar US$124 Miliar di 2025 (Bahtiar
2020).

Daftar Pustaka

Bahtiar RA. 2020. Potensi, Peran Pemerintah, dan Tantangan dalam Pengembangan E-
commerce di Indonesia. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik 11(1): 13 – 25.
BPS [Badan Pusat Statistik].2018. Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018. Jakarta:
BPS.
BPS [Badan Pusat Statistik].2021a. Hasil Sensus Penduduk 2020-Berita Resmi Statistik
No.07/01/Th. XXIV, 21 januari 2021. Jakarta: BPS.
BPS [Badan Pusat Statistik].2021b. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2020.
No.13/02/ Th.XXIV, 5 Februari 2021.
FAO [Food and Agriculture Organization]. 2020. Forecasting threats to the food chain affecting
food security in countries and regions. Food Chain Crisis Early Warning Bulletin. No. 35
April-June 2020. Rome.
Idah YM, Pinilih M. 2019. Strategi Pengembangan Digitalisasi UMKM. Jurnal LPPM Unsoed
9(1): 195-204.
Khairad F. 2020. Sektor Pertanian di Tengah Pandemi COVID-19 ditinjau Dari Aspek
Agribisnis. Jurnal Agriuma: 2 (2): 82-89.
OECD [Organization for Economic Cooperation and Development].2020. "OECD Economic
Outlook, December 2020", OECD Economic Outlook: Statistics and Projections
(database).
Satria A. 2020. IPB 4.0-Pemikiran, Gagasan, dan Implementasi. Bogor: IPB Press.
UN Comtrade [United Nation Commodity Trade]. 2020. https://comtrade.un.org/ [diakses 15
November 2020]/

11
Yudhi L. 2020. Adaptasi Disiplin Ilmu Komunikasi di Masa Normal Baru. Surabaya: Putra
Media Nusantara.

Tentang Penulis

Dr. Ir. Amir Fikri, MM


Amir Fikri adalah seorang peneliti, dosen dan praktisi bisnis. Ia juga merupakan praktisi
profesional senior di berbagai industri sejak 1992 hingga sekarang seperti pada manajemen
ritel, penjualan dan distribusi produk elektronik di Perusahaan Multi Nasional, Industri Garmen
dan Lembaga Perbankan. Saat ini, Amir Fikri adalah anggota Dewan Komite Tata Kelola
Perusahaan, Dewan Komisaris, Badan Usaha Milik Negara - Food Logisitic. Ia adalah penulis
artikel dalam Bab Buku yang berjudul Adaptasi Disiplin Ilmu Komunikasi di Masa Normal
Baru, diterbitkan pada tahun 2020 (ISBN: 978-623-6611-23-4; e-ISBN: 978-623-6611-24-1).
Lulus dari IPB University dengan gelar Doktor (Ph.D) Manajemen Bisnis 2019, memperoleh
Magister Manajemen dari Universitas Trisakti 1995 dan Sarjana
Manajemen Agribisnis dari IPB University, 1992. Sebagai akademisi,
Amir Fikri adalah Anggota Fakultas Magister Manajemen Universitas
Trisakti; Anggota Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Bina
Nusantara dan Magister Manajemen Universitas Terbuka Indonesia.
Penelitiannya saat ini dalam Perilaku Konsumen dan Pemasaran
Digital. Dia telah menerbitkan banyak artikel penelitian di jurnal
nasional dan internasional bereputasi.

Dr. Ir. Musdhalifah Machmud, MT


Dr. Ir. Musdhalifah Machmud, MT saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Pangan
dan Agribisnis di Kemenko Bidang Perekonomian RI sekaligus sebagai Dewan Pengawas di
Perum Bulog. Menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (S1), Institut Teknologi
Bandung (S2) dan Program Doktor Manajemen Strategi Agribisnis (S3) dari Sekolah Bisnis
IPB. Sebuah artikel telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian Karet Vol. 37 No 2 Tahun 2019
dengan judul “Peran Industri Karet dalam Perekonomian Provinsi Jambi: Pendekatan Sistem
12
Neraca Sosial Ekonomi”. Artikel lain berjudul “The Rubber Industry of Indonesia: Strategy for
Competitiveness and Sustainability” telah disubmit di Journal of Economic Structure. Beberapa
diklat, kursus singkat, dan seminar, antara lain: Leadership (Australia Indonesia Partnership
for Economic Governance/AIPEG, 2014); EAS Workshop on bio-fuels (Ministry of Energy
Bangkok, 2008); Negotiation, Conflict Resolution and Meeting Management (AIPEG-IPDC-
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2012); dan Training on Decision-Making in
Natural Resources Management: Economic for The Environment (The International
Agricultural Center-Wagenigen, 2004). Penghargaan yang telah diperoleh antara lain
Satyalancana Karya Satya XXX Tahun pada tahun 2014 atas kerja keras, dedikasi, dan
pencapaiannya.

Dr. Frendy Ahmad Afandi, S. TP., M.Si


Frendy Ahmad Afandi dilahirkan di Lampung, 6 Juni 1989. Menyelesaikan Pendidikan S1 di
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor tahun 2011, S2 dan S3 di
Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2014 dan 2020. Penulis bekerja di Kemenko
Bidang Perekonomian RI sejak 2015 dan saat ini menjabat sebagai Kasubbid Kebijakan
Produksi Tanaman Perkebunan Lainnya. Penulis memiliki beberapa paten, publikasi ilmiah
nasional (https://jurnalpangan.com/index.php/pangan/article/view/422/373) maupun
internasional (https://www.mdpi.com/2304-8158/10/2/364), serta buku Teknologi Pangan
(Kimia Komponen Pangan Mikro dan BTP Pengawet). Penulis memiliki keahlian di bidang
Kebijakan Ekonomi, Systematic Review dan Meta-analisis, dan Regulatory Impact Analysis.
Penulis pernah mengikuti dan mendapatkan Sertifikat Internasional dari John Hopkins
University dan Oxford University. Selain itu, penulis pernah menjadi dosen tamu di beberapa
Universitas, yaitu IPB University, Binus University, dan Universitas Jambi. Penulis memiliki
kontak medsos LinkedIn (Dr. Frendy Ahmad Afandi), youtube dan facebook (Frendy Ahmad
Afandi), serta Instagram dan Twitter (@frendystp). E-mail: frendystp@gmail.com,
WA:085694578705.

13
BAB II
KEUANGAN BERKELANJUTAN

Penulis :
Dr. Ir. Dewi Tamara, MM., MS
Binus Business School
Center of Business Social Empowerment

PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang mengintegrasikan tiga aspek : ekonomi, sosial
dan lingkungan. Pembangunan ekonomi besar-besaran berangkat dari Revolusi Industri, dan
proses produksi tergantung pada sumber energi minyak bumi, telah membawa kemakmuran
dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan populasi (Shoenmaker, 2019). Pada saat yang sama,
evolusi ini membawa dunia yang tadinya penuh dengan kekayaaan alam, menjadi tekanan luar
biasa pada sosial dan lingkungan (Daly dan Farley, 2011).

Produksi massal berbiaya murah dalam system ekonomi yang kompetitif mengharuskan
individu bekerja lembur terus menerus, banyak perusahaan menggunakan sumberdaya anak
yang murah dan dibayar rendah, pertama di negara maju kemudian pindah ke negara
berkembang. Di sisi sosial, kemiskinan, kelaparan dan ketimpangan fasilitas kesehatan
menyebabkan banyak orang hidup di bawah standar sosial minimum. Hal ini menimbulkan
masalah sosial baru yaitu perebutan akses kerja, akses Pendidikan dan akses Kesehatan yang
lebih baik (Shoenmaker, 2019).

14
Di lain pihak, produksi dan konsumsi masal menimbukan tekanan pada system bumi melalui
perubahan penggunaan lahan, kehilangan biodiversitas dan pemanfaatan masif sumberdaya
alam yang membuat sistem bumi tidak stabil, polusi, dan penurunan daya dukung kapasitas.
Perubahan iklim adalah isu ekologis yang paling besar pada aspek lingkungan (Stern, 2008).

Pembangunan berkelanjutan menyebabkan generasi sekarang dan masa datang harus memiliki
cukup sumberdaya makanan, air, fasilitas kesehatan dan energi, tanpa membuat sistem bumi
semakin tertekan dan stres (Raworth, 2017).

United Nations sebagai badan dunia mencoba untuk mengawal transformasi pembangunan
ekonomi yang masif menjadi ekonomi inklusif dan berkelanjutan atau sustainable melalui
program Sustainable Development Goals (SDGs). Beberapa inisiatif perbaikan lingkunan yang
dilakukan oleh UN misalnya Protokol Kyoto tahun 1992 yang menekan emisi CO2, Paris 2015,
dan inisiatif yang dilakukan level regional seperti Asia-Pasifik, ASEAN, dan lainnya.
Sementara sudah banyak inisiatif yang dilakukan di tingkat dunia untuk lingkungan, dalam
keuangan inisiatif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan relative lebih sedikit dan
lambat. Struktur bab buku ini terdiri dari : pendahuluan, prinsip sustainability, keuangan
berkelanjutan, framework sustainability finance, produk ESG, produk hijau, green bonds, green
asset, dan kesimpulan.

PRINSIP KEBERLANJUTAN
Gladwin, Kennelly dan Krause (1995) dalam Schoenmaker (2018) mendefinisikan lima prinsip
pembangunan berkelanjutan sebagai berikut :
1. Komprehensif (Comprehensive) : konsep pembangunan berkelanjutan adalah holistic
dan melintasi ruang, waktu dan komponennya. Keberlanjutan mencakup baik system
lingkungan dan manusia, baik dekat maupun jauh, masa sekarang dan masa depan.
2. Konektifitas (Connectivity) : keberlanjutan membutuhkan pemahaman atas tantangan
dunia sebagai system yang saling terhubung, terkait dan tergantung satu dengan lainnya.
3. Ekuitas (Equity) : distribusi yang adil mengenai hak sumberdaya dan property, baik di
dalam dan antara generasi saat ini dan masa datang
4. Kehati-hatian (Prudence) : mempertahankan ekosistem pendukung hidup dan
mempertahankan skala daya dukung kapasitas
5. Keamanan (Security) : pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada keselamatan,
Kesehatan, kehidupan berkualitas untuk generasi sekarang dan masa datang.
15
Pembangunan Berkelanjutan
Schoenmaker (2018) menunjukkan bahwa model ekonomi dunia berkembang dengan
memanfaatkan banyak barang dan jasa yang diproduksi oleh alam. Di awal Industri Revolusi di
abad ke-19, model ekonomi menyarankan bahwa tenaga kerja dan modal adalah faktor produksi
yang langka dan harus mengoptimalkan produksi ekonomi, sementara alam dan jasanya tersedia
secara gratis. Fungsi produksi Cobb-Douglas yang terkenal hanya menggunakan input tenaga
kerja dan input modal untuk produksi barang (Cobb dan Douglas, 1928). Revolusi Industri
berdampak besar pada ekonomi, masyarakat, dan global ekosistem. Masyarakat manusia
menjadi sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan bahan tak terbarukan lainnya sumber
daya, sebagian sebagai respons terhadap menipisnya hutan sebagai bahan bakar. Ini meningkat
penggunaan energi memberikan akses ke bahan mentah lainnya. Kemajuan teknologi,
bergantung pada bahan bakar fosil (dimulai dengan mesin uap), memungkinkan produksi
konsumen yang belum pernah terjadi sebelumnya barang, memacu pertumbuhan ekonomi dan
populasi. Urbanisasi menyebabkan penurunan kapasitas tanah, mendorong deforestasi lebih
lanjut.

Di awal 1970-an, Club of Rome adalah yang pertama menyoroti sistem Bumi itu tidak dapat
mendukung tingkat pertumbuhan ekonomi dan populasi ini jauh melampaui tahun 2100,
bahkan dengan teknologi canggih. Dalam laporan berjudul Limits to Growth, Club of Roma
menjelaskan lima faktor dasar yang menentukan dan, dalam interaksinya, membatasi
pertumbuhan planet ini: i) peningkatan populasi, ii) produksi pangan, iii) penipisan sumber
daya yang tidak dapat diperbarui, iv) hasil industri, dan v) pembentukan polusi.

Mereka juga menyarankan bahwa umat manusia bisa menciptakan masyarakat di mana ia dapat
hidup tanpa batas di bumi jika ia membatasi dirinya dan dirinya sendiri produksi barang
material untuk mencapai keadaan ekuilibrium global dengan populasi dan produksi dalam
keseimbangan yang dipilih dengan cermat (Meadows, et al, 1972).

Untuk menggambarkan batasan pertumbuhan, Club of Rome mengembangkan model dunia


yang menganalisis daya dukung planet dan pertumbuhan populasi. Populasi tumbuh sesuai daya
dukung lingkungan dengan beberapa cara mungkin. Pertumbuhan populasi dapat menyesuaikan
ke bawah batas lingkungan sebesar cara penurunan bertahap dalam tingkat pertumbuhan,
seperti yang ditunjukkan Gambar 1.
16
Panel kanan menunjukkan populasi bertumbuh melampaui kapasitas dengan mengonsumsi
beberapa sumber daya yang tidak dapat diperbarui polusi, seperti yang ditunjukkan di panel
kanan. Perilaku ini telah terjadi di banyak sistem alam. Tujuan utama dalam membangun model
dunia adalah untuk menentukan yang mana, jika ada, dari mode perilaku akan menjadi ciri
paling khas dari sistem dunia saat ia mencapai batas pertumbuhan.

Gambar 2.1. Model Daya Dukung Dunia (Meadows, et al., 1972)

Sementara Club of Rome adalah inisiatif pribadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat
Komisi Brundtland, secara resmi dikenal sebagai Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan, untuk menyatukan semua negara untuk bersama-sama mengejar pembangunan
berkelanjutan. Laporan Brundtland (1987) menyatakan bahwa "..." lingkungan "adalah tempat
kita hidup; dan "pembangunan" adalah apa yang kita semua lakukan dalam upaya untuk
meningkatkan nasib kita dalam lingkungan itu. Keduanya tidak dapat dipisahkan. "Laporan
tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai" pembangunan itu memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang memenuhi
kebutuhan mereka sendiri ”. Laporan Brundtland dengan demikian memperkuat fakta bahwa
keberlanjutan tentang masa depan.

Menurut Stern (2008), perubahan iklim merupakan salah satu risiko lingkungan terbesar yang
mempengaruhi masyarakat. Dalam Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim (COP21),
negara-negara mengkonfirmasi target pembatasan kenaikan suhu rata-rata global relatif
terhadap suhu di dunia pra-industri hingga 2°C (dua derajat Celsius), dan mengupayakan upaya
untuk membatasi kenaikan suhu menjadi 1,5°C (UNFCCC, 2015). Melakukan hal ini akan
memastikan stok karbon dioksida dan lainnya gas rumah kaca di atmosfer tidak melebihi batas
tertentu. Antarpemerintah Panel on Climate Change memperkirakan bahwa sisa anggaran
karbon berjumlah 900 gigaton CO2 dari tahun 2015 dan seterusnya. Kecepatan pencapaian batas

17
tergantung di jalur emisi. Kalau emisi karbon global saat ini sekitar 40 gigaton setahun tidak
dipotong secara drastis, batas 2°C akan tercapai dalam dua dekade.

Target Sustainable Development Goal

Selain lingkungan, masalah sosial yang berasal dari ekslusifitas pembangunan, kemiskinan dan
minimnya akses Kesehatan membuat United Nations juga Bangsa menggagas 2030 Agenda
Pembangunan Berkelanjutan (UN, 2015) untuk mengawal ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
Agenda Pembangunan Berkelanjutan ini diturunkan menjadi 17 action sepanjang tahun 2015
hingga 2030 pada masalah-masalah kemanusiaan yang kritis. Implementasi dari 17 action ini
diturunkan menjadi 169 butir target.

Mengikuti Rockstrom dan Sukhdev (2015), Pembangunan Berkelanjutan Tujuan (SDGs)


diklasifikasi sesuai dengan tingkat ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Namun demikian,
SDGs juga saling terkait. Contoh kasusnya adalah perpindahan ke konsumsi dan produksi
berkelanjutan (tujuan ekonomi 12) dan kota yang berkelanjutan (masyarakat tujuan 11), yang
berperan penting untuk memerangi perubahan iklim (tujuan lingkungan 13). Contoh lain adalah
pendapatan yang layak dan pekerjaan yang layak untuk semua (tujuan ekonomi 8), yang
berperan dalam mencapai tujuan masyarakat 1 sampai 4. Melalui upah layak, rumah tangga
dapat membeli makanan, perawatan kesehatan dan pendidikan untuk keluarga mereka.The 17
UN Sustainable Development Goals are the following (UN, 2015):

Tujuan ekonomi
• Sasaran 8. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan
berkelanjutan, penuh dan pekerjaan produktif dan pekerjaan layak untuk semua
• Sasaran 9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mendorong industrialisasi yang
inklusif dan berkelanjutan dan mendorong inovasi
• Tujuan 10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan antar negara
• Sasaran 12. Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan

Tujuan sosial
• Tujuan 1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana
• Tujuan 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi
dan mempromosikan pertanian berkelanjutan
18
• Tujuan 3. Menjamin hidup sehat dan meningkatkan kesejahteraan untuk semua usia
• Sasaran 4. Memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil dan
mempromosikan pembelajaran seumur hidup kesempatan untuk semua
• Tujuan 5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak
perempuan
• Sasaran 7. Memastikan akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan
modern untuk semua
• Tujuan 11. Menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh dan
berkelanjutan
• Tujuan 16. Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua dan membangun institusi yang
efektif, akuntabel dan inklusif level

Tujuan lingkungan
• Tujuan 6. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan
untuk semua
• Tujuan 13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan
dampaknya
• Tujuan 14. Melestarikan dan menggunakan sumber daya samudra, laut, dan kelautan
secara berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan

Keuangan Berkelanjutan
Fatemi dan Fooladi (2013) menjelaskan dengan begitu banyak dan kompleks tantangan di
bidang lingkungan dan sosial menyebabkan model maksimalisasi kekayaan tidak dapat lagi
dilanjutkan sebagai bisnis model. Model ini telah memunculkan praktik yang baik secara
eksplisit atau implisit mendukung eksternalisasi banyak biaya proyek dan hasilnya tidak sesuai
dengan prinsip keberlanjutan.

Model berkelanjutan memerlukan model yang dengan tepat memperhitungkan biaya sosial dan
lingkungan dari suatu proyek. Mengingat ruang lingkup dan besarnya tantangan di depan; (1)
pengadopsi awal model yang menggabungkan sosial dan biaya lingkungan dari melakukan
bisnis ke dalam kerangka pengambilan keputusan mereka akan mengalami keuntungan
pergeseran permintaan untuk produk dan layanan mereka, dan (2) non-adopter akan mengalami

19
permintaan negatif bergeser ketika efek merugikan dari kurangnya perhatian terhadap masalah
sosial dan lingkungan menjadi lebih luas diakui.

Oleh karena itu, kegagalan untuk memperhitungkan semua biaya dalam menjalankan bisnis
memang akan menghasilkan nilai kehancuran daripada penciptaan nilai. Hanya pengakuan
sosial dan lingkungan secara eksplisit yang berdampak keputusan perusahaan akan memastikan
ada keberlanjutan nilai yang diciptakan dalam proses ini. Namun, dalam proses tersebut tidak
perlu menghilangkan pendekatan NPV. Sebaliknya, itu membutuhkan pertimbangan penuh atas
semua biaya tambahan, insidental, dan peluang serta manfaat tersebut sesuai rumus di bawah
ini.

Persamaan 1

Selain penyertaan arus kas yang biasa, penciptaan nilai yang berkelanjutan Pendekatan ini
membutuhkan pengakuan eksplisit dari arus kas tambahan yang dapat dikaitkan dengan
keberlanjutan perusahaan upaya. Contohnya termasuk peningkatan nilai merek, peningkatan
loyalitas pelanggan, peningkatan kemampuan untuk merekrut dan mempertahankan bakat,
kemampuan untuk menarik pelanggan baru (termasuk mereka yang menuntut lingkungan dan
sosial hasil) dan nilai opsi memasuki pasar terbatas pada perusahaan yang menikmati reputasi
untuk mereka upaya keberlanjutan. Ini juga menyerukan pengakuan eksplisit atas pengurangan
biaya karena air yang lebih rendah dan penggunaan energi dan biaya yang lebih rendah dari:
limbah, perawatan kesehatan karyawan, kepatuhan agen, tindakan tenaga kerja, kewajiban dan
litigasi. Selanjutnya, mengingat bahwa perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial
melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengelola risiko mereka (keduanya sebagai
masalah definisi dan seperti yang didukung oleh bukti empiris), biaya modal yang lebih rendah
juga seharusnya diperhitungkan.

Seperti dilansir Social Investment Forum Foundation, aset SRI yang dikelola di AS tumbuh dari
$ 639 miliar pada tahun 1995 menjadi lebih dari $ 3 triliun atau satu dari setiap delapan dolar
yang diinvestasikan, pada tahun 2009. Sebagai perbandingan, SRI Eropa yang dikelola lebih
dari $ 7 triliun dan hampir setengah dari setiap dolar diinvestasikan pada tahun 2009. Sementara
itu, studi empiris yang berhubungan dengan pertanyaan ini juga telah terakumulasi dengan

20
sangat cepat sebagian besar bukti yang mendukung gagasan bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan memang menciptakan pemegang saham nilai.

Memanfaatkan database yang disediakan oleh lembaga keuangan besar, studi Dimson, Karakas,
dan Li (2011) menunjukan adanya rata-rata 4% abnormal return untuk perusahaan yang berhasil
melibatkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Mereka juga mendokumentasikan bahwa
ketika keterlibatan perusahaan di bidang perubahan iklim atau tata kelola perusahaan, reaksi
pasar lebih kuat secara positif. Hal ini sesuai dengan temuan El Ghoul, Guedhami, Kwok, dan
Mishra (2011), dan Plumlee, Brown, Hayes, dan Marshall (2010), yang menunjukkan bahwa
AS perusahaan dengan kinerja CSR yang unggul menikmati pembiayaan ekuitas yang lebih
murah.

Barnea dan Rubin (2005) menemukan bahwa pada tingkat pengeluaran CSR yang rendah, ada
kaitan antara keduanya pengeluaran dan nilai perusahaan adalah positif, tetapi hubungannya
menjadi negatif saat ini pengeluaran melampaui tingkat tertentu. Hubungan non-monotonik
semacam ini juga dilaporkan oleh Goss dan Roberts (2011) yang mempelajari biaya pinjaman
dan menemukan bahwa perusahaan di ujung bawah CSR spektrum menanggung biaya pinjaman
yang lebih tinggi. Memanfaatkan data untuk 2.261 perusahaan di 43 negara selama 2002-2008
periode, Hawn dan Ioannou (2012) meneliti dampak diferensial dari aksi ESG perusahaan baik
simbolik maupun substantif terhadap kinerja perusahaan. Hasil studi mereka menunjukkan
bahwa aksi ESG simbolik mengenai aset intangible memiliki dampak positif yang lebih tinggi
terhadap nilai pasar perusahaan. Menggunakan data sampel yang besar, Servaes dan Tamayo
(2013) menemukan bahwa kegiatan CSR meningkatkan nilai perusahaan ketika mereka
dibarengi dengan kesadaran publik yang tinggi (sebagaimana ditunjukkan oleh intensitas iklan).

Mengevaluasi pertanyaan dari perspektif investasi, dan membandingkan pengembalian empat


indeks perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dengan indeks S&P 500, Statman
(2005) menemukan bahwa Bertanggung Jawab Sosial Indeks Investasi (SRI) berkinerja lebih
baik daripada S&P 500 selama tahun 1990-an dan lebih buruk selama awal 2000-an.
Sebaliknya, membandingkan karakteristik investasi reksa dana pada perusahaan yang
bertanggung jawab dengan kelompok dana konvensional yang dipilih secara acak, Bello (2005)
melaporkan bahwa dana tanggung jawab sosial tidak berbeda secara signifikan dari dana
konvensional dalam karakteristik seperti diversifikasi dan pengembalian. Statman dan
Glushkov (2009) melaporkan bahwa strategi investasi yang panjang dengan pemimpin CSR dan
21
pendek dengan kelambanan akan menghasilkan keuntungan tahunan yang disesuaikan dengan
risiko sebesar 6,12% untuk periode 1992–2007. Menggunakan peringkat CSR yang berbeda dan
strategi perdagangan serupa, Derwall, Guenster, Bauer, dan Koedijk (2005), Edmans (2010),
dan Kempf dan Osthoff (2007) melaporkan temuan serupa tentang keberadaan yang signifikan
kinerja yang disesuaikan dengan risiko. Fatemi, Fooladi, dan Wheeler (2009) membandingkan
karakteristik perusahaan di indeks DS 400 dengan perusahaan serupa yang tidak termasuk
dalam indeks. Mereka melaporkan hal itu jika dibandingkan dengan kelompok kontrol mereka
selama periode 1990-2005, perusahaan dalam indeks DS 400 memproduksi identik secara
statistik pengembalian dan menunjukkan karakteristik risiko pasar yang serupa. Namun, mereka
menemukan bahwa risiko istimewa mereka adalah secara signifikan lebih rendah setiap tahun
pada tingkat 1%. Mereka juga melaporkan bahwa perusahaan yang ditambahkan ke indeks DS
400 mengalami abnormal return positif setelah pengumuman kejadian tersebut. Kebalikannya
berlaku untuk perusahaan yang dihapus dari indeks. Nofsinger dan Varma (2012) mempelajari
kinerja sampel SRI (Social Responsibility Index) mutual dana dan kelompok kontrol
pendamping mereka selama periode 2000-2011, dan laporan temuan bahwa dana SRI
mengungguli rekan-rekan mereka selama periode krisis keuangan dan mengungguli mereka
selama periode non-krisis.

Mengatasi pertanyaan dari perspektif keberlanjutan yang lebih luas, Eccles, Ioannou, dan
Serafeim (2012) membandingkan sekelompok 180 perusahaan dengan keberlanjutan tinggi
(mereka yang secara sukarela mengadopsi lingkungan dan kebijakan sosial pada 1993) untuk
mengambil sampel dari perusahaan dengan keberlanjutan rendah. Mereka menemukan bahwa
perusahaan dengan keberlanjutan tinggi menunjukkan karakteristik yang berbeda secara
fundamental dalam hal peran yang dimainkan oleh dewan direksi, yaitu struktur insentif
eksekutif mereka, prosedur keterlibatan pemangku kepentingan, dan kecenderungan mereka
untuk lebih berorientasi jangka panjang. Mereka juga melaporkan temuan yang menunjukkan
bahwa perusahaan dengan keberlanjutan tinggi secara signifikan mengungguli rekan-rekan
mereka dalam jangka panjang. Terakhir, dalam studi komprehensif tentang pengaruh CSR
terhadap investasi kinerja, Huppé (2011) melaporkan menemukan hubungan positif yang
signifikan antara CSR dan investasi kinerja. Namun, membandingkan hasil sebelum dan
sesudah 2005, ia menemukan bahwa strategi perdagangan didasarkan pada Portofolio
perusahaan CSR yang baik dan berbobot sama panjangnya menghasilkan tingkat pengembalian
abnormal yang jauh lebih rendah periode pasca-2005 dibandingkan periode 1992-2005. Studi
menyimpulkan bahwa itu mungkin terjadi lebih sulit untuk mencapai hasil investasi yang
22
unggul melalui proses seleksi keamanan yang didasarkan pada CSR kriteria. Dengan demikian,
karakteristik CSR sekarang mungkin dihargai sepenuhnya dalam nilai pasar perusahaan-
perusahaan tersebut. Singkatnya, mayoritas bukti empiris yang ada memberikan dukungan kuat
untuk proposisi itu perusahaan diberi penghargaan atas fokus keberlanjutan mereka.

Selanjutnya, semakin banyak bukti yang menunjukkan hal itu harapan kinerja masyarakat dan
lingkungan yang semakin baik sedang dibangun ke dalam pasar penilaian perusahaan dari
waktu ke waktu. Bukti ini dikombinasikan dengan peningkatan eksponensial dalam
penyelesaian biaya kerusakan sosial dan lingkungan (baik ex-post maupun ex-ante)
menunjukkan bahwa penciptaan nilai yang berkelanjutan satu-satunya jalan ke depan yang
layak. Pengadopsi awal dari kerangka seperti itu (mereka yang membuang model tradisional itu
menekankan jangka pendek dan merangkul model penciptaan nilai berkelanjutan sebagai
gantinya) akan diberi imbalan persyaratan premi nilai pasar. Perusahaan yang memilih untuk
tidak mengadopsi model tersebut akan menjadi lamban dalam proses menciptakan nilai bagi
pemegang saham.

Inisiatif Keuangan Berkelanjutan


Coleton, Brucard, dan Gutierrez (2020) menjelaskan bahwa kesadaran yang tumbuh di bidang
keuangan berkelanjutan telah muncul sebagai bagian dari respons global terhadap masalah
iklim. Dari perspektif internasional, pemerintah telah setuju dan berkomitmen pada target
ambisius, seperti yang diuraikan dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Perjanjian Paris 2015, 3 yang telah disepakati oleh hampir 200 negara, berupaya memperkuat
respons global terhadap perubahan iklim dalam upaya untuk membatasi 'kenaikan suhu rata-rata
global jauh di bawah 2˚C di atas pra- tingkat industri '. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan
transisi ke ekonomi rendah karbon. Dari perspektif pasar, transisi ini dapat menghasilkan
lanskap risiko dan peluang yang tidak pasti.

Di tingkat Eropa, hal ini telah diterjemahkan ke dalam rencana aksi Komisi Eropa. Rencana
aksi terdiri dari tiga tujuan, yaitu: (i) untuk mengarahkan kembali aliran modal menuju investasi
yang berkelanjutan untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif; (ii) untuk
mengelola risiko keuangan yang berasal dari perubahan iklim, degradasi lingkungan dan
masalah sosial; dan (iii) untuk mendorong transparansi dan jangka panjang dalam kegiatan
23
keuangan dan ekonomi. Tujuan ini didukung oleh 10 tindakan, yang meliputi: (i) membangun
sistem klasifikasi UE untuk kegiatan berkelanjutan; (ii) membuat standar dan label untuk
produk keuangan hijau; (iii) mendorong investasi dalam proyek-proyek berkelanjutan; (iv)
memasukkan keberlanjutan saat memberikan nasihat keuangan; (v) mengembangkan tolok ukur
keberlanjutan; (vi) integrasi keberlanjutan yang lebih baik dalam pemeringkatan dan riset pasar;
(vii) memperjelas tugas investor institusional dan manajer aset; (viii) memasukkan
keberlanjutan ke dalam persyaratan kehati-hatian; (ix) memperkuat pengungkapan
keberlanjutan dan pembuatan aturan akuntansi; dan (x) mendorong tata kelola perusahaan yang
berkelanjutan dan mengurangi jangka pendek di pasar modal.

Inisiatif ini telah didukung dan diakui oleh pengawas dan regulator perbankan, yang telah
menunjukkan pentingnya isu-isu keberlanjutan melalui pembentukan berbagai gugus tugas
seperti Satuan Tugas Dewan Stabilitas Keuangan untuk Pengungkapan Keuangan Terkait Iklim
(TCFD), yang telah dibentuk. untuk mengembangkan pengungkapan risiko keuangan terkait
iklim yang sukarela dan konsisten untuk digunakan oleh perusahaan untuk penyediaan
informasi kepada investor, pemberi pinjaman, perusahaan asuransi, dan pemangku kepentingan
lainnya. Selain itu, Jaringan untuk Penghijauan Sistem Keuangan (NGFS), jaringan yang terdiri
dari bank sentral dan pengawas, didirikan dengan tujuan untuk memenuhi tujuan Perjanjian
Paris dan meningkatkan peran sistem keuangan dalam mengelola risiko dan memobilisasi
modal. untuk investasi hijau dan rendah karbon dalam konteks pembangunan yang
berkelanjutan secara lingkungan.

Perbankan terhadap masalah keuangan berkelanjutan


Reaksi terhadap masalah keberlanjutan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan
organisasi internasional, namun juga pihak perbankan. Karena tekanan dari nasabah dan
investor, serta regulator, bank sudah mulai menyadari adanya risiko keberlanjutaug;nkjhgn dan
mulai mendukung transisi menuju perekonomian yang lebih berkelanjutan melalui integrasi
faktor keberlanjutan ke dalam model manajemen risiko dan kerangka tata kelola.

Pernyataan ini, sampai batas tertentu, didukung survei yang dilakukan studi ini, yang
menemukan bahwa bank mendasarkan motivasi di balik strategi keberlanjutan mereka pada
banyak faktor, termasuk memanfaatkan bisnis baru, peluang untuk memuaskan kebutuhan
pelanggan dan mendukung bisnis dengan dampak sosial, lingkungan, dan reputasi yang positif.
Urutan peringkat dirinci pada Tabel 1.
24
Tabel 1. Movitasi perbankan dibalik strategi sustainability
Motivasi Ranking
Mendukung bisnis yang etis 1
Kesempatan bisnis 2
Mengantisipasi perubahan regulasi 3
Kebutuhan nasabah dan investor 4
Antisipasi perubahan ekonomi dan faktor risiko 5
Biaya reputasi 6
Antisipasi perubahan perilaku klien 7
Mempromosi human capital 8

Keberlanjutan Keuangan versus Keuangan Berkelanjutan


Ferri dan Acosta (2019) mengkaji keuangan berorientasi etis dan berkelanjutan adalah kunci
untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dengan menangani risiko lingkungan melalui
keuangan hijau dan menunjukkan bukti empiris tentang hubungan antara keuangan dan
ketidaksetaraan. Kerangka berpikir akan memberikan arahan yang benar bagaimana
menganalisis pasar, perantara dan instrumen dengan lensa berkelanjutan untuk fokus pada
manfaat itu telah dibawa ke pembangunan berkelanjutan. Diskusi akan menyajikan perantara
yang berbeda dan menyoroti manfaat koperasi bank, terutama hubungan dekat pelanggan dan
bank dan ketahanan yang diberikannya kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di masa-
masa sulit. Strategi investasi yang berbeda dibahas menelusuri evolusi dana Investasi
Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab (SRI) dan menyelami analisis ESG untuk digunakan
sebagai kriteria untuk mengalokasikan investasi berdasarkan lingkungan, sosial dan prinsip tata
kelola. Keuangan mikro diperkenalkan sebagai pasar berbeda yang telah menjangkau
masyarakat di bagian bawah piramida dan menyoroti peran kunci yang akan dimainkannya
untuk membawa inklusi keuangan. Islam keuangan dan tekfin juga dibahas. Instrumen yang
berbeda disajikan untuk memahami lanskap saat ini tentang bagaimana investor yang berbeda
menggunakan produk inovatif untuk menyerang sosial dan masalah lingkungan. Terakhir, lima
cara berbeda disajikan tentang bagaimana kebijakan dapat memperkuat dan mendukung
keberlanjutan pembangunan dengan alasan bahwa yang paling penting adalah dengan
mempromosikan sertifikasi tapak berkelanjutan.

Keberlanjutan Keuangan: Bagaimana Industri Yang Dulu Paling Stabil Menjadi Tidak
Stabil

25
Ketidakstabilan keuangan cenderung meningkat seiring dengan ekonomi pasar bebas yang tidak
terkekang. Akhirnya, ini memicu Krisis Besar (1929) yang sangat penting dan sistemik, yang
menandai titik balik untuk bergerak menuju regulasi pasar yang lebih ketat. Pada umumnya,
pasar yang lebih bebas cepat atau lambat terbentuk ketidakseimbangan dan ketidakefisienan
dalam mekanisme penetapan harga dan, akibatnya, dalam alokasi sumber daya. Ini terjadi
ketika ekspektasi yang terlalu optimis tentang perkembangan masa depan berkembang dan
sistem keuangan memicu asumsi yang salah tempat tersebut, yang menyebabkan hutang yang
berlebihan ekonomi. Akibatnya, gelembung spekulatif - yang biasanya diidentifikasi seperti itu
dalam retrospeksi – adalah terbentuk. Koreksi ketidakseimbangan mengikuti pecahnya
gelembung, dengan akibat negatif pada sistem keuangan yang sudah tidak stabil dan pada
umumnya pada perekonomian. Oleh karena itu, pemecahan krisis memerlukan penetapan
batasan pada pasar bebas, di luar sistem keuangan sering mengayunkan keseimbangan dari
proses ekonomi global ke dimensi nasional. Ini Skenario serupa dengan apa yang biasanya
dikenal sebagai de-globalisasi. Namun seiring berjalannya waktu, regulasi tersebut Kerangka
kerja cenderung kehilangan konsistensi dan sistem ekonomi mulai beroperasi kembali
lingkungan keuangan yang tidak terkendali. Dalam arti tertentu, liberalisasi keuangan adalah
pendorong pertumbuhan ekonomi tetapi seiring waktu, risiko ketidakstabilan mungkin lebih
besar daripada manfaatnya. Setelah itu, terlalu optimis ekspektasi yang muncul yang mengarah
pada peminjaman berlebih, alokasi sumber daya yang salah dan terjadinya gelembung
spekulatif baru. Pada tahap ini - ini hanya masalah waktu - Krisis Besar di seluruh sistem akan
terjadi terjadi sehingga menyelesaikan siklus ekonomi politik keuangan yang kami gambarkan
sebagai suatu urutan krisis sistemik, satu demi satu. Terlebih lagi, sejalan dengan Charles P.
Kindleberger (1978), if the Lending of Last Resort (LOLR) banyak digunakan untuk
menyelamatkan lembaga keuangan dalam krisis sistemik, ini akan menjadi bumerang dalam hal
menambah bahaya moral para perantara keuangan secara eksponensial dan membangun fondasi
krisis baru yang lebih besar di masa mendatang. Contoh kasusnya adalah LTCM (dan juga
penurunan tiba-tiba dari suku bunga dana Fed setelah ledakan gelembung dot-com) yang, jika
tidak ada pengaturan ulang, adalah batu kunci yang diletakkan pada tahun 1998 untuk GFC
yang dimulai pada tahun 2007.

Sepuluh tahun setelah kebangkrutan Lehman Brothers dilambangkan dengan ledakan GFC yang
hanya bisa kita lakukan perhatikan bahwa mereka yang memperkirakan regulasi ulang cepat
salah. Aturan perbankan dan keuangan telah direvisi tetapi dengan cara yang kurang drastis

26
dibandingkan yang terjadi pada tahun 1930-an. Sedangkan pemisahan perbankan komersial dari
pasar keuangan diberlakukan di AS pada tahun 1933 - Glass-Steagall.

Undang-undang adalah RUU pertama yang ditandatangani oleh Presiden Franklin D. Roosevelt
- tidak ada batasan peraturan yang sebandingtelah terjadi dalam dekade terakhir. Kali ini di
seluruh dunia terhindar dari depresi dengan menghindari mengulangi kesalahan dalam
mengadopsi kebijakan ekonomi prosiklikal, seperti yang dilakukan di AS pada awalnya 1930-
an. Memang, setelah pecahnya KKG, bank sentral melakukan ekspansif yang tidak lazim
kebijakan moneter - Pelonggaran Kuantitatif - dan, dengan pengecualian Eropa, fiskal ekspansif
kebijakan. Juga, sementara di tahun 1930-an ada tokoh kunci seperti Ferdinand Pecora - jaksa
ternama terkemuka The Pecora Hearings - secara paksa mengungkap kesalahan para bankir
menjelang Great Crash dari Wallstreet tahun 1929, tidak ada sosok sebanding yang muncul
setelah kematian Lehman (Ferri, 2017). Namun jejak kesalahan para bankir sangat terlihat
bahkan di era KKG, dan mungkin membantu menjelaskan mengapa kepercayaan pada
perbankan dan keuangan menjadi begitu rendah dan semakin merosot di negara kaya daripada
di negara berkembang. Bank-bank alternatif serta keuangan yang berorientasi pada etika dan
keberlanjutan tampak seperti respons yang memungkinkan untuk situasi ini.

Keuangan untuk Keberlanjutan


Keuangan untuk keberlanjutan adalah bagaimana berorientasi pada etika dan keberlanjutan
keuangan dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan berkelanjutan. Hasil positif
untuk keberlanjutan berasal dari: i) penanganan yang tepat risiko lingkungan di perbankan dan
keuangan, dan ii) memastikan bahwa hubungan tersebut antara keuangan dan ketidaksetaraan
dipertahankan pada mode yang menguntungkan semua pihak.

Keuangan Etis hingga SDGs


Keuangan etis dan pengakuan (recognition) memainkan peran penting, seperti juga hukum dan
peraturan, dalam hal keuangan dan juga ekonomi, agar terbebas dari tujuan eksklusif yaitu
keuntungan untuk kepentingannya sendiri, sehingga lebih etis yaitu inklusif dan bermanfaat
untuk kesejahteraan kolektif. Kegunaannya terbukti jika kita berpikir bahwa melalui keuangan
etis investasi keuangan, dari tindakan yang murni teknis dan mungkin sedikit kering, menjadi
pilihan berdasarkan sistem nilai dan cita-cita, atau keyakinan religius, dan, dengan cara ini, alat
untuk perbaikan dan pengaruh kolektif penyebaran nilai-nilai sosial, kesejahteraan dan perilaku

27
bajik. Tanggung jawab sosial Dana investasi (SRI) dengan demikian menjadi alat untuk
"disiplin pasar" dan penyebaran etika, adil, dan dan perilaku berkelanjutan.

Sektor keuangan etis dan berkelanjutan menawarkan alternatif nyata untuk keuangan tradisional
mempertahankan mekanisme dasar (intermediasi, pengumpulan simpanan, pemberian
pinjaman), mencoba merumuskan kembali nilai-nilai referensi: orang daripada modal, ide
daripada aset, adil remunerasi investasi daripada spekulasi. Keuangan etis dan berkelanjutan
bertujuan untuk memperkenalkan, sebagai patokan, selain risiko dan keuntungan, juga
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip sosial, prinsip lingkungan dan etika / integritas, pengaruh
investasi pada ekonomi riil, cenderung untuk mengubah perilaku keuangan dalam arti yang
lebih sosial dan untuk membiayai semua kegiatan yang bergerak dengan pandangan untuk
pembangunan yang berkelanjutan secara manusiawi dan ekologis. Oleh karena itu, ini termasuk
tradisional kegiatan, tetapi ditandai dengan penghormatan terhadap prinsip-prinsip Corporate
Social Responsibility (CSR), keduanya dari sektor nirlaba - kerjasama sosial dan internasional,
ekologi, perlindungan hak asasi manusia, aktivitas budaya dan seni, dll. -, dan yang berada di
perbatasan sebagai perdagangan yang adil, organik pertanian, produksi ramah lingkungan,
energi alternatif dan, secara umum, semua itu kegiatan yang menghasilkan manfaat sosial dan
lingkungan (Milano, 2010).

Atas dasar ini kita dapat menarik taksonomi dari berbagai aktivitas keuangan yang termasuk
dalam pengertian keuangan etis dan berkelanjutan, yaitu keuangan yang: 1) melawan
pengecualian keuangan (keuangan mikro dan kredit mikro); 2) mendukung sektor yang
umumnya dianggap etis oleh kolektif hati nurani (berikut adalah dana SRI); 3) menghormati
hukum dan kode etik, beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip CSR. Oleh karena itu, di bidang
keuangan etis dan berkelanjutan kami menemukan (Ferri & Intonti, 2018):
• Instrumen keuangan khusus: dana SRI dan instrumen manajemen aset lainnya, kredit
mikro, alat inklusi keuangan dan sosial (keuangan mikro), perbankan migran, ketiga
pembiayaan sektor;
• Perantara keuangan khusus: bank etis, SGR etis, keuangan khusus institusi;
• Perantara keuangan tradisional dengan fokus pada tanggung jawab sosial.

Instrumen dan perantara ini, dalam memilih mata pelajaran ekonomi kepada siapa sumber daya
yang dikumpulkan dari para penabung untuk dialokasikan, dipilih, khususnya, perusahaan-
perusahaan yang bermoral dan berorientasi CSR - dan karena itu prihatin dengan dampak bisnis
28
mereka pada komunitas -, hormatilah parameter evaluasi etika ESG (Lingkungan, Sosial, Tata
Kelola) atau perusahaan yang mendasari operasi mereka berdasarkan prinsip-prinsip etika
fundamental dari Ajaran Sosial Gereja Katolik: martabat manusia dan kebaikan bersama (Ferri
& Intonti, 2018). Atau, tergantung pada tujuan yang dipilih dan spesialisasi yang lebih besar
atau kurang, sering mengalokasikan sumber daya kepada individu yang mengalami kesulitan
sosial-ekonomi terpinggirkan oleh keuangan tradisional.

Kebutuhan untuk memenuhi syarat konsep etika dengan benar, mengacu pada nilai-nilai
fundamental, seperti kemanusiaan martabat, dan norma moral alam membawa kita pada konsep
keberlanjutan, yang dimaksud dalam literatur untuk mendefinisikan investasi SRI. Menurut
Komisi Brundtland PBB (1987), pembangunan berkelanjutan, dari mana konsep keberlanjutan
didefinisikan sebagai itu yang "memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan
kemampuan masa depan generasi untuk menanggapi milik mereka sendiri ". Mengejar
keberlanjutan selalu menyiratkan keseimbangan antara tiga pilar: ekonomi, sosial dan
lingkungan. Kelestarian lingkungan mengacu pada keseimbangan antara input (sumber daya
alam) dan output dalam proses transformasi, sehingga menghasilkan output.

Jangan merusak input yang digunakan, seperti sumber daya yang tidak terbarukan, dan tidak
dapat diperbaiki. Keberlanjutan ekonomi, di sisi lain, menyiratkan menggunakan hasil yang
dihasilkan oleh modal (alam, manusia dan buatan) tanpa mengorbankan kemampuannya untuk
menghasilkan pendapatan baru. Terakhir, keberlanjutan sosial didasarkan pada keseimbangan
antara keadilan antargenerasi dan infra-generasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Berkelanjutan pembangunan dapat dicapai dengan pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip
yang baru saja disebutkan yang mana didefinisikan sebagai keuangan etis.

Bukan kebetulan bahwa keuangan juga penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) di Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa 2030. Faktanya, keuangan penting secara
keseluruhan tetapi sebagian besar berdampak pada empat bidang utama SDGs (United Nations
Global Compact / KPMG International, 2015):
1. AKSES: Meningkatkan inklusi keuangan individu (berdampak pada SDG 1, 2, 3, 4, 10),
kecil dan perusahaan menengah (SDG 5, 8) dan pemerintah (SDG 13). Ini termasuk
akses ke
1. mengamankan layanan dalam: sistem pembayaran, pengiriman uang, tabungan, kredit
dan asuransi. Ini penting jasa keuangan: i) memfasilitasi pembayaran barang dan jasa
29
yang aman, termasuk regional dan perdagangan internasional; ii) memungkinkan
kelancaran arus kas dan konsumsi dari waktu ke waktu; iii) penawaran perlindungan
finansial dan iv) mendukung alokasi modal yang lebih efisien.
2. INVESTASI: Berinvestasi, mendanai dan mengamankan energi terbarukan (SDGs 7,
13) dan lainnya proyek infrastruktur (SDGs 6, 9). Ini termasuk: bank yang
meningkatkan modal melalui hutang dan modal pasar untuk investasi swasta dan
pemerintah; manajer aset yang berinvestasi sebagai bagian dari portofolio yang
terdiversifikasi, serta untuk memenuhi kebutuhan investor berdampak; keuangan
internasional lembaga atau lembaga pembangunan dan dana kekayaan kedaulatan untuk
membantu mengurangi investasi risiko bagi investor institusi; investor institusi dan
lembaga keuangan dengan jangka yang lebih panjang cakrawala investasi - seperti dana
pensiun dan perusahaan asuransi – berinvestasi infrastruktur.
3. RISIKO: Memanfaatkan pengalaman risiko untuk secara langsung mempengaruhi
perilaku pelanggan dan menciptakan lebih banyak negara tangguh melalui: i)
mengembangkan model harga inovatif yang mempromosikan lebih berkelanjutan gaya
hidup dan produksi (SDG 12) dan ii) berbagi data risiko non-kepemilikan, analisis risiko
dan tata kelola risiko untuk meningkatkan kebijakan dan praktik publik (SDG 11). Ini
termasuk perusahaan asuransi bekerja sama untuk mengembangkan model risiko sumber
terbuka yang dapat menginformasikan pengurangan risiko bencana kebijakan dan
tindakan seperti zonasi lahan, kode bangunan dan investasi dalam ketahanan
infrastruktur.
4. EFEK TRANSVERSAL: berdampak positif pada lingkungan, sosial dan tata kelola
(ESG) praktik pelanggan dan perusahaan investee (SDG 13, 14, 15, 16). Ini bisa jadi
dicapai dengan: i) mengadopsi prinsip-prinsip praktik yang baik, kebijakan dan
kerangka risiko untuk mendorong transaksi bisnis dan investasi - terutama pada sektor
atau isu sensitif; ii) harga mencerminkan risiko dan peluang ESG; dan iii) panduan
untuk investasi aktif Dana SRI (Investasi Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab atau
Investasi Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab) terdiri dari entitas manajemen aset
yang bertanggung jawab secara sosial, berkelanjutan atau berorientasi etis, yang
memungkinkan tercapainya tujuan ekonomi bersama (yaitu memperoleh ekonomi yang
memadai kinerja) dan tujuan etis. Entitas ini, terutama dalam bentuk open-end mutual
dana, perusahaan investasi dengan modal saham variabel, dana pensiun dan Exchange
Traded Funds (ETFs), memungkinkan memilih bagaimana menggunakan tabungan yang
dikumpulkan atas dasar lingkungan, sosial dan parameter tata kelola yang baik (variabel
30
ESG) dan dapat dikelola dan ditempatkan baik oleh perantara tradisional dan perantara
yang alternatif dengan spesifik dan dinyatakan etis pedoman.

Prinsip menetapkan bahwa dana memenuhi syarat sebagai etika jika:


a. memiliki kebijakan investasi yang melarang pembelian sekuritas dan / atau
mendukung pembelian sekuritas berdasarkan kriteria selain pemaksimalan
pengembalian yang diharapkan dan / atau
b. mengikuti proses investasi sesuai dengan prinsip-prinsip selain dari
pemaksimalan pengembalian yang diharapkan (tata kelola dana).

Dibandingkan dengan dana investasi tradisional, dana SRI menggabungkan tujuan kinerja
ekonomi dengan kinerja etis, berdasarkan penghormatan terhadap prinsip dan nilai sosial
tanggung jawab. Oleh karena itu, kebijakan investasi dana SRI bertujuan untuk investasi yang
berkelanjutan sebagaimana dijabarkan dalam enam Prinsip Investasi Bertanggung Jawab (PRI),
yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa:
• PRI 1: Kami akan memasukkan masalah ESG ke dalam analisis investasi dan proses
pengambilan keputusan.
• PRI 2: Kami akan menjadi pemilik aktif dan memasukkan masalah ESG ke dalam
kebijakan kepemilikan kami dan praktek.
• PRI 3: Kami akan mengupayakan pengungkapan yang sesuai tentang masalah ESG oleh
entitas tempat kami berinvestasi.
• PRI 4: Kami akan mendorong penerimaan dan penerapan Prinsip-Prinsip dalam
investasi industri.
• PRI 5: Kami akan bekerja sama untuk meningkatkan efektivitas kami dalam
menerapkan Prinsip.
• PRI 6: Kami masing-masing akan melaporkan aktivitas dan kemajuan kami dalam
menerapkan Prinsip.

Framework Keuangan Berkelanjutan


Peran sistem keuangan
Schoenmaker (2018) menyoroti bagaimana sistem keuangan memfasilitasi pengambilan
keputusan tentang trade-off antara tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Levine (2005)
mencantumkan fungsi sistem keuangan:
• Menghasilkan informasi ex ante tentang kemungkinan investasi dan mengalokasikan modal;
31
• Memantau investasi dan menerapkan tata kelola perusahaan setelah memberikan keuangan;
• Memfasilitasi perdagangan, diversifikasi, dan manajemen risiko;
• Memobilisasi dan mengumpulkan tabungan;
• Kemudahan pertukaran barang dan jasa.

Tiga fungsi pertama sangat relevan untuk keuangan berkelanjutan. Alokasi pendanaan untuk
penggunaan yang paling produktif merupakan peran kunci dari keuangan. Keuangan karena itu
baik-baik saja diposisikan untuk membantu dalam membuat keputusan strategis pada trade-off
antara berkelanjutan tujuan. Sementara pertimbangan yang lebih luas memandu strategi
organisasi tentang keberlanjutan, pendanaan merupakan persyaratan untuk mencapai tujuan
yang berkelanjutan.

Keuangan memainkan peran ini di berbagai tingkat. Di sektor keuangan, bank misalnya yang
menentukan strategi pinjaman mereka mengenai sektor dan proyek mana yang memenuhi syarat
untuk dipinjamkan dan yang mana tidak. Begitu pula dengan dana investasi yang mengatur
strategi investasinya, yang mengarahkan ke aset mana dana tersebut diinvestasikan dan di mana
aset tidak. Dengan demikian, sektor keuangan dapat memainkan peran utama transisi ke
ekonomi sirkular rendah karbon. Jika sektor keuangan memilih untuk membiayai perusahaan
dan proyek yang berkelanjutan, mereka dapat mempercepat transisi dalam hal memantau
investasinya, investor juga dapat mempengaruhi perusahaan yang masuk yang mereka
investasikan. Investor dengan demikian memiliki peran yang kuat dalam mengendalikan dan
mengarahkan perusahaan papan. Peran tata kelola juga melibatkan keseimbangan berbagai
kepentingan korporasi pemangku kepentingan, termasuk kepentingan lingkungan dan
masyarakat. Tren peningkatan dalam investasi berkelanjutan adalah keterlibatan dengan
perusahaan yang diharapkan mengurangi risiko kejadian buruk yang terjadi di perusahaan
tersebut.

Keuangan pandai menentukan harga risiko arus kas masa depan untuk tujuan penilaian. Karena
tingginya ketidakpastian yang melekat tentang masalah lingkungan (misalnya bagaimana
persisnya peningkatan emisi karbon akan mempengaruhi iklim, dan waktu serta bentuk
kebijakan mitigasi iklim), risiko manajemen dapat membantu meminimalkan risiko ini. Analisis
skenario semakin banyak digunakan untuk menilai risiko dan penilaian di bawah skenario yang
berbeda (contohnya untuk skenario iklim lihat Bianchini dan Gianfrate, 2018). Saat harga

32
potensial emisi karbon di masa depan menjadi lebih jelas, investor dan perusahaan memiliki
insentif untuk mengurangi emisi tersebut.

Tiga tahap keuangan berkelanjutan


Keuangan berkelanjutan dapat mendukung pembangunan berkelanjutan (Schoenmaker, 2018).
Gambar 2 menunjukkan kerangka berpikir untuk mengelola pembangunan berkelanjutan. Di
tingkat ekonomi, keuntungan finansial dan trade-off risiko dioptimalkan. Orientasi keuangan ini
mendukung gagasan memaksimalkan keuntungan oleh organisasi dan pertumbuhan ekonomi
negara. Selanjutnya, di tingkat masyarakat, dampaknya keputusan bisnis dan keuangan pada
masyarakat dioptimalkan. Dan akhirnya di tingkat lingkungan, dampak lingkungan
dioptimalkan. Setiap level ada interaksi antar dan intra level.

Gambar 2. Mengelola Pembangunan Berkelanjutan

Konsep keuangan berkelanjutan telah berkembang sebagai bagian dari pengertian bisnis yang
lebih luas keberlanjutan selama beberapa dekade terakhir (Dyllick dan Muff, 2016)).
Schoenmaker (2018) membagi framework keuangan berkelanjutan menjadi empat aspek: i)
nilai yang diciptakan; ii) peringkat ketiga faktor; iii) metode optimasi; dan iv) cakrawala di
Tabel 1. Evolusi menyoroti perluasan dari nilai pemegang saham hingga nilai pemangku
kepentingan atau triple bottom line: manusia, planet, keuntungan. Itu tahap terakhir melihat
pada penciptaan nilai kebaikan bersama (Tirole, 2017). Untuk menghindari dikotomi barang
pribadi versus barang publik, digunakan istilah barang bersama mengacu pada apa dibagikan
dan bermanfaat bagi semua atau sebagian besar anggota komunitas tertentu. Selanjutnya,
peringkat menunjukkan pergeseran dari tujuan ekonomi pertama ke tantangan sosial dan
lingkungan (kebaikan bersama) pertama. Cakrawala juga diperluas dari jangka pendek ke
jangka panjang di sepanjang tahapan.

Tabel 2. Framework Sustainable Finance (Schoenmaker, 2018)


33
Tipologi Penciptaaan Ranking Faktor Optimisasi Jangka Waktu
Keuangan Nilai
Berkelanjutan
Keuangan Maksimisasi F Max F Jangka Pendek
tradisional nilai Pemegang
saham
Sustainable Nilai Pemegang F>>S dan E Max F subject Jangka Pendek
Finance 1.0 Saham pada S dan E
Sustainable Nilai T = F+S+E Optimasi T Jangka
Finance 2.0 Stakeholder Menengah
(triple bottom
line)
Sustainable S dan E>F Optimasi S dan Jangka Panjang
Finance 3.0 E dengan
subyek F
Catatan : F = financial value, S= social impact, E= environmental impact, T= total value.
Pada Sustainable Finance 1.0, maksimisasi F adalah subyek untuk minor S dan konstrain E.

Pada keuangan tradisional, nilai pemegang saham dimaksimalkan dengan mencari keuangan
yang optimal kombinasi pengembalian dan risiko. Tabel 2 memberi label ini pendekatan
keuangan seperti biasa. Meskipun nilai pemegang saham juga harus melihat pada jangka
menengah hingga jangka panjang, ada insentif bawaan untuk jangka pendek, seperti pelaporan
keuangan triwulanan dan bulanan / triwulanan benchmarking kinerja investasi. Keuangan
seperti biasa konsisten dengan argumennya dari Friedman (1970) bahwa 'bisnis bisnis adalah
bisnis'. Satu-satunya tanggung jawab sosial bisnis adalah menggunakan sumber dayanya dan
terlibat dalam aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keuntungannya selama itu tetap
dalam aturan permainan. Friedman (1970) berpendapat bahwa itu adalah tugas pemerintah
untuk menjaga tujuan sosial dan lingkungan dan menetapkan aturan mainnya keberlanjutan.
Namun, permintaan produk pada akhirnya berasal dari kebutuhan masyarakat. Apalagi
eksternalitas tidak dapat dipisahkan secara sempurna dari keputusan produksi (Hart dan
Zingales, 2017). Selama disana adalah kasus yang baik terhadap filantropi perusahaan, tidak
ada kasus yang menentang integrasi keberlanjutan menjadi strategi dan keuangan. Tiga tahap
tipologi Keuangan Berkelanjutan (SF) di Tabel 2 dibahas satu demi satu lainnya di bawah.
Tahapannya bergerak dari pertama keuangan, ke semua aspek sederajat, dan terakhir ke
lingkungan sosial dampak pertama (peringkat faktor di kolom ketiga Tabel 2).

Keuangan Berkelanjutan 1.0 - memaksimalkan keuntungan dan menghindari saham


'dosa'

34
Langkah pertama dalam keuangan berkelanjutan adalah lembaga keuangan menghindari
investasi atau pinjaman kepada, yang disebut perusahaan 'dosa'. Ini adalah perusahaan dengan
dampak yang sangat negatif. Di ranah sosial, mereka termasuk perusahaan yang menjual
tembakau, ranjau anti-personil dan bom kluster atau yang mengeksploitasi pekerja anak. Di
bidang lingkungan, contoh klasik dampak yang sangat negatif adalah pembuangan limbah dan
perburuan paus. Baru-baru ini, beberapa keuangan institusi telah mulai menempatkan batu bara
dan bahkan kategori bahan bakar fosil yang lebih luas di daftar pengecualian karena emisi
karbon. Daftar pengecualian ini sering kali dipicu di bawah tekanan dari organisasi non-
pemerintah, yang menggunakan media tradisional dan sosial untuk pesan mereka (Dyllick dan
Muff, 2016).

Tetapi efek eksklusi dan divestasi terbatas (Skancke, 2016), dari pandangan umum perspektif
ekuilibrium, ada pembeli yang bersedia untuk setiap saham yang dijual lembaga keuangan.
Divestasi oleh semakin banyak investor dapat menurunkan harga saham perusahaan, yang mana
mungkin pada gilirannya membuat peningkatan modal baru melalui penerbitan saham lebih
mahal bagi perusahaan perusahaan. Namun, sumber pendanaan ini lebih kecil dari laba ditahan
dan hutang pembiayaan. Efek lainnya adalah divestasi dapat menstigmatisasi suatu sektor atau
perusahaan terhadap titik di mana mereka kehilangan izin sosial untuk beroperasi. Hal ini
mengurangi investasi di sektor itu. Kriteria pengecualian yang ditargetkan pada satu sektor atau
yang terburuk pelaku dalam suatu sektor dapat berpengaruh dengan menetapkan norma untuk
standar yang dapat diterima.

Varian yang lebih positif datang dari pendekatan nilai pemegang saham yang lebih halus yaitu
jika finansial lembaga dan perusahaan menerapkan sistem untuk energi dan manajemen emisi,
pembelian berkelanjutan, IT, gedung dan infrastruktur untuk meningkatkan lingkungan standar,
dan semua jenis keragaman dalam pekerjaan. Tujuan yang mendasari ini kegiatan tetap
ekonomis. Meskipun memperkenalkan keberlanjutan ke dalam bisnis mungkin menghasilkan
efek samping positif untuk beberapa aspek keberlanjutan, tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi biaya dan risiko bisnis, untuk meningkatkan reputasi dan daya tarik bagi bakat
manusia baru atau yang sudah ada, kepada menanggapi permintaan dan segmen pelanggan
baru, dan dengan demikian meningkatkan keuntungan, pasar posisi, daya saing dan nilai
pemegang saham dalam jangka pendek. Keberhasilan bisnis masih dievaluasi dari sudut
pandang ekonomi murni dan tetap fokus untuk melayani bisnis itu sendiri dan tujuan

35
ekonominya (Dyllick dan Muff, 2016). Nilai atau keuntungan pemegang saham maksimisasi
masih menjadi prinsip panduan bagi organisasi, meskipun dengan beberapa perbaikan.

Fungsi tujuan formal untuk pendekatan pemaksimalan laba halus investor dapat diturunkan.
Investor mengoptimalkan nilai finansial 𝐹𝑉 dari portofolionya dengan meningkatkan
keuntungan dan mengurangi risiko mereka (yaitu variabilitas keuntungan), sambil menghindari
dampak negatif berlebihan sosial dan lingkungan dengan menetapkan tingkat minimum SEV min
Fungsi tujuan diberikan oleh:
Max FV = F(profit, risk) subyek untuk F 'profits> 0 , F 'risk < 0 , SEV ≥ SEV min Persamaan 2.

Dimana 𝐹𝑉 = nilai finansial = keuntungan yang diharapkan saat ini dan keuntungan masa depan
yang didiskon, dan 𝑆𝐸𝑉 = nilai sosial dan lingkungan. F 'profits adalah turunan parsial dari 𝐹

sehubungan dengan yang pertama istilah, dan F 'risk sehubungan dengan istilah kedua. Optimasi
ini bisa dimanfaatkan oleh investor dalam kerangka mean-variance untuk mengoptimalkan
portofolionya dan oleh bank dan korporasi dalam kerangka nilai sekarang bersih untuk
memutuskan pembiayaan proyek baru.

Keuangan Berkelanjutan 2.0 - Internalisasi eksternalitas untuk menghindari risk


Dalam Keuangan Berkelanjutan 2.0, lembaga keuangan secara eksplisit memasukkan aspek
sosial negatif dan eksternalitas lingkungan ke dalam pengambilan keputusan mereka. Dalam
jangka menengah hingga panjang cakrawala, ada kekuatan pemerintah (regulasi dan perpajakan
masa depan) dan kekuatan sosial di tempat kerja, yang menekan investor dan bisnis untuk
menginternalisasi sosial dan eksternalitas lingkungan. Memasukkan eksternalitas sehingga
mengurangi risiko itu investasi keuangan menjadi tidak layak. Risiko ini terkait dengan
kematangan keuangan instrumen, dan dengan demikian lebih besar untuk ekuitas (saham)
daripada untuk hutang (obligasi dan pinjaman). Di Sisi positifnya, internalisasi eksternalitas
membantu lembaga keuangan dan perusahaan memulihkan kepercayaan, yang merupakan
cerminan dari risiko reputasi. Melampirkan nilai finansial pada dampak sosial dan lingkungan
memfasilitasi pengoptimalan proses di antara berbagai aspek (F, S, E). Inovasi dalam teknologi
(pengukuran, teknologi informasi, manajemen data) dan sains (analisis siklus hidup, siklus
hidup sosial analisis, analisis input-output yang diperluas secara lingkungan, ekonomi
lingkungan) monetisasi dampak sosial dan lingkungan mungkin (True Price, 2014). Di dalam
cara, total atau nilai sebenarnya T dapat ditetapkan dengan menjumlahkan finansial, sosial dan

36
nilai-nilai lingkungan secara terintegrasi. Lembaga keuangan dan perusahaan menggunakan
tingkat diskonto swasta (yang lebih tinggi dari tingkat diskonto publik karena ketidakpastian)
untuk mendiskontokan arus kas masa depan. Stern (2008) berpendapat bahwa faktor diskon
publik seharusnya sangat kecil atau nol dalam pembangunan berkelanjutan, karena pemerintah
harus menghargai generasi sekarang dan yang akan datang secara setara. Karena dampak sosial
dan lingkungannya terutama dirasakan dalam jangka panjang, diskon pribadi menyebabkan
kurangnya upaya dari sosial perspektif kesejahteraan.

Metodologi untuk menghitung nilai total melibatkan pengukuran, monetisasi dan


menyeimbangkan nilai finansial dan non finansial (True Price, 2014; KPMG, 2014). Gambar 3
menggambarkan empat langkah untuk menghitung nilai total:
1. Dimulai dengan menghitung nilai finansial dan mengukur serta menghasilkan uang
dari sosial dan dampak lingkungan (bar 1);
2. Kemudian menginternalisasi eksternalitas sosial dan lingkungan dan menghitung
totalnya nilai sebagai jumlah nilai (bar 2);
3. Berikutnya disesuaikan untuk memperhitungkan kombinasi ketiga faktor tersebut.
Seperti yang dijelaskan di bagian 2, ada beberapa trade-off non-linier antara ekonomi, sosial
dan aspek lingkungan dari investasi perusahaan. Monetisasi membantu perusahaan untuk
menemukan kombinasi optimal dari ketiga faktor tersebut. Dalam contoh kami, korporasi
mampu mengurangi dampak sosial dan lingkungan dari 3 menjadi 1 secara ekstra biaya 1 (bar
3) dengan menyesuaikan proses produksinya2;
4. Terakhir, dihitung nilai total T * (bar 4).

Gambar 3. Dari Nilai Keuangan ke Nilai Total

37
Namun, pengoptimalan nilai total dapat menyebabkan hasil yang berlawanan: negatif dampak
lingkungan dari deforestasi, misalnya, dapat diimbangi dengan keuntungan ekonomi yang
besar; dengan kata lain melegitimasi kehancuran. Untuk menghindari hasil ini, kami
menggabungkannya persamaan 2 kendala bahwa nilai sosial-lingkungan tidak dapat diperburuk
dibandingkan dengan nilai awalnya. Peringatan lain adalah ketidakpastian yang melekat
(misalnya, yang mendasari skenario iklim) yang membuat penetapan harga menjadi sulit.
Masalah terakhir adalah partisipasi (Coulson, 2016).

Produsen dapat melibatkan pemangku kepentingan dalam penerapan metodologi nilai total
membentuk konsepsi risiko dan nilai-nilai yang lebih inklusif dan pluralis untuk sosial dan
dampak lingkungan. Fungsi tujuan formal investor dapat mengoptimalkan nilai total portofolio
mereka diturunkan. Untuk menginternalisasi eksternalitas sosial dan lingkungan, investor
mengoptimalkan total atau nilai sebenarnya 𝑇𝑉 dari portofolio mereka. Nilai total adalah
jumlah dari nilai finansial, nilai sosial dan nilai lingkungan: 𝑇𝑉 = 𝐹𝑉 + SEV p + EV p.
Superscript 𝑝 untuk nilai diskon pribadi dari dampak sosial dan lingkungan.
Investor dengan demikian mengoptimalkan nilai total 𝑇𝑉 dari portofolionya dengan
meningkatkan keuntungan total mereka, dan mengurangi risiko mereka (yaitu variabilitas
keuntungan total), sementara tidak memperburuk kondisi sosial mereka dan dampak lingkungan
SEV p . Fungsi tujuan diberikan oleh :

max TV =F ( total profits , total risk ) subyek pada


F 'tot profits >0, F 'totrisiko < 0 , SEV tp+1 ≥ SEV tp

Dimana 𝑆SEV tp+1 = dampak sosial dan lingkungan periode berikutnya. Sejalan dengan nilai total
metodologi, tidak hanya keuntungan tetapi juga risiko dinilai secara terintegrasi (yaitu
terintegrasi melintasi tiga nilai), yang mencakup kovariansi antara keuntungan.

Keuangan Berkelanjutan 2.0 hadir dalam berbagai bentuk. Contohnya adalah triple bottom line
(orang, planet, laba) dan akuntansi laba rugi terintegrasi. Dalam tata kelola perusahaan,
dibicarakan tentang pendekatan pemangku kepentingan yang diperluas, di mana tidak hanya
pemangku kepentingan langsung, seperti itu sebagai pemegang saham, pemasok, karyawan dan
pelanggan, tetapi juga masyarakat dan lingkungan, sebagai pemangku kepentingan tidak

38
langsung, disertakan. Namun demikian, Dyllick dan Muff (2016) mengklaim hal itu korporasi
masih mengadopsi perspektif dari dalam ke luar dengan menanyakan bagaimana mereka dapat
mengurangi sosial mereka dan dampak lingkungan. Meskipun ini membantu, ini juga
membatasi potensi mereka untuk mengatasinya tantangan sosial dan lingkungan.

Keuangan Berkelanjutan 3.0 - berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sambil


mengamati kelangsungan finansial
Keuangan Berkelanjutan 3.0 bergerak dari risiko ke peluang. Daripada menghindari tidak
berkelanjutan perusahaan dari perspektif risiko, lembaga keuangan hanya berinvestasi pada
perusahaan yang berkelanjutan dan proyek. Dalam pendekatan ini, keuangan merupakan sarana
untuk mendorong pembangunan berkelanjutan, untuk Misalnya dengan mendanai perawatan
kesehatan, bangunan hijau, ladang angin, produsen mobil listrik dan proyek penggunaan
kembali lahan. Titik awal Keuangan Berkelanjutan 3.0 adalah pemilihan proyek investasi yang
positif tentang potensinya untuk menghasilkan dampak sosial dan lingkungan; membuat daftar
inklusi bukannya daftar pengecualian seperti di Keuangan Berkelanjutan 1.0. Dengan cara ini,
sistem keuangan melayani agenda pembangunan berkelanjutan dalam jangka menengah hingga
panjang.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana bagian finansial dari keputusan tersebut
diambil. Penting komponen pembangunan berkelanjutan adalah kelayakan ekonomi dan
keuangan. Kelayakan finansial dalam bentuk keuntungan finansial yang adil (yang minimal
mempertahankan modal), adalah suatu kondisi untuk investasi dan pinjaman yang
berkelanjutan; jika tidak, proyek mungkin perlu dibatalkan sebelum waktunya karena
kekurangan finansial.

Fungsi tujuan formal untuk pendekatan ini dapat diturunkan. Untuk mendorong berkelanjutan
pembangunan, investor mengoptimalkan dampak sosial-lingkungan atau nilai 𝑆𝐸𝑉 mereka
portofolio, yang merupakan penjumlahan dari nilai sosial dan lingkungan 𝑆𝐸𝑉 = 𝑆𝑉 + 𝐸𝑉, oleh
meningkatkan dampaknya, dan mengurangi risiko (yaitu variabilitas dampak), tunduk pada nilai
finansial minimum FV min . Fungsi tujuan diberikan oleh Persamaan 3 :

max SEV =F ( impact , risk ) subyek pada F 'impact >0, F 'risk < 0, FV t +1 ≥ F min
t +1

39
Kelayakan finansial atau nilai finansial minimum dapat disajikan sebagai berikut:

FV min fair
t +1= ( 1+r ) FV min
t , dimana r
fair
>0, adalah pengembalian finansial yang adil untuk satu
periode.

Kunci perubahan adalah peranan keuangan 𝐹𝑉 berubah dari primacy (maksimalisasi


keuntungan dalam persamaan 1) menjadi melayani (sarana atau kondisi untuk mengoptimalkan
pembangunan berkelanjutan pada persamaan 3).

Apa yang disebut keuntungan finansial yang adil? Responden Survei Investasi Dampak
Tahunan (GIIN, 2016), 59 persen terutama menargetkan pengembalian tingkat pasar yang
disesuaikan dengan risiko. Dari sisanya, 25 persen terutama menargetkan pengembalian di
bawah harga pasar yang mendekati harga pasar pengembalian, dan 16 persen target
pengembalian yang lebih dekat dengan pelestarian modal. Sehingga sebagian besar mengejar
keuntungan dengan harga pasar atau mendekati, sementara kelompok kecil menerima
pengembalian yang lebih rendah karena alasan keberlanjutan.

Lebih luas lagi, pertanyaannya adalah apakah investor termasuk penerima manfaat akhir, seperti
pensiunan saat ini dan masa depan siap untuk berpotensi melepaskan sejumlah keuntungan
finansial pertukaran untuk pengembalian sosial dan lingkungan (misalnya menikmati pensiun
mereka di tempat yang layak huni dunia). Preferensi sosial memegang peranan penting bagi
investor dalam bertanggung jawab secara sosial investasi (SRI), sementara motif keuangan
tampaknya tidak begitu penting (Riedl dan Smeets, 2017). Investor SRI berharap mendapatkan
keuntungan yang lebih rendah dari dana SRI daripada dari dana konvensional, menunjukkan
bahwa mereka bersedia mengorbankan kinerja keuangan dalam rangka untuk berinvestasi
sesuai dengan preferensi sosial mereka. Namun, ex ante tidak jelas apa itu efek akhir dari
investasi berdampak pada keuntungan finansial. Jika koalisi investor, misalnya, dapat
mempercepat transisi menuju pembangunan berkelanjutan, akan lebih sedikit peluang
pengembalian finansial negatif karena peristiwa cuaca ekstrem atau aset yang terdampar
(Schoenmaker, 2017). Argumen ini bergantung pada jumlah investasi yang cukup besar pindah
ke keuangan berkelanjutan.

Pada kinerja investasi, terdapat gambaran yang beragam tentang hubungan antar korporasi
kinerja sosial-lingkungan dan kinerja keuangan. Meninjau beberapa penelitian, Busch, Bauer

40
dan Orlitzky (2016) menyimpulkan bahwa, paling tidak, tidak ada indikasi yang jelas dari
hubungan negatif, atau trade-off, antara lingkungan sosial perusahaan kinerja dan kinerja
keuangan perusahaan. Sedangkan bukti keuangan kinerja perusahaan yang memperhatikan
lingkungan secara umum, sosial dan faktor tata kelola (ESG) beragam, Khan, Serafeim dan
Yoon (2016) menemukan bahwa perusahaan itu fokus pada masalah ESG material (yaitu
masalah ESG ini yang relevan untuk perusahaan atau industri tempatnya beroperasi)
menunjukkan kinerja keuangan yang unggul.

Di bidang perbankan, Global Alliance for Banking on Values (2016) membandingkan


sekelompok 25 orang bank berkelanjutan dengan kelompok 30 bank penting secara sistemik
global (dipilih dan diterbitkan oleh Dewan Stabilitas Keuangan). Bank-bank yang berkelanjutan
menjaga keuangan mereka pengembalian melalui krisis keuangan global dengan pengembalian
ekuitas berfluktuasi antara 4 dan 10 persen selama periode 2005-2015. Pada saat yang sama,
laba rata-rata atas ekuitas untuk bank global berfluktuasi antara 0 dan 15 persen selama periode
yang sama (lihat ECB (2015) untuk hasil serupa untuk bank kawasan euro). Sedangkan rata-rata
pengembalian ekuitas untuk PT kelompok bank berkelanjutan sedikit lebih rendah pada 8,3
persen dibandingkan 8,7 persen untuk bank global selama periode 2006-2015, varians lebih
rendah untuk bank berkelanjutan di standar deviasi 4,9 persen dibandingkan dengan 7,7 persen
untuk bank global. Lebih kecil varians pengembalian ekuitas dapat dijelaskan oleh dua faktor:
pengembalian aset yang stabil (sekitar 0,5 hingga 0,7 persen untuk bank berkelanjutan versus
0,2 hingga 0,8 persen untuk global bank selama periode 2006-2015) dan rasio modal yang lebih
tinggi (1 hingga 1,5 persen lebih tinggi untuk bank berkelanjutan). Leverage tinggi dengan lebih
banyak hutang dan lebih sedikit ekuitas - yang setara dengan rasio modal yang lebih rendah -
berkontribusi terhadap variabilitas dalam laba atas ekuitas bank dan dengan demikian
meningkat risiko bank, seperti yang ditemukan dalam kasus bank global.

Ortiz-de-Mandojana dan Bansal (2016) menyelidiki manfaat jangka pendek dan jangka panjang
ketahanan organisasi melalui praktik bisnis yang berkelanjutan. Dalam jangka panjang, lebih
tinggi tingkat kelangsungan hidup organisasi yang berkelanjutan diharapkan, karena ketahanan
membantu perusahaan untuk menghindar krisis dan bangkit kembali dari guncangan. Mereka
menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi bertanggung jawab praktek sosial dan
lingkungan, relatif terhadap kelompok kontrol yang dicocokkan dengan hati-hati, lebih rendah
ketidakstabilan keuangan, pertumbuhan penjualan yang lebih tinggi, dan peluang bertahan
hidup yang lebih tinggi selama periode 15 tahun. Namun, mereka tidak menemukan perbedaan
41
dalam keuntungan jangka pendek. Ini menunjukkan bahwa tidak ada biaya jangka pendek untuk
mengadopsi praktik keberlanjutan. Namun, bukti tentang investasi yang bertanggung jawab
secara sosial (SRI) yang menggabungkan masalah lingkungan, sosial dan tata kelola dalam
keputusan investasi beragam. Dalam sebuah metastudy tentang kinerja dana SRI, Renneboog,
Ter Horst dan Zhang (2008) melaporkan itu studi yang ada di tingkat portofolio mengisyaratkan
tetapi tidak secara univocally menunjukkan SRI itu dana investasi berkinerja lebih buruk
daripada dana konvensional. Tapi Bauer, Koedijk dan Otten (2005) menemukan sedikit bukti
bahwa kinerja rata-rata SRI di AS dan Inggris berbeda dari dana konvensional. Baru-baru ini,
Ferrell, Liang dan Renneboog (2016) menemukan file hubungan positif antara tanggung jawab
sosial perusahaan dan nilai (diukur dengan Tobin's Q, yang berarti nilai pasar dibagi dengan
nilai buku). Tanggung jawab sosial perusahaan dengan demikian dapat menghasilkan lebih
banyak keuntungan bagi investor melalui peningkatan nilai perusahaan. Meski hasilnya telah
dicampur, sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan positif antara kinerja lingkungan
perusahaan dan kinerja keuangan perusahaan (Dixon-Fowler et al., 2013). Pindah ke tata kelola
perusahaan, teori legitimasi mendukung Keuangan Berkelanjutan 3.0, yang menargetkan
penciptaan nilai jangka panjang untuk kebaikan bersama. Teori legitimasi menunjukkan bahwa
perusahaan bertujuan untuk melegitimasi aksi korporasi mereka untuk mendapatkan persetujuan
masyarakat dan dengan demikian, untuk memastikan kelangsungan hidup mereka (Omran dan
Ramdhony, 2015). Ini izin sosial untuk beroperasi mewakili segudang harapan yang dimiliki
masyarakat tentang bagaimana suatu organisasi harus melakukan operasinya. Korporasi dengan
demikian bertindak dalam batas-batas dan norma tentang apa yang diidentifikasi oleh
masyarakat sebagai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial, termasuk pertemuan sosial
dan standar lingkungan.

Terakhir, Dyllick dan Muff (2016) berpendapat bahwa korporasi perlu mengembangkan suatu
sisi luar ke dalam perspektif dengan menanyakan bagaimana mereka dapat berkontribusi secara
efektif untuk memecahkan masalah sosial dan tantangan lingkungan (alih-alih melihat ke dalam
dengan menanyakan bagaimana mereka dapat menguranginya dampak sosial dan lingkungan).
Perspektif luar ke dalam ini memungkinkan perusahaan untuk mengambil pendekatan sistem
menuju keberlanjutan di tingkat makro. Hal ini memerlukan perspektif sistem sosial-ekologi
yang terintegrasi diperlukan untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut antara praktik yang
muncul dalam investasi berkelanjutan dan bisnis di tingkat mikro dan hasil atau dampak di
tingkat makro. Pada aspek lingkungan, sistem ini pendekatan dimulai dengan batas planet atau
batas ekologi. Jadi, sumber daya alam tidak habis, limbah digunakan kembali dan emisi karbon
42
tetap dalam anggaran karbon yang tersedia untuk membatasi pemanasan global. Singkatnya,
'anggaran' yang tersedia atau berkelanjutan menghormati yang tertutup siklus lingkungan alam
dan dengan demikian mengarah ke ekonomi lingkaran atau lingkaran tertutup (Busch, Bauer
dan Orlitzky, 2016).

Investasi Environmental, Society and Governance (ESG)


KPMG Luxembourg (2020) memasukkan faktor Environmental, Society dan Governance
(ESG) ke dalam kriteria investasi karena ada kebutuhan para investor mengenai inklusi ESG
dan pengukuran hasil kinerja perusahaannya. Sampai saat ini kemajuan terus dibuat, misalnya,
lebih pengambilan keputusan investasi ESG secara proses formal, pendekatan khusus sektor
dan pemahaman yang lebih baik tentang konsep materialitas mengenai faktor ESG ini.

Produk Hijau : Pembiayaan hijau dan pengembangan kerangka pembiayaan hijau


Coleton, Brucard, Gutierrez (2020) menjelaskan bahwa keuangan hijau adalah pasar yang
berkembang pesat. Kajian Climate Bond Initiative pada 2018 menyimpulkan bahwa total emisi
global mencapai USD 377 miliar dan Eropa telah menjadi pasar regional terbesar dengan USD
141 miliar dari penerbitan obligasi hijau kumulatif dan 144 penerbit sejak 2010 ketika obligasi
hijau Eropa pertama diterbitkan.

Secara khusus, sejak Perjanjian Paris, penekanan penting telah diberikan pada keuangan hijau
dan pelaku pasar menjadi semakin antusias tentang hal itu. Selain itu, ruang lingkup keuangan
hijau telah berkembang melampaui spektrum publik dan pelaku swasta semakin terlibat.

Pasar obligasi hijau telah menjadi semacam trendsetter untuk keuangan hijau. Obligasi hijau ini,
seringkali ditinjau secara eksternal pada aspek 'hijau', telah diterbitkan untuk membiayai dan
membiayai kembali aset dan proyek dengan kontribusi lingkungan yang positif. Volume
pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung transisi menuju ekonomi yang lebih
berkelanjutan juga diharapkan akan mengubah alokasi arus keuangan antara kegiatan intensif
karbon dan kegiatan ramah lingkungan, sehingga meningkatkan investasi dalam obligasi hijau
di masa mendatang. Di Eropa, menurut Komisi Eropa, kesenjangan investasi untuk mencapai
target 2030 yang disepakati Uni Eropa di Paris diperkirakan sekitar EUR 180 miliar per tahun.

Bank memainkan peran kunci dalam pengembangan pasar keuangan hijau, mengingat posisi
unik mereka dalam memfasilitasi aliran modal melalui peran pinjaman, investasi, dan
43
penasehat. Di dalam bank juga terdapat keterampilan penjaminan emisi dan keahlian
pembangunan yang sangat penting untuk transisi menuju lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Itu Tantangan bagi industri perbankan terletak pada menjembatani pasokan dan permintaan
produk ramah lingkungan dengan mempertimbangkan seluruh spektrum risiko yang mungkin
timbul di lingkungan baru ini.

Obligasi Hijau
Dua standar hijau yang saat ini paling banyak digunakan oleh pasar telah dikembangkan oleh
International Capital Market Association (ICMA) 44 (standar yang ditetapkan untuk obligasi
hijau, transparansi dan pengungkapan) dan Prakarsa Obligasi Iklim (skema sertifikasi yang
ditetapkan untuk label obligasi hijau berdasarkan iklim standar). Beberapa bank dan lembaga
pemeringkat juga telah menyusun indeks untuk memungkinkan investor mengukur kinerja
obligasi hijau. Selanjutnya, pada 18 Juni 2019, TEG mempublikasikan Report on EU Green
Bond Standard Report. TEG mengusulkan agar Komisi menciptakan Standar Obligasi Hijau UE
yang bersifat sukarela dan non-legislatif untuk meningkatkan efektivitas, transparansi,
komparabilitas, dan kredibilitas pasar obligasi hijau dan untuk mendorong pelaku pasar untuk
menerbitkan dan berinvestasi dalam obligasi hijau UE.

Tabel 2. Standar hijau yang ditetapkan oleh pasar (Coleton, Brucard, Gutierrez (2020)
Prinsip Obligasi Inisiatif Obligasi Index Obligasi Hijau
hijau Iklim
Siapa yang Group yang lebih Organisasi Non Setiap indeks
membangun? dari 50 investor profit yang fokusnya dikelola oleh bank
keuangan besar investor atau lembaga
internasional peringkat kredit
Definisi Prinsip voluntary Sebuah standar Indeks dirancang
yang dimana emiten dapat untuk membantu
menggarisbawahi memiliki sertifikat investor mengukur
praktek baik untuk green bond mereka kinerja obligasi hijau
proses penerbitan Standar menentukan Masuknya indeks
obligasi hijau apa yang hijau dan obligasi hijau dapat
termasuk : spesifikasi teknologi meningkatkan
Penggunaan dana menentukan jenis reputasi, kredibilitas,
Proses evaluasi dan proyek terkait iklim dan visibilitas
kriteria Ini adalah standar emiten bagi investor
Pengelolaan proceed multi-sektor yang
Reporting mencakup, misalnya,
investasi energi
44
matahari dan angin,
bangunan rendah
karbon, transportasi,
air, pertanian, dan
sektor lainnya.

Aset / Pinjaman Hijau


Perkembangan standar dan produk aset hijau kurang berkembang dibandingkan dengan
obligasi. Yang paling banyak digunakan di UE adalah prinsip pinjaman hijau dari Loan Market
Association (LMA) dan rencana aksi hipotek hemat energi (EeMAP) untuk hipotek perumahan
yang dikembangkan oleh European Mortgage Federation / European Covered Bonds Council
(EMF / ECBC). Selain itu, EBA saat ini sedang berkonsultasi tentang Pedoman awal pinjaman
dan pemantauan46 yang mencakup faktor Lingkungan dan pinjaman hijau: Faktor ESG telah
dimasukkan dalam kebijakan manajemen risiko, kebijakan dan prosedur risiko kredit.

Prinsip Pinjaman Hijau mempromosikan pengembangan dan integritas produk pinjaman hijau.
Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk mengusulkan metodologi untuk mengidentifikasi pinjaman
hijau yang dapat digunakan oleh pasar. Pinjaman hijau didefinisikan sebagai 'semua jenis
instrumen pinjaman yang tersedia secara eksklusif untuk dibiayai atau didanai ulang, secara
keseluruhan atau sebagian, Proyek Hijau baru dan / atau yang sudah ada yang memenuhi
syarat'.
Proyek hijau yang memenuhi syarat ditetapkan dalam Prinsip Pinjaman Hijau, yang merupakan
daftar indikatif proyek yang sama yang diterbitkan oleh ICMA untuk obligasi hijau. Dengan
cara yang sama seperti Prinsip Obligasi Hijau, Prinsip Pinjaman Hijau menetapkan empat
komponen yang harus menjadi ciri pinjaman hijau:
• Penggunaan dana. Penggunaan pinjaman harus dijelaskan dalam dokumentasi keuangan.
Semua proyek harus menawarkan manfaat lingkungan yang jelas dan dapat diverifikasi
yang harus dapat diukur oleh peminjam.
• Proses evaluasi dan pemilihan proyek. Peminjam harus memberi tahu bank tentang
tujuan lingkungan dan proses yang dipilih untuk menentukan bagaimana proyek tersebut
memenuhi syarat.
• Pengelolaan dana. Jumlah pinjaman hijau harus dicatat dalam rekening tertentu dan
memungkinkan pelacakan yang memadai untuk memastikan transparansi dan
mempromosikan integritas produk.

45
• Pelaporan. Peminjam harus memberikan informasi tentang penggunaan dana setiap
tahun sampai dana tersebut digunakan.

Standar lainnya, EeMAP48 bertujuan untuk membuat hipotek hemat energi standar di mana
pemilik bangunan diberi insentif untuk meningkatkan efisiensi energi bangunan mereka atau
memperoleh properti yang sudah hemat energi melalui kondisi pembiayaan preferensial. Proyek
ini mengembangkan kerangka pedoman pan-EU untuk hipotek efisiensi energi, yang memasuki
fase operasional pada Juni 2018. Hampir 40 bank besar dari seluruh Eropa berpartisipasi dalam
uji coba ini.

Inisiatif ini akan membantu untuk mengidentifikasi fitur hijau dari hipotek yang ada dan
mendorong dimulainya hipotek hijau, yang pada gilirannya akan memungkinkan penerbit
memiliki dasar yang lebih besar untuk menghasilkan sekuritisasi baru dan menerbitkan obligasi
tertutup hijau.

Verifikasi eksternal dan peringkat penerbit ESG


Tinjauan eksternal dan opini kedua dari pihak independen yang meninjau kerangka penerbitan
hijau dan kepatuhan pada prinsip dan standar hijau, kredensial hijau, dan manajemen
penggunaan hasil dan pelaporan dan pengungkapan menjadi lebih terstandarisasi di pasar
obligasi hijau. Lebih dari 98% dari penerbitan obligasi hijau di Eropa mendapat manfaat dari
setidaknya satu tinjauan eksternal dan 93% di antaranya termasuk opini pihak kedua, lebih dari
setengahnya berasal dari Vigéo-Eiris dan CICERO.

Selain itu, banyak lembaga pemeringkat kredit (termasuk Standard & Poor's, Moody’s dan
Fitch Ratings) baru-baru ini mengembangkan skor ESG untuk entitas (penerbit) terpisah dari
peringkat pada obligasi hijau, yang biasanya hanya berlaku untuk sekuritas tertentu. Skor ESG
penerbit menilai relevansi dan materialitas elemen ESG dengan keputusan pemeringkatan.
Mereka berbasis sektor dan spesifik entitas. Sistem penilaian ESG ini telah diperkenalkan untuk
semua kelas aset termasuk perusahaan non-keuangan, bank, lembaga keuangan non-bank,
asuransi, pemerintah, keuangan publik, infrastruktur global, dan keuangan terstruktur.

Pengembangan kerangka keuangan hijau sebagai langkah selanjutnya


Meskipun beberapa perkembangan penting telah terjadi, keuangan hijau masih menghadapi
berbagai keterbatasan yang memengaruhi pasokan dan permintaan produk ramah lingkungan.
46
Beberapa tantangan ini khusus untuk proyek hijau. Yang lainnya lebih umum untuk sebagian
besar proyek jangka panjang di beberapa pasar. Sejumlah makalah, terutama yang diproduksi
oleh lembaga-lembaga seperti Komisi Eropa, 50 Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), 51 G2052 dan UNEP FI, 53 telah mengidentifikasi sebagian besar
hambatan untuk meningkatkan keuangan hijau, termasuk:
• Kekurangan aset hijau. Entitas yang ingin memulai pinjaman hijau dan / atau
menerbitkan obligasi hijau sering mengalami kesulitan dalam mendefinisikan dan
mengidentifikasi aset hijau dalam neraca mereka karena kurangnya definisi dan
indikator umum untuk menilai 'kehijauan' aset. Selain itu, sistem manajemen data saat
ini tidak memadai.
• Risiko reputasi dan hukum terkait dengan integritas lingkungan. Secara khusus,
kurangnya definisi umum dan kriteria untuk aset hijau dapat menjadi sumber
kesalahpahaman yang pada akhirnya dapat merugikan nama pencetus pinjaman hijau
atau penerbit obligasi hijau melalui tuduhan green-washing dan berpotensi
menyebabkan biaya transaksi dan pembiayaan kembali yang lebih tinggi.
• Tidak ada keuntungan harga yang jelas dari penerbitan obligasi hijau versus obligasi
konvensional. Obligasi hijau saat ini memiliki fitur keuangan yang identik dengan
obligasi konvensional. Dengan pengecualian pagar cincin dari hasil yang disyaratkan
oleh label hijau, obligasi hijau memiliki karakteristik keuangan yang sama dengan
obligasi konvensional yang diterbitkan dari penerbit yang sama (misalnya kualitas kredit
yang sama).
• Kurangnya pemahaman yang jelas tentang fitur struktural produk ramah lingkungan.
Produk ramah lingkungan relatif baru dan banyak investor belum membangun
pengetahuan dan pemahaman penuh tentang karakteristik risiko dan pengembalian dari
produk ini, yang mungkin diperburuk oleh kurangnya peringkat kredit dan data historis.
• Volume tidak cukup untuk mencerminkan kebutuhan investor. Salah satu tantangan
khusus yang sering diidentifikasi oleh literatur adalah volume investasi hijau yang tidak
mencukupi. Mirip dengan pasar obligasi konvensional, obligasi hijau membutuhkan
volume besar aset hijau untuk dapat diterbitkan dan beberapa entitas mungkin
menghadapi kesulitan dalam menemukan volume yang cukup dari aset hijau untuk
menerbitkan obligasi. Secara simetris, volume minimum penerbitan obligasi biasanya
diperlukan oleh investor institusi dapat menjadi kendala bagi mereka untuk masuk ke
pasar obligasi hijau.

47
• Kurangnya likuiditas pasar keuangan hijau. Karena pasar hijau masih kecil dan baru
lahir di banyak negara, investor mungkin menahan diri untuk berinvestasi dalam
obligasi hijau, karena mereka menganggapnya kurang likuid dibandingkan aset lainnya.

Kesimpulan
Bab Sustainable Finance ini mengevaluasi tantangan keberlanjutan, baik masalah lingkungan
yang akan datang dari alam dan kepedulian sosial dari pembangunan ekonomi. Untuk
mengatasi tantangan sosial dan lingkungan dalam sistem ekonomi, Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mengembangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Pembangunan berkelanjutan
berarti bahwa generasi sekarang dan masa depan memiliki sumber daya yang dibutuhkan,
seperti makanan, air, akses kesehatan dan energi, tanpa membuat proses sistem bumi stres dan
penuh tekanan.

Dunia sedang dalam transisi menuju ekonomi sirkular rendah karbon. Eksternalitas arus
Ekonomi intensif karbon menjadi semakin jelas bagi publik yang lebih luas. Contohnya adalah
lebih banyak peristiwa cuaca bencana, kekeringan dan banjir di negara-negara yang dekat
dengan khatulistiwa, dan polusi udara. Salah satu contohnya adalah California, di mana polusi
udara dari lalu lintas padat di tahun 1990-an mendorong regulasi lingkungan dan mendorong
inovasi, seperti mobil listrik dari Tesla dan teknologi surya. China, India dan Meksiko,
misalnya, berwajah serupa, atau malah lebih buruk lagi, polusi udara saat ini, yang pada suatu
saat mungkin mendorong peraturan lingkungan hidup negara-negara ini.

Keuangan berkelanjutan melihat bagaimana keuangan (investasi dan pinjaman) berinteraksi


dengan ekonomi, masalah sosial, dan lingkungan. Kerangka keuangan berkelanjutan dijelaskan
dalam tiga tahap sebagai tujuan (memaksimalkan keuntungan) untuk mendanai sebagai sarana
memfasilitasi pembangunan berkelanjutan. Kerangka berpikir Keuangan Berkelanjutan adalah
tentang mengantisipasi peristiwa semacam itu dan memasukkan ekspektasi ke dalamnya
penilaian hari ini untuk keputusan investasi. Keuangan dengan demikian dapat berkontribusi
pada transisi yang cepat menuju ekonomi rendah karbon dan pencapaian SDG hingga 2030.

Daftar Pustaka
Barnea, A., & Rubin, A., (2005). Corporate social responsibility as a conflict between owners.
Working paper : Simon Fraser University
Bauer, R.K., Koedijk dan R. Otten (2005). International evidence of ethical mutual fund
performance and investment style, Journal of Banking and Finance, 29(7):1751-1767.
48
Bello, Z., (2005), Socially Responsible Investing and portfolio diversification, Journal of
Financial Research, 28(41), 57.
Bianchini dan Gianfrate, 2018).
Brundtland Report (1987). Our Common Future, The United Nations World Commission on
Environment and Development, United Nations, New York.
Busch, T., Bauer, R., & Orlitzky, M., (2016). Sustainable Development and Financial Markets,
Business & Society, 55(3): 303-329.
Coleton, A, Brucart, M.F., Gutierez, P., Le Tennier, F., & Moor, C., 2020, Sustainable Finance,
European Banking Authority Staff Paper Series.
Cobb, C., & Douglas, P., (1928). A theory of production, American Economic Review, 18
(Supplement):139-165.
Coulson, A., (2016). KPMG’s True Value methodology : A critique of economci reasoning on
the value companies create and reduce for society, Sustainability Accounting,
Management and Policy Journal, 7(4):517-530.
Daly, H., & Farley, J., (2011). Ecological Economics : Principles and Applications, Island
Press, Washington DC.
Derwall, Guenster, Bauer, dan Koedijk (2005),
Dimson, A., Karakas, O., & Li, X., (2011), Activism in corporate social responsibility. Paper
presented at the annual meetings of the financial management, Europe, Istanbul, Turkey.
Dixon-Fowler, H., Slater, D., Johnson, J., Ellstand, A., & Romi, A., (2013). Beyond does it pay
to be green? A meta-analysis of moderators of the CEP-CFP relationship, Journal of
Business Ethics, 112(2):353-366.
Dyllick T., & Muff, K., (2016). Clarifying the meaning of sustainable business introducing a
typology from business-as-usual to true business sustainability, Organization and
Environemtn, 29(2):156-74.
Eccles, R.G., Ioannou, I., & Serafeim, G, (2012), The Impact of a corporate culture of
sustainability on corporate debt behavior and performance. NBER Working Paper Series
No. 17950
Edmans, A., (2010), Dose the stock market fully value intangibles ? Employee satisfaction and
equity prices. Working paper. University of Pennsylvania.
El Ghoul, S., Guedhami, O., Kwok, C.C.Y., & Mishra, D.R., (2011), Does corporate social
responsibility affect the cost of capital, Journal of Banking and Finance, 35, 2388-2406
Fatemi dan Fooladi (2013)
Fatemi, A., Fooladi, I., & Wheeler D., (2009), The relative valuation of socially resonsible
firms:An Exploratory Study, in H.-C. de Bettignies, & F., Lepineux (Eds), Finance for a
better world : The shift toward sustainability. Basingstoke, UK : Palgrave Macmillan.
Ferri, G, (2017).
Ferri, G., & Acosta, B.A., (2019), Sustainable Finance for Sustainable Development, The
Human Centered Business Model (HCBM)
Ferri & Intonti, 2018):
Ferrell, A., Liang H., & Renneboog, L., (2016). Socially responsible firms, Journal of Financial
Economcis, 122(3):585-606.
Friedman, M., (1970). The social responsibility of business is to increase its profits, The new
York Times Magazine, 13 September.
GIIN, 2016
Gladwin, T., Kennelly,J., & Krause, T., (1995). Shifting paradigms for sustainable development
: Implications for management theory and research, Academy of management Review,
20(4):874-907
Global Alliance for Banking on Values (2016). Real Economy – real returns : A Continuing
business case for Sustainability-focused banking, Research Report, Zeist.

49
Goss dan Roberts (2011)
Hawn dan Ioannou (2012)
Henderson, I., & Mancini, M. 2019, Sustainable Finance Progress Report, United Nations.org
Huppé, G.A., (2011), Alpha’s tale : The economic value of CSR. PRI academic network
conference, Sigtuna, Sweden.
Kempf, A., & Osthoff, P., (2007), The effect of socially responsible investing on financial
performance. European Financial Management 13, 908-922
Khan, Serafeim dan Yoon (2016)
Kindleberger, C.P., (1978)
KPMG Luxembourg, 2020
KPMG, 2014
Levine, R., (2005). Finance and Growth : Theory, Mechanisms and Evidence,” in : P. Aghion
and S.N. Durlauf (eds), Handbook of Economic Growth, Elsevier, Amsterdam, 865-923.
Meadows, D., Meadows, D., Randers, J., & Behrens W., III (1972). Limits to Economic
Growth : A Report for the Club of Rome’s project on the Predicament of Mankind,
Universe Books, New York.
Milano, 2010).
Nofsinger, J., dan Varma, A., (2012), Socially responsible funds and market crises. SSRN
working paper series.
Omran, M., & Ramdhony, D., (2015). Theoritical perspective on corporate social responsibility
disclosure : A critical review, International Journal of Accounting and Financial
Reporting, 5(2), 38-55.
Ortiz-de-Mandojana, N., & Bansal, P., (2016).The long-term benefits of organizational
resilience through sustainable business practices, Strategic Management Journal, 37(8),
1615-1631.
Plumlee, Brown, Hayes, dan Marshall (2010),
Raworth, K., (2017). Doughnout economics : Seven Ways to think like a 21-st Century
Economist, Random House Business Books, London.
Renneboog, L., Ter Horst, J., & Zhang, C., (2008). Socially responsible investment :
Institutional Aspects, Performance and Investor Behavior, Journal of Banking and
Finance, 32(9), 1723-1742.
Schoenmaker, D., (2017). From Risk to Opportunity : A Framework for Sustainable Finance,
Rotterdam School of Management, Erasmus University, Rotterdam.
Schoenmaker, D., , (2018), A Framework of of Sustainable Finance, SSRN Electronic Journal
Schoenmaker, D. & Schramade, W., (2019), Principles of Sustainable Finance, Oxford
University Press
Servaes, H., & Tamayo (2013), The Impact of Corporate Social Responsibility on Firm Value,
The Role of Customer Awareness, Management Science, vol 59, issue 5, 1054-1061.
Skancke, M., (2016). Fossil Fuel Invesments : Fossil fues investment and the broader issue of
transitioning to a low-carbon economy, Australian Council of Superannuation Investors,
Melbourne.
Sommer, S., 2020, Sustainable Finance : An Overview, Finances Brasileiras Sustentaveis &
Financial Innovation Laboratory (LAB)
Stern (2008),
Statman, M., (2005). Socially responsible indexes : Composition and performance. SSRN
working paper series.
Statman, M., & Glushkov, D., (2009). The wages of social responsibility. Financial Analyst
Journal, 65(33), 46.
Tirole, J., (2017). Economics for the common good, Princeton University Press, Princeton.

50
True Price, (2014), The Business Case for True Pricing : Why you will benefit from measuring,
monetizing and improving your impact : A Report drafted by True Price, Deloitte, EY
and PwC., Second edition, Amsterdam.
United Nations, (2015). UN Sustainable Development Goals (UN SDGs) – Transforming our
world : the 2030 Agenda for Sustainable Development, A/RES/70/1. New York.
United Nations Framework Convention on Climate Change (2015). Adoption of the Paris
Agreement, Paris.

Tentang Penulis

Dr. Ir. DEWI TAMARA, MM., MS


Penyusun adalah dosen mata kuliah keuangan perusahaan dan metode riset. Dewi
menyelesaikan gelar Doktor di Program Doktoral Research Management Bina Nusantara
University pada tahun 2018 dengan judul disertasi “Pengaruh Inovasi Keuangan pada Kinerja
Perusahaan : Studi Empirik pada Perusahaan Reksadana di Indonesia”. Dewi memperoleh gelar
sarjana dari Institut Pertanian Bogor tahun 1996, melanjutkan Pendidikan master yang pertama
di Magister Manajemen Universitas Indonesia tahun 1997 dan menyelesaikan master kedua di
Toulouse Business School di Perancis jurusan Internal Audit dan Manajemen Kontrol pada
tahun 2000. Dewi aktif melakukan penelitian di bidang keuangan dan menulis case study bisnis
perusahaan-perusahaan di Indonesia.

BAB III
KEPEMIMPINAN BERKELANJUTAN (SUSTAINABLE LEADERSHIP)

Penulis :
Dr. Pantri Heriyati
Bagian ini saduran dari working paper yang ditulis oleh Dr. Wayne Visser, Senior Associate,
Poly Courtice Director, Universitas Cambridge Institute for Sustainability Leadership (CISL),
tahun 2011.

51
De Vries (2001) mengingatkan kita bahwa akar etimologis Anglo-Saxon dari kata memimpin,
pemimpin dankepemimpinan adalah LEAD, yang berarti jalan atau jalan. Kata kerja artinya
bepergian. Dengan demikian seorang pemimpin adalah orang yang menunjukkan teman
seperjalannya dengan berjalan di depan. Dia juga menyarankan kepemimpinan itu - yang
berfokus pada efektivitas strategi - berbeda dengan manajemen - yang berkaitan dengan
efisiensi operasi.

Ian Cheshire (2010), CEO Kingfisher, mengatakan “kepemimpinan adalah bagaimana membuat
orang pergi ke tempat mereka tidak akan pergi sendiri ". Guru manajemen Tom Peters (1989)
menyatakan kepemimpinan adalah “menemukan hasrat, kegigihan, dan imajinasi untuk
mendapatkan hasil dapat menemukan faktor Wow dan untuk dapat memikirkan ide aneh yang
perlu dipelajari dan tumbuh subur di zaman yang penuh tantangan ”.

Unsur perubahan transformasional dalam definisi Peters membuatnya sangat relevan untuk
konsep keberlanjutan. Kami memiliki definisi kepemimpinan yang berfungsi, sebagai berikut:
“Seorang pemimpin adalah seseorang yang dapat membuat visi dan menginspirasi orang untuk
bertindak secara kolektif untuk membuatnya menjadi kenyataan, menanggapi perubahan dan
tantangan apa pun yang muncul di sepanjang perjalanan."

Untuk dapat memahami kepemimpinan kita dapat membedakan tiga pendekatan utama yakni:
1. Aliran Trait School / Style, yang berfokus pada karakteristik atau pendekatan pemimpin
individu (McCall & Lombardo, 1983; Tannenbaum & Schmidt, 1973);
2. Aliran Situasional School / Konteks, yang berfokus pada bagaimana lingkungan eksternal
terbentuk aksi kepemimpinan (Hersey & Blanchard, 1999; Vroom & Yetton, 1973); dan
3. Aliran Contingency School / Interactionist, yaitu tentang interaksi antara individu
pemimpin dan konteks pembingkaiannya (Fiedler, 1971; De Vries, 2001).

Dapat ditambahkan prinsip kepemimpinan yang agak lebih praktis seperti yang dijelaskan oleh
Goffee dan Jones (2009):
1. Kepemimpinan bersifat relasional. Itu adalah sesuatu yang Anda lakukan dengan orang lain.
Sederhananya, Anda tidak bisa menjadi pemimpin tanpa pengikut. Seperti semua hubungan,
perlu dipantau dan dipertahankan.

52
2. Kepemimpinan bersifat non-hierarkis. Wewenang formal atau gelar tidak membuat Anda
menjadi pemimpin. Pemimpin dapat ditemukan di semua tingkatan.
3. Kepemimpinan kontekstual. Anda perlu mengukur dan memanfaatkan apa yang ada di
sekitar Anda dan kemudian bawa lebih banyak ke pesta.

Mendefinisikan Kepemimpinan Keberlanjutan.


Definisi dan teori ini memberikan latar belakang untuk memahami kepemimpinan
keberlanjutan, yang telah muncul sebagai topik tersendiri dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut survei 766 United CEO anggota Global Global Compact (UNGC) (Accenture &
UNGC, 2010), 93% CEO melihat keberlanjutan sebagai hal penting bagi kesuksesan masa
depan perusahaan mereka. Tapi ini menimbulkan pertanyaan: apa yang dengan kepemimpinan
keberlanjutan? Definisi sederhana dapat disampaikan sebagai berikut: “Pemimpin keberlanjutan
adalah seseorang yang menginspirasi dan mendukung tindakan menuju yang lebih baik dunia."

Sustainable Leadership Institute (2011) menawarkan definisi lain, pemimpin keberlanjutan


sebagai “individu yang dipaksa untuk membuat perbedaan dengan memperdalam mereka
kesadaran diri dalam kaitannya dengan dunia di sekitar mereka. Dalam melakukannya, mereka
mengadopsi cara baru melihat berpikir dan berinteraksi yang menghasilkan solusi inovatif dan
berkelanjutan.
Aliran Contingency / Interactionist mungkin paling relevan, secara kontektual - terdiri dari
tantangan akan keberlanjutan yang dihadapi dunia. Sandy Ogg (2010), Unilever sebagai ebuah
korporasi besar menjelaskan pendekatan kontingensi dengan menerapkan kesetaraan tanpa
perbedaan antara karakter atau elemen abadi [dari kepemimpinan], apakah Anda memimpin
keberlanjutan atau memimpin untuk mendapatkan keuntungan. Mengapa Paul Polman [CEO
Uniliver] menonjol? Itu karena dia memahami konteksnya dan dia memahami memimpin
dengan empati dalam suatu pemangku kepentingan lingkungan Hidup." Menariknya, sejumlah
pemimpin bisnis merasa perlu membedakan keberlanjutan kepemimpinan dari kepemimpinan
secara umum, Misalnya, Ian Cheshire (2010) percaya bahwa “mempertahankan agenda
[keberlanjutan] dan benar-benar menanamkannya dalam organisasi adalah serangkaian
tantangan unik saat ini. Demikian pula, Neil Carson (2010), CEO dari Johnson Matthey,
mengatakan: Ini seperti revolusi kualitas yang kami miliki di tahun delapan puluhan. Apa yang
terjadi adalah perusahaan-perusahaan mati atau mereka harus meningkatkan kualitas. Suatu hari
ini akan sama untuk keberlanjutan. Tetapi ada periode sementara di mana itu hanya berlaku

53
untuk beberapa perusahaan. Jadi ada kebutuhan yang menunjukkan bahwa ada kepemimpinan
keberlanjutan dan itu penting. '

Berdasarkan teori kepemimpinan dan praktik keberlanjutan oleh para pemimpin, Institute for
Sustainability Leadership, Cambridge University merancang dan menguji Model
Kepemimpinan Keberlanjutan - yang digambarkan dan dijelaskan di bawah ini - yang memiliki
tiga komponen: konteks eksternal dan internal untuk kepemimpinan; ciri-ciri, gaya,
keterampilan dan pengetahuan dari pemimpin individu; dan tindakan kepemimpinan. Tak satu
pun dari elemen ini yang unik untuk keberlanjutan para pemimpin, tetapi secara kolektif mereka
merangkum serangkaian karakteristik dan tindakan yang berbeda sebagai respons untuk
tantangan keberlanjutan. Kepemimpinan keberlanjutan yang kami amati dalam praktik dan
uraikan di bawah ini diarahkan membawa perubahan besar, baik dalam sistem politik dan
ekonomi kita, bisnis model dan praktik, atau dalam kontrak sosial yang luas dengan para
pemangku kepentingan dan masyarakat. Oleh karena itu, model kepemimpinan dikembangkan
secara implisit untuk menciptakan adanya suatu perubahan.

Gambar 1: Model The Cambridge Sustainability Leadership

Dalam model, konteks mengacu pada kondisi atau lingkungan di mana para pemimpin
beroperasi, yang memiliki kaitan langsung atau tidak langsung pada institusi mereka dan

54
pengambilan keputusan mereka. Konteks ini secara luas dibagi menjadi konteks yang berada di
luar lembaga mereka dan di mana tingkat pengaruhnya lebih rendah (misal. konteks ekologis,
ekonomi, politik, budaya dan komunitas), dan internal ke lembaga, di mana mereka umumnya
dianggap memiliki tingkat yang lebih tinggi pengaruhnya (misal. budaya organisasi, struktur
tata kelola, atau peran kepemimpinan). Banyak pemimpin bisnis sadar akan peran konteks.
Sebagai contoh, Jeff Immelt (2007), CEO dari General Electric mengatakan, “Hal terpenting
yang saya pelajari sejak menjadi CEO adalah konteks. Begitulah caranya perusahaan Anda
menyesuaikan dengan dunia dan bagaimana Anda meresponsnya. "

Demikian pula, José Lopez (2010), Eksekutif Wakil Presiden Operasi dan GLOBE dari Nestle,
menjelaskan bahwa “konteks adalah bahwa proses keberlanjutan yang ada saat ini belum
efektif. Faktanya, kemiskinan meningkat, dunia bergerak pada level stagnan untuk bidang-
bidang seperti limbah, emisi dan pemanfaatan sumber daya. Maka dengan kenyataan itulah
perusahaan harus memasukkan keberlanjutan ke dalam visi dan misi mereka. Menentukan dari
awal tujuan mereka berbisnis, dan kemudian memberlakukan secara berkelanjutan proses
perbaikan.

Karakter Pemimpin Berkelanjutan


Memahami pemimpin keberlanjutan mensyaratkan bahwa kita menghargai sifat, gaya,
keterampilan mereka dan pengetahuan. Kombinasi dari keduanya inilah yang menjadikan
pemimpin individu unik. Misalnya, "Bagaimana orang-orang di Unilever menggambarkan
Anda sebagai seorang pemimpin?" Paul Polman (2009), CEO dari Unilever, berkata: “Saya
harap kata integritas muncul ke dalamnya. Saya berharap kata jangka panjang muncul bahwa.
Saya harap kata "caring" muncul, tetapi juga menuntut. " Pemimpin keberlanjutan tidak
mungkin mewujudkan semua sifat, gaya, keterampilan, dan pengetahuan alam satu individu.
Sebaliknya, mereka perlu memanfaatkan apa yang sesuai atau sesuai dengan kepribadian
mereka sendiri dan keadaan, sehingga menjadi paling efektif dalam mengatasi tantangan
keberlanjutan. Selanjutnya mereka akan berusaha mengembangkan kualitas-kualitas ini dalam
diri orang lain, membangun tim yang membawa sebanyak mungkin elemen yang dibutuhkan,
dan pada dasarnya memungkinkan suatu bentuk kepemimpinan terdistribusi (Center for
Excellence in Leadership et. al, 2007) dalam organisasi.

55
Doppelt (2010), “ada pengusaha, ada pembangun tim, ada juga pesaing, ada juga komandan,
beberapa berorientasi pada keselamatan dan beberapa adalah pencipta. Hanya
sedikit orang yang unggul dalam semua ini area. Pengusaha adalah antitesis dari mereka yang
berorientasi pada keselamatan. Komandan adalah antitesis pembangun tim. Meskipun tidak ada
satu orang pun yang memiliki semua atribut ini, semuanya diperlukan untuk interface untuk
mencapai potensinya. "

Traits
Ada sejumlah daftar sifat kepemimpinan yang ideal. Misalnya, Kouzes dan Posner (2007)
berdebat bahwa pemimpin yang baik jujur, berwawasan ke depan, kompeten, inspiratif dan
cerdas. Dalam globalisasi dunia, Morrison (2000) menekankan pentingnya pemimpin
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan perusahaan mereka. Kami percaya
bahwa pemimpin keberlanjutan biasanya mewujudkan sejumlah sifat, yang kami maksudkan
atribut yang membedakan, kualitas atau karakteristik pribadi yang umumnya dipandang sebagai
makhluk abadi. Berikut ini ringkasan Model yang menggambarkan suatu hubungan kuat
dengan kepemimpinan untuk keberlanjutan

Caring/morally-driven
Peduli untuk kesejahteraan umat manusia dan semua bentuk kehidupan lainnya, serta dibimbing
oleh moralitas sering dikaitkan dengan kepemimpinan keberlanjutan. Tuppen dan Porritt
(2003) merujuk pada kasus moral untuk pembangunan berkelanjutan termasuk keadilan hari ini,
keadilan lingkungan, keadilan dan menjaga antar generasi.

Philippe Maso (2010), CEO AXA, percaya ada dimensi moral untuk keberlanjutan, tetapi ini
sering kurang diperhatikan para pemimpin dunia. Demikian pula, Truett Tate (2010), Direktur
Eksekutif Grup, Lloyds Banking Group, percaya ada “komitmen pribadi, spiritual yang perlu
dicontohkan pada seseorang siapa yang akan berhasil dalam keberlanjutan ini. Jadi, moralitas,
spiritualitas ditambah dengan [memiliki] visi jangka panjang.

“Cara berperilaku dan berinteraksi dengan dunia. Mereka melambangkan keterkaitan. Mereka
pahami komunitas [dalam arti] persekutuan dengan seluruh aspek dunia di sekitar kita.”

56
Jan Muehlfeit (2010), Ketua Microsoft Eropa, percaya "kami berada di persimpangan". Dia
menjelaskan bahwa Adam Smith berbicara dalam bukunya, The Weath of The Nations
mengatakan bahwa hal pertama yang kita lakukan adalah menjaga diri kita sendiri, tetapi hal
kedua yang kita lakukan adalah merawat orang lain. “Dengan hati-hati,” kata Muehlfeit, “Saya
tidak hanya memedulikan orang lain, tetapi juga peduli dengan masyarakat dan peduli pada
alam. Saya pikir apa yang kita lakukan hari ini cukup mirip dengan cara kami mengajar
program MBA klasik: kami mengajarkan tentang keuntungan tetapi kami tidak cukup peduli."

Systemic/holistic thinker
Kemampuan untuk menghargai keterkaitan dan saling ketergantungan seluruh sistem, dan
mengenali setiap perubahan pada bagian-bagian sistem mempengaruhi keseluruhan adalah
kunci keberlanjutan pemimpin. Lopez (2010) menegaskan bahwa “salah satu elemen yang
benar-benar akan membuat kita terlibat dalam keberlanjutan adalah menghilangkan akar
penyebab perilaku tidak berkelanjutan, tidak berkelanjutan moral bisnis, praktik yang tidak
berkelanjutan, dan sebagainya. Kemampuan untuk melihat akar penyebab penghalang
keberlanjutan akan membedakan perusahaan dengan perusahaan lainnya. Tema serupa diadopsi
oleh Immelt (2010) yang percaya bahwa untuk mengembangkan pemimpin bisa mengatasi
masalah besar hari ini dan besok membutuhkan pemikiran sistem. “Dalam periode waktu yang
relative stabil Anda tidak perlu menjadi pemikir sistem [tetapi] kami saat ini dalam periode
yang luar biasa volatile atau bergejolak, ”katanya. “Jadi tipe orang yang pada akhirnya akan
memimpin pada keberlanjutan (dan satu alasan mengapa hal itu sangat sulit) adalah
membutuhkan generasi pemikir secara sistematis.

Enquiring/open-minded
Para pemimpin keberlanjutan secara aktif mencari pengetahuan baru dan beragam pendapat,
dengan pertanyaan yang diterima kebijaksanaan, termasuk bersedia menerima pendapat orang
lain. Latar belakang Immelt dalam sains, dipercaya, telah membantu menjadikannya pemimpin
yang efektif. "Ada rasa ingin tahu... atau hanya rasa ingin tahu dan kesediaan untuk melihat
sesuatu melalui sudut pandang yang lain."

Maso (2010) mengatakan kepemimpinan di era keberlanjutan harus mampu mengatasi


“transformasi mentalitas dengan sangat cepat. " berbicara dan memastikan Anda mendapatkan
cukup banyak tantangan pada apa yang Anda lakukan. ”Ada juga elemen antar generasi.
“Anak-anak kita memandang dunia secara berbeda. Mereka akan mendengar berbagai aliran
57
informasi hari demi hari dari bisnis dan dari politisi dan memiliki sikap yang berbeda dengan
generasi sebelumnya. Jika kita ingin bertahan dan tumbuh dalam 10 atau 20 tahun ke depan,
kita perlu untuk memastikan apakah dapat menanggapi perbedaan ini dengan benar. "

Self-aware/empathetic
Ciri-ciri lain yang ditampilkan dengan kuat dalam model termasuk tingkat kecerdasan
emosional yang tinggi, yaitu kemampuan untuk memahami emosi mereka sendiri dan orang
lain, dipopulerkan oleh Goleman (1995), sebagai serta ketulusan, kerendahan hati pribadi
(Collins, 2001) dan refleksivitas, yaitu kemampuan untuk melihat sendiri tempatkan dan
pengaruhi situasi. Scharmer (2008) mengamati bahwa, “bagi mereka yang berada dalam
kepemimpinan situasi dalam bisnis atau pemerintahan, tuntutannya begitu besar sehingga ruang
yang lebih dalam refleksi menjadi salah satu jangkar poin yang mereka gunakan setiap hari agar
lebih efektif. "

Immelt mengemukakan perlunya kerendahan hati ini. “Apa yang selalu saya takuti di GE
adalah kesombongan. Apa yang setiap institusi besar yang harus ditakuti adalah kesombongan.
"Dia terus menunjukkan kemampuan reflektifnya sendiri ketika dia berkata:" Jika kamu melihat
dunia seperti yang Anda pikirkan, Anda harus mengubah diri Anda sendiri agar bisa sampai ke
sana."

Cheshire (2010) percaya bahwa “kepemimpinan sejati adalah tentang kesadaran diri yang
semakin besar semakin dan semakin otentik diri Anda sendiri”. Kemudian Anda dapat
“menggunakan pengetahuan itu untuk menggerakkan tim yang lebih baik - karena Anda lebih
jelas tentang siapa Anda, apa dampaknya adalah, apa yang Anda tawarkan dan apa yang tidak
Anda miliki dan oleh karena itu Anda butuhkan. "Dan berdasarkan asosiasi itu menyiratkan
“kerendahan hati untuk mendengarkan dan menyadari sebagai lawan, yang saya pikir adalah
model tradisional CEO. "

Muehlfeit (2010) mengatakan “kurikulum masa depan harus jauh lebih seimbang antara IQ dan
EQ, dan kecerdasan emosional, yang saya pikir untuk para pemimpin akan sangat, sangat
penting.. Saya pikir sebagai pemimpin untuk masa depan Anda perlu membedakan antara
motivasi - Anda dapat memotivasi orang atau otak mereka tetapi Anda tidak dapat memotivasi
hati mereka; dibutuhkan inspirasi nyata. Dibutuhkan kepemimpinan yang sangat berbeda jika
Anda ingin memastikan bahwa orang-orang menggunakan hati mereka, mengikuti visi Anda.
58
Visionary/courageous
Bagi banyak sifat pemimpin keberlanjutan yang paling penting adalah bahwa mereka membawa
inspirasi, kreativitas, optimisme dan keberanian untuk berperan, didorong untuk menghasilkan
hasil dan memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan gairah dan idealisme dengan ambisi
dan pragmatisme. Collins (2001) mengklaim bahwa seorang pemimpin harus mempertahankan
keyakinan absolut bahwa mereka dapat dan akan menang pada akhirnya, terlepas dari kesulitan,
dan di saat yang sama menghadapi fakta paling brutal dari realitas mereka saat ini, apa pun itu.
Demikian pula, McDonough menunjukkan bahwa penjelajah dunia masa awal tidak tahu di
mana mereka berada..

Neil Carson (2010) mengingatkan kita bahwa menjadi visioner dan berani bukan hanya tentang
menangani risiko, tetapi juga mengambil peluang, dengan mengatakan "Sampai semua orang di
seluruh planet mendapatkan keberlanjutan, ada keunggulan kompetitif. Semakin kompetitif
pemimpin individu maka semakin cepat mereka berhasil dalam keberlanjutan. " Ogg (2010)
percaya kepemimpinan yang berani sangat penting: “Apakah kita memiliki keberanian untuk
bersikap magnetis? utara di luar sana untuk perusahaan kami di lingkungan di mana semuanya
berubah setiap harinya mutlak diperlukan. Anda harus berani mengatakan, "Anda tahu apa, saya
tidak harus tahu tujuan akhir, tetapi saya tahu itu akan terlihat seperti ini dan kami akan pergi ke
sana." Itu satu hal yang saya sukai dari Paul Polman. Dia berkata, "Dengar, aku mungkin salah,
tapi aku tidak bingung".

Styles
Perbedaan yang jelas antara ciri-ciri pemimpin individu dan gaya, atau cara dan pendekatan
yang mereka gunakan untuk memberikan arahan, memotivasi orang dan melaksanakan rencana.
Lewin, Llippit dan White (1939) melakukan eksperimen keputusan kepemimpinan dan
mengidentifikasi tiga yang berbeda gaya kepemimpinan: otokratis, demokratis dan laissez-faire.
Salah satu model yang sangat berpengaruh adalah Blake dan Mouton (1968), Manajerial Grid,
yang menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah segalanya pada dasarnya berbagai
kombinasi kepedulian terhadap orang-orang dan kepedulian terhadap tugas. Demikian pula,
pemimpin keberlanjutan biasanya menggunakan kombinasi sejumlah gaya, seperti yang
diilustrasikan di bawah ini.

Inclusive
59
kepemimpinan yang inklusif bersifat kolaboratif dan partisipatif. Ini tentang membangun
komitmen melalui dialog dan konsensus, pendekatan demokratis, pembinaan dan perilaku
afiliasi, yaitu mempromosikan kerukunan di antara pengikut, membantu menyelesaikan konflik
dan memastikan pengikut merasa terhubung satu sama lain (Goleman et al., 2002). Di antara
manfaat dari pendekatan ini, Amar, Hentrich dan Carsten (2009) berpendapat bahwa inovasi
dan efisiensi dapat meningkat ketika eksekutif memberi beberapa otoritas mereka dan memberi
karyawan lebih banyak kontrol atas pekerjaan mereka. Pemimpin keberlanjutan fokus pada
penciptaan budaya dan struktur yang memberikan dukungan dan teman sebaya mendorong dan
mengakui prestasi. Pusat Kepemimpinan yang Efektif et al. (2007) klaim bahwa pemimpin
keberlanjutan “membangun iklim dukungan dan akuntabilitas, bukan kontrol”.

Demikian pula, Immelt (2007) mengatakan Salah satu cara pemimpin keberlanjutan
menunjukkan inklusivitas adalah dengan membangun lintas sektor formal kemitraan, serta
proses kolaboratif yang inovatif dan inklusif seperti jejaring social (Web 2.0). Flowers (2008),
mengajukan tantangan sebagai pertanyaan, dengan mengatakan, " bagaimana Anda miliki
kepemimpinan dalam kelompok lintas batas, multi-nasional? " Cheshire (2010) percaya bahwa
“pemimpin sebenarnya memimpin tim. Definisi hebat dari kepemimpinan, lanjutnya, adalah
tentang membuat orang pergi ke tempat yang tidak mereka inginkan sendiri. Jika mereka bisa
sampai di sana sendiri maka mereka tidak benar-benar membutuhkan seorang pemimpin. Sama
halnya, Anda tidak bisa selalu menyeret mereka ke arah yang berlawanan dengan ke mana
mereka ingin pergi. ”Oleh karena itu, kepemimpinan adalah tentang "pemimpin dan pengikut
yang bekerja bersama untuk mencapai hasil tertentu".

Visionary
Ketika keseriusan tantangan global yang kita hadapi menjadi semakin jelas dan pembicaraan
berubah untuk kehancuran. Thomas Homer-Dixon, dalam The Upside of Down (2006),
mengatakan: “Mengubah detail menjadi keuntungan akan membutuhkan kepemimpinan yang
diilhami dan kisah baru yang mengartikulasikan visi positif yang didasarkan pada apa yang
terbaik dalam nilai-nilai dan sejarah masyarakat "(hal. 281). Gaya kepemimpinan visioner
membawa gairah dan karisma. Ini berfokus pada tantangan dan mengubah persepsi dan harapan
orang-orang dan memotivasi mereka untuk melampaui kepentingan pribadi yang lebih sempit.
Ini sering dimasukkan dalam definisi kepemimpinan 'heroik'. Pusat Kepemimpinan yang Efektif
et al. (2007) menyarankan agar pemimpin keberlanjutan membangun dan berbagi visi
inspirasional, “membantu orang lain memahami dan merasakan bagaimana hal akan berbeda
60
ketika masa depan visi tercapai ”(19).Sebagai contoh, Ray Anderson, CEO Interface, yang
menginspirasi timnya dengan tujuan menciptakan Perusahaan berkelanjutan atau restoratif
pertama di dunia menyerukan “orang-orang kami, pelanggan kami, pemasok kami, komunitas
kami dan pemilik kami ... untuk belajar dan percaya pada cara baru dan untuk menjadi lebih
menguntungkan, dan meraih nilai di luar kesuksesan — atau tujuan yang lebih tinggi bagi kita
semua. ”Dia melihat ini sebagai proses inklusi: “Today for Interface, keberlanjutan lebih luas
dari sebelumnya: keberlanjutan menjangkau untuk merangkul orang, proses, produk, tempat,
planet dan keuntungan ”(Quinn & Norton, 2004).

Ogg (2010) “ada banyak hal yang terjadi sekarang di dunia ini jika Anda tidak memilikinya
amplifikasi dan kompresi waktu, maka itu tidak bergaung. Jadi saya menyebutnya memimpin
besar. Jika kamu punya sesuatu yang bermakna dan penting yang ingin Anda lakukan, memiliki
keberanian untuk memimpin besar. "

Creative
Yang sama mendesaknya dalam menghadapi kebutuhan akan perubahan transformasional
adalah kebutuhan akan kreativitas menjadi bagian dari gaya pemimpin, memainkan peran
sebagai desainer, arsitek, inovator, pengubah permainan dan transformator sistem. Pemimpin
seperti itu dapat menemukan poin leverage utama dalam sistem dan sering disebut sebagai
pemimpin 'transformasional'. Untuk De Vries (2001), menjadi kreatif memenuhi peran
arsitektur pemimpin sebagai desainer. Salah satu cara bagi para pemimpin keberlanjutan untuk
bertindak sebagai perancang ulang sistem adalah dengan mengadopsi prinsip-prinsip produksi
cradleto-cradle, menginternalisasi eksternalitas dan memperluas prinsip-prinsip ini ke rantai
pasokan. Sebagai contoh, Motorola mendemonstrasikan pemikiran siklus hidup di ponsel,
dengan peluncuran telepon netral karbon pertama di dunia - MOTO W233 Renew - awal tahun
2009 (ADL, 2005). Demikian pula, Interface memperkenalkan karpet netral iklim pertama di
industri, Cool Carpet ™, dan juga hanya produk karpet yang dirancang menggunakan bio
mimikri (Forum for the Future, 2006).

Altruistic
Penekanan pemimpin visioner pada melampaui kepentingan diri sendiri dan fokus pada kolektif
atau kebaikan keseluruhan juga merupakan karakteristik gaya kepemimpinan altruistik, yang
sering kali dicirikan sebagai pemimpin yang melayani (Greenleaf, 1977; Kalungu-Banda, 2006)
atau kepemimpinan yang tenang (Collins, 2001). Caesar.Muehlfeit (2010) mencerminkan peran
61
inspirasional yang dimiliki Bill Gates di Microsoft: “Bill adalah benar-benar model untuk
orang-orang di Microsoft dimana dia telah menghabiskan uang untuk masalah besar yang
dimiliki planet ini." Bagi saya secara pribadi - Saya telah bersama perusahaan selama lebih dari
17 tahun - ini adalah teladan yang sangat besar untuk apa yang harus dilakukanmengubah
dunia menjadi lebih baik.

Radical
Berbeda dengan gaya kepemimpinan tenang yang lebih rendah, gaya kepemimpinan Radikal
seringkali jauh lebih terlihat, dan ditandai dengan mengambil risiko, bertindak seperti seorang
revolusioner atau aktivis dan menantang status quo. Para pemimpin ini adalah pegiat atau
pejuang perang untuk tujuan-tujuan penting. Ini dapat disebut sebagai kepemimpinan
misionaris. Misalnya, pendiri The Body Shop, Anita Roddick (2001) mendesak para pemimpin
untuk "berani, jadilah yang pertama, jadilah berbeda, jadilah adil" dan yang terkenal dikutip
mengatakan: "Jika Anda berpikir Anda terlalu kecil untuk berdampak, cobalah tidur dengan
nyamuk".

Pada akhirnya, para pemimpin perlu menemukan gaya mereka sendiri yang paling efektif.
Immelt (2007) mengatakan “kepemimpinan adalah suatu perjalanan intens ke diri sendiri. Anda
dapat menggunakan gaya Anda sendiri untuk menyelesaikan sesuatu. Ini tentang menjadi sadar
diri. Setiap pagi, saya melihat ke cermin dan berkata, ‘Saya bisa melakukan tiga hal dengan
lebih baik kemarin'.

Skills
Sebuah survei pemimpin bisnis dan keberlanjutan di Inggris (Ipsos MORI, 2010) menemukan
bahwa 99% mengakui bahwa mengembangkan keterampilan yang akan dibutuhkan untuk
ekonomi berkelanjutan adalah penting untuk masa depan keberhasilan ekonomi Inggris,
sementara 70% percaya bahwa kesenjangan dalam keterampilan untuk ekonomi yang
berkelanjutan akan terjadi dan menjadi salah satu tantangan paling mendesak yang dihadapi
bisnis Inggris dalam 5 tahun ke depan. Pada saat yang sama waktu, hanya 15% berpikir bahwa
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk ekonomi yang berkelanjutan sudah
mapan atau sebagian didirikan di bisnis Inggris secara umum (dibandingkan dengan 48% untuk
organisasi mereka sendiri). Keterampilan untuk kepemimpinan berkelanjutan, sesuai Model
kami, diperkenalkan di bawah ini

62
Manage complexity
Pemimpin keberlanjutan pandai menganalisis, mensintesis, dan menerjemahkan isu-isu
kompleks,menanggapi risiko, ketidakpastian dan dilema, mengakui dan memanfaatkan peluang
dan menyelesaikannya masalah dan konflik. Laporan Konferensi Peluncuran Inggris untuk
Dekade Pendidikan PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan menekankan bahwa di masa
depan, kita perlu memberi para pemimpin masa depan keterampilan “untuk membuat pilihan
suara atas situasi yang kompleksitas dan penuh ketidakpastian di masa depan "(Scott, 2006: 8).
Merefleksikan masalah kompleks yang perlu ditangani para pemimpin di dunia saat ini, Immelt
(2010) mengatakan: “Kami berada dalam periode yang sekarang sangat tidak stabil dan di mana
Anda memiliki masalah untuk dipecahkan, katakanlah sistem perawatan kesehatan di India
atau bagaimana Anda mengurangi emisi karbon negara maju? Kami membutuhkan orang-orang
yang tahu bagaimana menyelesaikan masalah itu. "

Lopez (2010) percaya bahwa memahami keberlanjutan adalah konteks khusus. “Beberapa
pemimpin ini berbicara tentang hal-hal yang sangat mulia seperti demokrasi dan keadilan. Nah,
keadilan menurut siapa? Demokrasi menurut siapa? Saya telah berurusan dengan dan berhasil
menyelesaikan perbedaan Nestlé dengan Greenpeace dan saya sangat senang bahwa kami dapat
membangun hubungan kerja dengan mereka, karena, setelah membawa perusahaan saya ke
Malaysia memberi Anda perspektif tentang apa itu keadilan, apa itu demokrasi. "Maso (2010)
mengkui bahwa keberlanjutan adalah “hal yang kompleks untuk dipahami, namun
kenyataannya semua orang yang datang dengan pandangan yang terlalu sederhana tidak efektif.

Communicate vision
Pemimpin keberlanjutan mahir dalam berbagi visi dan memfasilitasi dialog yang menginspirasi
tindakan dan menciptakan makna bersama (mendengarkan aktif, kecerdasan emosional,
refleksi) dan menciptakan kondisi yang mendorong pembelajaran dari pengalaman. Dalam
penelitiannya tentang perusahaan "baik sampai hebat", Collins (2001) menemukan bahwa para
pemimpin hebat memfokuskan perusahaan dan staf mereka pada apa yang mereka sukai, apa
yang mereka bisa menjadi yang terbaik di dunia dan apa yang menggerakkan mesin ekonomi
mereka. Survei Ipsos MORI (2010) tentang keterampilan yang diperlukan untuk kepemimpinan
berkelanjutan di Inggris menemukan kemampuan untuk menginspirasi perubahan dalam
sejumlah orang, dan secara konsisten bekerja menuju visi jangka panjang dipandang sebagai
yang paling penting yang harus dimiliki manajer senior dan dewan direksi.

63
"Komunikasi yang efektif dan persuasif menggunakan bahasa yang jelas dan dapat diakses"
dipandang sebagai khususnya keterampilan utama bagi manajer menengah, kepala unit dan staf
yang menghadapi pelanggan. Untuk Cheshire (2010) "hal utama untuk agenda kepemimpinan
adalah kemampuan untuk benar-benar berkomunikasi - yang sebenarnya adalah proses dua arah
yang benar-benar mendengarkan dengan baik dan berkomunikasi dengan baik. Kami pada
dasarnya membuat hal-hal terjadi melalui komunikasi. Saya pikir kepemimpinan A-grade
sangat sulit dilakukan tanpa keterampilan komunikasi yang baik. Anda bisa melangkah sejauh
ini jika Anda secara teknis berbakat tetapi tidak terlalu pandai dalam berkomunikasi. "Dia
menambahkan bahwa komunikasi adalah" paling banyak kritis dan paling sulit dalam organisasi
yang semakin kompleks. "

Exercise judgement
Pemimpin keberlanjutan dikenal untuk membuat keputusan yang baik dan tegas secara tepat
waktu, termasuk memprioritaskan, membuat pilihan sulit dan menangani dilema. Sebuah survei
McKinsey (2009) menunjukkan bahwa jenis perilaku kepemimpinan yang dikatakan eksekutif
akan sangat membantu perusahaan mereka melalui krisis keuangan saat ini, seperti
menginspirasi orang lain dan mendefinisikan harapan dan penghargaan, adalah yang sama yang
mereka katakan akan membantu perusahaan mereka berkembang di masa depan. Pada waktu
bersamaan, responden melaporkan bahwa selama krisis mereka melihat jauh lebih banyak
pemimpin yang fokus pada pemantauan kinerja individu — meskipun mereka melihat itu
sebagai salah satu cara mengelola yang paling tidak membantu krisis.

Challenge and innovate


Pemimpin keberlanjutan pandai membayangkan solusi yang mungkin / masa depan atau
alternatif, berpikir di luar kotak, dan membawa kreativitas ke dalam pemikiran dan praktik..
"Scharmer (2008), penulis dari Theory U, percaya bahwa "sebagai seorang pemimpin, Anda
dapat menciptakan realitas lain ini, ruang inovasi untuk ini diri Anda yang membuat semangat
Anda terangkat, yang membuat Anda berada di lingkaran energi lain ini ”, sebuah proses dia
dijelaskan sebagai 'presending'.

Think long term


Pemimpin keberlanjutan terampil dalam membayangkan dan menggunakan strategi, pemikiran
panjang dan perencanaan. Mereka dapat melihat keseluruhan, sementara tidak mengabaikan
masa depan. De Vries (2001) mengatakan, “Para pemimpin seharusnya tidak melihat kaca;
64
mereka harus melihat keluar jendela ”(82). Demikian pula Bill arsitek keberlanjutan
McDonough dengan fasih mencerminkan pandangan jangka panjang inklusif, multi-generasi,
yang menjadi ciri khas keberlanjutan: “Saya merasa terhubung secara emosional dengan semua
spesies ... pekerjaan saya adalah menjadi alat alam dan tidak hanya memandang alam sebagai
alat. Dalam setiap keputusan desain yang saya buat, saya bertanya ‘Apakah saya mencintai
anak-anak dari semua spesies untuk selamanya? ’” (Quinn & Norton, 2004).

Patut dicatat bahwa dua isu keberlanjutan teratas yang diidentifikasi oleh CEO adalah
pendidikan dan iklim perubahan - kedua masalah jangka panjang (Accenture & UNGC, 2010).
Juga mencerminkan pemikiran jangka panjang ini, survei UK Ipos MORI (2010) menemukan
bahwa 45% pemimpin bisnis dan keberlanjutan mengklaim hak mereka untuk terlibat dengan
tenaga kerja masa depan untuk mengembangkan keterampilan untuk ekonomi yang
berkelanjutan (31% dengan sekolah dan 36% dengan lembaga pendidikan tinggi). Carson
(2010) percaya bahwa “perusahaan berpikir jauh lebih panjang daripada pemerintah,”Dia
menegaskan bahwa dalam hal keberlanjutan, pemikiran jangka panjang sangat penting bagi
para pemimpin industri matahari terbenam. "Jika kamu menjadi penambangan batu bara dan
mengubah batu bara menjadi panas dan listrik, maka Anda harus memikirkan jangka panjang.

Anda bukan penambang batu bara, Anda adalah pemasok listrik. Anda dapat melihat cara
membuat sesuatu menjadi lebih baik efisien. Kemudian Anda bisa melihat cara-cara penyerapan
CO2. Anda dapat membuat semua rencana ini sebelumnya waktu dan bergerak ke arah yang
benar. Tentu saja, suatu hari Anda harus mematikan semuanya dan gantilah dengan kincir angin
atau nuklir atau sesuatu. Dan pengalaman kami adalah bahwa karyawan akan melakukannya
benar-benar bereaksi sangat baik terhadap rencana jangka panjang semacam itu.

Menurut Maso (2010), “Anda perlu melukis gambar yang sedikit lebih maju ke masa depan.
Jelas gambarnya sulit untuk dilukis karena kita belum sampai di sana. Itu adalah intelektual
berjuang untuk menemukan cara untuk melukis gambar sedemikian rupa sehingga Anda
memiliki semua kekuatan ke depan melihat visi tetapi juga semua konstituen dari serangkaian
tindakan berorientasi aksi yang lebih pendek. Jika Anda tidak bisa menjembatani itu, Anda
gagal sebagai pemimpin tetapi Anda gagal juga sebagai advokat untuk pembangunan
berkelanjutan. "Dia menyimpulkan bahwa “yang kita butuhkan adalah orang-orang yang benar-
benar memahami kedua sisi persamaan, bukan orang-orang yang mengeksploitasi potensi
keuntungan jangka pendek dari serangkaian ide yang benar secara politis, tetapi tidak memiliki
65
kapasitas untuk mendorong agenda seiring waktu. Tate (2010), untuk dapat dipercaya dalam
ruang keberlanjutan “perlu ada demonstrasi yang jelas dari visi 50 hingga 100 tahun dari
sekarang. Keberlanjutan harus memiliki visi jangka panjang dan harus mampu
mengartikulasikan itu. "Muehlfeit (2010) mengakui bahwa" apa yang cukup sulit, bahkan untuk
perusahaan seperti Microsoft, IBM, dan lainnya, sementara kami ingin berorientasi jangka
Panjang, namun bursa saham berorientasi jangka pendek. ”Oleh karena itu, ia percaya itu
penting untuk "memastikan bahwa investor berada di tempat yang sama, karena saya sangat
percaya jika Anda adalah seorang investor, jika Anda berpikir tentang jangka panjang itu, Anda
lebih suka berinvestasi pada perusahaan yang telah CSR sebagai prioritas dan bagian dari
bisnis. "

Survei Ipsos MORI (2010) tentang keterampilan yang diperlukan untuk kepemimpinan
berkelanjutan di Inggris menemukan manajer menengah dan kepala fungsi membutuhkan
pengetahuan yang cukup tentang keberlanjutan dan menerjemahkannya ke dalam strategi bisnis
yang sukses, serta komunikasi yang efektif dan persuasive menggunakan bahasa yang jelas dan
mudah diakses

Knowledge
Survei Ipsos MORI (2010) tentang keterampilan yang diperlukan untuk kepemimpinan
berkelanjutan di Inggris menemukan hal bahwa manajer tingkat menengah terutama
membutuhkan pengetahuan yang cukup tentang keberlanjutan dan mampu menerjemahkannya
ke dalam strategi, serta mampu mengkomunikasikan secara efektif dan persuasive dalam
menggunakan bahasa yang jelas dan mudah diakses. Bidang pengetahuan terpenting bagi para
pemimpin keberlanjutan diperkenalkan di bawah ini.

Tantangan dan Dilema Global Dalam Kepemimpinan Berkelanjutan


Pemimpin keberlanjutan memupuk pengetahuan tentang tekanan sistem sosial dan ekologi dan
koneksi antara sistem ini dan kekuatan politik dan ekonomi. Polman (2009) adalah tipikal dari
pemimpin yang ingin memainkan perannya ketika dia berkata: “Dunia ini memiliki tantangan
yang luar biasa. Itu tantangan kemiskinan, air, pemanasan global, perubahan iklim. Dan bisnis
seperti kita punya peran untuk dimainkan dalam hal itu. Dan sejujurnya, bagi saya, sangat
menarik. ”Ini termasuk berurusan dengan apa yang Denis Meadows (2008) menyebut masalah
66
universal dan global. Masalah universal, seperti polusi sungai / danau atau kemiskinan dalam
suatu komunitas, dapat terjadi di mana saja di dunia, tetapi biaya / dampak dan manfaat / solusi
cenderung dirasakan secara lokal, sedangkan masalah global, seperti perubahan iklim atau
penyebaran penyakit menular, menciptakan dampak di seluruh dunia dan juga hanya dapat
diselesaikan melalui kolaborasi internasional. Survei para CEO CEO Accenture & UNGC
(2010) mengungkapkan bahwa masalah sosial / lingkungan teratas mereka wajah adalah
pendidikan (72%), perubahan iklim (66%), meskipun kelangkaan sumber daya (terutama air)
dan kesehatan juga semakin memprihatinkan. Immelt (2010) sangat meyakini pentingnya
memahami tantangan global saat ini itu katanya, setiap mahasiswa / mahasiswa harus
menghabiskan tahun pertama mereka dengan fokus pada mereka. Untuk Misalnya, " Anda
dapat memilih satu dari tiga hal: Anda dapat memilih energi bersih, terjangkau perawatan
kesehatan atau menyelesaikan kemiskinan dengan benar,. ”Ini bukan proposisi teoretis. "Maso
(2010) mengatakan," Saya sangat percaya bahwa sains akan memberi kita solusi yang tepat
yang akan buat tautan, jembatan, antara visi dan kapasitas untuk mewujudkannya. Dan bisnis
akan mendengarkan sains karena melalui sains yang baik kita dapat membuat bisnis yang baik.
… Kita perlu membangun platform sains dan teknologi yang kuat yang dapat digunakan bisnis,
atau dunia Barat dapat menggunakannya akhirnya memberlakukan sesuatu untuk kepentingan
semua orang lain "

Muehlfeit (2010) mengatakan, “Jika Anda melihat beberapa tantangan yang sangat besar yang
kita hadapi sebagai masyarakat abad ini, saya pikir mungkin tantangan pertama adalah
globalisasi inklusif.

Masalah global lainnya adalah kesenjangan antara si kaya dan si miskin, kesenjangan
ketimpangan. Yang lain harus lakukan dengan dengan benar dengan pasar negara berkembang,
karena 20 tahun yang lalu kami memiliki satu miliar orang dengan gaya barat kapitalisme, hari
ini mungkin 3-4 miliar. Kami semakin bergerak menuju multilateral dunia di mana akan ada
beberapa kekuatan super yang berbeda dan kita perlu memiliki jauh lebih tinggi kesadaran
global. Di situlah saya berpikir kepemimpinan, jika Anda mengambil kepemimpinan politik dan
juga kepemimpinan perusahaan, perlu pergi, untuk menjadi lebih sadar akan masalah-masalah
global. Saya pikir ini juga perlu diajarkan di sekolah bisnis, itu belum terjadi. "Dia
menyimpulkan bahwa" apa adanya yang perlu dilakukan oleh para pemimpin bisnis adalah
67
menciptakan gambaran yang lebih besar dan juga agar lebih terhubung dengan Internet
tantangan global yang besar. " Ogg (2010) percaya bahwa “ada konteks abad ke-21 untuk
kepemimpinan dan apa pun yang diberikan saat dalam waktu ada pembeda yang memisahkan
yang baik dari yang besar. "

Interdisciplinary connectedness
Para pemimpin keberlanjutan sadar akan relevansi dan keterkaitan ilmu fisika, ilmu sosial,
teknologi, bisnis dan disiplin ilmu lainnya. Jelas bahwa keberlanjutan – dengan konsep 'triple
bottom line' yang mendasari sosial, lingkungan dan ekonomi terintegrasi kinerja - perlu
apresiasi mendalam untuk ilmu ekologi dan sosial dan bagaimana mereka berhubungan satu
sama lain. Immelt (2010) merefleksikan: “Bagaimana Anda mengembangkan pemimpin untuk
periode volatilitas yang kita jalani saat ini hari ini? Salah satu hal yang kami sangat tertarik
adalah apa yang kami sebut system thinking. Sytem thinking adalah proses dimana manusia
dapat mengintegrasikan antara teknologi, kebutuhan pasar, kebijakan publik dan sebagainya.
Anda harus berintegrasi banyak hal pada saat bersamaan. ”Mervyn King, ketua Global
Reporting Initiative, mencerminkan bahwa "lima aset modal keuangan, manusia, alam, sosial
dan teknologi telah menjadi saling bergantung secara kritis. Tidak ada entitas yang dapat
merencanakan untuk jangka panjang dalam perekonomian di mana kita menemukan diri kita
sendiri tanpa memperhitungkan hal-hal kritis ini, semua aset saling tergantung. "(KPMG, et al.,
2010)

Seorang pemimpin keberlanjutan memahami bagaimana sistem yang kompleks bekerja dan
berbagai pilihan untuk mempromosikan perubahan yang bermanfaat di dalamnya, misal pasar
keuangan, opsi dan tren kebijakan, teknologi pilihan, perilaku dan sikap konsumen, dinamika
organisasi, perubahan model dan metrik. Doppelt (2010), yang diterapkan pada tingkat
organisasi, berpendapat bahwa “hanya sistem dan elemen berinteraksi dalam lingkungan alam
dengan cara yang mengarah pada pelestarian persediaan dan arus alam, sistem tata kelola yang
berkelanjutan menciptakan mekanisme yang secara terus-menerus mendorong dan
mengorganisasi menuju pencapaian menyediakan sumber sosial ekonomi sambil melestarikan
lingkungan.

Carson (2010) sangat menyadari perannya sebagai katalis dan pentingnya memahami dinamika
perubahan. “Yang bisa dengan mudah terjadi adalah ketika mengambil kecil langkah awal,
mereka menjadi besar nanti. Ogg (2010) menyatakan kunci untuk memimpin perubahan adalah
68
tautan visi dengan kemampuan: “Ketika Anda mengeluarkan visi di sana, yang selalu membuat
frustrasi adalah bahwa orang cenderung tidak memahaminya pada saat ini. Lihatlah
kesenjangan kemampuan yang ada dan apa yang diperlukan untuk membawa kita dari sini ke
tujuan akhir. "Menggunakan contoh tujuan strategis Unilever untuk melipattigakan ukuran
bisnis 1 miliar Euro mereka di Indonesia sementara secara bersamaan mengurangi dampak
lingkungan mereka, ia berkata: "Bagaimana Anda menyelesaikan masalah besar?. Ayo pergi ke
Indonesia. Mari kita spesifik. Mari kita bicara tentang sumber daya disana dan apa yang bisa
Anda lakukan di sana? Itu mungkin sesuatu yang bisa kita pecahkan. Jika kamu berfikir semua
jalan melalui, Anda dapat memiliki rencana di indonesia dua atau tiga hal yang, jika kita fokus
kita akan sukses memiliki bisnis yang 3 miliar. Tapi apakah kami juga telah merusaknya
sumber daya yang ada. " Pertanyaan yang belum terjawab.

Organisational Influences and Impacts


Para pemimpin keberlanjutan menghasilkan pengetahuan dan mengembangkan peluang untuk
penciptaan nilai dan pasar baru. Forum untuk Masa Depan (2006) mengutip sejumlah contoh.
Laporan Nike tahun 2004 membawa transparansi ke level baru dengan mengungkapkannya
secara lengkap basis pabrik tempat produksinya di-outsourcing. AWG menggunakan metode
akuntansi lingkungan untuk memahami dampak pembangunan berkelanjutan pada
keuntungannya. Laporan tentang lingkungan membeberkan berapa biaya untuk menghindari
atau mengembalikan dampak lingkungan dari penggunaan energi, limbah pembuangan dan
abstraksi air. Dan BT telah menciptakan indikator kinerja utama (KPI) yang mengukur kinerja
pada aspek etika. Ukuran tersebut mencakup kesadaran staf tentang Prinsip Bisnis, eksternal
survei dan tanggapan dari survei staf tahunan. Lopez (2010) menjelaskan bagaimana mereka
bisa meyakinkan Greenpeace untuk membatalkan kampanye mereka.

Kami telah menunjukkan bahwa kami memiliki logika, dan proses yang mendorong terus
menerus perbaikan menjadi aspek yang sangat diperhatikan perusahaan, yang dalam hal ini
adalah deforestasi. Yang penting bukan bahwa kita sepakat tentang bagaimana dunia harus
melihat akhir dari semua itu dan siapa yang harus bertanggung jawab dan bagaimana
seharusnya orang berperilaku dan sebagainya, tetapi kita sepakat bahwa apa yang kita lakukan
benar-benar memberikan peningkatan dan peningkatan kelestarian alam. ”

Diverse Stakeholder Views

69
Pemimpin keberlanjutan terbuka untuk pandangan dunia yang berbeda, baik di dalam
masyarakat dan lintas geografis, budaya dan politik, dan bagaimana menyelaraskannya secara
tepat. Immelt (2007) mengatakan, “Saya mungkin tahu jawaban, tetapi saya akan sering
membiarkan tim menemukan caranya sendiri. Terkadang, menjadi pendengar yang aktif jauh
lebih efektif daripada mengakhiri pertemuan dengan saya menyebutkan 17 tindakan ”. Pada
bulan Februari 2004 Nike menyelenggarakan forum pemangku kepentingan global pertamanya
untuk menerima umpan balik tentang tanggung jawab perusahaan. Nike menemukan, misalnya,
bahwa satu masalah utama yang menjadi perhatian adalah dampak potensial dari berakhirnya
Pengaturan Multi-Serat Organisasi Perdagangan Dunia, dan memprakarsai berbagai dukungan
program (Forum untuk Masa Depan, 2006). Bagian dari pendekatan partisipasi pemangku
kepentingan adalah tentang membangun kepercayaan. Memang menurut Survei CEO terbaru
(Accenture & UNGC, 2010), Memperkuat merek, kepercayaan dan reputasi menjadi motivator
terkuat untuk merespon isu-isu keberlanjutan, diidentifikasi oleh 72% CEO. 58% dari
responden survei memilih konsumen di antara pemangku kepentingan mereka yang paling
penting, bahkan di atas karyawan (45%) dan pemerintah (39%).

Berkaca pada kampanye Greenpeace 2010 melawan Nestle, Lopez (2010) mengatakan “diskusi
saya dengan Greenpeace, yang merupakan latihan pembelajaran yang hebat, memungkinkan
kami untuk menunjukkan kepada orang-orang di sana bahwa pekerjaan yang kita lakukan [pada
keberlanjutan] layak mendapatkan pemahaman yang lebih baik oleh mereka, yang mereka telah
diakui. Seperti yang Anda tahu, mereka telah membatalkan kampanye mereka melawan Nestle.
" Gaya kepemimpinan top-down telah berubah dalam beberapa tahun terakhir, menurut Maso
(2010). "Melalui teknologi dan evolusi mentalitas kita, kita meminta para pemimpin untuk jauh
lebih mampu terlibat dalam menciptakan hubungan, "katanya. “Kami tahu perbedaan antara
menjadi influencer versusmenjadi komandan atau pengontrol. " Ogg (2010) mengatakan
"pemimpin harus menang untuk bisnis dan memberi kemenangan untuk komunitas dan
kemenangan untuk konsumen.

Leadership Actions
Menurut survei Accenture & UNGC (2010), Tindakan kepemimpinan sangat penting, karena
kesenjangan antara aspirasi keberlanjutan atau keharusan dan kinerja aktual tetap lebar.
Misalnya, survei perusahaan berkelanjutan IBM (2009) tentang lebih dari 220 eksekutif senior
di seluruh dunia menunjukkan bahwa 60% percaya CSR telah meningkat dalam arti penting
selama setahun terakhir. Namun disana terus menjadi kesenjangan yang signifikan antara tujuan
70
bisnis dan keberlanjutan pengaturan perusahaan untuk diri mereka sendiri dan apa yang
sebenarnya mereka lakukan untuk mencapainya. Seperti yang dikatakan Polman (2009), “Anda
tidak dapat berbicara sendiri tentang hal-hal yang Anda lakukan sendiri. Pemimpin dan
tindakan yang mereka ambil masing-masing akan menghasilkan hubungan timbal balik yang
memiliki potensi untuk berdampak dan mengubah yang lain.

Internal Actions
Pemimpin keberlanjutan biasanya menanggapi tantangan dan peluang keberlanjutan melalui
tindakan internal (berorientasi organisasi) berikut:

1. Informed decisions
Pemimpin keberlanjutan bertindak sesuai dengan pengetahuan terbaik yang tersedia. Polman
(2009) mengatakan "seni kepemimpinan adalah untuk melihat kenyataan. ”Carson (2010)
percaya ini adalah di mana lembaga CISL dan universitas umumnya memiliki peran.

Strategic direction
Pemimpin keberlanjutan memberikan visi yang kuat dan tujuan strategis yang jelas. Ellsworth
(2002) mengatakan: “Dijantung kepemimpinan perusahaan yang efektif terletak tanggung
jawab untuk mendefinisikan, mempromosikan, dan mempertahankan, aktivitas yang
memuliakan mereka yang melayani, merangsang komitmen individu, dan membawa persatuan
pada tindakan kooperatif. Sebagai contoh, Wessex Water di Inggris telah mengembangkan visi
itu menetapkan seperti apa bentuk perusahaan air yang berkelanjutan, menggunakan Kerangka
Lima Kapital (alam, manusia, sosial, manufaktur dan keuangan) (Forum For the Future, 2006).

Ada bukti kemajuan yang signifikan. 81% CEO — dibandingkan dengan hanya 50% pada 2007
— menyatakan keberlanjutan sekarang sepenuhnya tertanam dalam strategi dan operasi
perusahaan mereka (Accenture & UNGC, 2010). Cheshire (2010) percaya bahwa “tantangan
kepemimpinan keberlanjutan saat ini adalah membingkai pertanyaan dengan benar. Jadi apa
artinya bagi saya khususnya organisasi? Apa tugas keberlanjutan yang harus dilakukan? Apa
risiko dan peluangnya? Betulkah dari sudut pandang kepemimpinan, jika Anda membingkai
yang benar dan mendapatkan orang yang tepat dalam kasus ini, itu pekerjaan Anda selesai."
Muehlfeit (2010) mengatakan “kami mengambil pendekatan yang berbeda dari perusahaan lain
- kami menempatkan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis kami. Itu tidak seperti amal,
sesuatu yang baik untuk dimiliki.
71
2. Management incentives
Pemimpin keberlanjutan menyelaraskan struktur manajemen dan insentif (misal Sistem tata
kelola dan budaya perusahaan). Survei CEO World Economic Forum 2003 menyatakan bahwa
beberapa besar bisnis, termasuk Diageo, Statoil, Siemens dan Merck, mulai membangun
keberlanjutan yang terkait kriteria kinerja ke dalam sistem remunerasi mereka untuk para
eksekutif, mengakui hal itu tanggung jawab untuk pembuktian di masa depan bisnis sangatlah
penting. Menurut Immelt (2007): “Ada tidak ada keajaiban nyata untuk menjadi pemimpin yang
baik. Tetapi, Anda harus menghabiskan waktu Anda seputar hal-hal yang sangat penting:
menetapkan prioritas, mengukur hasil, dan memberi penghargaan mereka." Wawancara
Accenture & UNGC (2010) dengan CEO menemukan kasus-kasus perusahaan mulai
mengintegrasikan masalah keberlanjutan ke dalam paket kompensasi eksekutif mereka, serta
desain dan fungsi inovasi. Meskipun demikian, survei mengakui bahwa "integrasi penuh
keberlanjutan ke dalam kerangka kerja manajemen dan pendekatan untuk pelatihan dan
pengembangan masih jauh dari harapan dan perlu ditingkatkan.”

3. Performance accountability
Pemimpin keberlanjutan menunjukkan akuntabilitas dan peningkatan kinerja (pelaporan,
pengukuran, audit). Misalnya, Novo Nordisk komit menyertakan untuk mengawasi kinerja
sosial, lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan posisi yang berdedikasi
terkait dengan aspek CSR seperti Wakil Presiden Senior Hubungan Pemangku Kepentingan
(Forum for the Future, 2006). Immelt (2007) mengatakan “pemimpin yang baik tidak pernah
takut untuk campur tangan secara pribadi pada hal-hal penting. Michael Dell dapat memberi
tahu Anda berapa banyak komputer yang dikirim dari Singapura kemarin". Mervyn King, ketua
Global Reporting Initiative, mengambil garis yang kuat dalam hal ini, dengan mengatakan: “Ya
menjadi penting bahwa G20 setuju untuk menetapkan bahwa semua entitas dalam yurisdiksi
mereka melaporkan atau menjelaskan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, lingkungan
dan ekonomi. Kebutuhan pemangku kepentingan adalah pelaporan terintegrasi ”. Dalam
penelitian mereka tentang untuk keberlanjutan, melaporkan di 30 negara, ditemukan bahwa
sudah ada 142 standar negara atau undang-undang beberapa persyaratan atau pedoman
pelaporan keberlanjutan, di mana 65% adalah wajib pelaporan (KPMG et al., 2010).

Pemimpin keberlanjutan menerapkan struktur dan proses untuk tata pemerintahan yang baik,
transparansi dan keterlibatan pemangku kepentingan. Akuntabilitas tidak harus semua tentang
72
struktur dan control namun Collins (2001) percaya bahwa para pemimpin hebat menumbuhkan
budaya disiplin: “Ketika Anda memilikinya orang yang berdisiplin, Anda tidak perlu hierarki.
Ketika Anda memiliki pemikiran disiplin, Anda tidak perlu birokrasi. Ketika Anda memiliki
tindakan disiplin, Anda tidak perlu kontrol berlebihan "(13). Menurut Immelt (2007), “Enron
dan 9/11 menandai berakhirnya era kebebasan individu dan mulai dari tanggung jawab pribadi.
Anda memimpin hari ini dengan membangun tim dan menempatkan orang lain sebagai yang
utama".

4. People empowerment
Pemimpin keberlanjutan memberikan peluang dan sumber daya untuk pengembangan diri,
inovasi organisasi dan masyarakat, termasuk melembagakan dialog yang memanfaatkan
beragam keahlian dan perspektif. Seperti yang dikatakan Polman (2009), “definisi
kepemimpinan saya sangat sederhana: jika Anda secara positif mempengaruhi seseorang, Anda
adalah seorang pemimpin ”. Immelt (2007) melihatnya sebagai kebebasan yang memungkinkan
dalam batas-batas yang ditetapkan: “Batas-batas itu adalah komitmen, semangat, kepercayaan,
dan kerja tim. Dalam pedoman itu, ada banyak kebebasan. Tapi tidak ada yang bisa melewati
keempat batas itu."

Para pemimpin keberlanjutan memperdalam pengetahuan dan keterampilan dan memberikan


peluang dan sumber daya untuk tindakan yang tepat. Greenleaf (2002) mengatakan:
“Pemimpin-pelayan adalah pelayan. Collins (2001) mengetengahkan pentingnya aspek
perubahan manusia. Para pemimpin yang baik ke hebat “pertama kali harus mendapatkan orang
yang tepat di bus, orang yang salah turun dari bus, dan orang yang tepat di kursi yang tepat.

Dalam penelitian di Inggris baru-baru ini tentang keterampilan kepemimpinan yang diperlukan
untuk ekonomi berkelanjutan, 92% dari pemimpin bisnis dan keberlanjutan sepakat bahwa
bisnis perlu berbuat lebih banyak untuk mempersiapkan orang-orang mereka untuk transisi ke
ekonomi berkelanjutan. Lopez (2010) setuju. “Saya orang yang optimis. Saya tidak akan
melakukan pekerjaan ini jika saya tidak mau melakukannya. Saya selalu berpikir bahwa orang
pada akhirnya akan menginginkan kemakmuran dan melakukan segala hal dengan lebih baik,
harga diri yang merupakan pendorong utama kebahagiaan. Bagi Cheshire (2010) “tugas
pemimpin adalah menciptakan kondisi agar orang lain berhasil dan berhasil melakukan itu
dengan cara yang berkelanjutan sehingga bisnis bertahan lama. Anda mungkin secara teknis
brilian, Anda bahkan mungkin menjadi komunikator yang hebat, tetapi kecuali jika Anda benar-
73
benar dapat mengumpulkan tim yang efektif dan kemudian mengelolanya untuk kinerja, Anda
sebenarnya bukan pemimpin yang efektif. " Berbicara tentang keberlanjutan, dia berkata: "Jika
kita memutuskan bahwa ini adalah lapangan bermain kita dan ini adalah agenda kita dan
pandangan kita tentang ke mana kita ingin pergi, bagaimana saya kemudian memobilisasi orang
di sekitar agenda ini? Bagaimana cara mendapatkan tim yang tepat bersama pada topik yang
tepat? Bagaimana cara mempertahankan tingkat minat ini maju? Bagaimana saya
menjadikannya sebagai bagian dari DNA bisnis?

5. Learning and innovation


Pemimpin keberlanjutan memberdayakan pembelajaran dan inovasi berkelanjutan di seluruh
organisasi (melalui pendidikan dan pengakuan). Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan
DfES 2005/06 menggambarkan pembangunan berkelanjutan sebagai “agenda inovasi, membuat
kami memikirkan kembali bagaimana kami mengatur hidup dan pekerjaan kita sehingga kita
tidak menghancurkan sumber daya kita yang paling berharga ”. Gough (2003) dari Pusat
Penelitian dalam Pendidikan, Universitas Bath menyarankan bahwa “jika Anda ingin menguji
untuk masyarakat yang berkelanjutan, salah satu pertanyaan yang akan Anda tanyakan adalah:
apakah orang belajar sepanjang waktu di masyarakat ini? ”Dan menurut Immelt (2007)“ peran
utama seorang pemimpin adalah mengajar. Orang yang bekerja dengan Anda tidak harus setuju
dengan Anda, tetapi mereka harus merasa Anda bersedia membagikan apa yang sudah Anda
miliki ".

Sembilan puluh satu persen CEO dalam survei terbaru (Accenture & UNCG, 2010) melaporkan
perusahaan akan menggunakan teknologi baru (mis., energi terbarukan, efisiensi energi,
informasi dan teknologi komunikasi) untuk membantu mencapai tujuan keberlanjutan mereka
selama lima tahun ke depan.

External Actions
Pemimpin keberlanjutan biasanya menanggapi tantangan dan peluang keberlanjutan melalui
tindakan eksternal (terkait pemangku kepentingan) berikut:

1. Cross sector partnerships


Para pemimpin keberlanjutan terlibat dalam aliansi terstruktur dan berkelanjutan. Tennyson
(2003) mengatakan “hanya dengan kolaborasi lintas sektor yang komprehensif dan luas kita
74
dapat memastikannya inisiatif pembangunan berkelanjutan adalah imajinatif, koheren dan
cukup terintegrasi untuk mengatasi masalah yang paling sulit diselesaikan ”(180). Menurut
ulasan 122 mitra di 27 kemitraan untuk keberlanjutan oleh Findlay-Brooks et al. (2009), tujuan
paling umum adalah peningkatan air dan sanitasi bagi masyarakat miskin dan pendidikan,
meskipun masalah pembangunan, keanekaragaman hayati dan konservasi juga disertakan. 78%
CEO percaya bahwa perusahaan harus terlibat dalam kolaborasi industri dan multi-pemangku
kepentingan kemitraan untuk mengatasi sasaran pembangunan. Meskipun temuan ini, menarik
untuk dicatat bahwa pengaruh LSM tampaknya menurun - hanya 15% CEO yang
mengidentifikasi LSM sebagai salah satu kunci para pemangku kepentingan memengaruhi
pendekatan mereka terhadap keberlanjutan, turun 12% dari 2007.

2. Sustainable products and services


Para pemimpin keberlanjutan memusatkan R&D, penjualan dan pemasaran pada prinsip-prinsip
keberlanjutan. Leaders Group (2006) menggambarkan sebagai “mengembangkan teknologi dan
produk yang memungkinkan dunia untuk mengatasi tantangan sosial dan lingkungan ”. Ada
banyak contoh produk semacam itu dan layanan, dari program Eco-Project Toyota (yang
menghasilkan, antara lain, Prius dan fasilitas produksi tanpa limbah di Selandia Baru) dan
'Ekoaginasi' General Electric program (yang menetapkan target pendapatan ganda (minimal US
$ 20 miliar) dari produk dan layanan yang memberikan manfaat lingkungan yang signifikan dan
terukur kepada pelanggan) Inisiatif perumahan murah CEMEX Patrimonio Hoy yang telah
tumbuh pada tingkat 250% per tahun dan telah mendaftarkan lebih dari 20.000 keluarga miskin
sejak awal, dengan tujuan untuk mencapai 1 juta keluarga dalam 5 tahun (Forum for the Future,
2006).

Salah satu elemen kunci dari produk dan layanan berkelanjutan adalah mengintegrasikan
persyaratan keberlanjutan di seluruh rantai nilai. Ini tetap menjadi salah satu tantangan terbesar
perusahaan. Penelitian oleh Accenture & UNGC (2010) menemukan kesenjangan kinerja yang
signifikan antara CEO yang menyetujui hal itu keberlanjutan harus tertanam di seluruh anak
perusahaan mereka (91%) dan rantai pasokan (88%), dan mereka yang melaporkan perusahaan
mereka sudah melakukannya (masing-masing 59% dan 54%).

3. Sustainability awareness
Pemimpin keberlanjutan pandai berbagi pengetahuan dan pemahaman dengan pemangku
kepentingan grup yang lebih luas (publik, pelanggan, dll.) dan mempromosikan respons yang
75
sesuai. Misalnya, Reckitt Benckiser menemukan bahwa hampir dua pertiga dari jejak karbon itu
berasal dari konsumsi produk oleh pelanggannya (ADL, 2005). Oleh karena itu, ia memiliki
program berkelanjutan - sebagai bagian dari inisiatif Karbon 20 di Indonesia November 2007
untuk mengurangi jejak karbon total produknya sebesar 20% pada tahun 2020 - untuk
pendidikan dan memungkinkan konsumen untuk mengurangi konsumsi energi dan air di rumah
ketika mereka menggunakannya produknya.

4. Context transformation
Berusaha mengubah lingkungan (konteks / kerangka kerja kebijakan / aturan main), tantangan
status quo, dan menjadikan sebagai kondisi yang yang kondusif untuk bisnis. Misalnya, Grup
Pemimpin Perusahaan tentang Perubahan Iklim - sebuah koalisi CEO di seluruh Eropa
-memiliki misi "untuk memicu langkah-perubahan dalam kebijakan dan tindakan yang
diperlukan baik untuk menjawab ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim , maupun
untuk memahami peluang bisnis yang diciptakan dengan agar dapat menciptkan situasi
ekonomi beriklim positif". Demikian pula, Dialog Ekonomi Berkelanjutan CISL (2006)
berbicara tentang beralih menjadi “Pertumbuhan cerdas/ smart growth” dan merekomendasikan
serangkaian tindakan bisnis - mulai dari tata kelola yang lebih baik - untuk menciptakan
lingkungan operasi yang memungkinkan terjadinya keberlanjutan.

Maso (2010) percaya bisnis memiliki peran penting, tetapi terbatas, dalam mengubah konteks
politik , terutama pada mengubah jalur pengembangan ekonomi yang sedang tumbuh. “Aku
tidak yakin itubisnis akan pernah memiliki kredibilitas yang cukup untuk terlibat dalam dialog
dengan Dunia Ketiga itu karena bisnis tidak memikirkan skala makro namun mikro. Masing-
masing bisnis hanya mengoptimalkan lingkungan mereka sendiri; mereka tidak memiliki
platform untuk membuat pesan politik yang lebih luas dan memiliki pengaruh makro.

5. Stakeholder transparency
Para pemimpin keberlanjutan mendorong keterbukaan dan pembangunan kepercayaan dalam
keterlibatan pemangku kepentingan. Survei KPMG (2008) tentang tren pelaporan
keberlanjutan global menemukan bahwa 79% dari Perusahaan Fortune Global 250 telah
mengungkapkan informasi lingkungan, sosial dan tata kelola, dan 77% dari mereka
menggunakan GRI untuk melakukannya. Wim Bartels, Kepala Global Sustainability Assurance
di KPMG, mengatakan: "Di era ini kepercayaan pada dunia usaha rendah , tampaknya menjadi
tugas semua pihak untuk memastikan transparansi di mana pemangku kepentingan organisasi
76
dapat memahami kinerja perusahaan atau organisasi sedemikian rupa sehingga kepercayaan
dibangun kembali dan keputusan dapat diambil dalam lingkungan di mana dialog dengan
pemangku kepentingan adalah bagian integral dari bisnis ”(KPMG, et al., 2010). Meskipun
kami telah menghadirkan kepemimpinan yang berkelanjutan sebagai model sederhana, salah
satu yang paling menarik adalah bahwa kepemimpinan keberlanjutan penuh dengan paradoks.
Sebagai perubahan lanskap kompetitif dan tantangan global yang berkembang, perusahaan yang
dipuji di masa lalu karena pemimpin keberlanjutan dapat didiskreditkan pada saat ini. Demikian
pula, penjahat yang ditargetkan hari ini mungkin akhirnya menjadi pahlawan keberlanjutan di
hari esok dan sebaliknya. Para pemimpin keberlanjutan menyadari bahwa tugas mereka, pada
akhirnya, adalah tentang bertahan hidup.

Daftar Pustaka
Accenture & UN Global Compact, 2010. A new era in sustainability [CEO survey].
Adair, J., 1984. Action centred leadership. London: McGrawHill.
ADL, 2005. Innovation High Ground: How Leading Companies are Using Sustainability-
Driven Innovation to Win Tomorrow’s Customers. Arthur D Little.
Amar, A.D. & Hentrich, C., 2009. To Be a Better Leader, Give Up Authority. Harvard Business
Review 87(12): 22-24.
Bass, B.M., 1990. From transactional to transformational leadership: Learning to share the
vision. Organizational Dynamics, Winter: 19-31.
Blake, R.R. & Mouton, J.S., 1968. The Managerial Grid; Key Orientations for Achieving
Production through People. Houston: Gulf Publishing Company.
Burns, J.M., 1978. Leadership. New York: Harper & Row.
Carson, N., 2010. Interview with Neil Carson, CEO of Johnson Matthey, conducted by Polly
Courtice, 15 June 2010.
Center for Excellence in Leadership, London South Bank University & Forum for the Future,
2007. Leadership for sustainability: Making sustainable development a reality for leaders.
Center For Excellence in Leadership (CEL).
Cheshire, I., 2010. Interview with Ian Cheshire, CEO of Kingfisher, conducted by Polly
Courtice.
Coch, L. & French, J.R.P., 1948. Overcoming resistance to change. Human Relations 1: 512-
532.
Collins, J., 2001. Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't.
HarperBusiness.
CISL, 2006. Sustainability Economy Dialogue Report. Cambridge Institute for Sustainability
Leadership.
CISL, 2011. A Journey of a Thousand Miles: The State of Sustainability Leadership 2011.
Cambridge Institute for Sustainability Leadership.
De Vries, M.K., 2001. The Leadership Mystique: Leading Behavior in the Human Enterprise.
Financial Times/ Prentice Hall.
Doppelt, B., 2010. Leading Change Toward Sustainability: A Change-Management Guide for
Business, Government and Civil Society, 2nd Edition. Sheffield: Greenleaf.
Drucker,P.,1993.The Practice of Management. Collins.

77
Ellsworth, R.R., 2002. Leading with Purpose: The New Corporate Realities. San Francisco:
Stanford Business Books.
Fiedler, F.E., 1971. Leadership. General Learning Press.
Findlay-Brooks, R., Visser, W. & Wright, T., 2009. Corporate Social Responsibility and
Regulatory Governance – Towards Inclusive Development? In Marques, J.C. & Utting, P.
Corporate Social Responsibility and Regulatory Governance – Towards Inclusive
Development? Palgrave.
Flowers, B.S., 2008. CISL Sustainability Leadership Research Interview. Cambridge Institute
for Sustainability Leadership & W. Visser.
Forum for the Future, 2006. Are you a leader business? Hallmarks of sustainable performance.
Forum for the Future: Stephanie Draper, Lena Hanson, Sally Uren.
Goffee, R. and Jones, G., 2009. Authentic leadership. Leadership Excellence, May.
Goleman, D., 1995. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Goleman, D., Boyatzis R. & McKee, A., 2002. Primal Leadership. Boston: Harvard Business
Press.
Gough, S., 2003. Learning the Sustainability Lesson: Tenth report of session 2002-03. House of
Commons, Environmental Audit Committee, Volume 2
Greenleaf, R.K., 1977. Servant leadership. Paulist Press.
Greenleaf, R.K., 2002. Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and
Greatness. Paulist Press.
Harris, N., 2007. Corporate Engagement in Processes for Planetary Sustainability:
Understanding
Corporate Capacity in Non-Renewable Resource Extractive Sector, Australia. Business Strategy
and the Environment 16: 538–553.
Hersey, P. & Blanchard, K. H., 1999. Leadership and the One Minute Manager. William
Morrow.
Homer-Dixon, T., 2006. The Upside of Down: Catastrophe, Creativity, and the Renewal of
Civilization. Island Press.
IBM, 2009. Leading a sustainable enterprise - Leveraging insight and information to act. IBM
Institute for Business Value
Immelt, J., 2007. GE's Jeff Immelt on the 10 keys to great leadership. Fast Company, 19
December.
Immelt, J., 2010. Interview with Jeffrey Immelt, CEO of General Electric, conducted by Polly
Courtice in February 2010.
Isos MORI, (2010). Skills for a Sustainable Economy The Business Perspective, Report for
Business in the Community/EDF Energy.
Kalungu-Banda, M., 2006. Leading like Mandela: Leadership Lessons from Nelson Mandela.
Double Storey Books.
Kouzes, J.M. & Posner, B.Z. , 2007. The Leadership Challenge, 4th Edition. Jossey-Boss.
KPMG, 2008. International Survey of Corporate Responsibility Reporting 2008. Amsterdam:
KPMG.
KPMG, Unit for Corporate Governance in Africa, GRI & UNEP, 2010. Carrots and Sticks: An
update on trends in voluntary and mandatory approaches to sustainability reporting.
Lewin, K., LIippit, R. & White, R.K., 1939. Patterns of aggressive behavior in experimentally
created social climates. Journal of Social Psychology 10: 271-301.
Lopez, J., 2010. Interview with José Lopez, Executive Vice President Operations and GLOBE
of Nestle, conducted by Polly Courtice, 17 June 2010.
Maso, P., 2010. Interview with Philippe Maso, CEO of AXA, conducted by Polly Courtice.
McCall, M.W. Jr. & Lombardo, M.M., 1983. Off the track: Why and how successful executives
get derailed. Greenboro, NC: Centre for Creative Leadership.

78
McKinsey, 2009. Leadership through the crisis and after: McKinsey Global Survey results.
McKinsey Quarterly, October.
Meadows, D., 2008. CISL Sustainability Leadership Research Interview. Cambridge Institute
for Sustainability Leadership & W. Visser.
Morrison, A.J., 2000. Developing a global leadership model. Human Resource Management
39(2&3): 117–131.
Muehlfeit, J., 2010. Interview with Jan Muehlfeit, Chairman of Microsoft Europe, conducted by
Polly Courtice.
Musser, S.J., 1987. The determination of positive and negative charismatic leadership.
Grantham: PA: Messiah College.
Newman, L., 2005. Uncertainty, innovation, and dynamic sustainable development.
Sustainability: Science, Practice & Policy 1(2).
Ogg, S., 2010. Interview with Sandy Ogg, Chief Human Resources Officer for Unilever,
conducted by Polly Courtice.
Peters, T., 1989. Thriving on Chaos: Handbook for a Management Revolution. HarperBusiness.
Polman, P., 2009. McKinsey conversations with global leaders: Paul Polman of Unilever.
McKinsey Quarterly, October.
Quinn, L. & Norton, J., 2004. Beyond the bottom line: Practicing leadership for sustainability.
Leadership in Action, March/April.
Roddick, A., 2001. Business As Unusual. Thorstens.
Scharmer, O., 2008. CISL Sustainability Leadership Research Interview. Cambridge Institute
for Sustainability Leadership & W. Visser.
Scott, B., 2006. Report of the UK Launch Conference for the UN Decade of Education for
Sustainable Development. Available at
www.unesco.org.uk/UserFiles/File/DESD/ConferenceReport_BillScott4.pdf
Sustainability Leadership Institute, 2011. Website www.sustainabilityleadershipinstitute.org
[Accessed 15 July 2011)
Tannenbaum, R. & Schmidt, W.H., 1973. How To Choose a Leadership Pattern. Harvard
Business Review, May-June.
Tate, T. 2010. Interview with Truett Tate (2010), Group Executive Director, Wholesale, for
Lloyds Banking Group, conducted by Polly Courtice.
Tennyson, R., 2003. The Partnering Handbook. London: IBLF.
Tomorrow’s Leaders Group, 2006. A manifesto for tomorrow’s global business.
Tomorrow’s Leaders Group
Tuppen, C. & Porritt, J., 2003. Just Values: Beyond the business case for sustainable
development. BT & Forum for the Future.
Vroom, V.H. & Yetton, P.W., 1973. Leadership and decision-making. Pittsburg: University of
Pittsburg Press.
Visser, Wayne (2011), Report on Sustainability Leadership, Linking Theory and Practice,
University of Cambridge Institute of Sustainable Leadership, University of Cambridge

Tentang Penulis

79
Dr. Pantri Heriyati
Dr. Pantri Heriyati SE., M.Comm saat ini menjabat sebagai Ketua Centre for Business and
Social Empowerment sekaligus sebagai dosen senior dan peneliti di Universitas Bina
Nusantara, Jakarta, Indonesia. Menempuh pendidikan di Universitas Padjadjaran (S1),
Wollongong University, Australia (S2) dan Program Doktor (S3) dari Universitas Indonesia. Ia
berkecimpung di sektor pendidikan selama lebih dari limabelas tahun dengan latar belakang
industri yang kuat di perusahaan multinasional selama lebih dari sepuluh tahun. Bidang
keahlian dan penelitiannya adalah dibidang strategi pemasaran perusahaan, pendidikan dan
perilaku konsumen. Dia juga anggota American Marketing Association, dan Academy of
Management dan International Council Of Small Business sejak 2018. Beberapa buku yang
telah ditulisnya antara lain: Branding Perguruan Tinggi Di Era Digital (2019), Analisa Triple
Helix pada Industri Fesyen di Jakarta (2019), Perspektif Industri Financial Technology Di
Indonesia (2020) dan Perencaan Pemasaran Strategik (2020). Hasil penelitian dan tulisannya
telah diterbitkan di berbagai jurnal akademik internatonal bereputasi dan dia juga terdaftar
sebagai reviewer untuk beberapa jurnal akademik nasional.

BAB IV

ALASAN DUNIA MEMBUTUHKAN KEPEMIMPINAN YANG LEBIH


BERKELANJUTAN

Penulis :
80
Dr. Pantri Heriyati
Bagian ini merupakan saduran dari tulisan Megan Werft seorang Editorial Coordinator pada
Global Citizen, USA.

Apakah Kepemimpinan Berkelanjutan itu?

Kepemimpinan berkelanjutan adalah ketika para pemimpin bisnis (CEO) mengelola perusahaan
dengan mempertimbangkan lingkungan, masyarakat, dan tujuan pembangunan berkelanjutan
jangka panjang. Seringkali, ini disebut sebagai PPP, atau triple bottom line: people, planet,
profit. Pemimpin berkelanjutan memperhitungkan pemangku kepentingan (siapa pun yang
terhubung ke perusahaan mulai dari karyawan, konsumen, hingga generasi mendatang) bukan
hanya pemegang saham (investor yang berinvestasi secara finansial di perusahaan).

Perusahaan membutuhkan pemimpin yang dapat menyeimbangkan antara tujuan dan prioritas
jangka pendek dengan tujuan jangka panjang dan menggabungkan serangkaian cita-cita baru
yang berpusat pada peningkatan masalah sosial dan lingkungan di dunia. Dimana pemimpin
memimpin dengan cara yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, sambil
mempertahankan kinerja keuangan. Tapi untung besar, dan keuntungan finansial BUKAN satu-
satunya hal yang penting. Tantangan baru bagi para pemimpin organisasi saat ini adalah
berhasil mengarahkan organisasi mereka melalui masa ekonomi yang tidak menentu dan
berurusan dengan topik keberlanjutan

Fable et al., 2005 menjelaskan tampaknya para pemimpin di organisasi saat ini mencoba
memanfaatkan pribadi mereka konsep keberlanjutan untuk menyesuaikan dan terus
meningkatkan kinerja secara keseluruhan. (Mccan and Holt, 2010) Hubungan antara bisnis dan
masyarakat telah dipertimbangkan secara luas dalam teori manajemen. Shrivastava (1995)
mengemukakan bahwa pandangan yang berkelanjutan dari suatu organisasi didasarkan pada
kebutuhan perusahaan untuk sepenuhnya menerima kenyataan bahwa dunia bisnis sebenarnya
adalah bagian dari dunia alam. Pandangan ini didasarkan pada empat pilar yakni sosial, fisik,
etika dan bisnis yang berhubungan satu sama lain dan mendukung gagasan bahwa perusahaan
harus menciptakan nilai yang berkelanjutan dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, sosial dan
lingkungan. Menurut Jutras (2009), keberlanjutan merupakan integrasi dari strategi untuk
memastikan bahwa perusahaan bisa mencapai kinerja tertinggi yang tidak hanya kinerja bisnis

81
namun juga memberi kontribusi dan manfaat pada lingkungan, dan Masyarakat. menunjukkan
bahwa organisasi yang memiliki program keberlanjutan yang kuat mampu mengurangi biaya
sekaligus melakukan peningkatan yang signifikan dalam layanan pelanggan.

Kepemimpinan Yang Berkelanjutan Sebagai Kunci Mengakhiri Kemiskinan

Warga global perlu meminta pertanggungjawaban perusahaan dan memastikan para pemimpin
di sektor swasta mengadopsi praktik kepemimpinan yang berkelanjutan. Tanpa perubahan pola
pikir para pemimpin sektor swasta, tanggung jawab sosial dan lingkungan sulit untuk
ditegakkan. Melalui kepemimpinan yang berkelanjutan, perubahan yang diperlukan untuk
menciptakan dunia yang lebih baik dengan kesetaraan bagi semua kemungkinan besar akan
terjadi. Masyarakat dan lingkungan mendapat manfaat ketika CEO dan perusahaan
memprioritaskan kepemimpinan yang berkelanjutan yang memasukkan faktor lingkungan,
masyarakat, dan tata Kelola. Mengukur keberhasilan perusahaan sering kali diperhitungkan
dalam keuntungan finansial. Tetapi ketika keuntungan finansial diukur bersama dengan tingkat
tata Kelola (good governance), penelitian menunjukkan bahwa perusahaan berkinerja jauh lebih
baik secara finansial ketika mereka memiliki tatakelolola (good governance) yang lebih tinggi.
Sayangnya, tidak mudah untuk mengukur kepemimpinan yang berkelanjutan. Sisi baiknya,
studi ini menyoroti bahwa CEO dengan masa jabatan yang lebih lama menunjukkan
keberhasilan dalam pengukuran “inovasi, tempat kerja, tata kelola, kewarganegaraan,
kepemimpinan” dari kepemimpinan berkelanjutan, dan kinerja keuangan. Ini berarti pemimpin
yang berkelanjutan akan terus bertahan. Tetapi masih perlu memperhatikan pemimpin yang
berkelanjutan dan mempromosikan jenis kepemimpinan ini di seluruh sektor swasta.

Jangka waktu yang lebih lama mengarah pada kepemimpinan yang lebih berkualitas

Masa kerja rata-rata seorang CEO adalah sekitar 9,7 tahun. Semakin lama jangka waktu tenurial
(selain kualitas kepemimpinan yang berkelanjutan) semakin baik. CEO dan perusahaan terbaik
untuk pemimpin berkelanjutan memiliki jangka waktu 27-35 tahun! Itu dua atau tiga kali lebih
lama dari rata-rata. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketika CEO merasa nyaman dengan
peran mereka, mereka lebih cenderung lebih focus pada masalah dan pemecahannya ketimbang
pada keuntungan.

82
Mengapa? Sebagian besar karena ada begitu banyak persaingan di dunia korporat, sehingga
CEO baru merasa tertekan untuk memprioritaskan pada keuntungan dan pendapatan dengan
mengorbankan variabel lain. Ketika CEO terbukti sangat diperlukan bagi perusahaan mereka,
mereka dapat mengambil langkah fokus untuk berbuat baik bagi perusahaan dan Masyarakat
luas. Selain itu, CEO dengan masa jabatan yang lebih lama memiliki pengalaman, kapasitas
mental, keberanian, dan kepercayaan diri untuk berpikir jangak Panjang, dan lebih cenderung
mengadopsi praktik kepemimpinan yang berkelanjutan dan menggunakannya dalam
pengambilan keputusan.

Namun studi ini juga menemukan bahwa tenur panjang mungkin memiliki titik balik yang dapat
menghambat kepemimpinan berkelanjutan, dan dengan jangka waktu yang terlalu lama, CEO
dapat memengaruhi kepemimpinan berkelanjutan secara negatif di sebuah perusahaan. Jadi
agak sulit untuk menemukan waktu yang tepat, tetapi mengadopsi kebijakan untuk
kepemimpinan yang berkelanjutan secara keseluruhan penting untuk dimulai.

Bepergian untuk menggali wawasan dan Permasalahan Organisasi menciptakan


pemimpin yang berkelanjutan

Untuk mencapai tujuan global dan mengakhiri kemiskinan pada tahun 2030, ada beberapa
karakteristik utama yang harus dimiliki oleh para pemimpin yang berkelanjutan. Pikiran
terbuka, integritas, serta pendidikan dan pembelajaran yang berkelanjutan sangat penting. Dari
manakah karakteristik ini berasal? Banyak waktu, mulai dari bepergian, memahami pasar yang
berkembang dan belajar mengatasi kesulitan.

Itu disebut membangun hubungan, dan memahami perilaku orang di berbagai budaya. Sebagai
contoh CEO yang berasal dari latar belakang yang beragam, memiliki pengalaman dan
pengetahuan tentang budaya di negara berkembang dan pasar dan lebih cenderung mengadopsi
praktik sosial dan lingkungan dalam kepemimpinan yang akan menguntungkan ekonomi di
negara berkembang.

Hidup secara internasional, bekerja dengan orang-orang dalam bahasa asing dari latar belakang
dan budaya yang berbeda semuanya berkontribusi untuk membuat pemimpin yang lebih baik di
dunia korporat.
83
Pendidikan mampu membuat perbedaan besar

Pendidikan juga berperan besar dalam menciptakan pemimpin yang peduli dengan masyarakat,
lingkungan, mau melakukan sesuatu dan memasukkan tata kelola yang baik ke dalam bisnis.

Kepemimpinan berkelanjutan adalah topik yang kompleks, dan sebenarnya mempraktikkan


kepemimpinan berkelanjutan lebih rumit. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan
(dan keragaman latar belakang) yang dimiliki CEO, semakin kuat kemampuannya untuk
menjalankan kepemimpinan yang berkelanjutan.

Pendidikan yang beragam dan tingkat tinggi juga membantu CEO melihat gambaran yang lebih
besar, yang merupakan bagian dari mendorong pertumbuhan berkelanjutan untuk perusahaan.

Kepemimpinan yang berkelanjutan membutuhkan keberanian

Keberanian sangat penting untuk kepemimpinan yang berkelanjutan. Mengapa? Karena tidak
mudah menghadapi orang yang menginvestasikan dana besar di perusahaan.

Belajar dari Para CEO Dunia

Paul Polman, Unilever:

Polman adalah seorang pejuang pendukung untuk kepemimpinan yang berkelanjutan. Dia
mendukung kebutuhan integrasi dalam perusahaan untuk mendukung peralihan ke
kepemimpinan yang berkelanjutan selama bertahun-tahun, dan bersikukuh bahwa "CEO tidak
bisa menjadi budak pemegang saham". Polman mengatakan kepada pemegang saham di
Unilever bahwa mereka tidak akan lagi menerbitkan laporan laba kuartalan dan Unilever akan
mengadopsi model nilai jangka panjang untuk bisnis. Harvard Business Review menyebut
Polman sebagai "planet kapten". Inilah alasannya — Polman mendesain ulang model bisnis
Unilever untuk benar-benar berkontribusi pada masyarakat dan lingkungan alih-alih menyakiti
mereka.

Sinergi — setiap orang harus terlibat

84
CEO, CSO, CFO, dan COO, CMO, CPO, anggota dewan — dibutuhkan banyak orang untuk
menjalankan perusahaan. Dan sangat penting bagi semua orang untuk memiliki pemikiran yang
sama. Keberlanjutan harus diintegrasikan sepenuhnya ke dalam cara perusahaan menjalankan
bisnis. Menurut salah satu penulis studi, Pieter Ligthart, “CEO pada akhirnya adalah Chief
Sustainability Officer. Keberlanjutan bukan hanya sub-departemen Komunikasi Perusahaan,
meskipun komunikasi yang transparan merupakan elemen penting saat mendorong
keberlanjutan.”

Setiap orang di perusahaan perlu bekerja sama untuk menjadikan kepemimpinan berkelanjutan
sebagai model penting, yang dihargai oleh perusahaan di seluruh dunia. Meskipun CEO
Unilever mampu melawan investor dan dewan direksi, tidak semua CEO merasa cukup kuat
untuk melakukannya. Itulah mengapa kepemimpinan yang berkelanjutan harus diprioritaskan
oleh semua orang!

Kepemimpinan berkelanjutan masih agak langka, jadi sulit untuk menemukan contoh yang
menginspirasi selain Paul Polman. Namun, berikut adalah beberapa contoh CEO yang
mengadopsi beberapa aspek kepemimpinan berkelanjutan.

Yvon Chouinard, Patagonia

Pendiri Patagonia memberi tahu konsumen untuk tidak membeli produknya untuk
mempromosikan keberlanjutan di ritel dan mendorong karyawan untuk berselancar. Tidak
heran Patagonia terus terpilih sebagai salah satu perusahaan terbaik yang bekerja untuk tahun
demi tahun yang paling berkelanjutan.

Andrew Witty, GlaxoSmithKline (GSK)

Witty adalah CEO dari perusahaan farmasi besar GSK, yang berkantor pusat di Inggris. Tapi
dia bukan CEO biasa. Dia meresepkan obat baru bagi CEO di dunia farmasi untuk menjadi
pemimpin yang berkelanjutan. Witty bertanggung jawab atas keputusan GSK untuk tidak lagi
membayar dokter untuk meresepkan obat, dan membayar perwakilan penjualan berdasarkan
pengetahuan teknis dan kualitas layanan, bukan kuantitas yang terjual. Satu hal lagi —
perusahaan sedang mengembangkan bisnis di India, dan Witty menganjurkan cara untuk
melakukannya adalah dengan membuat obat-obatan terjangkau. Itu perubahan yang
berkelanjutan!
85
Elizabeth Holmes, Theranos

Holmes adalah salah satu CEO yang tangguh. Dia mendirikan perusahaan dengan jasa layanan
tes darahnya sendiri bernama Theranos pada usia 19 tahun saat masih mengambil jurusan teknik
kimia di Stanford. Dia mendukung kesetaraan gender di organisasi formal.

Mark Zuckerberg, Facebook

Zuckerberg mungkin tidak dikenal sebagai bos yang paling hangat dan paling tidak jelas, tetapi
ada beberapa aspek kepemimpinan berkelanjutan yang diterapkan Zuckerberg. Dia adalah salah
satu dari sedikit CEO dari perusahaan bernilai miliaran dolar dengan gaji yang "relatif" rendah
sebesar $ 600.000. Dia memiliki rencana masa depan yang menarik untuk Facebook yang
memasukkan pembangunan global yang berkelanjutan. Misalnya, berkomitmen untuk
memastikan semua orang di planet ini memiliki internet dalam sepuluh tahun. Ditambah dia
bisa membuat perusahaan tetap menarik untuk nenek dan aku ... yang cukup mengesankan.

Pemimpin organisasi saat ini harus berhasil membimbing entitas mereka melalui masa ekonomi
yang tidak menentu dan melakukannya dengan cara yang berkelanjutan (Fable et al., 2005).
Manajemen harus mengukur kepemimpinan yang berkelanjutan dengan mengukur opini
karyawan. Tantangan baru ini telah menjadi tugas yang semakin kompleks bagi kepemimpinan
organisasi dan dengan demikian pemahaman konsep kepemimpinan berkelanjutan dan
keberlanjutan menjadi semakin penting bagi semua tingkatan organisasi. Pengembangan
definisi yang disederhanakan dan contoh yang dapat dipahami setiap orang dalam organisasi
juga akan membantu organisasi menilai tingkat kepemimpinan berkelanjutan mereka dan
memfokuskan upaya organisasi yang mempertimbangkan kelangsungan hidup jangka panjang.
Menilai tingkat kepemimpinan berkelanjutan dalam sebuah organisasi juga dapat membantu
organisasi dalam upayanya menciptakan keunggulan kompetitif dan mengembangkan metode
yang secara terus menerus meningkatkan kinerja secara keseluruhan (Boyatzis et al., 2006).

Daftar Pustaka
Boyatzis, R.E., Smith, M.L. and Blaize, N. (2006) ‘Developing sustainable leaders through
coaching and compassion’, Academy of Management Learning & Education, Vol. 5, No.
1,pp.8–24.
Fable, N., Jorna, R. and Van Engelen, J. (2005) ‘The sustainability of sustainability – a study
intothe conceptual foundations of the notion of the notion of sustainability’, Journal of
Environmental Assessment Policy & Management, March, Vol. 7, No. 1, pp.1–33.

86
Jutras, C. (2009) The ROI of Sustainability: Making the Business Case, available at
http://www.aberdeen.com/summary/report/benchmark/5908-RA-sustainability
environmentalstewardship.asp (accessed on 20 August 2020)
Mccan, J.T., & Holt., R.A. (2010), Defining sustainable Leadership, International Journal of
Sustainable Strategic Management, Vol. No. 2, pp 204-210, DOI:
10.1504/IJSSM.2010.032561
Shrivastava, P. (1995) ‘The role of corporations in achieving ecological sustainability’,
Academy of Management Review, October, Vol. 20, No. 4, pp.936–960.

Tentang Penulis

Dr. Pantri Heriyati


Dr. Pantri Heriyati SE., M.Comm saat ini menjabat sebagai Ketua Centre for Business and
Social Empowerment sekaligus sebagai dosen senior dan peneliti di Universitas Bina
Nusantara, Jakarta, Indonesia. Menempuh pendidikan di Universitas Padjadjaran (S1),
Wollongong University, Australia (S2) dan Program Doktor (S3) dari Universitas Indonesia. Ia
berkecimpung di sektor pendidikan selama lebih dari limabelas tahun dengan latar belakang
industri yang kuat di perusahaan multinasional selama lebih dari sepuluh tahun. Bidang
keahlian dan penelitiannya adalah dibidang strategi pemasaran perusahaan, pendidikan dan
perilaku konsumen. Dia juga anggota American Marketing Association, dan Academy of
Management dan International Council Of Small Business sejak 2018. Beberapa buku yang
telah ditulisnya antara lain: Branding Perguruan Tinggi Di Era Digital (2019), Analisa Triple
Helix pada Industri Fesyen di Jakarta (2019), Perspektif Industri Financial Technology Di
Indonesia (2020) dan Perencaan Pemasaran Strategik (2020). Hasil penelitian dan tulisannya
telah diterbitkan di berbagai jurnal akademik internatonal bereputasi dan dia juga terdaftar
sebagai reviewer untuk beberapa jurnal akademik nasional.

87
88
BAB V
Corporate Social Responsibility and Branding

Dr. Nuah P. Tarigan


Character Building Development Center, Computer Science Department, School of
Computer Science, Bina Nusantara University, Universitas Pelita Harapan, Doctor of
Research in Management in Education Leadership program, Chairman, Gerakan Peduli
Disabilitas dan Lepra Indonesia (GPDLI)

Corporate Social Responsibility and Branding


Good leadership also brings a good chance in the context of shareholders and stakeholders,
commonly called organizational governance and good governance of organizations or
institutions. Leadership emerged with the existence of Bill Gates, Mark Cormack, Rupert
Murdoch, with ideas not based on management theory, in his book entitled Taxonomy of
Management Science (Hoesada, 2013). The tripping of a big company like Kmart was highly
respected but eventually went bankrupt. In the context of the organization or property
company, of course, it is associated with related theories that lead to organizational theories
that relate to humans and others. Including marketing theories or marketing and consumer
behavior related to the perceptions and paradigms that arise in the study in question.
(Ingerbretsen, 2003) The competition that is not only in the country and even the international
world has occurred is a challenge, and it is imperative to pay attention to matters relating to
performance improvement in addition to work efficiency and effectiveness. Emphasizing eight
management characteristics, namely: action-based, simple structure and efficient HR,
customer relations, productivity through people, operational autonomy, referral of business
values, doing everything else controlled, loose, tight controls, and various McKinsey studies
of the company (Peters and Waterman, 1982) Finally, the third part also presents application
theory (applied theory), which explains CSR that can build an increased reputation and be
accompanied by an increasingly better brand, and finally, the company's performance
increases quickly and sustainably. The management of CSR that takes place is not only in the
form of charity or compassion in the community's context and is greater but has played a
significant role in building an impact not only on related companies but also on national and
even global impacts. Excellent and effective CSR empowers everyone and creates the ideal
company model (Radyati, 2016). In connection with the construction company that we focus
on research, the company is engaged in the property. CSR has a significant positive effect on
the company's brand credibility and company reputation. Second, corporate brand credibility
89
plays a mediating role in CSR-company reputation relationships and CSR-company brand
equity relationships (Hur, 2013) This social and environmental responsibility is not a new
thing for the company because it has been implemented long ago without being forced by law.
"Corporate social responsibility is a Corporate Social Responsibility commitment to
improving community well-being through discretionary business practices and the
contribution of corporate resources." (Kotler, 2005) Consumers or shareholders/stakeholders
of construction service companies tend to feel that more socially responsible companies are
more credible, considering construction service companies to be more profitable in terms of
company reputation and brand equity. The study must examine the interaction of the consumer
level (for example, gender, age, income, and education) and brand level (for example, brand
categories and brand position in the market) characteristics in predicting the effects of CSR
perceptions on companies resulting from construction services marketing. Research needs to
identify each different effect from the specific dimensions of CSR (i.n., economics, law,
ethics, and philanthropy) on the company's marketing results to see whether these dimensions
have a corresponding or different effect on the company's brand results. Indeed focused on the
context of consumers of construction service providers in Indonesia. In the context of a good
CSR reporting relationship with stock prices, the relationship is very significant. Research
proves a close relationship between CSR reporting and stock prices. The new research offers
definitive evidence that investing in, and subsequent reporting, corporate social responsibility
(CSR) increases the company's stock price. The stock market reaction to CSR communication,
especially the publication of CSR reports, found compelling new evidence linking CSR to
stock prices. This study based on a sample of Fortune 500 companies that released CSR
reports between 2005 and 2011. (Bhattacharya, 2011). Studies show that CSR has a significant
positive effect on company brand credibility and company reputation. Second, corporate brand
credibility plays a mediating role in CSR-company reputation relationships and CSR-company
brand equity relationships. Furthermore, the relationship between CSR and company
reputation will mediate by Corporate Brand Credibility.

Good leadership also brings good changes in the context of shareholders and stakeholders,
commonly referred to as organizational governance and good organizational or institutional
governance. Leadership emerged with Bill Gates, Mark Cormack, Rupert Murdoch, with ideas
not based on management theory, in his book entitled Taxonomy of Management Sciences
(Hoesada, 2013). The stumbling of a large company like Kmart was highly respected but
eventually went bankrupt. In the context of an organization or property company, it is
90
associate with related theories leading to organizational theories relating to humans and others.
These include marketing or marketing theories and consumer behavior related to perceptions
and paradigms that appear in the research in question. (Ingerbretsen, 2003). Competition,
which is not only within the country and even internationally, is a challenge in itself, and it is
imperative to pay attention to matters related to improving performance and work efficiency
and effectiveness. Emphasize the eight characteristics of management, namely: action-based,
simple structure and efficient human resources, customer relations, productivity through
people, operational autonomy, reference business values, doing others controlled, loose, tight
control, and various McKinsey studies of companies (Peters and Waterman, 1982). Finally, in
the third part, there is also an application theory (applied theory), which explains CSR, which
can build an increasing reputation and be accompanied by a better brand, and ultimately the
company's performance is increasing rapidly and sustainably. The management of CSR that
occurs is not only in the charity model of mere compassion in the community and is more
extensive but has played a significant role in building an impact not only on the companies
involved but also nationally and internationally. Excellent and effective CSR empowers
everyone and creates an ideal company model (Radyati, 2016).

In connection with the construction companies, we focus on research, companies dealing in


property. CSR has a significant positive effect on a company's brand credibility and a
company's reputation. Second, corporate brand credibility plays a mediating role in the CSR-
company reputation relationship and the CSR-company brand equity relationship (Hur, 2013).
This social and environmental responsibility is nothing new for the company because it has
been implemented long ago without being forced by law. "Corporate social responsibility is a
Corporate Social Responsibility commitment to improving community well-being through
discretionary business practices and contributions of corporate resources." (Kotler, 2005).
Consumers or shareholders/stakeholders in construction service companies feel that more
socially responsible companies are more credible, perceiving construction service companies
as more profitable in terms of company reputation and brand equity. Research should examine
consumer-level interaction (e.g., gender, age, income, and education) and brand-level (e.g.,
brand category and brand position in the market) characteristics in predicting the effects of
CSR perceptions firms' marketing construction services. Research needs to identify any
different effects of specific dimensions of CSR (i.e., economic, legal, ethical, and
philanthropic) on firm marketing outcomes to see whether these dimensions have a
corresponding or different effect on corporate branding outcomes. Of course, it is focusing on
91
the context of consumer construction service providers in Indonesia. In the context of a good
CSR reporting relationship with stock prices, the relationship is very significant. Research
proves the close relationship between CSR reporting and stock prices. New research offers
definitive evidence that investing in, and subsequent reporting, corporate social responsibility
(CSR) increases the share price of companies. The stock market reaction to CSR
communication, particularly CSR reports, finds interesting new evidence linking CSR to
stock prices. This study is base on a sample from Fortune 500 companies that released CSR
reports between 2005 and 2011. (Bhattacharya, 2011).

Studies show that CSR has a significant positive effect on a company's brand and company
reputation. Second, corporate brand credibility plays a mediating role in the CSR- company
reputation relationship and the CSR-company brand equity relationship. Furthermore, the
relationship between CSR and company reputation will be mediate by Corporate Brand
Credibility. Finally, the relationship between CSR and corporate brand equity is mediate by
the credibility of the company's brand and its reputation. In short, the relationship between
CSR and corporate brand equity is fully mediating through the credibility of the company
brand and its reputation. (Hurr, 2013). CSR is not a company deposit to anyone but begins
with its compliance with laws and regulations, followed by a commitment to improving
employees' quality of life, employees' families, and society in economic, social, and
environmental aspects. However, the opposite of the above happened in Indonesia, so the
government felt the need to make it part of the controversial PT Law No. 40 of 2007.
(Radyati, 2016) . The most phenomenal finding from Riaupulp's CSR transformation is the
establishment of CECOM (Care and Empowerment for Community). A transformation of
thinking about CSR has brought consequences for institutional transformation as well.
(Mursitama, 2011). Its charitable nature in the form of charity carried out by the company's
public relations department has transformed into an independent foundation. Through
CECOM, CSR has found a new form and concept and strips traditional definitions of CSR,
which is more than just a community empowerment project around the factory environment.
(Mursitama 2011). In line with that, Radyati said in her book Sustainable Business and
Corporate Social Responsibility (CSR) that good governance is part of CSR, which can
carry out along the company's "value chain" or
SIPOC: Supplier ), Input (resource), Process (production process), Output (product/service),
and Customer (customer). So CSR funds can be taken from operational costs, which can later

92
benefit companies because they can reduce tax costs (Radyati, 2014). In Indonesia, the
understanding of CSR is misleading. Radyati, in her book Sustainable Business and CSR,
said that she was an expert witness to the judicial review submitted by Kadin to the
Constitutional Court to cancel Article 74 of the PT Law No. 40 of 2007. (Radyati, 2014).

As a result, the existence of a conflict of interest develops the understanding of this social
responsibility obligation becomes like a wild ball. CSR then becomes a "source of waste" for
anyone who feels they must get a share. By considering the obstacles insight, it is necessary
to share knowledge about CSR's characteristics. (Radyati, 2014). The urgent form of research
called the eventual phenomenon is to research and find the roots of all roots in building the
role of a corporation or company to be more empowered than before, besides building a
community or environment, both natural and built around it, building science that is more
creative and innovative, of course, with leadership or better and more focused governance.
The reason researchers take strategic management theory as part of the process towards
excellent and correct and improved performance because strategic management can
distinguish how well an organization is in achieving its performance. One of the parts of a
company's strategic approach is Corporate Social Responsibility (CSR). In Indonesia, CSR,
also known as corporate social responsibility, has slowly become a significant part of the
business world. CSR slowly but surely is not only considered as a donation (philanthropy) as
a mere formality, or Kiss and Run (Radyati, 2014) but has also become a mandatory agenda
or corporate strategic plan (Putra, 2015). The types, models, and scope of corporate CSR in
Indonesia are also increasingly diverse and dynamic. Six CSR models that can apply in a
company, namely: Cause Promotion, Cause-Related Marketing, Corporate Societal
Marketing, Corporate Philanthropy, Community.

The same perception of CSR, the commitment of leaders (Board of Directors / BOD and
Board of Commissioners / BOC), contextualizing CSR with Social Mapping, Local Wisdom,
core competencies of residents, local regulations, local culture, and stakeholders and others),
partnerships in the implementation of CSR, projects and risk management in implementing
CSR, expertise in negotiation, creativity, training based on CSR competencies and CSR
governance) (Radyati, 2014). Just adhering to the Law on PT above can be misleading because
it turns out that CSR practices are not that simple globally. Countries that often do not have
CSR laws can be better programmed openly and transparently and away from the political

93
aroma that is often misleading and counterproductive to economic and social development that
should prioritize and implement. The scientific phenomenon that we can read from recent
years is the synergy of almost all internal management sciences and other social sciences and
even technology in CSR issues, as mentioned above. The Information Age and high
technology have changed many societies and organizations' management globally, including
management's scientific phenomenon (Radyati, 2014). In connection with the research focus
that only covers the property sector, especially in developers, this research will focus on
around 100 Indonesian Real Estate Companies (REI). Besides, CSR has now become a top
priority for business leaders in every country. However, not a few companies fail to give
meaning to their CSR activities. So, all these efforts are less productive (Mursitama, 2011).
We learn from various companies that build value chains, with backward (raw and packaging
suppliers) and forward linkages (sales distributors and retailers) by investing their funds for
long-term development and partnerships with small and medium enterprises (SMEs), to ensure
a steady and reliable supply of high-quality input business. (Sri Urip, 2010). This study will
develop an integrative model that explains CSR's role, which is related to governance in
building a company's reputation, which results in a fair and correct brand, which will improve
the performance of property companies in Indonesia. The samples used are several real estate
or developer companies around Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek).
Developers working on residential buildings, both vertical and landed houses. Buildings built
by developers in Jabodetabek can provide good quality and even have a pretty good reputation
and brandings, such as PT Summarecon, Lippo Karawaci, Sinar Mas, and others.

Corporate Social Responsibility (CSR) and Marketing Theory


Several transnational corporate giants had felt the decline in their reputation due to the
campaign on a global scale, namely corporate behavior, for the sake of maximizing profits,
even being categorized as corporate crime. (Rahmi, 2010). Marketing or marketing is a social
and managerial process by which a person or group gets what they need and wants to create
and exchange products and values (Kotler, 2008). While William Stanton said, marketing is a
total business activity system designed to plan, determine prices, promote, and distribute
goods that can satisfy desires and achieve target markets and company goals (Stanton, 2007).
Marketing theory here is juxtaposed with several theories relating to consumer behavior,
whose views are different from marketing. The marketing mix is juxtaposed with several
industrial fields in building performance that include the company's future sustainability.

94
Brand Image and Its Relation with Corporate Reputation
Brand Image is part of Marketing or Marketing, especially from promoting a product or
organization itself. At the same time, as previously written, CSR is the theoretical basis of the
need for a company to build a harmonious relationship with the local community. (Kerin,
2013). A brand or brand is a unique design, sign, symbol, words, or a combination thereof
used to create an image that identifies a product and differentiates it from its competitors. Over
time, this image becomes associated with levels of credibility, quality, and satisfaction in
consumers' minds (see positioning). Brands help consumers remember product brands in busy
and complicated markets by standing for certain benefits and values. The legal name is a
trademark, and when it identifies or represents a company or organization/institution or
aggregate. Meanwhile, Brand Image is the impression in consumers' minds of the brand (real
and imaginary qualities and their strengths/weaknesses). Brand images are developed over
time through ad campaigns with consistent themes and confirmed through direct consumer
experiences. (Kerin, 2013). The company image is trying to attach higher credibility to a new
product by associating it with an established company name. Unlike family branding (which
can be applied only to specific product families), corporate branding can use for every product
marketed by a company. (Kerin, 2013). Meanwhile, Brand Equity is the strength of a brand
that comes from the goodwill and name recognition it has received from time to time,
translating into higher sales volumes and higher profit margins against competing brands.
Brand Equity sources can be divided into two as follows: brand awareness and brand
association originating from CBBE (Customer-Based Brand Equity). Keller (2008) & Keller
(1993), "Conceptualizing, Measuring and Managing Customer-Based Brand Equity," Journal
of Marketing, 57 (1), pp. 1-29.

95
Gambar 5.1 Branding (Source: Keller, 2008).

Brand identity (Brand Identity) is a common element of sending one message amid various
products, actions, and communications,

96
Gambar 5.2 Six Facets of Brand Identity (Source: Keepferer, 2007).

The previous research above necessary implications for CSR managers who are seeking to
encourage high-quality in the company. The marketing department demonstrated it. For
example, CSR increases consumer perceptions of a company's marketing performance (e.g.,
brand credibility, reputation, and brand equity); brand or corporate marketing managers must
pay attention to CSR activities and invest marketing resources in CSR activities. Consumers
tend to feel that more socially responsible companies are more credible and perceive these
companies to be more profitable in corporate reputation and brand equity. (Hurr, 2013). The
study that built shows a critical relationship between CSR and corporate brand equity by
including corporate brand credibility and company reputation as a mediator. The study, which
is the starting point for our research, contributes to the perception of customer CSR and
marketing results from various things (Hur, 2013). Compared with the Brudntland Report
(1987), Elkington packages CSR into three focuses: 3P (profit, planet, and people). The triple-
bottom-line (or "TBL," "3BL", or "people, planet, profit") captures the initial values and
criteria for measuring organizational (and social) success: economic, ecological, and social.

In practical terms, the three means of accounting, in essence, expand the traditional reporting
framework to account for social (people) and ecological (planetary) performance in addition to
financial performance. "People" (human capital) deals with fair and profitable business
practices towards workers and communities and regions in where a company does its business.
A TBL firm conceives a reciprocal social structure in which the company's welfare, the
workforce, and the interests of other stakeholders are interdependent.
Gambar 5.3: Triple Bottom Line - People Planet Profits (Source: Elkington, 1994)

Limitations related to the interpretation of the empirical results, firstly, customers who survey
simultaneously with results whose conclusions about cause and effect could not make the
longitudinal design investigate this relationship. Second, future research is needed to replicate
our findings and examine whether our results generalize to customer behavioral outcomes
(e.g., actual buying behavior and word of mouth). Brand Image and Corporate Reputation
have a very close relationship (Hur, 2013). One of the crucial things that need to raising here is
the Brand Equity Ladder. From various marketing literature, it states that brand equity is a
series of brand assets and other assets associated with a brand, which can increase product
value for customers (Hasan, 2014). It can describe as follows.

Gambar 5.4 Where is Brand Image? (Source: Hasan, 2014)

Brand equity is attached to the product and the company (Hasan, 2014); a strong brand
positively influences the brand's ability, directly or indirectly, through the consumer's
perceived quality (Hasan, 2014). The brand image above shows from the brand personality,
which is the differentiation of identity and how it speaks and behaves according to human
personality traits or brand characteristics. This characteristic indicates brand behavior through
two individuals (products) that represent brands developed through advertising, packaging,
and many others. The psychological traits of a particular brand personality in the market have
functional, social, and emotional associations. Therefore one might perceive the brand as
desirable, while others might see what it believes to be the most dominant association of each
customer (Hasan, 2014).

CSR and Performance


According to Hurr again, the Third, future research should examine the interaction of
consumer levels (e.g., gender, age, income, and education) and brand-level characteristics
(e.g., brand category and brand position in the market) in predicting the effects of CSR
perceptions. In marketing firms. Fourth, our study does not separate the specific dimensions
of CSR (Wang 2012); Future research will need to identify any different effects of the
specific dimensions of CSR (i.n., economic, legal, ethical, and philanthropic) on firm
marketing outcomes to see if these dimensions have the same or different effects on corporate
branding outcomes. Finally, this study focused on consumers in South Korea. Future research
can examine customers from other countries or cross-national studies to generalize these
results (Hur, 2013). One of the characteristics of the shift to an era that is full of technology
and digital is the occurrence of changes in market behavior, which is an interesting topic to
be raised in strategic management research in marketing in the Indonesian construction
services sector, at least with research questions whose answers will obtain through this
research. Does CSR have a significant positive effect on the credibility of the company's
brand and reputation of the Indonesian construction service company and ultimately on the
company's performance significantly? Organizational Performance Meeting the Challenges of
the New Business Environment Dr. Karl Albrecht. Today's business environment can
describe as follows: severe recession/survival thinking, business is no longer fun, the internet
is creating and destroying opportunities, electronic culture attacks business culture, short
attention spans, and cycles, relentless atomization, and acceleration, depersonalized:
customer "ditch," depersonalized: management by email, executives in confusion, exhaustion
model - the death of "excellence." Organizational performance cannot be divorced from
executive leadership. Executives must learn, grow, and develop with organizations (Albrecht,
2011). A study of IBM CEOs, as many as 1500 people
+ CEOs, in 60 countries from 33 types of industry, all CEOs are very concerned because the
changes are speedy. Resulting in global economic shifts, have a disruptive impact on
technology, 80% of people expect it will get worse, as many as 50% say their organization is
not ready to deal with the existing situation; the most significant needs identified as follows:
creativity, closeness to customers and organizational agility (dexterity) (IBM Global CEO
Study, 2010). Corporate Social Responsibility, which in English is called Corporate Social
Responsibility or CSR, is a concept where companies integrate social and environmental
concerns into their business operations and their voluntary interactions with stakeholders
(European Commission, 2011). Recognizing leadership's market value can also significantly
impact many organizational processes: risk management, governance, social responsibility,
reputation, and leadership development. Each of these processes can be improved by a
disciplined approach and through assessing leadership.

The transition from "gut feel" or narrow judgments of leadership to indexes that can
begin to predict the leader's impact on intangible value creation changes the game of
leadership and development appraisals. The leadership capital index helps investors and
others improve their approach to corporate valuation. When leadership capital becomes a
factor in investors' judgment, it naturally receives more emphasis on the company's day-to-
day life, for the benefit of many. Now is the time for investors and others to use the
leadership capital index (Ulrich, 2015). One of the things that are important in Organizational
Performance is the performance itself in the form of The extent to which the organization
achieves a set of predetermined targets that are unique to its mission. Targets include
performance objectives (numerical) and subjective (judgmental). Simultaneously, the
Performance / Performance Drivers are a crucial dimension of the organization, an essential
function for its capacity to display. Also called the domain of excellence (DOE). The Domain
of Excellence is a key performance driver, the dimension of organizational capacity that
enables companies to succeed. They are Universal "dashboard management." The Seven
Domains of Excellence are Strategic Focus, Customer Value, Leadership & Team
Performance, Culture, value, Ethics, Process Excellence, Talent Management, and
Knowledge Management. Meanwhile, Critical Success Factors for Organizational Initiative
Performance are as follows: Management Ownership, Employee Engagement, Unique
Solutions to the Enterprise, Access to Appropriate Expertise, Disciplined Analysis &
Planning, Creative Solutions & Best Practices, and Flexible Management of the Process
(Albrecht, 2011 ).

From Organizational Effectiveness, several things can be taken in essence, starting


from Frederick Taylor, Henri Fayol, to Elton Mayo. Frederick Taylor said that effectiveness
determines by production maximization, cost-minimization, technological advantage, many
others. In contrast, Henri Fayol's effectiveness is a function of explicit authorization and
discipline in an organization, and finally, Elton Mayo's effectiveness is a productivity
function resulting from employee satisfaction.

Gambar 5.5 Flow Charts of Approaches to Organizational Effectiveness -


Goal Approach (Sources: Frederick Taylor, Henri Fayol, to Elton Mayo)

Gambar 5.6 Flow Charts of Approaches to Organizational Effectiveness - Internal


Process Approach (Sources: Frederick Taylor, Henri Fayol, to Elton Mayo)

Gambar 5.7: Flow Charts of Approaches to Organizational Effectiveness – System


Resource Approach (Sumber: Taylor, Fayol, Mayo)

Gambar 5.8: INPUTS - OUTPUTS Flow Charts of Approaches to Organizational


Effectiveness- Strategic Constitiences Approach (Sumber : Taylor, Fayol, Mayo)

102
Daftar Pustaka
Aaker, David (1996), Building Strong Brands, The Free Press, 1996.
Abdullah, Zulhamri; Aziz, Yuhanis Abdul (2013), Institutionalizing Corporate Social
Responsibility: Effects on Corporate Reputation, Culture, and Legitimacy in Malaysia
Alcañiz, E. B.; Cáceres, Ruben Chumpitaz; Pérez, R. C.(2010). Alliances Between Brands
and
Social Causes: The Influence of Company Credibility on Social Responsibility
Image Ali, I; Rehman, Ku; Ali, Social Responsibility Influences, Employee
Commitment And
Organizational Performance, 2010.
Alshammari, Marwan (2015). Corporate Social Responsibility and Firm Performance: The
Moderating Role of Reputation and Institutional Investors
Alshammari, Marwan(2015), Corporate Social Responsibility and Firm Performance: The
Moderating Role of Reputation and Institutional Investors
Attera, Marina M (2012), Corporate Reputation and its Social Responsibility: a
Comprehensive Vision.
Avetisyan, Emma; Ferrary, Michel (2013), Dynamics of Stakeholders Implications in the
Institutionalization of the CSR Field in France and in the United States.
Banerjee, Subhabrata Bobby (2014), A Critical Perspective on Corporate Social
Responsibility owards A Global Governance Framework
Barnali Choudhury Serving Two Masters: Incorporating Social Responsibility into The
Corporate Paradigm, 1930
Bromhill, Roy. Corporate Social Responsibility: Key Issues and Debates, 2007
Brown, Jill A. Forster, William R. (2013), CSR and Stakeholder Theory: A Tale of Adam
Smith
Chapple, Wendy;Moon, Jeremy (2005). Sociology, Proquest, Corporate Social
Responsibility (CSR ) in Asia : A Seven-Country Study of CSR Web Site Reporting
Claudia, Ogrean (2014), Perceptions on The Strategic Value Of Corporate Social
Responsibility – Some Evidences From Global Rankings
Delchet-Cochet, Karen, Vo, Lc, Classification of CSR standards in the light of ISO 26000,
2013, Society and Business Review, issue 8.
Delchet-Cochet, Karen; Vo, Lc (2013); Du, Shuili; Bhattacharya, C. B.; Sen, Sankar (2010),
Classification of CSR standards in the light of ISO 26000
Drucker, Peter.F, Management Challanges for the 21st Century, HarperBusiness, New
York, USA, 2001
El-Garaihy, Wael Hassan; Mohamed Mobarak, Abdel-Kader; Albahussain, Sami Abdullah,
Measuring the impact of corporate social responsibility practices on competitive
advantage: A mediation role of reputation and customer satisfaction, 2014
Farooq, Omer; Payaud, Marielle; Merunka, Dwight; Valette-Florence, Pierre (2013), The
Impact of Corporate Social Responsibility on Organizational Commitment:
Exploring Multiple Mediation Mechanisms
Freitag, Alan.R, Staking Claim: Public Relations Leaders Needed to Shape CSR, 2008
Geisser,S. (1975). The Predictive Sample Reuse Method with Application. Journal of The
American Statistical Association. Vol.70, 320-328.
Gherghina, Ş Cristian; Simionescu, Liliana Nicoleta, Does Entrepreneurship and
Corporate Social Responsibility Act as Catalyst towards Firm Performance and
Brand value?, 2015

103
Global Compact Network Indonesia dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM), Bagaimana menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi
Manusia, Sebuah Alat Panduan Bagi Perusahaan, 2014, Gugler, Philippe
Hur, Won-Moo; Kim, Hanna; Woo, Jeong, How CSR Leads to Corporate Brand Equity:
Mediating Mechanisms of Corporate Brand Credibility and Reputation, 2013
Jacob, Christine K, The Impact of Financial Crisis on Corporate Social Responsibility and
Its Implications for Reputation Risk Management, 2012.
Johan Classon, Johan Dahlström, How can CSR affect company performance? A
qualitative study of CSR and its effects Business, 2006.
Kruschwitz, Nina, New Ways to Engage Employees, Suppliers and Competitors in
CSR,2012 Lai, Chi-Shiun; Chiu, Chih-Jen; Yang, Chin-Fang; Pai, Da-Chang, The Effects
of Corporate
Social Responsibility on Brand Performance: The Mediating Effect of Industrial
Brand Equity and Corporate Reputation, 2010
Lamberti, Lucio, Lettieri, Emanuele, CSR Practices and Corporate Strategy: Evidence
from a Longitudinal Case Study, 2009
Lepan, Tamsin Angus; Metclaf, Benn Sue, Leadership Style and CSR Practice: An
Examination of Sensemaking, Institutional Drivers and CSR Leadership, 2009.
Melo, Tiago; Garrido-Morgado, Alvaro (2012), Corporate Reputation: A Combination of
Social Responsibility and Industry
Mursitama, Tirta.N; Hasan, M.Fadhil; Fakhrudin, Iman.Y, Corporate Social Responsibility
(CSR) di Indonesia – Teori dan Implementasi, Studi Kasus Community
Development Riau Pulp, 2011.
Nagib Salem Muhammad Bayoud, Corporate Social Responsibility Disclosure And
Organisational Performance: The Case Of Libya, A Mixed Methods Study, 2012
Nelling, Edward; Webb, Elizabeth, Corporate social responsibility and financial
performance: The "virtuous circle" revisited, 2009.
Nindita Radyati, Maria R, Organisational Goverenance Based on ISO 26000: A Tool Box,
2015. Trisakti University, Jakarta
Nindita Radyati, Maria R, Sustainable Business dan Corporate Social Responsibility
(CSR), 2014.Trisakti University, Jakarta
Pérez, Andrea; Del Rodríguez Bosque, Ignacio (2013); Salazar, José; Husted, Bryan W.;
Biehl, Markus (2012), Measuring CSR Image: Three Studies to Develop and to
Validate a Reliable Measurement Tool
Peters, Richard C, Corporate Social Responsibility And Strategic Performance: Realizing
A Competitive Advantage Through Corporate Social Reputation And A Stakeholder
Network Approach, 2007.
Rasoulzadeh, Hadi; Hosseinipour, Seyed Jafar; Ashikin, Nor; Yusof, Mohamed, Effect of
Dimensions of Corporate Social Responsibility on Organization Performance, 2013.
Robyn M . Whalen Martin Lees , PhD,Corporate Social Responsibility And Its
Relationship With Financial Performance, 2013.
Said, Roshima; Zainuddin, Yuserrie Hj; Haron, Hasnah, The Relationship Between
Corporate Social Responsibility Disclosure And Corporate Governance
Characteristics In Malaysian Public Listed Companies, 2009
Salazar, José; Husted, Bryan W.; Biehl, Markus (2012), Thoughts on the Evaluation of
Corporate Social Performance Through Projects
Sexton, Martin; Barrett, Peter And Lu, Shu-Ling,The Evolution of Sustainable
Development , from The book Corporate Social Responsibility in The Construction
Industry edited by Mike Murray and Andrew Dainty, Taylor & Francis, London,
2009.

104
Shi, Jacylyn Y J. Corporate social responsibility for developing country multinational
corporations: Lost war in pertaining global competitiveness, 2009
Shuili Du, C.B. Bhattacharya1 and Sankar Sen, Maximizing Business Returns to Corporate
Social Responsibility (CSR): The Role of CSR Communication, 2010
Skard, Siv; Thorbjørnsen, Helge (2013), Is Publicity Always Better than Advertising? The
Role of Brand Reputation in Communicating Corporate Social Responsibility
Susanto, A.B, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility – Pendekatan Strategi
Management dalam CSR, 2009.
Torres, Anna; Bijmolt, Tammo H A; Tribó, Josep A.; Verhoef, Peter (2012), Generating
global brand equity through corporate social responsibility to key stakeholders
Totok Mardikanto, CSR (Corporate Social Responsibility) (Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan), Alfabeta, Bandung, 2014, hlm.68
Untung, Budi, CSR Dalam Dunia Bisnis, Andi Publisher, Yogyakarta, 2014.
Urip, Sri, CSR Strategies – Corporate Social Responsibility For A Competitive Edge in
Emerging Markets, 2010.
Wooley, Tim, The Alternative eco-building movement and its impact on mainstream
construction, from The book Corporate Social Responsibility in The Construction Industry
edited by Mike Murray and Andrew Dainty, Taylor & Francis, London, 2009. Yakovleva,
Natalia; Vazquez-Brust, Diego (2012), Stakeholder Perspectives on CSR of Mining
MNCs in Argentina
Scuotto, V., Del Giudice, M., Della Peruta, M. R., & Tarba, S. (2017). The performance
implications of leveraging internal innovation through social media networks: An
empirical verification of the smart fashion industry. Technological Forecasting and
Social Change, 120, 184-194.
Ferraris, A., Del Giudice, M., Grandhi, B., & Cillo, V. (2019). Refining the relation
between cause-related marketing and consumers purchase intentions. International
Marketing Review.
Del Giudice, M., Della Peruta, M. R., & Carayannis, E. G. (2013). Social media and
emerging economies: Technological, cultural and economic implications. Springer
Science & Business Media.
Zhang, X., Liu, Y., Tarba, S. Y., & Del Giudice, M. (2020). The micro-foundations of
strategic ambidexterity: Chinese cross-border M&As, Mid-View thinking and
integration management. International Business Review, 29(6), 101710.
Scuotto, V., Giudice, M. D., Holden, N., & Mattiacci, A. (2017). Entrepreneurial settings
within global family firms: research perspectives from cross-cultural knowledge
management studies. European Journal of International Management, 11(4), 469-
489.

Tentang Penulis

105
BAB VI.
MANAJEMEN RANTAI PASOKAN BERKELANJUTAN DAN
KINERJA KEBERLANJUTAN PERUSAHAAN

Penulis :
Dr. Wahyuningsih
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti

Pendahuluan

Seiring dengan dinamika permasalahan lingkungan saat ini, isu keberlanjutan (sustainability)
telah menjadi isu yang sangat strategis bagi setiap perusahaan dan organisasi lainnya.
Kebijakan pemerintah di berbagai negara terkait praktek keberlanjutan telah banyak
dikembangkan, dan disisi lain kesadaran masyarakat terhadap masalah sosial dan lingkungan
juga semakin bertumbuh. Hal ini menjadi tekanan yang cukup kuat bagi perusahaan untuk
mengintegrasikan isu keberlanjutan yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
alam dalam keputusan-keputusan bisnis yang diambil pada berbagai fungsi dan level
organisasinya. Ukuran kinerja perusahaan saat inipun tidak lagi hanya terfokus pada kinerja
secara operasional dan finansial, namun kinerja strategis yang termasuk didalamnya adalah
kinerja keberlanjutan. Dengan demikian, kinerja keberlanjutan telah menjadi salah satu kunci
dalam meningkatkan image dan reputasi perusahaan.

Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)


Gagasan tentang keberlanjutan telah dikembangkan sejak tahun 1987 oleh United Nations
World Commission on Environment and Development yang sangat dikenal dengan gagasan
sustainable development atau pembangunan berkelanjutan (Ukaga, Maser dan Reichenbach,
2010). Dalam publikasinya, Our Common Future atau yang lebih dikenal sebagai Brundtland
Report 1987, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Gagasan tentang
pembangunan berkelanjutan ini telah mendapatkan perhatian besar dari berbagai kalangan di
dunia dan menjadi tantangan tersendiri bagi para pembuat kebijakan untuk merancang suatu

106
sistem pembangunan yang tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih dari
itu, yaitu pembangunan yang juga harus berfokus pada aspek sosial dan kelestarian
lingkungan alam. Definisi ini mengandung makna bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi
saat ini tidak seharusnya membebani apalagi mengancam generasi mendatang, baik di suatu
negara ataupun secara lintas batas negara di dunia. Hal ini juga berarti bahwa pembangunan
seharusnya memberi fokus juga pada keberlanjutan ekologi, atau konservasi terhadap sumber
daya yang hidup, disamping perhatian pada masalah ekonomi dan sosial.

Mulai tahun 2015, PBB kemudian merumuskan Sustainable Development Goals (SDGs) atau
Global Goal for Sustainable Development yang terdiri dari 17 set tujuan global sebagai
bagian dari Resolusi 70/1 dari Sidang Umum PBB “Transforming our World: the 2030
Agenda for Sustainable Development" yang disingkat menjadi Agenda 2030 (diakses melalui
https://sustainabledevelopment.un.org). Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan
yang diadopsi oleh semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memberikan
cetak biru bersama untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet ini, sekarang
dan di masa depan. Pada intinya, 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), adalah
merupakan seruan yang sangat mendesak bagi semua negara - maju dan berkembang - untuk
segera bertindak dalam kemitraan global untuk secara bersama-sama mewujudkan
tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Ke-17 SDGs tersebut adalah: (1) Tidak ada kemiskinan
(No poverty), (2) Tidak ada kelaparan (Zero hunger), (3) Kesehatan yang baik dan
kesejahteraan manusia (Good health and well-being for people), (4) Pendidikan yang
berkualitas (Quality education), (5) Kesetaraan gender (Gender equality), (6) Air bersih dan
sanitasi (Clean water and sanitation), (7) Energi bersih dan terjangkau (Affordable and clean
energy), (8) Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak (Decent work and economic
growth), (9) Industri, Inovasi dan Infrastuktur (Industry, Innovation, and Infrastructure), (10)
Mengurangi ketidaksetaraan (Reducing inequalities), (11) Kota dan komunitas yang
berkelanjutan (Sustainable cities and communities), (12) Konsumsi dan produksi yang
bertanggung jawab (Responsible consumption and production), (13) Tindakan iklim
(Climate action), (14) Kehidupan bawah laut (Life below water), (15) Kehidupan di darat
(Life on land), (16) Perdamaian, keadilan dan institusi yang kuat (Peace, justice and strong
institutions) dan (17) Kemitraan untuk pencapaian tujuan (Partnerships for the goals).

Setiap organisasi apapun dituntut untuk dapat berkontribusi pada upaya pencapaian tujuan-
tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut, sesuai dengan area serta karakteristik usaha dan
107
bisnisnya masing-masing. Manajemen rantai pasok dapat memainkan peran yang penting
dalam hal ini, mengingat cakupan aktivitasnya yang terjadi pada sepanjang rantai nilai (value
chain) perusahaan. Dalam implementasi bisnis berkelanjutan juga dikenal konsep strategic
CSR (corporate social responsibilty) yang menyatakan bahwa suatu organisasi dituntut untuk
menjalankan tanggung jawab sosialnya sejak kegiatan pengadaan bahan mentah dan input-
input lainnya yang dalam hal ini terkait dengan para pemasok, selama proses transformasi
yang mengubah input menjadi produk jadi, dan pada proses distribusi produk jadi ke
konsumen (Haski-Leventhal, 2018).

Strategi Keberlanjutan Organisasional (Organizational Sustainability Strategy)


Isu keberlanjutan yang semakin mendapat perhatian luas dari masyarakat dunia, menjadi
bagian tak terpisahkan dari dinamika lingkungan yang sangat tinggi. Dinamika ini tidak
mungkin diabaikan oleh setiap pelaku bisnis agar tetap bertahan hidup. Sebagaimana
pernyataan Darwin yang begitu populernya, yaitu bahwa bukan mereka yang terkuat yang
akan bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya, melainkan hanya mereka yang mampu
mengadaptasi perubahan-perubahan yang akan mampu bertahan.

Dinamika lingkungan ini pun, mau tidak mau, menjadi tekanan dan tantangan yang serius
bagi setiap organisasi. Termasuk didalamnya adalah tekanan untuk mampu mempraktekkan
aktivitas-aktivitas bisnis yang berkelanjutan, yaitu yang memiliki implikasi secara ekonomi,
sosial dan lingkungan (Adams et al., 2012). Ketiga faktor ini (ekonomi/profit, sosial/people
dan lingkungan/planet) membentuk apa yang disebut oleh Elkington sebagai Triple Bottom
Line (TBL) dari keberlanjutan bisnis (business sustainability). Bahkan Nidumolu et al. (2009)
menyatakan: “There’s no alternative to sustainable development”.

Sejalan dengan semakin diterimanya konsep bisnis yang berkelanjutan, dan dalam lingkup
yang lebih luas yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development), serta semakin
tingginya kesadaran masyarakat baik di tingkat lokal, regional maupun global untuk terlibat
dan berperan serta dalam menjaga kelestarian alam dan isinya, maka perusahaan pun kini
dituntut untuk mampu mengadopsi praktek atau proses bisnis yang lebih berkelanjutan.
Manajemen rantai pasokan sebagai salah satu kunci keberhasilan bisnis dimasa sekarang,
juga harus dikelola secara berkelanjutan.

108
Manajemen Rantai Pasokan (Supply Chain Management)
Rantai Pasokan

Rantai pasokan (supply chain) dipercaya sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan bisnis
di era sekarang. Bahkan (Heizer et al., 2017) menyatakan bahwa persaingan bukan lagi antar
perusahaan, melainkan antar rantai pasokan. Rantai pasokan adalah suatu jaringan yang
memungkinkan pilihan distribusi untuk pengadaan bahan mentah dan barang setengah jadi
yang dapat diubah menjadi produk akhir dan didistribusikan ke konsumen akhir melalui
berbagai saluran distribusi (Chang et al., 2013). Rantai pasokan mencakup semua aktivitas
yang terkait dengan aliran dan transformasi barang dan jasa serta arus informasi terkait dari
tahap bahan mentah sampai ke pelanggan pengguna akhir (Russell & Taylor, 2011). Rantai
pasokan melibatkan banyak pihak yang saling terkait, mulai dari pemasok bahan mentah,
pemasok suku cadang dan komponen, pemasok sub-perakitan, produsen produk atau layanan,
distributor, dan diakhiri dengan pelanggan pengguna akhir. Definisi serupa diberikan oleh
(Chopra & Meindl, 2013) yang menyatakan bahwa rantai pasokan terdiri dari semua pihak
yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam memenuhi permintaan pelanggan,
yaitu mencakup pemasok, produsen dan juga pengangkut, gudang, pengecer, serta pelanggan
itu sendiri. Rantai pasokan dalam perusahaan melibatkan berbagai fungsi seperti
pengembangan produk baru, operasi dan produksi, pemasaran, keuangan, distribusi dan
layanan pelanggan. Definisi (Chopra & Meindl, 2013) ini mengindikasikan bahwa dalam
rantai pasokan terdapat dua perspektif, yaitu perspektif antar organisasi dan intra organisasi.
Terdapat perspektif antar organisasi karena dalam rantai pasokan melibatkan banyak pihak
eksternal lainnya, seperti pemasok, distributor atau pihak konsumen. Sementara perspektif
intra organisasi menunjukkan bahwa rantai pasokan juga melibatkan berbagai fungsi dalam
organisasi, seperti operasi, pemasaran dan keuangan. Bahkan, sebuah perusahaan dapat
memiliki banyak rantai pasokan, yang bervariasi menurut produk atau layanan yang
disediakan (Krajewski et al., 2010).

Berdasar sejumlah definisi yang telah diuraikan, maka dapat dinyatakan bahwa rantai
pasokan adalah merupakan suatu jaringan yang melibatkan berbagai aktivitas dan juga
melibatkan berbagai pihak dari hulu sampai ke hilir. Rantai pasokan juga dapat dinyatakan
sebagai serangkaian proses dan aktivitas bisnis yang terintegrasi dengan tujuan yang sama,
yaitu memberikan kepuasan kepada pelanggan. Jika aktivitas di sepanjang rantai pasokan

109
dapat berjalan secara lancar dan efisien, sebagaimana telah banyak dibuktikan melalui studi-
studi, akan mampu berdampak pada meningkatnya kemampuan bersaing dari perusahaan dan
pada gilirannya akan berdampak pada kinerja perusahaan yang bersangkutan. Teknologi
informasi dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini memberikan peluang untuk
meningkatkan efektivitas koordinasi dan kinerja rantai pasokan tersebut.

Manajemen Rantai Pasokan

Rantai pasokan melibatkan banyak aktivitas lintas fungsi dan melibatkan banyak pihak, baik
internal maupun eksternal. Hal ini menjadi dasar yang kuat atas kebutuhan koordinasi
maupun integrasi yang efektif di sepanjang rantai pasokan untuk mencapai kinerja rantai
pasokan yang maksimal. Dibutuhkan manajemen yang kuat agar rantai pasokan dapat
berjalan secara efisien dan efektif. Telah diakui secara luas peran manajemen rantai pasokan
dalam meningkatkan daya saing perusahaan semakin penting. Salah satunya adalah (Li et al.,
2006), yang menyatakan memahami dan mempraktekkan manajemen rantai pasokan telah
menjadi prasyarat penting untuk tetap kompetitif dalam perlombaan global dan untuk
meningkatkan profitabilitas.

Manajemen rantai pasokan mencakup keseluruhan aktivitas yang terkait dengan aliran dan
transformasi barang, dan disini juga terkait dengan arus informasi, dari tahap bahan mentah
hingga sampai ke pengguna akhir. Sebagaimana dinyatakan oleh (Heizer et al., 2017),
manajemen rantai pasokan adalah integrasi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa,
mengubahnya menjadi barang setengah jadi dan produk akhir, dan mengirimkannya melalui
sistem distribusi kepada pelanggan. Sementara (Simchi-Levi et al., 2008) mendifinisikan
manajemen rantai pasokan sebagai serangkaian pendekatan yang digunakan untuk
mengintegrasikan pemasok, produsen, gudang, dan para pengecer secara efisien, sehingga
barang yang diproduksi dapat didistribusikan dalam jumlah yang tepat, untuk lokasi yang
tepat, dan pada waktu yang tepat, dengan tujuan untuk meminimalkan biaya dan juga
memenuhi persyaratan tingkat layanan yang memuaskan. (Li et al., 2006) mengutip Council
of Logistics Management (CLM) mendifinisikan manajemen rantai pasokan sebagai
koordinasi strategis dan sistematis dari keseluruhan fungsi dan taktik bisnis tradisional dalam
organisasi tertentu maupun keseluruhan bisnis untuk tujuan meningkatkan kinerja jangka
panjang organisasi sebagai individu maupun keseluruhan organisasi dalam rantai pasokan.
(Green et al., 2012) juga menyatakan bahwa manajemen rantai pasokan membutuhkan

110
integrasi dan koordinasi proses bisnis dan penyelarasan strategi di seluruh rantai pasokan
untuk tujuan memuaskan pelanggan akhir.

Pada prinsipnya, koordinasi dan integrasi menjadi hal yang sangat krusial dalam pengelolaan
rantai pasokan. Terlebih lagi pada pengelolaan rantai pasokan pada perusahaan multinasional
yang melibatkan sangat banyak pihak secara global, disini kebutuhan akan koordinasi dan
integrasi semakin strategis. Namun demikian, teknologi informasi dan komunikasi yang telah
berkembang pesat saat ini dapat digunakan untuk memfasilitasi upaya koordinasi dan
integrasi dalam pengelolaan rantai pasokan yang semakin kompleks tersebut. Globalisasi dan
evolusi teknologi informasi telah menjadi katalisator bagi manajemen rantai pasokan untuk
menjadi sarana strategis bagi perusahaan dalam mengelola kualitas, memuaskan pelanggan,
tetap kompetitif serta berdaya saing (Russell & Taylor, 2011).

Terdapat enam strategi rantai pasokan yang dapat dipraktekkan untuk meningkatkan kinerja
rantai pasokan (Heizer et al., 2017), yaitu:
a) Bernegosiasi dengan banyak pemasok (Many Suppliers)
Dengan strategi banyak pemasok, pemasok menanggapi permintaan dan spesifikasi
“permintaan penawaran” (request for quotation) dengan pesanan yang umumnya
akan jatuh ke pihak yang memberikan penawaran rendah. Ini merupakan sebuah
strategi untuk produk komoditas. Strategi ini menandingkan satu pemasok dengan
pemasok lain dan membebani pemasok untuk dapat memenuhi permintaan pembeli.
Pendekatan ini mengutamakan tanggung jawab pemasok untuk dapat
mempertahankan teknologi, keahlian, dan kemampuan memprediksi; selain itu, juga
mengutamakan biaya, kualitas, dan kemampuan pengiriman yang diperlukan.
Kelemahan dari strategi ini adalah hubungannya berjangka pendek.
b) Bernegosiasi dengan sedikit pemasok (Few Suppliers)
Disini perusahaan pembeli lebih ingin menjalin hubungan jangka panjang dengan
beberapa pemasok yang setia. Penggunaan pemasok yang hanya sedikit dapat
menciptakan nilai dengan memungkinkan pemasok memiliki skala ekonomi yang
menghasilkan biaya transaksi dan biaya produksi yang lebih rendah. Strategi ini
juga memiliki kelemahan, dengan sedikitnya pemasok, biaya pergantian pemasok
sangat besar sehingga baik pemasok maupun pembeli harus menanggung resiko.
c) Integrasi Vertikal (Vertical Integration)

111
Integrasi vertikal berarti mengembangkan kemampuan untuk memproduksi barang
atau jasa yang sebelumnya dibeli, atau membeli perusahaan pemasok atau
distributor. Integrasi vertikal dapat menawarkan suatu peluang strategis bagi
manajer operasi. Bagi perusahaan yang memiliki modal, bakat dan kemampuan
manajerial, serta kebutuhan yang diperlukan, integrasi vertikal mungkin dapat
memberikan peluang untuk mengurangi biaya, meningkatkan kualitas yang
terpercaya, dan mendorong pengirimian yang tepat waktu.
d) Usaha patungan (Joint Ventures)
Usaha patungan merupakan bentuk kolaborasi formal dimana pihak yang
bekerjasama tidak kehilangan merk atau keunggulannya masing-masing. Kolaborasi
ini ditujukan untuk meningkatkan ketrampilan, mengamankan pasokan, dan
mengurangi biaya.
e) Jaringan Keiretsu (Keiretsu networks)
Keiretsu dikenal sebagai sebuah istilah dalam bahasa Jepang yang menggambarkan
pemasok yang menjadi bagian dari sebuah koalisi perusahaan. Anggota Keiretsu
dipastikan memiliki hubungan jangka panjang sehingga diharapkan dapat berperan
sebagai mitra yang memberikan keahlian teknis dan kestabilan mutu produksi.
Anggota Keiretsu juga dapat memiliki pemasok dibawahnya, serta menjadikan
pemasok tingkat kedua atau bahkan ketiga sebagai bagian dari koalisi.
f) Perusahaan maya (Virtual Company)
Perusahaan maya adalah perusahaan yang mengandalkan berbagai jenis hubungan
pemasok untuk menyediakan jasa atas permintaan yang diinginkan. Para pemasok
dapat menyediakan berbagai jasa, seperti pembayaran upah, perekrutan karyawan,
perancangan produk, jasa konsultasi, produksi komponen, pengujian, atau
pendistribusian produk.

Praktek Terbaik Manajemen Rantai Pasokan


Engel (2011) menjabarkan 10 praktik terbaik dalam manajemen rantai pasokan unggul yang
telah diadopsi perusahaan-perusahaan sukses di dunia, yaitu:
a) Membentuk dewan rantai pasokan (supply chain council) yang berfungsi memberikan
arahan dan membantu menyelaraskan strategi rantai pasokan dengan strategi
perusahaan secara keseluruhan.

112
b) Menyelaraskan dan mengatur organisasi rantai pasokan dengan benar, agar fungsi
rantai pasokan dapat dimaksimalkan keefektifannya dan membawa manfaat yang
sepadan bagi perusahaan.
c) Jadikan teknologi bekerja untuk Anda. Disini harus ditinjau terlebih dahulu proses
yang membutuhkan perbaikan, baru kemudian memilih teknologi yang paling
memenuhi kebutuhan dari proses tersebut.
d) Membangun aliansi dengan pemasok utama. Perusahaan terbaik mempraktekkan
"manajemen hubungan pemasok", namun komunikasi yang dibangun harus bersifat
dua arah, sehingga kedua pihak bersama-sama mengelola hubungan secara lebih
efektif. Istilah yang lebih tepat untuk praktik terbaik ini adalah "manajemen aliansi".
e) Membangun dan terlibat dalam kolaborasi sumber strategis (strategic sourcing).
Sumber strategis adalah landasan manajemen rantai pasokan yang sukses, namun
kolaborasi sumber strategis dapat memberikan hasil yang jauh lebih baik.
f) Fokus pada biaya total kepemilikan (total cost of ownership / TCO), bukan harga.
Pemahaman biaya total untuk memiliki atau mengonsumsi suatu produk atau layanan
lebih penting dibandingkan dengan hanya melihat harga pembelian produk atau
layanan tersebut.
g) Meletakkan kontrak perjanjian di bawah fungsi rantai pasokan. Tim pembelian dan
pengadaan seringkali menegosiasikan potensi adanya penghematan yang signifikan
selama proses pengadaan, namun hal ini menjadi tidak berarti jika mereka tidak
mengkomunikasikan dengan organisasi atau departemen terkait, atau mereka gagal
memantau kepatuhan kontrak.
h) Mengoptimalkan inventori milik perusahaan. Organisasi rantai pasokan harus secara
konsisten meninjau jumlah persediaan mereka dan terus berusaha untuk menjaganya
pada tingkat yang optimal.
i) Menetapkan tingkat kontrol yang tepat dan minimalkan risiko. Kebijakan dan
prosedur manajemen rantai pasokan harus mengikuti urutan dan struktur yang sesuai,
dan perlu untuk ditinjau serta diperbarui. Kebijakan dan prosedur harus dijaga agar
tetap realistis, mudah dipahami dan diikuti serta dipatuhi.
j) Secara serius mengambil inisiatif hijau (green initiatives) dan tanggung jawab sosial.
Mengurangi jejak karbon rantai pasokan sudah menjadi tuntutan global saat ini, inilah
mengapa perusahaan terbaik di kelasnya mempraktekkan "go green". Pembeli dan
konsumen semakin menyadari pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan
saat mereka memilih pemasok. Perusahan pun saat ini dituntut untuk menyusun
113
laporan keberlanjutan untuk menunjukkan inisiatif hijau mereka, dan itu akan
berdampak pada reputasi perusahaan.

Sementara berdasarkan studi yang dilakukan oleh (AL-Shboul et al., 2018) menyarankan tiga
praktek terbaik terpenting dalam manajemen rantai pasokan yaitu kolaborasi pemasok,
manajemen mutu, dan fokus pada pelanggan. Tiga praktik ini saling memperkuat dan saling
melengkapi untuk mencapai kinerja yang tinggi.

Manajemen Rantai Pasokan Berkelanjutan

Tidak bisa dibantah lagi, pengelolaan rantai pasokan haruslah berkelanjutan, sebagaimana
dinyatakan Engel (2011) sebagai salah satu praktek terbaik manajemen rantai pasokan.
Persaingan pada level rantai pasokan harus diatasi dengan mengadopsi praktik manajemen
rantai pasokan yang berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan keunggulan kompetitif, dan
pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan serta berkontribusi pada pencapaian
kinerja yang berkelanjutan (sustainable performance) perusahaan.

(Krajewski et al., 2010) menuliskan sebuah survei terhadap 766 CEO perusahaan besar yang
dilakukan oleh Accenture Institute for High Performance, mengungkapkan bahwa 93 persen
CEO percaya bahwa isu keberlanjutan sangat penting untuk kesuksesan perusahaan mereka
di masa depan, dan 91 persen di antaranya akan menggunakan teknologi baru (energi
terbarukan, efisiensi energi, informasi dan komunikasi) selama lima tahun ke depan. Lebih
lanjut, 88 persen CEO percaya bahwa mereka harus mengintegrasikan keberlanjutan melalui
rantai pasokan mereka. Para manajer juga percaya bahwa untuk upaya keberlanjutan
merupakan upaya jangka panjang, sehingga mungkin perusahaan akan menerima
pengembalian yang lebih rendah dalam waktu dekat namun akan mampu meningkatkan
peluang bertahan hidup dan keuntungan yang lebih baik di masa depan.

Dalam diskusinya dengan HBR tentang tantangan besar bagi organisasi yang unggul agar
melakukan transformasi secara radikal dalam rantai pasokan, Peter Senge mengatakan bahwa
sebuah organisasi harus memahami dan menyadari dirinya sebagai bagian dari sistem yang
lebih besar sehingga mereka dituntut untuk berpartisipasi atas isu-isu lingkungan (Prokesch,
2010). Oleh karena itu, dengan semakin diterimanya isu keberlanjutan sebagai isu strategis

114
bagi setiap organisasi, maka dibutuhkan perubahan perspektif yang signifikan bagi setiap
organisasi untuk mengintegrasikan isu keberlanjutan ini kedalam proses bisnis mereka.

Lalu apakah manajemen rantai pasokan berkelanjutan (Sustainable Supply Chain


Management/SSCM) itu? Sebagaimana dinyatakan dalam laman webnya, Sustainable Supply
Chain Foundation menyatakan manajemen rantai pasokan berkelanjutan merupakan
pengintegrasian praktik yang layak secara finansial dan lingkungan ke dalam siklus
keseluruhan rantai pasokan, mulai dari desain dan pengembangan produk, hingga pemilihan
material, termasuk ekstraksi bahan baku atau produksi pertanian, manufaktur, pengemasan,
transportasi, pergudangan, distribusi, konsumsi, pengembalian barang dan bahkan aktivitas
pembuangan barang cacat. Manajemen dan praktik rantai pasokan yang berkelanjutan secara
lingkungan dapat membantu organisasi tidak hanya berkaitan dengan upaya mengurangi total
jejak karbon (carbon footprint) mereka, tetapi juga dalam mengoptimalkan operasi hulu ke
hilir sehingga dapat mencapai penghematan biaya dan profitabilitas yang lebih besar.
Keseluruhan kegiatan rantai pasokan dapat dioptimalkan dengan praktik berkelanjutan.
(http://www.sustainable-scf.org). Bahwa manajemen rantai pasokan saat ini dituntut untuk
dikelola secara berkelanjutan juga dinyatakan oleh (Green et al., 2012) dan (Ortas, 2014).
Mereka menyatakan bahwa persaingan di rantai pasok saat ini harus diatasi secara lebih ketat
dengan mengadopsi praktik manajemen rantai pasokan yang berkelanjutan yang dapat
menghasilkan keunggulan kompetitif, meningkatkan kinerja perusahaan dan juga
berkontribusi pada kinerja yang berkelanjutan.

Penjabaran lain diberikan oleh (Seuring & Vermeulen, 2009) yang menyatakan bahwa
manajemen rantai pasokan berkelanjutan adalah integrasi pembangunan berkelanjutan dan
manajemen rantai pasokan di mana dengan menggabungkan dua konsep ini, aspek
lingkungan dan sosial di sepanjang rantai pasokan harus diperhitungkan, sehingga produk dan
proses menjadi lebih berkelanjutan dan juga mampu menghindari masalah-masalah terkait.
Adapun (Gupta & Palsule-Desai, 2011) memberikan uraian lebih rinci, dimana mereka
mendefinisikan Manajemen Rantai Pasokan Berkelanjutan (SSCM) sebagai serangkaian
praktik manajerial yang mencakup semua hal berikut: (1) Dampak lingkungan sebagai
keharusan; (2) Pertimbangan semua tahapan di seluruh rantai nilai untuk setiap produk; dan
(3) Perspektif multi-disiplin, yang mencakup seluruh siklus hidup produk. Definisi ini
menyiratkan sejumlah perspektif tentang kelestarian lingkungan, yaitu:

115
a. Perusahaan harus melihat dampak lingkungan dari aktivitas mereka sebagai bagian
integral dari pengambilan keputusan, bukan karena adanya batasan berupa pemberlakuan
peraturan pemerintah atau tekanan sosial, atau sekedar eksposur agar tampil sebagai
perusahaan "hijau".
b. Perusahaan harus memperhatikan dampak lingkungan di seluruh rantai nilai, termasuk
pemasok, distributor, mitra, dan pelanggan.
c. Pandangan perusahaan tentang keberlanjutan harus melampaui perspektif fungsional yang
terkotak-kotak, melainkan mencakup pandangan yang lebih luas dengan
mengintegrasikan isu-isu, masalah, dan solusi secara lintas batas fungsional.

Dalam sejumlah literatur dikenal juga istilah manajemen rantai pasokan hijau (Green Supply
Chain Management / GSCM) yang dianggap sebagai suatu inovasi lingkungan. Salah satunya
adalah (Chin et al., 2015) yang mendefinisikan GSCM sebagai upaya mengintegrasikan
pemikiran lingkungan kedalam manajemen rantai pasokan. GSCM bertujuan untuk
meminimalkan atau menghilangkan pemborosan termasuk bahan kimia berbahaya, emisi,
energi dan limbah padat di sepanjang rantai pasokan seperti desain produk, pemilihan dan
sumber bahan, proses manufaktur, pengiriman produk akhir, dan manajemen ketika masa
pakai produk telah berakhir. Jadi dalam hal ini GSCM lebih berfokus pada peran pentingnya
dalam mempengaruhi dampak lingkungan total dari setiap perusahaan yang terlibat dalam
aktivitas rantai pasokan. Dengan demikian GSCM merupakan bagian dari SSCM dan tentu
saja berkontribusi pada upaya peningkatan kinerja keberlanjutan.

Menurut (Krajewski et al., 2010), keberlanjutan rantai pasokan memiliki tiga elemen yang
mengacu pada konsep triple bottom line (TBL) yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6.1. Rantai pasokan dan Keberlanjutan

116
Ketiga elemen keberlanjutan rantai pasokan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tanggung jawab keuangan (financial responsibility)
Tanggung jawab keuangan terkait kebutuhan keuangan untuk pemegang saham,
karyawan, pelanggan, mitra bisnis, lembaga keuangan, dan entitas lain yang
memasok kebutuhan modal untuk produksi. Rantai pasokan pada dasarnya adalah
proses yang saling terintegrasi, setiap perbaikan pada proses atau manajemennya,
meningkatkan kesejahteraan finansial perusahaan dan meningkatkan peluangnya
untuk bertahan hidup di dunia yang kompetitif.
2. Tanggung jawab lingkungan (environmental responsibility)
Tanggung jawab ini berhubungan dengan kebutuhan ekologi dari planet bumi dan
pengawasan perusahaan atas penggunaan sumber daya alam dalam produksi produk
dan jasa. Tujuannya adalah untuk meninggalkan jejak lingkungan (misalnya jejak
karbon) sekecil mungkin sehingga generasi mendatang dapat memanfaatkan sumber
daya alam yang melimpah. Desain dan integrasi rantai pasokan dapat memainkan
peran utama dalam melestarikan sumber daya alam untuk menghasilkan produk dan
kemudian memprosesnya kembali di akhir masa pakainya melalui daur ulang dan
juga transportasi yang efisien.
3. Tanggung jawab sosial (Social responsibility)
Tanggung jawab sosial terkait dengan ekspektasi moral, etika, dan filantropis bagi
masyarakat. Meskipun tanggung jawab ini mencakup berbagai aktivitas, rantai
pasokan dapat digunakan untuk memenuhi ekspektasi tersebut. Perusahaan dapat
terlibat dalam logistik kemanusiaan misalnya, mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian aliran dan penyimpanan barang dan bahan secara
efisien dari titik asal hingga titik konsumsi.

Dari berbagai diskusi tersebut menunjukkan pentingnya perusahaan untuk menerapkan


SSCM. Pemerintahan di berbagai negara pun kini telah mengembangkan aturan dan
kebijakan terkait praktek bisnis yang berorientasi pada keberlanjutan. Selain itu, praktik yang
tidak berkelanjutan dapat mengundang protes dari konsumen dan masyarakat pada umumnya,
yaitu dapat berupa boikot oleh konsumen, reaksi pasar yang negatif, dan juga perhatian media
yang tidak dapat diabaikan (Chin et al., 2015). Tekanan yang semakin meningkat ini terus
mendorong perusahaan untuk lebih fokus dalam mempraktikkan manajemen rantai pasokan
berkelanjutan (SSCM) sehingga kinerja keberlanjutan atau kinerja triple bottom line (TBL)
telah menjadi aspirasi yang sangat kuat untuk diimplementasikan.

117
Proses transisi menuju rantai pasokan berkelanjutan dapat dimulai dengan mencari mitra
rantai pasokan yang hijau, misalnya pemasok yang memiliki dampak lingkungan yang
minimal tanpa mengorbankan kualitas bahan atau produk mereka. Dengan membeli produk
dari pemasok hijau, organisasi kemudian dapat mulai melakukan restrukturisasi terhadap
rantai pasokan mereka yang ramah lingkungan dari hulu sampai hilir (Cucchiella dan Koh,
2012). Perusahaan, dengan demikian, diharapkan mampu memberikan “tekanan” pada para
pemasoknya untuk memiliki kesadaran yang sama secara sosial dan lingkungan, atau dengan
kata lain para pemasok juga diharapkan mampu menjaga keberlanjutan rantai pasokan
mereka. Hal yang sama juga dituntut pada seluruh pihak lainnya dalam rantai pasokan. Faktor
lain yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang fokus dan kuat. Tanpa kepemimpinan yang
fokus dan kuat, sulit mencapai praktek rantai pasokan berkelanjutan dengan hasil yang
maksimal.

Perspektif Manajemen Rantai Pasokan Berkelanjutan

SSCM semakin mendapat perhatian karena peran pentingnya dalam meningkatkan kinerja
jangka panjang perusahaan dan merupakan implementasi praktek keberlanjutan perusahaan.
Terdapat tiga perspektif utama dan dua perspektif lainnya dalam pengelolaan rantai pasokan
berkelanjutan (Panigrahi et al., 2019), yaitu:

a) Perspektif Lingkungan (Environment Perspectives)


Perspektif lingkungan dalam SSCM pada umumnya berhubungan dengan konservasi
lingkungan dimana aktivitas rantai pasokan berjalan. Proses dan fungsi rantai pasokan
harus dikelola sedemikian rupa sehingga ekologi tetap terjaga.
Namun, tantangan utama bagi kelestarian lingkungan terletak dalam ketidakpastian,
kompleksitas, budaya organisasi, biaya dan operasionalisasi inisiatif berkelanjutan.
Perspektif lingkungan SSCM mencakup: (1) Pengemasan, pergudangan dan transportasi
yang ramah lingkungan, (2) Konservasi dan pengurangan emisi gas rumah kaca dan jejak
karbon, (3) Desain dan konsep siklus hidup ramah lingkungan, (4) Penggunaan kembali
dan daur ulang, (5) Standar Lingkungan (ISO 14000, 14001), (6) Strategi pengadaan
ramah lingkungan, (7) Teknologi ramah lingkungan, (8) Logistik terbalik, (9) Sistem
Manajemen Lingkungan system (Environmental management system), (10)
Penatalayanan produk (Product stewardship) dan (11) Berbagi informasi.
b) Perspektif Sosial (Social Perspectives)

118
Perspektif sosial SSCM mencakup individu serta organisasi secara keseluruhan. Para
profesional dan manajer rantai pasokan di seluruh dunia harus memahami bahwa
keputusan manajerial dan bisnis mereka tidak boleh melanggar nilai dan etika
kemanusiaan yang fundamental. Mereka bertanggung jawab untuk memelihara kesehatan
masyarakat di mana organisasinya beroperasi. Aspek sosial merupakan salah satu aspek
terpenting dalam SSCM karena organisasi melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Perspektif ini mencakup: (1) Kode etik, (2) Hak Karyawan, Kesejahteraan dan Kondisi
Kerja, (3) Keadilan, (4) Kesadaran dan Etika Publik, (5) Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan, dan (6) Dukungan Pemasok dan Perdagangan yang Adil
c) Perspektif Ekonomi (Economic Perspectives)
Tujuan utama dari setiap bisnis, perusahaan atau organisasi adalah menghasilkan
keuntungan. Oleh karena itu, praktik rantai pasokan berkelanjutan harus dapat
menghasilkan keuntungan dan disisi lain mampu mengurangi dampak lingkungan serta
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaannya. Perspektif ekonomi mencakup: (1)
Kinerja Keuangan dan Keunggulan Kompetitif, (2) Insentif, Pinjaman berbunga rendah,
Periode Pembayaran Kembali Cepat, (3) Transparansi Bisnis, (4) Optimalisasi Logistik,
(5) Kolaborasi Strategis dan Berbagi Informasi, (6) Pemanfaatan Sumber Daya yang
Efisien, dan (7) Profitabilitas.
d) Perspektif Tata Kelola (Governance Perspectives)
Tata kelola merupakan suatu struktur yang digunakan untuk memastikan bahwa
pengambilan keputusan organisasi dapat menentukan nilai jangka panjang dan
berkelanjutan dari organisasi tersebut. Aspek tata kelola telah mendapatkan perhatian
yang besar saat ini, sehingga perusahaan perlu mengembangkan mekanisme tata kelola
yang tepat untuk meningkatkan kinerja keberlanjutan, menjaga hubungan dengan
pemangku kepentingan, dan menerapkan strategi berkelanjutan.
e) Perspektif Pengukuran Kinerja (Performance Measurement Perspectives)
Untuk menilai tingkat keberlanjutan yang telah dicapai oleh rantai pasokan atau
perusahaan secara keseluruhan, maka perusahaan perlu menetapkan metrik kinerja yang
memadai untuk mengukur kinerja keberlanjutan mereka

(Chin et al., 2015) menggunakan istilah manajemen rantai pasokan hijau (Green Supply
Chain Management), atau sering disebut juga dengan manajemen rantai pasokan ramah
lingkungan, disingkat dengan GSCM sebagai bagian dari SSCM. Manajemen rantai pasokan
hijau dianggap sebagai suatu inovasi lingkungan, yaitu mengintegrasikan pemikiran
119
lingkungan kedalam manajemen rantai pasokan. (Yildiz Çankaya & Sezen, 2019)
menyatakan bahwa terdapat delapan dimensi manajemen dari rantai pasokan ramah
lingkungan, yaitu pembelian ramah lingkungan, manufaktur ramah lingkungan, distribusi
ramah lingkungan, kemasan ramah lingkungan, pemasaran ramah lingkungan, pemulihan
investasi, pengelolaan lingkungan internal, dan pendidikan lingkungan.
a) Pembelian Ramah Lingkungan
Pembelian ramah lingkungan merupakan praktik pembelian yang sadar dan peduli
terhadap lingkungan dan ditujukan untuk mengurangi limbah dan meningkatkan kegiatan
daur ulang. (Green et al., 2012) menyatakan pembelian ramah lingkungan berfokus pada
kerja sama dengan pemasok untuk tujuan mengembangkan produk yang ramah
lingkungan dengan tetap mengutamakan kualitas bahan baku.
b) Manufaktur Ramah Lingkungan
Manufaktur ramah lingkungan merupakan suatu pendekatan atau metode dalam
manufaktur yang lebih mengutamakan penggunaan sumber daya dan faktor produksi yang
ramah lingkungan, yaitu sumber daya dengan dampak lingkungan yang relatif rendah
serta menghasilkan limbah dalam jumlah minimal atau bahkan tanpa limbah. Misalnya
penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan, daur ulang dalam penggunaan air,
dan penggunaan bahan baku yang aman.
c) Kemasan Ramah Lingkungan
Pengemasan ramah lingkungan merupakan pengemasan produk yang menggunakan
bahan ramah lingkungan, yaitu kemasan yang dapat didaur ulang, dapat digunakan
kembali dan dapat terurai secara cepat dan alami.
d) Distribusi Ramah Lingkungan
Distribusi ramah lingkungan ditentukan oleh transportasi ramah lingkungan, yaitu
layanan transportasi dengan dampak negatif minimal terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan alam. Dengan demikian, distribusi ramah lingkungan merupakan koordinasi
dalam mengembangkan kemasan hijau, meningkatkan sistem transportasi dan aktivitas
logistik, serta kegiatan untuk memonitor emisi karbon dalam pendistribusian produk.
e) Pemasaran Ramah Lingkungan
Pemasaran hijau adalah tindakan yang ditujukan untuk para pelanggan dengan
menggabungkan berbagai aktivitas pemasaran yang dirancang untuk mencapai tujuan
perusahaan dalam meminimalkan dampak lingkungan dari produk dan jasanya (Groening
et al., 2018)
f) Pengelolaan Lingkungan Internal
120
Menurut (Chan et al., 2012), pengelolaan lingkungan internal adalah rancangan kebijakan
perlindungan lingkungan dan target lingkungan untuk memastikan praktek perlindungan
lingkungan berjalan dengan baik. Selanjutnya (Green et al., 2012) menyatakan bahwa
komitmen dan dukungan manajemen puncak dan madya terhadap strategi kelestarian
lingkungan dapat meningkatkan efektivitas praktik manajemen rantai pasokan ramah
lingkungan dan aktivitas pengelolaan lingkungan lainnya.
g) Pendidikan Lingkungan
(Law et al., 2017) menyatakan bahwa pendidikan lingkungan dapat membantu dalam
upaya mengembangkan dan mendorong transisi budaya perusahaan yang lebih ramah
lingkungan. Pendidikan lingkungan dapat membantu individu dan komunitas dalam
memahami pentingnya interaksi keberlanjutan dan meningkatkan partisipasi secara
bertanggung jawab dan efektif dalam mengantisipasi dan menyelesaikan masalah
lingkungan.

Praktik Manajemen Rantai Pasokan Berkelanjutan

Penerapan dan pengelolaan praktik keberlanjutan dalam rantai pasokan dapat bervariasi
tingkatan maupun intensitasnya bagi setiap perusahaan. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh
faktor pendorong dan tujuan yang berbeda-beda. (Paulraj et al., 2017) mengidentifikasi faktor
pendorong atau motif dari praktik SSCM terdiri dari:
1. Faktor instrumental, yaitu faktor dorongan individual (bersifat instrumental)
yang mencerminkan keinginan mendapatkan penghargaan atau keinginan
untuk menghindar dari hukuman adalah merupakan hal yang utama.
2. Faktor relasional yang didorong oleh keinginan untuk berhubungan secara
positif dengan pemangku kepentingan utama (berkaitan dengan hubungan di
antara anggota kelompok)
3. Faktor moral yaitu faktor pendorong yang berkaitan dengan standar etika dan
prinsip moral

Studi yang dilakukan oleh (Kitsis & Chen, 2019) mendukung pernyataan (Paulraj et al.,
2017) tersebut. Mereka mengungkapkan bahwa ketiga motif tersebut, yaitu instrumental,
relasional dan moral, dapat membantu mendorong praktik SSCM. Temuan studi mereka
menunjukkan hubungan yang signifikan antara motif relasional dan praktik SSCM. Temuan
ini mendukung “teori pemangku kepentingan” dan menyarankan agar pihak-pihak pemangku

121
kepentingan perusahaan dapat memainkan perannya sebagai pendorong di balik praktik
keberlanjutan. Hasil selanjutnya juga menunjukkan bahwa motif moral (bukan kepentingan
yang bersifat egois) memainkan peran penting sebagai pendorong praktek SSCM.

Terkait praktik SSCM, (Beske & Seuring, 2014) mengembangkan kerangka kerja yang
mengelompokkan praktik SSCM menjadi lima kategori umum, yaitu:
1. Orientasi.
Kategori orientasi ini menekankan bahwa dukungan manajemen puncak merupakan
faktor kunci untuk mencapai potensi penuh dari SSCM. Isu keberlanjutan dan
manajemen rantai pasokan memang merupakan isu strategis yang perlu diintegrasikan
dalam nilai-nilai perusahaan dan juga dalam perumusan strategi organisasi untuk
mencapai keunggulan kompetitif. Dengan dukungan manajemen puncak, internalisasi
keberlanjutan akan lebih mudah.
2. Kontinuitas
Salah satu faktor kunci dalam SSCM adalah hubungan yang baik dan saling
menguntungkan. Kategori kontinuitas ini mencakup pemilihan mitra, pengembangan
pemasok, dan hubungan jangka panjang. Jadi asumsi dasarnya adalah bahwa suatu
kesinambungan akan terbangun jika kinerja rantai pasokan berjalan secara
keseluruhan dan bukan parsial dari kinerja setiap anggota rantai pasokan saja.
3. Kolaborasi
Kategori kolaborasi, ditempatkan di tingkat struktural dan operasional. Disini struktur
organisasi diperlukan untuk berjalannya kolaborasi, dan tentu saja juga harus
dioperasionalkan dengan baik. Kategori ini mencakup antara lain transparansi,
pengembangan bersama, dan kolaborasi untuk meningkatkan kinerja keberlanjutan.
Kolaborasi juga memungkinkan terjadinya pengembangan kapabilitas yang
menghasilkan kapabilitas baru yang sulit ditiru atau menghasilkan kapabilitas dinamis
organisasi.
4. Manajemen risiko
Kategori manajemen risiko berisi praktik-praktik terkait standar dan sertifikasi,
berbagi informasi dan juga pengawasan. Misalnya dalam strategi pemilihan pemasok
yang berorientasi risiko, disini pemasok dipilih dan dievaluasi berdasarkan kriteria
keberlanjutan dengan fokus utama pada penekanan risiko.

122
Risiko ini termasuk kemungkinan gangguan rantai pasokan karena basis pemasok
yang kurang memadai atau risiko kehilangan reputasi ketika terjadi suatu masalah dan
dipublikasikan oleh organisasi non-pemerintah (LSM).
5. Proaktif
Praktik keberlanjutan perusahaan memerlukan sikap proaktif, karena seringkali
perusahaan harus menghadapi hal baru, seperti metode baru atau teknologi baru untuk
menerapkan keberlanjutan dalam aktivitas bisnisnya. Dalam praktik SSCM,
perusahaan perlu secara proaktif melakukan inovasi-inovasi dalam rantai pasokan
mereka.

Sementara (Kähkönen et al., 2018) mengkategorikan praktik SSCM menjadi empat kelompok
utama:

1. Pedoman keberlanjutan, termasuk disini adalah standarisasi, sertifikasi, dan pelabelan


untuk memastikan dasar regulasinya
2. Pelaporan dan publikasi atas praktik keberlanjutan dengan menggunakan evaluator
eksternal, penulisan laporan CSR, dan penggunaan daftar pemasok yang berkelanjutan
termasuk indikator CSR untuk pengukuran kinerja pemasok
3. Praktik manajemen rantai pasokan hulu, seperti audit keberlanjutan pemasok dan upaya
penelusuran asal bahan dan produk yang dibeli
4. Praktik manajemen rantai pasokan hilir yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi
rantai pasokan bagi pelanggan akhir.

Selanjutnya (Kähkönen et al., 2018) mengusulkan matriks tiga dimensi untuk


mengkategorikan praktik SSCM, yaitu kategorisasi dalam praktik internal dan eksternal,
lingkungan dan sosial, dan kategori berdasar jenis dan kepentingan strategis dari praktik
SSCM yaitu reaktif dan proaktif. Dengan demikian mereka menempatkan praktik SSCM
pada tiga kontinum:
1. Struktur organisasi (internal vs eksternal)
2. Dimensi keberlanjutan (lingkungan vs sosial)
3. Jenis dan kepentingan strategis (reaktif vs proaktif)

Dari sejumlah referensi dalam pengkategorian praktik SSCM, secara umum dapat dinyatakan
bahwa keberhasilan praktik SSCM ditentukan oleh dukungan manajemen puncak yang
menempatkan isu SSCM sebagai isu strategis, ditunjang dengan kolaborasi dan kinerja

123
bersama dari seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasokan perusahaan yang
diorganisasi secara memadai sehingga risiko-risiko dapat ditekan, dan juga didukung dengan
sikap proaktif dari organisasi atau perusahaan karena isu keberlanjutan akan terus
didengungkan ke seantero dunia dan efektivitasnya membutuhkan pendekatan-pendekatan
baru yang kreatif dan inovatif.

Kinerja Keberlanjutan
Pengukuran kinerja keberlanjutan perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan sudah banyak dilakukan, termasuk di Indonesia, dan pada umumnya publikasi
laporan tersebut dapat diakses oleh masyarakat. Dari berbagai studi yang dilakukan pada area
ini, pada umumnya para peneliti sepakat bahwa SSCM berperan penting pada kinerja bisnis
berkelanjutan perusahaan walaupun dengan level yang berbeda.

(Grosvold et al., 2014) menyatakan bahwa berdasarkan definisi SSCM, maka pengukuran
kinerja keberlanjutan suatu rantai pasokan dapat difokuskan pada kemajuan perusahaan
dalam pencapaian tujuan lingkungan, sosial dan ekonomi. Sementara itu, Bai et al. (2012)
mendasarkan pada model SCOR yang memfokuskan pada pengukuran kinerja ekonomi dan
ekologi dari rantai pasokan. Pada model ini kinerja dikategorikan berdasarkan dimensi biaya,
waktu, kualitas, fleksibilitas, dan inovasi.

Kerangka kerja yang lebih komprehensif dikembangkan oleh (Varsei et al., 2014).
Pengelolaan dan penilaian kinerja keberlanjutan dalam kerangka kerja ini mencakup
pertimbangan atas tujuan serta kinerja secara ekonomi, lingkungan dan sosial yang dikenal
sebagai triple bottom line (Varsei et al., 2014). Kerangka ini mereka kembangkan berdasar
sejumlah literatur tentang manajemen rantai pasokan berkelanjutan serta pedoman
keberlanjutan GRI (Global Reporting Initiatives) yang sangat populer dan telah diadopsi
secara luas. Kerangka kerja penilaian kinerja keberlanjutan (Varsei et al., 2014) mencakup:
1) Pengukuran kinerja ekonomi dan bisnis
Disini biaya rantai pasokan dan tingkat layanan merupakan ukuran kinerja ekonomi
dan bisnis. Biaya rantai pasokan dapat mencakup biaya pengadaan, produksi,
pengoperasian fasilitas, biaya transportasi dan biaya penyimpanan.
2) Pengukuran kinerja sosial

124
Kinerja sosial dapat diukur dengan praktik terkait ketenagakerjaan dan pekerjaan yang
layak, praktik terkait hak asasi manusia, dampak terhadap masyarakat, dan tanggung
jawab dari produk yang dihasilkan.
3) Pengukuran kinerja lingkungan
Kinerja lingkungan dapat diukur dengan indikator emisi gas rumah kaca (GRK),
penggunaan air, konsumsi energi, limbah yang dihasilkan, dan penggunaan bahan
berbahaya dan beracun.

Nampak jelas disini, para ahli sepakat bahwa pengukuran kinerja keberlanjutan difokuskan
pada tiga aspek TBL, yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

SSCM dan Kinerja Berkelanjutan


Hasil studi empiris pada umumnya menyimpulkan adanya dampak positif atas praktek SSCM
pada kinerja berkelanjutan perusahaan. Dari berbagai studi juga menunjukkan semakin
banyak perusahaan yang telah mengintegrasikan isu keberlanjutan dalam praktek-praktek
bisnis mereka sesuai tuntutan dan dinamika lingkungan global, dengan level yang bervariasi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Lintukangas et al., 2016), praktik SSCM berperan sangat
penting bagi perusahaan, yaitu meningkatkan produktivitas, mengurangi limbah proses,
mengurangi biaya regulasi, mendorong niat baik pelanggan, meningkatkan hubungan dengan
pemangku kepentingan, dan dengan demikian dapat berkontribusi untuk meningkatkan
kinerja keberlanjutan, memperkuat reputasi perusahaan, dan meningkatkan keunggulan
kompetitif.

Hasil penelitian dari (Kitsis & Chen, 2019) juga menemukan pengaruh positif yang signifikan
dari SSCM terhadap kinerja keberlanjutan (TBL), hal ini menunjukkan pentingnya SSCM
dalam mendorong kinerja TBL. Studi ini memberikan bukti empiris bahwa praktik SSCM
yang mencakup pengadaan sumber daya berkelanjutan, operasi berkelanjutan, dan logistik
berkelanjutan sangat penting dalam meningkatkan ketiga dimensi kinerja berkelanjutan. Hasil
studi ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa praktik SSCM, seperti pengadaan sumber
daya yang berkelanjutan, operasi/produksi berkelanjutan dan logistik berkelanjutan
merupakan kapabilitas dinamis organisasi yang dapat meningkatkan kinerja dan keunggulan
kompetitif perusahaan dan mengarah pada kesuksesan jangka panjang (Kähkönen et al.,
2018). Hasil studi ini juga menjawab keraguan dari beberapa peneliti yang masih
mempertanyakan manfaat dari praktik hijau (ramah lingkungan), yang dengan meyakinkan
125
memberikan bukti empiris adanya dampak positif dari praktik SSCM pada semua aspek
kinerja TBL, termasuk ekonomi. Studi untuk menguji hubungan antara praktek SSCM dan
kinerja lingkungan dan operasional dalam organisasi juga telah dilakukan oleh Hasan (2013).
Secara lebih spesifik, penelitiannya menguji apakah penerapan praktik lingkungan dalam
manajemen rantai pasokan memberikan dampak positif pada kinerja lingkungan dan
operasional perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa praktek SSCM berdampak positif
pada kinerja lingkungan dan operasional organisasi.

Sementara studi terkait GSCM, antara lain dilakukan oleh (Yildiz Çankaya & Sezen, 2019)
yang menguji pengaruh GSCM terhadap ketiga aspek kinerja keberlanjutan perusahaan, yaitu
kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan. Disini GSCM diukur dengan 7 dimensi, yaitu
Pembelian ramah lingkungan, Manufaktur ramah lingkungan, Pemasaran hijau, distribusi dan
kemasan hijau, Pengelolaan lingkungan internal, Pendidikan lingkungan dan Pemulihan
investasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tiga dari tujuh dimensi GSCM
berhubungan positif dengan kinerja ekonomi, yaitu produksi hijau, distribusi dan pengemasan
hijau dan pendidikan lingkungan. Selanjutnya hasil penelitiannya menunjukkan bahwa empat
dari tujuh dimensi GSCM berhubungan positif dengan kinerja sosial, yaitu produksi hijau,
distribusi dan pengemasan hijau, pengelolaan lingkungan internal dan pemulihan investasi.
Terakhir, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lima dari tujuh dimensi GSCM
berhubungan positif dengan kinerja lingkungan, yaitu produksi hijau, pemasaran hijau,
pengemasan dan distribusi hijau, pengelolaan lingkungan internal dan pemulihan investasi.
Hasil ini mendukung hasil studi yang dilakukan sebelumnya oleh (Chin et al., 2015) di
Malaysia. (Chin et al., 2015) menganalisis hubungan antara GSCM dan kinerja keberlanjutan
dengan moderasi variabel kolaborasi lingkungan. Dengan menggunakan model SEM
(structural equation modeling), hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara GSCM dan kinerja keberlanjutan. Dalam studi ini merekomendasikan kolaborasi
lingkungan sebagai moderator hubungan antara praktek GSCM dan kinerja keberlanjutan,
dimana kolaborasi lingkungan dapat memfasilitasi dan memudahkan pelaksanaan praktek
GSCM. (Green et al., 2012) juga telah melakukan studi serupa lebih awal. Studinya bertujuan
untuk menguji dampak praktik rantai pasokan hijau pada kinerja perusahaan. Model
penelitian yang dikembangkan untuk menguji pengaruh praktik rantai pasokan hijau dengan
hubungan produsen dan para mitra rantai pasokan (baik pemasok maupun pelanggan) untuk
mendukung kelestarian lingkungan di seluruh rantai pasokan. Hasilnya menunjukkan bahwa
penerapan praktik GSCM perusahaan mengarah pada peningkatan kinerja lingkungan dan
126
kinerja ekonomi, yang pada gilirannya berdampak positif terhadap kinerja operasional dan
kinerja organisasi.

Berdasar sejumlah hasil studi empiris yang telah diuraikan, dapat ditarik rangkuman sebagai
berikut:
1. Secara umum, para peneliti menyatakan bahwa SSCM berdampak positif pada
kinerja berkelanjutan organisasi, baik secara ekonomi, sosial dan/atau lingkungan,
secara langsung atau tidak langsung.
2. Dampak SSCM pada kinerja berkelanjutan organisasi secara tidak langsung, dapat
dimediasi atau dimoderasi oleh variabel lain seperti kolaborasi lingkungan sebagai
fasilitator yang akan mempermudah praktek SSCM atau GSCM.
3. Terdapat peningkatan keterlibatan perusahaan yang signifikan dalam upaya-upaya
implementasi SSCM
4. Masih terdapat juga praktik SSCM atau GSCM yang dilakukan karena tuntutan
aturan dan regulasi (reaktif)

Simpulan dan Implikasi


Tekanan yang kuat untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang berkelanjutan tidak
mungkin dihindari lagi saat ini, termasuk praktek SSCM. Bukan hanya lembaga-lembaga
formal seperti pemerintahan maupun non formal seperti NGO, namun konsumen dan
pelanggan pun memberikan tuntutan akan praktek bisnis yang berkelanjutan. Dengan
demikian, kinerja dan kelangsungan hidup perusahaan dapat menjadi taruhan.

Hasil studi pada umumnya juga menunjukkan bahwa SSCM berdampak positif pada kinerja
berkelanjutan organisasi, baik secara ekonomi, sosial dan/atau lingkungan, baik secara
langsung atau tidak langsung.

Sebagai implikasinya, perusahaan-perusahaan perlu semakin mengintegrasikan isu


keberlanjutan dalam praktek manajemen rantai pasokan mereka. Untuk memfasilitasi dan
mempermudah praktek SSCM, perusahaan dapat melakukan kolaborasi-kolaborasi atau
partnership dengan berbagai pihak. Misalnya kolaborasi yang ditujukan untuk memberikan
edukasi dan pelatihan bagi sumber daya manusia yang terlibat dalam SSCM, atau kolaborasi
dengan institusi dalam mengembangkan sistem SSCM yang efektif, atau penerapan teknologi
127
yang menunjang kesuksesan implementasi keberlanjutan pada perusahaan melalui praktik
SSCM.

Bagaimana perusahaan dapat memastikan bahwa pengelolaan rantai pasokannya


berkelanjutan? Langkah-langkah yang dikembangkan (Krajewski et al., 2010) berikut ini
dapat dipertimbangkan:
1) Mengembangkan kerangka rantai pasokan yang berkelanjutan.
Definisikan arti "keberlanjutan" bagi perusahaan secara jelas. Standar SA8000: 2014
dapat digunakan sebagai panduan.
2) Kumpulkan data tentang kinerja pemasok saat ini dan saring calon pemasok yang
baru, misalnya data tentang jadwal pengiriman pada jam sibuk. Gunakan kerangka
kerja keberlanjutan rantai pasokan sebagai dasar.
3) Seluruh unit bisnis wajib patuh terhadap kerangka rantai pasokan yang berkelanjutan
yang telah dikembangkan, termasuk dalam mengelola hubungan mereka dengan
pemasok saat ini dan pemilihan pemasok di masa mendatang.
4) Kelola para pemasok aktif dan gunakan cara-cara yang etis untuk memengaruhi
perilaku mereka.
5) Memberikan laporan secara berkala tentang dampak rantai pasokan terhadap kinerja
keberlanjutan.

Studi Kasus Singkat:


Pengaruh Pratek Manajemen Rantai Pasokan Ramah Lingkungan Terhadap Kinerja
Lingkungan PT Danone-Aqua

Penulis :
Betharina Muna Salsabila
Wahyuningsih

Studi kasus ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh dimensi-dimensi manajemen rantai
pasokan ramah lingkungan pada kinerja lingkungan perusahaan. Studi dilakukan pada PT
Danone-Aqua Indonesia, dengan responden sebanyak 160 personel yang terdiri dari
karyawan pada staf operasional dan manajerial dengan cara penyebaran kuesioner. Data
yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan model regresi berganda untuk mengetahui
bagaimana dan seberapa besar pengaruhnya dari masing-masing dimensi manajemen rantai
pasokan ramah lingkungan terhadap kinerja lingkungan perusahaan, sehingga dapat

128
disimpulkan dimensi mana saja yang pengaruhnya kuat dan mana yang kurang kuat sebagai
dasar untuk pengambilan keputusan atau pengembangan strategi keberlanjutan perusahaan.

Variabel dalam penelitian ini adalah manajemen rantai pasokan ramah lingkungan sebagai
variabel independen dan kinerja lingkungan sebagai variabel dependennya. Dimensi-dimensi
yang digunakan pada variabel manajemen rantai pasokan ramah lingkungan mengacu pada
studi yang dilakukan oleh (Yildiz Çankaya & Sezen, 2019) yang sebelumnya telah
mengidentifikasi dimensi-dimensi manajemen rantai pasokan ramah lingkungan berdasar
hasil studi-studi sebelumnya antara lain dari Vanalle et al. (2017), Schmidt et al. (2017),
Kirchoff et al. (2016) dan (Green et al., 2012). Adapun 8 dimensi tersebut adalah pembelian
ramah lingkungan, manufaktur ramah lingkungan, pemasaran ramah lingkungan, kemasan
ramah lingkungan, distribusi ramah lingkungan, pemulihan investasi, pengelolaan lingkungan
internal, dan pendidikan lingkungan. Hipotesis yang dikembangkan adalah untuk menguji
pengaruh setiap dimensi tersebut terhadap kinerja lingkungan, sehingga terdapat 8 hipotesis.

Hasil uji asumsi klasik menunjukkan tidak adanya pelanggaran pada semua asumsi klasik,
namun berdasar hasil uji instrumen yang dilakukan dengan dua pengujian, yaitu uji validitas
menggunakan Pearson’s correlation dan uji reliabilitas menggunakan nilai Cronbach’s
Alpha, menunjukkan bahwa variabel pemulihan investasi tidak valid sehingga tidak
digunakan untuk analisis lebih lanjut. Berikut adalah ringkasan dari hasil pengujian hipotesis
dalam studi ini:
Tabel 6.1 Hasil pengujian hipotesis
Hipotesi Koefisien
Hipotesis Sig. Kesimpulan
s Regresi (β)
H1. Pembelian Ramah
Lingkungan  Kinerja (+) 0.211 0.026 H1 diterima
Lingkungan
H2. Manufaktur Ramah
Lingkungan  Kinerja (+) -0.312 0.000 H2 ditolak
Lingkungan
H3. Distribusi Ramah
Lingkungan  Kinerja (+) -0.202 0.019 H3 ditolak
Lingkungan
H4. Kemasan Ramah Lingkungan
(+) 0.382 0.000 H4 diterima
 Kinerja Lingkungan
H5. Pemasaran Ramah
Lingkungan  Kinerja (+) 0.011 0.934 H5 diterima
Lingkungan
H6. Pengelolaan Lingkungan (+) 0.216 0.046 H6 diterima

129
Internal  Kinerja Lingkungan
H7. Pendidikan Lingkungan 
(+) 0.184 0.002 H7 diterima
Kinerja Lingkungan
Sumber: Hasil olah data

Berdasar hasil analisis pengujian secara serentak menunjukkan bahwa keseluruhan dimensi-
dimensi manajemen rantai pasokan ramah lingkungan secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap kinerja lingkungan.

Pengujian yang dilakukan secara individu terhadap masing-masing dimensi menunjukkan


hasil yang bervariasi. Dari pengujian hipotesis pertama tentang pengaruh pembelian ramah
lingkungan terhadap kinerja lingkungan menunjukkan bahwa hipotesis pertama diterima,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelian ramah lingkungan memiliki pengaruh positif
terhadap kinerja lingkungan. Hasil ini menunjukkan bahwa jika perusahaan melakukan
pembelian secara ramah lingkungan pada kegiatan operasionalnya maka akan memicu
peningkatan kinerja lingkungan perusahaan tersebut. Dalam hal ini yang dilakukan oleh PT
Danone-Aqua adalah memberikan spesifikasi desain produknya kepada pemasok, seperti
menjelaskan tentang bahan yang digunakan dalam desain kemasan produk yang dapat didaur
ulang dan material dalam kemasan tersebut tidak merusak lingkungan. Dengan melakukan
hal tersebut maka perusahaan mampu meningkatkan kinerja lingkungan berupa pengurangan
penggunaan bahan yang dapat membahayakan lingkungan.

Pengujian hipotesis kedua tentang pengaruh manufaktur ramah lingkungan terhadap kinerja
lingkungan menunjukkan bahwa hipotesis 2 ditolak, sehingga dapat dikatakan manufaktur
ramah lingkungan yang diterapkan perusahaan tidak berpengaruh secara positif terhadap
kinerja lingkungan. Berdasarkan hasil pengujian ini dapat mengindikasikan bahwa
perusahaan belum menerapkan manufaktur yang ramah lingkungan secara maksimal
sehingga belum mampu mendorong kinerja lingkungannya. Banyak perusahaan yang fokus
dan sangat menekankan pentingnya efisiensi dan produktivitas di semua aspek manufaktur
agar dapat menekan biaya produksi dan operasi, namun penerapan praktek manufaktur ramah
lingkungan masih perlu ditingkatkan.

Pengujian terhadap hipotesis ketiga tentang pengaruh distribusi ramah lingkungan terhadap
kinerja lingkungan juga menyimpulkan bahwa hipotesis 3 ditolak, artinya distribusi ramah

130
lingkungan tidak berpengaruh secara positif terhadap kinerja lingkungan. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa perusahaan belum menerapkan kegiatan distribusi yang ramah
lingkungan secara maksimal sehingga tidak mampu berkontribusi pada peningkatan kinerja
lingkungannya. Hal ini antara lain diindikasikan dengan belum adanya sistem peruteean
distribusi yang efisien dan dapat meminimalkan jarak perjalanan, sehingga pengurangan
pemakaian bahan bakar belum dapat dilakukan secara maksimal dan dampaknya belum
mampu mendorong kinerja lingkungan berupa pengurangan emisi karbon.

Hasil dari pengujian hipotesis keempat dan kelima menunjukkan bahwa kemasan dan
kegiatan pemasaran yang ramah lingkungan berhubungan positif dengan kinerja lingkungan.
Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya pengemasan dan pemasaran ramah lingkungan
karena akan mendorong peningkatan kinerja lingkungan perusahaan. Kegiatan pemasaran
ramah lingkungan dapat berupa penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam
menunjang iklan produk yang ramah lingkungan, penggunaan bahan yang ramah lingkungan
atau berupa iklan kampanye daur ulang kemasan produk secara lebih masif, dan hal ini dapat
meningkatkan kinerja lingkungan.

Pengujian pada hipotesis keenam menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan internal


berhubungan positif dengan kinerja lingkungan. Pengelolaan lingkungan internal perusahaan
dalam hal ini dapat berupa koordinasi dan komunikasi dalam upaya penghematan bahan
bakar dan energi, pengaturan penggunaan energi melalui pengurangan penggunaan lampu
penerangan, pengaturan tekanan pada mesin kompresor, dan lainnya. Hal ini terbukti
meningkatkan kinerja lingkungan.

Pengujian hipotesis ketujuh menyimpulkan bahwa pendidikan lingkungan berhubungan


positif dengan kinerja lingkungan. Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya pendidikan
lingkungan kepada anggota organisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
terhadap isu lingkungan. Pendidikan lingkungan dapat berupa pelatihan tentang pentingnya
menjaga kelestarian lingkungan alam untuk para manajemen dan karyawan dengan tujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan bagi manajemen dan karyawan
dalam kesadaran di bidang lingkungan alam. Jika hal ini dilakukan secara konsisten maka
akan mampu meningkatkan kinerja lingkungan.

131
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa dari ketujuh dimensi manajemen rantai
pasokan ramah lingkungan, terdapat dua dimensi yang tidak menunjukkan pengaruh positif
pada kinerja lingkungan, yaitu manufaktur ramah lingkungan dan distribusi ramah
lingkungan. Hal ini dapat mengindikasikan belum maksimalnya penerapan praktek ramah
lingkungan pada kedua dimensi tersebut. Sementara dari lima dimensi lainnya, yang
menunjukkan pengaruh terhadap kinerja lingkungan yang paling besar adalah pengemasan
ramah lingkungan kan pengelolaan lingkungan internal. Namun demikian, jika pengujian
dilakukan secara serentak hasilnya menunjukkan bahwa secara bersama-sama keseluruhan
dimensi menunjukkan pengaruh yang signifikan pada kinerja lingkungan. Hal ini
mengindikasikan pentingnya untuk mengelola secara terintegrasi keseluruhan dimensi
manajemen rantai pasokan ramah lingkungan dan berkelanjutan agar dapat meningkatkan
kinerja lingkungan perusahaan.

Daftar Pustaka XAbbasi, M. & Nilsson, F. (2012). Themes and challenges in making
supply chains environmentally sustainable. Supply Chain Management: An
International Journal, Vol. 17 Iss 5 pp. 517 – 530.
Abd Rahman, A.; Ho, J. A. & Rusli, K. A. (2014). Pressures, Green Supply Chain
Management Practices and Performance of ISO 14001 Certified Manufacturers in
Malaysia. International Journal of Economics and Management 8 (S): 1 – 24.
Adams, R.; Jeanrenaud, S.; Bessant, J.; Overy, P. & Denyer, D. (2012). Innovating for
Sustainability: A Systematic Review of the Body of Knowledge. Network for Business
Sustainability. Available at nbs.net/knowledge.
AL-Shboul, M. A., Garza-Reyes, J. A., & Kumar, V. (2018). Best supply chain management
practices and high-performance firms: The case of Gulf manufacturing firms.
International Journal of Productivity and Performance Management, 67(9), 1482–1509.
https://doi.org/10.1108/IJPPM-11-2016-0257
Bai, C.; Xiaopeng, J. S. & Koh, W. L. (2012). Evaluating ecological sustainable performance
measures for supply chain management. Supply Chain Management: An International
Journal, Vol. 17 Iss 1 pp. 78 - 92
Beske, P., & Seuring, S. (2014). Putting sustainability into supply chain management. Supply
Chain Management, 19(3), 322–331. https://doi.org/10.1108/SCM-12-2013-0432
Beske-Janssen, P.; Johnson, M. P. & Schaltegger, S. (2015). 20 years of performance
measurement in sustainable supply chain management – Wwat has been achieved?.
Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 20 Iss 6 pp. 664 – 680.
Chang, H. H., Tsai, Y.-C., & Che-Hao, H. (2013). E-procurement and supply chain
performance. Supply Chain Management, 18(1), 34–51.
https://doi.org/10.1108/13598541311293168
Chin, T. A., Tat, H. H., & Sulaiman, Z. (2015). Green supply chain management,
environmental collaboration and sustainability performance. Procedia CIRP, 26.
https://doi.org/10.1016/j.procir.2014.07.035
Chopra, S., & Meindl, P. (2013). Supply chain management: strategy, planning, and
operation. In Pearson Education, Inc. Pearson Education, Inc.

132
Cucchiella, F. & Koh, L, (2012). Green supply chain: how do carbon management and
sustainable development create competitive advantage for the supply chain?. Supply
Chain Management: An International Journal, Vol. 17 Iss: 1.
Golicic, S. L. & Smith, C. D. (2013). A Meta-Analysis of Environmentally Sustainable
Supply Chain Management Practices and Firm Performance. Journal of Supply Chain
Management, Volume 49, Number 2 April 2013.
Green, K. W., Zelbst, P. J., Meacham, J., & Bhadauria, V. S. (2012). Green supply chain
management practices: Impact on performance. Supply Chain Management, 17(3), 290–
305. https://doi.org/10.1108/13598541211227126
Grosvold, J.; Hoejmose, S. U. & Roehrich, J. K. (2014). Squaring the circle: Management,
measurement and performance of sustainability in supply chains. Supply Chain
Management: An International Journal, Vol. 19 Iss 3 pp. 292 – 305.
Groening, C., Sarkis, J., & Zhu, Q. (2018). Green marketing consumer-level theory review: A
compendium of applied theories and further research directions. Journal of Cleaner
Production, 172, 1848–1866. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.12.002
Gupta, S., & Palsule-Desai, O. D. (2011). Sustainable supply chain management: Review and
research opportunities. IIMB Management Review, 23(4), 234–245.
https://doi.org/10.1016/j.iimb.2011.09.002
Hasan, M (2013). Sustainable Supply Chain Management Practices and Operational
Performance. American Journal of Industrial and Business Management, 2013, 3, pp.
42-48.
Haski-Leventhal, D. (2018). Strategic corporate social responsibility. SAGE Publications
Ltd. https://doi.org/10.4324/9781351279000-10
Heizer, J., Render, B., & Munson, C. (2017). Operations management: sustainability and
supply chain management. In Pearson Education, Inc. Pearson Education, Inc.
Kähkönen, A. K., Lintukangas, K., & Hallikas, J. (2018). Sustainable supply management
practices: making a difference in a firm’s sustainability performance. Supply Chain
Management, 23(6), 518–530. https://doi.org/10.1108/SCM-01-2018-0036
Kirchoff, J.F., Tate, W.L. and Mollenkopf, D.A. (2016), “The impact of strategic
organizational orientations on green supply chain management and firm performance”,
International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, Vol. 46 No. 3,
pp. 269-292.

Kitsis, A. M., & Chen, I. J. (2019). Do motives matter? Examining the relationships between
motives, SSCM practices and TBL performance. Supply Chain Management, 25(3),
325–341. https://doi.org/10.1108/SCM-05-2019-0218
Krajewski, L. J., Ritzman, L. P., & Malhotra, M. (2010). Operations management: processes
and supply chains (11th Editi). Pearson Education, Inc.
Laosirihongthong, T.; Adebanjo, D. & Tan, K. C. (2013). Green supply chain management
practices and performance. Industrial Management & Data Systems, Vol. 113 Iss 8 pp.
1088 – 1109.
Lee, S. M.; Kim, S. T. & Choi, D. (2012). Green supply chain management and
organizational performance. Industrial Management & Data Systems, Vol. 112 Iss 8 pp.
1148 – 118.
Li, S., Ragu-Nathan, B., Ragu-Nathan, T. S., & Subba Rao, S. (2006). The impact of supply
chain management practices on competitive advantage and organizational performance.
Omega, 34(2), 107–124. https://doi.org/10.1016/j.omega.2004.08.002
Lintukangas, K., Kähkönen, A.-K. and Ritala, P. (2016), “Supply risks as drivers of green
supply management adoption”, Journal of Cleaner Production, Vol. 112, pp. 1901-1909.

133
Nidumolu, R.; Prahalad, C.K. & Rangaswami, M. R. (2009). Why Sustainability Is Now the
Key Driver of Innovation. Harvard Business Review, September 2009 issue.
Ortas, E; Moneva, J. M. & Álvarez, I. (2014). Sustainable supply chain and company
performance. Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 19 Iss 3 pp.
332 – 350.
Panigrahi, S. S., Bahinipati, B., & Jain, V. (2019). Sustainable supply chain management: A
review of literature and implications for future research. Management of Environmental
Quality: An International Journal, 30(5), 1001–1049. https://doi.org/10.1108/MEQ-01-
2018-0003
Paulraj, A., Chen, I.J. and Blome, C. (2017), “Motives and performance outcomes of
sustainable supply chain management practices: a multi-theoretical perspective”, Journal
of Business Ethics, Vol. 145 No. 2, pp. 239-258.
Perotti, S.; Zorzini, M.; Cagno, E. & Micheli, G.J.L. (2012). Green supply chain practices
and company performance: the case of 3PLs in Italy. International Journal of Physical
Distribution & Logistics Management, Vol. 42 Iss 7 pp. 640 – 672.
Prokesch, S. (2010). Innovation: The Sustainable Supply Chain. Harvard Business Review.
October 2010 issue.
Russell, R. S., & Taylor, B. W. (2011). Operations Management: Creating Value Along the
Supply Chain. John Wiley and Sons, Inc.
Schmidt, C.G., Foerstl, K. and Schaltenbrand, B. (2017), “The supply chain position paradox:
green practices and firm performance”, Journal of Supply Chain Management, Vol. 53
No. 1, pp. 3-25.
Seuring, S., & Vermeulen, W. J. V. (2009). Sustainable Supply Chain Management -
Challenges and Opportunities for Reserach. Sustainable Development, 2009.
Seuring, S. & Gold, S. (2012). Conducting content-analysis based literature reviews in supply
chain management. Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 17 Iss 5
pp. 544 – 555.
Tachizawa, E. M. & Wong, C. Y. (2014). Towards a theory of multi-tier sustainable supply
chains: a systematic literature review. Supply Chain Management: An International
Journal, Vol. 19 Iss 5/6 pp. 643 – 663.
Ukaga, O., Maser, C. & Reichenbach, M. (2010). Sustainable Development: Principles,
Frameworks, and Case Studies. Taylor and Francis Group, LLC, CRC Press.
Vanalle, R.M., Ganga, G.M.D., Godinho Filho, M. and Lucato, W.C. (2017), “Green supply
chain management: an investigation of pressures, practices, and performance within the
Brazilian automotive supply chain”, Journal of Cleaner Production, Vol. 151, pp. 250-
259.
Varsei, M., Soosay, C., Fahimnia, B., & Sarkis, J. (2014). Framing sustainability performance
of supply chains with multidimensional indicators. Supply Chain Management, 19(3),
242–257. https://doi.org/10.1108/SCM-12-2013-0436
Walker, H. & Jones, N. (2012). Sustainable supply chain management across the UK private
sector. Supply Chain Management: An International Journal, Vol. 17 Iss 1 pp. 15 – 28.
Yildiz Çankaya, S., & Sezen, B. (2019). Effects of green supply chain management practices
on sustainability performance. Journal of Manufacturing Technology Management,
30(1), 98–121. https://doi.org/10.1108/JMTM-03-2018-0099

Zailani, S.; Shaharudin, M. R.; Govindasamy, V.; Ismail, M. & Mahdzar, S.T.A.S. (2015).
The Eco-Efficiency Practices of the Sustainable Packaging and its Effect towards
Sustainable Supply Chain Performance. 2015 International Symposium on Technology

134
Management and Emerging Technologies (ISTMET), August 25 - 27, 2015, Langkawi,
Kedah, Malaysia.

Tentang Penulis

Dr. Wahyuningsih, SE, ME


Dr. Wahyuningsih, SE, ME adalah dosen senior dan peneliti pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia. Menempuh pendidikan di Universitas Gadjah
Mada (S1), Universitas Indonesia (S2) dan Program Doktor (S3) dari Universitas Trisakti
bekerjasama dengan Colorado State University, USA. Telah berkecimpung di dunia
pendidikan tinggi selama lebih dari dua puluh delapan tahun, saat ini sebagai Ketua
Konsentrasi Manajemen Operasi dan Ketua Program Kelas Unggulan di FEB Usakti. Bidang
penelitiannya adalah pada bidang manajemen operasi dan rantai pasokan berkelanjutan,
manajemen stratejik dan juga berminat pada pengembangan kurikulum dan metode
pembelajaran aktif dengan sejumlah artikelnya telah dipublikasi. Sebagai akademisi,
Wahyuningsih adalah faculty member pada Program Magister dan Doktoral FEB Usakti dan
Program Magister Universitas Terbuka.

135

Anda mungkin juga menyukai