Anda di halaman 1dari 279

Naena Jhaya

 Perkasa
 
Ketika Aku Ditanya Apa Agamaku
 
 
 
 
 
*Manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism!
[Naena Jhaya Perkasa]
 
 
 
Bismillahirrahmaanirrahiim
 
 
 
1  ‘tabiat orang pemuja cinta’
          
                                   
“… asyik banget nih!” pria keren berambut pirang sebahu menepuk pundak seorang
pemuda yang sedang duduk asyik membuka situs internet.
Pemuda itu menolehnya sambil tersenyum. Wajahnya yang asli melayu itu tak kalah
tampan dari pria yang menepuk pundaknya.
“Lagi ada sesuatu yang dicari?” tanya pria Indo itu.
“Iseng aja,” pemuda itu tertawa kecil.
“Aku lihat kamu sering ngerental internet ke mari.”
“Sekedar nonton video porno,” sahutnya santai.
“O, ya. Emangnya kamu tinggal dekat sini?”
“Naik angkot ngeluarin duit PP 4.000 rupiah.”
“Namaku Christian,” pria Indo yang keren itu mengulurkan tangannya ngajak
kenalan.
“Muslim,” pemuda itu menjabatnya.
“Semoga kita bisa lebih akrab lagi.”
“Sesuatu yang baik. Tapi apakah kamu gak punya niat hasud padaku sebagai orang
Islam?” tanya Muslim segera melepaskan tangannya dari genggaman Christian yang
sepertinya sengaja tidak segera melepasnya.
“Aku malah seneng kok dengan banyaknya orang muslim sekitar sini yang senang
ngerental ke mari. Remaja belia yang keseringan ngunjungi situs porno.”
“Kenapa mesti seneng? Mestinya kamu kasih larangan. Aku juga pertama kali kesini
merasa heran. Aku takut kalau sampai harus membuka-buka alamat web tentang sex. Eh tak
tahunya hampir semua pengunjung sini bebas ngeakses situs porno,” celoteh Muslim.
“Bagaimana kalau malam ini nginep saja di sini?”
“Emangnya kenapa?” Muslim melirik Christian.
“ Ada aja!” Christian mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum genit.
“Ngapain nginep di tempat orang sembarangan?” Muslim mengetik lagi alamat web.
“Kamu gak mikir apa? Ini malem udah jam berapa? Sekarang sudah waktunya tutup.
Sudah lebih satu jam setengah. Orang lain sudah pada gak ada. Kalo kamu tidak berniat
nginep, aku kan ngantuk nungguinnya.”
“Tapi tanggung nih belum puas. Biar deh aku bayar dua kali lipat perjamnya. Soal
pintu tutup saja. Kamu sudah tidur dulu sana . Entar aku bangunin kalo aku mau pulang,”
Muslim berusaha nego.
“Semua yang kamu omongin itu bukanlah persoalan penting bagiku. Tapi jadi orang
aku ingin disiplin menghargai waktu. Sebagai tamu disini kamu semestinya nyadar perjanjian
jam yang sudah dipersiapkan untuk ngerental disini,” Christian begitu halus mengemukakan
sebuah prinsip kebijakan.
“Iya maaf. Kasih aku waktu lima menit lagi, OK!”
“Sampai pagi atau sampai malem lagi juga gak apa-apa kalo kamu memang mau
nginep. Mungkin aku pulang sekarang. Aku gak usah nungguin kamu.”
“Nyampe segitu percayanya kamu padaku buat nginep disini?”
“Kalo ada apa-apa juga kan gampang tinggal nuduh kamu saja. Aku ngarepin banget
ada orang muslim bikin ulah. Aku tak segan-segan ngangkat masalahnya hingga ke surat
kabar internasional buat nambah fakta bahwa orang Islam itu emang biang kerok
permusuhan.”
“Busyet, bisa-bisanya kepikiran jauh nyampe disitu. Emang orang-orang Kristen
mungkin pikirannya busuk terus ya nganggap umat Islam. Kayaknya dicari-cari terus sumber
buat ngejerumusin orang Islam pada tindak kesalahan,” Muslim berkelakar.
“Makanya jadi seorang muslim apalagi namamu Muslim, kamu mesti waspada kalau
bertindak. Mungkin masalah kamu ini juga bisa ku angkat buat ngejelekin agamamu. Ku kira
orang muslim itu bersifat baik-baik. Eh tak tahunya mereka itu tak lebih dari para pendusta.
Teorinya saja yang sok suci, eh perilakunya lebih buruk dari telor busuk sekalipun.”
“Kamu jangan sembarangan ngomong ya. Apalagi nyangkut soal agama. Urusannya
bisa besar tahu. Kalo cuma mau ngritik gak apa-apa. Emang siapa orang Islamnya yang tidak
tahu akal bulusnya orang-orang Kristen yang selalu saja ingin ngancurin dengan mengadu
dombakan umat Islam di muka bumi,” Muslim kian sewot.
“Udah deh, gak usah ngebela diri. Kalo mau debat aku kasih waktu banyak buat kita
diskusi alot. Tapi bukan sekarang. Yang jelas sekarang cerminan jeleknya pribadi orang
Islam itu sudah terwakili sama kamu. Sudah  tidak kenal waktu. Tidak mau menghargai orang
lain. Terjebak dalam halusinasi sex lagi. Kalo demen sex, ngelacur aja sekalian,” Christian
kian memanas-manasi Muslim.
Dicemoohkan seperti itu Muslim jadi terdiam. Dia gak bisa membalas Christian lagi.
Emang sih, kesalahan jelas berada pada dirinya.
“Okey, aku sekarang selesai,” Muslim menutup situs internetnya dengan
menampakan rasa bengalnya. Ia berdiri menghadapi Christian yang berlaga sudah jadi
pahlawan.
“Kamu pengen dibayar ganti rugi berapa? Jika kamu mau ngejelekin aku, jelekan saja
aku sampe habis-habisan. Tapi tolong jaga mulutmu jangan bawa-bawa agama dalam
persoalan ini,” Muslim segera mengeluarkan dompetnya.
“Aku tidak mau meminta sesuatu yang lebih. Bayar sesuai harga rental yang biasa
saja. Kamu ngerental lebih dari enam jam. Berarti yang lebih dari tiga jam mendapat
potongan dua puluh persen dari biaya keseluruhan,” Christian tenang dan bijak saja
bicaranya.
“Jelimet banget sih. Aku kira tidak nyampe dua puluh ribu kan apalagi dipotong
diskon. Nih gocap. Selebihnya ambil saja buat ganti rugi dan meredakan pegelnya otot
jantungmu nungguin aku,” Muslim  menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada
Christian.
“Kita adil saja. Bukan sesuatu yang baik, manfaatin kesempatan dalam kesempitan.
Ngambil punya orang saat orang itu dalam keadaan tidak sadar akan hatinya,” Christian
mengeluarkan dompetnya buat ngambil kembalian untuk Muslim.
“Sok gak butuh banget sih sama uang. Berlaga baik banget. Padahal rencana ngebuka
warnet ini juga kan kamu buat cari penghasilan? Udah, aku gak bakalan bilang kalo orang
Kristen itu materialistis kok. Santai aja. Yah, met malem cucu Tuhan!” Muslim membuka
pintu bergegas keluar dari warnet itu sebelum Christian memberikan uang kembalian
padanya.
“Keras kepala banget lo. Punya duit segini udah berlaga sok kaya. Padahal lo
keturunan Nabi yang paling miskin,” Christian menggerutu.
Rupanya Muslim mendengar omelan Christian. Hingga ia dari luar segera mencibir
membalasnya,
“Hai denger ya. Apa umat agama lo tidak berlaga sok kuat dan sok gagah? Udah tahu
Nabi lo yang dianggap Tuhan sekalipun mampus mengenaskan dan sangat memalukan
ditelanjangi di tiang penyaliban. Apa umat Kristen menciptakan bom atom dan nuklir yang
jelas sangat merugikan dan sama sekali tidak bermanfaat itu tidak berasa sudah melebihi sifat
kekuasaan Tuhannya yang sangat lemah?”
Sungguh suasana hati diantara keduanya kian menghangat saja. Muslim berdiri di
depan pintu menunggu Christian kembali menanggapinya. 
“Jesus itu manusia Maha Mulia rela berkorban jiwa raganya demi menebus dosa
seluruh umatnya!” Christian keluar setelah mematikan lampu ruangan.
“Manusia? Bukankah menurut keyakinan lo Jesus itu Tuhan?”
“Ya gimana lagi kalau agama gue udah nganggapnya Jesus itu Tuhan. Apa gue harus
ngebangkang? Gue kan lebih baik jadi umat yang taat daripada neko-neko cari keyakinan
lain. Lagipula berada dalam naungan agama gue kan sudah dicap sebagai orang suci yang
terbebas dari dosa,” Christian mengunci pintu.
“Jesus itu Tuhan apa anak Tuhan sih?”
Christian menghampiri Muslim sambil bicara, “Ya sama saja lah. Kenapa sampe
antusias gitu sih? Apa pengen masukin paham baru dalam otak gue? Percuma lah. Gue
orangnya netral kalo ngomongin soal agama. Gue lebih seneng paham liberal sekarang,
mungkin sebagai pembaruan dan modernisasi dari Kristen Protestan yang lebih dimengerti
dan realistis.”
“O, ya! Gimana jika paham Islam ternyata lebih mudah dipahami dan sangat realistis
ketimbang Kristen liberal?”
“Kita bicarakan nanti saja. Gue yakin kita akan lebih sering ketemu dan lebih sangat
akrab lagi. Bahkan lebih dari prakiraan kita sebelumnya,” Christian menuju mobil Pigeout
506 yang terparkir dipinggir halaman warnet itu.
“Kayaknya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang lo rencanain deh, Christ!”
Muslim sedikit teriak sembari melangkah ke pinggir jalan buat menunggu angkot lewat.
Christian menghentikan mobilnya disamping Muslim. Kemudian wajahnya nongol di
kaca pintu mobil yang dibukanya.
“Pulang bareng gue aja yah,” Christian mengajak Muslim.
“Kita, kan tidak searah?”
“Gampang. Gue anterin lo nyampe kemana, kek.”
“ Kan lo bilang pengen segera tidur?”
“Sudah naik sini. Gak tahu apa, jam segini angkot jurusan ke rumah lo udah pada
break. Paling entar jam empat baru pada jalan lagi,” Christian memperingatkan.
“Apa lo gak bakalan ngebaptis gue?”
“Edan lo ya. Pikiran lo kotor terus, sih! Lo pikir karena gue orang Kristen maka gue
akan nindak kejam lo dan ngristenisasikan lo apa? Lo dilarang suudzon kan ama Tuhan lo?”
“Emang lo tahu darimana tuh istilah suudzon?”
“Sama saja kayak lo tahu darimana lo tahu malaikat pada bersayap kayak burung
dalam kepercayaan Kristen,” sahut Christian.
“Gue tahu dari film-film religi Kristen dong.”
“Tidak nyadar ya kalo kepercayaan itu udah diserap oleh keyakinan agama lo?
Bukankah lo sering liat tayangan sinetron Islami yang ngangkat peri-peri cantik bersayap
sebagai juru selamatnya? Gue udah seneng merhatiin kebegoan umat lo yang mudah ngasih
toleransi hukum agamanya. Kalo gue kan sekedar nyontek bahasa suudzon dari film religi lo
juga, tapi gak nyampe ngelunturin keyakinan kan soalnya kalo bahasa itu gak ada batasan
hukum buat ngegunainnya.”
Muslim memandang Christian, “Bener juga ya. Apa semua orang Kristen pikirannya
kayak lo?”
“Lo liat sendiri faktanya. Gue gak mau jadi seorang pendusta yang doyan nutupin
kekurangan agamanya. Transparan saja. Bukankah sikap munafik dalam ajaran agama lo
sangat tidak baik?”
Muslim mengeluarkan HP dari saku celana levisnya.
“Cepetan!” Christian menggerungkan mesin mobil.
“Gue nyuruh jemput sama sopir gue,” Muslim mengontak nomor.
“Jadi lo gak percaya sama gue? Apa menurut Nabi lo menolak tulusnya bantuan orang
lain itu tidak dikecam?”
Muslim segera memutuskan kontaknya. Ia menatap pada Christian.
“Okey!” Muslim pun lekas masuk lewat pintu sebelah. Lalu ia duduk disamping
Christian yang segera menjalankan lagi mobilnya.
“Kalau ngasih bantuan ama orang yang tidak mau ditolong gimana? Apa menurut lo
baik memaksakan makan saat perut sudah terlalu kenyang?”  
“Gue rasa elo tidak termasuk orang yang kenyang makan dan gak butuh bantuan
malam ini,” sahut Christian santai saja.
“Elo mau bawa gue pake jalur mana?” Muslim baru menyadari laju mobil yang
berlawanan arah dengan jalur ke rumahnya.
“Emang lo bilang mestinya gue bawa lo kemana?”
“Makanya jangan sok tahu dong. Nanya dulu apa?”
“Lantas kemana? Bukankah jalan sini juga sering elo lewati? Yang penting kan
akhirnya elo nyampe kembali pulang ke rumah lo,” Christian bawaannya kalem saja.
“Iya. Tapi ini kan malah makin ngejauh. Nyampe rumah guenya kapan kalo harus
muter balik arah lagi entar,” celoteh Muslim kesal.
“Gue punya rencana buat ngebahas segala hal yang elo pengen tahu tentang gue,”
cowok Indo bule sekeren Bertrand Antolin ini baru memberi penjelasan.
“Ngapain enggak tadi di warnet saja?”
“Pengen disebuah tempat yang bernuansa romantis,” ujar Christian tenang.
“Lo kira gue bakalan suka?”
“Suka gak suka bukan urusan gue tapi urusan lo. Kalo gue perhatiin kesukaan lo
mungkin gue akan negosiasi dulu tadi sama lo tentang rencana gue ini. Tapi Isa Alah deh, gue
jamin lo suka,” tandas Christian begitu yakin.
“Kalo pengen latah ngomong baik bahasa Islam, jangan diselewengkan gitu dong.
Kalo gak becus mendingan lo jangan berlaga sok gaul Islam deh. Kualat tahu. Udah jelas
insya Allah, ini malah jadi Isa Alah. Artinya jadi ngawur tahu!?”
“Justru agar gue gak kepeleset ke Islam-Islaman. Isa dan Alah kan nama Nabi dan
Tuhan gue!”
“Sekalian aja Jesus Alah. Atau Jesus Alah Aduh. Atau lebih mendominasi maskot
anak Tuhan itu dengan gelar Jesus Kalah kalo elo mau ngepelesetin namanya wakil presiden
Jusuf Kala,” Muslim kian rame.
Christian tertawa mendengar celotehan Muslim, si ganteng yang alim itu ternyata bisa
jadi juru debat yang handal.
“Ngapain tawa? Elo nawain gue? Apa elo seneng Tuhan lo diinjak-injak harga
namanya?”
“Emang nama Tuhan ada harganya gitu?”
“Ya jelas dong kalo dalam Islam itu Tuhan hanya dikenal namanya saja sebagai Dzat
yang sangat halus dan bersifat ghaib. Mungkin lain buat Tuhan lo, harga diri emang lebih
pantes dan lebih efisien ketimbang harga nama. Sebab Tuhan lo itu berwujud kayak manusia.
Makanya lo itu mesti nyadar kalo Tuhan lo sifatnya kayak manusia tidak memiliki sifat
kekekalan. Dia pasti akan mati. Atau mungkin udah wafat bareng Jesus, anaknya itu.”
“Kalo Tuhan gue emang udah meninggal dunia. Terus yang ngeciptain gue dan balita
umat Kristiani sekarang itu siapa?”
“Ya Tuhan gue gitu lo!”
“Emang Tuhan lo gak fanatik terhadap Tuhan gue? Mau-maunya Dia nerusin hak
cipta pemroduksian manusia yang diluar hak kekuasaannya.”
“Nah itulah betapa Maha Baiknya Tuhan gue yang tidak pandang bulu. Hitam-putih-
merah-pirang-biru rambutnya gak jadi masalah. Dan mesti kau tahu ya, sebelum mampusnya
Tuhan lo itu Dia berpesan rahasia pada Tuhan gue sekaligus menyerahkan kekuasaannya.
Makanya Tuhan gue berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Injil itu sudah kedaluarsa. Sudah
tidak berlaku lagi. Sebab segala perintah dan larangan di muka bumi ini sudah menjadi hak
patennya Tuhan yang mengutus Muhammad sebagai perantara kebenaran-Nya.”
“Gue tetep yakin sama Tuhan Jesus Kristus. Jikapun dia emang udah wafat, gue kira
penciptaan semesta dan pengisinya ini sudah terakses sedemikian canggihnya. Di surga
sepertinya Tuhan Bapak dan Tuhan Anak juga Bunda Maria meneruskan bahtera rumah
tangganya. Tuhan Bapak tugasnya mengontrol tombol-tombol sinyal yang menggerakkan
kehidupan kaum bapak-bapak. Begitu pula Jesus sebagai sang pemerhati anak-anak. Juga
Bunda Maria mengawasi kaum perempuan. Sedangkan para malaikat menjaga keseimbangan
fenomena alam raya ini dengan seksama termasuk perubahan cuaca dan iklim. Bisa juga misi
pekerja lapangan sebagai tugas praktek atas teori-teori yang dititahkan Tuhan.”
“Lucu ya ada Tuhan jadi ribet ngurusin ciptaan-Nya!” Muslim menertawakan
pendapat Christian.            
“Gue seneng ama lo!” ujar Christian sejenak noleh Muslim yang seketika terbelalak.
“Seneng apanya? Seneng kalo gue udah termasuk orang yang bakalan kena laknat
Tuhan lo itu?” Muslim menatap Christian.
“Jangan pura-pura bego lah jadi orang. Sifat lo kayaknya sama kayak sifat gue.”
“Maksud lo sifat seneng debat?”
“Gak perlu nanya. Entar lo lihat sendiri dimana letak persamaan kita,” Christian
membelokan arah mobilnya memasuki jalan kecil.
“Kalo elo nganggap gue orang special yang wajib dikasih kejutan sama elo malam ini.
Kenapa elo buat gue enggak merasa betah dan malah muak ama tingkah lo yang dari tadi
ngeselin terus?”
“Bentar lagi nyampe. Ngomong aja selagi lo pengen ngomong,” Christian malah
senyum.
Muslim akhirnya diam juga melihat reaksi Christian yang sepertinya enggak mau
banyak komentar. Tak lama Christian pun menghentikan mobilnya di depan gerbang
pekarangan rumah yang cukup asri.
“Jadi elo tinggal di komplek sini?” tanya Muslim pada Christian yang segera turun.
“Elo diem aja. Gue cuma mau ngebuka gerbang,” perintahnya sembari membuka
pintu gerbang. 
“Elo bisa ngejalanin mobil, kan ?” lanjutnya agak berteriak.
“Emang kenapa?”
“Tolong masukin ke sini. Gue tanggung entar mesti turun lagi nutup gerbang,” titah
Christian.
“Hah… Okey Bos!” Muslim segera mengemudi mobil serta perlahan melewati
gerbang memasuki pekarangan rumah yang menyerupai vila itu.
Christian kembali menutup gerbang dan menguncinya. Lalu ia berjalan mengikuti
mobil yang dikemudikan Muslim.
“Diparkir dimana?” teriak Muslim.
“Ya udah henti disitu aja. Gue gak punya garasi,” Christian berhenti didekat pintu
depan mobil.
“Sekalian kunci pintunya. Gue mau buka kunci rumah. Ikuti saja ya,” Christian
melangkahkan kakinya menuju rumah.
“Percaya banget sih lo ama gue. Emang enak lo ya punya sopir pribadi!” Muslim
menggerutu sembari lekas mengikuti jejak Christian yang sudah memasuki rumah.
“Christ!...” panggil Muslim kencang saat di ruang depan ia tidak menemukan sosok
Indo itu.
“Masuk saja. Jangan lupa tutup pintunya dan kunciin lagi. Gue lagi di dapur. Tunggu
saja disitu,” sahut Christian.
“Elo pikir gue ini pembantu lo apa?”
“Disuruh juga udah males. Gimana nunggu kesadaran dan ketulusan dari lo.
Bukannya Islam itu cermin Nabi yang sangat bertauladan akhlak yang baik?” Christian
muncul sambil membawakan dua cangkir susu hangat diatas nampan beserta biscuit dalam
toples.
“Kayaknya lo tahu banget pribadi Islam secara sespesipik mungkin.”
“Udah lah lo pengen istirahat dimana? Disini? Atau di ruang tengah sambil nonton
film porno? Atau di kamar gue sambil nuntasin ngeinternet lo itu?” Christian tidak segera
menaruh nampan yang dibawanya.
“Emang disini bebas? Gak ada anggota keluarga yang lain?”
“Pilih dulu dimana tempat yang lo inginkan sesuai yang gue omongin barusan. Baru
nanti kita ngomongin apa saja yang memang lo pengen tahu,” tandas Christian.
“Di kamar saja deh sambil tiduran. Lagian kalopun ada orang lain, kan enggak
bakalan ngeganggu istirahat gue,” pilih Muslim.
“Yah kalo gitu ikut gue,” Christian berjalan melewati ruang tengah kemudian menaiki
anak tangga menuju lantai atas. Disana ada sebuah ruangan yang lumayan luas.
Disampingnya sebuah pintu, dan Christian membuka pintu itu serta masuk.
“Ini kamar gue,” Christian segera menaruh nampan di sebuah meja yang hanya
nampak bayangan gelap saja. Hanya tersinari samar cahaya lampu dari luar.
“Gelap sih,” celetuk Muslim.
Christian segera mengontakkan sakelar. Lampu neon 30 watt pun menyala
menampakan bentuk dan isi ruangan itu. Muslim sejenak memutar-mutar matanya mengenali
nuansa rapi kamar itu.
“Maklum lah gue tinggal sendirian disini. Ada juga Si Bibi kerjanya sekedar nyuci
dan bersih-bersih rumah kalo pagi. Waktu petang ia nyalain lampu-lampu. Itu saja. Ia tinggal
di rumahnya saja yang lumayan agak jauh juga dari sini,” Christian mulai cerita sambil
membuka sweaternya.
“Emang ngewarnet cukup buat ngebiayai hidup serba extra lo?” Muslim duduk di
kursi depan meja komputer yang disampingnya ada sebuah meja kecil dimana nampan itu
tadi Christian menaruhnya.
“Bukan hanya warnet. Itu hanyalah formalitas kegiatan gue saja.”
“Maksud lo ada rutinitas pekerjaan lain?” Muslim melihat Christian yang sedang
membuka kaos streetnya. Ia baru tahu kalo tubuh cowok itu ternyata banyak juga tatonya.
Lihat tato Jesus bersayap malaikat dalam posisi penyaliban terukir di punggungnya. Juga tato
hati berwarna merah menyala tergores di atas pantatnya. Muslim segera mengalihkan
pandangannya ketika Christian membalikan tubuh menghadapnya.
“Tuh, susunya minum mumpung masih hangat. Oh, ya elo doyan ngerokok kan ? Nih
adanya mild sisa gue tadi,” Christian menaruh bungkus rokok didekat nampan beserta korek
gasnya.
“Kalo mau ngeinternet. Aktifin aja komputernya. Silahkan sepuas elo nyampe mana
gak perlu mikirin bayar rentalnya,” lanjut Christian lekas membuka celana jeannya didepan
Muslim.
“Lo demen tato ya?” Tanya Muslim memperhatikan bagian depan tubuh Christian
yang mana di dadanya serta di bawah pusarnya terdapat lukisan tato juga.
“Gue seneng aja. Kayaknya nambah keindahan kulit tubuh.”
“Ngotorin saja kali yang ada. Udah kulit sebersih-bersih lo malah menodainya. Apa lo
gak bosen lihatin gambar yang gitu-gitu aja tiap harinya? Kalo lo demen tato bikin aja tato
temporer, buat sebulan dua bulan biar mudah ganti lagi kalo dah bosen. Lagipula emangnya
lo gak PD apa punya tampang seganteng gitu?” celoteh Muslim sambil memperhatikan paha
cowok Indo itu yang juga terhiasi ukiran warna hijau tua.
“Emang menurut elo gue ini ganteng?” Christian menggantungkan celananya di
kastop di  balik daun pintu kamar.
“Kalo gue cewek. Gue pasti cinta banget ama kesempurnaan fisik lo,” puji Muslim
sambil mengaktifkan komputer.
“Tapi elo mustahil jadi cewek. Buat gue biarpun lo itu cowok tapi gue tetep suka
banget sama penampilan dan karakter lo,” Christian tiba-tiba memeluk Muslim dari belakang
serta mencium pipinya dengan sangat gemes.
“Goblog lo ya,” hardik Muslim segera bangkit meronta melepaskan pelukan
Christian.
Christian yang hanya mengenakan celana dalam saja itu tersenyum tanpa
menampakan sikap bersalah atas tindakan yang dilakukannya barusan terhadap Muslim.
“Kenapa?” tanyanya santai.
“Elo seorang gay!?” Muslim menatap tajam sosok Christian yang membalasnya
dengan senyum simpul disela celotehnya,
“Apa gue perlu memperjelasnya lagi? Gak usah pura-pura naïf. Gue jujur aja.
Ngapain nutupin perasaan jiwa jika hanya bikin menyiksa hati kita saja?”
“Jadi niat lo bawa gue kemari itu hanya buat memperkenalkan siapa jati diri elo yang
sebenarnya? Lalu dengan mudahnya elo bakal manfaatin gue buat memuaskan hasrat sex
elo?” interogasi Muslim tegas.
“Apalagi?” Christian mengerutkan keningnya seakan habis perkara.
“Kalo gue tahu niat lo, mungkin lebih baik nunggu angkot nyampe pagi. Justru gue
berani bayar dua kali lipat itu karena gue bingung balik.”
“Sekarang kan elo udah nyaman?”
“Masuk ke sarang macan kali!”
“Emang dalam pandangan mata elo gue ini kayak macan?”
“Nalurinya kayak binatang!”
“Emang ada binatang homoseksual gitu?”
“Kejamnya!” Muslim jengkel.
“Emang gue nerkam elo?”
“Ibaratnya, bajingan!” bentak Muslim kian nafsu.
“Kita sama kan manusia? Kalo gue macan, berarti elo juga macan? Emangnya ada
kisahnya macan nyampe memangsa binatang sejenisnya gitu?”
“Bedebah ngadu omongan sama elo!” umpat Muslim menuju pintu kamar.
“Mau kemana?” Tanya Christian tenang-tenang saja.
“Keluar dari sarang elo,” sahut Muslim ketus.
“Kunci kamarnya di saku celana itu,” Christian menunjuk celana yang bekas
dipakainya tadi yang menggantung di kastop belakang daun pintu.
“Kunci gerbangnya juga disitu. Kalau kunci pintu rumah enggak dicopot kan ?”
“Elo tidak ngelarang gue pergi kan ?” Muslim membalikan tubuhnya menghadap
Christian.
“Pengennya sih. Justru gue ajak elo kemari biar elo dapat ngerti gue. Tapi jika elo
ngerasa kesiksa ama gue, ya ngapain gue malah bikin masalah saja nantinya?”
“Ini semua emang kesalahan elo kenapa tidak ngomong baik-baik sama gue sedari
tadi. Tapi okey, gue gak jadi balik. Lagian konyol juga kalo gue keluar. Jam segini mana ada
kendaraan buat ke rumah gue yang cukup jauh, lagi. Setidaknya gue akan nginep disini, asal
elo janji nggak bakal berlaku lebih goblok lagi,” Muslim akhirnya mengurungkan niat
perginya seraya duduk lagi di kursi depan komputer.
“Di mata orang penilaian itu tidak selalu sama. Goblog menurut elo belum tentu
menurut gue. Gue berlaku kayak gitu emang gue rasa baik buat gue.”
“Jika emang lo paham ajaran Tuhan, gak mungkin bertindak hanya buat
menyenangkan sebelah pihak.”
“Gue rasa lo paham juga gimana nafsunya seorang gay,” Christian duduk di tepi
pembaringan yang cukup besar itu.
“Elo kira gue seorang homo!?” Muslim menatap tajam.
Christian dengan tawa khasnya yang menggoda, “Gue yakin banget kalo elo punya
perasaan kayak gue juga.”
“Gimana elo memprediksi gue sampai sedemikian yakinnya?”
“Elo keseringan buka situs tentang gay kan ? Dari tanya jawabnya. Sumber agama
dan hukumnya. Perkembangan kaum homoseksual di Indonesia juga mancanegara. Apa tidak
cukup kuat juga jika video porno yang sering elo tonton itu kan sexsual gay? Lalu kalo elo
bukan seorang homo, lantas apa alasannya atas semua perhatian lo yang begitu antusias
terhadap dunia gay?”
“Jadi selama ini elo selalu memantau gerak-gerik gue?”
“Sebagai orang yang jadi inceran, mungkin juga.”
“Maksud lo?”
“Dalam beberapa kali pertemuan saja gue sudah tahu karakter lo. Gue jadi demen ama
lo. Elo gak pernah lepas dari perhatian gue. Gue ngerasa kehilangan jika sewaktu-waktu elo
gak kunjung ke warnet. Lalu gue cari informasi tentang elo. Gue pernah ngikutin pulangnya
elo hingga elo nyampe rumah. Dan gue tahu kalo elo itu ternyata anaknya ibu dosen
Universitas Islam Negeri Jakarta yang belakangan berfatwa telah setuju dan melegalisasikan
kaum homoseksual menindaklanjuti kesepakatan forum pro gay Semarang ,” Christian
bangkit seraya mengambil secangkir susu hangat di atas meja itu lalu menyeruputnya dengan
nikmat.
Muslim terdiam. Sepertinya ia sudah tidak punya komentar apa-apa atas semua
keterangan tentangnya yang terlontar dari mulut gay ganteng itu.
“Gue kira tidak semata-mata ibu lo ngebebasin kaum gay kalo tidak punya alasan
yang kuat. Bukankah seorang ibu yang bijak adalah yang bersikap pro terhadap anggota
keluarganya? Ibunya yang mana yang sudi nanggung aib dan nerima cela dari masyarakat
gara-gara tindak bodoh keluarganya? Apalagi ini anak kesayangannya, ya sebisa mungkin lah
dia pengen nutupin kebusukannya. Dengan cara apapun itu. Meskipun harus membuat hukum
sendiri atau merubah aturan agama yang tersirat jelas dalam alkitab. Elo mestinya ngucapin
makasih sama ibu elo. Dia udah berani nentang hukum Tuhan dan Nabinya guna demi
melindungi nama baik elo yang mungkin nganggap betapa sucinya elo kayak Jesus sebagai
anak Tuhan.”
Muslim menarik nafas. Lalu menatap Christian yang berdiri disampingnya bersandar
ke meja. Ia baru melihat kalau kedua puting susunya cowok Indo itu ditindik serta memakai
anting-anting.
“Elo pikir semua yang elo omongin tentang gue itu bener?” Tanya Muslim dengan
nada suaranya yang datar.
“Elo yang berhak mengedit omongan gue layak denger dan tidaknya di telinga elo,”
Christian mengambil sebatang rokok serta lalu di sulutnya.
“Jika elo suka sama gue. Gue juga jujur suka sama elo. Tapi denger ya, saat ini gue
lagi yakinin prinsip gue bahwa sifat kehomoan itu bisa berubah. Bisa kembali normal
meskipun tidak total 100%. Gue pengen ngelenyapin prinsip bahwa sifat suka sesama jenis
itu adalah kebenaran sifat bawaan dari Tuhan.”
“Jangan ngekhayal sedemikian jauh dan rumitnya. Asal lo tahu saja, seorang tak
berdosa sesuci Sang Pendeta sekalipun mengakui bahwa sifat homoseksual itu adalah sebagai
kebijakan dan Kasih Alah sehingga tak ada larangan bagi kaum Kristen liberal buat
melakukan hubungan intim sesama jenis.”
“Apa ada kebebasan hal yang demikian itu dalam amanat Alkitab? Setahu gue
seorang Uskhup Fatikan pernah berfatwa sangat membenci dan mengutuk kaum
homoseksual.”
“Gue menjadi gay karena tersentuh kenikmatan sex seorang Pendeta. Waktu itu gue
baru SMP. Gue terrmasuk anak yang taat beribadah dan mungkin terlalu sering
menyempatkan diri buat bertemu Jesus dan Bunda Maria di gereja. Gue senang banget
rasanya kalo berada di gereja. Cinta dan damai Tuhan seakan selalu mempesonakan keadaan
gereja. Roh Kudus seakan senantiasa selalu menyambut dan mengajak gue bermain disana.
Bernyanyi-nyanyi riang laksana gue menikmati nirwana dimana Tuhan Bapak beristirahat
dengan tenang. Gue merasa jadi gembalanya. Apalagi Sang Pendeta yang baik hati bagaikan
Sinter Klas selalu memberikan gue kejutan-kejutan mengasyikan. Serasa gue menemukan
kasih sayang sebuah keluarga yang mungkin gue kurang rasakan dan mungkin tidak gue
dapatkan dari orang tua gue.
Gue banyak disanjung oleh Sang Pendeta juga para biarawati. Begitu juga merasa
terhormat mendapat pujian dari para jemaat yang ngasih julukan gue sebagai Tuhan Kecil,
Gembala Surga, Joshua II sebagai sebutan lain nama Jesus, juga ada yang bilang gue ini Putra
Mery. Sebagian besar waktu gue habiskan di gereja. Kadang malam hari gue belajar bareng
Pendeta. Disitulah gue mulai terjebak. Pendeta memeluk gue dengan dalih Kasih Bapak peluk
Maria atau Putra. Gue senang. Waktu-waktu sepi kedatangan gue ke gereja menjadi moment
buat gue ngerasaain peluk cium kasih Alah. Gue ketagihan. Hingga sampai kelamin gue yang
jadi mangsa. Sang Pendeta berlaga sebagai Madame Theresa yang jadi seorang peri maskot
cinta kasih Alah dalam medan perang. Madame Theresa yang berhati mulia yang dijuluki
sebagai Suster Perdamaian. Sang Pendeta mengulum penis gue. Tentunya dilengkapi dengan
kisah Abraham. Lalu memainkannya seperti dokter yang sedang terapi kesehatan terhadap
pasiennya. Gue seneng dubur gue diperawani kelaminnya laksana team medis yang hendak
nyembuhin pasien susah kentut dan berak. Gue percaya aja. Gue sangat seneng sekali. Gue
selalu kangen melulu pada gereja yang asyik, penuh harmoni, simfoni yang mengalun damai,
juga romantika cinta Pendeta yang disuguhkannya pada gue.
Tapi tamat SMP gue harus ngelanjutin pendidikan SMA gue di Amerika. Gue tersiksa
sekali dengan kerinduan gue terhadap gereja dan Pendeta. Makanya di Amerika gue kembali
membiasakan diri ke gereja meskipun bokap gue betapa jarangnya beribadat. Gue temui
Pendetanya. Dan gue tidak menemukan sesuatu yang lebih yang gue ingin dari sosok seorang
Pendeta. Hasrat sex gue tidak tersalurkan. Sang Pendeta disana tidak mau mengerti tentang
tekanan batin gue. Lalu sekali waktu gue menyempatkan waktu luang gue buat ke gereja
menemui Sang Pendeta itu. Gue langsung mencuri pipinya dengan ciuman hangat gue. Entah
kenapa gue senang banget dapat melakukan itu meskipun Pendeta itu sudah cukup tua.       
Sang Pendeta merasa heran dengan sikap gue. Lalu gue cerita tentang keadaan gue
yang sebenarnya. Termasuk kisah romantis gue dengan Sang Pendeta Indonesia . Ternyata
tanggapannya sangat sengit. Sang Pendeta tidak menghardik gue sedemikian kejamnya
melainkan meminta surat pernyataan dan kesaksian atas tindak Pendeta Indonesia itu. Lalu
Pendeta itu melayangkan surat permohonan izin pada badan agama Kristen Amerika untuk
segera menurunkan surat perintah kepada badan persatuan umat Kristen Indonesia untuk
segera melucuti titel derajat kependetaan Sang Pendeta itu.
Gue sangat terpukul sekali dengan kejadian itu. Gue tidak bisa terima fatwa-fatwa
para Pendeta yang melarang keras hubungan seksual antar laki-laki. Mereka tidak berpihak
pada kebenaran dan telah berlaku dusta. Mereka tidak punya hati nurani. Sungguh mereka
jauh dari Maha Kasih Alah juga cermin Jesus yang cinta damai.
Semenjak itu gue jarang pergi ke gereja. Lama kelamaan gue jadi tidak sama sekali
menginjak gereja. Gue benci gereja. Gue jadi remaja yang brutal. Gue pencinta kebebasan.
Karena pinsip gue hanyalah Tuhan yang Maha Mengerti dan Maha Mencinta, maka dengan
senang hati gue mengabadikan kasihnya dalam ukiran tato. Hati sebagai cintanya Bunda
Maria. Sedangkan tengkorak lambang hidup gue. Gue doyan banget urakan. Hingga
kesempatan mempertemukan gue dengan kelompok besar gay Amerika. Gue pernah ikut
parade demo kaum homoseksual yang termasuk pula lesbianisme. Seluruh anggota parade
hanya mengenakan celana dalam dan bagi cewek plus pake BH. Gue gak keberatan sampai
telanjang bulat gak pakai celana dalam sekalipun. Malahan gue menjadi anggota yang paling
disegani kaum homoseksual karena gue termasuk orang Indonesia yang paling berani tampil
syur…” cerita Christian membongkar riwayat hidupnya sambil kembali menghisap rokok lalu
mengepulkan asapnya ke arah Muslim yang termangu jadi pendengar yang baik.    
Muslim mengambil secangkir susu yang mulai dingin itu. Lalu mereguknya.
Disimpan lagi serta membuka toples mengambil biscuit yang seraya disantapnya.
“Kenapa bisa lo balik lagi ke Indonesia ? Bukannya di Amerika hasrat hidup lo sudah
terpuaskan?” Tanya Muslim sambil menatap lagi cowok yang asyik dengan rokoknya itu.
“Gue merasa ternyata kebebasan itu tidak selamanya menyenangkan bagi pribadi
hidup gue. Gue merasa Indonesia adalah tempat yang cocok dan sesuai dengan karakter
selera jiwa. Gue penyuka tantangan. Gue pengen Indonesia mengukir nama gue dalam
sejarahnya. Gue pengen menjadi proklamator kemerdekaan kaum homoseksual Indonesia .
Sebab di Amerika kesempatan mengambil perhatian dan menyimpan nama besar itu sudah
tak ada celah bagi gua. Sedangkan Indonesia sepertinya sangat realistis sekali dengan rencana
mulia gue. Dan harapan itu laksana pucuk di cinta ulampun tiba setelah gue kenal siapa lo.
Elo mungkin gak tahu gimana sepak terjang gue dibelakang mata lo. Gue sudah
berhubungan komunikasi khusus dengan ibu lo. Gue melihat peluang besar dari kualitas
seorang mahaguru sebuah fakultas agama seperti ibu lo. Pengaruhnya akan sangat besar bagi
kafasitas penduduk Indonesia karena universitas agama tersebut merupakan agama
mayoritas…” Christian menyeringai menampakan taring kemenangannya.
“Jadi elo Syaitan yang menggerakan ibu gue!?” Muslim berdiri menunjukan
telunjuknya ke moncong Christian dengan beringas.
“Gue kira ibu elo malah seneng. Bukannya tahun kemarin juga dapet penghargaan
sebagai Ibu pembela hak kaum perempuan Indonesia dari Amerika? Sekarang juga kenapa
enggak? Tunggu saja ibu elo akan meraih Oscar sebagai Madame pembela hak asasi kaum
homoseksual Indonesia ,” kilah Christian begitu tenang sambil menggenggam lengan
Muslim. Ia menatapnya. Lalu ditariknya tubuh cowok itu hingga merapat dengannya, dan …
ciumannya itu kembali mendarat di permukaan wajah Muslim. Kini, … di bibirnya!
Sesaat hening tidak terdengar ucapan apapun. Hanya desah Christian yang mulai
hanyut dalam berahinya mengulum bibir Muslim yang terdiam seakan rela membiarkan
perasaannya ikut hanyut dalam kenikmatan …
“… I love you, so much!” bisik Christian bergetar.
Muslim membuka matanya yang sesaat terpejam. Ia perlahan menjauhkan wajahnya
dari wajah Christian yang sangat berselera untuk bercinta. Muslim menundukkan mukanya
sambil beringsut hendak duduk kembali. Tapi Christian menarik tangannya seakan tidak
memperkenankannya untuk duduk. Christian menatap tajam wajah pemuda itu.
“Gue gak ngerti,” Muslim menggelengkan kepalanya.
“Jangan menjadi seorang pengecut! Ini adalah kebenaran untuk kita. Tidak mungkin
Tuhan memberikan perasaan seperti ini jika hal ini justru dibencinya. Gue yakin kaum Luther
itu tidak salah, tetapi Tuhan melaknat kaum Luther itu karena Luther sudah merasa kecewa
tidak bisa mengawinkan kedua anak gadisnya dengan laki-laki yang ternyata homo. Atas
kecewanya itu Luther protes sama Tuhan hingga Tuhan lalu menurunkan azab tanpa Tuhan
tahu bagaimana kisah sebenarnya yang terjadi,” Christian menyiram ruhani Muslim dengan
azas religius.
“Elo pikir Tuhan itu kadang bersifat tidak Maha Tahu? Elo pikir Tuhan itu pilih
kasih? Elo pikir Tuhan itu sembrono? Serampangan dan sembarangan saja ngasih hukuman
pada umatnya?”
“Jika kita merasa ragu dengan kebijakan Maha Kasih Tuhan, kenapa kita tidak
mencari Tuhan baru yang sekiranya mendukung dan mensucikan jalinan cinta kasih kaum
homoseksual?”
“Gue merasa pusing banget. Kenapa kita jadi terjerumus ngebahas permasalahan ini?
Sudah jelas Tuhan ngasih jalan yang lurus dan menentramkan untuk manusia. Kenapa kita
mesti repot-repot cari jalan lain yang malah bikin capek dan celaka?” keluh Muslim
menyesalkan.
“Jika elo sebagai manusia yang berdedikasi tinggi pengen jadi manusia beneran. Elo
pasti akan berusaha keras buat mewujudkan jati diri elo yang sesungguhnya sebagai manusia.
Apa elo akan menghancurkan misi nyokap elo yang gencar ingin memanusiakan manusia?
Apa elo meragukan seberapa pasih paham nyokap lo terhadap agamanya? Nyokap lo
berpegang teguh prinsip pada Al-Qur’an yang agung sepenuhnya. Al-Qur’an yang
senyatanya sangat dikagumi dan diakui kebenaran dan kemaha dahsyatannya sebagai kitab
Tuhan oleh bangsa Nasrani. Tapi mereka cenderung berasa malu bila harus terang-terangan
ngaku Islam sebagai agama yang benar. Sehingga sebisa mungkin mereka menjatuhkan dan
menghujat umat Muslim diseluruh dunia dengan segala rekayasa dan tipu dayanya hingga tak
segan-segan mengalih bahasakan Al-Qur’an dengan terjemahan internasional yang
menyesatkan…” Christian membisiki nurani Muslim dengan sedemikian lembutnya. Bisik
seorang pencinta yang ingin menjerat dan memenjarakan hati orang yang dicintainya dengan
segala keunikan indahnya bentuk cinta. Christian mendekap Muslim perlahan. Mereka rapat
berpelukan. Jantungnya kian bergetar tak keruan.
“Tidur yuk!” ajak Christian lembut.
Muslim tidak mengisyaratkan reaksi apa-apa. Ia hanya menuruti kemauan Christian
saja. Ia biarkan Christian memapahnya berjalan menuju pembaringan. Lalu iapun duduk di
tepinya.
“Kamu senang minum?” Tanya Christian sambil jongkok di ubin di depan Muslim
yang duduk di tepi ranjang.
Karena Muslim diam saja. Christian kemudian memperjelas,
“Maksudku minuman beralkohol!?”
Muslim seraya menggelengkan kepalanya perlahan.
“Mau nyoba? Yang ringan saja. Atau bir? Anggur merah?” Christian menawarinya.
“Aku ingin tidur,” bisik Muslim segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur yang
berseprai hitam putih belang zebra. Nuansa hitam putih yang menjadi corak romantis
dekorasi kamar itu. Termasuk ubinnya laksana kotak-kotak hitam putih papan catur.
“Tidak mau ganti baju?”
“Udah nyaman begini juga,” sahut Muslim pelan.
“Aku merasa gerah lihat kamu pake baju,” Christian naik ke pembaringan lalu
bersimpuh di samping badan Muslim yang tergolek.
“Aku bukain bajumu. Aku lebih senang tidur gak pake baju,” Christian mulai
membuka satu-persatu kancing baju Muslim. Muslim yang terlentang pasrah.
Kemejanya telah dibuka. Dadanya yang bidang ditumbuhi rambut-rambut halus yang
lembut menambah selera hasrat berahi Christian yang mulai membuka celana levis Muslim.
Tampak celana dalam Muslim mengembung tak ubahnya CD Christian yang mungkin sudah
mulai basah.
“Aku sedang ingin bercinta!” desah Christian menggebu.
……………………!?
Malam! Apakah ada cinta diseberang laut sehingga semut berlari kesana? Sementara
seekor gajah masih menunggunya disini untuk bertarung?        
 
 2   ‘dosa itu seperti apa,
jika cinta itu fitrah?’
 
Hidangan Tuhan di Malam Natal
 
Aku adalah seorang umat yang selalu senang bersama Tuhan
Aku senang mengoleksi banyak bentuk sosoknya
Aku sangat yakin sekali kalau Dia itu Maha Kuasa
Dia pandai menyerupai siapa saja
Bagaikan bunglon ku pandang Dia
Pandai beradaptasi dengan lingkungannya
Perhatikan, jelas dari perubahan-perubahan fisiknya
Yang aku beli dari Belanda, wajah Isa menyerupai pria orang sana
Yang aku dapat waktu dari kawasan kecil Afrika, Isa berkulit hitam legam
Yang dari Roma dan Palestina pun berbeda
Posternya juga beraneka ragam
Tapi yang sangat aku senangi yang mirip dengan orang Indonesia
Entah kenapa
Yang paling berkesan ketika aku bersama teman-teman religiku mengadakan lomba
Membuat patung Jesus dari bahan coklat dan mentega
Sungguh aku terkesima melihat hasilnya
Semuanya hampir mirip dengan orang-orang suku Irian Jaya
Pemenangnya adalah satu yang berbeda dari bentuk mahkotanya
Yang rambutnya dimiripkan dengan kebiasaan orang Indian dari Amerika
Patung-patung indah itu lalu kami sembah bersama
Kemudian kami persembahkan pada jemaat gereja agar mereka bisa mencicipinya
Di malam suka cita pesta natal yang penuh nuansa romantika
           
            “Kenapa?” Tanya Christian lembut memeluk Muslim dari belakang.
            “Ini puisi?” Muslim memperlihatkan secarik kertas.
“Mungkin lebih pantes dibilang cerita. Itu memang ceritaku beberapa tahun lalu,
sewaktu aku masih SMP. Aku buat puisi itu sebagai kenangan masa laluku yang tak mungkin
aku akan melaluinya kembali. Malam natal yang indah, yang aku habiskan bersama Sang
Pendeta tercinta itu. Yang kini tak tahu entah berada dimana. Sekaligus sebagai kenangan
terakhir natalku bersama keluarga. Natal yang sangat berbahagia. Karena pemenang lomba
buat patung Jesus itu adalah aku. Aku dikasih piagam penghargaan. Juga hadiah natal dari
jemaat dan pengurus gereja. Juga hadiah dari Pendeta serta Nyokap dan Bokap yang sangat
bangga. Aku suka terharu dan meneteskan air mata jika mengenangkannya. Sebrutal dan
sebernodanya aku menjalani kehidupan, senyatanya jiwaku tak pernah kotor. Rohku bening
sesuci Roh Kudus, merindukan sosok keluarga yang penuh damai. Dimana aku merindukan
sosok Bunda Maria sebagai pelindungku. Sebagai pengganti kasih ibuku yang mana sedari
kecil aku tumbuh dalam asuhan berganti tangan baby sitter…” Christian menghela nafasnya
dalam-dalam.
“Sudahlah. Kita harus berani jalani kehidupan ini. Apapun yang terjadi. Kita harus
bertanggung jawab atas apa yang kita jalani. Kayaknya niatku untuk ngejauh dan musnahin
sifat suka sesama jenis itu bukanlah sebuah harapan yang mesti ditangguhkan lagi. Kamu sih
malah ngambuhin lagi. Dasar lo!”
“Kok ngomong gitu? Bukannya seneng aku udah nyelamatin perasaan kamu yang
sebenarnya. Kita jadi orang kan harus jujur. Ngapain kita takut dijelekin sama orang hingga
kita bela-belain bohong sana-sini? Bukankah bohong itu lebih tidak baik? Anjing
menggonggong, kafilah berlalu! Biarkan mereka bilang sesuka hati. Agama ya biarin aja
mengatur hukumnya. Kenapa kita sewot mesti harus memperdebatkan hukum? Kita jalan
saja. Kenapa kita mesti terselubungi pikiran tentang adanya pertimbangan surga dan neraka?
Surga dan neraka kan harus ada penghuninya. Daripada kita hidup tersiksa dengan perasaan.
Bertolak belakang dengan keinginan. Ngomong jadi ngawur penuh kemunafikan. Apa itu
tidak sama saja menjerumuskan diri ke dalam jurang neraka secara perlahan-lahan tanpa
sedikitpun ada untung dan kenikmatan. Sementara kita jikapun nanti memang masuk neraka,
setidaknya di dunia kan sudah berpuas-puas menyalurkan hasrat yang menjadi sumber
penyemangat jiwa untuk bertahan hidup.”
“Kita jalan sekarang saja. Sudah hampir jam sebelas,” Muslim melihat jam.
“Okey! Kamu tidak apa-apa kan bekas semalam?”
“Masih sedikit linu penisku yang kamu gigit kekencengan,” Muslim meraba celana
bagian depannya.
“Maklum aku sudah terlalu kangen menantikan nuansa romantis seperti semalam.
Kamu juga gigit puting susuku nyampe antingnya copot. Untung saja putingnya gak ikut
copot,” celoteh Christian juga sedikit menggerutu.
Keduanya segera keluar rumah. Christian berpesan sama Si Bibi yang masih menyapu
halaman agar mengunci rumah dan gerbang. Karena Si Bibi memegang kunci duplikatnya.
Juga hati-hati jangan sampai teledor menjalankan tugasnya.
Pigeout 506 itu perlahan keluar pekarangan rumah. Lalu meluncur meninggalkan
komplek perumahan elit itu. Suasana tengah hari yang tidak terlalu panas. Langit Jakarta
sedang berbaik budi. Menyelimuti matahari siang ini dengan awan putih berarak. Ataukah
mungkin sebagai selubung tabir yang merahasiakan kisah kasih dua insan manusia sesama
jenis itu? Ukiran cinta yang siapa bisa memperjelas jikalah senyatanya itu adalah dosa!
“Aku gak nyangka permainanmu semalam bisa hebat juga,” Christian menilai
pertarungan perdana mereka semalam.
“Atau kamu udah terlatih bercinta?” lanjutnya.
Muslim tersenyum saja menanggapinya.
“Beneran aku merasa puas banget. Meskipun kamu masih sedikit arogan gitu. Gimana
nantinya kalo udah mahir? Ada kemungkinan aku bakal kalah tanding. Aku yakin kamu
bukan pertama kali ini bermain mesra. Pastilah setidaknya pernah mengecap nikmatnya
sentuhan lembut pasangan kencanmu,” Christian seperti yang ingin mengorek sejarah
terjunnya Muslim ke dunia mesum kaum homoseksual.
“Apa kamu gak bakalan cemburu ngedengernya?”
“Mungkin juga sih. Tapi kejujuran kan lebih baik. Biar aku ngerti gimana mestinya
ngadepin sifat kamu.”
“Jadi benar kamu sangat mencintai aku?”
“Kamu ingin aku menunjukan rasa cintaku padamu dengan cara apa? Jika masih
belum cukup dengan ucapan ‘aku cinta kamu’, aku harus bagaimana biar kamu benar-benar
yakin kalau aku sangat mencintai kamu?”
“Apa kamu akan menjadi pasanganku yang setia?”
“Aku bukan tipe kekasih yang doyan selingkuh. Percayalah demi nama Almasih yang
suci, aku berjanji laksana janji fajar yang setia mengitari bumi setiap hari. Aku akan setia
padamu.”
“Mengapa kau sampai bisa merasakan dalamnya cinta itu pada rentang waktu yang
terlalu singkat?”
“Muslim, kamu tidak mengerti perasaanku. Kaupun merasa bagaimana orang yang
jatuh cinta itu? Apakah perlu waktu yang lama, jika hati sudah tersiksa perasaan suka? Aku
jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Aku menemukan sesuatu yang beda dari
dirimu. Kamu punya wibawa tersendiri. Keluguanmu yang acuh itu sungguh mempesonaku.
Semula ku kira dirimu sosok cowok sejati yang normal. Tapi dibalik sikapmu lambat laun
aku mulai memahami bahwa kamu sedang mengalami goncangan batin. Ada harap-harap
cemas tentang naluri kelelakianmu. Kamu sedang pura-pura menutupi gejolak jiwamu.
Terbukti ketika ada seorang gadis duduk bersebelahan denganmu. Lagamu cuek. Tidak
berkepentingan. Tidak seperti ketika ada aku atau seorang lelaki cakap disampingmu. Kamu
sangat krisis PD. Jaga image banget. Dengan  sikap ramah dan banyak senyum. Aku
penasaran padamu. Aku tergoda setiap kamu tersenyum ramah padaku. Hatiku selalu
berdebar jika beradu tatap denganmu. Entah kenapa. Tapi waktu itu aku merasa takut dan
tidak berani macam-macam padamu. Aku tahu tipe kayak kamu itu adalah orang yang sulit
untuk dikasih paham juga sulit menerima sesuatu yang baru. Sangat sukar menerima
perubahan. Kecuali sesuatu itu yang sangat pas dengan keadaan sifatmu waktu itu. Meskipun
sifatmu itu cenderung munafik, tapi kamu juga jujur dengan perasaan hati. Dimana kamu
tidak suka, maka susah sekali untuk dipaksakan agar kamu menyukainya termasuk hadirnya
seorang sahabat. Kamu sulit untuk mendapatkan seorang teman, tapi setelah kamu punya
teman kamu sulit untuk menjauh darinya. Maka dari itu aku sangat hati-hati denganmu.
Meskipun perasaan ingin kenal kamu itu sudah sejauh hari, aku tetap tidak berani sekonyong-
konyong masuk dalam hidupmu. Aku cari jalan untuk bisa mengakrabimu. Hingga aku bela-
belain meneror dan memberi masukan-masukan terhadap ibumu. Akhirnya kan , berhasil
juga. Kamu yang ngotot semalam itu buat ku ajak nego, ujungnya kamu bisa pasrah setelah
aku balikin semuanya pada kepribadian ibumu. Jika aku tidak mengetengahkan kebijakan
ibumu, mungkin aku tidak punya alasan kuat buat menjeratmu. Ada kemungkinan besar
kamu akan melaporkan tindakanku itu pada pihak yang berwajib. Kamu itu emang sifatnya
gitu. Lugu. Tegas. Berani. Sayangnya munafik. Tapi syukur deh dengan susah payah juga
akhirnya aku bisa laksana meraih cintaku,” Christian tersenyum mesra pada Muslim yang
duduk disampingnya.  
“Apakah kau sudah meminta persetujuan Almasih tentang perasaan cintamu itu?”
“Apakah Tuhanmu juga sudah sepakat ngasih izin sama kamu?” Christian balik
nanya.
“Jika aku ingin memuaskan diriku dengan cara begini, alangkah lebih baiknya aku
melupakan Tuhanku. Karena aku tidak ingin mendustakan agamaku. Aku lebih memilih
menganut paham kebebasan untuk sementara sebelum aku menemukan agama baru yang bisa
menerima dan mengangkat harga diri kaum homoseksual,” tandas Muslim begitu yakin dan
sekaligus mengejutkan Christian.
“Kau kira tidak berTuhan itu orang yang baik? Bukankah Islam liberal telah
memberikan begitu banyak kebijakan-kebijakan serta pemahaman-pemahaman baru yang
lebih logistik termasuk pengakuannya terhadap keberadaan kaum homoseksual? Bukan hanya
ibumu saja yang setuju pemberlakuan hak asasi untuk peradaban homo di Indonesia ini, tetapi
sudah ada gerakan kelompok Islam yang pro homo sebelumnya,” Christian memberikan
masukan baik.
“Sebagai umat Islam yang tahu betul ajaran agamanya, aku pasti tidak mungkin
memungkiri sebuah petuah yang menyatakan bahwa yang haram itu tetap haram, juga halal
tetap halal. Jangan sampai merubah peraturan hukum yang ada hanya karena kita senang
sebuah perkara yang diharamkan lalu kita merubah hukumnya menjadi halal. Jika kita
menyukai perbuatan yang diharamkan, kita bilang saja itu haram jangan sampai bilang halal
dan diperbolehkan. Jikapun suka ya lakonin saja sampai dimana batas kepuasannya, tapi
jangan sampai menghalalkannya.
Maka dari itu, beragam penganut paham kebebasan agama liberal ataupun sekuler
yang berkembang zaman ini menurutku mereka hanya sedang berhalusinasi mewujudkan
mimpi-mimpi lenyapnya keserba terkekangan hukum agamanya. Tak lebih bagiku mereka
adalah budak-budak dari hawa nafsu yang bersumber dari syaitan yang menjelma menjadi
manusia,” kecam Muslim tegas.
Christian terpana dengan omongan Muslim hingga ia hampir-hampir lupa kendali
kemudinya, “Kalau ngomong jangan terlalu sadis dong. Aku jadi merinding juga dengernya.
Kamu itu tidak sadar apa, keluargamu sendiri yang malah jadi sumber Islam liberal Indonesia
. Lagi pula menurutku liberal itu cenderung lebih maju dan berpikiran positif. Mereka
memberikan paham yang membukakan cakrawala keterbatasan pemikiran kita. Bukankah Al-
Qur’an itu kitab yang berisikan sajak-sajak indah yang penuh simbol dan slogan-slogan yang
sulit dipahami muslim awam? Beberapa paham ulama zaman dulu dirasa banyak yang salah
memaknai slogan dan simbol-simbol firman Tuhan itu. Sehingga sekarang kaum liberalis
lebih mendefinisikan Al-Qur’an itu dengan penafsiran-penafsiran yang lebih logis dan real.
Tidak lagi ortodoks pada pemahaman yang jelas malah mengebelakangkan perkembangan
Islam dalam peradabannya di muka bumi. Manusia di kasih akal pikiran sama Tuhan itu
bukan hanya agar lebih pandai dari binatang saja, tetapi pula agar mampu berpikir serta
memecahkan tabir-tabir rahasianya. Termasuk tata ruang cipta semesta dalam peraturan
wahyu yang diturunkannya. Ajaran Islam itu dalam pandanganku sebenarnya tidak sempit.
Kajiannya sangat luas sekali.”
“Tidak salah. Dalam surat Ar-Rum ayat 58 Allah berfirman bahwa ‘…sesungguhnya
telah Kami buat dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia.’ Tapi
perumpamaan apa yang tersirat dalam Al-Qur’an yang menjadi simbol bahwa homoseksual
itu dibenarkan?
Jika kamu menganut paham liberalis. Apakah kamu juga dibebaskan untuk berpikir
mencari jati diri Tuhanmu yang selama ini kamu percayai dan kamu sembah? Apakah kamu
diperbolehkan agamamu untuk menguji kebenaran Jesus itu sebagai Tuhan? Apakah kamu
tidak pernah berpikir dan tidak pernah merasa ragu dengan Tuhanmu itu? Menurut
pandangan mata orang Islam, umat Kristen itu sungguh sudah sangat keliru menyeru Nabi Isa
sebagai Tuhan? Bagaimana mungkin seorang Jesus yang dianggap Tuhan itu sampai mati?
Juga waktu dalam penyaliban bukankah Jesus memanggil-manggil minta pertolongan Tuhan?
Kalau dia memang Tuhan, kenapa mesti meminta pertolongan Tuhan lagi? Ataukah mungkin
sifat Tuhan itu tidak memiliki sifat kekekalan? Kalau begitu berarti Tuhan Bapakmu juga
akan mati! Lalu tahta ke-Tuhanannya diwariskan sama siapa? Karena dalam agamamu Tuhan
itu mempunyai syahwat yang cenderung berkembangbiak dan mempunyai generasi.
Ataukah mungkin liberal itu artinya adalah kebebasan untuk menyenang-nyenangkan
diri? Memperingan atau bahkan melenyapkan aturan yang sekiranya membatasi pergaulan
sosial saja, sedangkan pengertian Tuhan tidak seraya berani menggantinya karena takut
murtad dan kufur keluar dari agamanya. Karena mereka tetap yakin dalam dasar sanubarinya,
sekeji dan seberlimpahnya dosa yang mereka perbuat jika masih beragama Islam niscaya
awal akhir mereka akan diangkat dari api neraka oleh Allah untuk mengecap nikmatnya
surga,” Muslim kian meluaskan pemikirannya.
“Dalam Kristen liberal yang mengakui hak kaum homo. Aku tidak dilarang untuk
berpikir tentang bagaimana Tuhanku. Justru malah mendapat tanggapan baik ketika aku
mempertanyakan siapakah perempuan yang diperuntukan buat Jesus di surga? Mengingat
tidak diketahui adanya perawan sesuci Maria sebagai umat Jesus yang mati sebelum wafatnya
Jesus. Juga karena Jesus itu Tuhan, maka Tuhan Bapak mana mungkin
mempersandingkannya dengan para bidadari yang sudah diperuntukan untuk umat manusia
biasa…”
“Mungkin dengan Tuhan Putri,” potong Muslim membuat Christian tampak heran
mendengarnya.
“Tuhan Putri? Emangnya ada? Setahu aku yang ada itu Tuhan Bapak yaitu Alah,
Tuhan Anak alias Jesus atau Isa Almasih beserta Bunda Maria,” kilah Christian.
“Ya, tidak menuntut kemungkinan Tuhan Bapak menghamili lagi Bunda Maria di
surga lalu melahirkan seorang putri sebagai adiknya Isa Almasih. Niscaya kan dia dipanggil
Tuhan Anak Perempuan atau Tuhan Putri,” tukas Muslim.
“Jangan macem-macem ya. Tidak mungkin saudara sekandung bisa bersanding.”
“Buktinya Tuhan yang Rohul Kudus, Roh Tuhan yang sangat mulia dan suci ternyata
mempunyai nafsu dan berhasrat sex juga tergoda oleh sesosok Maryam manusia ciptaan-Nya
hingga dihamilinya.”
“Tuhan menitipkan anak pada rahim suci Maria tidak melalui kelamin seperti
manusia.”
“Lantas kapan berbuahnya sel telur Maria di rahimnya jika tidak tercampur sel
sperma?”
“Tuhanlah yang mengatur semuanya itu karena Dia Maha Mengetahui serta Maha
Kuasa atas segalanya.”
“Bukankah paham liberal menganut prinsip berpikir secara logis? Apa kamu juga
takut berpikir macam-macam bila yang berhubungan dengan Tuhan? Atau kamu belum
dengar kisah hamilnya Maria itu sebagaimana menurut seorang penganut paham Islam liberal
yang menyatakan bahwa Maryam itu senyatanya menikah dengan seorang anak petani
bernama Yusuf?”
Christian akhirnya diam. Matanya memusat ke depan pada jalan yang tidak juga
lengang dari berseliwerannya kendaraan. Tapi dibalik fokus lensa matanya, ia menyimpan
sketsa film yang tidak bisa tertuang jelas di layar kosong pandangan Muslim. Memori
Christian sedang error!
“Jadi siapa yang akan menyambut Jesus di surga itu?” Muslim mengembalikan lagi
masalah yang sekiranya membuat Christian bisa kembali menjalankan otaknya.
“Tuhan Bapak dan Tuhan Anak bermain intim. Karena ada kemungkinan Tuhan
Bapak itu bersifat bisex. Mengingat umatnya yang heterosex. Jadi kenapa tidak Tuhan Bapak
suka sesama jenis juga, selain dari melayani Bunda Maria?”
“Busyet, betapa mengerikannya kamu punya Tuhan yang bersyahwat. Jadi tidak salah
dong kalo Maria itu sudah diperkosa Tuhan juga,” Muslim tertawa geli mendengar tanggapan
Christian yang semakin amburadul pemahamannya.  
“Mungkin itulah kajian Kristen liberal yang menjadi tolak ukur dibebaskannya kaum
homo,” Christian lebih meyakinkan prinsipnya.
“Christ! Daripada kita makin ngaco menelaah makna aqidah agama kita, apa tidak
lebih baik kita mencari keyakinan baru? Sumber hukum baru yang memihak pada kebenaran
kita. Yang bisa menyatukan  kepercayaan kita. Bagaimanapun juga, Islam itu jelas tidak
menerima sifat kaum homosek begitu pula dengan Kristen. Aku ingin kita punya kepribadian
serta landasan hidup yang sama, jika memang kita mau mempertahankan prinsip bahwa
homoseksual itu bukanlah perilaku sex menyimpang melainkan sebuah kebenaran.
Seandainya kita masih berpegang pada agama kita sekarang, aku Islam kamu Kristen aku
takut pada akhirnya nanti tetap saja akan ada orang yang menghujat dari pihak agama kita.
Lagipula aku tidak ingin Allah Tuhanku mempergunjingkan keIslamanku nanti di akhirat.
Juga aku tidak tega melihatmu nanti diadili Tuhan Alah atas dosamu. Apalagi Tuhanmu ada
dua. Berarti kamu akan lebih ribet nanti naik banding gugat kasusmu di dua persidangan.
Atau mungkin kamu tidak akan mengenal neraka karena dalam agamamu tidak ada kasus
dosa oleh sebab sudah ditebus dengan darah Jesus. Jikapun demikian apakah kamu akan tega
melihat aku sebagai orang yang kamu sangat cintai waktu di dunia menjerit-jerit menahan
siksa kobar api neraka sebagai balasan atas nista dan dosa kita?
Maka dari itu aku ingin kita hidup di dunia ini saling mencintai, saling mengasihi,
juga saling menyayangi. Seiring sejalan, seiya sekata, senada seirama, senasib dan
sepenanggungan. Suka duka, asam manis, pahit getir, serasa dan sepengertian. Begitupun di
akhirat nanti aku ingin kita tetap bersama. Memapah bahtera cinta kita. Didakwa di negeri
pengadilan Tuhan yang sama. Hingga surga maupun neraka kita menjalaninya bersama. Atas
dasar itu kita harus mencari Tuhan yang masih suci. Yang namanya belum tercemar dengan
imajinasi-imajinasi para politisi. Kita harus menemukan agama baru yang bisa
mempersatukan keyakinan kita. Demi kita merasa tenang dan damai menjalankan
peribadatannya penuh dengan kekhusuan dan khidmat,” Muslim begitu mengharubirukan
perasaan Christian.
“Mungkin dalam soal ini kamu yang lebih mengerti tentang ketuhanan. Aku tidak
tahu terlalu banyak tentang masalah ketuhanan. Sebagaimana kamu ketahui aku hanya aktif
dalam agamaku semasa aku masih SMP. Ku kira kamu lebih mendalami dan lebih bisa
berpikir cemerlang. Aku percaya kamu umat yang taat terhadap ajaran agamanya,” Christian
menatap Muslim penuh rasa cinta dan kepercayaan.
“Apa karena cinta kamu sudi mengikuti jejak langkahku?”
“Demi nama Tuhanmu aku bersumpah, jikalah kamu menginginkan aku sekeyakinan
denganmu. Aku siap berganti Tuhan, asal benar kau akan mencintaiku. Demi memperkuat
keutuhan dan kesucian cintaku, aku akan selalu mencoba menjadi yang terbaik bagi kekasih
tercintaku. Karena aku sangat terlalu mecintaimu,” bisik Christian begitu mendalam.
Muslim menatapnya lekat. Ada keharuan yang bersenandung di hatinya. Betapa tulus
dan sucinya niat cinta Christian untuknya.
“Christ!” seru Muslim lembut.
Christian memperlambat laju mobilnya hingga akhirnya menepi di pinggir jalan dan
berhenti. Christian menoleh Muslim. Ia tersenyum begitu tulus. Lalu ia gerakan tangannya
meraih jemari tangan Muslim. Kemudian digenggamnya dengan lembut.
“Sayangku,” bisik Christian sambil mencium jemari tangan Muslim yang dalam
genggamannya. “Apa yang kau pikirkan? Apa kamu masih meragukan cintaku?”
“Aku terharu mendengar semua perkataanmu. Mengapa bisa kau sampai sebegitu
dalamnya mencintai aku? Apa kau yakin aku bisa membahagiakan hidupmu?”
“Terlalu dalamnya perasaan hatiku tak mungkin sanggup kamu menyelaminya. Aku
juga tidak mengerti mengapa sampai begitu beratnya cintaku padamu. Tapi aku yakin
sepenuh keyakinanku, kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tak mungkin sanggup
bila harus kehilanganmu. Kali inipun aku mengajakmu jalan karena aku merasa berat hati bila
harus melepasmu pulang ke rumahmu. Aku tidak mau berpisah denganmu sekejappun. Aku
ingin selalu bersamamu. Menyertaimu. Aku harap kamu mengerti perasaanku. Jangan pernah
pergi untuk meninggalkan aku … ya, sayang. Aku berjanji akan selalu melindungimu.
Menjagamu. Saat tidur dan terjagamu. Aku akan siaga sepanjang waktu, demi kebaikanmu,”
Christian mencium kening Muslim penuh kasih dan kemesraan.
“Terima kasih!” bisik Muslim menyandarkan kepalanya ke pundak Christian.
Christian memelukan tangannya mendekap tubuh Muslim. Ia sandarkan pipinya ke
kepala Muslim yang menyender di pundaknya. Tangannya mengelus rambut Muslim dengan
penuh kelembutan. Muslim menggerakkan tangannya meraih tangan Christian yang
memainkan rambutnya itu. Lalu ia mendongakan wajahnya menghadap wajah Christian …
Di tatapan sorot matanya ia titipkan pesona riak jiwanya yang indah … Riak arus air telaga
cinta yang tertebak sepoi semilir lembut angin surga …
 
3   ‘cemburu dan pengertian’
 
 
      Suasana siang hari di rumah makan khas Sunda. Rumah makan dengan artistik model
saung beratap rumbia yang menghadap ke sebuah kolam ikan yang cukup luas. Di atas dipan
yang terbuat dari bilik bambu terduduk Christian dan Muslim sedang melahap sajian makan
siang. Keduanya begitu menikmati romansa siang ini. Keduanya menghadap ke kolam,
menyaksikan panorama alam yang cukup indah. Pepohonan yang tumbuh rindang di tepi
kolam daunnya meliuk-liuk tertebak angin. Tidak ada orang yang memancing siang ini. Ada
juga sepasang remaja yang sedang asik bercanda di bangku kayu dibawah pohon jambu air.
Sambil mengunyah Christian mengajak Muslim berbicara,
            “Apa rencanamu untuk masa depan kita?”
“Mencari solusi yang terbaik,” jawab Muslim.
“Kamu menginginkan aku menjadi seorang muslim?”
“Buat apa?”
“Menyamakan keyakinan kita, kalo kamu merasa keberatan untuk masuk agama
Kristen.”
“Aku tidak akan mengajakmu untuk menganut agama Islam. Begitu juga aku sangat
tidak mungkin untuk menyembah patung Jesus.”
“Lalu? Kita jalani saja agama kita masing-masing? Apakah kamu tidak akan merasa
terbebani dengan perbedaan ini?”
“Aku ingin kejelasan tentang agamamu. Begitu juga kau harus paham tentang ajaran
agamaku.”
“Kita memegang dua agama? Aku merasa kurang setuju. Soalnya jangankan untuk
memegang dua keyakinan Kristen dan Islam. Kristen saja satu aku sudah semrawut sekali.
Apalagi dua!”
“Bukan itu maksudku. Kita menyatukan keyakinan kita. Memadukan hukum Kristen
dengan Islam.”
“Sampai sedemikian jauhnya pandanganmu. Apa tidak akan memicu perselisihan
sengit antar agama kita? Menurutku lebih baik aku yang pindah saja menganut agama Islam.
Kita bersatu memperjuangkan hak kita dalam Islam.”
“Justru itu yang tidak aku inginkan.”
“Kenapa? Bukankah orang Islam akan merasa bangga ada orang Kristen menjadi mau
balaf...”
“Mau balap?” Muslim heran.
“Ya, orang yang baru masuk Islam.”
“Mualaf!?”
“Heeh. Maksudku juga itu. Setidaknya itu akan lebih baik. Apalagi buatku, mungkin
aku akan belajar menjadi orang yang baik. Karena sebenarnya aku sangat memuji ajaran
Islam yang memiliki penataan aturan hidup yang sangat terperinci sekali dari hal-hal yang
paling kecil sampai yang sangat besarnya yaitu alam semesta raya ini,” Christian memberikan
pertimbangan.
“Kamu boleh memuji dan menilai apapun tentang Islam. Tapi satu hal yang harus
kamu ketahui, agama mana yang dalam kitabnya mengakui dan melindungi hak kaum
homoseksual?”
“Ya agama liberal. Baik Kristen ataupun Islam,” Christian sangat mantap.
“Apakah Budha liberal dan Hindu liberal juga sama pemahamannya?”
“Aku kurang tahu. Baru kali ini aku dengar Hindu dan Budha liberalnya juga. Aku
tidak pernah bersinggungan dengan agama dari bumi itu. Tapi mungkin juga iya. Soalnya itu
kan kitabnya sudah pasti buatan manusia bukan berasal dari mukzizat yang diwahyukan
Tuhan melalui malaikat. Jadi ada kemungkinan mereka dengan mudahnya mengubah-ubah
isinya.”
“Apakah kamu tidak kepikiran menganut ajaran Budha dan Hindu sebagai agama
nenek moyang suku bangsa Indonesia ini?”
“Aku kira tidak mungkin. Terlalu tua dan terlalu alamiah prosedur periketuhanannya.”
“Aku kira justru itu lebih baik. Apalagi buatmu yang menyetujui paham liberal.
Menurutku Budha dan Hindu itu adalah basic sebuah misi liberalism. Agama yang terlahir
dari puncak kesuciannya seorang manusia dalam mengkaji diri. Kitab penuh teladan yang
terpuji yang tercipta lewat tangan manusia. Pemahaman jati dirinya dengan sang pencipta
melahirkan kesempurnaan hidupnya yang sangat arif dan bijaksana. Kesucian lahir dan
batinnya tidak semata tergerak karena rencana Tuhan. Tidak seperti Isa dan Muhammad yang
semenjak di alam ruhnya sudah berada dalam penjagaan Tuhannya. Sudah ada isyarah-
isyarah kenabiannya semenjak kelahirannya. Tuhan sudah memberikan pertanda-pertanda
khusus titel keagungannya. Juga diberi petunjuk dan dituruni wahyu dari langit tidak seperti
para pemuka agama bumi yang melahirkan agamanya atas dasar pendalaman pemahaman
terhadap pengalaman-pengalaman alam ruhiahnya. Atas kemurnian suci sukmanya. Lantas
mereka tidak mengagungkan dirinya sebagai Tuhan melainkan mereka menyampaikan
pemahaman tentang keTuhanan yang mana manusia ini hidup melalui proses sebuah Dzat
yang Maha Mencipta. Tidak juga mereka mengaku dan memproklamirkan kenabian atau
kerasulan atas kecemerlangan ilhamnya itu. Tidak seperti belakangan dalam Islam ada
beberapa kalangan yang mempublikasikan dirinya sebagai nabi. Sayangnya menurutku
tentang pengertian dewa-dewanya saja. Kalaulah memang matahari dan bumi ini dipegang
dalam kekuasaan dewa matahari dan dewa bumi, kenapa kita sebagai umat agama Islam dan
agama Kristen dibiarkan berkeliaran mengacaukan tempat kekuasaannya di atas bumi serta
sinar matahari yang sama dengan umat agamanya? Bukankah dewa itu Maha Kuasa sama
halnya dengan derajat Tuhan?
Sungguh dalam pemahaman ini aku kurang mengerti. Entah bagaimana sesungguhnya
bentuk kekuasaan Tuhan itu yang sebenarnya. Kalau saja Tuhan itu berbentuk matahari dan
bumi atau bulan, bintang dan menyerupai seantero yang ditampilkan secara konkrit di alam
semesta ini termasuk manusia seperti perwujudan Tuhanmu itu yaitu Jesus. Mungkinkah bisa
Tuhan seperti itu menyaksikan tingkah manusia dan seluruh makhluknya dengan secara
mendetail-detailnya tak terkecualikan perbuatan apapun yang dilakukannya itu? Bagaimana
mungkin bisa mengontrol dengan sedemikian sempurnanya. Mengatur keluar masuknya
nyawa, menciptakan jenis kelamin agar seimbang antara jantan dan betina. Atau mungkin
terlahirnya kaum homoseksual juga itu karena terjadinya kesalahan teknis saat Tuhan
menciptakannya. Ya, mungkin saja ketika pertama kali Tuhan membuat adonan kita ini
memang laki-laki. Tetapi karena terjadi kekeliruan atau kelupaan atau error system karena
saking sibuknya Tuhan itu malah meniupkan ruh perempuan pada kita. Atau sudah di kasih
ruh laki-laki sebelumnya lalu Tuhan malah ngisi lagi dengan ruh perempuan. Hingga nafsu
kita jadi dua hasrat.
Tapi semua itu aku kembalikan lagi pada imanku terhadap Tuhan. Aku yakin
Tuhanku Maha Kuasa. Sebab Tuhanku Maha Esa yaitu Maha Tunggal. Dia menciptakan
seluruh makhluk ciptaan-Nya tanpa harus beradu pendapat dulu dengan Tuhan lainnya. Dia
berkuasa menciptakan apapun yang dikehendaki-Nya. Termasuk menciptakan kita dengan
mental sex seorang gay. Lalu mempertemukan kita dengan rencana-Nya pula. Aku yakin ini
adalah peta hidup kita yang sudah Tuhan goreskan semenjak awal kehidupan kita bahkan
mungkin semenjak di alam roh.
Christ! …” Muslim menaruh piring bekas alas makannya.
“Heh!” Christian memandang Muslim penuh kekaguman. Sinar matanya tampak
teduh menyorotkan kadar jiwanya yang penuh damai.
Muslim membersihkan tangannya dengan air kocokan yang tersedia dalam baskom
kecil. Ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Ternyata tidak sesepi ketika ia dan Christian
tadi datang. Ada beberapa orang juga di sana yang sedang melahap makan siangnya.
“Apa aku tidak sampai meresahkan mereka ya?”
“Biarlah itu malah bagus. Biar mereka lebih ngerti lagi. Juga mereka bisa menerima
kita. Menurutku paham kamu itu membuat aku lebih luas lagi memaknai arti keTuhanan. Aku
salut pada daya pikirmu yang cenderung terbuka memahami latar belakang sebuah
keyakinan. Tidak seperti keortodokan para pemuka agama yang jika kita nanya berlebihan
karena demi lebih meyakinkan keimanan kita, mereka malah memutuskan perdebatan dengan
kilah; sudahlah kita percaya saja, kita yakini saja apa yang agama kita ajarkan, jangan terlalu
mempertanyakan sesuatu yang akhirnya hanya akan membuat kita tidak diakui sama Tuhan
kita. Emangnya Tuhan itu membatasi dirinya di mata umatnya? Berarti Tuhan itu cenderung
menutupi kekurangan-Nya. Tidak transparansi. Lalu kenapa mesti ngasih otak buat ngakal
kalo Tuhan tidak mengizinkan manusia buat berpikir?”
“… kamu sudah makannya?” Muslim meraih segelas teh lalu mereguknya.
“Kamu sudah? Kok dikit banget. Kamu kalo ngomong nyampe bisa ngenyangin perut
ya?” celoteh Christian mengakhiri santapannya.
“Aku ingin ngobrol lebih banyak lagi sama kamu,” Muslim mengudar duduk silanya.
“Disini saja. Kenapa?”
“Enggak. Gak enak sama orang-orang yang diluar pemahaman kita.”
“Lantas mau dimana? Atau kita nyari tempat yang sekiranya bisa bikin hepi kita?”
“Cepatlah!”
Christian membersihkan tangannya. Lalu mengambil tissue serta menanyakan harga
dan membayarnya. Setelah minum kemudian keduanya keluar.
“Mau kemana sekarang?” Tanya Christian segera.
“Kita nyantai di pinggir kolam. Kayaknya enjoy bisa lebih memfreshkan pikiran kita
demi segera mengambil keputusan apa buat kelanjutan kita,” tutur Muslim.
Sebuah sedan merah berhenti di samping mobilnya Christian yang terparkir dibawah
pohon akor.
“Kalo gitu aku ambil dulu minuman sama snack ya,” Christian segera balik ke dalam
rumah makan dimana menyediakan jualan jajanan ringan dan minuman dingin.
Muslim memperhatikan sesosok cewek Korea yang keluar dari sedan merah tua
metalik itu. Sendirian. Cukup seksi juga penampilannya. Tapi gak apa sesuai dengan bentuk
tubuhnya yang seksi juga. Cukup cantik. Biarpun ia tidak tahu dari sudut mana menilai
kecantikan seorang wanita. Lagipula ia tidak begitu menyukai perempuan bermata sipit.
Entah kenapa. Namun yang jelas perempuan itu menarik saja dalam pandangannya. Apalagi
mungkin dalam pandangan cowok normal! Cewek berambut pirang diikat itu melewati
Muslim segera memasuki rumah makan.
“Hai…!”
Muslim menoleh pada gadis itu. Christian sedang dirangkul oleh cewek tak dikenal
itu. Lagi-lagi ia diciumnya begitu hangat. Muslim mengalihkan pandangannya seraya
melangkahkan kakinya beranjak pergi.
“Hai, tunggu!” panggil Christian.
Muslim tak menyahut ia terus saja berjalan menuju kolam. Christian segera berlari
mengejarnya. Tidak memperdulikan cewek Korea itu berteriak memanggilnya.
“Mos, tunggu dulu dong,” Christian mendekat.
“Namaku Muslim bukan mouse atau tikus,” Muslim menimpali dengan ketus.
“Sory, sory! Jangan ngambek gitu dong. Maksudku bukan mouse is tikus but Moses is
Musa. Kan aku memuji namamu yang agungnya laksana tahta kerasulan. Atau most is paling
sangat sekali atau lebih fokusnya mos sebagai panggilan Muslim in English it’s Moslem.
Panggilan-panggilan yang indah dan bersenandung do’a, kan ?” Christian mengklarifikasi
maksud omongannya yang sudah sembarangan saja memanggil Muslim dengan sapaan Mos
tanpa persetujuannya dulu hingga Muslim tampak bermuram durja dibuatnya. 
Muslim tak berkomentar. Setelah menemukan tempat yang dirasa cukup nyaman.
Muslim lalu duduk di bawah pohon gandaria yang lagi rekah bunganya yang sungguh indah
sangat elok menawan. Christian pun segera ambil tempat disampingnya. Di atas akar pohon
gandaria yang muncul ke permukaan tanah. Tempatnya sangat teduh. Angin selatan semilir
menghanyutkan rasa sejuk dari pesona air kolam yang tenang. Rumpun ilalang bergoyang
seiring bunganya yang putih menari-nari riang. Segerombol kupu-kupu beterbangan di
angkasa mengecup pujaan hidupnya, bunga gandaria yang jelita. Bunga-bunga indah yang
menjadi cermin kepribadian jati dirinya. Tak pernah berubah sejak pertama kali tercipta
sampai saat ini, serangga manis bersayap indah itu selalu dan selalu saja mencintai bunga-
bunga!
“Kamu pemuja alam,” ujar Christian tidak begitu diketahui jelas motif perkataannya.
Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan ataukah komentar.
“Menyatukan diri dan perasaan dengan alam itu merupakan cerminan sebuah jiwa
yang mempunyai pertimbangan seimbang pada hidupnya,” tanggap Muslim.
“Most, maafkan aku ya!”
Muslim melirik Christian heran.
“Kamu jangan mencemburukan aku dengan cewek barusan itu ya,” tukas Christian
memperjelas.
“Aku ngucap syukurlah kalo kamu memang masih normal. Ngapain juga jadi gay
yang mesti ribet cari pengakuan hukum?” tanggap Muslim dengan masam.
“Kamu marah ya? Aku ngerti kalo kamu cemburu. Aku juga ngerasa kalo kamu kesel
melihat aku barusan itu. Tapi bener bukan aku yang sengaja ingin dipeluknya. Aku juga
terkejut saat tiba-tiba saja dia merangkulku. Kalo tidak sadar inginnya aku memaki-maki dia.
Memarahinya dan memukulnya ketika melihat kamu spontan bersikap gitu,” Christian
mencoba menjelaskan.
“Aku gak apa-apa. Sudahlah. Percuma saja aku mencemburukanmu. Kita netral saja.
Aku tidak ingin pikiranku kacau hanya gara-gara masalah sepele begitu. Jikapun kamu mau
ngelacur dan pesta sex di depan mataku. Kenapa mesti repot-repot negangin otot syaraf?
Silahkan saja selagi kamu emang suka. Emangnya situ siapanya aku? Aku merasa gak terlalu
berkepentingan denganmu. Aku lebih kenal sama kamu juga bukan karena keinginan aku.
Kalo aku emang kamu butuhkan mungkin kamu bisa bersikap lebih baik lagi padaku. Jikapun
aku sudah tidak kamu perlukan, apa susahnya aku pergi dari kehidupan kamu?” Muslim
berlaga ketus sekali sambil meraih teh botol yang ditaruh Christian di depannya.
“Most cintaku. Kamu jangan ngomong gitu dong. Aku jadi sedih. Aku akui aku
memang salah kenapa aku tidak menghindar ketika berpapasan dengannya,” Christian
menyesalinya.
“Christ percayalah kepadaku. Kebersihan hatiku menerima cintamu tidaklah mungkin
semudah itu ternoda dan terkotori hanya karena sebuah pelukan dan ciuman seorang gadis.
Kalo kamu memang gay sejati, niscaya hasrat sex kamu tidak sampai bangkit karenanya
kan?”
“Aku memang pernah melakukan hubungan sex dengannya.”
“Benarkah? Kok bisa?”
“Ketika aku sedang merayakan pesta sex bersama untuk syoting video porno versi
Korea. Aku bertemu dengannya di  Ancol waktu aku baru balik dari Amerika. Aku terkejut
juga ketika pertama kali bertemu dengannya. Dia berani sekali menghampiriku dan
mengajakku kenalan serta ngobrol. Padahal aku kan hanya memakai celana dalam saja karena
sedang asyik renang. Diapun sama memakai bikini. Karena kenalan kami memang di kolam
renang. Aku yang muncul setelah menyelam tiba-tiba saja dia merangkulku. Aku diam saja di
peluk dan diciumnya. Karena menurutku itu sesuatu yang wajar. Budaya kehidupanku juga di
Amerika berada ditengah masyarakat yang berbudaya bebas.
Namanya Naomi Lie. Dia bicaranya blak-blakan banget. Dia jujur saja. Dia itu
memang wanita penghibur. Tapi bukan pelacur pinggir jalan. Atau yang biasa nongkrong di
tempat-tempat hiburan. Mungkin pelacur elit. Pelacur kelas atas.”
“…kalau dia pelacur sekelas eksekutif. Kenapa bisa dia langsung terang-terangan
ngomong sama kamu?” Muslim membuka snack kacang garuda.
“Dia yakin kalo aku seorang cowok freesex. Dari penampilan tubuhku yang kebule-
bulean dan banyak bertato juga pake anting. Dia menawariku sebuah kencan. Dia
mengajakku ikut bermain dalam skenario garapan produsernya. Aku pikir kenapa enggak.
Apalagi ketika ia tahu aku seorang gay. Drama porno itu justru 90 % homo. Adegan bercinta
beberapa pasangan gay berpesta di tengah romantika beberapa pasangan lesbian dan bisex.
Aku langsung cabut ikut dengan rombongannya menuju sebuah perumahan elit yang
dihuni anak keturunan Korea. Disana sudah ada beberapa cowok-cewek yang lumayan cakep
berparas campuran Indo-Korea yang siap bermain. Maka malam harinya terjadilah syoting
pesta sex gila-gilaan yang baru pertama kali aku ngelakuinnya. Payahnya ketika aku harus
berhadapan dengan Naomi. Sebagai adegan pembuka film. Aku harus bermesra dan bercinta
sehebat mungkin dengannya. Untungnya aku sembari menyaksikan adegan gila gay-gay
hingga nafsuku bangkit dan kuat bertahan sampai Naomi ke puncak kenikmatan orgasmenya.
Semenjak itu seminggu sebelum ia kembali ke Korea untuk menandatangani kontrak
barunya, ia sering mengajakku untuk kencan meskipun ia tahu kalo aku seorang gay. Tapi
sebelum ia mendapatkan kepuasan sex denganku, ia diteror kekasihnya untuk segera kembali
ke Korea perihal pematangan lakon drama semi sex yang akan dimainkan bersamanya.
Sekarang ternyata dia ada di Indonesia. Setelah hampir tiga tahun aku tidak bertemu
dengannya,” Christian menutup kisahnya sambil meraih botol bir serta ditengggaknya lalu
mengambil sebatang rokok dan disulutnya.
Muslim memandangi sosok Christian yang duduk di sampingnya. Christian
memalingkan mukanya dari tatapan itu. Terlalu kuat aura jiwa Muslim menggugurkan pribadi
kekerasan jiwanya. Getar ketakberdayaan menyudutkan Christian dalam luruh hatinya. Ada
sinar cinta yang terpancar terlalu terang dari sorot mata cowok ganteng asli Indonesia itu
hingga menyilaukan seluruh fokus mata Christian untuk memandangnya. Christian menghela
nafasnya sambil berujar penuh kenaifan dirinya,
“Maafkan aku Most. Aku mengakui segala kehancuran moralku selama ini. Mungkin
aku memang tidak sesuci dirimu. Tapi alangkah besar harapan ini untuk menuju kebaikan
hidup hingga dapat sejalan dengan arahmu. Aku yakin jika aku menjadi kekasihmu aku akan
lebih baik dari sekarang dan masa laluku. Aku berjanji aku akan menjadi pasangan hidupmu
yang setia.”
“Bagaimana aku bisa percaya pada orang yang telah tidak dipercayai lagi oleh
agamanya?”
“Please, my heart. Help me! You must believe me!” Christian menatap Muslim penuh
pengharapan yang mendalam.
“OK! Kali ini aku bukan hanya sekedar saksi atas ucapan janjimu. Tapi pula adalah
sebagai saksi sejarah perjalanan hidupmu mulai saat ini, disini, di tempat ini, sampai nanti
diakhir kebersamaan,” tegas Muslim penuh pesona wibawa seorang Pastor atas sumpah
hamba tuna kasih Syibhinya.
“Thanks, my romanc sweety. I love you so much,” Christian berseri-seri serentak
merangkul Muslim serta menciumnya sepenuh rasa cinta terhadap hidupnya. Seperti yang
tiada kebosanan cinta itu mencumbu jiwanya. Selalu saja menghadirkan detak hasrat disetiap
jengkal langkahnya. Mengabadikan kenikmatan dalam desir darahnya. Menggemakan gaung
kasih disetiap degup jantungnya.
Suasana siang hari yang tenang. Cuaca musim yang cukup cerah. Menitikan cahaya
cintanya yang terenggut nafsu dalam sketsa buramnya yang kian memudar. Adakah harkat
mereka begitu agungnya dalam data sang para pencatat peraturan siklus kehidupan?
Naomi Lie segera menghentikan langkahnya. Dipandangnya sepasang kekasih yang
sedang bercumbu itu. Ada gelora kecemburuan berkecamuk di dadanya. Rasa iri yang begitu
tingginya atas keromantisan pasangan itu. Rasa panas yang segera ingin ia mendinginkannya
dengan memadamkan bara cinta yang berkobar diantaranya.
“Christan!” panggil Naomi Lie dengan cukup kencang membuat Christian dan
Muslim yang sedang bercumbu itu terkejut setengah mati seraya saling melepas diri dari
terali nafsunya.
“Rupanya kamu! Kirain siapa?” Christian ketus menampakan sikap
ketidaksenangannya atas penampakan Naomi Lie di moncongnya.
“I miss you!” Naomi Lie tersenyum hangat.
“Sory, I no like to meet you,” Christian menjujurkan perasaan hatinya.
“Okay! I am understand with your feel now.”
“But you … !? Why do you still this place?” Christian kereng.
“Maybe … I’m jelouse!”
Christian menoleh Muslim. “He is my love,” aku Christian tegas.
“Ow…!!? I’m sory. I think someone a …”
“Is better you go,” pinta Christian dengan lembut.
“If you a … kalian a … apa salahnya kita berkenalan teman? Apa itu tidak lebih
baik?”
Christian kembali melihat reaksi Muslim.
“Gak apa-apa. Aku senang,” ujar Muslim tulus.
“Kenalkan, Naomi Lie. Panggil saja Lie,” kenal cewek Korea itu mengulurkan tangan
pada Muslim.            
“Muslim,” Muslim menjabatnya.
“Muslim!?” Lie tampak heran.
“Ya. As-Shidiq Muslim. Kenapa?” Muslim balik merasa heran pada cewek itu yang
mengherankannya.
“Kok bisa jalan sama Si Christan? Kamu kan Islam?” selorohnya sambil duduk di atas
rumput di dekat mereka.
Muslim memandang Christian. Lalu jawabnya, “Lantas kenapa Christian yang Kristen
mau jalan denganku?”
“Benarkah kalo kamu itu homo?”
“Tidak salah, kan?”
“Apa Mohammed no problem with you?” Lie menatap Muslim serta
mereguk avocado juicenya.
“Emangnya kamu percaya Muhammad itu bertauladan baik?”
“Enggak juga.”
“Lho!?”
“Buktinya kalau Mohammed itu tidak baik sungguh jelas dalam coretan pena karya
tulisnya Koran yang menyatakan bahwa Isa sebagai Tuhan dan Rasul terakhir itu keliru. Lalu
menyatakan bahwa dirinya Nabi akhir zaman yang diutus Alah buat Kaum Bodoh. Padahal
Nasrani dalam Alkitabnya tidak menyinggung-nyinggung masalah kebiadaban Mohammed.
Kalau Mohammed itu bener utusan Tuhan, dia pasti diberi cahaya terang dari surga agar tidak
memicu permasalahan. Lagipula kalopun emang Nabi, dia kan diperuntukan buat Kaum
Bodoh bangsa Arab. Kenapa mesti ngotot memaksakan agamanya pada jemaat selamat Jesus
yang berpikiran terang cahaya Alah?”
Muslim tersenyum. “Gimana Christ? Kamu siap mendebatnya?”
Christian melirik Lie dan bertanya padanya. “Kamu yakin agamamu itu paling baik?”
“Kamu ragu? Apa kamu tidak melihat tragedy dunia juga yang terjadi di negeri ini?
Mohammed telah menggerakan umatnya dengan seruan dalam bukunya Koran itu bahwa
Tuhannya menyerukan Islam untuk menyebarkan dan membela agamanya. Hingga
berseliwerannya teroris disana sini membumihanguskan dunia dengan bom bunuh diri.”
“Aku yakin kalo kamu bukan seorang umat Jesus yang paham betul ajarannya,” tukas
Muslim memperangahkan Lie dalam ketidakenakan perasaan hatinya.
“Bagaimana kamu tahu sampai menuduh aku sedemikian sadisnya?” Lie menuntut
keadilan Muslim.
“Dari cara menuduhmu yang juga sedemikian sadisnya terhadap umat Islam. Kamu
sudah seberapa jauh dan seberapa mendalaminya kandungan paham yang tersirat dalam kitab
suciku?”
“Sejauh pendapat para pakar agamaku,” Lie sangat yakin.
“Kamu pasti terinspirasi hujatan terhadap Islam dalam film Fitna buatan Belanda itu
kan? Aku tahu siapa kamu. Kamu itu tak lebih dari hinanya seorang pelacur liar. Kamu
beragama Kristiani karena darah orang tuamu. Agama keturunan saja. Kalo kamu menganut
agamamu itu sesuai keyakinan yang sangat kuat atas dasar nuranimu, kamu pasti akan
menjaga image pribadimu. Karena aku yakin, Injil tidaklah berbeda dengan Al-Qur’an yang
menyantunkan rohani dalam kekudusan. Karena itu aku melihatmu dengan pandangan yang
sangat-sangat hambar sekali. Tidak berselera debat soal agama dengan orang yang bobrok
dan sama sekali nol pengetahuannya perihal agamanya sendiri. Percuma kamu menjelekkan
Islam dan membanggakan Kristen juga jika kamu hanyalah jadi simbol kekotoran dan
kejalangan agamamu saja. Kau kira Tuhan Bapakmu senang kamu mengikuti tindak lacur
yang dilakukannya terhadap Maria? Sadar dong, kamu tidak sesuci Maria. Kamu bukannya
bakal dinikahinya, melainkan jadi arang buat menghangatkan tubuh Jesus yang kedinginan
dalam tiang penyaliban,” Muslim mengatai Lie sesuka hatinya.
Raut muka Lie kian merah padam. Ada kecamuk dahsyat yang membakar jiwanya.
Betapa tidak menghancur leburkan harga dirinya perkataan Muslim seperti itu yang juga
sangat melecehkan terhadap tahta keagungan Tuhannya.
“Muslim! Kau pikir perilakumu itu suci dan menjaga image agamamu? Emangnya
homoseksual itu tauladan Mohammed yang diserukan pada umatnya? Sudah poligami
ngerendahin harkat kaum perempuan. Dalangnya teroris lagi. Ditambah makin hinanya
dengan berhubungan antar sesama kelainan sex menyimpang!”
“Tunggu dulu Putri Tiong Hoa yang cantik. Adakah gerangan Putri Salju sedang
terbakar api amarah? Biarkan hamba menumpas biang keladi amuk jiwa Sang Putri,” Muslim
berdiri lekas melakukan kowtow di depan Lie dengan penuh hormat.
“Lebih baik kita berangkat sekarang,” Christian ikut berdiri.
Lie jadi tertegun sendiri melihat Christian bersiap-siap beranjak pergi.
“Hai Putri yang jelita. Jika kamu orang Indonesia yang beragama Islam dan tinggal di
Aceh. Kamu pasti tahu kejadian pasca Tsunami  yang meluluh lantakan kepulauan Aceh.
Apakah kamu masih akan membaikkan agama Kristen yang telah menteror umat Islam secara
halus dengan gerakan Kristenisasi masa lewat pengorbanan harta benda sedemikian banyak
juga pendidikan yang berkedok Islam? Untungnya umat Islam yang berhasil agamamu rekrut
itu adalah umat Islam yang sudah kedaluarsa. Aku ucapkan terima kasih atas agamamu yang
sudi memungut sampah yang tidak berguna buat nambah koleksi betapa kotornya agamamu,”
Muslim pun seraya berjalan bergandengan tangan dengan Christian begitu mesranya
meninggalkan Lie yang melongo …
 
4   ‘RASA CINTA
 
MENGALIR APa ADANYA’
 
“Gimana kalo malam ini kamu nginep di rumahku?”
“Aku merasa gak enak sama keluargamu.”
“Bukankah kamu yang sengaja meng-isme pemikiran ibuku?”
“Emangnya kamu setuju atas paham ibumu?”
“Jangan berlaga jadi orang bego kalo kamu ingin lama berhubungan denganku.”
“Kamu galak juga.”
“Christ. Sebelum kamu menyesal akhirnya, lebih baik kamu pertimbangkan dulu. Aku
beri kesempatan padamu untuk lebih memahami karakterku. Aku jujur saja orangnya keras.
Tidak secool yang kau lihat. Jangan sampai penglihatanmu terbodohi dengan penampilanku.”
“Aku sudah yakin akan pilihanku. Aku akan bertahan menjadi pasanganmu. Kalo
kamu benar mencintaiku, aku berani melawan tantangan keluargamu seandainya mereka
tidak setuju dengan hubungan kita.”
“Aku salut padamu. Seandainya perasaan cintamu itu lurus sejalan alur cinta yang
Tuhan arahkan untuk sesosok perempuan. Mungkin akan lebih mulia hidupmu. Tidak seperti
mencintaiku yang bagaimanapun tulus dan sucinya tetap saja mengarah pada jalur cinta yang
salah.”
“Aku gantungkan seluruh angan dan harapanku di tingginya nuranimu.”
“Kita berjuang bersama memupus kekeliruan firman Tuhan di benak manusia demi
menuju bahtera cinta yang sangat agung yang senyatanya adalah kehendak Tuhan semata.”
“Most, aku sangat yakin sekali kalo kamu bisa menjadi figure penerang bagi manusia-
manusia yang sesat pemikirannya. Diperkuat lagi dengan ilham-ilham cemerlang ibumu yang
sangat ingin memanusiakan manusia. Yang ingin menyamakan kedudukan derajat manusia
dari sisi gender serta dalam pandangan Tuhannya.”
“Mungkin kamu tidak pernah tahu asal mula tercetusnya pengakuan ibuku terhadap
pemberdayaan kaum homoseksual yang berdalih diatas nama besar agamanya itu.
Sebenarnya bukan semata karena ide-ide konyolmu saja yang menjadi landasan ibuku
memproklamirkan fatwa hebatnya yang langsung disambut meriah pesta syukuran kaum
homosek Indonesia itu. Tetapi berawal dari dorongan batin atas latar belakang keluarganya
termasuk aku.
Kamu benar. Dan aku tidak harus memungkirinya lagi kalo aku memang seorang gay.
Kisah kesukaanku terhadap sesama jenis ku rasa tak jauh beda dengan latar belakangmu.
Waktu aku SD aku tinggal bersama nenek-kakekku di desa. Sebagai anak desa aku tidak
memiliki kebebasan penuh dalam pergaulan. Nenek-kakekku memberikan batasan-batasan
tertentu. Aku tidak boleh main berkeliaran dengan anak-anak desa lainnya yang tidak teratur
dan nakal-nakal.
Nenekku menitipkan aku pada seorang kiai agar aku mendapatkan didikan agama
darinya. Aku senang sekali dapat mengaji dan bergaul dengan anak yang lain. Meskipun
hanya sebatas sore menjelang maghrib hingga ba’da isya nenek-kakekku memberikan
izinnya. Sepulang mengaji aku harus belajar mata pelajaran sekolah, agar prestasi baikku di
sekolah tidak menurun. Hanya malam minggu aku punya waktu untuk menginap di
pondoknya Bapak Ustad. Dan semalam dalam satu minggu itulah yang menjadi ukiran
sejarahku untuk terjun ke dalam lautan berahi homoseksual.
Sudah penampilanku sejak kecil tampil rapi dan bersih menyumbang nilai tambah
yang sangat besar buat fisikku yang berparas tampan. Terlebih kesopan-santunanku yang
menjadikan semua orang segan terhadapku. Siapa orangnya yang tidak menghormati aku.
Sudah terlahir sebagai cucu orang kaya. Anak dari keluarga yang berpendidikan tinggi.
Mempunyai sifat yang terpuji lagi. Juga otakku cerdas. Pokoknya karismaku sangat begitu
besar pengaruhnya bagi teman-teman sepengajianku. Tak hanya teman sebaya dan yang
dibawah umurku. Kakak-kakak seniorku seolah menteman emaskan diriku dari teman-teman
yang lainnya. Aku bangga sekali dan selalu merasa betah jika berada di pondok.
Usiaku baru sebelas. Baru kelas 5 SD. Kegantenganku sudah begitu jelas tercermin.
Hingga bukan hanya santriyat saja yang suka padaku, melainkan guru ngaji serta semua
orang sayang padaku. Aku maknai semua itu sesuatu yang wajar. Tapi, aku tidak tahu persis
apa yang terjadi di malam minggu itu. Yang aku ingat, aku terjaga dari tidurku dalam pelukan
seorang kakak seniorku yang tangannya asyik mempermainkan kemaluanku.
Aku yang polos. Tidak tahu apa maksud kegiatan pemuda yang biasanya berlaku
tegas pada setiap santri lainnya itu. Aku menoleh wajahnya yang rapat menghembuskan
nafasnya di telingaku. Cahaya remang bulan yang menerobos masuk jendela kobong cukup
buatku mengenalinya meskipun samar. Bibirnya tersenyum dengan matanya yang menatapku
tajam. Lalu wajahnya mendekat seraya hidung mancungnya menyentuh pipiku. Dia
menciumku dengan sentuhan bibirnya yang lembut. Jantungku berdetak. Entah apa yang aku
rasakan. Aku tidak tahu karena itulah kali pertama aku mengalaminya.
Dia bangun seraya meleletkan sarung yang aku buat menyelimuti betisku dari gigitan
nyamuk. Begitu juga kian meleletkan celanaku yang sudah ia melorotkannya entah sejak
kapan. Mataku mengitari keadaan kobong. Aku heran kok di kobong itu hanya tinggal aku
berdua dengannya. Bukankah semula aku tidur berhimpitan dengan kawan-kawanku.
Ternyata itu memang bukan kobong dimana aku pertama memejamkan mata. Itu kobong
pribadi dirinya tertangkap samar di mataku dari tulisan yang tertera di balik daun pintu
kobong yang tertutup rapat; Natrak.
Entah sudah berapa jam ia setia mempermainkan kelaminku yang terbilang masih
sangat kecil sesuai tingkat masa pertumbuhanku belum mengalami perkembangan sex masa
puber. Kelaminku yang tegang itu dengan tanpa rasa jijik Natrak mengulumnya.
Menjilatinya. Serta terus mempermainkan lidahnya memberikan rangsangan tersendiri pada
syarafku. Aku sedikit meringis-ringis merasa geli ditengah desir lembut kenikmatan sambil
sesekali terpekik kecil karena kaget saat giginya itu menekan seolah ingin menggigitnya.
Laganya yang berwibawa dengan sikapnya yang romantis. Natrak menyingkap
bajuku. Lalu ia menyentuh puting susuku. Dan, iapun mengulumnya membuatku tak tahan
geli segera menggerinjal. Tapi tenaga remajanya yang lebih kuat enam tahun dariku,
meneraliku untuk bertahan sambil berbisik meyakinkanku bahwa itu adalah sebuah
kenikmatan. Aku luluh dalam rangsangan mautnya. Karena memang aku merasakan
kenikmatan yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Rasa senang yang tak terhingga
indahnya.
Natrak sungguh mengagumkanku. Aku memujanya. Diantara senior-senior yang lain
aku lebih senang dibimbing ngaji olehnya. Hingga akhirnya aku berani nginap di pondok
meskipun bukan malam minggu juga dengan izin dulu tentunya dari nenek-kakekku beriring
buku pelajaran harus ikut serta dibawa untukku menghapal dan mendalami pelajarannya.
Asyiknya Natrak sangat perduli sekali padaku. Ia sedia menemaniku belajar sambil ia belajar
menelaah kitab-kitab. Tak jarang ia memberiku masukan-masukan juga penambah semangat
dengan pengalaman sekolahnya dulu dimana ia juga adalah seorang juara kelas sepanjang
SD-nya.
Dan akhir dari semua itu kami berujung pada permainan sex! Akupun dengan senang
hati mempraktekan segala apa yang telah ia ajarkan padaku. Kami saling melumat bibir.
Saling mengulum lidah. Juga saling menggigit mesra. Lalu menjilati dadanya serta
mengulum puting susunya hingga ke bawah sampai di titik pusat organ sensitifnya. Kepalaku
naik turun seiring mulutku yang dipenuhi penis Natrak yang kurasa terlalu besar
dibandingkan dengan kelaminku yang hanya sebesar jempol. Itupun tidak semuanya masuk
karena aku suka keselek dibuatnya bila ia terlalu menekannya oleh sebab saking panjang
ukurannya. Setelah usai sampai spermanya keluar dalam mulutku, baru aku mendapatkan
giliran. Kami melakukannya bergantian dengan penuh nafsu. Itulah kisahku yang terus
berlanjut hingga kelas 6. Dan tanpa disadari pertumbuhanku sangat boros. Aku mengalami
perkembangan yang pesat. Termasuk kelaminku yang kian membengkak seiring tumbuhnya
bulu-bulu halus di sekitarnya juga kumis dan bulu betis. Sungguh saat itu kami menikmati
malam-malam penuh romantika kenikmatan sex.
Lalu setelah aku melanjutkan sekolah tingkat pertamaku di Jakarta, tentunya selalu
saja bergelayut kerinduan yang sangat dahsyat terhadap kampung nenek. Hingga seringkali
aku ke desa tanpa alasan yang jelas terhadap ayah dan ibuku. Kadang-kadang diluar
pengetahuannya, aku minggat bolos sekolah demi menemui sang panutan pemberi
kenikmatan.
Ternyata Natrak mungkin seorang bisek. Bukan hanya aku dan santri yang lain yang
menjadi sasaran pemuas seknya. Suatu malam ia juga pernah digrebeg warga atas sikap
senonohnya terhadap seorang santriyat yang dipanggil orang sebagai kekasihnya. Lebih
parahnya, belum beres kasus itu Natrak membuat lagi ulah menjamah putra ustadnya.
Menjinahi duburnya hingga ketika pagi anak ustad itu merasa malu dengan basah dan bau
menjijikan sperma di selangkangan dan pantatnya. Maka hancurlah riwayat Natrak sebagai
santri di pondok pesantren itu. Natrak diusir sang ustad karena sudah banyak memalukan
nama besar keluarga pesantrennya. Natrak pun pergi beriring caci maki masyarakat terhadap
akhlaknya yang keji.
Kejadian itu membuatku stress. Natrak sudah tidak mungkin lagi dapat ku temui.
Katanya ia melanjutkan nyantrinya ke daerah kota. Aku tidak punya tempat untuk
mengadukan rinduku serta menyalurkan hasratku. Juga rasa sayang di hatiku membuat aku
merasa sakit dan terluka dengan penderitaan yang dialaminya. Namun dibalik semua rasa
yang berkecamuk di batinku. Aku mulai menyadari, bahwa perbuatan yang pernah aku
lakukan dengan Natrak itu ternyata adalah perbuatan yang menyimpang dari peraturan
agama. Buktinya siapa masyarakat yang sudi memperdulikannya. Kalau saja kasus itu sampai
ke telinga keluarganya yang tinggal berjauhan desa dengan pesantren itu, mungkinkah ia
akan mendapatkan pembelaan atas tindakannya itu? Ku rasa tidak. Jangankan berhubungan
sex menyimpang, berhubungan sex secara normal juga sudah haram hukumnya diluar ikatan
pernikahan. Apalagi ini, sudah berjinah ditambah menyimpang lagi dari aturan sexnya!
Akhirnya aku kembali pada kesadaran fitrahku sebagai lelaki. Aku harus menjadi
lelaki yang normal. Yang mencintai perempuan. Untuk apa Tuhan menganugerahkan
kelebihan-kelebihannya padaku kalau aku malah menyelewengkan harkat kemuliaannya aku
sebagai lelaki. Aku memotivasi diriku kuat-kuat sambil berusaha untuk berhubungan lebih
dekat dan sangat erat dengan faktor-faktor yang berazaskan motif kenormalan seorang lelaki
dewasa. Aku anak SMA. Begitu banyak siswi-siswi cantik yang melirikku. Mereka terpana
dan kagum atas pesonaku. Kenapa tidak aku memanfaatkan momen baik itu untuk
membangkitkan mentalitas kejantananku yang ambruk.
Ya, aku mencoba menjalin ikatan cinta dengan mereka. Tak tanggung-tanggung, tak
cukup satu-dua aku memacari mereka sekaligus. Pacar kemunafikanku. Karena aku tidak
punya nafsu cinta saat bersama mereka. Kencan-kencan yang hambar dimana aku selalu
merasa terpaksa untuk berlaga mesra dan romantis. Anehnya walaupun aku dijuluki teman-
temanku sebagai si playboy tingkat elit, cewek-cewek itu mau-maunya bertahan untuk
menjadi pacarku. Hingga timbullah masalah besar dengan pihak yang kontra akan
keplayboyanku. Aku terjebak oleh salah satu pacarku yang ternyata adalah seorang pelacur
yang biasa bertengger di hotel-hotel berbintang yang terjadwal di boking langganannya
orang-orang berpredikat eksekutif Indonesia.
Aku dijanjikan kencan oleh pacarku yang pelacur itu. Herannya dia begitu perhatian
serta tak segan-segan banyak mengeluarkan duitnya buat melengkapi perjalanan kencan. Di
dalam mobil yang ku bawa malam itu, di pinggiran alun-alun sebuah kota yang remang-
remang. Disitulah dia menjamahku dengan penuh goda dan rayuannya. Dia membuka
pakaian yang menutupi bagian-bagian vital area paling sensitive dari organ tubuhnya. Aku
langsung memaki dan menghardiknya sebagai pelacur jalang. Lalu dia malah mengancamku
bahwa dia tetap akan mengatakan aku dan dia telah berhubungan sex pada orang banyak
termasuk pacar-pacarku jikapun waktu itu aku menolak untuk bermesraan dengannya.
Tapi aku tidak ambil pusing dengan gertakannya. Aku tidak mau melayani permainan
berahinya. Hingga dia mungkin kecewa dan kesal padaku. Aku membiarkannya sendirian di
mobil. Aku menuju alun-alun. Aku berbaur dengan penonton yang lagi suka citanya dimabuk
kepayang hingar bingar meriahnya konser sebuah band yang baru naik daun. Dan disitu aku
bertemu dengan pacarku yang lain sedang asyik ngedance dengan Very cowok teman
sekolahku sendiri. Dialah cewek yang paling matre diantara pacar-pacarku. Namanya Monee.
Rupanya Very mengenali kedatanganku. Ia langsung menghampiriku dengan sikap
yang tidak bersahabat. Diluar kesadaranku, Very yang sedang mabuk berat langsung
memukulku. Monee yang mungkin sama mabuknya menarik Very untuk menjauhiku.
Sayangnya mereka sedang berada diluar kontrol syaraf normalnya sehingga keduanya yang
sedang berlawanan emosi itu terjatuh di tengah sesak gempitanya penonton. Aku kalut
sesegera mungkin menolongnya yang terpekik dan menjerit-jerit histeris terinjak-injak kaki
para penonton yang berjubel. Aku berusaha menyibakan penonton dan membantu mereka
untuk segera bangkit. Untungnya Very tidak begitu parah meskipun kakinya mungkin lecet
terinjak-injak kaki orang. Dengan tergopoh ia bangkit berdiri. Namun Monee, tubuhnya yang
terjatuh ke tanah itu langsung tertindih tubuh-tubuh penonton lain yang oleng dan tumbang
tertubruknya. Suasana jadi tidak menentu. Ada beberapa penonton yang ribut karenanya, ada
juga yang santai saja terpusat pada panggung hiburan yang kian melantunkan irama yang
menghentak-hentak.
Dengan susah payah aku berhasil membopong Monee keluar arena dibantu Very yang
malah merepotkan. Monee yang setengah sadar ku bawa menuju mobilku dimana Vegina
pacarku yang pelacur itu ku tinggal disana. Sungguh sesuatu yang sangat-sangat diluar
dugaanku sama sekali. Sesampainya di mobilku, aku langsung dihajar seorang lelaki tak ku
kenal hingga akhirnya aku pingsan.
Malam itu aku naas sekali. Aku baru sadarkan diri jam tiga dini hari. Aku dapatkan
diriku terkulai di jok depan mobilku. Mobil yang terparkir di tepi jalan yang sepi. Aku sudah
tidak mendapati siapa-siapa lagi. Monee, Very dan Vegina entah sudah pada kemana. Aku
tinggal sendiri dengan bibir bawahku yang pecah dan terasa perih seiring kepalaku yang
sangat tidak keruan sekali rasanya.
Dengan sangat memaksakan diri akupun segera mengendarai mobil menuju pulang.
Diperjalanan aku dicegat segerombol banci yang lagi pada jalan kaki sambil nunggu lewat
kendaraan umum untuk membawanya pulang. Banci-banci yang habis nonton konser band di
alun-alun itu. Yang kebetulan malam itu pada apes tidak menemukan pasien hingga kantong
mereka pada tipis tidak punya ongkos ojek buat balik ke sarangnya.  
Aku yang sangat perlahan menjalankan laju mobil tak bisa menghindar dari
kerubutannya. Hingga akhirnya akupun mempersilahkan mereka buat numpang di mobilku.
Dasar banci-banci edan yang lagi kelaparan kali, ke sembilan mereka berdesak memenuhi
mobilku serta pada berkelakar ingin di depan semua duduk disampingku. Dan yang berhasil
mendamaikan mereka serta mendapatkan duduk disampingku itu ternyata dia adalah
germonya. Perempuan tulen 60 tahun bergaya ABG dengan rambut putihnya yang pakai jepit.
Germo itu mengaku namanya Mrs. Pipanci. Ia sangat terkejut ketika mengenali
keadaan wajahku yang biru lebam dengan rona merah darah yang masih berbekas di bibirku.
Ia bergaya sok perhatian berperilaku lembut dan dengan sangat halus mengusap-usap raut
mukaku dengan tissue. Sungguh aku sangat alergi sekali apalagi ketika Pipanci merangkulku
dengan menyenderkan kepalanya di pundakku. Bayangkan perempuan peot 60 tahun, laksana
aku dipeluk kuntilanak saja sambil bergidik ngeri. Jangankan nenek-nenek setua itu, gadis
tercantik sekalipun kiranya tidaklah sanggup membangkitkan gairah sexku. Apalagi ini …
meskipun parfumnya semerbak sewilayah kecamatan, tetap saja nenek peot tua renta itu bau
tanah di hidungku. Hingga para bancipun gaduh mengirikan sikap kemesraan pimpinannya
terhadapku.
Lagi-lagi aku terjebak dalam kenaasan di penghujung malam itu. Sekiraku
pedumukan waria itu dekat, eh tak tahunya nyampe hampir satu jam aku dibawa perjalanan
mereka menuju gubuknya itu. Sesampainya disana, sungguh para waria jalang. Mereka pada
menawarkan dirinya untukku pakai sebagai imbalan balas jasa pengantarannya. Banci-banci
genit itu pada bertengkar dan saling menggerutu satu sama lain. Lalu akhirnya bubar ketika
aku menolaknya dengan tegas seiring titah sang Mrs. Pipanci yang memerintahkan mereka
untuk segera kembali ke sarangnya masing-masing. Aku segera cabut setelah aku menolak
tawaran Mrs. Pipanci untuk singgah di rumahnya. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata
gerombolan banci itu mencegatku di tikungan jalan dan memaksaku menghentikan mobil.
Aku tidak bisa apa. Tidak mungkin kalau harus menabrak lari mereka. Akupun menghentikan
mobilku. Kemudian mereka masuk lagi semua ke mobilku. Aku tidak berdaya ketika mereka
menerali pergerakanku dengan tangan-tangan kasarnya. Salah satunya mengambil kemudi
dan mengarahkan mobil menuju sebuah rumah tempat dimana mereka biasa berkumpul dan
berbagi informasi bermusyawarah merundingkan rencana-rencana kegiatannya.
Di rumah yang nyaman itulah seorang Muslim teraniaya kehormatannya. Aku
ditelanjangi. Tubuhku laksana seonggok tulang ikan teri dikerubuti semut. Aku yang tidak
berkekuatan hanya bisa pasrah pada keadaan. Di subuh itu aku bermandikan air liur para
waria yang haus sex. Mereka menjilati sekujur tubuhku. Tidak memperdulikan suara keluh
kesakitanku menahan perih pecah bibirku yang harus terkena uluman dan gigitan mereka.
Aku sangat merasa getir sekali menjadi nasi tumpeng di tengah pesta mereka. Gigitan-gigitan
liar bergerayangan disana-sini. Aku memejamkan mataku entahlah apa yang aku rasakan.
Antara ketegangan dan nikmatnya rangsangan yang mereka tebarkan serasa jiwaku terayun
ambing. Mereka bergantian mengulum kelaminku. Tak bosan-bosan mereka
mempermainkannya sampai aku merasa ngilu dan kesakitan.
Akhirnya aku terkulai di atas lantai bersimbah peluh dan bau ludah yang menyebalkan
serta anyir air mani mereka yang muncrat di atas permukaan tubuhku. Aku sangat lemah
sekali. Tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku digotong mereka ke kamar
mandi. Kemudian aku dimandikan sebersih mungkin. Sehabis mandi aku dibawa ke kamar
dan dibaringkan di atas kasur busa yang hangat. Aku diselimutinya. Lalu akupun tertidur
nyenyak sekali.
Siang hari aku terbangun. Di meja kecil di sudut kamar itu sudah tersedia hidangan
sarapan beserta sajian lezat lainnya. Aku lekas mengenakan bajuku yang tergantung di
dinding. Aku tidak menghiraukan hidangan itu. Aku bergegas keluar. Rumah itu sepi. Tak
ada seorangpun banci yang aku temui. Di halaman rumah mobilku terparkir. Tanpa pikir
panjang lagi akupun segera cabut pergi meninggalkan tempat biadab itu, setelah dirasa tak
ada sesuatu apapun yang hilang dari semua kepemilikanku selain terenggutnya kesucian
harga diriku.
Dari semua rentetan peristiwa yang menimpaku itu menghasilkan mentalku yang
menjadi sangat labil pada keyakinan jati diriku. Jiwaku kacau balau! Kisah pacaranku
berantakan. Dan aku membiarkan semuanya terjadi tanpa perlu aku harus memperbaiki
hubunganku lagi dengan mereka. Aku membiarkan diriku apa adanya. Yang tak jarang suka
tergetar hati ketika melihat sosok-sosok cowok tampan sahabatku. Hingga aku berteman
dekat sekali dengan Elqo, seorang remaja korban pergaulan bebas. Yang tampilannya selalu
bersih dan rapi meskipun seorang pemabuk yang doyannya main. Elqo orangnya caper sekali
kepadaku. Suka memujiku. Melebih-lebihkanku hingga membuat aku simfati padanya. Dia
senang sekali mengajakku bermain. Memperkenalkanku pada dunia pergaulannya. Carut-
marut dunia bebasnya. Sampai ujungnya akupun tahu kalau Elqo itu sebenarnya seorang
gigolo.
Diapun bercerita tentang perjalanan hidupnya. Dunia pelacurannya itu berawal dari
titah tantenya sendiri. Karena di Jakarta ia tinggal bersama tantenya. Numpang untuk sekedar
tempat tinggal selama dia menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Dan di rumah itulah ia
diajari tantenya bermain sex. Latihan sex sambil mempraktekannya pada si tante disaat
omnya belum pulang dari kerjanya. Lewat tantenya pula Elqo diterjunkan pada indahnya
dunia gigolo. Tantenyalah yang memanagerinya sebagai gigolo yang sukses dan berkelas.
Hingga akhirnya Elqo sempat menjadi pacar kontrak juga jadi cowok simpanan seorang
selebritis.  
Sebagai gigolo yang profesiaonal yang tentunya punya target mendapatkan uang
sebanyak mungkin. Tak jarang iapun dikontak dan diajak kencan kaum gay. Pernah juga ia
ditawari sebuah rumah dan mobil mewah oleh actor gay Indonesia yang beberapa tahun ke
belakang sempat meraih award sebagai actor terbaiknya Indonesa. Tapi Elqo menolaknya
karena ia tidak siap apabila terlalu dini ia harus meninggalkan masa remajanya. Karena
harapan akhir hidupnya ia ingin menjadi orang baik-baik yang normal dan berkeluarga
layaknya sebagaimana titah agamanya.
Dan karena ketampanan serta kejantanan sifat keheterosexkannya yang mengalir
begitu saja diluar jiwa sadarnya, menjadikan dia playgigolo super star yang cemerlang
perjalanan kariernya. Diusianya yang baru berkepala tiga, Elqo sudah mempunyai rumah dan
kendaraan sendiri tanpa harus terikat total hubungannya oleh siapapun pelanggannya. Juga
herannya sepanjang aku mengenalinya, aku tidak pernah sekalipun melihat sifat
materialistisnya terhadapku. Malahan ia sendiri yang pertama kali menawarkan aku sebuah
permainan sex. Elqo sangat fasih banget mengemukakan pemahamannya tentang sex. Seolah-
olah ia mau menyadarkan aku bahwa berhubungan sex itu adalah sesuatu yang benar dan
sangat penting dalam kehidupan ini biar bagaimanapun alasan dan hukumnya. Mungkin
setadinya niat Elqo itu maksudnya ia masih manaruh simfati dan rasa hormatnya padaku
sebagai anak dari keluarga terpandang hingga selalu hati-hati dan penuh kelembutan
memperjelas masalah sex. Tapi dibuatnya Elqo terhenyak ketika tahu bagaimana cerita
tentang perjalanan sexku.
Maka semenjak itulah aku dan Elqo sering berhubungan sex. Dan kenang-kenangan
darinya pula anting-anting yang terpasang di kelaminku. Dialah yang menindiknya. Sebab
karena anting-anting yang terpasang di kemalinnya pula yang banyak memuaskan pasangan
bercintanya…” Muslim mengakhiri cerita panjang sejarah perjalanan sexnya.
 
5   ‘TERBUKAlah dengan cinta’
 
 
Christian yang serius mendengarkannya segera memperlambat laju
mobilnya. Tak lama ia menghentikannya di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar
dan megah. Lalu setelah sekian lama terdiam iapun berujar,
“Keluargamu tahu tentang bagaimana kisahmu?”
“Tak ada seorangpun yang tahu,” Muslim melihat ke gerbang. “Coba klakson. Biar si
Paman membukakan gerbang.”                                  
Christian pun membunyikan klakson beberapa kali. “Termasuk ibumu?”
“Begitulah.”
“Kalau mereka tidak tahu, lantas kau bilang ibumu menyetujui kebebasan monosex
bukan karena atas obok-obok aku atau atas tuntutan masa saja itu maksudnya karena atas
dasar apa kalau tidak bermula karena latar belakang kelainan sex anggota keluarganya yaitu
kamu?”
“Ibuku mengetahuinya atas pengaduan Alpin teman kuliahku.”
“Kok bisa seorang Alpin tahu kepribadianmu?”
“Peristiwanya saat liburan di pantai Anyer. Ku kenal dia karena kesok kenalan dan
kesok dekatannya dia. Sikapnya yang sok akrab membuat perkenalanku yang sebentar seperti
sudah berteman lama saja. Waktu itu dia semester enam sementara aku baru semester empat.
Aku yang sengaja ngajak dia wisata ke Anyer. Aku yang mengongkosi dan
membiayai perjalanannya selama liburan. Karena ku tahu diantara mahasiswa yang lain
dialah yang paling boke dan paling pintarnya cari muka. Tipenya sangat caper banget. Dia
curhat segala macam problematika hidupnya yang ujung-ujungnya ia cerita soal belum
terlunasinya tunggakan dua semester terakhirnya. Aku coba bercerita soal gay. Dia langsung
cepat tanggap dan berceloteh panjang lebar tentang pendapatnya soal gay. Dan ketika aku
mengusulkan pendapat bagaimana seandainya kalau ada seorang gay yang mengajaknya
kencan. Ternyata dia tidak keberatan asalkan bisa menarik keuntungan buatnya. Maka tanpa
negoisiasi yang lain-lain lagi aku dengan Alpin pun menginap di sebuah hotel pantai Anyer.
Disanalah kami bercinta dengan biaya operasional aku siap membayarkan tunggakan bayaran
dua semesternya Alpin.
Tapi goblognya seorang Alpin. Dikasih hati minta jantung. Dia malah ngebocorin
permainan sexnya itu pada ibuku yang lagi menjabat sebagai rector. Bagaimana tidak ibuku
marah sekali padanya serta memandang aduannya itu hanyalah fitnah dan rekayasa buat
menghancurkan reputasi baikku dan ibu. Hingga ibuku tak segan-segan langsung menindak
Alpin dengan mencabut kartu kemahasiswaan Alpin di UIN.
Aku merasa nuraniku tiba-tiba berontak. Hati kecilku mengecam tindak ibuku. Ibuku
memang tidak salah. Tapi aku. Apakah aku tega membiarkan hukum ketidak adilan
merenggut Alpin sementara aku sebagai pelaku utamanya terbebas riang dan bertepuk
tangan?
Maka dari itu aku dengan ibuku terjadi debat yang alot. Yang akhirnya berat-berat
juga ibuku menyerah pada kenyataan dan dengan sangat terpaksa sekali harus menerima fakta
bahwa anaknya memang seorang gay. Lalu ibuku kembali mengklarifikasi gugatannya
terhadap Alpin, bahwa senyatanya telah terjadi kesalah pahaman antara informasi Alpin
dengan komfirmasi yang telah ibuku ikrarkan.
Semenjak itu keuanganku dijatah. Aku harus menepati janjiku untuk tidak lagi
berhubungan dekat dengan Alpin jika aku memang masih mau melihat Alpin berpendidikan
di UIN. Aku pun memang tidak begitu berkepentingan dengannya. Lagipula aku tahu kalau
dia sudah punya tunangan seorang gadis yang masih sekota dengannya. Meskipun tidak
jarang ia mencuri-curi waktu untuk menemuiku dan menawarkan kencan lagi sebagai ucapan
terima kasihnya. Aku menolaknya. Dan tidak pernah terjadi lagi hubungan sampai dia lulus
sarjananya. Kasihan memang, percuma saja dia lulus juga jika ijazahnya belum juga tertebus
sampai saat ini. Alpin lebih mendahulukan kawin daripada melunasi tunggakan biaya
kuliahnya yang masih menggantung besar,” Muslim melihat ke gerbang seperti yang kesal
belum ada juga pembantu rumah yang nongol untuk membukakannya.
“Coba klakson lagi!” seru Muslim.
Christian kembali membunyikan klakson hingga beberapa kali serta sengaja
menekannya beberapa saat hingga menjerit kencang memekakan suasana sore kawasan itu.
“Biar aku saja yang bukain,” Christian menawarkan dirinya untuk turun setelah sesaat
belum nampak juga orang rumah yang mau membukakan pintu gerbang.
“Bukan gitu. Soalnya gembok gerbangnya di kunci,” tukas Muslim seraya merogoh
HP-nya.
“Biar aku telepon dulu. Mungkin saja mereka tidak mendengar nyaringnya bunyi
klakson,” Muslim segera menghubungi nomor rumah.
“Halo!” suara perempuan yang mengangkat telepon dari sana.
“Halo, Bi lagi ngapain? Bisa tolong bukain kunci gerbang dulu sebentar, gak?”
“Aduh Bang Muslim. Kemana aja? Kenapa dihubungi gak nyambung-nyambung?
Ayah dan ibu marah-marah tahu! Emangnya ada kepentingan rahasia apa sih nyampe Hp pun
gak diaktifin segala?”
“Eh, Fit. Kapan kau balik?”
“Kemarin.”
“Mama sama Papa ada di rumah gak?”
“Gak ada. Lagi jalan-jalan.”
“Yang bener aja kau!”
“Makanya kalo maen mesti tahu waktu. Berlaga sok gak penting aja dengan keluarga.
Makin serampangan banget ya sekarang?”
“Udah. Entarlah konfirmasinya. Si Paman sama Bi Bibi pada kemana? Tolong bukain
gerbang gitu. Cepetan!”
“Si Paman lagi mandi. Si Bibi ikut jalan-jalan. Paling nanti maghrib pulangnya juga.
Apa aku harus nyuruh si Paman telanjang bulat bukain gerbang sekarang atau nyuruh si Bibi
segera pulang?”
“Ribet amat sih. Kamu aja deh. Please, my beautiful sister. Help me!” Muslim
merayu.
“Rasain aja deh. Jadi orang sabar itu di kasih Tuhan. Anggap aja balasan buat orang
yang lalai akan kedisiplinannya terhadap keluarganya. Semoga sadar ya!”
“Hai, Fit! Kamu jangan macem-macem ya. Entar kamu tahu rasa. Ngertiin aku dong.
Malu ama temen nih. Baru kali ini kemari udah disambut sikap kurang baik. Tolong bukain
gerbang sekarang ya. Okey!”
“Tunggu aja. Thanks banget ya udah mau balik ke rumah. Soalnya ada sesuatu yang
penting banget.”
“Ada apaan sih?”
“Entar aja ya konfirmasinya,” Fitrea menirukan kalimat kakaknya sungguh
menambah kekesalan dan kejengkelan di hati Muslim.
Muslim enek sekali pada kelakuan adiknya itu. Ditambah lagi ia segera memutuskan
komunikasinya. Hingga karena tidak puasnya Muslim kembali mengontak nomor rumahnya.
“Percuma deh Most. Dia gak bakalan ngangkat. Mendingan kita tunggu aja. Tuh
kebetulan Si Paman kayaknya kemari,” Christian memperhatikan sesosok laki-laki dari dalam
berjalan menuju gerbang.
Muslim melihatnya. Wajahnya berseri. Itu memang Si Paman pembantunya. Lalu ia
segera menghentikan usahanya untuk menelpon adiknya.
“Maaf banget ya Christ atas ketidakdewasaan sikap adikku,” ucap Muslim mohon
pengertian.
“Gak apa-apa. Tapi sory aja ya jika entar aku memalukan dihadapan keluargamu.
Soalnya aku kurang begitu tahu bagaimana baiknya berlaku sopan santun. Maklumlah aku
tidak begitu mengenal benar didikan bertata krama.”
Setelah Si Paman membukakan gerbang, Christian pun melajukan mobilnya perlahan
memasuki pekarangan rumah Muslim yang sangat luas. Sengaja diparkir dibawah pohon
bunga bugenfil yang sedang merekah merah putih mahkotanya sangat mempesona. Muslim
pun segera turun diikuti Christian yang kemudian melangkah mengikutinya.
“Paman! Benarkah Mama lagi pada jalan keluar?”
“Iya,” Si Paman menganggukan kepalanya hormat.
“Siapa yang mengemudi mobil? Papa?”
“Bapak yang minta.”
“Katanya barusan habis mandi, tapi kenapa masih kucel gitu?” Muslim heran melihat
keadaan tubuh Si Paman yang masih belepotan tanah kering yang nempel di keringatnya.
“Siapa bilang? Paman barusan habis menggali tanah di halaman belakang
menanamkan pohon pisang hias dekat kolam ikan hias,” sahut Si Paman sambil tersenyum.
“Oh ya? Huh, awas lo ya Fit udah berani ngerjain Abang!” Muslim geram serta
mempercepat laju langkahnya tak sabar sekali tampaknya ingin segera melakukan
pembalasan terhadap adiknya.      
“Fitrea! Fitrea!” Muslim berteriak-teriak memanggil adiknya yang tidak menampakan
batang hidungnya di ruangan itu.
“Tut…tit…tut…tot-tot-tot-end!” ponsel Muslim berbunyi.
“Hai dimana kau tukang ngibul?” tanya Muslim segera pada adiknya yang mau-
maunya buat menghubunginya.
“Bang, temennya sangat ganteng juga tuh! Buat Fitrea aja ya!”
“Gak bakalan doyan ama cewek macam kamu yang udah dibuatnya pusing,” Muslim
berlari menaiki lantai atas dimana letak kamar Fitrea berada bersebelahan dengan kamarnya.
“Maca, cih! Iang bener aca cali!”
Muslim segera membuka pintu kamar Fitrea. Blak…! Kosong!
“Hai cewek konyol dimana kau?”
“Cari aja sendiri!”
“Aku acak-acak ya kamarmu biar berantakan!” ancam Muslim
“Emangnya aku bakalan rugi? Biasa aja kali! Yang repot kan Si Bibi juga buat
ngeberesinnya. Kalopun ada kerusakan kan Papa yang bertindak. Jadi Abangku yang…”
“Hai!” bentak Muslim kesal.
“Sorry ya aku kebelet mau ke kamar mandi. And aku pinjem DVD The Drunk
Flyrabbit-nya ya.”
“Wei jangan!” teriak Muslim panik  berlari cepat keluar kamar Fitrea menuju
kamarnya.
“Fitrea!” teriak Muslim membuka kamarnya yang juga kosong tak ada sosok Fitrea
juga disana.
“Dasar orang pandir!” terdengar teriakan Fitrea dari lantai dasar membuat Muslim
serentak berlari-lari cepat penuh kemarahan pada adiknya.
Sepintas lalu Muslim melihat bayangan Fitrea menghilang ke balik dinding tembok
ruangan dapur. Iapun lekas mengejarnya menyusul Fitrea yang tiba-tiba menjerit terpekik
kaget.
“Fitrea!” Muslim pun sangat terkejut mendengarnya segera menuju sumber suara
jeritannya.
“Kamu kenapa?” Tanya Muslim segera. “Atau cuma pura-pura aja kali. Ku tangkap
kau!” Muslim menangkap tangan Fitrea yang membelakanginya.
“Maaf!”
Muslim terkejut melihat Christian yang muncul dari toilet. “Habis ngapain Christ?”
“H, buang air kecil. Tadinya mau lepas mandi. Tapi ketika baru buka baju adikmu
membuka pintu dari luar. Aku ngaku salah. H … enggak ngunci dulu pintunya. Maaf ya …!”
terang Christian sambil menyelendangkan kaosnya ke pundak.
“Gak apa-apa. Salah adikku sendiri jadi orang asal ceplos aja. Tapi lain kali kalo
kamu pengen apa-apa ngomong dulu sama aku,” Muslim sedikit menampakan sikap
ketidaksukaannya.
“Iya. Maafin aku juga Mister. Ini salah kakakku juga sih. Ada tamu dibiarin aja,
mestinya ia memperlakukannya penuh dengan perhatian,” Fitrea juga minta maaf sambil
menyudutkan kakaknya dengan matanya lekat memandang tubuh Christian yang hanya
mengenakan celana jean saja. Hingga tato-tatonya tampak jelas beserta anting-anting yang
menghias puting susunya. Fitrea segera menepiskan tangan Muslim yang memeganginya.
“Kemana kau?”
“Udah dibilangin aku kebelet sedari tadi,” Fitrea meronta.
“Cuma alasan!”
“Atau aku kencing disini?”
“Hai Most. Kenapa sih?” Christian mempertanyakan Muslim heran.
“Okey! Tapi kalo kamu macam-macam, awas ya!”
“Macam-macam apaan?” Fitrea juga tidak mengerti.
“Kembaliin DVD itu. Kalo tidak!?”
“Emangnya DVD apaan sih? Cuma pengen nonton doang. Entar juga aku balikin,”
Fitrea memasuki kamar mandi lalu menutup pintunya dari dalam.
Muslim mengikutinya merapat ke pintu dan menggedornya. “Kamu menyimpannya
dimana? Biar aku ambil.”
“Hai, sopan dong jadi orang. Sudah menjadi seorang sarjana agama masih saja tidak
punya adab,” umpat Fitrea.
“Please! Adikku yang cantik. Aku mohon kamu balikin lagi DVD itu sekarang,”
Muslim memelas.
“Tidak percaya amat sih sama aku. Apa takut rusak? Biar aku entar gantiin, harganya
tidak seberapa kan?”
“Bukan masalah rusak dan menggantinya. Tapi ini soal larangan untukmu
menontonnya. Kalo kamu mau berapapun juga biar Abang beliin kaset yang lain buat
ngegantiinnya. Tapi tolong jangan putar kaset itu. Please kamu balikin sama Abang ya,”
sekali lagi Muslim mohon pengertian adiknya.
Fitrea tidak lagi mengomentari apa ajuannya. Ia terdiam tidak menyahutnya. Muslim
dibuatnya kebingungan sendiri. Dilihatnya Christian yang masih berdiri tidak mengerti
dengan tingkahnya.
“Gerah banget. Aku ingin ngadem,” ujar Christian mengungkapkan perasaan suhu
tubuhnya.
Muslim dengan raut muka yang masih menunjukan kebengalan dan kecemasannya
sekali lagi ia menggedor pintu dengan sangat kesal dan marah membuat adiknya terpekik
kaget dari dalam. Lalu ia melangkah tidak memperdulikan celaan dan makian adiknya yang
menggerutu.
“Emangnya DVD film apa?”
“My secret,” sahut Muslim pendek.
“Film kan?” Christian memperjelas keterangan Muslim.
“Iya.”
“Rekaman your self sex?  With someone or… your special film production? Or a
documenter film?”
“I hope you never know about it.”
“Why?”
“I’m fear you’ll jealous.”
“Love words is true always!” Christian menarik lengan Muslim agar menghadapnya.
Muslim menatap Christian sejenak. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya dan
berujar pelan, “I believe it. But you’re still a man.”
“What is the meaning your speak?” Christian tidak mengerti.
“That love and jealousy is together always. Godself has most jealousy when his
creature not honesty of his religion, morever the mans has very it sure.”
“Maybe … I want you …”
“I’m sory! Bukannya aku tidak meyakini cintamu padaku it’s very-very-very…”
“Maksudmu?”
“Cintamu terlalu tulus dan mulianya padaku, sedangkan aku belum tentu sesuai
dengan harapanmu,” Muslim memasuki kamarnya.
“Aku tidak perduli kamu bisa setia padaku ataupun tidak. Yang perlu kamu tahu
bahwa aku akan selalu setia untukmu,” Christian mempertegas keyakinannya.
“Thank you very much my sweetheart!” ucapan terima kasih Muslim begitu dalam
disambut kecupan mesra bibir Christian di pipinya.
“Mau mandi? Atau istirahat dulu. Tiduran? Atau ngejus apaan?” tawar Muslim sambil
menyalakan air conditioner anti bakteri sehingga ruangan kamar terasa sejuk berbaur
semerbak anggur aromaterapi.
“Nyaman banget kamarmu,” puji Christian.
“Maklumlah sifatnya juga seimbang antara laki-laki dan perempuan. Aku kontraskan
saja dengan memadukan arsiteknya sesuai fisik dan sifat sexku.”
“Kita mandi bareng aja ya,” ajak Christian.
“Takutnya kita nanti terjebak dalam keasyikan main sex.”
“Untuk itu kan ada waktunya juga. Emang sih kayaknya menyenangkan, tapi kalo
kamu gak mau ya gak apa-apa. Aku harus belajar menghormati hak asasi antar kita,”
Christian sadar diri sambil melucuti celana yang dikenakannya.
“Jangan salah pengertian gitu. Bukannya aku menolak keinginanmu untuk bermain
sex. Tapi apa sehat dalam keadaan badan kurang nyaman gini untuk melakukan hubungan?
Kalo ada waktu entar malam kita bisa bermain. Untuk sekarang kamu bersih-bersih duluan,
entar aku belakangan. Sementara kamu mandi aku buatkan jus anggur saja ya. Sebagai ganti
minuman anggur beralkoholmu. Maklum aku tidak suka naruh minuman di rumahku,” kilah
Muslim bergegas keluar kamar meninggalkan Christian yang segera masuk ke kamar mandi. 
“Kalo mau ganti baju ambil saja di lemari,” Muslim segera keluar kamar menuju
lantai dasar.
“Hai, Bang. Tamunya mana?” Tanya Fitrea yang muncul ke ruangan itu.
“Emangnya ngapain?” Muslim membuka kulkas.
“Si Mister itu orang Kristen ya?”
“Apa urusannya gitu?” Muslim mengambil buah anggur dan sebongkah es batu.
“Kok Abang berani bawa dia kemari. Apa tidak akan bermasalah nantinya sama
Mama dan Papa?”
Muslim mengambil blender dan susu kaleng. “Bukankah kita sudah dikasih didikan
agar saling menghormati perbedaan agama?”
“Tapi gimana entar kalo nenek kita yang sangat panatik itu komplen?”
“Emang kamu bawa nenek kemari?” Muslim menengok Fitrea.
“Heeh. Sekalian entar Papa mau mengajaknya ke acara ESQ,” terang Fitrea sambil
memetik beberapa buah anggur yang ditaruh Muslim dalam keranjang buah diatas meja.
“Jangan bilang sama nenek saja tentang siapa dia,” kilah Muslim.
“Dia mau baliknya kapan?” Tanya Fitrea.
“Mungkin dia nginep.”
“Syukurlah. Apa dia bisa dipercaya?”
“Maksudmu?” Muslim menyalakan blender mengaduk es batu yang sudah halus
dengan anggur dan susu.
“Suruh jaga rumah. Sebab Si Paman dan Si Bibi mau diajak serta ke acara ESQ.”
“Kan ada security?”
“Tadinya mau diajak juga dan bakal nyuruh orang tetangga buat jaga rumah.
Sayangnya Paman Satpam izin perihal keluarganya yang di Bogor kemusibahan.”
“Biar aku saja yang jaga rumah,” Muslim menuangkan jus ke dalam dua gelas diatas
nampan.
“Emangnya Papa bakal ngizinin?”
“Tapi biasanya kan dilangsungkan acaranya siang selama tiga hari.”
“ESQ khusus keluarga besar bareng rekan-rekan Papa.”
“Eh!” Muslim tiba-tiba menghentikan langkahnya seraya menoleh Fitrea yang sedang
menuangkan sisa jus dalam blender.
“Mana DVD itu?” Tanya Muslim teringatkan lagi.
“Iya. Entar aku kembaliin. Napa sih?”
“Kamu jangan memutarnya. Kembaliin sekarang.”
“Heeh. Aku bakal anterin ke kamar sekarang juga. Cemas banget.”
“Awas kalo tidak!” ancam Muslim sambil kembali melangkahkan kakinya menuju
kamarnya.
Di kamarnya Christian baru selesai mandinya. Ia hanya mengenakan handuk sebatas
pinggangnya. Muslim menaruh nampan di atas meja kecil disamping twalet. Fitrea pun
muncul di ambang pintu kamar sambil tersenyum memangggil Muslim,
“Ini DVD-nya,” Fitrea menyerahkannya pada Muslim.
“Kamu tidak menontonnya, kan?”
“Belum.”
“Nah gitu dong. Jadi orang mesti pengertian. Baru itu namanya adikku yang baik dan
cantik. Thanks ya!” Muslim mengusap-usap ubun-ubun kepala Fitrea.
“Nenek nanyain di bawah,” kabar Fitrea.
“Udah pada balik dari jalannya?”
“Barusan.”
“Bentar aku nyusul.”
“Jangan lama-lama. Jangan buat nenek menemui Abang kemari,” kata Fitrea kembali
berbalik pergi.
“Christ, cepetan pake baju. Sekalian copot anting-antingmu itu. Juga tolong
bersikaplah sewajarnya sebagai seorang tamu yang penuh tata krama dan tahu sopan santun.
Bagaimanapun juga aku tidak mungkin dapat menyembunyikan keberadaanmu. Yang aku
takutkan kamu entar bermasalah dengan nenekku yang sangat panatik. Kamu diam aja di
kamar. Syukur-syukur dia tidak nanyain. Kalo sampai maksa ingin kenal kamu kan repot.
Aku menemui mereka dulu ya. Sekalian sudah pasti shalat berjamaah maghrib dulu,” setelah
cukup berpesan pada Christian, Muslim pun lekas meninggalkan kamarnya menemui
neneknya yang dulu menjadi wali asuhnya selama pendidikan sekolah dasarnya waktu di
desa.
Baru saja sampai di tepi tangga, neneknya sudah nampak sedang menaiki tangga
menujunya.
“Hai, Nek!” sapa Muslim mencegatnya.
“Assalamualaikum,” Muslim menyalaminya.
“Waalaikumussalam, Cu,” neneknya berlinang air mata menatap tajam dan
mengusap-usap bahu Muslim.
“Gimana kabarnya, Nek?”
“Alhamdulillah kalo soal materi tidak kekurangan. Tapi soal hati, Nenek tidak
tercukupi. Kangen ingin bercinta dengan Kakekmu yang sudah meninggal. Ingin sekali
Nenek mencari gantinya. Inginnya seorang perjaka yang ganteng dan perkasa. Tapi Nenek
tahu diri. Lalu Nenek jatuh hati pada sang Ustad guru ngajimu dulu itu. Nenek kira Ustad
mengerti perasaan Nenek. Eh tidak tahunya dia malah menyakiti hati Nenek. Nenek sangat
sakit hati sekali padanya. Dia menolak cinta Nenek. Katanya ia tidak mau berpoligami. Ia
sudah merasa cukup dengan satu istri. Nenek sungguh sangat kecewa sekali. Nenek pikir
Ustad itu bodoh tidak melihat dan tidak mengikuti jejak Rasul yang punya istri banyak dan
sangat ingin membahagiakan janda-janda tua yang terlantar butuh cinta kasih sayang. Nenek
sedih sekali Alim,” Nenek memeluk tubuh Muslim begitu erat sambil menangis meratapi
nasibnya.
“… Nenek kesepian. Nenek butuh cinta. Nenek merasa dilecehkan oleh Ustad itu. Dia
pikir dia itu siapa. Bangunan pondok pesantrennya juga berdiri karena sebagian besar
sumbangan dari Nenek. Mesjid pun mungkin tidak akan semegah sekarang kalo tanpa
bantuan dari Nenek. Mereka tidak mau balas budi. Mereka mencampakkan Nenek. Dulu
ketika Nenek masih muda Nenek banyak sekali yang melamar. Tapi sekarang mereka hanya
ingin memanfaatkan Nenek buat memeras uangnya saja. Nenek tidak terima. Nenek sakit
hati. Nenek benci pada masyarakat kampung. Nenek tidak ingin pulang lagi. Nenek mau
tinggal disini. Biar Nenek bisa menikmati menciumi dan mencumbu perjaka ganteng
sepertimu, Alim…” Nenek menciumi wajah Muslim hingga belepotan bau air liurnya.
Muslim berusaha meronta melepaskan diriya dengan lembut dari pelukan neneknya
yang kayak kesurupan.
“Nek. Sudahlah malu sama Papa dan Mama. Lagipula ada tamu,” ujar Muslim halus.
“Kita sembahyang maghrib dulu. Nanti kita bisa melepas rindu selepas shalat,” ajak
Muslim memapah neneknya kembali turun.
“Bu. Sudah mengambil air wudlu?” Tanya Pak Martin Hamzah ayahnya Muslim.
“Buat apa?” Nenek Honey (sebagai panggilan dari nama aslinya Haniyah Hartinah)
balik nanya pada anaknya itu.                
“Kita shalat maghrib bersama,” jawab Pak Martin.
“Aku males ketemu Allah. Aku sedang perang dingin dengannya,” celoteh Nenek
Honey mengejutkan.
“Bu! Ibu jangan berkata demikian. Itu sangat tidak baik,” Pak Martin mengingatkan
ibunya.
“Martin. Aku lebih tua darimu. Aku lebih banyak pengalaman darimu. Ilmuku lebih
luas darimu. Pengetahuanku lebih dalam darimu. Ajaran agama Islam yang mana yang belum
aku kuasai? Sejak kecil sampai tiga bulan yang lalu aku taat pada Allah. Aku
menyembahnya. Aku memujanya. Aku melaksanakan segala perintahnya. Aku menjauhi
segala larangannya. Aku menyeimbangkan mencari rizkiku dengan ibadah. Sehingga
kehidupan rumah tanggaku perkembangan ekonominya meskipun sedang-sedang saja tetapi
penuh dengan berkah. Aku dan suamiku menyedekahkan sebagian besar harta kekayaan buat
pembangunan kemajuan agama. Tapi kenapa Allah tidak mengabulkan segala permintaanku
yang ingin sehidup dan semati dengan suamiku? Allah sengaja membuat aku berdosa dengan
mengingkari perjanjian sehidup sematiku. Allah mengambil nyawa ayahmu sementara
nyawaku tidak. Padahal demi memperpanjang nyawa ayahmu, aku sudah berusaha membawa
ayahmu yang sedang sakit untuk berkeliling wilayah buat silaturahmi dengan penduduk
sambil membagikan sedekah guna memperpanjang umur ayahmu. Karena dalam keterangan
sebuah riwayat, orang yang sedang menghadapi kematian dapat diundur waktunya dan
diperpanjang hidupnya dengan silaturahmi dan berbagi sedekah. Tapi kenapa suamiku
akhirnya mati juga? Aku kecewa pada Allah yang telah berdusta. Aku sakit hati padanya. Dia
tidak adil. Masa suamiku mati langsung disambut 40 bidadari sedangkan aku yang masih
hidup tidak dikasih satupun suami. Allah telah memisahkan cintaku. Allah telah menjadi
jurang pemisah kebahagiaanku dengan suamiku. Allah sengaja merayu-rayu suamiku agar
mau mati dan diiming-imingi surga. Sehingga suamiku berpaling dariku dan mencampakkan
aku yang sudah peot…” Nenek Honey sesenggukan seperti anak kecil sambil sesekali lantang
mengumpat Tuhannya.
Muslim, Fitrea, Pak Martin, Si Bibi dan Si Paman pada terdiam tidak mengerti. Bu
Latifa muncul dengan terheran-heran melihat keadaan mereka yang masih belum bersiap-siap
untuk sembahyang.
“Ada apa gerangan belum pada siap shalat?” Tanya Bu Latifa segera.
“… Bu! Ibu jangan keliru memaknai riwayat orang yang dipanjangkan umurnya
karena silaturahmi dan bersedekah itu. Kita harus punya pemahaman yang luas. Bukankah
dengan silaturahmi dan membagikan sedekah yang dilakukan Ibu dengan Almarhum Bapak
juga seyogyanya telah memanjangkan umur nama baik Bapak dengan selalu dikenangnya
oleh masyarakat atas segala amal baik yang telah dilakukannya semasa hidup? Nama Bapak
itu akan selalu hidup di hati orang yang telah tersentuh kebaikannya,” Pak Martin mencoba
memberi paham baik. 
 “Jika kalian pada ketemu Allah, tolong sampein pesanku padanya. Bahwa aku tidak
akan segera menghadap-Nya lagi jika belum mempertemukan aku dengan suamiku atau
memberikan penggantinya yang lebih muda dan lebih gagah seimbang dengan pesona para
bidadari yang melayani suamiku di surga. Biar Allah tahu rasa bagaimana jengkel dan
kesalnya akibat ulahnya sendiri yang sudah menganiaya makhluk-Nya,” kilah Nenek Honey
sambil berlalu kembali menaiki tangga menuju lantai atas. Ia mengarah menuju kamar
Muslim. Lalu dibukanya pintu kamar itu. Ia terkejut melihat Christian yang juga terkejut
sedang mengontakkan lampu kamar hingga suasana terang dan jelas.
“Kamu siapa?” Tanya Nenek Honey segera.
“Temannya Muslim,” jawab Christian agak kikuk juga.
“Kenapa kamu tidak shalat?”
“Nenek sendiri?” Christian balik nanya.
“Aku sedang halangan.”
“Ada-ada saja. Halangan? Menstruasi maksudnya?”
“Kamu pongah juga ya!?” Nenek Honey menampakan sikap tersinggungnya.
“Islam tidak mengajarkan umatnya supaya galak. Mana dong keramahannya? Gak
malu apa sama Mohammed?” Christian begitu santainya melayani Nenek Honey berbicara.
“Nek. Nenek itu aneh. Mana ada perempuan setua nenek yang masih menstruasi.
Seusia nenek itu udah masanya menopause. Tidak subur lagi, tahu!” lanjut Christian
menceramahi nenek tua itu.
“Kalo gitu, kalo kamu tidak mau shalat kita sembunyi aja disini. Mudah-mudahan
malaikat pencatat amal tidak mengetahui keberadaan kita,” Nenek Honey seraya menutup
pintu dari dalam.
Christian jadi terheran-heran dengan nenek-nenek itu. Bukankah kata Muslim
neneknya itu seorang yang panatik beragama? Tapi kenyataannya kok!?...
“Tidak shalat juga aku tidak akan dituntut Tuhanku. Malahan kalo shalat aku malah
kena laknat-Nya,” tukas Christian.
“Enak dong! Gimana caranya kamu dapat menaklukan Tuhan kayak gitu?”
“Karena aku bukan seorang muslim. Jadi aku tidak diwajibkan shalat,” timpal
Christian tegas dan sedikit jengkel pada nenek tua itu yang berani-beraninya menggenggam
tangannya.
“Jadi!?...” Nenek Honey menatap Christian.
“Agamaku Kristen,” jelas Christian.
“Aduh kebetulan. Gimana kita ngobrolnya sambil duduk aja biar lebih enjoy?” Nenek
Honey menarik lengan Christian dengan genit mengajaknya duduk di tepi pembaringan.
“Kamu romantis banget deh. Sengaja ya menyetel film porno biar nambah gairahku.
Padahal tanpa menonton film porno juga gelora sexku mudah terangsang,” celoteh Nenek
Honey melihat monitor laptop yang entah sedang menayangkan acara apa. Hanya sesekali
tampak close up sosok lelaki telanjang dada saja lagi angkat besi.
“Hai, ganteng! Bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa menerima cintamu. Aku
tetap menginginkan pasanganku yang seagama denganku,” kilah Nenek Honey membuat
Christian jadi memecahkan tawanya sangat lucu sekali dibalik rasa sebalnya.
“Tapi … kalo dipinang sama Tuhanmu, aku tidak keberatan. Aku rela menjadi istri
keduanya. Betapa mulianya aku dapat dipersunting Dia. Aku akan panas-panasi suamiku
yang sudah berada di surga dengan para bidadari. Aku akan berkunjung ke surganya bersama
Tuhan Bapak yang menjadi suamiku. Bukankah kekuasaan Tuhanmu berdekataan dengan
pusat pemerintahan Tuhanku?”
Christian jadi kebingungan sendiri menghadapi sikap Nenek Honey yang perilakunya
diluar realita manusia.
“Nek! Sadar diri dong. Nenek itu sudah tua. Jangan ngaco. Saatnya Nenek sekarang
mempersiapkan diri buat menghadap Tuhan dengan banyak beribadah. Banyak berdo’a.
Bertaubat. Menyerahkan diri pada Tuhan. Sudah bukan lagi saatnya buat berhalusinasi yang
bukan-bukan. Soal perkembangan zaman dan paham agama yang kian plural biarkan saja
masih banyak generasi agama yang muda-muda untuk mengurusinya. Nenek tenang-tenang
saja melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan Nenek pada Tuhan yang Nenek yakini
ajarannya selama ini. Biar Tuhan Nenek tidak pusing menilai amal Nenek. Apakah Nenek itu
masih umatnya apa bukan? Jangan meragukan para malaikat yang menjaga Nenek. Nanti
kalo Nenek mati, tujuan roh Nenek mau kemana kalau tidak tentu arah. Apa Nenek mau
sendirian nanti di alam sana? Tidak ada satupun Tuhan yang menyahut Nenek. Apa Nenek
mau hidup abadi seorang diri berkelana dalam keterasingan di alam nanti?” Christian
berusaha mengembalikan fitrah manusia Nenek Honey.
“Aku senang sekali mendengar perkataanmu anak muda. Mumpung masih muda
kamu masuk Islam saja, gimana? Biar entar aku bersedia diajak nikah olehmu. Dan aku akan
menuruti perintahmu. Kalau kamu masih bukan Islam tak perlu ngomong banyak-banyak
lagi. Sebab tidak berhak untukmu memasukan pemahaman agamamu. Sebab tidak akan
mempan. Aku sudah punya kekebalan batin tentang Tuhanku.”
“Nek! Nenek bilang aku ini masih muda. Ganteng lagi. Pastinya bakalan mikir dulu
nerima tawaran nikah sama perempuan tua kayak Nenek. Pasanganku ya, yang muda lagi
dong,” elak Christian lekas berdiri.
“Kau telah menghinaku ya? Padahal dulu aku ini cantik jelita. Bintang yang bersinar.
Bunga yang menawan. Apa bedanya dengan aku yang sekarang? Karena perasaanku aku
masih jasad yang sama dengan jasadku yang dulu. Perasaanku juga masih sama seperti
perasaanku yang dulu. Jiwaku masih jiwa muda yang dulu. Seleraku masih selera darah
mudaku yang dulu. Hasrat dan gairah sexku masih sekuat permainan sex masa puber dulu.
Kalau kamu meragukannya kamu boleh mencobanya. Asal nanti setelah mencoba kamu harus
tanggung jawab menikahiku. Karena menurutku apa ruginya menikah denganku?”
“Secantik dan seterkenal Dian Sastro, Luna Maya dan Marsyanda pun aku tidak akan
tergoda. Apalagi perempuan tua renta kayak Nenek, jauh-jauh deh terbang ke langit. Kenapa
Tuhan Nenek tidak sesegera mungkin menjemput Nenek yang sudah bosen hidup dan hanya
meresahkan umat manusia saja?” celoteh Christian keluar kamar meninggalkan Nenek Honey
yang langsung terdengar menjerit-jerit histeris … tetapi Christian tidak terkejut ia terus saja
melangkah menuju lantai dasar.
“Ada apa dengan nenekku Mister?” Tanya Fitrea pada Christian cemas.
“… Kurang tahu ya,” Christian pura-pura tidak tahu keadaan membuat Fitrea
langsung lari tergesa menuju suara jeritan neneknya.
“Christ! Kenapa dengan nenekku? Kamu bertemu dia, kan?” Muslim menarik lengan
Christian.
“Nenekmu gila kali, ya!” seru Christian.
“Kamu ngapain saja dengannya?”
“Ya adu bicara aja. Tapi nenekmu udah ngaco banget otaknya.”
“Harap maklum saja nenekku lagi stress. By the way kamu mau nemui Mama Papaku
atau mau menghindarinya?”
“Menurutmu baiknya gimana?”
“Inginmu sendiri bagaimana? Bukannya kamu dan Mamaku sudah saling kenal?”
“Maunya sih kenal lebih akrab lagi dengan keluargamu. Sebagai kekasihmu bukankah
itu lebih baik? Tapi yang aku khawatirkan mereka malah tidak akan menerima kehadiranku
dan akan mengecammu kalau mereka sampai tahu kita pacaran,” kilah Christian
memprediksikan keadaan yang bakal terjadi.
“Muslim!” panggil Pak Martin.
“Iya, Pak,” sahut Muslim segera.
“Kenapa dengan Nenek?” Tanya Pak Martin.
Muslim memandang Christian memohonkan jawaban atas pertanyaan ayahnya.
“Kemana orang Kristen tadi Martin?” terdengar suara Nenek Honey bertanya pada
Pak Martin.
“Maksud Ibu siapa?” Tanya Pak Martin heran pada ibunya.
“Gimana nih?” Christian balik memandang Muslim.
Disaat seperti itu Bu Latifa muncul ke hadapan mereka dan sedikit terkejut mengenali
sosok Christian.
“Hai, sejak kapan kemari Mr. Christ?” sapa Bu Latifa hangat.
“Tadi sore bersama putra Miss,” Christian mengulurkan tangannya pada Bu Latifa
penuh keakraban.
“Rupanya kalian sudah saling kenal?”
“Lumayan,” Christian tersenyum sambil menoleh Muslim.
“Ada masalah penting kiranya?”
“Lebih mempererat tali persaudaraan kita saja.”
“Oh, ya. Sudah pada makan? Kita makan malam bersama saja sekarang. Nanti usai
makan kita bisa komunikasi lebih jauh lagi. Mari!” ajak Bu Latifa seraya melangkahkan
kakinya menuju ruang makan.
“Ibumu ngasih lampu hijau buat kita,” cetus Christian tersenyum senang.
“Mudah-mudahan saja. Kamu mau makan sekarang?”
“Kenapa enggak?”
“Okey!”
Keduanya lalu mengikuti jejak Bu Latifa ke ruang makan. Disana telah tersaji
hidangan makan malam siap santap di atas meja dimana Pak Martin, Bu Latifa dan Nenek
Honey telah terduduk di kursi mengelilingi meja.
“Itu orangnya Martin,” seru Nenek Honey menudingkan telunjuknya pada Christian.
“O… teman Muslim kiranya,” Pak Martin memandang Christian dengan sambutan
senyumnya yang ramah.
“Christian Om,” kenal Christian.
“Duduklah!” Bu Latifa mempersilakan.
“Fitrea mana?” Tanya Muslim sambil mengambil tempat duduk disamping Christian.
“Masih di kamarmu. Ajak dia segera, gih!” suruh Nenek Honey.
“Ngapain di kamarku?”
Christian menepuk paha Muslim sehingga Muslim segera menolehnya sambil
mengernyitkan dahinya. Christian sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Muslim sambil
berbisik,
“Tadi aku memutar The Drunk Flyrabbit dan belum dimatikan.” 
“Apa?” Muslim terkejut setengah mati dan serentak berlari tergesa-gesa dengan panik
menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Muslim tertegun menatap adiknya yang sedang
membakar DVD The Drunk Flyrabbit miliknya itu.
“Jadi ini alasan Bang Muslim melarangku memutar kaset ini?” Fitrea menatap tajam
sosok Muslim dengan matanya yang deras berderai air mata.
Muslim menundukan wajahnya penuh rasa penyesalan yang mendalam.
“Sekarang puas, kan? Abangku tersayang, Abangku yang malang. Abangku begitu
sadisnya merobek-robek harga diri keluarga Abang sendiri. Inikah moral seorang sarjana
lulusan UIN? Kalau hanya ingin menjadi pelacur jalang, kenapa mesti ngotot menyelesaikan
pendidikan tingkat tinggi segala? Kelakuan Iblis macam begini orang yang tidak sekolahpun
bisa. Atau almamater UIN hanyalah sebagai formalitas di bahu wibawa gagah seorang
Muslim belaka? Bang!...” suara Fitrea tersedak.
“… serahasia apapun Abang menyembunyikan bangkai, tetap akan tercium baunya.
Mengapa Abang menyetujui aku pacaran sama Elqo? Heh!? Kenapa? Abang tidak merasakan
betapa sangat terhinanya aku sekarang. Abang telah memanfaatkan aku untuk menjadi umpan
agar Elqo sering datang kemari. Abang sangat picik sekali. Ternyata dibalik semua sikap baik
Abang itu tersimpan niat busuk seekor serigala yang siap menerkam mangsanya.
Aku merasa sangat kecewa sekali pada kebiadaban Abang. Aku sangat benci sekali.
Benci! Aku sudah tidak percaya lagi pada kealimanmu. Pada titel sarjana agamamu. Karena
kau dan Elqo tak lebih dari sepasang syaitan. Masih mulia pelacur dan binatang melakukan
sex yang normal ketimbang hubungan lacurmu homoseksual!” kecam Fitrea menjadi-jadi
memecahkan gelora emosinya yang meledak-ledak.
Seorang Muslim hanya terdiam membisu. Segala yang terlontar dari mulut adiknya itu
bukanlah sebuah kekeliruan. Tapi sebuah dakwaan yang konkrit sesuai faktanya. The Drunk
Flyrabbit adalah video hasil rekaman handycam tentang permainan sexnya dengan Elqo. Lalu
dipandangnya Fitrea yang masih menatapnya penuh dendam.
“Maafkan Abang!” ujar Muslim lirih.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” sahut Fitrea ketus. “Aku merasa muak dan jijik
melihatmu,” lanjutnya lagi penuh kebencian seraya berlalu meninggalkan Muslim yang
terduduk di tepi ranjang.
Muslim terasa tercabik-cabik sukma sadarnya dengan lontaran kalimat demi kalimat
kemurkaan adiknya. Ya, dialah yang salah. Hubungan Elqo dan Fitrea adalah hasil rencana
Muslim dengan Elqo. Muslimlah yang meminta Elqo untuk memacari adiknya dengan
batasan Elqo terlarang buat menjamahnya. Sehingga sosok Elqo di mata Fitrea sangat begitu
sucinya. Fitrea sangat yakin kalau Elqo pemuda yang berlatar agama yang baik. Sikap Elqo
yang selalu terjaga dari hal-hal yang mengundang nafsu. Elqo pandai menyembunyikan sikap
lacur seorang gigolonya. Elqo tercipta laksana sempurnanya sesosok malaikat. Ganteng,
romantis dan paham benar tentang aturan agamanya. Sungguh betapa piawainya seorang Elqo
hingga sanggup memutar balikan fakta 1800 dari kejalangan perilaku liarnya menjadi sesosok
pribadi alim dan berbudi pekerti luhur di hadapan Fitrea. Tapi sekarang? Masih adakah sisa
kekuatan itu untuk membangun kepercayaan?
 
 
 6   ‘CINTA ADALAH HARGA DIRI’
 
“Kenapa?” Christian menghampiri Muslim.
Setelah menghempaskan nafasnya baru Muslim bicara perlahan, “Fitrea melihat
adegan sexku dengan Elqo dalam film itu.”
“The Drunk Flyrabbit maksudmu? Bukankah itu hanya berisi rekaman latihan angkat
besi di sebuah taman?” Christian heran.
“Kamu tidak memahami juga maksud laranganku pada Fitrea agar tidak memutarnya.
Kalau sebatas latihan angkat besi, apa pentingnya aku melarangnya nonton.”
“Lantas?”
“Ya, setelah usai angkat besi itu aku dan Elqo telanjang bulat saling melucuti celana.
Dan di taman belakang rumahnya itu kelaminku kena the drunk piercing-nya. Disitulah aku
habis-habisan bercinta dengannya,” terang Muslim.
“Aku jadi merasa bersalah. Benar-benar aku tidak tahu akan hal itu. Kalau saja aku
tahu…” Christian menyadari kesalahannya penuh penyesalan.
“Bagiku mungkin ini bisa diambil hikmahnya. Bahwa kejujuran itu lebih baik
meskipun menyakitkan. Daripada menutupi kebusukan yang malah bikin mabok sendiri.
Setelah sekarang terbuka buat apa aku harus menutupi diri lagi. Kalau aku senyatanya
bersifat mencintai sesama jenis, kenapa tidak aku jujur dan berani memperjuangkannya.
Karena perasaan itu sama saja dengan harga diri. Jika aku tidak mampu memperjuangkan
perasaanku berarti sama saja aku rela kehilangan harga diriku,” tegas Muslim yakin.
“Kita berjuang bersama untuk mendapatkan hak kita sebagai gay. Kita harus
mempunyai perlindungan hukum hak asasi kaum homoseksual. Karena gay itu bukan hanya
kita. Di Indonesia ini sudah cukup banyak perkumpulan kaum homo. Dan tidak sedikit para
pemuka agama dan psikolog yang mulai terbuka pemahamannya tentang keberadaan
homoseksual. Apalagi besar pengaruhnya jika kita mengusung ibumu buat terus
mendeklarasikan pengakuannya tentang perberdayaan kaum homoseksual Indonesia.”
“Kita harus berani menerobos keortodokan keyakinan agama. Dan jika agama yang
sudah terbentuk masih menentang berkembangnya sekte homo, kenapa tidak kita membentuk
agama baru dengan peraturan yang baru tanpa mengalihkan keyakinan yang baku tentang
periketuhanan yang maha esa. Asalkan kita masih berazaskan ketuhanan, Indonesia tentunya
masih mengakui keberadaan kita sesuai janji Pancasila. Juga kenapa kita meski takut neraka
karena menurut cendikiawan muslim Cak Nur juga bahwa orang yang akan selamat masuk
syurga itu memang orang Islam, tetapi tidak terbatas pada keanggotaan formal dalam agama
Islam. Setiap orang yang menyerahkan hatinya kepada rahasia Ilahi sesuai keyakinan
agamanya, tidak akan ditolak Allah,” Muslim semakin mantap berpegang teguh pada
keyakinannya.
Suasana hening sejenak. Keduanya sama-sama berpikir kritis tentang rencana sepak
terjang buat mempertaruhkan kecemerlangan masa depannya.
“Kedengarannya dibawah sepi,” Muslim seakan baru menyadari suasana rumah.
“Mengikuti ESQ katanya di hotel Brilliance Star.”
“Tidak mengajakku?”
“Eh, katanya yang terdaftar hanya 6 orang. Tadinya keluarga mau ngajak security.
Karena securitynya pulang. Maka diganti sama nenekmu. Ayahmu asalnya mau ngajak kamu
sama aku, tapi ibumu terlanjur udah ngajak kedua pembantu sejak kemarin. Emangnya ESQ
itu acara apaan sih?” terang Christian diakhiri pertanyaan.
“Emotional Spirit Quotient. Cerdas Spirit dan Emosi. Sebuah acara yang mengusung
harapan misi cerdas hidup dalam menyeimbangkannya perkara dunia dan akhirat umat Islam
seluruh dunia di tahun 2020. Mungkin kamu juga akan langsung dibuatnya menangis
mengikuti acara itu. Sebab rangkaian acaranya cenderung mencuci bersih rohani kotor kita.
Kita dibawa hanyut ke alam bawah sadar kita dimana segala dosa dan kesalahan kita laksana
menjelma begitu nyata mencemoohkan kita. Untuk apa sebenarnya tujuan hidup kita.
Kemana arahnya yang benar yang menunjukkan arah akhir dari rangkaian hidup itu pada titik
Tuhan. Seirama dengan hentakan emosi sang Tutor, musik yang bergemuruh beserta
gelapnya ruangan yang menampilkan sketsa alam angkasa luar semakin kita merasa
melayang-layang dalam imaji kehidupan dalam diri yang berlumur dosa."
“Ada kecenderungan dengan mudahnya aku bakal masuk Islam setelah mengikuti
acara itu.”
“Kemungkinan besar. Tapi apa yang dapat dibanggakan dari dirimu oleh orang Islam?
Yang jelas hanya akan menambah makin amburadulnya moral Islam. Aku tidak mau
mencemarkan agama manapun. Kecuali kalau kamu mau insyaf tidak lagi menjadi
seorang queer, aku bersedia membimbingmu masuk Islam sekalian meluruskan sifat
menyimpangku,” tandas Muslim.
“Bagaimana kalau kita menirukan kegiatan ESQ guna merekrut persatuan kaum
homoseksual?”
“Sifat manusia memang cenderung latah ketimbang kreatif. Bagi kalangan umat Islam
yang membiasakan diri dengan ESQ ada baiknya juga. ESQ itu kreatif. Sayangnya menarik
uang pendaftaran sebesar tiga ratus ribu rupiah dengan tujuan agar si orang dapat benar-benar
insyaf karena sayang sudah mengorbankan uang yang cukup besar untuk mengikutinya.
Padahal seorang AA Gym yang berpenampilan sederhana tidak berdasi dan tidak berjas
dengan peralatan dakwah hanya menggunakan pengeras suara biasa tidak memerlukan alat
bantu sound system dan video rekayasa sekalipun beliau mampu menghantarkan jemaat
dakwahnya pada linangan air mata taubat. Sementara ESQ? Mungkin menurut hematku tidak
jauh beda dengan liberal tidaklah mencerminkan simbolik kesederhanaan Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad. Liberal lebih tampak jelas tinjauannya pada keduniawian.
Liberal cermin dari kemewahannya orang Islam. Diperuntukkan hanya buat para hartawan
belaka. Apa mungkin seorang miskin bisa ikut menerima ceramah multivisinya? Apalagi
dalam persatuan busana baru orang berdasi. Mimpi rasanya. Jauh kiranya dari struktur
kesahajaannya Islam. Diseragamkannya mukena sebagai busana sembahyang bagi kaum
hawa juga justru demi menyamakan penilaian lahiriyah dari status sosial masyarakat yang
berbeda. Juga demi menghindari terjadinya rasa minder bagi yang miskin dan perbuatan riya
bagi si kaya. Ini malah perempuan liberalis sekarang tampak bebas berpakaian saat
menghadap Tuhannya. Meskipun memang tidak ada batasan larangannya, tapi sungguh
sangat berbentrokannya dengan budaya Islam miskin di perkampungan. ESQ tak lebih adalah
siraman ruhani bagi kaum moderat. Bentang pemisah umat Islam melarat dengan para
konglomerat. Tapi memang sih, perlu dana lumayan besar juga untuk sekali kegiatan ESQ
saja. Tak salah. ESQ bagus. Karena orang-orang yang tolol dan goblog yang tidak mengenal
Tuhannya kebanyakan adalah orang-orang kaya dan kaum bangsawan. Jadi orang-orang fakir
miskin tidak usah repot-repot buat kerja keras cari duit untuk ikutan ESQ, karena sasaran
ESQ hanyalah orang-orang kapitalis yang mulai atheistic,” umpat Muslim mengkritik sengit.
“Kamu bercakap banyak dengan ibuku?” tanya Muslim kemudian.
“Ngobrol ringan saja.”
“Apa Fitrea tidak mengadu perihal permainan sexku dengan Elqo?”
“Dia tidak banyak bicara. Tampaknya mumet banget. Makannya juga sedikit. Oh ya,
kamu makan dulu sana. Entar gak bersemangat lagi waktu intim,” Christian mengingatkan.
“Kamu udah berasa kenyang?”
“Mana bisa tenang makannya juga inget sama kamu terus. Aku gelisah gak enak sama
kamu. Kan orang yang saling mencintai mestinya selalu bersama dalam suka dan dukanya.”
“Kamu makan lagi barengi aku ya,” ajak Muslim menarik lengan Christian agar
mengikutinya. Keduanyapun keluar kamar berjalan bergandengan begitu mesranya hingga
tak terlepas meski menuruni tangga sekalipun.
“Kamu pengen makan sama apa?” tawar Muslim sesampainya di ruang makan.
“Tak ada sesuatu yang lebih kan selain dari menu yang tadi dihidangkan?”
“Kalo kamu pengen biar aku beli dulu keluar sana.”
“Gak usah ngerepotin lah. Lagipula makanku juga paling dikit tinggal ngenyangin
doang.”
“Maksudku sekalian beli minuman kesukaanmu.”
“Kamu perhatian banget sih.”
“Aku mesti ngerti juga apa kebiasaanmu.”
“Tapi sebagai kekasihmu aku mestinya ngertiin kebiasaanmu juga. Mungkin lebih
baik aku berhenti minum demi menyelaraskan kebiasaan kita.”
“Itu pendapat yang bagus. Tapi siapa bilang aku tidak doyan minum. Setiap kali
kencanku dengan Elqo sudah barang tentu minuman keras adalah sajian wajib diantara kami.
Elqo orangnya nyenengin banget. Bahkan tak tanggung-tanggung ia membelikan minuman
termahal di setiap pesta dansa,” cerita Muslim membuat kemuraman di wajah Christian.
“Kenapa?” Tanya Muslim heran.
Christian sejenak menarik nafasnya. “Aku cemburu!”
“Lho, denger gitu aja udah cemburu.”
“Apa kamu dengan Elqo masih hubungan?”
“Emangnya kenapa?”
“Enggak. Mungkin aku perlu berjuang lebih keras lagi untuk sepenuhnya dapat
memenangkan hatimu.”
“Justru itu tentang apa yang pernah aku bilang. Kamu jangan terlalu berlebih-lebihan
mencintai aku, karena aku belum tentu bisa setia dan membahagiakanmu.”
Christian terdiam. Muslim telah siap dengan hidangan makannya. Lalu ia duduk di
kursi samping Christian.
“Kenapa? Kamu marah padaku?” Tanya Muslim lembut sambil menatap wajah
Christian yang dingin tak bersinar.
“Aku sadar. Tapi aku harus berani menanggung resikonya. Aku akan terus berjuang
demi mendapatkan cintamu seutuhnya,” bisik Christian mantap.
“Christ!” Muslim menggenggam jari-jemari tangan Christian dengan halus.
“Bukannya aku tidak percaya pada ketulusan cintamu padaku. Bukannya aku tidak
menghargai semua apa yang telah kau janjikan. Aku sangat kagum dan tersanjung atas betapa
besarnya harapan cintamu untukku. Tapi aku sangat memohon pengertianmu. Tidak semudah
itu untukku bisa meninggalkan Elqo. Sebagai pecinta sejati, tak baik berlaku sebagai
pengkhianat terhadap kekasihnya. Sekarang terserah pilihanmu. Untuk saat ini,
bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa terlepas dari Elqo. Meski antara aku dan dia
belum pernah terucap kata saling mencintai. Tapi kebiasaan kami sudah lebih romantisnya
dari cerminan apa yang dinamakan cinta.”
“Aku tidak perduli kamu masih saling mencintai apa tidak. Tapi aku akan tetap
bertahan untuk menjadi kekasihmu sampai kapanpun. Aku akan tetap berusaha keras menjadi
kekasih pilihanmu. Karena aku sangat terlalu mencintaimu. Sangat!” Christian meremas
genggaman jemari Muslim. Lalu diciumnya perlahan penuh kelembutan irama cinta.
“I love you so much. Cintaku padamu tak ada batasan waktunya. Always, I want you
beside me,” suara Christian bergeletar dengan tatapan yang sayu penuh pengharapan.
Muslim tidak kuasa lama-lama beradu dengan tatapan seorang penghamba cinta itu.
Hatinya tersentuh. Nuraninya gemuruh. Bergejolak laksana mendidihnya kawah asmara di
puncak gunung Pangrango.
“Kita makan,” Muslim melepaskan genggamannya. Jemarinya beralih pada sendok di
atas piring yang sudah penuh dengan sajian lezat.
“A’!” Muslim menyuapi Christian.
Sejenak Christian menatap Muslim. Lalu iapun menyantapnya.
“Biar aku yang menyuapimu,” Christian merebut sendok di tangan Muslim.
Kemudian ia segera menyuapi Muslim. Keduanya begitu mesra dan romantis. Laksana
sepasang sejoli yang lagi kasmaran dimabok cinta.
“Ada telepon,” ujar Muslim meracungkan telinganya ke ruang tengah.
“Angkat dulu sana,” suruh Christian solider.
“Maaf ya. Aku tinggal dulu,” Muslim lekas beranjak meningglkan ruang makan
dimana Christian harus sabar sebentar menungguinya.
“Elqo!?” Muslim seakan kurang percaya dengan siapa yang menghubunginya.
“Iya. Kok rumahnya nampak sepi? Security kemana?” Elqo terdengar heran.
“Kamu di depan gerbang halaman rumahku?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa tidak menghubungi nomor ponselku?” Muslim berjalan menuju jendela.
Lalu ia menyibakkan gardennya dan melihat keluar.
“Udah beberapa kali nyampe kesel. Tapi kenapa gak diangkat? Kemarin juga kenapa
nomormu gak aktif-aktif? Makanya sekarang aku datang buat mengetahui keberadaanmu.
Aku merasa cemas sekali,” cerita Elqo.
“O, sory-sory. HPku tidak ku pegang. Ketinggalan di kamar. Tunggu dulu bentar ya,
aku bukain gerbangnya,” Muslim menaruh kembali gagang telepon. Lalu secepatnya keluar
rumah setengah lari-lari menuju gerbang. Di balik gerbang diluar sana sebuah thunder
terhenti dalam tunggangan sesosok lelaki berhelm. Muslim berseri-seri membukakan kunci
gerbang menyambut kedatangan tamunya itu. Setelah Elqo dengan thundernya masuk
melewati pintu gerbang, Muslim kembali menutup dan menguncinya. Kemudian iapun
nunggang di jok belakang serta melaju perlahan menuju rumah.
Christian tertegun berdiri di ambang pintu. Dipandangnya Muslim yang turun dari
motor itu dengan api cemburu yang membakar jiwanya. Apalagi, lihat! Si ganteng cowok
keren yang baru memarkir thundernya itu memberikan setangkai mawar biru kepada Muslim.
Lalu mereka berciuman pipi. Hah … betapa berkobarnya bara itu menghanguskan perasaan
Christian! Api amarah dan bara cinta menyala dalam tungku yang sama. Apakah kuali akan
menghidangkan sajian menu yang berselera? Tidak! Selain dari resultnya makanan beracun
yang mematikan.
“Hai, Christ!” Muslim sedikit terkejut juga menemukan Christian disitu.
“Kenalkan, inilah yang namanya Elqo,” kenal Muslim.
“Christian,” ujar Christian menyambut uluran tangan Elqo dengan sedikit senyum
yang dipaksakan.
“Fitreanya ada?” Tanya Elqo.
“Keluar bareng keluarga. Nanti tengah malam mungkin pada pulangnya. Eh, mau
minum apa?”
“Biasa kopi ginseng. Kalo gak mau minum sekarang.”
“Emangnya kamu bawa?” Muslim memandang Elqo. Cowok keren berpenampilan
rapi berjaket itu.
“Jangan ditanya,” Elqo tersenyum sambil duduk di sofa serta menaruh serangkai
bunga tulip yang dibawanya di atas meja.
“Christ! Temenin Elqo ngobrol. Aku ambilkan minum dulu,” Muslim bergegas ke
dapur.
Setelah Christian duduk berhadapan dengan Elqo dengan tetap mengusung raut muka
yang sangat tidak mood sekali. Elqo pun segera mengajak Christian berbicara.
“Kamu temannya Muslim?”
“Lebih dari itu,” jawab Christian sangat memaksakan diri.
“Saudaranya?”
“Pacarnya,” tandas Christian jelas.
“Masa sih? Emangnya sejak lama kalian sudah saling mengenal? Kok aku gak tahu.
Muslim pun yang biasanya terus terang tidak pernah cerita tentangmu sebelumnya.”
“Mungkin karena dia tidak ingin melukai perasaanmu.”
“O, ya. Ku rasa Muslim bukan tipe orang yang suka menutup perasaannya jika
berhadapan denganku. Dia terbuka sekali tentang permasalahan yang dialaminya.”
“Hati orang siapa tahu. Mungkin saja Muslim ingin membalas rasa sakit hati karena
ketidaksetiaanmu yang selalu saja masih suka berkeliaran mencari mangsa. Apa tidak
menutup kemungkinan seorang Muslim merasa tidak dihargai perasaannya olehmu atas
kesetiaannya terhadapmu tetapi kamu tidak pernah mau mengerti untuk mengikrarkan kata
cinta sebagai pemersatu hubungan intimmu dengannya?”
Elqo memandang Christian dengan tatapan egonya yang mulai meninggi. “Kamu
jangan coba memicu perselisihan antara aku dengannya. Aku dengan Muslim telah terikat
janji, bahwa permainan sexku diluar kencan dengannya itu semata hanya buat mencari nafkah
hidup saja. Bukan demi memuaskan hasrat sex dan senang-senang. Tapi buat biaya hidup
kami berdua. Karena setidaknya aku ikut membiayai dana operasional hidup Muslim sehari-
hari.”
“Sekarang kamu tidak akan bisa keluar masuk bebas rumah ini lagi. Karena Fitrea
sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya antara kamu dengan Muslim,” ungkap Christian.
“Yang bener aja!” Elqo seakan tidak percaya.
“Apaan?” Tanya Muslim yang muncul dengan nampan berisi tiga cangkir kopi
ginseng panas.
“Fitrea sudah nonton rekaman video sex kalian,” seru Christian.
“Heeh, aku mau minta maaf banget El,” Muslim memohon pengertian Elqo.
“Ya, lebih bagusnya gitu lah,” sahut Elqo tidak menampakan raut kekecewaannya.
“Bagus apanya?” malah Christian yang nampaknya jadi tidak senang akan sikap Elqo.
“Daripada hubungan kita terus-terusan ditutupi kebohongan. Dari dulu juga aku
inginnya terbuka. Ngomong baik-baik sama keluargamu. Aku selalu merasa bersalah sekali
jika setiap kali berhadapan dengan Fitrea. Aku tidak tega ia berlama-lama jadi korban
kemunafikanku. Makanya aku selalu mencoba mencari jalan terbaik buat ngomongin
permasalahan ini. Tapi sekarang, syukurlah tak perlu repot lagi aku berfikir menemukan
solusi tepat buat terus terang seandainya Fitrea sudah tahu dengan sendirinya tentang siapa
aku yang sebenarnya,” tanggap Elqo mensyukurinya.
“Minum dulu kopinya,” Muslim duduk disamping Elqo.
“Thanks ya!” Elqo mengecup pipi Muslim dengan hangat sambil seraya meraih
secangkir kopi dari atas meja. Lalu ia mereguknya beberapa teguk. Setelah kemudian ia
kembali menaruhnya.
“Pas banget. Nikmat!” Elqo mengailkan sebelah tangannya ke bahu Muslim membuat
Christian kian panas membara terbakar kobaran api cemburu yang meluap-luap.
“Sudah makan?” Tanya Muslim.
“Sebelum kesini barusan di jalan,” jawab Elqo.
“Kamu lapar?” lanjut Elqo.
“Enggak juga. Baru saja usai sama Christian disaat kamu menghubungi.”
“Hubungan kita sekarang gimana?” Elqo kembali pada persoalan sebelumnya.
“Gimana apanya?” Muslim seolah-olah tidak paham.
“Sekarang Fitrea kan sudah tahu siapa aku. Juga tentunya mungkin mengecam antara
aku denganmu. Jadi sebaiknya kita harus gimana? Aku kira kamu tidak akan sampai
keterlanjuran menjadi gay mengingat omonganmu waktu itu pernah serius mau break dari
permainan sex denganku. Padahal tidak keberatan bagiku kalo kamu sampai nikah juga sama
perempuan. Itu kan lebih baik. Kamu akan dipandang normal oleh masyarakat. Aku siap
membantu supaya kamu bisa belajar untuk mencintai perempuan. Aku punya klien-klien
cantik dan binal yang mungkin bisa menggairahkan berahi sexmu. Kamu bisa belajar
berhubungan sex dengan mereka. Aku jamin tidak akan mengecewakan. Apalagi ini tidak
membutuhkan biaya kursus. Mereka pekerja sex relawan yang siap membantumu untuk
terbiasa melakukan sex sebatas kenormalan kejantanannya seorang laki-laki,” kilah Elqo
begitu bijak dengan sarannya yang membangun keyakinan di hati seorang Muslim. Dan
mungkin juga didengar jelas oleh sesosok ganteng Christian yang menanggapinya hanya
dengan kemengkalan perasaannya.
“Percuma El. Selama aku bisa melihatmu, selama itu pula perasaan kasih dan
sayangku padamu terus berbunga. Sebagaimana yang kamu ketahui tentang perjalanan
sejarah sexku, dulu aku pernah mencoba untuk belajar mencintai perempuan. Tapi bukankah
dirimu sendiri yang sengaja menjatuhkan rasa percayaku pada cintanya perempuan?”
“Benarkah? Kapan?” Elqo merasa terkejut dan heran mendengar penuturan Muslim
yang menyudutkan kesalahan padanya.
“Sewaktu aku masih di SMA dulu. Mungkin kamu sudah tidak mengingatnya lagi.
Waktu malam konser sebuah band di alun-alun. Kita memang tidak saling mengenal. Dan
akupun kiranya tidak akan pernah mengenalmu seandainya Vegina tidak curhat terhadapku.”
“Vegina!?” Elqo melongo.
“Iya. Waktu itu aku lagi pacaran dengannya. Aku mencoba berlaga jadi cowok
normal. Tapi sayangnya kendati berat di hati, kecambah tumbuh di jantung. Jamur luka
bertengger di upuk otak. Kepercayaanku terhadap wanita hilang sirna di malam itu. Monee
pacarku yang lain ternyata selingkuh dengan teman sekolahku sendiri. Vegina yang sangat
perhatian itu ternyata dia tak lebih dari seorang pelacur. Wanita malam yang juga terjerumus
karena perkenalannya denganmu. Vegina adalah teman nongkrong sepropesimu. Hingga
malam itu ia sengaja menelponmu buat menghajarku karena sikap kecewanya padaku yang
tidak bersedia bermain sex dengannya. Kamu kan yang memukulku hingga pingsan di malam
itu? Kamu juga yang membawa serta mobilku diparkir ditempat sunyi. Elqo yang kejam dan
tak punya hati. Elqo yang sok gagah dan pemberani. Tapi mungkin saat itu kamu memang
tidak mengerti…” Muslim memutar kembali masa lalunya. Sepertinya peristiwa itu tidaklah
kan pudar terekam jelas di sanubarinya.
Elqo menatap Muslim tidak berkedip. Ada sebongkah perasaan yang bergelut di
hatinya. Ada sesuatu yang melonjak dalam jiwanya hingga menekan-nekan sesak di
jantungnya.
“Apa yang bisa kamu pertanggungjawabkan sekarang atas tindak bodohmu itu?”
Christian ikut memicu kempisnya kebijakan paham Elqo.
“Kenapa kamu tidak bilang sedari dulu?” Elqo mempertentangkan.
“Ku kira Vegina cerita soal ini.”
“Dia tidak pernah cerita apapun tentangmu soal ini.”
“Lalu bagaimana mulanya kamu tiba-tiba hadir dalam pergaulanku?”
“Vegina memang yang memperkenalkan kamu padaku. Tapi kenapa kamu mau-
maunya ikut pergaulanku?”
“Awalnya aku tidak menyangka kalau Elqo yang ku kenal adalah Elqo yang telah
meruntuhkan harga diriku sebagai lelaki. Tapi setelah aku mengenal nama Vegina dari
mulutmu. Aku baru menyadari bahwa dirimu adalah Elqo yang liar itu. Bukannya kebencian
yang tumbuh saat aku tersadar dari semuanya, melainkan rasa simfati dan jatuh hati yang
langsung merasuki pikiranku. Aku merasa bangga bergaul dengan seorang gigolo. Apalagi
orangnya sangat pengertian. Selalu bersikap romantis dan perhatian. Membuatku selalu
merindukanmu. Merindukan jalan-jalan denganmu. Yang membuat perasaanku selalu
bergetar dan melambung tinggi. Aku terpesona padamu. Dan selalu terpesona. Entah sampai
kapan. Aku selalu terlena. Selalu tersiksa. Aku merasakan siksa cinta yang sangat mendalam
padamu. Dalam sekali. Siksa yang harus menuntut pengertian dan kesadaranku sendiri,
bahwa dirimu bukanlah seorang homosex melainkan seorang bisex yang ada kecenderungan
kamu suatu waktu akan mempersunting seorang perempuan untuk menjadi pemuas sex akhir
perjalanan hidupmu dan meninggalkan kehidupanku tanpa sebilurpun bekas hasrat di
kelaminmu saat-saat bersamaku …” tutur Muslim lirih penuh duka.
Elqo menghempaskan nafasnya sesak. Seolah ada beban berat yang menumbuk paru-
parunya. Dan terdengar berat-berat juga ia bicara,
“Dulu ku dengar senandung cinta dan janji-janji seorang gay senior sempat
membuatku muak dan membencinya. Tapi sekarang, aku baru memahami tentang perasaan
cinta itu yang sesungguhnya. Mungkin petualangan sexmu sebagai seorang homo sangat jauh
berbanding perbedaannya dengan pengalaman sexku. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ini
terhitung semenjak aku kelas dua SMA, jumlah hari-hariku yang bebas sex tidak mungkin
terkumpul sampai satu tahun. Tapi mengapa, hanya baru pertama kali ini aku merasakan
batinku sangat bergetar hebat. Nuraniku merasa tersentuh mendengar semua apa yang
terlontar dari hatimu. Mungkinkah aku juga merasakan getar yang sama seperti apa yang
bersenandung diperasaanmu? Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri saat ini. Yang
mungkin ku mengerti hanyalah aku harus memahami tentang apakah artinya cinta itu…”
Elqo menatap bola mata Muslim sebening riak embun di hatinya.
“Aku tidak menuntutmu untuk mencintaiku. Aku sangat menghormati keputusanmu.
Dan lagi mungkin tindakanmu itu lebih baik dari kenistaanku. Kamu jangan sampai terjebak
dengan intuisi yang membisikan sifat kemanusiawianmu. Cinta, kasih dan sayang sudah
memiliki alur jejaknya tersendiri. Seperti halnya kita dilahirkan yang pada dasarnya adalah
hanya untuk dimatikan. Proses hidup yang kita tempuh adalah tujuan satu-satunya untuk
mati. Layaknya cinta, kehidupanpun tujuannya sama yaitu kebahagiaan. Untuk
memperjuangkan agar berhasil hidup bahagia, cintapun bergerak sama mencari jati dirinya
yang sudah terukir pada kepribadiannya yang terwujud berkat sosialisasi dengan
lingkungannya. Dengan mudah raga yang masih putih dan bersih menyerap berbagai warna
ruh kehidupan. Hingga ruh-ruh itu bersatu menjadi kekuatan baru dalam jiwa. Dan sudah
barang tentu, sesuatu yang dominan menunjukan rangsangan pada kesenangan dan
kenikmatan cenderung lebih mengelabui watak dan sifat. Hingga tidak heran, jika filterisasi
kebahagiaan yang sedari dini sudah menguasai akal dan nafsu kita maka kita akan
menyuarakan hal yang membahagiakan itu berdasar dari keyakinan dan naluri yang tercipta
atas kehendak Tuhan. Lurus dan menyimpangnya akhlak kita sekarang tidak lain adalah hasil
dari makanan apa yang diberikan pada ternak semenjak dininya. Pur dan bungkil tentulah
menghasilkan ternak ayam yang beda setelah dewasanya. Pemahaman apa yang kita serap
semenjak kecil kita? Berkembang di lingkungan bagaimana masa puber kita? Didikan apa
yang banyak nyangkut di ruhani kita? Semisal aku, walaupun masa kecilku tumbuh dan
berkembang di lingkungan pesantren dan orang-orang berilmu agama, jika ruhaniku tidak
pernah tersentuh pemahaman tentang sex bagaimana mungkin aku menolak kenikmatan sex
yang ditawarkan seorang santri dewasa dan bagaimana pula aku merasakan bahwa tindakan
sodomi itu terlarang mengingat semua perbuatan itu belum pernah aku dengar peraturan dan
hukumnya. Lalu setelah aku ketagihan kenikmatan bermain sex sesama lelaki, apakah ajaran
agama sanggup dengan mudahnya begitu saja meruntuhkan tatanan yang telah kuat
menguasai setiap sel di tubuhku. Sesuatu yang telah mendarah daging, ku rasa bermimpi
jikalah ia berharap membersihkannya sesuci kelahiran. Aku sudah berusaha keras
membersihkan sifat kehomoanku. Tapi setinggi UINpun tingkatan ilmunya tidaklah sanggup
mencuci bersih kadar sifat yang telah melekat di jiwaku. Sudah tak mempan dengan cara
apapun juga untukku menjadi seorang lelaki yang normal yang 100% bisa mencintai
perempuan. Bibirku masih bisa ku paksakan menentang dan bicara lantang homosexsual itu
haram. Tapi dibalik fatwa yang terlontar, di sanubariku tetaplah jelas tersirat kalau aku
munafik! Dengan mudah aku menyuarakan sabda-sabda kebenaran yang sesuai titah Tuhan,
tapi hatiku tercabik sendiri kenapa aku tidak bisa menyuarakan kebenaran yang bertahta di
jiwaku?
Sekarang aku tidak tahu apa yang semestinya aku pilih. Karena bagiku mustahil
apabila harus mendustakan tingginya derajat ke Maha Benaran Tuhan. Apapun yang telah Ia
firmankan lewat Rasul dan kitab-Nya bukanlah titah yang menyesatkan. Hanya saja imanku
lemah dibangunkan pondasi pada latar yang salah. Dan sudah tidak sepantasnya lagi aku
menyiksa diriku sendiri dengan selimut kemunafikan. Karena Tuhan pun mengutuk orang-
orang yang munafik. Maka dari sekarang aku akan jujur, aku tidak ingin menjadi pengkhianat
lagi. Aku akan mendeklarasikan kehomoanku agar tidak ada lagi orang yang merasa tertipu
dengan penampilanku. Untuk apa aku menyembunyikan identitas jati diri kepribadianku, jika
Tuhan sudah tahu dengan sendirinya. Bagiku haram tetaplah haram. Aku tidak akan
mengklarifikasi firman Tuhan yang telah melarang hubungan homoseksual. Karena
menurutku Tuhan itu Maha Yakin tidak pernah bersifat plin-plan. Tuhan itu Maha Tahu, jadi
mustahil Dia salah memberikan hukuman. Sementara itu aku pun akan mencoba bertahan
hidup. Aku akan berjuang mempertahankan kehidupanku sebelum datangnya maut yang telah
dipastikan. Tentunya motivator yang sangat kuat mendominasi faktor mobilisator kehidupan
manusia adalah sex. Seorang suami yang baik sekalipun tergerak untuk mempertahankan
hidupnya hanya karena dorongan sex yang dimotori dengan rasa cinta. Sejauh mana ia
merantau, ia akan kembali menemui istrinya di kampung halaman demi tersalurkannya hasrat
sexnya. Mencari nafkah, kerja keras, banting tulang tak lain ujungnya seorang suami yang
baik adalah istrinya. Seorang remaja adalah harapan tersenyumnya seorang kekasih. Bahkan
lebih diharapkan kekasihnya setia hingga ia mempersuntingnya. Bukankah harapan pusat dari
kehidupan ini adalah sex? Lalu bagaimana aku akan bertahan hidup seandainya hasrat sexku
tidak tersalurkan? Jikapun aku harus menikah dengan perempuan, apakah itu tidak akan lebih
hina dan menambah pasokan nilai dosa? Sebab dipaksa diperadukannya penisku dengan
vagina tidaklah mungkin sanggup membangkitkan gairah sexku. Oleh sebab itu,
pernikahanku hanyalah akan menjadi ladang dosa semata karena aku tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan batin istriku. Aku tidak akan sanggup melakukan kewajibanku sebagai
seorang suami.
Dengan demikian alangkah lebih terhormatnya aku membuka mata semua orang
tentang siapa aku. Terserah mereka mau mempergunjingkan aku, menghina dan mencaci
maki sampai dibatas kepuasan mereka. Karena dalam pandanganku, aku telah berpihak pada
keyakinan dan kebenaranku untuk bisa hidup. Sebagaimana agama yang menuntut sebuah
keyakinan para pemeluknya dalam iman pada Tuhannya. Karena sesuatu perbuatan yang
berazas keyakinan akan mencerminkan perilaku yang optimal dan percaya diri.
Aku sudah tidak punya keputusan lain. Aku terlanjur mencintai laki-laki dan banyak
mendapatkan kenikmatan hubungan sex dengannya. Aku kira sifatku tidak mungkin lagi
berubah. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa pilihanku ini memang salah. Aku mengakui sifat
sexku menyimpang dari tekstur psikologis dan aqidah. Tapi jika rasa ini memang lebih
nyaman dan lebih mendamaikan perasaan hati dan pikiran, kenapa aku mesti berusaha keras
untuk membantahnya?
Sekarang keputusan kalian ada di tangan kalian sendiri. Soal Christian aku sudah
banyak mengerti. Mungkin boleh dibilang sebagai kembaranku. Tapi kamu El, selagi kamu
bisa berhasrat dan punya nafsu bercinta dengan perempuan, alangkah lebih baiknya kamu
menjalani hidup normal. Kamu akhiri petualangan sexmu. Ku rasa sudah cukup umur dan
materi untukmu hidup berumah tangga. Seberat dan sebesar apapun perasaan cintaku
padamu, akan sangat tololnya jika aku menjadi hambatan untukmu mengenal hakmu dalam
keadilan Tuhan. Aku rela jika kamu akhirnya menikah daripada kita berlama-lama
menggantungkan hubungan yang tidak jelas kemana arahnya…” setelah panjang lebar
menyerukan suara nuraninya Muslim pun akhirnya menyerahkan sebuah keputusan yang
sekiranya menjadi pilihan terbaik buat masa depan hidup mereka.
“… Iya. Sebaiknya kamu segera menikah saja,” dengan nada suaranya yang lembut
Christian menyetujui pendapat Muslim.
Betapa mengharubirunya perasaan Elqo saat ini. Ada cinta dan harapan juga Tuhan
dan agama, yang membuat pikirannya kini sangat kritis dalam dilemma. Akal dan nafsunya
berkecamuk dalam perang keyakinan di hatinya. Mungkinkah nuraninya akan bicara setelah
sekian lama hidupnya bergerilya dalam nafsu? Masih adakah tersisa puing-puing nurani di
palung jiwanya yang telah membeku? Elqo, siapa yang mengenal latar belakang
kelahirannya?
“Jadi kamu tetap akan mengambil keputusan untuk menjadi gay sepanjang hidupmu?”
akhirnya Elqo bicara juga yang masih mempertanyakan keputusan yakinnya Muslim.
“Kamu masih meragukan pilihan hidupnya?” Christian menimpali.
“Takutnya keputusanmu itu dipengaruhi oleh ide picik anak Kristus ini,” kilah Elqo
membuat merah paras Christian.
“Justru kamu jangan terus memaksa memasukan paham-paham kebenaranmu dalam
otak Muslim. Dia sudah jelas tahu dan paham serta mengakui bahwa gay itu tidak normal dan
haram. Tapi kenapa kamu malah terus meracuni pikirannya? Atau tujuanmu supaya Muslim
itu gila?” Christian sangat sewot.
“Hai keturunan Israel. Siapa yang tidak kenal kepicikan bangsa lo? Dari dulu Nasrani
tidak pernah menghargai dan menghormati keberadaan agama Islam. Elo selalu menjadi
biang kerok permusuhan umat kami. Elo selalu mengadu domba antar kami. Dan harap elo
tahu, gue tahu siapa lo. Misi elo ngedeketin Muslim adalah guna makin memporak-
porandakan utuhnya keyakinan berketuhanan dengan misi homoisme yang elo emban dari
misionaris Liberal Christiani. Elo adalah bintang video porno homo. Elo juga kan yang selalu
bilang dalam setiap adegan sex lo bahwa Tuhan Bapak lo dengan Tuhan Anak suka
melakukannya di syurga nan damai? Jangan mimpi elo bisa menghancurkan harga diri teman
seiman gue agar tersesat dalam perangkap misi Kristenisasi lo!”
“Elo pikir elo tahu apa tentang gue heh?” Christian bangkit menarik jaket bagian
depan Elqo dengan kasar.
“Elo jangan nambah runyam suasana. Denger ya, gue dengan Muslim kenal dengan
baik-baik. Gue dengannya berhubungan dengan baik-baik. Keluarganya menyambut
kehadiran gue dengan baik-baik. Apa urusannya dengan lo yang malah nimbulin keributan,
goblog?” Christian mendorong keras tubuh Elqo hingga hampir-hampir sofa tempat
duduknya terjungkir.
Elqo merah padam. Nafsunya melonjak cepat menguasai emosinya hingga ia lekas
bangkit mendekati Christian yang masih berdiri dengan amarahnya yang meledak.
“Syaitan lo ya. Masih juga mengelak dan memperbaiki nama baik,” Elqo memukul
muka Christian dengan berang.         
Christian melenguh kesakitan. Tapi Elqo malah kembali menambah pukulannya kian
hebat saja.
“Stop!” seru Muslim kencang.
“Ingat! Bisa-bisa gue membunuh lo!” bentak Elqo menarik tubuh Christian hingga
tersungkur ke meja dan tak pelak lagi segala apa yang ada di atas meja jadi berserakan pada
berjatuhan ke karpet. Termasuk pas bunga dan tiga cangkir kopi yang langsung pecah
berhamburan mengotori lantai.   
Mereka terdiam sesaat terpana menyaksikan keadaan itu. Sementara Christian
berusaha kembali duduk. Elqo dilanda perasaan bersalah. Muslim pun tidak memberikan
komentar apa-apa. Hanya katanya,
“Disini bukan tempat yang tepat buat kalian berdebat dan adu kekuatan. Jadi kalian
yang mesti menanggung jawab resiko atas akibat yang kalian perbuat,” Muslim seraya
berlalu meninggalkan keduanya menuju lantai atas. Tak lama iapun kembali dengan
mengenakan sweater abu-abunya menuju mereka.
“Kemana?” Tanya Elqo segera.
“Pengen ngefresh pikiran,” sahut Muslim dingin serta bergegas menuju keluar rumah.
“Tunggu!” panggil Elqo.
“Elo harus rapiin dulu berantakannya karena ulah elo,” Christian menarik jaket
belakang Elqo.
“Elo pengen gue hajar lagi ya?” Elqo berbalik siap melayangkan lagi tonjokannya.
Tapi Christian segera mengelak dengan gesit serta menangkapnya.
“Kita beresin dulu tempat ini bersama. Baru nanti kita pergi menyusul Muslim,”
Christian memohon kebijakan Elqo.
Setelah sejenak berpikir, akhirnya Elqo pun tergerak untuk bertindak keadilan.
Keduanya serba gesit memunguti pecahan gelas serta menyapunya dan mengepel lantai yang
kotor terkena tumpahan kopi.
“Karpetnya masih basah,” ujar Christian.
“Biarin lah. Yang penting tidak begitu berbekas. Jika lo pengen ngeringin, keringin
aja sendiri,” sahut Elqo segera beranjak pergi.
Begitu juga dengan Christian lekas mengejar Elqo keluar. Disana, tampak jauh
didepan gerbang sedan abu-abu terhenti dimana Muslim sedang membuka kunci gerbang.
Lalu Muslim kembali memasuki lagi mobilnya serta meluncur menembus malam. Elqo dan
Christian pun tak tinggal diam secepat kilat keduanya memburu kendaraannya. Elqo yang
lebih cepat seraya menggaurkan thundernya meluncur keluar meninggalkan pekarangan.
Disusul Christian dibelakangnya dengan Pigeout 506 nya.
 
7   ‘perang;
 
berjuang untuk menang’
 
Suasana tengah malam di belahan kota Jakarta yang tak jua lengang dari
gaduhnya hiruk-pikuk manusia. Meskipun tidak sepadat siang hari, jalan raya yang
menjadi cermin kepribadian sebuah kota besar padat penduduk berkendaraan ini masih saja
menampakan kesombongannya. Perlukah ditanggapi sikap ketakaburannya yang
menyuarakan kepongahannya dengan lantang, ‘waktu adalah uang!’? Seakan uang adalah
Tuhan. Tiada satupun gerak selain demi uang. Waktu tak pernah memberi celah luang untuk
sejenak diam. Seluruh waktunya adalah kesempatan. Lengah sedetik adalah kerugian. Dan,
adakah faktor ketidaksengajaan Tuhan menciptakan matahari dan bulan agar berputar?
Hingga alam mentasbihkan hukum kesempurnaan dengan bergulirnya pergantian siang dan
malam. Masih kurangkah 12 jam perhari untuk memeras otak dan keringat?  Bukankah; ‘…
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari guna
usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya? …’ (Ar-Rum 23). Ataukah memang kita ini
selayaknya adalah Tuhan yang tak pernah kenal lelah menggerakkan serta mengawasi
ciptaan-Nya?
Sedan abu-abu yang dikendarai Muslim itu terus meluncur menembus misteri dunia
malam kota Jakarta. Thunder Elqo tak jauh membuntutinya dalam kecepatan tinggi mengekor
kecepatan Muslim. Christian kian terpanas-panasi dengan isyarat-isyarat ejekan Elqo yang
ditujukan padanya. Elqo sengaja sekali terus menghalang-halangi mobil Christian yang
hendak menyiapnya. Bahkan Elqo sengaja memperlambat laju motornya sambil terus
merintangi Christian yang kian membludak saja nafsunya saking terlalu keseringannya ia
harus mendadak ngerem. Elqo sungguh menjadi sosok makhluk paling menggeramkan bagi
Christian yang tak henti-hentinya terus mempermainkannya. Saking kesal dan pusingnya
Christian pun menekan tombol klakson mobilnya membuyarkan suasana malam yang kian
memanas membakar jiwanya. Lihat, Elqo mendadak memutar kendali arah motornya
mendengar klakson yang dibunyikan Christian begitu lama menghingar-bingar. Ckittt! Elqo
mengerem motornya pas di moncong mobil Christian yang juga dengan kaget spontan
mengeremnya.
“Wei, syaitan lo ya. Mau mampus apa!?” hardik Christian nongol di pintu mobil.
“Elo yang syaitan! Jaga hak orang lain untuk istirahat dengan tenang, dong. Dasar
keparat lo!” timpal Elqo tak kalah sengit.
“Elo yang mesti ngaca bego. Elo sudah terlalu keterlaluan jadi manusia biadab di
negeri ini,” balas Christian penuh emosi.
“Jika elo seorang gantelman. Hadapi gue dengan sifat kejantanan lo!” tantang Elqo
berlaga seorang hero.
“Elo pikir gue takut apa?” Christian segera turun dari mobilnya segera menghadap
panggilan perang.
“Ayo turun lo syaitan. Lawan gue yang lo anggap bermental tempe. Lo kira seorang
gay tidak punya kekuatan! Buktikan kalo elo emang seorang pejantan!” sesumbar Christian
begitu lantang sambil menerjang thunder yang masih ditunggangi Elqo hingga oleng hampir-
hampir tumbang kalau Elqo tidak segera menahannya.
“Elo bener-bener serius ngajak adu kekuatan ya,” Elqo dengan geram langsung
menyerang Christian yang sudah siap siaga.
Akhirnya keduanyapun bergelut di pinggiran jalan di ujung malam itu. Di bawah
remang-remang sinar lampu jalan Elqo dan Christian saling serang dan mengerang. Hiuk,
jbettt! Hgk! Sesekali terdengar mereka teriak saling mengumpat. Tak jarang terdengar
rintihan sakit disertai engahan nafasnya yang ngos-ngosan dalam gelora nafsunya yang pada
membara.
Hingga pada akhirnya Christian tampak kewalahan menghadapi keliarannya serangan
Elqo yang sangat ganas dan sadis. Christian pun terhuyung dan amruk ke aspal. Christian
sudah tidak berdaya. Dalam pandangannya yang samar Elqo menghampirinya kian dekat.
Dibatas kekuatannya itu ia menggulirkan tubuhnya ke arah mobilnya. Sudah tidak ia rasa
betapa sakit dan perih meranjami organ tubuhnya atas baku hantamnya Elqo. Ketakutan
memberikan kekuatan baru buatnya segera kembali naik ke mobil. Antara sadar dan tidak
Christian seraya melambungkan mobilnya seiring bergemanya sirine mobil polisi yang lagi
patroli menyusuri jalan itu. Secepat kilat Elqo pun menghambur thundernya serta melesat
laksana keedanan menyusul lajunya mobil Christian.
Gerungan motor Elqo yang menggaur-gaur kencang sungguh sangat mengacau-
balaukan konsentrasi Christian. Ketegangan dan kepanikan membuat jiwanya kadang
melayang dari kesadarannya. Hingga terkadang laju mobilnya berkelok-kelok dan meluncur
keluar jalur menjadikan para pengguna jalan dan pengemudi kendaraan yang searah
dengannya banyak yang menghardiknya dengan caci-maki yang sangat kotor.
Elqo berhasil kembali memimpin didepan. Christian berusaha menyerempetnya
namun tak dapat. Elqo sekarang seakan menghindari jarak dekat dengannya. Ia terus menjauh
meluncur didepan. Christian berusaha mengejar beriring rasa tegangnya yang kian memuncak
atas suara sirine kepolisian yang kian mendekat. Hingga tidak pikir panjang lagi ia langsung
belok kiri ketika lampu merah menghadangnya di muka.
Kini jalanan menyusuri kawasan yang agak sepi. Satu dua kedai malam di sepanjang
pinggiran jalan masih ada yang buka. Pandangan mata Christian terasa redup terang. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali mengusir rasa nyeri dan peningnya yang
menyerang demikian hebat merasuki kepalanya.
Dan, lihat! Dalam pandangan jarak jauh. Elqo yang melihat sedannya Muslim
terparkir didepan sebuah kedai, segera membalikan lagi motornya yang kebablasan jauh ke
sana dalam kecepatan tinggi. Christian yang sedang dipuncak ketidaksadarannya tidak lagi
menyadari aturan kemudinya yang kian lepas landas menghadang laju cepat thunder Elqo
yang melawan arah. Elqo yang tidak pernah mengira mobil yang dikendarai Christian itu
akan terus melaju dan kian menyisi sangat terperangah ketika untuknya sudah tidak ada lagi
waktu dan kesempatan buat menghindar. Hingga … Jger! Elqo yang berusaha membelokkan
motornya sudah terlambat untuk menghindar. Elqo dengan motornya terpisah terpelanting
jauh tertubruk mobil Christian yang baru berhenti ketika membentur tiang listrik.
Suasana hening sejenak. Sebuah penghujung malam yang mengerikan. Christian yang
sudah tidak sadar sedari tadi tampak terkulai memeluk setir dengan darah segar yang kental
meleleh disela bibirnya. Sementara Elqo setelah terguling begitu jauh ia pun terlentang dalam
pingsan dengan wajah belepotan darah yang mengalir dari kepalanya yang bocor …
Sedangkan di dalam kedai, Muslim tampak terduduk menghadapi sebotol wiski serta
menikmati kepul demi kepulan asap rokok yang dihisapnya. Ia sama sekali tidak tersentuh
alunan kesakitan yang melolong dari jiwa kedua orang teramat dekatnya. Muslim acuh dalam
keasyikannya. Ia seakan tidak perduli pada sang pemilik kedai dan dua orang pengunjung
kedai lain yang berlari keluar setelah mendengar jeritan histeris bertabuh suara hentakan
keras di luar sana.
Baru Muslim tersadar, ketika sang pemilik kedai merebut botol wiski dan lintingan
rokok dari tangannya. Jiwanya yang mulai labil seketika menggerakan otot syarafnya. Tapi
sebelum ia ngotot dan mohon diperlakukan secara adil, Muslim terdiam mendengar
nyaringnya suara sirine menggema di tepi jalan.
“Maaf Mas ada kecelakaan didepan. Kebetulan polisi lagi patroli kemari,” sang
pemilik kedai mohon pengertian sambil kembali keluar meninggalkan Muslim yang tidak
segera ambil tindakan.
Setelah sejenak berpikir, alangkah lebih baiknya jika ia segera pergi menghindari
pertemuannya dengan polisi yang barangkali saja bisa-bisa menyeretnya ke tahanan atas
minuman dan selinting gelek yang baru saja dinikmatinya. Baru saja Muslim berdiri hendak
beranjak keluar, ponselnya berdering. Lalu ia pun melihat siapa yang memanggilnya. Elqo
Alldear. Dengan males ia menerimanya.
“Ada apa? Kalian dimana sekarang?”
“Kami dari pihak kepolisian. Apa Anda keluarganya Elqo?”
“Saya saudaranya. Kenapa dengannya, Pak?”
“…”
Muslim serentak berlari keluar, “Iya, ya. Saya segera kesana.”
“Apa Anda juga masih kerabatnya Christian?”
Muslim tidak menjawabnya. Sesampainya di luar matanya melotot melihat ke pinggir
jalan tepat pinggir kedai itu. Benarkah apa yang telah terjadi?
 
8   ‘taat dan kesetiaan
 
bukti agungnya cinta’
 
Pagi hari yang tenang. Terduduk Muslim disamping Elqo yang terbaring terlentang.
Kepala Elqo terbalut perban. Hanya mata, lobang hidung dan bibirnya yang telanjang. Begitu
juga di bagian dada dan lengan kanan. Lututnya juga sama halnya demikian. Serta beberapa
bilur biru kehitam-hitaman.
Elqo sudah siuman sejak sampai rumah sakit juga semalam. Matanya melirik Muslim.
Muslim menghindari tatapan itu. Seakan ia tidak ingin matanya tiba-tiba basah. Karena di
wajahnya tersimpan sebongkah penyesalan serta kesedihan yang mendalam.
“Terima kasih kau telah sudi menungguiku,” bisik Elqo dalam.
“Maafkan aku. Ini semua salahku,” ujar Muslim pelan.
Elqo menggerakan tangannya perlahan menyentuh tangan Muslim. Lalu
digenggamnya jemari tangan Muslim dengan lembut.
“Jika aku dengan Christian tidak berkelakar, tentunya kamu tidak akan pergi. Ini
bukan salahmu. Tapi salahku sendiri yang menemuimu tidak tepat waktu,” Elqo
menyikapinya dengan kesadaran.
“Akulah yang menyebabkan kalian bertengkar,” Muslim tetap menyalahkan dirinya.
“Jika aku tidak egois. Tentunya antara aku dengan Christian tidak akan berselisih
paham,” tutur Elqo lagi merendahkan dirinya.
“Jika aku tidak kenal Christian, niscaya tidak akan terjadi perselisihan.”
“Sebagai sahabat yang baik. Apa benar aku mesti marah apabila kamu punya teman
lagi selain aku?”
“Sahabat yang baik tidak akan menghadirkan teman barunya hanya untuk memicu
permasalahan dengan sahabatnya.”
“Muslim, siapapun teman barumu itu mungkin aku akan memperlakukan mereka
sama seperti apa yang aku lakukan pada Christian,” Elqo menatap wajah Muslim demikian
lekatnya seakan ia ingin menitipkan pesan hatinya yang mungkin tidak pernah tersirat di hati
pemuda tegap itu.
“Maafkan aku tidak sempat mengerti perasaanmu. Kalaupun aku tahu kamu akan
membenci siapapun orangnya yang dekat denganku. Mungkin aku akan selalu diam di rumah,
hanya demi menunggu kehadiranmu saja.”
Elqo terdengar menarik nafasnya. Lalu disusul ujarnya perlahan, “Bukan kamu yang
seharusnya mengerti perasaanku. Melainkan salahku yang tidak mau mengerti perasaanmu.
Sebagai seorang pencinta kamu pasti sangat mencintai aku. Mendambakanku. Selalu setia
dan selalu merindukanku di setiap waktumu. Melihat latar belakang dan sifat yang terbentuk
dalam karaktermu, aku yakin kamu tipe orang yang sangat setia pada pasangannya. Sehingga
perkenalanmu dengan Christian aku rasa itu bukanlah berasal dari kehendakmu. Meski
akupun merasakan bahwa hatimu juga sangat menyukai sosok lelaki seperti Christian. Tapi
dibalik rasa sukamu itu, dibalik gilanya hasrat sexmu untuk berkencan dengannya itu, kamu
masih bisa menahan gejolak nafsu liarmu untuk tetap mempertahankan rasa cinta dan setiamu
padaku. Kamu berusaha keras untuk tidak mengecewakan perasaanku. Kamu selalu ingin
membuat aku merasa senang karenamu. Karena kamu termasuk tipe orang yang romantis.
Muslim. Aku salut atas kesetiaanmu. Atas besarnya cintamu. Juga atas segala
perhatian dan sikap pengertianmu yang selalu tulus dan bijak saat menghadapiku. Kamu tidak
pernah mempermasalahkan profesiku sebagai gigolo. Bahkan aku sangat tersanjung dengan
sikap ramah tamahmu ketika menyambut tamuku. Kamu menjamunya dengan sangat baik.
Kamu tidak marah mengizinkanku pergi bersamanya. Padahal dia seorang selebritis papan
atas.
Mus. Tidak selayaknya aku marah pada orang yang dekat denganmu. Tidak
sepantasnya aku membatasi pergaulanmu. Karena akupun tidak punya banyak waktu untuk
bersama dan membahagiakanmu. Juga sebagai gigolo akupun dituntut untuk bahagia dalam
bergonta-ganti pasangan…”
“Sebagai gigolo yang profesional, sudah sepatutnya bagimu memuaskan pasanganmu.
Karena yang kamu jalani itu adalah sebuah profesi yang selalu menuntut upah akhir berupa
uang. Maka, bagaimana mungkin aku harus mencemburukanmu dalam hal itu. Bukankah
sedemikian besarnyapun cintaku padamu, tidaklah dapat menyumbangkan sekecil apapun
materi buatmu? Aku yang bodoh. Kenapa aku sampai tergoda dan terbujuk jerat rayunya
Christian. Padahal apakah yang kurang dari dirimu. Kamu telah banyak mengeluarkan
hartamu untukku. Kamu dengan senang hati memuaskan hasrat berahi sexku. Itu kamu
lakukan tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan balas jasa apapun dariku. Padahal, bukankah
demi bisa kencan denganmu saja sudah harus mengeluarkan biaya yang cukup besar?
El. Aku memang tolol. Tidak tahu diri. Tidak tahu balas budi. Kamu berhak marah
padaku. Kamu berhak melakukan sesuatu apapun sesuai kehendakmu padaku. Aku sudah
tidak patut lagi kamu kasihani. Aku sudah tidak dapat dipercayai lagi. Aku sudah tidak setia
lagi. Aku sudah melakukan hubungan sex dengan Christian. Maafkan aku,” suara Muslim
bergetar parau. Air matanya turun berderai membasahi kedua pipinya. Ia menangis getir
menyesali semua kesalahannya. Kesalahan seorang pencinta yang sudah tidak lagi setia
memegang tali cintanya.
“Tidak selayaknya aku mesti marah kepadamu. Tidak sepatutnya aku menuntut
kesetiaan dari dirimu. Yang namanya teman, ia hanya akan mengharap sebuah ketulusan
untuk dekat dan bersama dalam segala situasi. Tak pantas membatasi pergaulannya untuk
mendapatkan kebahagiaannya.”
“Kamu lebih dari sekedar teman bagi diriku. Mungkin engkau juga mengerti
perasaanku. Aku sangat mencintaimu. Dan aku telah menganggapmu sebagai kekasihku.”
“Maafkan aku Mus! Selama ini aku selalu berusaha untuk menghindari perkataan
cinta dengan siapapun. Karena aku takut dengannya. Seorang gigolo tidaklah mesti terjalin
kata cinta dengan setiap kliennya. Dan aku sangat tidak ingin kalau aku sampai terperangkap
dalam ikatan sakral cinta.
Begitupun denganmu. Dulu, aku mengira hubungan sex antara kita hanyalah sebatas
sekedar petualangan dan bersensasi saja. Aku pikir kamu juga sama seperti aku. Kamu orang
yang terbiasa bebas bermain sex. Tetapi kenyataannya lain. Kamu adalah orang pemegang
kesuciannya cinta. Kamu hanya menunggu berhubungan sex denganku. Saat aku tahu
bagaimana dirimu, hatiku seketika goncang. Ada kelembutan dan getar kasih yang kau tebar
disetiap kencan kita. Hatiku luruh oleh sifatmu. Aku baru mengerti tentang arti cinta. Kau
begitu sempurnanya perkenalkan aku pada haqiqat cinta. Keikhlasan dan kebijakanmu dalam
menyikapi pertentangan jalan hidupku yang telah membuat aku terperosok pada perasaan
mendalam terhadapmu. Aku selalu ingat kamu. Saat-saat indah kencanku yang terbayang
hanyalah kamu. Aku selalu merindukanmu. Entahlah aku selalu tersiksa jika aku
berhubungan sex dengan orang lain. Aku selalu merasa bersalah. Entahlah, Mus. Itu cinta
ataulah apa. Yang aku rasa dan harus kau tahu, aku sayang kamu…
Tapi, jiwa sadarku mengingatkanku agar perkenalan kita janganlah sampai
menjerumuskan kita pada alur yang salah. Dulu, aku sangat yakin kalau kamu bisa berubah.
Kamu bisa mencintai perempuan. Dan aku berusaha membantumu agar bisa mencintai
perempuan. Aku sangat berharap kamu bisa menemukan jati dirimu untuk menjadi lelaki
normal. Karena meskipun aku seorang gigolo yang tak jarang berhubungan sex dengan gay,
tetapi nuraniku berontak dan sangat mengecam kaum homoseksual. Hatiku sangat membenci
pilihan hidup orang-orang yang sampai tuanya tetap melajang bertahan dengan nafsunya.
Mus. Aku kenal kamu itu sudah lama. Sekarang mataku telah terbuka. Bahwa cinta itu
tidak selamanya hadir diantara pria dan wanita. Dan rasa cinta itu tidak pernah salah. Jika
cinta diantara sesama jenis itu melantunkan simfoni kedamaian dan menjadi sumber
kebahagiaan, kenapa tidak cinta sejati itu terjalin? Kenapa mesti ngotot mencintai lawan jenis
yang belum tentu memberikan ketenangan dan kesenangan? Untuk apa kita terfokus dan tetap
angkuh pada batas normal dan ketidak normalan? Untuk apa kita menjaga pandangan orang
lain agar menilai kita normal, jika itu hanyalah topeng belaka yang menutupi betapa busuk
dan menjijikannya luka dan cacat perasaan dalam jiwa? Jika cinta yang terjalin antara
homoseksual mencerminkan kerukunan hidup yang sejahtera, apakah itu tidak lebih mulia
daripada pasangan normal yang selalu dipacu perselisihan yang sangat tidak nyaman dan
tidak menentramkan bagi dirinya serta bagi orang disekelilingnya?
Muslim … Tak ada yang salah dari dirimu. Kamu terlalu suci untuk menjadi seorang
gay. Aku minta maaf. Aku telah menjerumuskanmu pada rasa cinta terhadapku. Tidak
sepantasnya aku menerima uluran tulusnya cinta suci seorang gay sepertimu. Aku terlalu
kotor untuk dicintaimu. Aku tidak layak untukmu cintai. Pasanganmu seharusnya gay yang
sesuci dirimu pula. Aku malu atas cintamu…”
Di tatapnya dua bola mata itu. Riak bening berlinang di dua sudut matanya. Elqo
meneteskan sejuknya embun cinta yang terperas dari hatinya. Baru kali ini kebeningan
jiwanya itu berbias di matanya. Laksana jernihnya air yang menggenang diatas lumpur.
Dimana kotoran mengendap jelas namun kesucian tetap terlindung jua.
“El, setulus hatiku aku mencintaimu. Meskipun tidak pernah terlontar kata cinta di
bibirmu. Aku cinta kamu. Meskipun tidak menampik rasa sakit yang kadang menyiksa
batinku atas perilakumu itu. Tapi aku coba tegar dan selalu setia padamu meskipun kamu
mungkin tidak pernah menyadarinya. Akupun telah berusaha keras untuk menghindari
Christian. Tapi aku tak berdaya. Dia terlalu kuat merobohkan bangunan jiwaku. Dia
menyerangku bukan hanya lewat depanku saja. Tetapi pula lewat pertahanan belakang.
Christian telah menaklukan kerasnya prinsip ibuku. Hingga ibuku mendeklarasikan dukungan
moralnya terhadap pemberdayaan kaum homoseksual. Aku tidak berdaya menghadapinya El.
Dia sangat tergila-gila mencintai aku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawannya
selain dari pasrah mengikuti arus cintanya. Karena aku pikir, apa salahnya juga aku jalan
dengannya yang punya janji manis masa depannya ketimbang menunggu kepastian darimu
yang tidak tentu arahnya.”
Lagi-lagi Elqo menghela nafasnya begitu panjang. Seakan-akan saluran
pernafasannya tiba-tiba menyempit hingga memperlambat pasokan udara yang masuk
menjadi sedikit demi sedikit. Namun, sinar itu tidaklah redup dari matanya. Segelintir
senyumpun tersungging di bibirnya. Meskipun siapa yang tahu guratan rasa yang terbentuk
dalam senyumnya itu tak lain dari garis kelukaan belaka.
“Aku mengerti,” bisiknya berat.
“Terserah bagaimanapun penilaianmu.”
“Kamu benar. Aku sadar. Dan aku memahami perasaanmu. Wajar saja bila kamu
terjerat tipu daya Christian. Selain ganteng, dia pun piawai dalam bersilat lidah. Siapa
orangnya yang tidak tergoda melihat penampilan fisik beserta karakternya yang meyakinkan.
Kamu mungkin tidak tahu betul siapa dia. Christian adalah actor gay yang sempat meraih the
best Queer of Asian dari forum gay dunia atas suksesnya film So’ Holy Gay Holy God yang
sempat controversial dan dilematik bagi lembaga sensor Indonesia. Hingga akhirnya film
itupun dicekal dan dilarang beredar di Indonesia. Tetapi akupun sempat menontonnya waktu
aku berkencan dengan actor sinetron gay yang sekarang sudah melangsungkan
perkawinannya dengan sesama actor gay pula di Belanda. Dia mendapatkan kasetnya kiriman
dari rekan gaynya di Singapur.”
“Aku tidak penah tahu akan hal itu. Setahuku Christian pernah di bon untuk
membintangi video porno biasa saja.”
“Siapapun Christian dan bagaimanapun dia. Jika dia sanggup membahagiakanmu, aku
pun tidak keberatan untukmu bisa lebih dekat lagi dengannya. Aku sewajarnya melihatmu
bahagia. Betapa goblognya aku bila sampai melarangmu untuk mendapatkan kebahagiaanmu.
Christian mungkin lebih baik daripada aku. Dia seorang actor gay yang punya rasa cinta dan
pengertian. Tidak seperti aku yang selalu meragukan dan mengecewakanmu …”
“El. Jika kamu masih normal dan tetap ingin normal, aku tulus untuk melepasmu
menempuh jalan yang lurus. Kamu jangan merasa terbebani rasa iba atas cintaku. Seberat dan
sebesar apapun rasa cintaku padamu, akan lebih besar keikhlasanku untuk melihat kamu
kembali pada fitrahmu sebagai lelaki sejati.”
“Muslim. Janganlah menambah siksa pada batinku. Seandainya Christian memang
mencintaimu setulus hatinya. Cintailah pula Christian dengan sepenuh hatimu. Tapi jangan
pernah kau melarangku untuk mencintaimu. Dan aku tidak akan menuntutmu untuk setia
padaku. Karena cinta itu tidak selamanya harus memiliki. Biarlah aku menghadang karma
atas dosaku yang telah mengabaikan cintamu. Aku tulus melepasmu untuk menjadi
kekasihnya. Meskipun betapa sakitnya hatiku tertikam perasaan cemburu yang menggebu-
gebu …”
“El. Sadarlah!” Muslim menggenggam erat jemari tangan Elqo yang bergetar lemah.
Dipandangnya raut muka terbalut kain kasa itu. Ada sayatan perih yang menikam hatinya.
Bilur-bilur kelukaan di wajah itu seakan tergores sama sakit di sukmanya.
“Kamu telah menemui Christian?” Tanya Elqo setengah berbisik dengan tatapan
matanya yang sayu.
“Maafkan aku! Selama kamu ditangani dokter, aku pun menunggui Christian.”
“Bagaimana keadaannya?” Elqo sambil meringis seakan menahan rasa sakit yang
tiba-tiba menyerangnya.
“Tidak separah kamu. Aku kira tetesan darah yang keluar dari mulutnya itu luka
dalam akibat benturan dadanya ke setir. Ternyata bukan. Hanya mulutnya saja yang
membentur setir yang menyebabkan bibir dan gusi-gusinya pecah dan berdarah. Yang aku
herankan, wajahnya sampai luka memar seperti bekas pukulan,” Muslim menceritakan
keadaan Christian.
“Maafkan aku Mus telah melukai kekasihmu. Di tengah perjalanan selama
membuntutimu kami adu hantam. Jika Christian tidak secepatnya pergi dan datangnya polisi
patroli mungkin Christian akan lebih parah lagi aku pukuli. Aku sangat muak melihatnya.”
“Kenapa kamu sampai sebegitu geramnya pada Christian?”
“Aku cemburu padanya. Aku hanya ingin membuktikan seberapa hebatkah
kejantanannya? Tetapi kejantanan ternyata bukanlah faktor utama untuk menaklukan rasa
cinta,” Elqo kembali nyengir menahan sakit.
“Kamu kenapa?” Muslim cemas.
“Tidak apa-apa,” bisiknya sambil tersenyum seolah-olah ia ingin membuktikan bahwa
dia benar-benar pejantan yang tangguh yang sanggup menahan dan melawan kecengengan
atas rasa sakit yang dideranya.
“Lukamu kembali berasa sakit?”
“Luka tubuh yang ku derita tidak separah sakit hati yang ku rasa.”
“El. Kamu jangan berpikiran yang bukan-bukan dan yang lebih berat lagi. Mungkin
lebih baik kamu sekarang istirahat. Tenangkan pikiranmu. Semakin kacau pikiranmu akan
lebih menambah rasa sakit luka berat di kepalamu,” nasihat Muslim mencoba menenangkan
perasaan Elqo agar bisa berpikiran positif demi mengurangi tekanan emosi yang memicu
kuatnya tekanan darah berproses di kepalanya.
“Aku tidak mungkin bisa tenang Mus. Jika keberadaanmu di sisiku ada yang
mencemburukannya.”
“Kamu jangan menyibukan pikiranmu hanya memikirkan sesuatu yang belum tentu.
Aku menungguimu disini berarti hanya untuk menemanimu.”
“Aku tidak berhak atasmu. Aku tidak berhak ditungguimu. Jangan membuat Christian
marah padamu. Dia kekasihmu. Dia lebih berhak mendapatkan pelayanan darimu. Jangan
biarkan dia terbakar api cemburu. Temui dan tungguilah dia. Layanilah dia layaknya
pengabdian mulia seorang pencinta. Aku rela …” Elqo akhirnya terdiam. Matanya terpejam
membekaskan basah air di balutan perban. Jemarinya menggenggam rapuh dalam kepalan
Muslim.
“El. Elqo!” Muslim mencoba mnyadarkan kembali ketidaksadaran Elqo dengan
sangat panik. Berkali-kali ia menyeru namanya namun Elqo tetap terdiam. Warna merahpun
tiba-tiba tampak merambah kain perban yang membalut kepala bagian kanannya. Dengan
histeris Muslim pun seketika berteriak memanggil suster berlari dari ruangan. Muslim dilanda
kepanikan yang sangat dahsyat. Wajahnya tampak tegang. Dengan disertai rasa
kekecewaannya iapun akhirnya duduk diruang tunggu sendirian ketika dokter yang
menangani Elqo memintanya agar tenang. Matanya tak berkedip memandang daun pintu
kamar dimana Elqo dirawat. Sejuta perasaan berkecamuk di dadanya. Ia sangat menunggu
dokter itu segera keluar memberikan kabar baik untuknya.
Seraya iapun bangkit menyambut Dokter itu. Elqo butuh istirahat yang cukup. Untuk
sementara tidak izinkan siapapun menemuinya, kecuali suster yang merawatnya.
Seberapa besarpun keinginan Muslim untuk berada dekat disamping Elqo, ia harus
meredakan rasa beratnya dengan lapang demi cepat membaiknya kesehatan Elqo pula
tentunya. Wajahnya tidak setegang tadi. Rautnya tidak sepanik tadi. Ia menghalau
kemuraman hatinya dengan harapan yang menggunung bahwa Elqo akan segera sembuh.
Elqo akan kembali bicara dengannya. Elqo akan kembali bermain dengannya. Dan tentunya,
Elqo akan kembali bercinta dengannya! Lalu Christian? Ya. Muslim harus lebih dewasa lagi
menyikapi problematika diantara mereka. Dia satu-satunya orang yang masih sehat diantara
sudut segitiga itu. Dia harus berlaku bijak demi mengembalikan dua derajat sudut segitiga
yang hilang itu. Dia harus adil. Karena cinta itu adalah keadilan! Cinta itu peradaban, bukan
kebiadaban!
Dengan perasaan sedikit tegar. Gontai langkahnya menuju kamar pasien yang
bersebelahan dengan kamar dimana Elqo dirawat. Dibukanya daun pintu itu. Lalu iapun
masuk. Kemudian pintu ditutupkannya lagi rapat-rapat. Muslim berjalan mendekat ranjang
pasien. Christian rupanya sedang tidur. Matanya tertutup. Bekas pukulan keras Elqo tergurat
jelas membentuk warna biru lebam di mukanya. Bilur-bilur luka itu mungkinkah sanggup
membuat Muslim mengerti? Bahwa derita yang menyebabkan mereka berbaring di rumah
tidak sehat ini adalah syariat kekuatan cinta! Ya. Apalagi? Jika bukan karena cinta, akankah
perseturuan antara Elqo dengan Christian itu terjadi? Akankah kecelakaan itu terjadi,
seandainya Christian mengendalikan kendaraannnya dalam keadaan sadar?
“Christ!” sapa Muslim lembut pada sosok pemuda indo yang terlentang tenang itu.
Tenang terhanyut ke alam bawah sadarnya. Sejenak melupakan rasa sakit bibirnya yang
sedikit membengkak karena membentur setir mobil itu. Sejenak membiarkan rasa sakit bekas
pukulan yang nyarang di hamparan mukanya itu lenyap.
Muslim mendekatkan wajahnya pada raut muka itu. Perlahan dikecupnya ubun-ubun
kepala pemuda itu dengan penuh kelembutan. Hingga bulu mata itu perlahan bergerak. Lalu
terbuka. Christian pun terjaga. Tatapnya berbinar lembut. Laksana ada tersimpan sekeping
cahaya hatinya yang sempat padam. Bibirnya pun bergerak. Menitipkan pesan hangat sebuah
senyum yang tidak lagi begitu tampak manis di bibirnya. Ia pun berbisik,
“Kamu habis menemui Elqo, kan?”
Muslim menganggukan kepalanya perlahan. Seakan begitu berat dan sangat rapat
sekali kedua belahan bibirnya untuk terbuka.
“Kamu marah padaku? Maafkan aku yang telah membuat Elqo demikian parahnya.
Sungguh aku tidak pernah menyangka kejadiannya akan setragis ini. Ketika pikiranku masih
sadar, aku rasa tidak melihat Elqo didepan mobilku. Hingga akhirnya kesadaranku buyar
karena rasa sakit bekas tonjokan Elqo di kepalaku tak lagi dapat ku tahan. Aku tidak tahu apa
yang terjadi kemudian. Aku benar-benar tidak sadar dengan semuanya. Sadar-sadar aku
sudah berbaring disini ditungguimu.”
Muslim diam saja. Matanya memandang buyar tak terarah. Pikirannya seakan jauh
terbang entah kemana. Ia seperti tidak memperdulikan Christian bicara apa. Lamunannya
menerawang tak menentu. Kesana. Dimana roda-roda pembawa meriam cinta berketipak
menyongsongnya.
Christian perlahan bangkit duduk dari tidurnya. Kakinya ia juntaikan ke tepi ranjang.
Ia duduk tepat menghadap Muslim. Kedua tangannya ia gerakkan. Disentuhnya muka
ganteng cowok itu dengan halus. Lalu didongakkannnya agar melihat ke wajahnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Muslim memaksakan bibirnya tersenyum sebagai tanda jawaban atas tanyanya
Christian.
“Terima kasih kau masih sudi menemui serta menungguiku.”
“Aku tidak akan bisa lama melayanimu. Hari ini juga kamu diperbolehkan pulang.
Sementara aku masih harus menunggui Elqo sampai kiranya ia membaik,” ujar Muslim
akhirnya bicara juga.       
“Aku tidak apa-apa. Mungkin kalau kamu berkenan aku bersedia menemanimu disini
untuk ikut menjaga Elqo.”
Muslim menatap mata itu. “Jangan korbankan perasaanmu. Lebih baik kamu
melupakan aku untuk selamanya. Aku bukan seorang gay yang bisa setia pada satu cinta. Aku
tidak layak dicintai seorang actor sepertimu. Masih banyak orang yang akan lebih
membahagiakanmu. Masih banyak gay-gay ganteng yang lain yang bersedia menjadi
pasanganmu. Jangan bersikukuh mencintai gay kelas bawah seperti aku yang sama sekali
tidak mahir melayani adegan bercintamu.”
“Kamu masih mengatakan sesuatu yang sudah tidak ingin lagi ku dengar. Masih
kurangkah caraku untuk meyakinkanmu bahwa aku benar-benar mencintaimu sepenuh
hatiku?”
Muslim mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam sorot mata itu.
“Jika kamu masih berat hati pada Elqo, apakah sudah pasti dia akan setia
mencintaimu? Jikapun Elqo memang menyayangimu, apakah salah jika akupun sama
mencintaimu? Aku rela menjadi kekasih keduamu. Aku tidak keberatan apabila kamu sampai
membagi cintamu. Karena cinta yang sejati itu terlahir dari nurani tulus nan suci. Kamu harus
dengar aku. Kamu harus percaya itu. Cintaku padamu tidak akan terhalangi apapun. Aku
terlalu sayang kamu Most,” bisiknya serak menahan gejolak hatinya yang memuncak
meluapkan lahar cinta yang mendidih.
Alangkah lembutnya bisikan itu. Alangkah merdunya alunan itu. Cinta mulai menerali
lagi hatinya. Perasaan itu bedesir lagi di aliran darahnya. Jantungnya berdetak lagi tersapa:
cin-ta. Jiwanya merekah, semerbak wewangian cinta yang bermekaran indah. Musim semi,
engkau selalu datang tepat waktu menjala cinta yang terbang diantara lebah, kumbang dan
kupu-kupu. Cinta dan keterpesonaan adalah cermin bening air telaga yang beriak terhanyut
dihempasan nafasmu. Bias raut di wajahmu akan tenggelam di danau itu. Dimana sang lebah
memeraskan sedanau madu untukmu berenang dalam ketelanjangan nafsu.
Dipeluknya erat-erat tubuh Christian. Muslim menyandarkan kepalanya di dada
Christian. Air matanyapun berderai membasahi dada Christian. Begitupun Christian
mendekap hangat kekasih hatinya itu. Ia biarkan Muslim mendengar dengan jelas bisikan
yang bersenandung syahdu di balik dadanya. Ada cinta yang bertabuh disana. Laksana
genderang perang di medan laga. Cinta yang melantunkan genderang perdamaian bagi
mereka yang mengenal betapa menyakitkannya sebuah luka!
 
 9   ‘cinta, sex dan tuhan’
 
Seminggu yang lalu Christian dan Elqo berbaring lemah di ranjang pasien
didalam kamar rawat sebuah rumah sakit. Hari berikutnya Christian dengan setia dan
penuh ketulusan menemani Muslim menjagai Elqo. Meskipun rasa cemburu tak lekang
mengusung perang hati diantara mereka. Tapi, cinta ternyata sanggup menyejukkan segala
murka. Selama hati masih membekaskan cinta, disana kedamaian masih bisa dipaksakan
untuk tercipta.
Kini Elqo terduduk disamping Muslim yang sedang mengemudi laju sedan abu-
abunya. Hari ini Elqo pulang. Setelah seminggu mendekam dalam perawatan.
“Om dan Tantemu sengaja aku tidak mengabarinya perihal kecelakaanmu. Aku tidak
mau mencemaskan mereka. Lagipula aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untuk
menjagamu.”
“Aku ucapkan terima kasih atas segala kebaikan dan ketulusan hatimu. Juga atas
biaya perawatanku selama di rumah sakit,” Elqo mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga.
“Christian yang telah membayar seluruh biaya perawatanmu. Bukan aku.”
Elqo tampak terkejut. “Benarkah?”
“Dia yang menginginkan semua itu.”
“Apakah tidak menyimpan harapan lain dibalik kebaikannya itu hanya demi menarik
simfatimu belaka?”  
“Mungkin Christian tidaklah seperti apa yang kamu kira selama ini. Aku telah lebih
dekat mengenal dia. Soal pembayaran rumah sakit juga ia berpesan agar aku tidak
menceritakannya. Tapi aku tidak mau jika aku merahasiakannya engkau malah
menganggapku yang telah berbaik hati padamu.”
“Biarlah entar aku gantiin.”
“Tidak perlu. Kecuali kamu sudah tidak percaya lagi padaku.”
“Kenapa?”
“Dia akan sangat membenciku. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
“Apakah kamu mencintainya serta merasa takut jika kehilangannya?”
“Kamu mengerti sendiri bagaimana orang yang telah bersentuhan dengan lembutnya
cinta. Dia akan sangat sulit untuk memupus segala goresan warna indah yang melukis
hatinya.”
“Sebaiknya kamu memang mencintai dia,” Elqo menghela nafasnya begitu dalam.
“Kamu jangan bilang lagi sesuatu kata yang menyemangati persengketaan. Kecuali
jika kamu memang sudah membenciku dan tidak ingin lagi melihatku di depanmu. Mungkin
aku akan mewujudkan harapanmu untuk tidak lagi hadir dalam hidupmu.”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya mungkin dia itu lebih baik daripada aku.
Jikapun kamu memang mencintainya, untuk apalagi aku menghalangi kebahagiaanmu?
Bukankah cintamu padanya tidak akan sampai merintangi hubungan kita?”
“Tolong jangan perpanjang lagi membahas masalah ini.”
Elqo pun akhirnya diam. Namun sesaat ia kembali bertanya,
“Christian sekarang kemana?”
“Mengurus dana perbaikan mobilnya sekalian mengambil motormu.”
Sedan abu-abu itu meluncur menembus teriknya matahari yang sebentar lagi bergulir
sekitar 1000 ke arah barat. Namun tidak sampai merangsang tumpahnya keringat di wajah
Muslim. Begitu pula kesejukan tetap menetralkan wajah Elqo. Meskipun wajah itu sudah
tidak lagi semulus minggu lalu. Wajah gantengnya kini belepotan bercak luka. Di dahi, pipi
serta di dagunya masih menyisakan hitam bercak luka yang mulai mengering. Noda putih pun
menghiasi sudut pinggir luar mata kanannya bekas luka tipisnya yang sudah mengering dan
mengelupas. Helm yang dikenakannya tidak menyumbang pertolongan sedikit pun. Karena
terlempar jauh sebab Elqo mengenakannya sembarang pakai sehabis bertarung dengan
Christian.
Muslim membelokkan kemudinya ke kiri menapaki jalan berkerikil sepas mobil.
Persimpangan terakhir menuju rumah Elqo yang berdiri 500 meter dari jalan raya. Rumah
mungil yang asri yang sekelilingnya di pugar pagar teralis serta pohon vinus. Rumah hibah
dari seorang gay yang beberapa tahun lalu telah meninggal. Gay yang merupakan seorang
pengusaha juga pensiunan BUMN. Sebenarnya semula ia lelaki normal. Namun setelah
istrinya meninggal dan anak-anaknya pada sibuk dengan rutinitas kegiatannya, dia sangat
merasa kesepian. Hingar bingar ibu kota tidaklah sanggup mengusir rasa penat dan
kebosanannya untuk menghibur sisa hidupnya. Mencari seorang istri baru bukanlah sesuatu
yang ia harapkan. Sebagai pencinta sejati ia tidak mudah melupakan khasanah cinta pada
istrinya yang telah setia membantunya berjuang menemukan relief megah bangunan
hidupnya. Kerabat kenalannya hanyalah menjadi pengisi sebagian waktunya dikala mereka
punya waktu luang. Sementara dirinya, hampir seluruh waktu yang dipunyainya adalah luang
yang kosong. Siapa yang tak jenuh dengan kehidupan masa tua yang semasa mudanya tidak
pernah akrab dengan Tuhannya? Masa mudanya yang telah berlalu habis dalam pencarian
syurga dunia dengan dalih demi masa depan dan keturunan. Lantas, setelah renta apalagi
yang dapat diharapkan dari masa depan? Jika waktu anak-anaknya habis disibukkan
pekerjaan meneruskan jejak perusahaannya dan mengurus keluarganya. Banban Sironang SE,
setelah meninggal gelar sarjananya sudah tidak berlaku lagi. Karena tanah dan belatung
tidaklah pernah diajari kecongkakan pelajaran hidup. Setelah diciptakan sebagai makhluk
terendah di alam semesta, tugasnya adalah kembali menetralkan apa-apa yang telah terbentuk
dari zatnya.
Banban Sironang adalah senior Omnya. Elqo mengenal pria tua satu ini berkat
tantenya. Semula ia diangkat sebagai grandfather sitter nya. Lalu diakui sebagai anak
angkatnya. Kemudian berlanjut jadi lawan mainnya di atas ranjang. Untungnya Elqo tidak
perlu lama setia mengabdikan dirinya menjadi pencinta lelaki tua renta. Setahun tiga bulan
perjalanan kisah asmaranya, Banban Sironang pun meninggal terkena serangan jantung. Dan
rumah itu akhirnya dihibahkan pada Elqo oleh keluarganya tak luput juga beriring ajuan
tantenya yang memohon kesadaran dan kelapangan pihak keluarga agar mempertimbangkan
Elqo didalam pembagian hak waris. Mengingat pula rumah itu pun bukanlah rumah utama
keluarga besar Banban. Rumah itu hanyalah rumah sebagai tempat istirahat. Lebih layaknya
rumah itu merupakan sebuah vila. Serta vila itu sertifikatnya sudah Banban alih namakan
kepemilikannya pada Elqo Alldear sebelum Banban meninggal.
Muslim memarkir sedannya di halaman rumah itu dibawah pohon vinus yang sedikit
condong. Hari beranjak sore. Jam empat saat itu.
“Keluargamu tidak ada yang menghubungi?” Elqo berdiri menunggu Muslim yang
menguncikan pintu mobilnya.
“Malam itu juga mereka menelponku. Papa sangat marah besar ketika sepulangnya
mereka ke rumah, pintu gerbang dan pintu rumah pada terbuka,” kata Muslim sambil
menghampiri Elqo serta keduanya lalu melangkah menuju rumah.
“Christian yang terakhir keluar.”
“Sama saja. Kita bertiga penghuni rumah itu yang terakhir keluar malam itu,” Muslim
tidak menyalahkan salah seorang.
“Oh, ya. Kunci rumahku … di jacket. Di jacket yang ku pakai itu!?” Elqo seakan baru
tersadar dengan kunci rumahnya yang ia simpan di kantong jacket yang ia pakai waktu
kecelakaan.
“Nih!” Muslim memperlihatkan sesuatu yang diambil dari saku celananya.
“Darimana kamu mendapatkannya?” Elqo heran melihat kunci rumahnya ada di
tangan Muslim.
“Dari jacketmu. Tapi maaf aku telah membuang jacket dan celanamu itu. Habisnya
sudah tidak ada lagi yang mungkin dapat diperbaiki. Robek-robek disana sini. Lagipula bau
darah serta minuman alcohol yang kau taruh di jacketmu itu pecah,” terang Muslim segera
membuka kunci pintu.
“Pantesan di kulit perutku terdapat goresan luka memanjang. Mungkin karena
pecahan botol minuman itu,” tanggap Elqo mengikuti Muslim memasuki rumah.
“Juga aku mau minta maaf atas kelancanganku telah memasuki rumahmu tanpa seizin
dari kamu.”
“Kapan punya waktu kemari? Bukankah kamu selalu berada di rumah sakit
menungguiku?”
“Barang sebentar aku kemari. Sekedar mengurus komputer. Mengetik rancangan
rencana serta menyimpan beberapa dokumen yang sekiranya ku anggap penting.”
“Ternyata otakmu jalan terus buat menyusun agenda masa depanmu rupanya,” Elqo
berjalan menuju kulkas.
“Sejak kemarin aku mengisi kulkas. Ada pepsi dan beberapa botol bir juga buah-
buahan kesukaanmu,” kabar Muslim.
“Terima kasih banget Mus. Kamu selalu saja membuatku merasa senang. Kamu juga
kan yang sudah merapikan berantakannya keadaan rumah?”
“Iya, bareng Christian.”
“Apa?” Elqo terbelalak menoleh Muslim sampai-sampai ia tidak jadi mau meminum
pepsinya.
“Kenapa? Kamu merasa keberatan Christian menginjakan kakinya di rumahmu?”
Muslim menghampiri Elqo.
“Bukan,” sahut Elqo segera meminum pepsi yang telah dibukanya.
“Lalu?” Muslim mengambil pepsi dalam pegangan Elqo.
“Masih ada yang baru. Biar aku bukain,” Elqo sedikit menahan pepsi dari tarikan
tangan Muslim.
“Aku ingin merasakan nikmatnya pepsi yang telah tercelup manisnya bibir sexsimu.
Aku sudah lama tidak merasakan nikmatnya lumatan bibirmu. Aku terlalu merindukanmu
El,” suara Muslim sedikit mendengus berat beriring tatapnya yang begitu tajam seakan ingin
memadamkan kobaran sinar yang terpancar di mata Elqo.
“Bukankah disini kamu dan Christian bebas berkencan?” bisik Elqo dengan nada
suaranya yang bergetar antara rangsangan berahi cinta dan api cemburu.
“Jikalah aku ingin. Terlarang untukku berkencan dengannya di dalam rumahmu.
Christian pun belakangan sering mengajakku bercinta, tetapi aku tidak memberikan waktuku
untuk melayaninya. Selama kamu menderita, aku ingin turut sependeritaan denganmu. Aku
tidak ingin berbahagia diatas rasa sakit yang kau dera. Dan aku hanya ingin, aku bisa
berkencan denganmu sebelum aku berkencan dengan Christian. El, percayalah. Aku sangat
merindukanmu,” Muslim menarik pepsi dari tangan Elqo kemudian didekapnya tubuh Elqo
dengan segenap rasa cintanya.
Sore hari yang kian redup seiring matahari yang kian turun ke tepian perlembahan.
Seakan kembali terang mengangkat matahari kembali ke pusat langit bumi ini dan
diberhentikannya disana dalam gejolak neraka yang teramat panas. Neraka yang berkobar
merebus kedua insan telanjang dalam balutan busana cinta yang mereka pandang itu sangat
elok dan indah ibarat pesona surga. Sungguh, jika mereka sudah bicara soal cinta maka dosa
banyak menjadi perwujudan dari nikmatnya. Laknat itu belakangan berada di urutan paling
ujung kesadaran sedangkan nikmat melesat hebat selalu di posisi pertama dalam tangga
kehidupan berada tepat paling depan serta selalu meraih penghargaan. Dan, apakah benar
cinta itu tak pernah salah? Benarkah ketulusan hati itu tandanya arti cinta sejati, jika jejak
yang dipapahnya selalu berkeping rona norma yang terlahir dari kebijakan selubung nafsunya
sendiri?
Pigeout 506 perlahan memasuki pekarangan rumah diikuti sebuah thunder
dibelakangnya beserta sebuah SupraX yang telah berhenti di tepi gerbang. Setelah memarkir
mobilnya disamping sedan abu-abu, Christian tampak keluar dari mobilnya. Wajahnya
berseri-seri sambil mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengantarkan motornya
Elqo. Juga pada orang yang mengemudi SupraX itu sebagai ojeg yang membawa orang
pengemudi thunder itu kembali ke bengkel. Setelah menolak basa-basi Christian yang
mengajak sejenak singgah buat menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok di dalam
rumah, mereka pun akhirnya lekas kembali pergi.
Christian menutup lagi pintu gerbang. Kemudian langkahnya penuh semangat masuk
ke dalam rumah. Remang cuaca petang menyebabkan keadaan di dalam rumah sedikit gelap.
Sepi. Christian merasa heran sendiri. Hingga iapun teriak memanggil penghuni rumah yang
sekiranya dipastikan ada.
“Most! Moslem! Dimana kau? Apakah kau ada di rumah?” tidak ada yang menjawab.
Tetap sepi seperti sedia kala. Christian mencoba kembali memanggil-manggil barangkali saja
mereka tidak mendengar.
“Moslem! Bersama Elqo kah kamu? Halo!” Christian mengitari keadaan
disetiap  sudut ruangan rumah itu. Termasuk setiap kamarnya. Juga ke dapur tak ketinggalan.
Tapi yang dicarinya tetap tidak ada. Mereka kemana?
Christian bergegas menuju kebun belakang. Disana juga sepi. Yang ia kenali hanya
sebongkah besi yang sempat ia lihat dalam video The Drunk Flyrabbit itu. Beserta suasana
tempatnya yang memang terasa sangat nyaman untuk bercinta. Sebuah ayunan terjuntai tegar
ditengah romantika warna-warni bunga yang merambat rapi di berbagai pohon bunga yang
dibiarkan liar menjulang. Di sekelilingnya rapat pohon vinus memugari tempat itu menambah
kokoh kuatnya benteng yang dibangun setinggi dua meter. 
Setelah mereka tidak diketemukan disana. Christian kembali masuk ke dalam rumah.
Tenggorokannya terasa kering dan haus hingga ia lekas menuju kulkas yang mungkin
barangkali saja tersedia sesuatu yang dapat menyegarkan perasaannya. Kebetulan ia melihat
sakelar lampu yang terpasang di dinding dekat kulkas berada. Lalu dikontakkannya. Ternyata
sakelar lampu ruangan itu. Dan ruangan itupun sekarang tampak t`erang. Namun, terangnya
cahaya lampu neon itu dibuatnya Christian terkesiap. Matanya melihat ke ubin dimana
sebuah kaleng pepsi tergeletak beserta tumpahan airnya yang berceceran. Dilihatnya lagi ke
meja makan. Bukankah pakaian yang tertumpuk di kursi makan itu baju dan celananya
Muslim yang dipakainya seharian ini? Juga itupun kalau tidak salah adalah pakaian Elqo
yang kenakannya semenjak di rumah sakit? Ya. Hati Christian seketika berdesir kencang.
Perasaan itu kembali menghantamnya. Panasnya api cemburu itu kembali membakar jiwanya.
Matanya dengan berapi-api menumpu pintu kamar mandi yang tertutup. Mereka pasti disana.
Karena hanya ruangan itu yang belum dikontrolnya. Mereka pasti bercumbu mesra di kamar
mandi!
Bersama kobar api cemburu yang membara Christian melangkahkan kakinya merapat
ke pintu kamar mandi. Tapi tidak juga terdengar sesuatu dari dalam. Lalu ditempelkannya
telinganya ke daun pintu. Tetap sunyi. Hati Christian jadi bertanya-tanya sendiri diusung rasa
penasaran. Jikalah mereka tidak bercinta di kamar mandi. Lantas mereka dimana? Apakah
dibawah genteng diatas langit-langit rumah itu? Memungkinkankah bila mereka sampai
berkencan disana?
Christian tidak ingin lama-lama beradu emosi dengan perasaan penasaranannya. Ia
segera membukakan pintu kamar mandi itu. Dan,
“Christ!” dari dalam Muslim yang berdiri di ambang pintu telah mengenakan handuk
sebatas pinggangnya tampak terkejut mendapati sosok Christian yang membukakan pintu.
Dengan jelalatan mata Christian berputar ke seluruh ruangan kamar mandi.
“Ada apa? Mau ke air? Atau mau mandi?” Muslim heran atas sikap Christian seperti
itu.
“Eh, kamu mandi sendirian? Kemana Elqo?” tanya Christian lebih meyakinkan lagi
prasangka hatinya.
“Oh. Kamu curiga ya?”
“H … ku pikir,” Christian jadi malu-malu kucing dan salah tingkah dibuatnya.
“Elqo di kamarnya. Kapan kamu kemari?”
“Dua puluh menit yang lalu. Tapi aku tidak menemukan Elqo di kamar.”
“Emangnya kenapa sih? Apa kamu masih mencemburukan kedekatannya sama aku?”
“Enggak. Aku cuma mau bicara aja dengan Elqo perihal motornya,” Christian
berusaha menutupi gemuruh perasaan hatinya yang tiba-tiba saja bergejolak dipenuhi hasrat
cinta melihat bidangnya dada Muslim yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu sungguh seketika
menggairahkan berahi sexnya.
“Kirain mau ngajaknya tarung lagi. Tapi kenapa kamu menatapku sampai sedemikian
seriusnya?” Muslim merasa aneh melihat tatapan Christian yang melongo terhadapnya.
“Aku kangen ingin menjilati dadamu,” desis Christian serak mulai terangsang.
“Hargailah bagaimana perasaan Elqo saat ini,” Muslim menempelkan telunjuknya di
bibir Christian yang belum sehat benar seratus persen.
“Kita ajak Elqo untuk bercinta bertiga. Aku rasa itu akan sangat menggairahkan.
Sekalian aku ingin menjajal seberapa hebatkah kejantanan dia sebagai seorang gigolo,” usul
Christian.
Mendengar ajuan Christian seperti itu, Muslim menarik nafasnya begitu dalam. Lalu
dihempaskannya perlahan seakan ingin menghalau sebuah perasaan yang tiba-tiba meracuni
pikirannya.
“Jangan pernah berharap kita bisa berjamaah berhubungan sex. Elqo sangat
mengecam hal itu,” Muslim bergegas meninggalkan Christian yang masih komat-kamit
menelan ludah dan menggigit bibirnya dalam lamunan indah bercinta dengan Muslim.
Maghrib telah tiba. Aneh sekali rasanya Elqo tidak seperti biasanya kali ini mengajak
Muslim mendirikan shalat maghrib berjamaah. Ditatapnya wajah penuh luka itu. Ada
keharuan yang menyeruak di hati Muslim. Perasaan yang begitu halus menyerap perih ke
palung jiwanya. Adakah sama Elqo yang kemarin yang pertama ia kenal dengan Elqo yang
saat ini berada di hadapannya? Elqo seorang gigolo yang gagah berwajah tampan dan sangat
jantan itu. Elqo yang penuh pesona daya tarik bagi siapapun mereka yang memandangnya.
Masihkah sama Elqo saat ini dengan Elqo yang dulu itu? Elqo! Hati Muslim merintih getir
menyapa nama itu.
“Kenapa?” Elqo merasa heran dengan sikap Muslim.
“Shalatlah sendiri. Sampaikan salamku pada Allah, mungkin akan sangat lama sekali
aku tidak akan menjumpainya lagi.”
“Tidak baik kamu bicara seperti itu. Setiap kesadaranmu itu adalah kesempatan
perjumpaanmu dengan-Nya. Allah tidak membutuhkan shalat kita, melainkan kita shalat
adalah perwujudan rasa butuh kita pada Allah. Dan shalat bukanlah satu-satunya jalan yang
bisa menyampaikan tujuan kita pada Allah. Jeritan jernih nuranimu akan lebih mendekatkan
dirimu pada haqiqat kekuasaan-Nya. Ketimbang perlakuan rukuk dan sujud yang tidak diringi
kebersihan hati dan pikiran untuk menghadap-Nya,” perkataan Elqo sungguh membuat
Muslim terpana. Darimanakah seorang Elqo memahami sebuah fatwa bijak seperti itu?
Bukankah Elqo tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik?
“Jika memang kamu mau shalat. Shalatlah. Terima kasih kau telah mengingatkanku
akan saatnya waktu untuk mengingat-Nya. Semoga Allah memberikan pahala yang besar atas
niat sucimu mengajakku mengerjakan suatu kebaikan yang telah diwajibkan-Nya.”
“Sudahlah. Semoga segala amal baik ataupun buruk yang kita kerjakan diterima
dengan nilai baik di hadapan Allah.”
“Amin!” Muslim mengamininya.
Elqo mengambil sehelai kain lebar yang diyakini kesuciannya dari lemari pakaiannya.
Lalu dihamparkannya di atas lantai kamar. Kain itu dijadikannya sajadah. Yakni alas bersih
sebagai tempat sujud bagi orang-orang yang mengerjakan shalat. Maklum selama ini dia
tidak pernah merasa berkepentingan dengan yang namanya Tuhan. Sehingga meskipun dalam
pengakuan lisan dan data tertulisnya Elqo itu beragama Islam. Tapi sudah berapa tahun
lamakah  hidupnya kosong dari makna keTuhanan? Apakah benar kali ini ia akan menghadap
Tuhan? Apakah yang akan diadukannya pada Tuhan? Apakah ia akan mengaduh perih
menjatuhkan air matanya guna merayu Tuhan agar mau berbaik budi padanya? Mungkinkah
Tuhan akan perduli padanya jika Tuhan pun selama ini tidak pernah diperdulikanya? Ataukah
Elqo menghadap Tuhan itu untuk bertaubat atas segala dosa yang telah dilakukannya?
Jikapun benar ia akan bertaubat, apakah taubatnya itu berhubungan dengan kecelakaan dan
derita yang harus diembannya sekarang? Hanya Tuhanlah yang tahu apa yang Elqo panjatkan
dalam do’anya.
Christian nongol di pintu kamar. Rambutnya masih tampak basah sehabis mandi. Dia
hanya mengenakan celana panjangnya sehingga dadanya yang telanjang menampakan kedua
puting susunya yang kembali dipasangi anting-anting. Dia tidak langsung masuk ketika
melihat adegan Elqo yang sedang melaksanakan shalat.
“Kamu tidak shalat?” Christian menoleh Muslim yang keluar dari kamar.
“Bedebah dengan yang namanya shalat!”
“Lho!?” Christian mengikuti Muslim keluar menuju teras yang belum dinyalakan
lampunya.
“Percuma aku shalat juga jika perbuatanku tidak mencerminkan keIslamanku.”
“Shalat juga kan cerminan nyata yang menunjukan keIslamannya seseorang?”
“Aku tidak suka kemunafikan. Itu saja. Tidak sedikit ahli shalat yang akan menjadi
penghuni neraka kelak di akhiratnya,” Muslim duduk di teras yang diterangi redupnya cahaya
bulan separuh yang menyerpih dedaunan pohon vinus. Sungguh terasa betapa indahnya di
tepian malam itu.
“Kau bilang tukang shalat banyak yang jadi ahli neraka. Apalagi yang tidak
melakukan shalat,” Christian duduk disamping Muslim sambil mengenakan bajunya.
“Jika aku memang ingin masuk surga. Aku tidak punya jaminan amalan shalatku
dapat ditukar dengan kemaha megahannya surga. Aku lebih menyetujui pendapatnya
Nurkhalish Madjid yang tidak memusatkan titik tumpu kedekatan umat manusia terhadap
Tuhannya hanya melalui rutinitas ubudullah yang telah tertera dalam kitab-Nya saja.
Melainkan ibadah yang mendekatkan Tuhan dengan manusia itu adalah ibadah yang tidak
terjerat sebuah keterbatasan. Yaitu setiap pergerakan manusia yang sanggup mengoneksikan
hati nuraninya pada kejernihan jiwanya hingga sampai pada tingkat kesucian ruhiahnya
bertemu Tuhan dalam konteks Tuhan itu berupa sinaran yang menggetarkan ruhani, maka
disanalah terciptanya amalan ibadah yang sampai kepada Tuhan. Karena shalat dan
sembahyangmu di gereja itu hanyalah formalitas bentuk ibadah saja. Sebagai pembeda antara
adat dan budaya yang dibatasi hukum agama yang sesuai mengikuti arus perkembangan
zaman. Dibalik semua ajaran agama yang ada, pusat dari peradaban manusia dan
peribadatannya itu sama yaitu proses perjalanan menuju Tuhan. Agama hanyalah sebuah
organisasi yang terhimpun dari perkumpulan beberapa manusia yang tergabung untuk
memegang satu prinsip yang sama. Jikapun Tuhan itu menunjuk hanya satu agama saja yang
benar, apakah Islam merupakan agama yang menjamin umatnya masuk surga? Sedangkan
Islam sendiri sekarang sudah banyak sekali alirannya. Mana dari himpunan syariat-syariat
Islam itu yang paling benar yang mempunyai stempel asli atas nama Tuhan? Semuanya
memiliki keyakinan yang sangat kuat. Mereka yang paling benar. Jika memang demikian,
surga ataukah neraka yang lebih luas tempatnya apabila melihat janji Tuhan yang hanya
mengakui satu agama saja yang benar?
Ku rasa Islam dan Kristen juga agama lain yang ada di muka bumi saat ini semuanya
mengajarkan kebenaran. Selalu berpacu pada azas keTuhanan. Sungguh agama mengajarkan
manusia agar bertahta mulia. Siapapun dia yang beragama, terlepas agama apapun yang
mereka pegang. Senyatanya mereka telah meyatakan kerendahan dirinya dengan sangat
terhormat. Mereka menyadari dan meyakini bahwa hidup ini ada yang menciptakanya. Ada
kekuatan sesuatu yang Maha Besar dan Maha Sempurna yang menggerakan kehidupan ini.
Yaitu Tuhan.
Sedangkan kita Christ. Tuhan kita ini sebenarnya siapa, jika perbuatan kita tidak
mencerminkan salah satu ajaran agama manapun? Apakah Tuhan kita masih akan mengakui
kita sebagai hamba-Nya, seandainya keyakinan kita terhadap-Nya hanya berupa pengakuan
saja tanpa adanya bukti nyata menjalankan tata cara ibadah yang telah dianjurkan-Nya?”
Muslim menerawang jauh ke negeri awan putih dimana segala kebenaran terpantau amat jelas
dari atas sana. Ia seakan ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya itu seperti apa. Kalau
kuasa, mungkin Muslim inginnya meminjam buku amal seorang manusia yang dicap masuk
surga oleh Allah dari tangan malaikat pencatat amal. Biar ia bisa meniru dan meyakinkan
hatinya bahwa jalan yang ditempuhnya benar-benar jalan lurus sesuai kehendak Tuhan. Dan
kalau bisa, ia ingin melihat buku catatan amalnya biar ia bisa mengoreksi diri tentang dimana
letak nilai baik dan buruk amalnya berada. Jika ia telah tahu, mungkin tidak akan ada lagi
keraguan untuknya melakoni jalan hidup dalam jalur agamanya. Dan mungkin saja,
homoseksual itu tidak pernah tercatat merah dalam lembaran buku amalnya!
“Lalu sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya?” Christian akhirnya terdengar
bicara setelah beberapa saat mereka terdiam dalam permainan manjanya semilir angin
malam.
“Seandainya kita masih mempertahankan sifat kehomoseksualan kita, aku ingin
mendirikan agama khusus buat kaum homoseksual. Yang menjadikan agama poros tengah
bagi kalangan kita. Mengapa bisa sebagian kalangan meruntuhkan ajaran agamanya demi
membenarkan homoseksual? Sedangkan mendirikan agama baru yang sama sekali tidak
merubah atau menduplikat ajaran agama yang telah ada mesti dilarang?”
“Kamu yakin dengan pilihanmu?”
“Daripada aku merasa terkekang oleh hukum agamaku. Lebih baik aku mendirikan
agama baru yang bisa ku atur hukumnya semau sendiri. Daripada aku terus dihantui perasaan
berdosa pada Tuhanku. Mungkin dengan agama baru aku bisa lebih akrab lagi dengan Tuhan.
Karena aku akan selalu merasa dikasihani, dicintai dan diperhatikan-Nya tanpa adanya
perasaan takut atas pencekalan-Nya. Aku akan beribadat lebih khusuk lagi. Karena
keyakinanku sepenuhnya mengimani-Nya. Aku berjanji dengan agama baruku aku akan
menjadi orang yang lebih baik lagi. Sebagai umat yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk
Tuhannya.”
 
10 ‘CRYSIS;
 
Agama tanda cinta hidup’                 
 
Kehidupan Muslim yang dilanda krisis keyakinan semakin kritis. Jiwanya yang
labil membentuk segumpal keyakinan baru yang sangat kuat menggerakkan IQ, EQ dan
SQnya. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya terus beputar mencari fatwa-fatwa
dan paham yang sekiranya bisa memperkuat untuk membenarkan keyakinannya. Anehnya,
Muslim seperti yang mengabaikan kebijakan ibunya dalam pengambilan dasar-dasar
pembentukan aliran paham barunya itu. Muslim merasa pendapat ibunya dalam
pemberdayaan kaum homoseksual itu tidaklah begitu kuat untuk dijadikan dasar terbentuknya
agama baru yang diusungnya itu. Dia malah mengambil dalih Dr. Anis Malik Thoha tentang
pluralisme agama yang termaktub dalam bukunya berjudul ‘Tren Pluralisme Agama’, yang
menyatakan bahwa:
‘… di kalangan para ahli dan berbagai disiplin ilmu, ada kecenderungan baru yang
cukup kuat untuk memperluas definisi agama hingga mencakup semua jenis kepercayaan
dan keyakinan serta ideology, baik yang berketuhanan (theistic) maupun tak berketuhanan
(non-theistic), sebagaimana dalam klasifikasi John Hick, atau jenis agama alternative yang
menurut terminology Paul Tillich adalah ideology yang mirip agama atau ideology
pengganti agama (quasi-religions), atau menurut istilah Ninian Smart adalah filsafat hidup
atau pandangan dunia (worldviews) …’
“Aku tidak mempunyai komentar apa-apa atas niatmu untuk mendirikan agama baru.
Jika kamu memang akan merasa nyaman dengan agama barumu, mungkin itu pilihan yang
bijak daripada tidak beragama sekalipun. Jika memang seluruh agama yang ada di muka
bumi ini tidaklah satupun yang engkau pahami, daripada kamu memegang satu agama yang
hanya menykisa batinmu saja dan merasa kamu selalu berdosa terus menerus karena tidak
ikhlas kamu menjalankan syariatnya. Semoga saja agama baru yang kau yakini beserta Tuhan
yang akan kau lantik itu bisa membawamu pada akhlak yang mulia. Aku hanya bisa
memberikan dukungan moral kepadamu. Aku berharap kamu bisa menjadi pemimpin agama
yang baik. Menjadi suri tauladan bagi seluruh umat agamamu. Laksana mulianya Nabi
Muhammad SAW dalam mendakwahkan Islam. Selamat berjuang! Do’a dan cintaku selalu
menyertaimu,” semangat Elqo penuh haru sambil mengelus-elus bahu Muslim yang
bersimpuh mohon do’anya.
Dengan mata yang berlinang, tatapan matanya sejenak beradu. Kemudian didekapnya
tubuh itu. “Atas rasa cinta pada dunia dan hidupku. Aku dirikan agamaku,” bisik Muslim
lirih.
Hari itu, Jum’at 13 Juni 2008 diadakan konferensi meja bundar di kediamannya
sahabat dekat Christian. Mister Rothe Vej yang juga seorang gay meski dulunya sempat
kawin dengan perempuan Indonesia. Tapi 9 minggu yang lalu dia hengkang ke Calipornia
mempersunting seorang gay asli sana. Sehubungan kontrak kerjanya di Indonesia telah usai.
Maka bangunan rumahnya ia titipkan pada Christian sebelum ada orang yang besedia
membelinya. Dan sampai saat itu belum ada orang  yang berminat hingga rumah itu untuk
sementara kosong tidak ada yang menempatinya.
Dengan demikian rumah yang terletak di Jl. Papaya 06 kawasan Jagakarsa Jakarta
Selatan itu sangat nyaman untuk dijadikan tempat rahasia terlaksananya perundingan antar
senior gay Indonesia yang sudah dikirim lampiran undangan sebelumnya. Sekitar 60 orang
gay dari berbagai daerah dan kalangan agama yang hadir dalam acara itu. Terdiri dari 33
tokoh gay (20 laki-laki termasuk Muslim dan Christian, dan 13 perempuan) dan 27 fanatisme
gay dan lesbian yang ingin ikut berpartisifasi dalam menyumbang aspirasi demi kemajuan
indevendensi koloninya.
Acara dimulai dari jam 15.30 WIB. Christian yang pada saat itu tampil rapi bertugas
selaku moderator. Disaat Muslim menyampaikan tujuan utama dari pertemuan itu yaitu
perihal rencana membentuk sebuah lembaga khusus demi pemberdayaan hak asasi kaum
homoseksual. Seluruh peserta setuju dan memberikan sambutan yang meriah dengan harapan
besar yang menggunung tentang cerahnya masa depan mereka. Tapi setelah Muslim
menerangkan lebih jauh tentang lembaga yang akan didirikannya itu mengusung jalur
keagamaan yakni membentuknya sebuah agama baru yang diperuntukkan khusus umatnya
homoseksual. Terjadilah disana pro dan kontra. Adu pendapat antara para fanatic agama
dengan kaum bebas.
Muslim tidak menindaklanjuti anggota forum dengan demikian exstrim. Ia
menjelaskan kecenderungan lebih baiknya perkembangan gay di dunia khususnya Indonesia
jika sudah terbentuknya sebuah wadah yang berazaskan keTuhanan. Dan lebih memberikan
janji manis seandainya mereka mempunyai agama sendiri niscaya akan terbentuknya
peraturan-peraturan yang bersifat sangat memprioritaskan kepentingan dan hak-haknya.
Setidaknya begitu juga dengan pemerintahan akan memberikan perlindungan hukum yang
sejajar sesuai undang-undang yang berlaku.  
Usai musyawarah yang cukup menarik dengan beragam pendapat yang dilontarkan.
Maka terbentuklah sebuah keputusan mufakat yang 90% setuju untuk mendirikan agama
baru. Kemudian Muslim mengetengahkan usul tentang nama agama barunya itu :
‘CRYSIS’, singkatan dari CRYS (Christian/Kristen) dan IS (Islam). Kenapa
mengambil namanya mesti menggabungkan nama dua agama tidak mengambil nuansa baru
dan umum? Karena dari semua anggota gay yang hadir saat itu terdiri dari dua umat agama.
Yakni Kristen 21 orang dan Islam 39 orang. Lagipula dua agama ini merupakan agama yang
paling sering besinggungan di muka dunia. Dan misi CRYSIS itu sendiri adalah sebagai
agama poros tengah yang bisa menjadi pemersatu dan juru perdamaian bagi Kristen dan
Islam. Khususnya kaum homoseksual. Karena agama ini adalah khusus diperuntukkan
sebagai agamanya kaum homoseksual. Terlepas mereka berlatar agama apapun sebelumnya.
Tidak semata-mata Muslim menamainya CRYSIS kalau tanpa sebuah pemikiran yang
matang. Karena CRY bisa berarti seruan atau tangisan, berlanjut dengan makna CRYS yang
diambil dari kata CRYSTAL yang berarti Kristal sesuatu zat yang bening, juga CRYS sebagai
pelesetan dari Keris yakni sebuah perkakas yang unik dan tajam yang ketika zaman dulu
terkenal kesaktiannya, dan IS berarti adalah atau ada atau berada,
atau IS itu ISSUE yaitu masalah, atau pulaISME yakni paham, juga layak
menambahkan IS itu berasal dari suku kata ISLAND yang berarti tanah atau pulau. Jadi
secara istilah CRYSIS bisa diartikan sebagaiseruan paham bening atau suci yang
mengabarkan bahwa sesuatu itu ada tempatnya. Jika huruf Y diganti dengan I maka
menjadi CRISIS yang berarti masa gawat. Maka secara umum CRYSIS mengandung
makna wadah atau agama yang tajam menyerukan paham kebenaran bagi umat yang
bermasalah sangat gawat dengan agama yang dianutnya. Dan diambilnya perpaduan kata
CRYSIS tidak ISCRYS (Islam-Kristen) juga memiliki makna tersendiri dilihat dari mata
penilaian sejarah dimana Kristen atau Nasrani dengan Injil nya jauh lebih dahulu
berkembangnya dibawah kenabian Isa AS dengan pangkat Almasih ketimbang Islam yang
baru muncul di abad kelima Masehi dalam kerasulan Muhammad SAW yang diberi gelar Al-
amin.
Sepertinya Muslim tidak main-main dengan rencananya. Terbukti dari
kemantapannya itu ternyata dia tidak hanya mempersiapkan nama untuk agama barunya itu
saja melainkan sudah lengkap dengan simbol CRYSIS yang syarat dengan makna. Lihat!
 

 Lambang CRYSIS yang terdiri dari gabungan beberapa simbol:

bulan bintang menunjukkan simbol Islam, bulan dan bintang sebagai sumber cahaya yang
indah yang bersinar teduh di tengah gelap gulitanya malam.
 salib menunjukkan tanda Kristus, pengorbanan Yesus demi menebus segala dosa seluruh
umatnya.
 gen biologis kelamin perempuan, pemikiran yang bulat dan positif.
gen biologis kelamin laki-laki, petunjuk yang bulat (mantap/benar).
 kertas simbolik dari kitab,   sebagai azas ketuhanan dimana adanya hukum yang mengatur
kehidupan.
 

Sedangkan warna: *biru; merupakan cerminan pribadi kelembutan dan keromantisan yang


netral _tidak seperti warna fink yang cenderung mendominasi sifat perempuan_, *abu-abu;
transparansi sebuah rahasia yang terselubung, *ungu; banyak orang yang menasbihkan
sebagai warna yang identik dengan barang second (duda/janda)._tetapi lain halnya dengan
nama sebuah band_ dan *putih; adalah kesucian.
 
Jadi kalau melihat definisi CRYSIS dari simbolnya bisa diartikan sebagai cahaya petunjuk
yang benar ditengah kegelapan yang sanggup mensucikan dosa manusia yang memiliki
kesatuan perasaan nafsu sex dengan nurani yang bersumber dari Tuhan yang cinta kasih-
Nya begitu nyata dirasakan bagi mereka yang telah dianggap tidak berarti lagi dalam
agamanya.
 
Tetapi dibalik semua rancangan yang sudah disusunnya, keputusan tetap harus hasil
mufakat. Sehingga akhirnya Muslim menyerahkan kesepakatan ke forum. Dan ternyata, tak
ada satupun suara yang menyanggahnya. Mereka setuju. Sangat setuju! CRYSIS adalah
agama logika yang penuh janji manis tentang masa depan yang dinamis dan realistis. Agama
yang sangat humanis. Melindungi hak asasi cinta bagi pasangan sejenis! Selamat datang
bagimu yang teraniaya dan merasa sudah terasingkan dari qadratmu sebagai manusia! Agama
ini menyambutmu penuh cinta. Welcome, if you want to world is loving you!  Caused it’s the
largest heaven. Ever you think it’s maybe no! Congratulation … for you is your new God! No
fear to love. God together love always.   
Lalu, siapakah Tuhan itu? Dalam CRYSIS Tuhan itu tidak perlu dikenal nama-Nya
siapa. Tuhan hanyalah kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha Kuasa menciptakan manusia
beserta alam raya semesta. Tanpa ada batasan-batasan waktu sebuah rutinitas untuk beribadat
pada-Nya. Dan Muslim tidak serta merta menobatkan dirinya sebagai nabi. Cukup puas
dengan tersampaikannya mukzizat kepada umat juga. Ilham terang pemberi petunjuk bagi
mereka yang tersesat dalam langkah menuju Tuhan yang bisa menyayangi mereka. Dialah
Tuhanmu. Cukup kau panggil Tuhan. Dia pasti akan menolehmu.
 
Maka dalam pertemuan itu dicapailah kebijakan mufakat yang sangat sakral:
1.      Agama CRYSIS
2.      Simbol CRYSIS
3.      Tuhan adalah sebagai nama Tuhan itu sendiri
4.      Homoseksual sebagai umat utama
Sementara peraturan hukum akan dikaji dalam musyawarah selanjutnya yang
berkesinambungan. Kumpulan kesepakatan akan tertuang sebagai kitab suci.
 
Dan malam itu, tepat jam 21.00 WIB mereka menyatakan keCRYSISannya. Tangisan
haru yang syarat penuh cinta laksana hujan yang turun di padang tandus. Peluk cium suka cita
menebar harmoni damai diantara senyum bahagia. Inikah agama sesungguhnya yang mereka
dambakan? Wahai dirimu yang rindu damai dan kesejahteraan, selamat datang! CRYSIS
untukmu gay yang haus kasih sayang Tuhan. Disini tempatmu berpijak dalam kebenaran. Tak
ada lagi dosa untukmu bercinta. Karena Tuhan pun tidak tentu bagaimana kelaminnya.
Dipeluknya Muslim erat-erat. Dialah yang pertama memeluknya dan kini dia juga
yang mengakhiri dari serangkaian pelukan cinta dan kehormatan dari jemaat barunya. Wajah
Christian menyemburatkan sinar kemenangan. Kebahagiaan. Kebanggaan dan kepuasan. Air
mata cinta seorang gay. Sebening nuansa suci hatinya yang sejuk tersinar serpihan cahaya
Tuhan yang Maha Benar akan segala apa yang dititipkan pada makhluk ciptaan-Nya.
“Sejarah hidup kita dimulai dari sini. Semoga engkau merasa senang atasnya, Christ!”
“Aku sangat berbahagia sekali saat ini. Ternyata kita memang sehati. Jiwamu adalah
jiwaku. Nuranimu adalah cahaya hatiku. Antara kita tidak mungkin dapat dipisahkan lagi.
Aku sembahkan jiwa ragaku padamu. Muslim, sekarang aku milikmu. Aku akan
mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu. Bakti dan cintaku adalah untukmu.
Perlakukanlah aku layaknya seorang kekasih memperlakukan kekasihnya. Baik dan buruk
amalku, engkaulah yang akan menjadi sumber tauladanku. Kalau engkau mau, tak segan
untukku sampaikan kabar gembira kenabianmu pada seluruh umat. Wahai dirimu seorang
utusan Tuhan yang bijak. Syibhi Muslim Al-Adl,” begitu sempurnanya Christian berlakon
laksana jerat cinta kama sutra sidiqnya Abu Bakar pada Muhammad.   
Malam yang kian larut bertebaran sinar bintang penuh gemerlap cahaya keagungan
yang mempesona. Sepertinya alam sangat berbaik budi pada malam ini. Adakah memang
senyatanya Tuhan lebih menyukai kehidupan yang terpecah kembali menyatu dalam suatu
kesatuan yang berbeda? Inikah ilham? Inikah mukzizat? Inikah kecerdasan? Inikah
kebenaran? Inikah perkembangan? Inikah kemajuan? Inikah kemanusiaan? Inikah
keTuhanan? Atau inikah…? Ya, inikah memang inilah. Begini adanya. Kebebasan manusia
yang sempurna memiliki sifat yang mulia. Manusia yang ingin dimanusiakan
kemanusiawiannya. Manusia yang ingin memanusiakan manusia. Manusia yang telah merasa
hilang harga dirinya sebagai manusia ditengah peradaban manusia. Manusia yang sudah tidak
merasa lagi menjadi manusia dihadapan Tuhannya. Lantas apa sebenarnya yang Tuhan lihat
saat menyaksikan mereka? Binatangkah mereka itu di matanya? Syaitankah mereka itu dalam
tingkahnya? Apa mungkin Tuhan sudah salah melihat? Atau karena Tuhan sudah rabun dan
pikun? … Ah. Jangan paksakan aku untuk membaca sesuatu yang lain yang lebih parah dan
menjauhkan diri dari-Nya. Jika mereka memang merasa benar. Apakah dengan semudah itu
aku harus menyalahkan sesuatu yang ku pilih? Bukankah ini juga kebenaran tentang sebuah
keyakinan?
Lakum dinukum waliyadin; untukmu agamamu, untukku agamaku! Diamlah, karena
kita sama-sama benar. Jika memang kau masih merasa umat yang beriman. Imanlah pada
agamamu. Karena agama bukan sebuah paksaan. Tapi terlahir demi menyelaraskan sifat
manusia dengan Tuhan dan kebenaran.
“… saya sengaja menunggu Bapak berdua.”
“Ada sesuatu yang sangat penting kiranya?” Tanya Muslim dengan ramah.
Kalau kelaminnya perempuan wajah itu mungkin cantik. Apalagi kulitnya yang putih
bersinar itu sangat halus dan lembut. Bibir tipisnya yang merah merona itu sangat manis
menggoda. Sungguh siapa gay pejantannya yang tidak terjerat hatinya? Gay feminim satu ini
penuh kelembutan. Laki-laki yang manis. Senyumnya segar laksana strawberry. Matanya
hitam putih umpama kopi susu. Menggiurkan hasrat mereka yang merindukan belai lembut
kemanjaan. Evel lelaki berambut lurus sejengkal acak-acakan itu.
“Saya sangat terkesan dengan idealisnya pemahaman Bapak tentang memaknai
hidup,” ujar Evel mengawali pembicaraan.
“Terima kasih. Jika kamu bisa menerima CRYSIS, marilah kita berjuang bersama
demi melindungi hak-hak kita sebagai gay.”
“Eh, sebelumnya aku minta maaf. Apa tidak lebih nyamannya bila kita berbincang
sambil menikmati secangkir kopi hangat?”
Muslim melihat pada Christian. “Kamu lapar?”
“Mungkin saudara Evel juga sama,” Christian melemparkan alibi pada Evel.
“Tidak juga. Saya masih berasa kenyang dengan konsumsi yang disuguhkan tadi
juga,” sanggah Evel sambil tersenyum.
“Aku ngerti. Kamu tadi terlalu suportif dalam musyawarah hingga lupa makan segala.
Padahal kamu sendiri yang memesankan catering. Tapi sebenarnya aku juga sama lapar.
Hanya rasanya aku merasa lebih nyaman ngobrol disisni. Kamu ke warung saja dan tolong
pesankan aku satu,” kata Muslim.
“Evel?” Christian melihat Evel.
“Tidak usah. Terima kasih.”
“Jangan begitu. Kalau tidak mau makan. Kopi, susu atau minuman dan makanan lain
barangkali?” tawar Muslim.
“Kalau begitu teh hangat saja. Saya merasa tidak enak jadi merepotkan.”
“Enggak apa-apa. Sungguh kami yang malah akan merasa tidak enak tidak bisa
menjamu kunjunganmu dengan memuaskan,” timpal Muslim.
Sementara Christian berlalu menuju warung nasi terdekat yang memberikan
pelayanan 24 jam. Muslim dan Evel duduk di tepi teras rumah dibawah redupnya cahaya
lampu yang tergantung di langit-langit.
“Saya sangat merasa senang sekali. Apabila CRYSIS sudah disyahkan pemerintah.
Mungkin kita akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan sudah dapat dipastikan seluruh
homoseksual di dunia akan menyambut kedatangan CRYSIS dengan penuh suka cita.
Seandainya kaum gay sudah tergabung dalam satu kesatuan badan hukum, tidak menutup
kemungkinan kita dapat mendirikan Negara bagian khusus bangsa CRYSIS,” Evel sangat
antusias menyambut hangat kehadiran CRYSIS yang penuh janji kerukunan dan
kesejahteraan hidup homoseksual dalam romantika berkasih sayang dan berkeTuhanan.
“Kamu menghadiri launcing agama gay ini ikut beserta kesatuan homoseksual daerah
mana?”
“Saya mendapat informasi dari forum lingkar gay Bogor. Antolin Joseph dan Titia
Alimistri sebagai ketua perkumpulan gay dan lesbianisme Bogor yang tadi sempat menolak
terbentuknya CRYSIS,” terang Evel.
“Latarmu sendiri?”
“Belum lama ini saya terjun dalam semarak kebahagiaan hidup gay.”
“Apa karena terjerumus pada sebuah masalah? Atau berawal dari bisikan nuranimu
sendiri?”
“Masalah itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Baik buruk dampak yang
ditimbulkan sebuah problematika yang kita hadapi, berawal dari sikap sadar dan sabarnya
kita juga. Dalam hal ini saya tidak menepis jika sifat kehomoan saya tumbuh dari sebuah
masalah. Saya terjerat hubungan cinta dengan pelacur yang bisex. Saya tidak pernah
menyangka akan mempunyai anak dari keturunan manusia kotor dan hina seperti itu. Dan
parahnya anak itu lahir diluar nikah. Sungguh sesuatu yang membuat saya merasa sangat
dilemma dengan yang namanya cinta. Setelah itu saya tidak mempunyai lagi kepercayaan
pada yang namanya cinta. Saya tidak memperdulikan lagi makna kesucian dan harga diri.
Dimanapun saya mau sex, disitu saya cari kenikmatan. Tapi saya tidak sejalang pelacur-
pelacur liar. Karena yang saya cari adalah kenikmatan yang berada diatas keadilan,” Evel
menuturkan lakon drama hidupnya yang tersudut dalam sebuah prinsip.
Muslim menatap Evel yang terduduk dekat disampingnya dengan sorot matanya yang
buyar ke depan.
“Hai!” sapanya lembut pada lelaki itu.
Evel meliriknya. Lalu bibirnya yang merah itu tersenyum. Dug. Ada sentuhan halus
menumbuk dada Muslim secara tiba-tiba. Senyum itu terlalu manis. Hati Muslim bergetar
lembut. Darahnya berdesir lirih menebarkan gula-gula bibir itu pada setiap sel tubuhnya.
“Kenapa?” bisik Evel penuh jerat.
Muslim menelan ludahnya. Mengapa lelaki ganteng dihadapannya itu bisa-bisanya
membekukan sel syarafnya? Muslim mencoba berusaha menjaga image kepemimpinannya.
“Jadilah dirimu sendiri. Yakinlah dengan apa yang kamu perbuat bahwa segalanya itu
adalah kebenaran,” kilahnya memotivasi keyakinan Evel.
“Bukan sesuatu yang salah seandainya saya mencintai Bapak?” mata Evel yang
lembut tapi tajam itu membidik kekuatan karismatik aura seorang Muslim. Muslim yang
sesaat terdiam. Menormalkan proses jiwanya yang tergoyang hebat.
“… eh, jangan biarkan nafsumu mempermainkan akal sehatmu. Cintamu hanya
tergoda dipandangan pertama. Tidak patut kau banggakan diriku dengan cintamu,” Muslim
berusaha menyembunyikan getar hatinya yang senyatanya memang tergoda.
“Salahkah jika saya mencintai Bapak? Apa itu bukan sesuatu yang baik demi
memperkuatnya keyakinan saya tentang CRYSIS?”
“Tidak semata-mata aku dirikan CRYSIS kalau aku bukan gay. Aku sudah
mempunyai pasangan yang tak mungkin dapat terpisahkan lagi.”
“Pak Christian kan? Bapak sudah menikah dengannya?”
“Sebatas kekasih.”
“Jikapun Bapak dengan Pak Christian sudah menikah juga saya tidak keberatan
menjadi pasangan Bapak yang kedua. Bukankah CRYSIS juga membolehkan poligami?”
Muslim tertegun dalam tatap penuh arti tertumpu di mata laki-laki manis itu. Adakah
mungkin undang-undang poligami itu dalam CRYSIS? Jangankan poligami, undang-undang
perkawinanpun belum terbentuk. Apakah mungkin ada K.U.A (Kantor Urusan Agama)
CRYSIS yang bakal melegalkan perkawinan sejenis di negeri mayoritas Islam ini?
“CRYSIS baru terbentuk. Kita lupakan dulu masalah pribadi. Kita dahulukan dulu
urusan yang menyangkut kepentingan banyak umat CRYSIS yang mungkin saja akan
semakin bertambah. Lagipula CRYSIS belum tentu aman. Tidak menuntut kemungkinan
CRYSIS akan menghadapi banyak hujatan dan celaan dari khalayak. Belum tentu pemerintah
juga bersedia mengizinkan CRYSIS. Kita harus berjuang membela dan mepertahankan
CRYSIS. Kita harus memberikan paham agar mereka mengerti. Kita harus bisa meyakinkan
mereka. Jika tidak, mungkin saja aku bisa dipenjara,” Muslim menyampaikan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi dalam CRYSIS dengan harapan Evel mau mengerti.
“Bolehkah saya menyentuh Bapak? Barang sejenak saja saya ingin menikmati
hangatnya memeluk Bapak. Lama sekali saya tidak merasakan kedamaian hati seperti
sekarang ini. Saya merasa sangat jatuh hati sekali pada Bapak. Saya jatuh cinta,” mata Evel
berbinar-binar.
Muslim terdiam. Nafasnya dihela perlahan. Kenapa cinta itu seperti itu? Adakah
kesalahan dari dirinya yang selalu melantunkan cinta pada setiap mereka yang tak pernah
dimimpikannya?
“Ataukah CRYSIS mengharamkan menjamah orang bukan mukhrim?”
“Bagaimana bisa kita mengharamkannya. Justru CRYSIS tercipta demi menghindari
keharaman dan keterlarangan hubungan sex antar sejenis. Karena dunia homo identik dengan
simbol sex bebas. Maka CRYSIS mencoba mengaturnya dalam binaan agama. Agar homo
tidak lagi sebebas sex tanpa ikatan. CRYSIS bertujuan menyatukan jalinan cinta dan sex
homoseksual ke dalam  sebuah bahtera rumah tangga. Agar mereka bisa berkeluarga.
Mengecap indahnya kehidupan yang sempurna layaknya orang sex normal kebanyakan,”
jelas Muslim lagi penuh harap.
“Izinkan saya memeluk Bapak,” Evel menggeser duduknya merapat pada Muslim.
Kedua tangannya rekah seraya mendekap Muslim.
Muslim biarkan saja Evel memeluknya. Biarkan saja kehangatan itu merebak
menyebar ke seluruh sel organ tubuhnya. Biarkan saja jantungnya berdebar. Biarkan saja,
karena ia tidak tahu harus berbuat apa jika hatinya juga senyatanya mengiyakannya.
Mengiyakan Evel berbuat seperti itu terhadapnya. Mengiyakan Evel mendekapnya. Dimana
desir cinta bedenyut di kedua nadinya.
Disandarkannya kepalanya itu di bahu Muslim. Wajah keduanya begitu dekat.
Nafasnya telah menyatu dalam satu helaan udara yang sama. Muslim tergoda. Berahi itu
membakarnya. Ah, Muslim tak kuasa. Didekatkannya wajahnya dengan wajah itu. Semakin
dekat. Dan, rapat. Ciuman itu … akhirnya mendarat! Mengapa kenikmatan itu selalu saja
datang berulang? Padahal dia punya janji yang belum usai dengan orang terkasihnya. Janji
setia pada mereka yang mencintainya.      
Langkah Christian terhenti beberapa jarak dari teras rumah. Api itu membara lagi.
Membakar lagi. Panas lagi. Gejolak itu. Cemburu yang memburu. Namun sejenak. Christian
berusaha kembali menetralkan perasaannya. Saat ini Muslim bukan lagi hanya miliknya
seorang. Tapi jauh lebih banyak lagi mereka yang akan memujanya. Satu langkah bergerak
ke depan. Muslim menemukan satu pemujanya. Dua, tiga,empat, lima, sepuluh, seratus,
seribu langkah ke depan. Apa Muslim harus dibiarkan digerayangi seribu pemujanya juga?
Tapi sebatas pengertian, Christian pun mengerti. Hanya, bukankah semenjak kecelakaan itu
Muslim dan dirinya belum sempat sekalipun meluangkan waktunya buat bercinta? Lalu,
sekarang di depan matanya pemuda yang sangat dicintainya itu bercumbu dengan orang baru
kenal sampai sedemikian mesranya? Lantas, dimanakah letaknya batasan kesetiaan itu?
Cukupkah setia berarti saat butuh harus ada?
“Oh, ya. Nih pesanannya,” Christian membuyarkan keromantisan mereka dengan
sikapnya yang berlaga acuh dan biasa-biasa saja. Kok bisa ya Christian yang pencemburu
berat itu berlaga netral?
“Pak Christ. Izinkan saya mencintai Pak Muslim. Bukan berarti saya hendak merebut
Pak Muslim dari tangan Pak Christ. Tetapi alangkah mulianya Pak Christ seandainya sudi
berbagi Pak Muslim dengan saya. Saya sangat mencintai Pak Muslim. Jangan marahi Pak
Muslim jika Pak Christ cemburu. Saya yang sengaja merayunya. Karena saya sangat ingin
sekali bercinta dengannya. Maafkan kenistaan saya. Demi CRYSIS saya bersedia
mengorbankan apapun juga. Asal berilah celah bagi saya untuk mencintai Pak Muslim,” Evel
bicara demikian tegas dan jelas penuh kepastian.
“Bukan sesuatu yang harus diperkarakan. Kita harus bisa saling pengertian. Tidak
salah apa yang kamu rasakan. Sebab cinta itu adalah kebenaran,” kilah Christian sangat bijak.
Muslim tidak berkomentar perihal kejadian itu. Ia seakan tidak ingin banyak cakap
apa-apa. Ia mengerti bagaimana perasaan Christian saat ini. Ia menyalahkan dirinya cukup
dalam hatinya. Dan ia jangan berlaku lebih bego dari itu. Bagaimanapun juga Christian itu
sekarang sudah siapanya dia? Christian adalah … yang memujanya sebagai kekasih. Ya. Dia
harus menjadi tauladan. Segenap tingkah lakunya melangkah diatas terompah CRYSIS.
Muslim mengambil makanan yang dibawakan Christian. Begitupun teh hangat
dikasihkannya pada Evel. Setelah mengajak Evel yang menolaknya untuk makan bersama,
Muslim dan Christian pun segera mengenyangkan perutnya.
“Maafkan aku atas apa yang telah terjadi!” ucap Muslim dengan segenap kerendahan
diri.
“Kau tahu sendiri apa yang aku rasakan. Tapi saat ini aku harus mengerti, CRYSIS
bukan milik kita berdua. Aku harus menerima kehadiran orang lain dalam hidup kita. Kau
bukan hanya milikku. Tapi milik orang banyak, mereka pengikut CRYSIS. Agama yang
terlahir dari agungnya nuranimu. Jangan pernah merasa salah kepadaku karena banyaknya
orang yang mencintaimu. Aku hanya pengikutmu. Sesuatu yang kau anggap baik, baik juga
bagiku dan bagi mereka. Karena segala fatwamu adalah kebenaran yang bersumber dari
Tuhan. Bagaimanapun jejakmu, aku dan mereka ikut melangkah menyertaimu. Sabdamu
adalah petunjuk arah dalam perjalanan hidup kami semua…” penuturan Christian begitu
tegar mengalun syahdu laksana dawai biola yang tergetar. Suara kesucian dari merdunya
dawai hati seorang sufi. Christian, yang kembali suci seputih kelahiran.
“Elqo menghubungi,” Muslim melihat monitor ponselnya.
“Angkat saja,” Christian tulus.
“Gimana acaranya udah kelar?” Tanya Elqo.
“Sejak jam sebelas.”
“Launcingnya sukses?”
“90%.”
“Syukurlah! …!?” suara Elqo lalu diam.
“El. Apa ada sesuatu yang sangat penting?” Tanya Muslim heran.
“Enggak. Cuma kangen aja pengen ketemu kamu.”
“Jam segini kamu belum tidur?”
“Mana bisa tidur. Pikiranku inget sama kamu terus. Kangen banget. Inginnya aku
menyusulmu ke situ. Tapi ku kira kamu akan segera pulang. Nyatanya belum nongol juga.
Padahal usainya jam sebelas. Sedang ini udah jam setengah tiga. Kamu kencan dulu sama
Christian kan?”
“Percayalah padaku. Aku dengan Christian tidak ngapa-ngapain.”
“Aku percaya padamu. Tapi jikapun memang kamu bercinta dengannya juga gak apa-
apa. Aku tulus kok. Aku juga menerima diriku saat ini bukan lagi Elqo yang sanggup
menggairahkan berahimu …”
“El. Jangan berkata sesuatu yang lebih terbuka lagi soal itu. Tanpa pengakuanmu juga
aku pun tahu. Tapi cintaku padamu tak akan memudar karena itu.”
“… aku ingin semua orang tahu tentang aku. Termasuk Christian agar dia tidak lagi
mencemburukan kita. Tolong ceritakanlah pada Christian bagaimana keadaan aku sekarang.
Atau biarkan aku bicara dengannya. Atau jika dia sedang mendengarkan aku ngomong.
Syukurlah! Christ …”
Muslim seketika memutuskan saluran. Dengan wajah muram ia menonaktifkan
HPnya. Ada gurat kekesalan yang tersirat di raut mukanya. Christian memperhatikannya
dengan heran. Kenapa Muslim seperti yang tidak menghendaki Elqo bicara padanya? Ada
apa gerangan?
     
 11 ‘IMAN;
 PERCAYA DAN YAKIN’
 
“Kenapa semalam kamu memutuskan teleponku serta tidak mengaktifkannya?”
“Aku tidak ingin melihat Christian bahagia setelah mendengar kejujuranmu.”
“Itu lebih baik bagi masa depan kebahagiaanmu.”
“Okelah kalo kamu memang mau orang lain wajib tahu tentang kamu. Aku siap
membantumu untuk menyebarkan berita kebodohanmu lewat media cetak dan media
elektronik sekalipun. Biar semua orang tahu. Biar dunia tahu. Biar …”
“Muslim!” Elqo menenangkan ego Muslim yang seketika meledak.
Muslim meredam emosinya sendiri. Nafasnya tersengal tertahan. Ada kecamuk batin
yang berontak memaki. Ia menghardik kenyataan yang dihadapinya. Ia muak!
“Sory!” Muslim menghempaskan nafasnya begitu sesak. Berat kiranya untuk ia
rasakan beban yang menimpanya itu.
Keduanya lalu terdiam. Sedan abu-abu itu terus meluncur. Membelah kedua perasaan
yang menumpanginya. Terbelah teriknya matahari musim panas yang membakar siang. Di
jalur tol jagorawi menuju Bogor.
“Apa mungkin CRYSIS sanggup menggantikan posisi Islam di hatimu?” terdengar
suara Elqo mendayu lembut.
“Jika Islam masih menghendaki aku berpegang teguh mengimaninya, mungkin aku
tidak akan melalui perjalanan hidupku menjadi seorang homoseksual.”
“Kamu mengimani CRYSIS sepenuh hatimu?”
“Aku yang mendirikannya. Bagaimana mungkin aku untuk tidak mengimaninya.”
“Apa tidak lebih baik jika CRYSIS hanya dibentuk sebagai sebuah lembaga
pemberdayaan homoseksual saja yang mempunyai peraturan tersendiri? Tidak lekas
menjadikan CRYSIS sebagai agama.”
“Kalau sebuah lembaga anggota yang tergabung didalamnya itu dari berbagai agama
dan keyakinan. Dan agama mana di dunia ini yang melegalkan kaum monosex untuk
mendapatkan perlakuan yang adil? Tak ada satupun kitabnya yang memuat firman Tuhan
tentang keabsahannya homoseksual. Semua fatwa yang ada sekarang hanyalah bersumber
dari mengkelirukannya manusia memaknai agamanya. Yang ingin kebebasan tapi masih
merasa takut murtad. Yang ingin kesenangan tapi masih berharap ingin diakui Tuhan sebagai
umatnya. Sehingga dengan sengaja mereka meracuni paham umatnya dibalik kedok agama.
Apa mereka berlaku demikian tidak lebih sesat dan menyesatkan umat beragamanya untuk
menjauhi fatwa-fatwa kebenaran Tuhan yang seutuhnya? Mereka banyak menyamarkan
makna-makna yang tersirat dalam kitab suci dan sabda para Nabi dengan pemahaman
barunya yang lebih logis dan realistis berdalih diatas pengadaptasian agama terhadap
perkembangan zaman. Mereka menyelewengkan kebenaran. Mereka banyak merenovasi
firman Tuhan tapi tidak mau mengambil alih kekuasaan-Nya. Mereka itu picik. Ingin
mengembangkan pahamnya diatas kepopuleran dan kemajuan sebuah agama yang sangat
besar pengaruhnya di dunia. Tidak mau bekerja keras mendulang keberhasilan dari nol.
Mereka itu pengecut. Jika mereka punya paham sendiri tentang prinsip hidup dan keTuhanan,
kenapa tidak mendirikan kesatuan organisasi yang sepaham dengannya? Jangan mencarut-
marut dan campur adukan pahamnya pada umat yang sudah  berkeyakinan,” Muslim begitu
sentimentil.
“Jika aku tidak bersedia menerima CRYSIS sebagai agamaku. Apa Islam tidak akan
menjadi musuhmu?”
“Agama itu dimiliki oleh orang-orang yang sadar akan adanya Tuhan. Dan agama itu
hanya dapat diterima dengan sebuah ketulusan. Agama yang dipegang tanpa keyakinan akan
menyebabkan umatnya tidak punya tanggung jawab untuk berbudaya agama. Aku tidak akan
memaksa siapapun untuk berpegang pada CRYSIS. Yang akan aku lakukan hanyalah
memberikan penjelasan tentang paham CRYSIS yang bagiku sudah dipastikan bahwa
CRYSIS itu bersumber dari sebuah kebenaran. Apakah salah aku menyampaikan kabar
kebenaran? Menerima ataupun tidaknya itu berada di tingginya puncak keyakinan mereka.
Karena CRYSIS adalah agama yang sangat memuliakan setinggi-tingginya harkat martabat
homoseksual sebagai manusia di mata Tuahannya.”
“Kamu lebih merasa berarti hidup menjadi seorang gay?”
“Siapa bilang? Justru aku hengkang dari Islam juga karena aku merasa hidupku sangat
tidak ada artinya sama sekali dalam agamaku.”
“Apa tidak lebih baiknya kamu berhenti jadi seorang gay dan memulai kehidupan
baru sebagai lelaki normal ketimbang mesti repot mengurusi kegiatan baru keagamaan
agamamu?”
“Sekarang memang kamu baru sadar setelah kamu kehilangan banyak rencana masa
depanmu. Sekarang kamu boleh insyaf dan mengatai gay itu abnormal dan hina setelah kamu
cacat sex. Sedangkan dulu jauh sepuluh tahun sebelum hari ini semasa kamu masih enjoy
menikmati indahnya bersensasi sex sebagai gigolo apa pernah terlintas untukmu menginsyafi
segala kekotoran dan kebiadabanmu sebagai manusia yang beragama? Apa pernah kamu
kenal dekat dengan Tuhanmu? Apa pernah kamu ingat akan kitabmu? Apa pernah kamu
merasa takut pada Nabimu? Apa pernah terlintas ngerinya api neraka di benakmu?
Kini. Saat ini. Sekarang kamu baru sadar. Sekarang. Bukan dulu. Sekarang dikala
dirimu sudah merasa tidak berarti lagi sebagai seorang lelaki sejati. Disaat kelaminmu sudah
tidak terangsang lagi dengan sex. Dengan berahi perempuan dan laki-laki. Setelah kamu
sudah tidak punya nafsu sex lagi. Kenapa? Kenapa tidak sedari dulu kamu sadar dan kembali
pada ajaran agamamu?” Muslim seakan ingin habis-habisan menyudutkan serta menyalahkan
total akhlak Elqo selama ini. Seakan ingin membuatkan cermin yang kembali memutar
bayangan segala perbuatan buruk Elqo. Seakan benar-benar ingin menghakimi dosa-dosa
Elqo. Elqo yang dulu jalang. Yang dulu gagah. Yang dulu jantan. Yang dulu tak pernah
mengenal Tuhan!
Seraut wajah yang masih menyisakan paras tampannya. Kini tidak seangkuh dulu
lagi. Dari kedua sudut matanya bergulir bening butiran-butiran kristal tejatuh di tebing curam
pipinya yang tidak lagi semulus dan sehalus dulu. Hatinya terkoyak. Tercabik sayatan pisau
berkarat. Pisau yang terlupa ia pendam dalam endapan lumpur hitam dosanya.
Air matanya berderai jatuh. Deras. Menghujani debu-debu yang menempel di hatinya.
Debu-debu yang berhamburan dari jejak langkahnya selama perjalanan. Debu yang telah
menebal. Menutup hatinya dari serpihan cahaya terang.
Elqo terisak perih. Setiap hembusan udara yang keluar masuk laksana menghela
sembilu yang ditarik ulur antara hidung dan paru-parunya. Sungguh, ia tak kuasa menahan
sakit yang menderanya. Sakit yang tak pernah terbayangkan akan terlalu dini menghimpitnya.
Rasa sakit yang tidak mungkin Muslim ikut merasakannya. Dan ia tidak ingin Muslim akan
menghadapinya. Elqo takut, jika Muslim harus mengalami luka yang sama dengannya. Bukan
hari ini, tapi nanti! Jika bukan di dunia, derita itu pasti akan menyergapnya. Saat orang lain
sudah tidak memperhatikannya, tapi dia sendiri yang mencela dan menyesalinya. Saat pintu-
pintu telah tertutup kecuali lorong sepi berdinding bara. Saat kelamin sudah tidak lagi
menghadirkan kenikmatan surga!
“Jadi kamu akan taubat setelah Tuhan memberikan adzab? Kamu akan mencontoh
nasib yang aku alami? Kamu akan sadar setelah Tuhan memberikan peringatan? Apa kamu
yakin Tuhan akan ngasih kamu kesempatan untuk taubat setelah kamu diberi adzab?” suara
Elqo tegar penuh pertimbangan tidak ada lagi raut kesedihan yang terbias di wajahnya.
Sebuah ketulusan menerima kehendak Tuhan yang diperuntukannya. Sebuah kelapangan hati
menerima kenyataan kisah hidupnya dengan penuh kesadaran.
“Tuhan tidak pernah salah menurunkan adzabnya. Mungkin kita bisa mengambil
contoh dari karma yang menimpamu. Sebuah kejadian yang membuktikan bahwa gigolo atau
pelacur yang doyan gonta-ganti pasangan, yang suka pada laki-laki dan perempuan justru itu
adalah orang yang tidak normal dan dibenci Tuhan. Faktanya terlihat jelas dengan apa yang
kau alami. Jika Tuhan merasa tidak senang dengan kaum homoseksual ada kemungkinan
Christian pun akan mengalami hal serupa sepertimu karena kecelakaan kalianpun bersamaan.
Tapi nyatanya kenapa Christian baik-baik saja sementara kamu sangat parah dan kelaminmu
sampai putus urat syarafnya?
Jikapun memang homoseksual itu dibenci sama Tuhan. Bukankah dengan sangat
mudahnya Tuhan melaknat dan mengadzabnya? Kenapa kaum homoseksual itu dibiarkan
gentayangan? Dibiarkannya tetap hidup? Apa tidak membuka cakrawala pemikiran kita,
bahwa homoseksual itu juga manusia sebagai ciptaan Tuhan? Manusia yang telah sengaja
Tuhan warisi sifat suka sesama jenis. Jika bukan sifat bawaan yang Tuhan taqdirkan, lantas
sifat kehomoan itu terilhami dari sifat makhluk seperti apa? Bukankah ruh dan jasad manusia
itu hanya Tuhanlah yang Maha Kuasa menciptakannya?” Muslim mengetengahkan berbagai
paham yang akurat dengan hasil tinjauan sudut pandangnya secara konkrit dan aktual. Seperti
yang hendak membuka mata Elqo lebar-lebar untuk melihat sejelas mungkin apa dan
bagaimana kebenaran itu.
“Ya! Tuhan memang murka terhadapku. Dan aku menerimanya dengan tulus dan
penuh kesadaran. Mungkin adzab yang aku terima sebanding dengan dosa yang telah aku
perbuat. Atau bahkan dosaku lebih besar lagi ketimbang balasan yang Tuhan timpakan. Aku
sangat bersyukur Tuhan telah menyapaku dengan demikian bijaknya. Aku yakin apa yang
aku alami ini adalah sebagai tanda dari kasih sayang-Nya. Tandanya Tuhan masih
memperhatikan gerak-gerik tingkahku. Tandanya Tuhan tidak ingin menyaksikan aku
menderita dalam gejolak siksa neraka. Hingga dia menyadarkan aku. Aku kira seperti inilah
bentuk peringatan-Nya yang sempurna untukku. Setelah dengan cara lemah lembut aku tidak
menurut. Dengan sedikit kekerasan akhirnya akupun tunduk. Masih untung aku dikasih
waktu untuk hidup. Padahal jika ditinjau dari aspek kegunaan, apalah gunanya seorang Elqo?
Manusia yang berlumur noda yang sama sekali tidak bermanfaat hidupnya. Jangankan untuk
orang lain, untuk dirinya sendiri sangat merugi. Jangankan menyumbang kekuatan manusia
pada keimanan, sebagai umat agamanya juga sudah tidak diperhitungkan.
Sementara apa yang kamu pahami Tuhan itu menyayangi hubungan satu jenis dan
diperkirakan Dia dengan sengaja menciptakannya serta melindunginya. Jika demikian apakah
Tuhanmu dalam Islam dan Tuhan Christian dalam Kristen itu sama kekuasaan-Nya? Lalu jika
Tuhan yang telah berkuasa selama ini mengakui dan mencintai budaya monosex, kenapa
kamu mesti membentuk CRYSIS sebagai agama yang berTuhan baru? Bukannya kamu
tercipta berkat kemaha kuasaan Tuhan Allah?” Elqo mencoba menyisir kembali pemahaman
Muslim tanpa sedikitpun memberikan penekanan dalam nada bicaranya.
“Tuhan itu memiliki makna yang sangat luas. Dalam pandangan mata batinku alam
semesta beserta seluruh isinya termasuk manusia didalamnya itu diciptakan oleh kekuatan
yang satu. Yaitu Tuhan yang Maha Esa yang Maha Kuasa atas segalanya. Tuhan yang
diperkenalkan oleh Adam dan Hawa. Setiap agama yang terbentuk siapapun itu nama
Tuhannya, tetaplah tujuannya satu mengarah pada keEsaan Tuhan yang Maha Kuasa. Hanya
tata cara ibadahnya saja yang berbeda sesuai dengan masa berkembangnya keyakinan
manusia. Aku tidak tahu pasti agama mana yang merupakan asli bentukan Tuhan. Sejauh ini
agama tak lebih fungsinya hanya sebagai wadah yang memberikan aturan untuk
menyelaraskan proses peribadatan manusia terhadap Tuhannya. Agar perilaku manusia itu
tertata dengan rapi. Terlihat rukun dan teratur. Semua umatnya tertata sama. Hingga adanya
perintah dan larangan yang semata demi menyeimbangkan siklus kehidupan di muka bumi.
Ibadah yang diwajibkannya beserta sarana ibadah yang dikhususkannya adalah sebagai
bentuk persatuan perkumpulannya. Sebagai ajang pembentuk kedisiplinan pribadi solidaritas.
Pemersatu perbedaan.
Dan aku membentuk CRYSIS menurutku bukanlah sesuatu yang salah. Siapapun
yang ingin mendirikan agama baru di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang salah. Selama
masih meninggikan derajat Tuhan sebagai dzat yang Maha Mengatur kehidupan, mungkin
disana kebenaran masih terpijak oleh kakinya. Karena seandainya diantara nama salah satu
Tuhan yang menjadi simbol kekuatan agama yang ada selama ini menjamin sebuah
keakuratan-Nya sebagai Tuhan pencipta alam raya ini. Mungkinkah Dia akan membiarkan
makhluk-makhluk ciptaan-Nya memproklamirkan sebuah kekuasaan baru Tuhan yang lain
dari-Nya?
Aku yakin Tuhan penguasa jagat buana ini hanya satu. Jika banyak; Islam, Nasrani,
Yahudi, Budha, Hindu, Mazusi dan banyak agama yang lainnya itu berarti setiap agama
punya daerah kekuasan Tuhan tersendiri. Dan dimana letaknya pusat kekuasaan itu?
Bukankah tak ada yang lebih menyebutkan selain dari tingginya peradaban langit dan bumi?
Kalau saja Tuhan itu banyak. Tak mungkin ada yang mau jadi Tuhan adikuasa kekuasaan
Tuhan agama yang lain. Pasti Tuhan-Tuhan yang Maha Kuasa itu menciptakan lagi makhluk-
makhluk-Nya diluar bumi dan angkasa luas langit yang ini. Juga mana mungkin Tuhan-
Tuhan itu mau menjiplak dan membajak bentuk makhluk-makhluk yang sudah diciptakan
Tuhan yang lain. Begitu juga dengan bentuk bumi dan langitnya. Dan bila berpikiran sejauh
itu, agama lalu menyudutkan kita pada kekufuran. Apa itu bukan suatu kekangan bagi
hamba-hamba-Nya yang ingin tahu sejelas mungkin tentang keTuhanan guna demi
mempertebalnya keimanan dan keyakinan? Bukankah mulianya manusia itu karena diberi
kelebihan akal dan nafsu? Jika pemikirannya dicekal, dibatasi dan ditutupi lalu akal manusia
itu berfungsi sebagai apa?
Dengan demikian apa salahnya jika aku juga mendirikan agama baru beserta Tuhan
angkatan baru pula? Bukannya selama ini tidak pernah mendengar adanya protes dan hujatan
dari Tuhan yang pertama membangun bumi dan langit? Tak ada peperangan Tuhan antar
agama. Karena senyatanya Tuhan itu hanya satu. Maha Tunggal. Hanya latar keyakinan dan
cara pelaksanaan ibadah menuju pada-Nya saja yang berbeda. Aku ingin homoseksual punya
peraturan sendiri. Bisa menata ibadah menuju Tuhan yang diyakini. Menurutku jika sudah
merasa Tuhan itu mencintai dan mengasihi niscaya tak ada lagi keraguan untuk melakukan
beribadah kepada-Nya. Aku ingin kaum homoseksual yakin bahwa ada Tuhan yang
melindungi pergerakan mereka. Tuhan yang bisa mencintai dan menjaga kehidupan mereka.
Bukankah rasa aman dan nyaman dalam beribadah akan menciptakan nuansa kehidupan yang
damai yang selalu mencerminkan sifat adab manusia yang cenderung bernilai positif?
Dimana ketulusan dan kekhusuan dalam melaksanakan kewajiban ibadah akan tercapai
sempurna,” jelas Muslim panjang lebar mengutarakan segala pemahamannya tentang Tuhan,
agama dan keyakinan menurut tinjauan kritisnya. Sebuah paham yang sekiranya mau tidak
mau memaksa Elqo harus menerima dan memahaminya. Mungkinkah pemahaman seorang
Sarjana Agama dapat diterima oleh pemikiran kerdil seorang lulusan SMA yang rendah
wawasan agamanya?
“Orang bodoh seperti aku memang lebih kebal dan takut untuk mengikuti modernisasi
keTuhanan. Biasanya memang lebih dominan dengan keortodokan. Karena perjalanan
hidupnya selalu menjauh dari Tuhan. Tidak pernah bersinggungan. Tidak pernah teringatkan.
Sehingga ketika ia tersadar, ia seolah baru terjaga dari mimpi yang mengerikan. Ia bangun
dan mengitari sekelilingnya dengan pemandangan yang seperti sedia kala. Tak ada yang
berubah. Pikirannya statis mengingat sesuatu yang sempat dikenalinya pertama kali. Jika ia
waktu tidur diatas ranjang, maka setelah bertualang dari mimpi arwahnya pasti akan kembali
ke jasad yang berbaring diatas ranjang lalu terbangun dengan pemandangan yang sama.
Demikian pula dengan Tuhan. Pertama aku mengenal agama adalah Islam dengan
Allah selaku Tuhannya. Sehingga ketika aku kembali tersadarkan perihal keTuhanan, aku
kembali pada Allah dan Islam. Tidak seperti perjalananmu yang senantiasa diselubungi
ruhani keTuhanan selalu dalam setiap apapun gerakmu. Otomatis apa-apa yang kamu lakukan
selalu berujung pada pemikiran nilai hak dan bathil. Niscaya dengan sendirinya apabila kamu
melakukan sutau perbuatan yang  melanggar larangan Tuhan akan menyebabkan kamu
depresi. Kamu merasa tersiksa dengan dosa. Sementara apa yang kamu lakukan itu
menurutmu adalah benar. Maka wajar saja jika pikiranmu stress. Terkekang antara hukum
agama dengan kenyataanmu.
Dari awal juga aku tidak pernah ingin ikut campur masalah keyakinan yang kau
pahami. Wawasan kamu tentang agama lebih luas ketimbang aku. Jika Muhammad sudah
tidak layak lagi menjadi suri tauladan bagimu. Jika Allah sudah tidak patut lagi kau sembah
sebagai Tuhanmu. Jika peraturan Islam sudah tidak lagi bertindak adil terhadapmu. Mungkin
pantas kiranya buatmu mendemo Allah agar lengser dari jabatannya sebagai Tuhan. Kamu
dan kaum homoseksual berhak melucuti gelar Tuhan-Tuhan yang telah berkuasa selama ini.
Anggaplah agama itu sebuah Negara. Dimana Tuhan ibaratnya presiden. Malaikat adalah
para menteri kabinet. Sedangkan Nabi adalah gubernur. Atau agama itu lebih layaknya dalam
konteks pengertianmu tak jauh dengan sebuah partai…”
“El. Kapan kau dengar aku bilang agama itu adalah sebuah partai?” potong Muslim
sedikit tersentuh.
“Kemungkinan saja menurutmu begitu. Tapi … apakah CRYSISpun akan
memberikan jaminan kehalalan sex bagi para penganutnya?”
“Itulah misi utama terbentuknya CRYSIS.”
“Jadi akan ada majelis agama sendiri yang mengurus keharmonisan umat CRYSIS?”
“Begitulah. Yang aku prioritaskan dibidang perkawinan dulu.”
“Bukannya sekarang juga sudah ada majelis hukum yang secara syah mengawinkan
pasangan homoseksual?”
“Itu bukan agama.”
“Jika laki-laki menikahi pria dan perempuan kawin dengan wanita, apa tidak
menuntut kemungkinan akan berkurangnya populasi manusia dikarenakan terhambatnya
proses perkembangbiakannya?”                       
“Justru itu lebih baik demi tercapainya program Keluarga Berencana,” sahut Muslim
asal saja.
“Apa alasan itu cukup kuat untuk membela CRYSIS seandainya nanti didebat dalam
persidangan antar pemuka umat agama?”
“Apa tidak lebih baik ketimbang aborsi?”
“Otakku sudah error. Pikiranku sudah tidak normal lagi. Sebentar lagi mungkin aku
akan gila. Sekarang, aku serahin gimana baiknya saja. Juga maafkan aku seandainya hanya
bikin masalah dan menghambat rencanamu saja,” tandas Elqo akhirnya.
“Bukan suatu masalah yang mesti diperselisihkan. Itu malahan lebih baik demi
menambah dewasanya permikiran kita. Mungkin ini sesuai dengan ajaran Islam yang
meramal kehidupan akhir zaman akan lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
Menggambarkan sebuah perbandingan yang tidak seimbang. Hal itu menurutku sangat
realistis dengan kehadiran kaum homoseksual. Makin banyaknya jumlah gay maka makin
berkurang jumlah laki-laki normal. Juga makin maraknya banci alias waria -wanita pria- atau
wanita imitasi, apa itu bukanlah sebuah bukti nyata mengurangi populasi pria normal secara
drastis?”
“Kau lebih memilih bersaing untuk mendapatkan cintanya laki-laki normal daripada
memilih jadi laki-laki normal yang banyak  dicintai?”
“Bukankah ketidak seimbangan jumlah nominal jenis kelamin sudah termasuk dalam
rencana Tuhan sejauh waktu? Begitupun dengan banyaknya golongan agama juga sudah
termasuk dalam rencana-Nya bukan? Mengapa kita mesti berusaha menghambat
perkembangan zaman yang sudah dirancang-Nya? Jika kekacauan yang terjadi sekarang ini
sudah menjadi standar manusia akhir zaman yang terlampir dalam firman-Nya. Apa tidak
lebih kafirnya manusia yang hendak memupus kebenaran fatwa Tuhan dan Rasul-Nya yang
menyatakan sejelas-jelasnya tentang akhir zaman?”
 
 
 
12 ‘cinta sejati;
 
Sekali jadi tak pernah mati’
 
“Jadi kamu dengan Christian benar-benar akan menikah?”
Sesaat Muslim terdiam. Lalu jawabnya pelan, “Mungkin!”
“Daripada aku nanti lebih terluka parah melihatmu menikah dengan Christian. Aku
harap Bogor menjadi kenangan terakhir kita dalam saling mengenal. Aku tidak ingin akhir
hidupku semakin hancur dan menderita menyaksikan dirimu yang telah sempat membuatku
bahagia.”
“Kamu membenciku karena CRYSIS?” Tanya Muslim pelan.
“Bukan benci, tapi karena cinta aku lebih baik tidak mengenalimu lagi,” sahut Elqo
berbisik getir.
“Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa menerima kehadiran CRYSIS.”
“Percuma aku meyakini CRYSIS juga. Kelaminku sudah tidak akan lagi memberikan
kepuasan sex bagimu.”
“Kita harus berusaha dan tetap yakin kalau kelaminmu bisa kembali normal.”
“Lebih baik jangan bermimpi aku bisa melayani permainan sexmu lagi. Bagiku ini
sudah cukup menjadi sebuah peringatan yang sangat berarti. Aku yakin apa yang terjadi
padaku saat ini adalah kehendak-Nya agar aku mendapat kesempatan untuk taubat dan
menikmati indahnya hidup dalam kebenaran petunjuk-Nya. Aku yakin kalau Tuhan yang
telah menciptakan aku itu adalah Allah. Hingga aku diperkenankan oleh-Nya untuk kembali
pada-Nya. Setelah aku banyak berzina dan sempat menyakiti perasaan wanita. Setelah aku
ketakutan mempunyai keturunan serta sempat menggugurkan janin dalam kandungan mereka.
Setelah aku jadi pengecut tidak memiliki tanggung jawab. Aku vaksetomi. Kelaminku
dikebiri. Dan kini … kelaminku impotensi! Maka jangan berusaha menghalangi aku pergi.
Karena sudah tak ada yang dapat diharapkan lagi,” ratap Elqo begitu dalam.
“Kamu yakin akan tetap pergi dariku?”
“Semoga saja kebahagiaan menyertaimu selepas aku pergi darimu.”
“Aku tidak pernah berharap kita akan berpisah. Bagaimana bisa aku menghancurkan
bangunan cintaku padamu yang sangat demikian besar kekuatannya?”
“Robohkan sedikit demi sedikit sebagaimana dulu ketika kamu secara bertahap
membangunnya.”
“Jika kamu mau berpegang teguh pada Islam, aku tidak akan memaksakan keyakinan
CRYSIS padamu. Karena cintaku padamu tidak akan terhalangi perbedaan itu.”
“Islam tidak membenarkannya. Sekali lagi. Jangan paksa aku mengakhiri
kebersamaan kita dengan kebencian.”
“Jadi benar-benar kau ingin meninggalkanku sejauh mungkin?”
“Sudah keputusanku,” tandas Elqo mantap tanpa sedikitpun keraguan yang tertangkap
dalam sikapnya.
“Jadi ini akhir perjuanganmu setelah berhasil menjadikan aku sebagai seorang homo?
Kau sengaja menjerumuskan aku pada indahnya percintaan dunia homo? Sengaja kan kau
mau menghancurkan hidupku? Lalu setelah berantakan kau mau meninggalkannya begitu
saja? Inikah arti cinta kasih yang kau ajarkan itu? Inikah akhirnya? Apakah pantas Islam
menjadi naungan orang-orang berdosa seperti kita? Apakah tidak malu nanti dihadapan
Muhammad kita diadili? Orang berpendidikan rendah tentang agama seperti dirimu tidak
akan banyak yang akan kamu pertanggungjawabkan. Sementara aku? Aku seorang sarjana
agama yang terlahir dari keluarga agamis dan dididik secara benar dalam keagamaan. Apa
tidak akan berat nanti menghadapi proses pertimbangan amal?
El. Aku sungguh kecewa padamu. Kamu egois. Kamu tidak mengerti perasaanku.
Padahal semua apa yang aku perjuangkan selama ini juga adalah demi aku bisa hidup
bersamamu secara syah dalam sebuah bahtera rumah tangga. Aku tidak perduli kamu
impoten. Aku tidak membutuhkan tegangnya penismu saat bercinta. Jika kamu memang mau
membahagiakan aku, bukankah mulut, tangan dan duburmu juga masih bisa membuat
penisku ereksi?
Tapi sex bagiku bukan satu-satunya alasan untukku bersikeras ingin tetap bersamamu.
Lebih dari itu. Aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untukmu. Aku ingin menebus
segala kesalahanku yang telah aku perbuat selama ini padamu. Aku ingin membuktikan
seberapa besar cintaku padamu. Aku ingin memperlihatkan pada orang-orang normal bahwa
gay juga mempunyai cinta suci. Cinta yang bukan hanya berasal dari nafsu sex belaka.
El. Dulu mungkin aku sempat berkata memberikan kebebasan untukmu pergi dariku
serta mengharapkanmu dapat menikah dengan seorang perempuan. Dulu aku ingin
melihatmu menjadi pembawa kabar baik buat kaum gay, bahwa seorang gay juga bisa
kembali normal dan hidup berumah tangga secara wajar. Tapi sekarang tidak lagi. Kamu
sudah impoten. Dan aku tahu dari dokter konsultasimu kalau kamu impoten total yang tidak
dapat diusahakan lagi untuk normal. Sejak tahu itu. Aku jadi takut untuk melepasmu. Aku
kira tidak akan ada wanita yang sudi menikah denganmu. Jikapun kamu membohongi mereka
dan membawanya berumah tangga, kamu sebagai orang yang berperikemanusiaan tidak akan
tega melihat istrimu tersiksa karena tidak terpenuhi kebutuhan batinnya. Dan kamu tidak
akan berbuat bodoh membiarkan istrimu menuntut haknya sebagai istri pada pengadilan.
Kamu tahu istrimu akan meminta cerai. Lalu kamu akan menanggung aib sebagai lelaki yang
tidak berguna.
El. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau akhir hidupmu tersiksa. Aku ingin
menjagamu. Aku ingin tetap menjadi orang yang mencintaimu. Maka dari itu keinginanku
untuk membentuk forum gay Indonesia yang sempat down karena harapanmu yang
menginginkan aku menjadi pria sejati, kembali menggebu setelah mendengar kabar
keimpotenanmu. Didukung lagi dengan kehadiran Christian yang senyatanya dia mempunyai
cita-cita ingin mendirikan komunitas gay Indonesia berbasis internasional. Apalagi dengan
kebijakan ibuku sebagai guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta yang sudah demikian
sangat jelas simfatiknya melegalkan keberadaan kaum homoseksual dalam Islam. Juga
deklarasi Semarang yang memuliakan tingginya derajat kaum homoseksual sebanding
dengan martabat manusia heterosex. Fatalnya mereka berdalih dibawah naungan agama Islam
yang sudah jelas mengharamkannya. Atau mungkin mereka hanya orang buta yang tidak
melihat goresan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyamakan sebuah pernikahan dengan
separuh kesempurnaan agamanya? Yang sangat menganjurkan pernikahan sehingga Baginda
Nabi berseru barangsiapa orang yang tidak mau menikah maka tidak akan diakui sebagai
umatnya. Lalu melihat lagi firman Allah yang menyerukan laki-laki untuk menikahi istri-istri
satu, dua, tiga sampai empat. Apakah tercantum dalam ayat-ayat-Nya bahwa laki-laki
dianjurkan menikah dengan laki-laki ataupun perempuan menikahi perempuan atau pula laki-
laki memadu perempuan dengan laki-laki juga perempuan demikian sebaliknya?
Banyak lagi perkumpulan yang menyuarakan nuraninya sebagai homoseksual. Jauh
sejak awal tahun sembilan puluhan sejarah perjuangan peradaban kaum homo bergerilya.
Tapi tidak satupun diantara para pelopor gay yang berani memproklamasikan
kemerdekaannya dalam kebudayaan agama baru yang cenderung membela hak-hak asasi
kemanusiaan kaumnya serta meninggikan setinggi-tingginya derajat gay sebagai makhluk
Tuhan yang seutuhnya. 
Dan karena rasa cintaku padamulah CRYSIS ku dirikan. Karena aku tidak ingin
tercela jika aku mempersuntingmu. Menikah dan berumah tangga ditengah mayoritas
masyarakat yang sudah berkeyakinan teguh terhadap agama dan Tuhannya. Juga, alangkah
merasa senangnya mereka para pemeluk agama yang taat jika kaum homoseksual yang
mencemari nama baik agamanya tidak lagi menjadi sampah busuk yang kian meracuni
bersihnya pemahaman mereka terhadap Rasul dan kitab-Nya. Ku rasa semua agama di dunia
ini akan merasa lega dan sangat senang dengan berdirinya CRYSIS. Bukan hanya kaum
homoseksual saja yang merasa gembira dengan datangnya agama yang siap membawanya
pada kebenaran dan surga Tuhan, melainkan seluruh umat beragama di dunia yang merasa
risih dan sangat terganggu dengan umatnya yang monosex. Sebab segenap umatnya yang
menjadi biang kerok melemahkan firman-firman Tuhannya itu akan hengkang dari agamanya
untuk segera meminang CRYSIS. Apakah itu tidak termasuk misi yang fantastis dan sangat
mulia dalam pencanangan menuju agama yang damai antar pemeluknya serta memberikan
keyakinan pada kaum homoseksual bahwa mereka juga adalah makhluk Tuhan yang sangat
dimuliakan sekali martabatnya?” demikian panjang lebarnya Muslim menjelaskan detail misi
CRYSISnya. Elqo menebar tatapnya menerawang jauh. Adakah setitik nila tercelup pada
kebeningan nuraninya? Di matanya tidak nampak. Kosong. Tak ada sesuatu. Hanya bayangan
khayalnya saja yang sempat tertangkap bahwa ia terbang ke hari esok yang tak jelas dan
meragukannya!
“Sungguh mulia cita-citamu,” hanya sepenggal kalimat itu yang terlontar dari belahan
kedua bibirnya yang mengering.
Sedan abu-abu yang dikemudi Muslim segera keluar tol Ciawi. Belok kanan dan
menepi di pinggir jalan. Suasana tengah hari yang sejuk. Maklum kota hujan berbeda jauh
iklimnya dengan cuaca kota Jakarta yang gersang. Khususnya siang ini. Bogor mendung
berawan.
Muslim menurunkan kaca pintu depan mobilnya. Lalu ia memesan dua botol
minuman pengganti cairan tubuh beserta sebungkus rokok pada pedagang asongan yang
langsung menyergapnya. Usai itu ia kembali menutupnya. Seraya melajukan lagi sedannya
perlahan. Elqo segera mengambil minuman itu mengikuti Muslim yang sudah lebih dahulu
mereguknya.
            “El!” Muslim kembali bicara.
“Hmm!” Elqo menyahut.
“Mau tahu atau tidaknya dirimu bukan suatu yang penting. Tapi aku jujur, sejak kamu
dirawat di rumah sakit karena kecelakaan itu sampai saat ini aku tidak berhubungan sex
dengan siapapun termasuk dengan Christian sekalipun. Selain bersetubuh denganmu diawal
kepulanganmu dari rumah sakit di sore itu. Sore yang membuat aku heran mengenali penismu
yang tak bereaksi.”
Elqo menarik nafasnya. Ia baru tersadar. Ditatapnya lelaki tampan yang sedang
mengemudi di sampingnya itu. Sungguh cinta yang suci jernih itu ia temukan di riak mimik
wajah kejujurannya. Ada kemilau sinar lembut yang menyerpih di sikapnya. Dan rasa itu
menyelinap masuk ke lorong sempit hatinya. Elqo terbujur didalam pusara cinta. Antara
mengerikannya alam baqa bergulat dengan indahnya pesona alam fana.
“Christian sangat mencintaimu. Jangan abaikan cintanya. Kamu juga tahu bagaimana
tersiksanya orang yang sedang dimabok asmara. Jangan membuat dia membencimu karena
aku.”
“Aku dengan Christian sedang berjuang memenuhi janji kami. Dimana aku
dengannya tidak akan melakukan hubungan intim selama CRYSIS belum disyahkan sebagai
agama yang diakui oleh pemerintahan. Itu adalah komitmen teguh kami guna memotivasi
kegigihan untuk mewujudkan CRYSIS bisa berlaku.”
“Apa itu bukan sebuah janji yang berlebihan?”
“Itu adalah keoptimisan dan keyakinan kami pada CRYSIS.”
“Jangan jadikan agama menjadi siksa bagimu. Bukankah CRYSIS adalah agama yang
memberikan janji manis tentang kebebasan bercinta? Jika Christian tahu kamu tidak mau
melayaninya bercinta karena aku, mungkin dia akan kecewa dan marah padamu lalu
meninggalkan CRYSIS dan menghancurkannya. Eratkanlah hubungan cinta kalian.
Kuatkanlah keyakinan Christian pada CRYSIS dengan cintamu.”
“Aku ingin hubungan sexku berada didalam kehalalan sebagaimana halalnya
hubungan sex suami istri dalam Islam. Aku ingin membangun jiwa CRYSIS di setiap gay
sebagai agama suci. Agama yang menjunjung tinggi nilai kesucian bagi setiap umatnya. Aku
ingin menghilangkan budaya sex bebas yang sangat kental dengan dunia gay. Aku ingin
menjalin hubungan sex mereka dengan ikatan cinta yang terangkai dalam ritual syahnya
sebuah perkawinan.”
“Kamu bisa melangsungkan pernikahanmu dengan Christian di luar negeri. Bukannya
ada aktor gay Indonesia yang sudah melangsungkan pernikahannya di Belanda? Aku bisa
membantumu untuk mencari tahu bagaimana prosesi pernikahan itu padanya. Aku yakin dia
akan menyambut hangat rencanamu karena aku kenal dia sangat baik. Maklum aku sebagai
bekas kliennya yang cukup lama. Sekalian kamu mohon dukungannya atas CRYSIS.”
“Jika aku siap menikah dengan Christian. Sudah sejauh hari mungkin aku menikah
dengannya. Bukan sesuatu yang susah seandainya aku bersedia untuk menikah. Tapi aku
ingin CRYSIS yang menikahkan kami. Kamilah yang harus pertama kali menikah dalam
CRYSIS. Dan orang yang bersanding denganku itu bukan Christian melainkan kamu.
Christian bersedia hidup berumah tangga dalam ikatan cinta segitiga. Itulah yang membuat
aku tidak mungkin bisa melepaskan dia begitu saja. Cintanya begitu tulus dan sucinya
padaku. Serta agamanya pula yang menjadi insprirasi nama CRYSIS itu ada.”
“Muslim!” Elqo begitu lembut. Ditumpangkannya telapak kanan tangannya ke atas
telapak tangan kiri Muslim yang sedang memegang setir. Lalu dipegangnya.
“Ya!” Muslim menoleh.
“Sebentar lagi sampai. Aku pulang ke tempat kelahiranku. Kota Tajur yang telah
membesarkan aku dengan lingkungan agama dan pergaulannya. Disini dulu aku terlahir dari
keluarga miskin. Dan aku tumbuh menjadi orang miskin. Masa kanak-kanakku kurang
bahagia. Usia tujuh tahun aku bergabung dengan anak-anak jalanan. Kerjaku seharian
meminta-minta dengan ngamen pada setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah. Orang
tuaku menyuruh aku sekolah. Tapi aku males banget. Aku malah keasyikan menjadi tukang
ngamen. Meskipun uang yang dikantongi tidak seberapa tapi aku sangat merasa senang tak
terhingga. Apalagi ketika aku sudah kenal kakak-kakak pengamen seniorku. Bertengger gitar
setiap harinya. Dan terlalu dini usiaku mengenal dunia pergaulan remaja. Usia tujuh tahunku
telah mengenal asap rokok. Bahkan ganja dan minuman keras. Mulanya itu semua ku
dapatkan dengan cuma-cuma. Tapi lama-lama mereka berani memalakku. Merampas semua
uang hasil ngamenku. Dan entah kenapa aku marah serta hati kecilku berontak karena mereka
akhirnya mengerjaiku setiap harinya agar setor padanya. Lalu sekali waktu aku dipukulnya.
Aku benci pada mereka. Aku kembali ke rumah. Ku lihat lagi kebiasaan sehari-hari di
lingkungan rumah. Aku terdiam melihat teman-teman seusiaku yang pada sekolah. Hatiku
tergerak. Aku sering main dengan mereka. Aku bersahabat dengan mereka. Sedikit-sedikit
aku menyerap ilmu pengetahuan dari mereka disaat mereka diajari orang tuanya. Aku tertarik
untuk sekolah. Kemudian akupun masuk SD di usiaku yang ke delapan tahun. Dan kebiasaan
buruk di jalanan ternyata masih sangat mempengaruhiku. Dari rumah aku bawa rokok yang
ku curi dari ayahku. Di sekolah aku menyulutnya yang tentu saja kena marah dan hukuman
dari guruku. Aku bilang aku dapat rokok dari ayahku sehingga guruku mengantarkanku ke
rumah serta menasehati orang tuaku tentang bahayanya rokok bagi anak dibawah umur. Lagi-
lagi akupun langsung kena hukuman dari orang tuaku yang telah memalukan keluarga.
Kehidupan SDku kacau balau. Akulah yang jadi biang keributan di sekolah. Hingga
aku pernah tidak naik kelas. Aku pernah ngadat pada orang tuaku agar dibelikan motor.
Tamat SD aku tidak langsung SMP. Aku bekerja sebisa-bisa membantu orang tuaku. Dan
pergaulanku sangat bebas. Dengan lingkungan anak-anak kurang pendidikan niscaya
perkembangan remajaku ditentukan karakternya. Aku brutal!
Setelah 5 tahun kelulusan SD. Aku tertarik untuk mengikuti kejar paket B sebagai
penyetaraan pendidikan dengan tingkat SMP. Dan untungnya kejar paket B yang sangat
menyenangkan. Baru juga satu semester sudah ikut ujian akhir dan mendapatkan ijazah yang
layak buat melanjutkan ke SLTA. Aku ngotot pada orang tuaku ingin melanjutkan sekolah.
Tetapi mereka tidak meresponnya.          
Kebetulan saudara jauh ayah, Om Hendri yang tinggal di Jakarta pulang dan
silaturahmi pada keluarga besarnya di Bogor. Dan mujurnya basa-basi ayah yang cerita
keinginanku melanjutkan sekolah ditanggapi hangat oleh Tante Tanti istrinya Om Hendri
yang selama lima tahun perkawinannya belum juga dikaruniai anak. Akhirnya akupun
melanjutkan SLTAku di Jakarta. Bagaimanapun baiknya keluarga Om Hendri, aku tetap
mencuri-curi waktu luangku untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan pembantu. Dan
seperti yang pernah aku ceritakan, aku terjerumus pada dunia sex diperkenalkan oleh
Tanteku. Puber pertamaku yang kegoblogannya aku bawa dari kampung kembali pecah.
Sensasiku tentang sex kembali tumpah. Tante Tanti membawaku ke ranjang kenikmatan
perselingkuhannya. Hingga aku dikarantina untuk mengerti teori dan praktek sex yang baik.
Karena ketampananku sudah ada yang mau membayar dengan harga relatif tinggi. Janda kaya
yang haus sex. Maka dari sanalah awalnya aku mengenal hubungan erat antara
keterkaitannya sex dan materi. Dan aku sangat senang. Bisa membalikkan fakta
kemiskinanku menjadi sebuah keadaan yang sangat berkecukupan.
Seorang Elan Komarudin yang miskin berubah dengan cepat menjadi seorang Elqo
remaja keren yang modis dan berkelas. Elqo Alldear, Elqo yang semua kasih.
Muslim. Tajur adalah peradaban kecilku. Dimana aku pertama kali mengenal Allah
sebagai Tuhanku. Muhammad sebagai Nabiku. Dan Al-Qur’an sebagai kitabku. Aku telah
lama berpisah dengan-Nya. Aku sangat merindukan-Nya. Rindukan indahnya masa kecil
waktu di surau bersama teman-teman kecil sepengajianku. Aku rindu pada kumandang adzan
beserta senandung merdu ayat-ayat Tuhan yang biasa kami lantunkan setiap pagi dan petang.
Sekarang aku kembali dengan seorang Elan Komarudin yang penuh cacat luka dan berlumpur
dosa.
Aku sangat merasa terluka bila mengenangkan lagi semua kisah perjalanan yang
sempat aku lalui. Aku sedih. Aku tidak mungkin sanggup berjalan lebih jauh lagi untuk
meninggalkan sepenggal indah masa laluku di kota kecil ini. Aku sudah terlalu kangen ingin
kembali. Biarkan aku pergi dari hidupmu. Berilah aku kesempatan untuk mengecap indahnya
cinta kota Tuhanku yang telah aku abaikan. Aku tak kuasa lagi untuk menahannya …” Elqo
mengusap basah kedua pipinya. Luka-luka itu kembali berdarah. Tersiram perih asam cuka
air matanya. Pahit getirnya dunia seakan meranjam dan mencambuk meremuk redamkan
harga dirinya sebagai manusia. Kembali melumatkannya jadi adonan yang lembek. Kembali
dibentuknya menjadi keutuhan nuraninya yang bersih. Mungkinkah?
Mendung awan di kota Tajur mengelabui perasaan kedua lelaki dalam sedan abu-abu
itu. Sedan yang mulai mengurangi lajunya perlahan. Abu-abu cerita kabut dari gulung Salak.
Gunung cinta yang berkabut abu-abu. Cinta abu-abu dari gunung yang berkabut. Tinggi.
Indah. Sejuk. Tapi rimba belantara yang membinasakan!
Wajahnya mendung. Awan itu menutupi auranya. Muslim dingin. Laksana salju di
kutub utara. Salju cinta yang membeku. Cinta yang membeku menjadi bukit dan lembah
salju. Badai salju yang membekukan kutub cintanya. Sungguh, badai cinta yang bersalju! Jika
jasadnya membeku, akankah jiwanya juga membeku? Dan jika sukmanya hidup, di raga
mana ia akan hinggap? Selama nyawa masih mengiblat, disana cinta tetap berkarat! Adakah
kau mengerti?  
“Aku sangat sedih jika aku harus kehilanganmu,” Muslim terbata. Tak banyak yang
dapat ia ucapkan karena kelu lidahnya yang tersumpal lendir berduri. Lendir hatinya yang
berdarah tertancap duri beracun.    
“Disini saja,” Elqo meminta Muslim agar menghentikan mobilnya. Tanpa bicara
sepatahpun Muslim segera menghentikannya. Mimik wajahnya yang muram itu seraya
melirik pada Elqo. Sosok lelaki yang sangat dicintainya. Yang telah menghempaskan helaan
nafas-nafas cinta pada kehidupannya. Lelaki itu, Elqo … yang meminta pergi untuk
selamanya. Setelah menuangkan madu cinta, kini ia torehkan pedang berbisa. Mungkinkah
cinta itu membunuhnya?
“Sekali lagi maafkan aku,” Elqo dengan tegar serta senyumnya yang mengembang
seakan tak ada luka sedikitpun yang tersembunyi dibalik kedalaman palung jiwanya.
“Kau tidak mau singgah dulu ke rumahku?” tawar Elqo berdiri di pinggir pintu mobil.
Muslim diam.
“Oh, ya. Gak apa-apa kalau kamu merasa tidak berkenan. Aku pamit. Sampaikan
salam maafku buat Christian. Terima kasih atas segalanya. Semoga kamu berbahagia
dengannya. Selamat tinggal! Assalamualaikum!” Elqo membalikan tubuhnya setelah
menyunggingkan senyum terakhirnya sebagai ucapan selamat tinggal pada lelaki bernama
Muslim yang sempat bersamanya mengayuh dayung romantika cinta menuju pulau dewata.
 
13 ‘salahkah skenario-nya?’
    
 
Langit Bogor yang mendung tidak segera hujan. Tapi rintik deras gerimis itu turun
pula di matanya. Muslim berlari sambil berteriak memanggil Elqo yang sudah memasuki
pekarangan rumahnya. Rumahnya yang ia bangun dengan jerih payahnya. Rumah cantik
yang harus ia tukar dengan kegantengan dan kejantanannya.
“El … !!!”
Elqo berhenti di depan teras.
Muslim langsung memeluknya dari belakang. “Elqo!” di tatapnya mata itu dengan
tajam. Ternyata mata itupun basah. Elqo pun menjatuhkan air matanya. Dibalasnya pelukan
Muslim demikian eratnya. Keduanya berpelukan dalam tangisan yang menyayat sanubari
mereka yang mengenal betapa sempurnanya cinta.
“Hai! Rupanya sudah pada datang,” seruan seorang perempuan yang keluar dari
rumah membuyarkan perasaan Muslim seketika.
“Kamu!?” Muslim memandang perempuan itu tak berkedip. Beberapa waktu lalu ke
belakang kembali membayang. Benarkah perempuan Korea yang dilihatnya itu …
“Naomi!?”
“Mari masuk,” perempuan berambut pirang itu yang tiada lain dari Naomi Lie begitu
ramah mempersilahkan mereka masuk.
Muslim menoleh Elqo penuh tanda tanya. Ada rasa heran dan keraguan menyekap
sikapnya.
“Ayo!” Elqo menarik lengan Muslim diajaknya lekas menaiki teras memasuki rumah
mengikuti Naomi Lie.
“Ini rumahmu, kan?” tanya Muslim berbisik.
“Ya.”
“Kenapa Naomi ada disini?”
“Naomi Lie cucunya Banban Sironang dari anaknya yang menikah dengan keturunan
Korea.”
“Apa urusannya?”
“Dia sempat mengontakku mohon izin untuk menempati rumahku yang ayah ibuku
sangat tidak sudi untuk menempatinya.”
“Kau tidak tahu dia itu pelacur?”
“Tahu.”
“Tapi kenapa? …” Muslim tak lanjut ketika melihat ada beberapa orang pria dewasa
duduk di kursi berpakaian rapi.
“ … tuh kan, dia sedang menerima tamu!” gumam Muslim lagi didekatkan ke telinga
Elqo.
Elqo sama sekali tidak menghiraukan celoteh Muslim. Ia langsung menyapa ke enam
orang pria yang pada duduk santai itu dengan ucapan salam. Lalu dibalas kembali oleh
mereka yang tidak semuanya kompak.
Setelah bersalaman ke semuanya, Elqo dan Muslim pun lalu duduk pada kursi yang
masih tersedia.
“ … mungkin sudah tahu kiranya apa maksud dan tujuan saya mengundang Bapak
semua. Saya ucapkan terima kasih atas kesediannya Bapak berkenan memenuhi panggilan
saya. Bapak Ustad beserta Bapak Pendeta yang sangat saya hormati,” Elqo membuka
percakapan yang sama sekali terdengar janggal di telinga Muslim. Ada rencana apa kiranya
yang telah Elqo susun tanpa sepengetahuannya? Sampai di rumahnya ia mendatangkan para
Ustad dan Pendeta?
“Bagi saya ini sudah merupakan kewajiban,” kata Bapak Pendeta yang nampak lebih
tua dari rekannya.
“Apa tidak lebih baik kita langsungkan akad nikah sekarang saja?” ujar Sang Ustad
tambah mengejutkan Muslim.
“Iya. Soalnya kami semua jam tiga nanti akan menghadiri rapat keagamaan di kantor
kelurahan,” timpal Pendeta satunya.
Setelah sejenak berpikir, Elqo menoleh Muslim yang sedari tadi bengong melihatnya.
“Kamu bersedia menikah hari ini?” tanya Elqo laksana bunyi gemuruh guntur yang
memekakan indera pendengaran Muslim.
“Kamu serius?” Muslim menatap terpana.
“Tak ada yang perlu kau ragukan.”
“El!” Muslim trenyuh. “Bagaimana bisa mereka menikahkan kita?”
“Kenapa tidak bisa kami menikahkan kalian?” Sang Ustad menimpali.
“Bukankah ini yang kau inginkan?” Elqo mempertanyakan keraguan di hati Muslim.
Muslim menggelengkan kepalanya. “Aku telah berdiri dalam kibaran bendera
CRYSIS,” bisiknya.
“Saya Antolin Josephaus yang semalam ikut menghadiri seminar CRYSIS yang
Bapak Muslim gelar. Mungkin Bapak masih ingat usul saya yang mengultimatum seluruh
anggota untuk menyatakan janjinya dalam CRYSIS. Janji manis perkawinan dan hidup rukun
berumah tangga. Bagaimana orang bisa meyakini CRYSIS seandainya janji pembawa
CRYSISnya saja masih hanya berupa imaji?” Pendeta muda itu demikian mengejutkan
Muslim. Lalu dipandangnya Pendeta itu. Ya. Muslim masih sangat jelas mengenalnya. Laki-
laki itu yang telah banyak memberikan komentar dan masukan dalam seminar CRYSIS
semalam.
Jiwa Muslim menggeliat. Lorong-lorong kosong itu sekejap penuh tersumbat. Labirin
hatinya yang hitam kini memucat. Laksana putih menjadi serpihan sinar yang bersemburat.
“Muslim,” Elqo membisiki telinga Muslim sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil
dari sakunya.
Mata Muslim berbinar.
“Terimalah,” Elqo mengulurkan kotak kecil di tangannya itu pada Muslim yang
seraya menerimanya tergagap.
“El!” Muslim berdesis lembut melihat isi kotak kecil itu. Sebuah cincin permata!
“Aku meminangmu demi orang yang aku cintai,” Elqo mendekap Muslim. Mata
Muslim berbulir bening. Butiran permata seketika berjatuhan ke pipinya.
“Demi CRYSIS mereka akan menikahkanmu. Dan aku akan menjadi saksi sejarah
pernikahanmu,” lanjut Elqo lekas melepaskan pelukannya.
“Jadi!?” Muslim melongo tak mengerti.
“Aku sangat mencintaimu. Begitu juga Evel adalah orang yang tak mungkin terlepas
dari rasa cintaku. Menikahlah dengannya jika kau memang benar-benar mencintai aku.
Tebuslah dosa-dosaku padanya dengan cintamu. Dia sudah sangat terluka parah oleh cintaku.
Terimalah dia menjadi pasanganmu. Bahagiakan hatiku dengan membahagiakan hatinya.
Nyawaku adalah taruhannya sebagai jaminan kemuliaan cintanya untukmu,” Elqo
menguraikan air matanya senandung harap dan do’a yang penuh kesucian.
“Evel!?” Muslim terpana mengenali sesosok orang yang tengah berdiri
memandangnya dengan sejuta pesona. Evel lelaki berbibir merah semanis apel itu. Bermata
bening sesejuk embun itu. Berkulit halus selembut sutera itu. Yang sempat menggodanya.
Mengundang hasratnya. Hasrat bercinta. Merangsang syaraf nafsu berahinya.
Muslim menelan ludahnya. Sejenak pandangannya beralih pada Elqo. Lalu ia
menunduk.
“Bagaimana kami bisa mempercayai Bapak untuk menjadi seorang pemimpin, jika
Bapak tidak memperlihatkan sikap berani bertanggung jawab Bapak sebagai seorang
pemimpin kepada kami?” suara Evel begitu merdu menghanyutkan seluruh sel darah Muslim
pada jantungnya.
Muslim mendongakkan lagi wajahnya. Tatapnya tak lagi basah. Ada kekuatan besar
yang terpancar di matanya. Tatapannya berputar melihat pada semua orang yang hadir di
ruangan yang lumayan luas itu. Naomi Lie yang berdiri disamping Evel. Juga tampak pula
Titia Alimistri mendampingi Evel. Dan tumpuan akhir matanya beradu di tatapan Elqo. Lalu
Muslim turun dari kursinya dan seraya bersimpuh di pangkuan Elqo.
“Atas nama Tuhan, semoga cinta dan kasih-Nya menyenandungkan berkat padamu
senantiasa. Semoga kebenaran menyamakan derajat kita dalam pandangan Tuhan. Hingga
kita memiliki kunci surga yang sama. Berdiri di depan pintu surga yang sama. Meniti
keMahabahagiaan-Nya yang tak terhingga. Cintamu adalah jejakku untuk memahami
keyakinan hidup yang seutuhnya. Terima kasih. Sempurnalah hidupmu dalam cinta-Nya. Ku
jadikan harapanmu adalah kebahagiaanku. Aku mohon izin dan do’amu. Semoga Evel
membangunkan surga-Nya untuk kita. Aku bersumpah untuk menikahinya.”
Semua yang hadir tertegun. Terpana dalam senandung simfoni yang Muslim
lantunkan. Sungguh syahdu merayu menggelitik pada setiap celah pori yang tertutup dari
cinta. Menerpa riak-riak kepongahan yang menutup permukaan telaga nista di pusaran
ruhnya. Layaknya sebuah ayat yang berkidung mesra menebar tasbih Tuhan beriring
semerbak harum kesturi.
Muslim bangkit dari sungkemnya. Berdiri tegap laksana seorang prawira. Lalu dengan
lantangnya dengan sepenuh keyakinannya Muslim berikrar janji dalam akad pernikahan yang
disaksikan oleh dua pemuka besar agama.    
“… Dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, saya terima Evel putra Bapak Haman
menjadi pendamping hidup saya …” Muslim melingkarkan cincin permata pemberian Elqo
itu di jari manis Evel.
Akhirnya Muslim menikah juga. Suasana prosesi pernikahan yang sangat sederhana.
Dengan penampilan Evel yang hanya berkemeja lengan pendek serta rambutnya yang
dibiarkan apa adanya. Namun, kebahagiaan itu jelas tersirat dari aura semua orang yang
hadir. Terutama Evel, Elqo dan Muslim. Sebuah suasana yang sangat mengesankan.
Kemudian sebuah pesta kecilpun digelar. Mereka makan bersama dengan menu ala
restaurant mahal. Suka cita yang mempesonakan. Dimana Ustad dan Pendeta terjalin rukun
dalam sebuah hidangan yang sama.
“… dari siapa?” Elqo memperhatikan Muslim yang mengangkat handphonenya.
“Christian ngucapin selamat atas pernikahanku dengan Evel.”
“Oh, ya!”
“Darimana ia tahu bahwa sekarang aku menikah dengan Evel?”
“Aku yang mengabarinya,” sahut Evel.
“Apa?” Muslim terbelalak kaget.
“Bukankah kabar pernikahanmu denganku itu kabar baik buatnya?”
“Dalam hal ini kalian harus coba memahami perasaanku!” Muslim kesal sedikit
meninggikan suaranya.
“Ada apa?” Pendeta Antolin Josephaus beserta rekan pendetanya juga Ulama yang
hendak beranjak keluar merasa dikejutkan.
“Aku minta maaf!” Evel merendahkan diri mencoba meredam kembali emosi Muslim
yang mendadak naik.
Rupanya Christian langsung mengontak Muslim. Terlihat Muslim seperti berdialog
bergegas menghindari orang-orang menuju keluar. Tidak menghiraukan Evel, Elqo dan yang
lainnya yang mempertanyakannya.
“… hatiku sangat teriris sekali dengan pernikahanmu. Ku kira apa kata Evel itu
hanyalah bualan belaka. Tapi ternyata benar, aku menyaksikan pernikahanmu barusan. Jika
yang menikah denganmu itu Elqo, aku tidak akan sesakit ini. Aku pasti akan menyambutnya
bahagia. Karena akupun akan menyusul menikah menjadi pasanganmu yang kedua. Tapi
Evel!? Orang yang baru kau kenal. Kau tidak tahu siapa dia. Engkau telah terjebak olehnya.
Kau telah terjebak oleh mereka. Atau mungkin sebenarnya kamu masih seorang lelaki normal
yang mencintai wanita. Kamu hanya pura-pura saja menjadikan dirimu seorang gay sejati.
Nyatanya …”
“Christ! Aku menikah demi CRYSIS,” teriak Muslim tak sadar.
“Dalam anggapanmu kamu memang menikah demi CRYSIS. Tapi bagi Evel dan
Ulama yang menikahkanmu itu kamu menikah secara syah. Karena Evel itu seungguhnya
adalah seorang perempuan, bukan seorang laki-laki homoseksual!”
“Apa? Emangnya…!?”
“Aku bersama Naomi Lie sekarang. Dia menyeretku pergi saat aku mengintai kamu
sedang melangsungkan pernikahan dengan Evel. Dia cerita segalanya …”
“Kamu jangan termakan bualan perempuan itu!”
“Tidak. Jika kamu memang merasa senang dengan pernikahanmu. Aku turut bahagia
atas kemenanganmu yang telah sukses membuat aku keliru. Yang telah sukses menipuku.
Kamu bersekongkol dengan Elqo. Tapi tak apa, aku pun telah sukses membelokkan
keyakinan seorang mahaguru universitas agama mayoritas negerimu ini. Aku telah berhasil
merekayasa ibumu.”
“Christian! Kamu harus dengar penjelasanku.”
“Sukar untukku dapat percaya lagi padamu. Kecuali kamu sekarang juga menceraikan
Evel yang telah menjadi istrimu.”
“Evel adalah yang akan membangun kepercayaan CRYSIS pada setiap homoseksual.”
“Lindungilah kebegoanmu. Aku tidak ingin bertengkar. Tapi ingat, jika kamu
memang seorang normal. CRYSIS tetap akan hidup dan berkembang menjadi paham yang
menyesatkan. Kamu yang berhak menanggung semua dosa mereka…”
“Halo! Halo! Christ! Christian!” panggil Muslim teriak-teriak. Christian memutuskan
komunikasinya. Dia mengnonaktifkan HPnya.
Muslim jadi kalang kabut. Dilihatnya Evel dan Elqo menujunya. Ia langsung teriak.
“Sini!” Muslim menarik lengan Evel.
“Kenapa Mus?” Elqo heran.
Muslim melihat Elqo. “El. Mumpung aku masih sadar. Tolong jawab pertanyaanku
dengan jujur. Mengapa Ulama tadi bersedia menikahkan aku dengan Evel?”
“H … karena tidak ada sesuatu yang salah dengan pernikahanmu,” Elqo agak
gelagapan juga dihadapkan dengan pertanyaan dan sikap Muslim yang seperti itu.
“Yang lebih jelas lagi. Apa karena Evel sebenarnya adalah perempuan?”
Evel dan Elqo tidak ada yang menjawab.
“Atau kalian ingin supaya aku menelanjangi Evel disini untuk membuktikannya dia
itu perempuan atau laki-laki?”
Evel menatap Elqo memohon pertimbangan.
“Cepat!” Muslim sangat emosi.
Setelah berpikir sejenak dan melepas ketegangannya, Elqo pun berkata. “Kamu tahu
sendiri bagaimana daya rangsang yang ditebarkan Evel terhadapmu. Jika Evel perempuan
mungkin dia tidak akan mampu membangkitkan nafsu berahimu.”
Muslim jadi terpekur bimbang. “Jadi kamu itu laki-laki atau perempuan?” Muslim
membidikkan ketajaman matanya pada Evel.
“Kalian sudah syah menjadi sepasang pengantin,” ujar Elqo tenang.
“Pernikahanku tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan,” Muslim sangat
menyesalkan.
“Kita bisa menikah lagi sesuai pernikahan CRYSIS. Anggaplah ini kenangan terakhir
kita dalam Islam,” Evel memegangi lengan Muslim.
“Aku sangat kecewa Islam telah menikahkan aku dengan seorang lelaki,” Muslim
kelu.
“Itu keinginan setiap gay bisa menikah dengan sesama jenisnya dalam lindungan
hukum agamanya. Mestinya kamu bahagia Islam mempunyai solidarits yang sangat tinggi.”
“El. Aku tidak ingin gay merusak nama baik agama. Aku tidak mau gay menodai
kesucian agama manapun di dunia yang dalam ajarannya tidak mengakui homoseksual. Maka
CRYSIS ku dirikan itu demi gay bisa mempunyai komunitas tersendiri yang terlepas dari
ikatan kepercayaan agamanya. Karena aku sangat menghormati dan menghargai tingginya
martabat seluruh agama yang meninggikan Tuhan sebagai tahta kekuasaan yang Maha
Tinggi. Tapi sekarang kesucian Islam telah ternoda. Meskipun aku menceraikan Evel, tetap
saja kisah Ulama dan Pendeta yang telah menikahkan sepasang homoseksual itu akan
menjadi sejarah di dunia. Aku telah mencemarkan agama. Aku telah sangat berdosa,” keluh
Muslim demikian dalamnya.
“Menikah itu lebih baik daripada melakukan hubungan sex bebas yang penuh dosa.
Ikatan pernikahan akan menghalalkan hubungan sex kamu.”
“Dalam kitab Islam mana yang menerangkan ada hadist Nabi yang membahas sebuah
pernikahan sesama jenis. Allah sendiri dalam Al-Qur’an mengecam kaum Lut yang
homoseksual serta mengazabnya demikian pedih dengan hujan batu. Karena dalam
keyakinanku Muhammad SAW beserta Al-Qur’an merupakan pembawa ajaran kebenaran
yang sempurna dan mutakhir. Segalanya merupakan sumber tauladan yang berlaku hingga
akhir masa. Jikapun memang homoseksual dibenarkannya, mungkin sebagai Nabi yang
terkenal banyak istrinya tidak menuntut kemungkinan beliau mencontohkannya dengan
menikahi laki-laki para sahabatnya atau umatnya yang taat,” hati nurani Muslim tetap saja
membantah. Membantah! Mengapa dilemma itu masih saja mengelabuinya? Mengapa
keyakinan terhadap agamanya masih saja begitu kuat sementara CRYSISpun ia dirikan
sebagai agama pula? Jika kepercayaannya pada agama Islam sangat kental, mengapa sampai
tidak sanggup meluluhkan sifat kehomoannya yang seakan malah kian menebal?
“Ketegasan kamu sekarang mau bagaimana?” Elqo meminta kepastian Muslim.
“Dalam Kanzul Ummaal, Al-Hindi meramalkan kehidupan akhir zaman bahwa
‘manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism.’ Mungkin saat ini
memang sudah akhir zaman sehingga mengapa aku mesti terus menerus mencari kebenaran
yang ku inginkan?” Muslim memasrahkan keyakinannya.
“Evel,” Muslim menatap Evel. “Bagaimanapun sekarang kita sudah menikah. Baik
dan buruknya nilai moral yang kita perbuat, agama telah melindungi hubungan sex kita. Kau
telah menjadi pasanganku. Aku bertanggung jawab sepenuhnya atas apapun yang terjadi
denganmu. Demikian kamu jadilah pasanganku yang senantiasa mengingatkan dan
melindungi aku dari setiap angkara yang menerpa. Cinta dan tidaknya aku padamu atau kamu
padaku, semoga rumah tangga kita selalu ada dalam berkah dan karunia rahmat-Nya,”
dikecupnya kening Evel perlahan dengan lembut. Serasa genderang itu kembali bertalu.
Menyerukan sebuah semangat perjuangan menuju kemenangan yang menggembirakan. Evel
memeluknya. Air matanya terjatuh penuh keharuan. Cinta itu sungguh gemuruh di dadanya.
Kebahagiaan itu menyeruak memenuhi ruang hamapa di jiwanya.
Tapi Elqo. Dia terlihat perih. Matanya yang basah menyiratkan sebuah kelukaan yang
mendalam. Langkahnya ia ayunkan pergi dengan genangan air matanya yang tiba-tiba deras
ibarat hujan asam mengguyur puing-puing bangunan jiwanya yang rapuh.
“Elqo!” panggil Muslim mencoba menghentikan langkah lelaki yang dicintainya itu.
Elqo terhenti. Tapi entah apa yang membuat langkah kakinya terhenti. Matanya
melihat seorang anak perempuan empat tahun yang baru datang diiring seorang gadis belia
menujunya. Elqo memandangnya tak berkedip. Bocah itu melihatnya.
“Om Elqo!” serunya.
Elqo memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Wajahnya berkerut-kerut dengan
hidungnya yang mengembang seolah sedang berusaha menahan tumpahan gejolak jiwanya
yang memuncak pada bibirnya yang bergeletar.
“Elin,” hanya sapaan itu yang sanggup terucap dari bibirnya. Dihamburnya bocah itu.
Dipangkunya. Ditumpahkannya air matanya di wajah cantik bocah itu. Diciuminya dengan
hangat. Elin didekapnya begitu erat.
“Kenapa Om menangis?” Elin menatap Elqo dengan sorot matanya yang polos.
“Om kangen sekali sama Elin,” suara Elqo serak.
“Muka Om kenapa? Kok banyak nodanya,” tangan Elin meraba jidat Elqo.
“Seorang lelaki yang gagah harus berani melawan musuhnya. Om telah bertarung
mengalahkan musuh Om yang akan mengganggu Elin.”
“Terima kasih ya Om! Mama juga suka bilang kalau Om Elqo itu seorang pahlawan
yang suka menolong Mama dan Elin,” cerita Elin sungguh polosnya sambil menyandarkan
kepalanya ke leher Elqo. Sebuah pernyataan yang sangat menyayat ke kedalaman palung
sanubarinya. Air matanya kembali bergulir lagi. Jatuh lagi. Kian menambah perih.
Muslim berjalan menghampiri Elqo diikuti Evel yang melangkah dibelakangnya
dengan kepalanya yang tertunduk.
“El. Temani aku bulan madu,” kata Muslim sangat mengejutkan Elqo.
Elqo terdiam. Evel pun diam. Baby sitter Elin pun diam. Muslim melihat Elqo. Elqo
membiarkan Muslim memandangnya. Elin melihat pada Muslim. Tatapan tidak kenal dan tak
bersahabat.
“Pergi saja kalian berdua,” bisik Elqo terbata.
“Aku ingin kamu ikut. Aku sangat mencintai kamu begitu juga katamu kalau Evel
orang yang sangat kamu cintai. Kita berbulan madu bertiga,” rujuk Muslim.
“Aku tidak mempunyai hak untuk turut memeriahkan bulan madumu. Haram
hukumnya aku menjamah berahi kalian berdua.”
“El. Kamu ingin melihat aku bahagia atau menderita dengan pernikahan ini?”
“Bahagia …” Elqo menundukkan mukanya.
“Om Elqo. Ini ya orang yang mau mengganggu Elin dan telah bertarung dengan Om
itu?” tanya Elin pada Elqo yang merunduk membisu.
Elqo menggelengkan kepalanya. “Bukan. Om ini orang yang baik,” bisiknya pelan.
“Dia ini keponakanmu?” tanya Muslim.
Elqo menelan ludahnya yang mengental di tenggorokannya.
“Mama!?” teriak Elin ragu-ragu.
“Iya Teteh Evelin saya disuruh Ibu sama Bapak untuk nganter Elin kemari,” Si gadis
belia itu mengherankan Muslim.
“Maksud kamu De, Evelin?” Muslim memandang gadis itu.
“Maafkan aku Muslim!” ujar Elqo berat sembari menenangkan nafasnya.
Muslim beralih memandang pada Elqo.
“Kamu boleh membenci aku untuk selama-lamanya. Dan sesuatu yang sangat baik
kamu bisa menganggap aku telah mati.”
“Kamu bicara apa?”
“Muslim. Aku sangat mempercayaimu. Aku titipkan Evel padamu. Jagalah dirinya
seiring benih cintanya yang tumbuh untukmu. Jika memang sampai kapanpun kamu tidak
pernah bisa mencintainya, jadikan Evel temanmu yang biasa menyajikan hidangan lezat di
setiap kamu pulang ke rumah setelah tak ada satupun restaurant yang memuaskan kenikmatan
nafsumu…”
“Elqo. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan rasa cintaku padamu. Kita bisa
tinggal serumah bertiga. Jika kamu memang tidak menginginkan pernikahan denganku, apa
salah jika aku menginginkan hidup bersama dalam satu rumah denganmu?”
“Jangan lukai hati Evel. Hatinya adalah hatiku. Lukanya adalah lukaku. Aku telah
lama terluka dengan perbuatanku yang telah menyengsarakan hidupnya. Jangan tambah lagi
penderitaanku dengan melihat Evel tersiksa olehmu. Jika kamu memang mencintai aku,
cintailah Evel sebagaimana kamu mencintaiku. Tebuslah segala dosa-dosaku selama ini
padanya dengan tulusnya kasih sayangmu.”
“Emangnya Evel itu siapanya kamu?”
“Seandainya kamu tahu siapa Evel, apa kamu akan meninggalkannya lalu
membiarkan dia menikahi Fitrea adikmu?”
“Justru aku akan merasa sangat senang melihat Evel menikah dengan adikku daripada
menikah tidak normal denganku.”
“Evel adalah seorang wanita. Nama aslinya adalah Evelin Puteri.”
“Apa? Jika Evel adalah seorang wanita normal. Apa gunanya merubah
penampilannya jadi laki-laki apabila masih menyukai laki-laki?” Muslim terbelalak kaget.
“Mana yang kamu pilih? Evelin kamu jadikan istri atau mengizinkan dia
menghancurkan kehidupan adikmu Fitrea? Karena dia telah berhasil menaklukan Fitrea jatuh
cinta padanya sebagai seorang Evel sosok lelaki yang romantis dan humanis. Evel lelaki
jelmaan dari seorang lesbian Evelin yang terperangkap dalam jeratan sexnya Naomi Lie. Evel
yang telah terluka parah hatinya oleh cinta seorang lelaki hingga ia prustasi tidak
mempercayai lagi cintanya kaum lelaki. Evelin telah menderita olehku. Aku yang telah
menodai cintanya sebagai gadis suci. Aku telah menghamilinya diluar nikah. Dan Elin adalah
anakku…”
“Maafkan aku!” Evel memegang tangan Muslim.
“Kalian semua pengkhianat!” geram Muslim menepiskan pegangan Evel dengan raut
mukanya yang mendadak merah padam.
“Muslim!” Elqo meneriaki Muslim yang bergegas pergi dengan kobaran emosi yang
membara membakar seluruh keyakinan yang sempat kokoh dipertahankannya.
Evel berlari mengejar. Elqo pun berlari menyusul dibelakang Evel sambil
menggendong Elin yang berteriak memangil ibunya. Keduanya berusaha menghalangi
kepergian Muslim. Namun,
“Bedebah dengan kalian semua!” hardik Muslim segera menancap gas melajukan
sedan abu-abunya meluncur menembus cuaca Bogor yang mendung bergerimis. Awan hitam
yang lama bergelayut menyelubungi indahnya kota hujan ini akhirnya mencair juga jatuh
berpencar tertiup sepoi angin petang yang mempertanyakan dimanakah letaknya kepercayaan
itu mesti disimpan. Bila ditaruh di atas langit masih tetap juga tergapai bias panas uap bumi.
Di air, ia akan menguap. Di awan, ia akan mencair. Di tanah, ia akan terinjak. Di udara, ia
akan terhisap. Di cahaya, ia akan padam. Di makhluk hidup, ia akan membusuk. Lalu
dimanakah letaknya yang tepat buat menaruh kepercayaan itu? Hanya satu, keyakinan itu
berada di puncak Maha Tingginya Kekuasaan Tuhan Yang Maha Tunggal!
“… hari ini tadinya aku berencana mengajakmu pergi ke Meksiko. Aku sudah
memesankan dua tiket keberangkatan kita sejak seminggu lalu. Karena masa tinggalku di
Indonesia berakhir di hari ini.
Muslim yang sempat aku cintai. Dan masih sangat aku cintai. Serta aku sampai
dibuatnya tergila-gila mencintainya. Kini aku pergi dengan segenggam bunga cinta yang
berduri dan penuh cacat. Bunga cinta yang sudah tidak menarik dan harum lagi.
Selamat atas kebahagiaanmu. Semoga kamu bisa menjalani hidup normal sebagai
seorang suami bagi istrinya. Meskipun sangat menyiksa dan menyakitkan melawan sifat
manusia yang diqadratkan Tuhan.
CRYSIS ku bawa dalam nuraniku. Namaku dan namamu juga agamaku dan agamamu
bersatu disana. CRYS adalah nama dan agamaku Christian dan IS adalah Islam (Moslem)
nama dan agamamu.
Doakan agar aku bisa belajar hidup normal dengan Naomi Lie yang ikut bersamaku
ke Meksiko sebagai penggantimu.
Salam CRYSIS tak pernah mati untuk kita! ...”
Muslim terpejam. Butiran-butiran kristal itu berjatuhan satu persatu menelusuri
kelembutan pipinya dan jatuh di dagunya yang mulai di tumbuhi janggut. Gerimis kecil yang
memercikan tetes demi tetesan darah yang merembes dari sayatan-sayatan luka di hatinya.
Gerimis yang menerpa menambah gelap suasana. Basah. Dingin. Dan menggigil. Bersama
menyambarnya sepercik cahaya kilat yang sempat menyerpih terang gulita sukmanya.
Beriring rintihan gemuruh guntur yang menumbangkan kekuatannya. Muslim terdiam di
depan beranda surga yang pintunya bersebelahan dengan neraka. Kilat itu hilang
menyesatkan jejaknya. Karena ‘… Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk menimbulkan
ketakutan dan harapan…’ (Ar-Rum 24). Dan gemuruh itu datang menyerbunya. Kemanakah
ia mesti berlari? Sedang sekali pintu terbuka akan menutupnya rapat-rapat dalam sebuah
keabadian! Kekekalan hukum Tuhan Yang Maha Adil!
 
Terima kasih!
 
Alhamdulillaahirobil’alamiin,
My Humz, minggu 21 april 2012.
 
 
 
 
 
 
*Laki-laki akan menyerupai perempuan dan perempuan akan menyerupai laki-laki!
[Allamah Jalaluddin Suyuti, Durre-Mansoor]
 

 
To:
 
 
Dear,
 
 
Thank you.
 
Best regards, 
Anton Saptonadi (Sales Admin) 
PT Mega Global Solution
Komplek Perkantoran and Apartment Harmony Plaza Block K8-K9
Jl. Suryopranoto No 2 Jakarta Pusat 10130 Indonesia
Telp.: +62-21-63863409, 63863410
Fax.: +62-21-63863411
Mobile: +62-81902580413
YM: saptonadi
email: anton@megaglobalsolution.com
website: www.megaglobalsolution.com  

----- Forwarded Message -----


From: Laksa Buana <laksabuana@yahoo.co.id>
To: "anton@megaglobalsolution.com" <anton@megaglobalsolution.com> 
Sent: Monday, November 5, 2012 8:17 PM
Subject: 

Naena Jhaya
 Perkasa
 
Ketika Aku Ditanya Apa Agamaku
 
 
 
 
 
*Manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism!
[Naena Jhaya Perkasa]
 
 
 
Bismillahirrahmaanirrahiim
 
 
 
1  ‘tabiat orang pemuja cinta’
          
                                   
“… asyik banget nih!” pria keren berambut pirang sebahu menepuk pundak seorang
pemuda yang sedang duduk asyik membuka situs internet.
Pemuda itu menolehnya sambil tersenyum. Wajahnya yang asli melayu itu tak kalah
tampan dari pria yang menepuk pundaknya.
“Lagi ada sesuatu yang dicari?” tanya pria Indo itu.
“Iseng aja,” pemuda itu tertawa kecil.
“Aku lihat kamu sering ngerental internet ke mari.”
“Sekedar nonton video porno,” sahutnya santai.
“O, ya. Emangnya kamu tinggal dekat sini?”
“Naik angkot ngeluarin duit PP 4.000 rupiah.”
“Namaku Christian,” pria Indo yang keren itu mengulurkan tangannya ngajak
kenalan.
“Muslim,” pemuda itu menjabatnya.
“Semoga kita bisa lebih akrab lagi.”
“Sesuatu yang baik. Tapi apakah kamu gak punya niat hasud padaku sebagai orang
Islam?” tanya Muslim segera melepaskan tangannya dari genggaman Christian yang
sepertinya sengaja tidak segera melepasnya.
“Aku malah seneng kok dengan banyaknya orang muslim sekitar sini yang senang
ngerental ke mari. Remaja belia yang keseringan ngunjungi situs porno.”
“Kenapa mesti seneng? Mestinya kamu kasih larangan. Aku juga pertama kali kesini
merasa heran. Aku takut kalau sampai harus membuka-buka alamat web tentang sex. Eh tak
tahunya hampir semua pengunjung sini bebas ngeakses situs porno,” celoteh Muslim.
“Bagaimana kalau malam ini nginep saja di sini?”
“Emangnya kenapa?” Muslim melirik Christian.
“ Ada aja!” Christian mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum genit.
“Ngapain nginep di tempat orang sembarangan?” Muslim mengetik lagi alamat web.
“Kamu gak mikir apa? Ini malem udah jam berapa? Sekarang sudah waktunya tutup.
Sudah lebih satu jam setengah. Orang lain sudah pada gak ada. Kalo kamu tidak berniat
nginep, aku kan ngantuk nungguinnya.”
“Tapi tanggung nih belum puas. Biar deh aku bayar dua kali lipat perjamnya. Soal
pintu tutup saja. Kamu sudah tidur dulu sana . Entar aku bangunin kalo aku mau pulang,”
Muslim berusaha nego.
“Semua yang kamu omongin itu bukanlah persoalan penting bagiku. Tapi jadi orang
aku ingin disiplin menghargai waktu. Sebagai tamu disini kamu semestinya nyadar perjanjian
jam yang sudah dipersiapkan untuk ngerental disini,” Christian begitu halus mengemukakan
sebuah prinsip kebijakan.
“Iya maaf. Kasih aku waktu lima menit lagi, OK!”
“Sampai pagi atau sampai malem lagi juga gak apa-apa kalo kamu memang mau
nginep. Mungkin aku pulang sekarang. Aku gak usah nungguin kamu.”
“Nyampe segitu percayanya kamu padaku buat nginep disini?”
“Kalo ada apa-apa juga kan gampang tinggal nuduh kamu saja. Aku ngarepin banget
ada orang muslim bikin ulah. Aku tak segan-segan ngangkat masalahnya hingga ke surat
kabar internasional buat nambah fakta bahwa orang Islam itu emang biang kerok
permusuhan.”
“Busyet, bisa-bisanya kepikiran jauh nyampe disitu. Emang orang-orang Kristen
mungkin pikirannya busuk terus ya nganggap umat Islam. Kayaknya dicari-cari terus sumber
buat ngejerumusin orang Islam pada tindak kesalahan,” Muslim berkelakar.
“Makanya jadi seorang muslim apalagi namamu Muslim, kamu mesti waspada kalau
bertindak. Mungkin masalah kamu ini juga bisa ku angkat buat ngejelekin agamamu. Ku kira
orang muslim itu bersifat baik-baik. Eh tak tahunya mereka itu tak lebih dari para pendusta.
Teorinya saja yang sok suci, eh perilakunya lebih buruk dari telor busuk sekalipun.”
“Kamu jangan sembarangan ngomong ya. Apalagi nyangkut soal agama. Urusannya
bisa besar tahu. Kalo cuma mau ngritik gak apa-apa. Emang siapa orang Islamnya yang tidak
tahu akal bulusnya orang-orang Kristen yang selalu saja ingin ngancurin dengan mengadu
dombakan umat Islam di muka bumi,” Muslim kian sewot.
“Udah deh, gak usah ngebela diri. Kalo mau debat aku kasih waktu banyak buat kita
diskusi alot. Tapi bukan sekarang. Yang jelas sekarang cerminan jeleknya pribadi orang
Islam itu sudah terwakili sama kamu. Sudah  tidak kenal waktu. Tidak mau menghargai orang
lain. Terjebak dalam halusinasi sex lagi. Kalo demen sex, ngelacur aja sekalian,” Christian
kian memanas-manasi Muslim.
Dicemoohkan seperti itu Muslim jadi terdiam. Dia gak bisa membalas Christian lagi.
Emang sih, kesalahan jelas berada pada dirinya.
“Okey, aku sekarang selesai,” Muslim menutup situs internetnya dengan
menampakan rasa bengalnya. Ia berdiri menghadapi Christian yang berlaga sudah jadi
pahlawan.
“Kamu pengen dibayar ganti rugi berapa? Jika kamu mau ngejelekin aku, jelekan saja
aku sampe habis-habisan. Tapi tolong jaga mulutmu jangan bawa-bawa agama dalam
persoalan ini,” Muslim segera mengeluarkan dompetnya.
“Aku tidak mau meminta sesuatu yang lebih. Bayar sesuai harga rental yang biasa
saja. Kamu ngerental lebih dari enam jam. Berarti yang lebih dari tiga jam mendapat
potongan dua puluh persen dari biaya keseluruhan,” Christian tenang dan bijak saja
bicaranya.
“Jelimet banget sih. Aku kira tidak nyampe dua puluh ribu kan apalagi dipotong
diskon. Nih gocap. Selebihnya ambil saja buat ganti rugi dan meredakan pegelnya otot
jantungmu nungguin aku,” Muslim  menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada
Christian.
“Kita adil saja. Bukan sesuatu yang baik, manfaatin kesempatan dalam kesempitan.
Ngambil punya orang saat orang itu dalam keadaan tidak sadar akan hatinya,” Christian
mengeluarkan dompetnya buat ngambil kembalian untuk Muslim.
“Sok gak butuh banget sih sama uang. Berlaga baik banget. Padahal rencana ngebuka
warnet ini juga kan kamu buat cari penghasilan? Udah, aku gak bakalan bilang kalo orang
Kristen itu materialistis kok. Santai aja. Yah, met malem cucu Tuhan!” Muslim membuka
pintu bergegas keluar dari warnet itu sebelum Christian memberikan uang kembalian
padanya.
“Keras kepala banget lo. Punya duit segini udah berlaga sok kaya. Padahal lo
keturunan Nabi yang paling miskin,” Christian menggerutu.
Rupanya Muslim mendengar omelan Christian. Hingga ia dari luar segera mencibir
membalasnya,
“Hai denger ya. Apa umat agama lo tidak berlaga sok kuat dan sok gagah? Udah tahu
Nabi lo yang dianggap Tuhan sekalipun mampus mengenaskan dan sangat memalukan
ditelanjangi di tiang penyaliban. Apa umat Kristen menciptakan bom atom dan nuklir yang
jelas sangat merugikan dan sama sekali tidak bermanfaat itu tidak berasa sudah melebihi sifat
kekuasaan Tuhannya yang sangat lemah?”
Sungguh suasana hati diantara keduanya kian menghangat saja. Muslim berdiri di
depan pintu menunggu Christian kembali menanggapinya. 
“Jesus itu manusia Maha Mulia rela berkorban jiwa raganya demi menebus dosa
seluruh umatnya!” Christian keluar setelah mematikan lampu ruangan.
“Manusia? Bukankah menurut keyakinan lo Jesus itu Tuhan?”
“Ya gimana lagi kalau agama gue udah nganggapnya Jesus itu Tuhan. Apa gue harus
ngebangkang? Gue kan lebih baik jadi umat yang taat daripada neko-neko cari keyakinan
lain. Lagipula berada dalam naungan agama gue kan sudah dicap sebagai orang suci yang
terbebas dari dosa,” Christian mengunci pintu.
“Jesus itu Tuhan apa anak Tuhan sih?”
Christian menghampiri Muslim sambil bicara, “Ya sama saja lah. Kenapa sampe
antusias gitu sih? Apa pengen masukin paham baru dalam otak gue? Percuma lah. Gue
orangnya netral kalo ngomongin soal agama. Gue lebih seneng paham liberal sekarang,
mungkin sebagai pembaruan dan modernisasi dari Kristen Protestan yang lebih dimengerti
dan realistis.”
“O, ya! Gimana jika paham Islam ternyata lebih mudah dipahami dan sangat realistis
ketimbang Kristen liberal?”
“Kita bicarakan nanti saja. Gue yakin kita akan lebih sering ketemu dan lebih sangat
akrab lagi. Bahkan lebih dari prakiraan kita sebelumnya,” Christian menuju mobil Pigeout
506 yang terparkir dipinggir halaman warnet itu.
“Kayaknya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang lo rencanain deh, Christ!”
Muslim sedikit teriak sembari melangkah ke pinggir jalan buat menunggu angkot lewat.
Christian menghentikan mobilnya disamping Muslim. Kemudian wajahnya nongol di
kaca pintu mobil yang dibukanya.
“Pulang bareng gue aja yah,” Christian mengajak Muslim.
“Kita, kan tidak searah?”
“Gampang. Gue anterin lo nyampe kemana, kek.”
“ Kan lo bilang pengen segera tidur?”
“Sudah naik sini. Gak tahu apa, jam segini angkot jurusan ke rumah lo udah pada
break. Paling entar jam empat baru pada jalan lagi,” Christian memperingatkan.
“Apa lo gak bakalan ngebaptis gue?”
“Edan lo ya. Pikiran lo kotor terus, sih! Lo pikir karena gue orang Kristen maka gue
akan nindak kejam lo dan ngristenisasikan lo apa? Lo dilarang suudzon kan ama Tuhan lo?”
“Emang lo tahu darimana tuh istilah suudzon?”
“Sama saja kayak lo tahu darimana lo tahu malaikat pada bersayap kayak burung
dalam kepercayaan Kristen,” sahut Christian.
“Gue tahu dari film-film religi Kristen dong.”
“Tidak nyadar ya kalo kepercayaan itu udah diserap oleh keyakinan agama lo?
Bukankah lo sering liat tayangan sinetron Islami yang ngangkat peri-peri cantik bersayap
sebagai juru selamatnya? Gue udah seneng merhatiin kebegoan umat lo yang mudah ngasih
toleransi hukum agamanya. Kalo gue kan sekedar nyontek bahasa suudzon dari film religi lo
juga, tapi gak nyampe ngelunturin keyakinan kan soalnya kalo bahasa itu gak ada batasan
hukum buat ngegunainnya.”
Muslim memandang Christian, “Bener juga ya. Apa semua orang Kristen pikirannya
kayak lo?”
“Lo liat sendiri faktanya. Gue gak mau jadi seorang pendusta yang doyan nutupin
kekurangan agamanya. Transparan saja. Bukankah sikap munafik dalam ajaran agama lo
sangat tidak baik?”
Muslim mengeluarkan HP dari saku celana levisnya.
“Cepetan!” Christian menggerungkan mesin mobil.
“Gue nyuruh jemput sama sopir gue,” Muslim mengontak nomor.
“Jadi lo gak percaya sama gue? Apa menurut Nabi lo menolak tulusnya bantuan orang
lain itu tidak dikecam?”
Muslim segera memutuskan kontaknya. Ia menatap pada Christian.
“Okey!” Muslim pun lekas masuk lewat pintu sebelah. Lalu ia duduk disamping
Christian yang segera menjalankan lagi mobilnya.
“Kalau ngasih bantuan ama orang yang tidak mau ditolong gimana? Apa menurut lo
baik memaksakan makan saat perut sudah terlalu kenyang?”  
“Gue rasa elo tidak termasuk orang yang kenyang makan dan gak butuh bantuan
malam ini,” sahut Christian santai saja.
“Elo mau bawa gue pake jalur mana?” Muslim baru menyadari laju mobil yang
berlawanan arah dengan jalur ke rumahnya.
“Emang lo bilang mestinya gue bawa lo kemana?”
“Makanya jangan sok tahu dong. Nanya dulu apa?”
“Lantas kemana? Bukankah jalan sini juga sering elo lewati? Yang penting kan
akhirnya elo nyampe kembali pulang ke rumah lo,” Christian bawaannya kalem saja.
“Iya. Tapi ini kan malah makin ngejauh. Nyampe rumah guenya kapan kalo harus
muter balik arah lagi entar,” celoteh Muslim kesal.
“Gue punya rencana buat ngebahas segala hal yang elo pengen tahu tentang gue,”
cowok Indo bule sekeren Bertrand Antolin ini baru memberi penjelasan.
“Ngapain enggak tadi di warnet saja?”
“Pengen disebuah tempat yang bernuansa romantis,” ujar Christian tenang.
“Lo kira gue bakalan suka?”
“Suka gak suka bukan urusan gue tapi urusan lo. Kalo gue perhatiin kesukaan lo
mungkin gue akan negosiasi dulu tadi sama lo tentang rencana gue ini. Tapi Isa Alah deh, gue
jamin lo suka,” tandas Christian begitu yakin.
“Kalo pengen latah ngomong baik bahasa Islam, jangan diselewengkan gitu dong.
Kalo gak becus mendingan lo jangan berlaga sok gaul Islam deh. Kualat tahu. Udah jelas
insya Allah, ini malah jadi Isa Alah. Artinya jadi ngawur tahu!?”
“Justru agar gue gak kepeleset ke Islam-Islaman. Isa dan Alah kan nama Nabi dan
Tuhan gue!”
“Sekalian aja Jesus Alah. Atau Jesus Alah Aduh. Atau lebih mendominasi maskot
anak Tuhan itu dengan gelar Jesus Kalah kalo elo mau ngepelesetin namanya wakil presiden
Jusuf Kala,” Muslim kian rame.
Christian tertawa mendengar celotehan Muslim, si ganteng yang alim itu ternyata bisa
jadi juru debat yang handal.
“Ngapain tawa? Elo nawain gue? Apa elo seneng Tuhan lo diinjak-injak harga
namanya?”
“Emang nama Tuhan ada harganya gitu?”
“Ya jelas dong kalo dalam Islam itu Tuhan hanya dikenal namanya saja sebagai Dzat
yang sangat halus dan bersifat ghaib. Mungkin lain buat Tuhan lo, harga diri emang lebih
pantes dan lebih efisien ketimbang harga nama. Sebab Tuhan lo itu berwujud kayak manusia.
Makanya lo itu mesti nyadar kalo Tuhan lo sifatnya kayak manusia tidak memiliki sifat
kekekalan. Dia pasti akan mati. Atau mungkin udah wafat bareng Jesus, anaknya itu.”
“Kalo Tuhan gue emang udah meninggal dunia. Terus yang ngeciptain gue dan balita
umat Kristiani sekarang itu siapa?”
“Ya Tuhan gue gitu lo!”
“Emang Tuhan lo gak fanatik terhadap Tuhan gue? Mau-maunya Dia nerusin hak
cipta pemroduksian manusia yang diluar hak kekuasaannya.”
“Nah itulah betapa Maha Baiknya Tuhan gue yang tidak pandang bulu. Hitam-putih-
merah-pirang-biru rambutnya gak jadi masalah. Dan mesti kau tahu ya, sebelum mampusnya
Tuhan lo itu Dia berpesan rahasia pada Tuhan gue sekaligus menyerahkan kekuasaannya.
Makanya Tuhan gue berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Injil itu sudah kedaluarsa. Sudah
tidak berlaku lagi. Sebab segala perintah dan larangan di muka bumi ini sudah menjadi hak
patennya Tuhan yang mengutus Muhammad sebagai perantara kebenaran-Nya.”
“Gue tetep yakin sama Tuhan Jesus Kristus. Jikapun dia emang udah wafat, gue kira
penciptaan semesta dan pengisinya ini sudah terakses sedemikian canggihnya. Di surga
sepertinya Tuhan Bapak dan Tuhan Anak juga Bunda Maria meneruskan bahtera rumah
tangganya. Tuhan Bapak tugasnya mengontrol tombol-tombol sinyal yang menggerakkan
kehidupan kaum bapak-bapak. Begitu pula Jesus sebagai sang pemerhati anak-anak. Juga
Bunda Maria mengawasi kaum perempuan. Sedangkan para malaikat menjaga keseimbangan
fenomena alam raya ini dengan seksama termasuk perubahan cuaca dan iklim. Bisa juga misi
pekerja lapangan sebagai tugas praktek atas teori-teori yang dititahkan Tuhan.”
“Lucu ya ada Tuhan jadi ribet ngurusin ciptaan-Nya!” Muslim menertawakan
pendapat Christian.            
“Gue seneng ama lo!” ujar Christian sejenak noleh Muslim yang seketika terbelalak.
“Seneng apanya? Seneng kalo gue udah termasuk orang yang bakalan kena laknat
Tuhan lo itu?” Muslim menatap Christian.
“Jangan pura-pura bego lah jadi orang. Sifat lo kayaknya sama kayak sifat gue.”
“Maksud lo sifat seneng debat?”
“Gak perlu nanya. Entar lo lihat sendiri dimana letak persamaan kita,” Christian
membelokan arah mobilnya memasuki jalan kecil.
“Kalo elo nganggap gue orang special yang wajib dikasih kejutan sama elo malam ini.
Kenapa elo buat gue enggak merasa betah dan malah muak ama tingkah lo yang dari tadi
ngeselin terus?”
“Bentar lagi nyampe. Ngomong aja selagi lo pengen ngomong,” Christian malah
senyum.
Muslim akhirnya diam juga melihat reaksi Christian yang sepertinya enggak mau
banyak komentar. Tak lama Christian pun menghentikan mobilnya di depan gerbang
pekarangan rumah yang cukup asri.
“Jadi elo tinggal di komplek sini?” tanya Muslim pada Christian yang segera turun.
“Elo diem aja. Gue cuma mau ngebuka gerbang,” perintahnya sembari membuka
pintu gerbang. 
“Elo bisa ngejalanin mobil, kan ?” lanjutnya agak berteriak.
“Emang kenapa?”
“Tolong masukin ke sini. Gue tanggung entar mesti turun lagi nutup gerbang,” titah
Christian.
“Hah… Okey Bos!” Muslim segera mengemudi mobil serta perlahan melewati
gerbang memasuki pekarangan rumah yang menyerupai vila itu.
Christian kembali menutup gerbang dan menguncinya. Lalu ia berjalan mengikuti
mobil yang dikemudikan Muslim.
“Diparkir dimana?” teriak Muslim.
“Ya udah henti disitu aja. Gue gak punya garasi,” Christian berhenti didekat pintu
depan mobil.
“Sekalian kunci pintunya. Gue mau buka kunci rumah. Ikuti saja ya,” Christian
melangkahkan kakinya menuju rumah.
“Percaya banget sih lo ama gue. Emang enak lo ya punya sopir pribadi!” Muslim
menggerutu sembari lekas mengikuti jejak Christian yang sudah memasuki rumah.
“Christ!...” panggil Muslim kencang saat di ruang depan ia tidak menemukan sosok
Indo itu.
“Masuk saja. Jangan lupa tutup pintunya dan kunciin lagi. Gue lagi di dapur. Tunggu
saja disitu,” sahut Christian.
“Elo pikir gue ini pembantu lo apa?”
“Disuruh juga udah males. Gimana nunggu kesadaran dan ketulusan dari lo.
Bukannya Islam itu cermin Nabi yang sangat bertauladan akhlak yang baik?” Christian
muncul sambil membawakan dua cangkir susu hangat diatas nampan beserta biscuit dalam
toples.
“Kayaknya lo tahu banget pribadi Islam secara sespesipik mungkin.”
“Udah lah lo pengen istirahat dimana? Disini? Atau di ruang tengah sambil nonton
film porno? Atau di kamar gue sambil nuntasin ngeinternet lo itu?” Christian tidak segera
menaruh nampan yang dibawanya.
“Emang disini bebas? Gak ada anggota keluarga yang lain?”
“Pilih dulu dimana tempat yang lo inginkan sesuai yang gue omongin barusan. Baru
nanti kita ngomongin apa saja yang memang lo pengen tahu,” tandas Christian.
“Di kamar saja deh sambil tiduran. Lagian kalopun ada orang lain, kan enggak
bakalan ngeganggu istirahat gue,” pilih Muslim.
“Yah kalo gitu ikut gue,” Christian berjalan melewati ruang tengah kemudian menaiki
anak tangga menuju lantai atas. Disana ada sebuah ruangan yang lumayan luas.
Disampingnya sebuah pintu, dan Christian membuka pintu itu serta masuk.
“Ini kamar gue,” Christian segera menaruh nampan di sebuah meja yang hanya
nampak bayangan gelap saja. Hanya tersinari samar cahaya lampu dari luar.
“Gelap sih,” celetuk Muslim.
Christian segera mengontakkan sakelar. Lampu neon 30 watt pun menyala
menampakan bentuk dan isi ruangan itu. Muslim sejenak memutar-mutar matanya mengenali
nuansa rapi kamar itu.
“Maklum lah gue tinggal sendirian disini. Ada juga Si Bibi kerjanya sekedar nyuci
dan bersih-bersih rumah kalo pagi. Waktu petang ia nyalain lampu-lampu. Itu saja. Ia tinggal
di rumahnya saja yang lumayan agak jauh juga dari sini,” Christian mulai cerita sambil
membuka sweaternya.
“Emang ngewarnet cukup buat ngebiayai hidup serba extra lo?” Muslim duduk di
kursi depan meja komputer yang disampingnya ada sebuah meja kecil dimana nampan itu
tadi Christian menaruhnya.
“Bukan hanya warnet. Itu hanyalah formalitas kegiatan gue saja.”
“Maksud lo ada rutinitas pekerjaan lain?” Muslim melihat Christian yang sedang
membuka kaos streetnya. Ia baru tahu kalo tubuh cowok itu ternyata banyak juga tatonya.
Lihat tato Jesus bersayap malaikat dalam posisi penyaliban terukir di punggungnya. Juga tato
hati berwarna merah menyala tergores di atas pantatnya. Muslim segera mengalihkan
pandangannya ketika Christian membalikan tubuh menghadapnya.
“Tuh, susunya minum mumpung masih hangat. Oh, ya elo doyan ngerokok kan ? Nih
adanya mild sisa gue tadi,” Christian menaruh bungkus rokok didekat nampan beserta korek
gasnya.
“Kalo mau ngeinternet. Aktifin aja komputernya. Silahkan sepuas elo nyampe mana
gak perlu mikirin bayar rentalnya,” lanjut Christian lekas membuka celana jeannya didepan
Muslim.
“Lo demen tato ya?” Tanya Muslim memperhatikan bagian depan tubuh Christian
yang mana di dadanya serta di bawah pusarnya terdapat lukisan tato juga.
“Gue seneng aja. Kayaknya nambah keindahan kulit tubuh.”
“Ngotorin saja kali yang ada. Udah kulit sebersih-bersih lo malah menodainya. Apa lo
gak bosen lihatin gambar yang gitu-gitu aja tiap harinya? Kalo lo demen tato bikin aja tato
temporer, buat sebulan dua bulan biar mudah ganti lagi kalo dah bosen. Lagipula emangnya
lo gak PD apa punya tampang seganteng gitu?” celoteh Muslim sambil memperhatikan paha
cowok Indo itu yang juga terhiasi ukiran warna hijau tua.
“Emang menurut elo gue ini ganteng?” Christian menggantungkan celananya di
kastop di  balik daun pintu kamar.
“Kalo gue cewek. Gue pasti cinta banget ama kesempurnaan fisik lo,” puji Muslim
sambil mengaktifkan komputer.
“Tapi elo mustahil jadi cewek. Buat gue biarpun lo itu cowok tapi gue tetep suka
banget sama penampilan dan karakter lo,” Christian tiba-tiba memeluk Muslim dari belakang
serta mencium pipinya dengan sangat gemes.
“Goblog lo ya,” hardik Muslim segera bangkit meronta melepaskan pelukan
Christian.
Christian yang hanya mengenakan celana dalam saja itu tersenyum tanpa
menampakan sikap bersalah atas tindakan yang dilakukannya barusan terhadap Muslim.
“Kenapa?” tanyanya santai.
“Elo seorang gay!?” Muslim menatap tajam sosok Christian yang membalasnya
dengan senyum simpul disela celotehnya,
“Apa gue perlu memperjelasnya lagi? Gak usah pura-pura naïf. Gue jujur aja.
Ngapain nutupin perasaan jiwa jika hanya bikin menyiksa hati kita saja?”
“Jadi niat lo bawa gue kemari itu hanya buat memperkenalkan siapa jati diri elo yang
sebenarnya? Lalu dengan mudahnya elo bakal manfaatin gue buat memuaskan hasrat sex
elo?” interogasi Muslim tegas.
“Apalagi?” Christian mengerutkan keningnya seakan habis perkara.
“Kalo gue tahu niat lo, mungkin lebih baik nunggu angkot nyampe pagi. Justru gue
berani bayar dua kali lipat itu karena gue bingung balik.”
“Sekarang kan elo udah nyaman?”
“Masuk ke sarang macan kali!”
“Emang dalam pandangan mata elo gue ini kayak macan?”
“Nalurinya kayak binatang!”
“Emang ada binatang homoseksual gitu?”
“Kejamnya!” Muslim jengkel.
“Emang gue nerkam elo?”
“Ibaratnya, bajingan!” bentak Muslim kian nafsu.
“Kita sama kan manusia? Kalo gue macan, berarti elo juga macan? Emangnya ada
kisahnya macan nyampe memangsa binatang sejenisnya gitu?”
“Bedebah ngadu omongan sama elo!” umpat Muslim menuju pintu kamar.
“Mau kemana?” Tanya Christian tenang-tenang saja.
“Keluar dari sarang elo,” sahut Muslim ketus.
“Kunci kamarnya di saku celana itu,” Christian menunjuk celana yang bekas
dipakainya tadi yang menggantung di kastop belakang daun pintu.
“Kunci gerbangnya juga disitu. Kalau kunci pintu rumah enggak dicopot kan ?”
“Elo tidak ngelarang gue pergi kan ?” Muslim membalikan tubuhnya menghadap
Christian.
“Pengennya sih. Justru gue ajak elo kemari biar elo dapat ngerti gue. Tapi jika elo
ngerasa kesiksa ama gue, ya ngapain gue malah bikin masalah saja nantinya?”
“Ini semua emang kesalahan elo kenapa tidak ngomong baik-baik sama gue sedari
tadi. Tapi okey, gue gak jadi balik. Lagian konyol juga kalo gue keluar. Jam segini mana ada
kendaraan buat ke rumah gue yang cukup jauh, lagi. Setidaknya gue akan nginep disini, asal
elo janji nggak bakal berlaku lebih goblok lagi,” Muslim akhirnya mengurungkan niat
perginya seraya duduk lagi di kursi depan komputer.
“Di mata orang penilaian itu tidak selalu sama. Goblog menurut elo belum tentu
menurut gue. Gue berlaku kayak gitu emang gue rasa baik buat gue.”
“Jika emang lo paham ajaran Tuhan, gak mungkin bertindak hanya buat
menyenangkan sebelah pihak.”
“Gue rasa lo paham juga gimana nafsunya seorang gay,” Christian duduk di tepi
pembaringan yang cukup besar itu.
“Elo kira gue seorang homo!?” Muslim menatap tajam.
Christian dengan tawa khasnya yang menggoda, “Gue yakin banget kalo elo punya
perasaan kayak gue juga.”
“Gimana elo memprediksi gue sampai sedemikian yakinnya?”
“Elo keseringan buka situs tentang gay kan ? Dari tanya jawabnya. Sumber agama
dan hukumnya. Perkembangan kaum homoseksual di Indonesia juga mancanegara. Apa tidak
cukup kuat juga jika video porno yang sering elo tonton itu kan sexsual gay? Lalu kalo elo
bukan seorang homo, lantas apa alasannya atas semua perhatian lo yang begitu antusias
terhadap dunia gay?”
“Jadi selama ini elo selalu memantau gerak-gerik gue?”
“Sebagai orang yang jadi inceran, mungkin juga.”
“Maksud lo?”
“Dalam beberapa kali pertemuan saja gue sudah tahu karakter lo. Gue jadi demen ama
lo. Elo gak pernah lepas dari perhatian gue. Gue ngerasa kehilangan jika sewaktu-waktu elo
gak kunjung ke warnet. Lalu gue cari informasi tentang elo. Gue pernah ngikutin pulangnya
elo hingga elo nyampe rumah. Dan gue tahu kalo elo itu ternyata anaknya ibu dosen
Universitas Islam Negeri Jakarta yang belakangan berfatwa telah setuju dan melegalisasikan
kaum homoseksual menindaklanjuti kesepakatan forum pro gay Semarang ,” Christian
bangkit seraya mengambil secangkir susu hangat di atas meja itu lalu menyeruputnya dengan
nikmat.
Muslim terdiam. Sepertinya ia sudah tidak punya komentar apa-apa atas semua
keterangan tentangnya yang terlontar dari mulut gay ganteng itu.
“Gue kira tidak semata-mata ibu lo ngebebasin kaum gay kalo tidak punya alasan
yang kuat. Bukankah seorang ibu yang bijak adalah yang bersikap pro terhadap anggota
keluarganya? Ibunya yang mana yang sudi nanggung aib dan nerima cela dari masyarakat
gara-gara tindak bodoh keluarganya? Apalagi ini anak kesayangannya, ya sebisa mungkin lah
dia pengen nutupin kebusukannya. Dengan cara apapun itu. Meskipun harus membuat hukum
sendiri atau merubah aturan agama yang tersirat jelas dalam alkitab. Elo mestinya ngucapin
makasih sama ibu elo. Dia udah berani nentang hukum Tuhan dan Nabinya guna demi
melindungi nama baik elo yang mungkin nganggap betapa sucinya elo kayak Jesus sebagai
anak Tuhan.”
Muslim menarik nafas. Lalu menatap Christian yang berdiri disampingnya bersandar
ke meja. Ia baru melihat kalau kedua puting susunya cowok Indo itu ditindik serta memakai
anting-anting.
“Elo pikir semua yang elo omongin tentang gue itu bener?” Tanya Muslim dengan
nada suaranya yang datar.
“Elo yang berhak mengedit omongan gue layak denger dan tidaknya di telinga elo,”
Christian mengambil sebatang rokok serta lalu di sulutnya.
“Jika elo suka sama gue. Gue juga jujur suka sama elo. Tapi denger ya, saat ini gue
lagi yakinin prinsip gue bahwa sifat kehomoan itu bisa berubah. Bisa kembali normal
meskipun tidak total 100%. Gue pengen ngelenyapin prinsip bahwa sifat suka sesama jenis
itu adalah kebenaran sifat bawaan dari Tuhan.”
“Jangan ngekhayal sedemikian jauh dan rumitnya. Asal lo tahu saja, seorang tak
berdosa sesuci Sang Pendeta sekalipun mengakui bahwa sifat homoseksual itu adalah sebagai
kebijakan dan Kasih Alah sehingga tak ada larangan bagi kaum Kristen liberal buat
melakukan hubungan intim sesama jenis.”
“Apa ada kebebasan hal yang demikian itu dalam amanat Alkitab? Setahu gue
seorang Uskhup Fatikan pernah berfatwa sangat membenci dan mengutuk kaum
homoseksual.”
“Gue menjadi gay karena tersentuh kenikmatan sex seorang Pendeta. Waktu itu gue
baru SMP. Gue terrmasuk anak yang taat beribadah dan mungkin terlalu sering
menyempatkan diri buat bertemu Jesus dan Bunda Maria di gereja. Gue senang banget
rasanya kalo berada di gereja. Cinta dan damai Tuhan seakan selalu mempesonakan keadaan
gereja. Roh Kudus seakan senantiasa selalu menyambut dan mengajak gue bermain disana.
Bernyanyi-nyanyi riang laksana gue menikmati nirwana dimana Tuhan Bapak beristirahat
dengan tenang. Gue merasa jadi gembalanya. Apalagi Sang Pendeta yang baik hati bagaikan
Sinter Klas selalu memberikan gue kejutan-kejutan mengasyikan. Serasa gue menemukan
kasih sayang sebuah keluarga yang mungkin gue kurang rasakan dan mungkin tidak gue
dapatkan dari orang tua gue.
Gue banyak disanjung oleh Sang Pendeta juga para biarawati. Begitu juga merasa
terhormat mendapat pujian dari para jemaat yang ngasih julukan gue sebagai Tuhan Kecil,
Gembala Surga, Joshua II sebagai sebutan lain nama Jesus, juga ada yang bilang gue ini Putra
Mery. Sebagian besar waktu gue habiskan di gereja. Kadang malam hari gue belajar bareng
Pendeta. Disitulah gue mulai terjebak. Pendeta memeluk gue dengan dalih Kasih Bapak peluk
Maria atau Putra. Gue senang. Waktu-waktu sepi kedatangan gue ke gereja menjadi moment
buat gue ngerasaain peluk cium kasih Alah. Gue ketagihan. Hingga sampai kelamin gue yang
jadi mangsa. Sang Pendeta berlaga sebagai Madame Theresa yang jadi seorang peri maskot
cinta kasih Alah dalam medan perang. Madame Theresa yang berhati mulia yang dijuluki
sebagai Suster Perdamaian. Sang Pendeta mengulum penis gue. Tentunya dilengkapi dengan
kisah Abraham. Lalu memainkannya seperti dokter yang sedang terapi kesehatan terhadap
pasiennya. Gue seneng dubur gue diperawani kelaminnya laksana team medis yang hendak
nyembuhin pasien susah kentut dan berak. Gue percaya aja. Gue sangat seneng sekali. Gue
selalu kangen melulu pada gereja yang asyik, penuh harmoni, simfoni yang mengalun damai,
juga romantika cinta Pendeta yang disuguhkannya pada gue.
Tapi tamat SMP gue harus ngelanjutin pendidikan SMA gue di Amerika. Gue tersiksa
sekali dengan kerinduan gue terhadap gereja dan Pendeta. Makanya di Amerika gue kembali
membiasakan diri ke gereja meskipun bokap gue betapa jarangnya beribadat. Gue temui
Pendetanya. Dan gue tidak menemukan sesuatu yang lebih yang gue ingin dari sosok seorang
Pendeta. Hasrat sex gue tidak tersalurkan. Sang Pendeta disana tidak mau mengerti tentang
tekanan batin gue. Lalu sekali waktu gue menyempatkan waktu luang gue buat ke gereja
menemui Sang Pendeta itu. Gue langsung mencuri pipinya dengan ciuman hangat gue. Entah
kenapa gue senang banget dapat melakukan itu meskipun Pendeta itu sudah cukup tua.       
Sang Pendeta merasa heran dengan sikap gue. Lalu gue cerita tentang keadaan gue
yang sebenarnya. Termasuk kisah romantis gue dengan Sang Pendeta Indonesia . Ternyata
tanggapannya sangat sengit. Sang Pendeta tidak menghardik gue sedemikian kejamnya
melainkan meminta surat pernyataan dan kesaksian atas tindak Pendeta Indonesia itu. Lalu
Pendeta itu melayangkan surat permohonan izin pada badan agama Kristen Amerika untuk
segera menurunkan surat perintah kepada badan persatuan umat Kristen Indonesia untuk
segera melucuti titel derajat kependetaan Sang Pendeta itu.
Gue sangat terpukul sekali dengan kejadian itu. Gue tidak bisa terima fatwa-fatwa
para Pendeta yang melarang keras hubungan seksual antar laki-laki. Mereka tidak berpihak
pada kebenaran dan telah berlaku dusta. Mereka tidak punya hati nurani. Sungguh mereka
jauh dari Maha Kasih Alah juga cermin Jesus yang cinta damai.
Semenjak itu gue jarang pergi ke gereja. Lama kelamaan gue jadi tidak sama sekali
menginjak gereja. Gue benci gereja. Gue jadi remaja yang brutal. Gue pencinta kebebasan.
Karena pinsip gue hanyalah Tuhan yang Maha Mengerti dan Maha Mencinta, maka dengan
senang hati gue mengabadikan kasihnya dalam ukiran tato. Hati sebagai cintanya Bunda
Maria. Sedangkan tengkorak lambang hidup gue. Gue doyan banget urakan. Hingga
kesempatan mempertemukan gue dengan kelompok besar gay Amerika. Gue pernah ikut
parade demo kaum homoseksual yang termasuk pula lesbianisme. Seluruh anggota parade
hanya mengenakan celana dalam dan bagi cewek plus pake BH. Gue gak keberatan sampai
telanjang bulat gak pakai celana dalam sekalipun. Malahan gue menjadi anggota yang paling
disegani kaum homoseksual karena gue termasuk orang Indonesia yang paling berani tampil
syur…” cerita Christian membongkar riwayat hidupnya sambil kembali menghisap rokok lalu
mengepulkan asapnya ke arah Muslim yang termangu jadi pendengar yang baik.    
Muslim mengambil secangkir susu yang mulai dingin itu. Lalu mereguknya.
Disimpan lagi serta membuka toples mengambil biscuit yang seraya disantapnya.
“Kenapa bisa lo balik lagi ke Indonesia ? Bukannya di Amerika hasrat hidup lo sudah
terpuaskan?” Tanya Muslim sambil menatap lagi cowok yang asyik dengan rokoknya itu.
“Gue merasa ternyata kebebasan itu tidak selamanya menyenangkan bagi pribadi
hidup gue. Gue merasa Indonesia adalah tempat yang cocok dan sesuai dengan karakter
selera jiwa. Gue penyuka tantangan. Gue pengen Indonesia mengukir nama gue dalam
sejarahnya. Gue pengen menjadi proklamator kemerdekaan kaum homoseksual Indonesia .
Sebab di Amerika kesempatan mengambil perhatian dan menyimpan nama besar itu sudah
tak ada celah bagi gua. Sedangkan Indonesia sepertinya sangat realistis sekali dengan rencana
mulia gue. Dan harapan itu laksana pucuk di cinta ulampun tiba setelah gue kenal siapa lo.
Elo mungkin gak tahu gimana sepak terjang gue dibelakang mata lo. Gue sudah
berhubungan komunikasi khusus dengan ibu lo. Gue melihat peluang besar dari kualitas
seorang mahaguru sebuah fakultas agama seperti ibu lo. Pengaruhnya akan sangat besar bagi
kafasitas penduduk Indonesia karena universitas agama tersebut merupakan agama
mayoritas…” Christian menyeringai menampakan taring kemenangannya.
“Jadi elo Syaitan yang menggerakan ibu gue!?” Muslim berdiri menunjukan
telunjuknya ke moncong Christian dengan beringas.
“Gue kira ibu elo malah seneng. Bukannya tahun kemarin juga dapet penghargaan
sebagai Ibu pembela hak kaum perempuan Indonesia dari Amerika? Sekarang juga kenapa
enggak? Tunggu saja ibu elo akan meraih Oscar sebagai Madame pembela hak asasi kaum
homoseksual Indonesia ,” kilah Christian begitu tenang sambil menggenggam lengan
Muslim. Ia menatapnya. Lalu ditariknya tubuh cowok itu hingga merapat dengannya, dan …
ciumannya itu kembali mendarat di permukaan wajah Muslim. Kini, … di bibirnya!
Sesaat hening tidak terdengar ucapan apapun. Hanya desah Christian yang mulai
hanyut dalam berahinya mengulum bibir Muslim yang terdiam seakan rela membiarkan
perasaannya ikut hanyut dalam kenikmatan …
“… I love you, so much!” bisik Christian bergetar.
Muslim membuka matanya yang sesaat terpejam. Ia perlahan menjauhkan wajahnya
dari wajah Christian yang sangat berselera untuk bercinta. Muslim menundukkan mukanya
sambil beringsut hendak duduk kembali. Tapi Christian menarik tangannya seakan tidak
memperkenankannya untuk duduk. Christian menatap tajam wajah pemuda itu.
“Gue gak ngerti,” Muslim menggelengkan kepalanya.
“Jangan menjadi seorang pengecut! Ini adalah kebenaran untuk kita. Tidak mungkin
Tuhan memberikan perasaan seperti ini jika hal ini justru dibencinya. Gue yakin kaum Luther
itu tidak salah, tetapi Tuhan melaknat kaum Luther itu karena Luther sudah merasa kecewa
tidak bisa mengawinkan kedua anak gadisnya dengan laki-laki yang ternyata homo. Atas
kecewanya itu Luther protes sama Tuhan hingga Tuhan lalu menurunkan azab tanpa Tuhan
tahu bagaimana kisah sebenarnya yang terjadi,” Christian menyiram ruhani Muslim dengan
azas religius.
“Elo pikir Tuhan itu kadang bersifat tidak Maha Tahu? Elo pikir Tuhan itu pilih
kasih? Elo pikir Tuhan itu sembrono? Serampangan dan sembarangan saja ngasih hukuman
pada umatnya?”
“Jika kita merasa ragu dengan kebijakan Maha Kasih Tuhan, kenapa kita tidak
mencari Tuhan baru yang sekiranya mendukung dan mensucikan jalinan cinta kasih kaum
homoseksual?”
“Gue merasa pusing banget. Kenapa kita jadi terjerumus ngebahas permasalahan ini?
Sudah jelas Tuhan ngasih jalan yang lurus dan menentramkan untuk manusia. Kenapa kita
mesti repot-repot cari jalan lain yang malah bikin capek dan celaka?” keluh Muslim
menyesalkan.
“Jika elo sebagai manusia yang berdedikasi tinggi pengen jadi manusia beneran. Elo
pasti akan berusaha keras buat mewujudkan jati diri elo yang sesungguhnya sebagai manusia.
Apa elo akan menghancurkan misi nyokap elo yang gencar ingin memanusiakan manusia?
Apa elo meragukan seberapa pasih paham nyokap lo terhadap agamanya? Nyokap lo
berpegang teguh prinsip pada Al-Qur’an yang agung sepenuhnya. Al-Qur’an yang
senyatanya sangat dikagumi dan diakui kebenaran dan kemaha dahsyatannya sebagai kitab
Tuhan oleh bangsa Nasrani. Tapi mereka cenderung berasa malu bila harus terang-terangan
ngaku Islam sebagai agama yang benar. Sehingga sebisa mungkin mereka menjatuhkan dan
menghujat umat Muslim diseluruh dunia dengan segala rekayasa dan tipu dayanya hingga tak
segan-segan mengalih bahasakan Al-Qur’an dengan terjemahan internasional yang
menyesatkan…” Christian membisiki nurani Muslim dengan sedemikian lembutnya. Bisik
seorang pencinta yang ingin menjerat dan memenjarakan hati orang yang dicintainya dengan
segala keunikan indahnya bentuk cinta. Christian mendekap Muslim perlahan. Mereka rapat
berpelukan. Jantungnya kian bergetar tak keruan.
“Tidur yuk!” ajak Christian lembut.
Muslim tidak mengisyaratkan reaksi apa-apa. Ia hanya menuruti kemauan Christian
saja. Ia biarkan Christian memapahnya berjalan menuju pembaringan. Lalu iapun duduk di
tepinya.
“Kamu senang minum?” Tanya Christian sambil jongkok di ubin di depan Muslim
yang duduk di tepi ranjang.
Karena Muslim diam saja. Christian kemudian memperjelas,
“Maksudku minuman beralkohol!?”
Muslim seraya menggelengkan kepalanya perlahan.
“Mau nyoba? Yang ringan saja. Atau bir? Anggur merah?” Christian menawarinya.
“Aku ingin tidur,” bisik Muslim segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur yang
berseprai hitam putih belang zebra. Nuansa hitam putih yang menjadi corak romantis
dekorasi kamar itu. Termasuk ubinnya laksana kotak-kotak hitam putih papan catur.
“Tidak mau ganti baju?”
“Udah nyaman begini juga,” sahut Muslim pelan.
“Aku merasa gerah lihat kamu pake baju,” Christian naik ke pembaringan lalu
bersimpuh di samping badan Muslim yang tergolek.
“Aku bukain bajumu. Aku lebih senang tidur gak pake baju,” Christian mulai
membuka satu-persatu kancing baju Muslim. Muslim yang terlentang pasrah.
Kemejanya telah dibuka. Dadanya yang bidang ditumbuhi rambut-rambut halus yang
lembut menambah selera hasrat berahi Christian yang mulai membuka celana levis Muslim.
Tampak celana dalam Muslim mengembung tak ubahnya CD Christian yang mungkin sudah
mulai basah.
“Aku sedang ingin bercinta!” desah Christian menggebu.
……………………!?
Malam! Apakah ada cinta diseberang laut sehingga semut berlari kesana? Sementara
seekor gajah masih menunggunya disini untuk bertarung?        
 
 2   ‘dosa itu seperti apa,
jika cinta itu fitrah?’
 
Hidangan Tuhan di Malam Natal
 
Aku adalah seorang umat yang selalu senang bersama Tuhan
Aku senang mengoleksi banyak bentuk sosoknya
Aku sangat yakin sekali kalau Dia itu Maha Kuasa
Dia pandai menyerupai siapa saja
Bagaikan bunglon ku pandang Dia
Pandai beradaptasi dengan lingkungannya
Perhatikan, jelas dari perubahan-perubahan fisiknya
Yang aku beli dari Belanda, wajah Isa menyerupai pria orang sana
Yang aku dapat waktu dari kawasan kecil Afrika, Isa berkulit hitam legam
Yang dari Roma dan Palestina pun berbeda
Posternya juga beraneka ragam
Tapi yang sangat aku senangi yang mirip dengan orang Indonesia
Entah kenapa
Yang paling berkesan ketika aku bersama teman-teman religiku mengadakan lomba
Membuat patung Jesus dari bahan coklat dan mentega
Sungguh aku terkesima melihat hasilnya
Semuanya hampir mirip dengan orang-orang suku Irian Jaya
Pemenangnya adalah satu yang berbeda dari bentuk mahkotanya
Yang rambutnya dimiripkan dengan kebiasaan orang Indian dari Amerika
Patung-patung indah itu lalu kami sembah bersama
Kemudian kami persembahkan pada jemaat gereja agar mereka bisa mencicipinya
Di malam suka cita pesta natal yang penuh nuansa romantika
           
            “Kenapa?” Tanya Christian lembut memeluk Muslim dari belakang.
            “Ini puisi?” Muslim memperlihatkan secarik kertas.
“Mungkin lebih pantes dibilang cerita. Itu memang ceritaku beberapa tahun lalu,
sewaktu aku masih SMP. Aku buat puisi itu sebagai kenangan masa laluku yang tak mungkin
aku akan melaluinya kembali. Malam natal yang indah, yang aku habiskan bersama Sang
Pendeta tercinta itu. Yang kini tak tahu entah berada dimana. Sekaligus sebagai kenangan
terakhir natalku bersama keluarga. Natal yang sangat berbahagia. Karena pemenang lomba
buat patung Jesus itu adalah aku. Aku dikasih piagam penghargaan. Juga hadiah natal dari
jemaat dan pengurus gereja. Juga hadiah dari Pendeta serta Nyokap dan Bokap yang sangat
bangga. Aku suka terharu dan meneteskan air mata jika mengenangkannya. Sebrutal dan
sebernodanya aku menjalani kehidupan, senyatanya jiwaku tak pernah kotor. Rohku bening
sesuci Roh Kudus, merindukan sosok keluarga yang penuh damai. Dimana aku merindukan
sosok Bunda Maria sebagai pelindungku. Sebagai pengganti kasih ibuku yang mana sedari
kecil aku tumbuh dalam asuhan berganti tangan baby sitter…” Christian menghela nafasnya
dalam-dalam.
“Sudahlah. Kita harus berani jalani kehidupan ini. Apapun yang terjadi. Kita harus
bertanggung jawab atas apa yang kita jalani. Kayaknya niatku untuk ngejauh dan musnahin
sifat suka sesama jenis itu bukanlah sebuah harapan yang mesti ditangguhkan lagi. Kamu sih
malah ngambuhin lagi. Dasar lo!”
“Kok ngomong gitu? Bukannya seneng aku udah nyelamatin perasaan kamu yang
sebenarnya. Kita jadi orang kan harus jujur. Ngapain kita takut dijelekin sama orang hingga
kita bela-belain bohong sana-sini? Bukankah bohong itu lebih tidak baik? Anjing
menggonggong, kafilah berlalu! Biarkan mereka bilang sesuka hati. Agama ya biarin aja
mengatur hukumnya. Kenapa kita sewot mesti harus memperdebatkan hukum? Kita jalan
saja. Kenapa kita mesti terselubungi pikiran tentang adanya pertimbangan surga dan neraka?
Surga dan neraka kan harus ada penghuninya. Daripada kita hidup tersiksa dengan perasaan.
Bertolak belakang dengan keinginan. Ngomong jadi ngawur penuh kemunafikan. Apa itu
tidak sama saja menjerumuskan diri ke dalam jurang neraka secara perlahan-lahan tanpa
sedikitpun ada untung dan kenikmatan. Sementara kita jikapun nanti memang masuk neraka,
setidaknya di dunia kan sudah berpuas-puas menyalurkan hasrat yang menjadi sumber
penyemangat jiwa untuk bertahan hidup.”
“Kita jalan sekarang saja. Sudah hampir jam sebelas,” Muslim melihat jam.
“Okey! Kamu tidak apa-apa kan bekas semalam?”
“Masih sedikit linu penisku yang kamu gigit kekencengan,” Muslim meraba celana
bagian depannya.
“Maklum aku sudah terlalu kangen menantikan nuansa romantis seperti semalam.
Kamu juga gigit puting susuku nyampe antingnya copot. Untung saja putingnya gak ikut
copot,” celoteh Christian juga sedikit menggerutu.
Keduanya segera keluar rumah. Christian berpesan sama Si Bibi yang masih menyapu
halaman agar mengunci rumah dan gerbang. Karena Si Bibi memegang kunci duplikatnya.
Juga hati-hati jangan sampai teledor menjalankan tugasnya.
Pigeout 506 itu perlahan keluar pekarangan rumah. Lalu meluncur meninggalkan
komplek perumahan elit itu. Suasana tengah hari yang tidak terlalu panas. Langit Jakarta
sedang berbaik budi. Menyelimuti matahari siang ini dengan awan putih berarak. Ataukah
mungkin sebagai selubung tabir yang merahasiakan kisah kasih dua insan manusia sesama
jenis itu? Ukiran cinta yang siapa bisa memperjelas jikalah senyatanya itu adalah dosa!
“Aku gak nyangka permainanmu semalam bisa hebat juga,” Christian menilai
pertarungan perdana mereka semalam.
“Atau kamu udah terlatih bercinta?” lanjutnya.
Muslim tersenyum saja menanggapinya.
“Beneran aku merasa puas banget. Meskipun kamu masih sedikit arogan gitu. Gimana
nantinya kalo udah mahir? Ada kemungkinan aku bakal kalah tanding. Aku yakin kamu
bukan pertama kali ini bermain mesra. Pastilah setidaknya pernah mengecap nikmatnya
sentuhan lembut pasangan kencanmu,” Christian seperti yang ingin mengorek sejarah
terjunnya Muslim ke dunia mesum kaum homoseksual.
“Apa kamu gak bakalan cemburu ngedengernya?”
“Mungkin juga sih. Tapi kejujuran kan lebih baik. Biar aku ngerti gimana mestinya
ngadepin sifat kamu.”
“Jadi benar kamu sangat mencintai aku?”
“Kamu ingin aku menunjukan rasa cintaku padamu dengan cara apa? Jika masih
belum cukup dengan ucapan ‘aku cinta kamu’, aku harus bagaimana biar kamu benar-benar
yakin kalau aku sangat mencintai kamu?”
“Apa kamu akan menjadi pasanganku yang setia?”
“Aku bukan tipe kekasih yang doyan selingkuh. Percayalah demi nama Almasih yang
suci, aku berjanji laksana janji fajar yang setia mengitari bumi setiap hari. Aku akan setia
padamu.”
“Mengapa kau sampai bisa merasakan dalamnya cinta itu pada rentang waktu yang
terlalu singkat?”
“Muslim, kamu tidak mengerti perasaanku. Kaupun merasa bagaimana orang yang
jatuh cinta itu? Apakah perlu waktu yang lama, jika hati sudah tersiksa perasaan suka? Aku
jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Aku menemukan sesuatu yang beda dari
dirimu. Kamu punya wibawa tersendiri. Keluguanmu yang acuh itu sungguh mempesonaku.
Semula ku kira dirimu sosok cowok sejati yang normal. Tapi dibalik sikapmu lambat laun
aku mulai memahami bahwa kamu sedang mengalami goncangan batin. Ada harap-harap
cemas tentang naluri kelelakianmu. Kamu sedang pura-pura menutupi gejolak jiwamu.
Terbukti ketika ada seorang gadis duduk bersebelahan denganmu. Lagamu cuek. Tidak
berkepentingan. Tidak seperti ketika ada aku atau seorang lelaki cakap disampingmu. Kamu
sangat krisis PD. Jaga image banget. Dengan  sikap ramah dan banyak senyum. Aku
penasaran padamu. Aku tergoda setiap kamu tersenyum ramah padaku. Hatiku selalu
berdebar jika beradu tatap denganmu. Entah kenapa. Tapi waktu itu aku merasa takut dan
tidak berani macam-macam padamu. Aku tahu tipe kayak kamu itu adalah orang yang sulit
untuk dikasih paham juga sulit menerima sesuatu yang baru. Sangat sukar menerima
perubahan. Kecuali sesuatu itu yang sangat pas dengan keadaan sifatmu waktu itu. Meskipun
sifatmu itu cenderung munafik, tapi kamu juga jujur dengan perasaan hati. Dimana kamu
tidak suka, maka susah sekali untuk dipaksakan agar kamu menyukainya termasuk hadirnya
seorang sahabat. Kamu sulit untuk mendapatkan seorang teman, tapi setelah kamu punya
teman kamu sulit untuk menjauh darinya. Maka dari itu aku sangat hati-hati denganmu.
Meskipun perasaan ingin kenal kamu itu sudah sejauh hari, aku tetap tidak berani sekonyong-
konyong masuk dalam hidupmu. Aku cari jalan untuk bisa mengakrabimu. Hingga aku bela-
belain meneror dan memberi masukan-masukan terhadap ibumu. Akhirnya kan , berhasil
juga. Kamu yang ngotot semalam itu buat ku ajak nego, ujungnya kamu bisa pasrah setelah
aku balikin semuanya pada kepribadian ibumu. Jika aku tidak mengetengahkan kebijakan
ibumu, mungkin aku tidak punya alasan kuat buat menjeratmu. Ada kemungkinan besar
kamu akan melaporkan tindakanku itu pada pihak yang berwajib. Kamu itu emang sifatnya
gitu. Lugu. Tegas. Berani. Sayangnya munafik. Tapi syukur deh dengan susah payah juga
akhirnya aku bisa laksana meraih cintaku,” Christian tersenyum mesra pada Muslim yang
duduk disampingnya.  
“Apakah kau sudah meminta persetujuan Almasih tentang perasaan cintamu itu?”
“Apakah Tuhanmu juga sudah sepakat ngasih izin sama kamu?” Christian balik
nanya.
“Jika aku ingin memuaskan diriku dengan cara begini, alangkah lebih baiknya aku
melupakan Tuhanku. Karena aku tidak ingin mendustakan agamaku. Aku lebih memilih
menganut paham kebebasan untuk sementara sebelum aku menemukan agama baru yang bisa
menerima dan mengangkat harga diri kaum homoseksual,” tandas Muslim begitu yakin dan
sekaligus mengejutkan Christian.
“Kau kira tidak berTuhan itu orang yang baik? Bukankah Islam liberal telah
memberikan begitu banyak kebijakan-kebijakan serta pemahaman-pemahaman baru yang
lebih logistik termasuk pengakuannya terhadap keberadaan kaum homoseksual? Bukan hanya
ibumu saja yang setuju pemberlakuan hak asasi untuk peradaban homo di Indonesia ini, tetapi
sudah ada gerakan kelompok Islam yang pro homo sebelumnya,” Christian memberikan
masukan baik.
“Sebagai umat Islam yang tahu betul ajaran agamanya, aku pasti tidak mungkin
memungkiri sebuah petuah yang menyatakan bahwa yang haram itu tetap haram, juga halal
tetap halal. Jangan sampai merubah peraturan hukum yang ada hanya karena kita senang
sebuah perkara yang diharamkan lalu kita merubah hukumnya menjadi halal. Jika kita
menyukai perbuatan yang diharamkan, kita bilang saja itu haram jangan sampai bilang halal
dan diperbolehkan. Jikapun suka ya lakonin saja sampai dimana batas kepuasannya, tapi
jangan sampai menghalalkannya.
Maka dari itu, beragam penganut paham kebebasan agama liberal ataupun sekuler
yang berkembang zaman ini menurutku mereka hanya sedang berhalusinasi mewujudkan
mimpi-mimpi lenyapnya keserba terkekangan hukum agamanya. Tak lebih bagiku mereka
adalah budak-budak dari hawa nafsu yang bersumber dari syaitan yang menjelma menjadi
manusia,” kecam Muslim tegas.
Christian terpana dengan omongan Muslim hingga ia hampir-hampir lupa kendali
kemudinya, “Kalau ngomong jangan terlalu sadis dong. Aku jadi merinding juga dengernya.
Kamu itu tidak sadar apa, keluargamu sendiri yang malah jadi sumber Islam liberal Indonesia
. Lagi pula menurutku liberal itu cenderung lebih maju dan berpikiran positif. Mereka
memberikan paham yang membukakan cakrawala keterbatasan pemikiran kita. Bukankah Al-
Qur’an itu kitab yang berisikan sajak-sajak indah yang penuh simbol dan slogan-slogan yang
sulit dipahami muslim awam? Beberapa paham ulama zaman dulu dirasa banyak yang salah
memaknai slogan dan simbol-simbol firman Tuhan itu. Sehingga sekarang kaum liberalis
lebih mendefinisikan Al-Qur’an itu dengan penafsiran-penafsiran yang lebih logis dan real.
Tidak lagi ortodoks pada pemahaman yang jelas malah mengebelakangkan perkembangan
Islam dalam peradabannya di muka bumi. Manusia di kasih akal pikiran sama Tuhan itu
bukan hanya agar lebih pandai dari binatang saja, tetapi pula agar mampu berpikir serta
memecahkan tabir-tabir rahasianya. Termasuk tata ruang cipta semesta dalam peraturan
wahyu yang diturunkannya. Ajaran Islam itu dalam pandanganku sebenarnya tidak sempit.
Kajiannya sangat luas sekali.”
“Tidak salah. Dalam surat Ar-Rum ayat 58 Allah berfirman bahwa ‘…sesungguhnya
telah Kami buat dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia.’ Tapi
perumpamaan apa yang tersirat dalam Al-Qur’an yang menjadi simbol bahwa homoseksual
itu dibenarkan?
Jika kamu menganut paham liberalis. Apakah kamu juga dibebaskan untuk berpikir
mencari jati diri Tuhanmu yang selama ini kamu percayai dan kamu sembah? Apakah kamu
diperbolehkan agamamu untuk menguji kebenaran Jesus itu sebagai Tuhan? Apakah kamu
tidak pernah berpikir dan tidak pernah merasa ragu dengan Tuhanmu itu? Menurut
pandangan mata orang Islam, umat Kristen itu sungguh sudah sangat keliru menyeru Nabi Isa
sebagai Tuhan? Bagaimana mungkin seorang Jesus yang dianggap Tuhan itu sampai mati?
Juga waktu dalam penyaliban bukankah Jesus memanggil-manggil minta pertolongan Tuhan?
Kalau dia memang Tuhan, kenapa mesti meminta pertolongan Tuhan lagi? Ataukah mungkin
sifat Tuhan itu tidak memiliki sifat kekekalan? Kalau begitu berarti Tuhan Bapakmu juga
akan mati! Lalu tahta ke-Tuhanannya diwariskan sama siapa? Karena dalam agamamu Tuhan
itu mempunyai syahwat yang cenderung berkembangbiak dan mempunyai generasi.
Ataukah mungkin liberal itu artinya adalah kebebasan untuk menyenang-nyenangkan
diri? Memperingan atau bahkan melenyapkan aturan yang sekiranya membatasi pergaulan
sosial saja, sedangkan pengertian Tuhan tidak seraya berani menggantinya karena takut
murtad dan kufur keluar dari agamanya. Karena mereka tetap yakin dalam dasar sanubarinya,
sekeji dan seberlimpahnya dosa yang mereka perbuat jika masih beragama Islam niscaya
awal akhir mereka akan diangkat dari api neraka oleh Allah untuk mengecap nikmatnya
surga,” Muslim kian meluaskan pemikirannya.
“Dalam Kristen liberal yang mengakui hak kaum homo. Aku tidak dilarang untuk
berpikir tentang bagaimana Tuhanku. Justru malah mendapat tanggapan baik ketika aku
mempertanyakan siapakah perempuan yang diperuntukan buat Jesus di surga? Mengingat
tidak diketahui adanya perawan sesuci Maria sebagai umat Jesus yang mati sebelum wafatnya
Jesus. Juga karena Jesus itu Tuhan, maka Tuhan Bapak mana mungkin
mempersandingkannya dengan para bidadari yang sudah diperuntukan untuk umat manusia
biasa…”
“Mungkin dengan Tuhan Putri,” potong Muslim membuat Christian tampak heran
mendengarnya.
“Tuhan Putri? Emangnya ada? Setahu aku yang ada itu Tuhan Bapak yaitu Alah,
Tuhan Anak alias Jesus atau Isa Almasih beserta Bunda Maria,” kilah Christian.
“Ya, tidak menuntut kemungkinan Tuhan Bapak menghamili lagi Bunda Maria di
surga lalu melahirkan seorang putri sebagai adiknya Isa Almasih. Niscaya kan dia dipanggil
Tuhan Anak Perempuan atau Tuhan Putri,” tukas Muslim.
“Jangan macem-macem ya. Tidak mungkin saudara sekandung bisa bersanding.”
“Buktinya Tuhan yang Rohul Kudus, Roh Tuhan yang sangat mulia dan suci ternyata
mempunyai nafsu dan berhasrat sex juga tergoda oleh sesosok Maryam manusia ciptaan-Nya
hingga dihamilinya.”
“Tuhan menitipkan anak pada rahim suci Maria tidak melalui kelamin seperti
manusia.”
“Lantas kapan berbuahnya sel telur Maria di rahimnya jika tidak tercampur sel
sperma?”
“Tuhanlah yang mengatur semuanya itu karena Dia Maha Mengetahui serta Maha
Kuasa atas segalanya.”
“Bukankah paham liberal menganut prinsip berpikir secara logis? Apa kamu juga
takut berpikir macam-macam bila yang berhubungan dengan Tuhan? Atau kamu belum
dengar kisah hamilnya Maria itu sebagaimana menurut seorang penganut paham Islam liberal
yang menyatakan bahwa Maryam itu senyatanya menikah dengan seorang anak petani
bernama Yusuf?”
Christian akhirnya diam. Matanya memusat ke depan pada jalan yang tidak juga
lengang dari berseliwerannya kendaraan. Tapi dibalik fokus lensa matanya, ia menyimpan
sketsa film yang tidak bisa tertuang jelas di layar kosong pandangan Muslim. Memori
Christian sedang error!
“Jadi siapa yang akan menyambut Jesus di surga itu?” Muslim mengembalikan lagi
masalah yang sekiranya membuat Christian bisa kembali menjalankan otaknya.
“Tuhan Bapak dan Tuhan Anak bermain intim. Karena ada kemungkinan Tuhan
Bapak itu bersifat bisex. Mengingat umatnya yang heterosex. Jadi kenapa tidak Tuhan Bapak
suka sesama jenis juga, selain dari melayani Bunda Maria?”
“Busyet, betapa mengerikannya kamu punya Tuhan yang bersyahwat. Jadi tidak salah
dong kalo Maria itu sudah diperkosa Tuhan juga,” Muslim tertawa geli mendengar tanggapan
Christian yang semakin amburadul pemahamannya.  
“Mungkin itulah kajian Kristen liberal yang menjadi tolak ukur dibebaskannya kaum
homo,” Christian lebih meyakinkan prinsipnya.
“Christ! Daripada kita makin ngaco menelaah makna aqidah agama kita, apa tidak
lebih baik kita mencari keyakinan baru? Sumber hukum baru yang memihak pada kebenaran
kita. Yang bisa menyatukan  kepercayaan kita. Bagaimanapun juga, Islam itu jelas tidak
menerima sifat kaum homosek begitu pula dengan Kristen. Aku ingin kita punya kepribadian
serta landasan hidup yang sama, jika memang kita mau mempertahankan prinsip bahwa
homoseksual itu bukanlah perilaku sex menyimpang melainkan sebuah kebenaran.
Seandainya kita masih berpegang pada agama kita sekarang, aku Islam kamu Kristen aku
takut pada akhirnya nanti tetap saja akan ada orang yang menghujat dari pihak agama kita.
Lagipula aku tidak ingin Allah Tuhanku mempergunjingkan keIslamanku nanti di akhirat.
Juga aku tidak tega melihatmu nanti diadili Tuhan Alah atas dosamu. Apalagi Tuhanmu ada
dua. Berarti kamu akan lebih ribet nanti naik banding gugat kasusmu di dua persidangan.
Atau mungkin kamu tidak akan mengenal neraka karena dalam agamamu tidak ada kasus
dosa oleh sebab sudah ditebus dengan darah Jesus. Jikapun demikian apakah kamu akan tega
melihat aku sebagai orang yang kamu sangat cintai waktu di dunia menjerit-jerit menahan
siksa kobar api neraka sebagai balasan atas nista dan dosa kita?
Maka dari itu aku ingin kita hidup di dunia ini saling mencintai, saling mengasihi,
juga saling menyayangi. Seiring sejalan, seiya sekata, senada seirama, senasib dan
sepenanggungan. Suka duka, asam manis, pahit getir, serasa dan sepengertian. Begitupun di
akhirat nanti aku ingin kita tetap bersama. Memapah bahtera cinta kita. Didakwa di negeri
pengadilan Tuhan yang sama. Hingga surga maupun neraka kita menjalaninya bersama. Atas
dasar itu kita harus mencari Tuhan yang masih suci. Yang namanya belum tercemar dengan
imajinasi-imajinasi para politisi. Kita harus menemukan agama baru yang bisa
mempersatukan keyakinan kita. Demi kita merasa tenang dan damai menjalankan
peribadatannya penuh dengan kekhusuan dan khidmat,” Muslim begitu mengharubirukan
perasaan Christian.
“Mungkin dalam soal ini kamu yang lebih mengerti tentang ketuhanan. Aku tidak
tahu terlalu banyak tentang masalah ketuhanan. Sebagaimana kamu ketahui aku hanya aktif
dalam agamaku semasa aku masih SMP. Ku kira kamu lebih mendalami dan lebih bisa
berpikir cemerlang. Aku percaya kamu umat yang taat terhadap ajaran agamanya,” Christian
menatap Muslim penuh rasa cinta dan kepercayaan.
“Apa karena cinta kamu sudi mengikuti jejak langkahku?”
“Demi nama Tuhanmu aku bersumpah, jikalah kamu menginginkan aku sekeyakinan
denganmu. Aku siap berganti Tuhan, asal benar kau akan mencintaiku. Demi memperkuat
keutuhan dan kesucian cintaku, aku akan selalu mencoba menjadi yang terbaik bagi kekasih
tercintaku. Karena aku sangat terlalu mecintaimu,” bisik Christian begitu mendalam.
Muslim menatapnya lekat. Ada keharuan yang bersenandung di hatinya. Betapa tulus
dan sucinya niat cinta Christian untuknya.
“Christ!” seru Muslim lembut.
Christian memperlambat laju mobilnya hingga akhirnya menepi di pinggir jalan dan
berhenti. Christian menoleh Muslim. Ia tersenyum begitu tulus. Lalu ia gerakan tangannya
meraih jemari tangan Muslim. Kemudian digenggamnya dengan lembut.
“Sayangku,” bisik Christian sambil mencium jemari tangan Muslim yang dalam
genggamannya. “Apa yang kau pikirkan? Apa kamu masih meragukan cintaku?”
“Aku terharu mendengar semua perkataanmu. Mengapa bisa kau sampai sebegitu
dalamnya mencintai aku? Apa kau yakin aku bisa membahagiakan hidupmu?”
“Terlalu dalamnya perasaan hatiku tak mungkin sanggup kamu menyelaminya. Aku
juga tidak mengerti mengapa sampai begitu beratnya cintaku padamu. Tapi aku yakin
sepenuh keyakinanku, kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tak mungkin sanggup
bila harus kehilanganmu. Kali inipun aku mengajakmu jalan karena aku merasa berat hati bila
harus melepasmu pulang ke rumahmu. Aku tidak mau berpisah denganmu sekejappun. Aku
ingin selalu bersamamu. Menyertaimu. Aku harap kamu mengerti perasaanku. Jangan pernah
pergi untuk meninggalkan aku … ya, sayang. Aku berjanji akan selalu melindungimu.
Menjagamu. Saat tidur dan terjagamu. Aku akan siaga sepanjang waktu, demi kebaikanmu,”
Christian mencium kening Muslim penuh kasih dan kemesraan.
“Terima kasih!” bisik Muslim menyandarkan kepalanya ke pundak Christian.
Christian memelukan tangannya mendekap tubuh Muslim. Ia sandarkan pipinya ke
kepala Muslim yang menyender di pundaknya. Tangannya mengelus rambut Muslim dengan
penuh kelembutan. Muslim menggerakkan tangannya meraih tangan Christian yang
memainkan rambutnya itu. Lalu ia mendongakan wajahnya menghadap wajah Christian …
Di tatapan sorot matanya ia titipkan pesona riak jiwanya yang indah … Riak arus air telaga
cinta yang tertebak sepoi semilir lembut angin surga …
 
3   ‘cemburu dan pengertian’
 
 
      Suasana siang hari di rumah makan khas Sunda. Rumah makan dengan artistik model
saung beratap rumbia yang menghadap ke sebuah kolam ikan yang cukup luas. Di atas dipan
yang terbuat dari bilik bambu terduduk Christian dan Muslim sedang melahap sajian makan
siang. Keduanya begitu menikmati romansa siang ini. Keduanya menghadap ke kolam,
menyaksikan panorama alam yang cukup indah. Pepohonan yang tumbuh rindang di tepi
kolam daunnya meliuk-liuk tertebak angin. Tidak ada orang yang memancing siang ini. Ada
juga sepasang remaja yang sedang asik bercanda di bangku kayu dibawah pohon jambu air.
Sambil mengunyah Christian mengajak Muslim berbicara,
            “Apa rencanamu untuk masa depan kita?”
“Mencari solusi yang terbaik,” jawab Muslim.
“Kamu menginginkan aku menjadi seorang muslim?”
“Buat apa?”
“Menyamakan keyakinan kita, kalo kamu merasa keberatan untuk masuk agama
Kristen.”
“Aku tidak akan mengajakmu untuk menganut agama Islam. Begitu juga aku sangat
tidak mungkin untuk menyembah patung Jesus.”
“Lalu? Kita jalani saja agama kita masing-masing? Apakah kamu tidak akan merasa
terbebani dengan perbedaan ini?”
“Aku ingin kejelasan tentang agamamu. Begitu juga kau harus paham tentang ajaran
agamaku.”
“Kita memegang dua agama? Aku merasa kurang setuju. Soalnya jangankan untuk
memegang dua keyakinan Kristen dan Islam. Kristen saja satu aku sudah semrawut sekali.
Apalagi dua!”
“Bukan itu maksudku. Kita menyatukan keyakinan kita. Memadukan hukum Kristen
dengan Islam.”
“Sampai sedemikian jauhnya pandanganmu. Apa tidak akan memicu perselisihan
sengit antar agama kita? Menurutku lebih baik aku yang pindah saja menganut agama Islam.
Kita bersatu memperjuangkan hak kita dalam Islam.”
“Justru itu yang tidak aku inginkan.”
“Kenapa? Bukankah orang Islam akan merasa bangga ada orang Kristen menjadi mau
balaf...”
“Mau balap?” Muslim heran.
“Ya, orang yang baru masuk Islam.”
“Mualaf!?”
“Heeh. Maksudku juga itu. Setidaknya itu akan lebih baik. Apalagi buatku, mungkin
aku akan belajar menjadi orang yang baik. Karena sebenarnya aku sangat memuji ajaran
Islam yang memiliki penataan aturan hidup yang sangat terperinci sekali dari hal-hal yang
paling kecil sampai yang sangat besarnya yaitu alam semesta raya ini,” Christian memberikan
pertimbangan.
“Kamu boleh memuji dan menilai apapun tentang Islam. Tapi satu hal yang harus
kamu ketahui, agama mana yang dalam kitabnya mengakui dan melindungi hak kaum
homoseksual?”
“Ya agama liberal. Baik Kristen ataupun Islam,” Christian sangat mantap.
“Apakah Budha liberal dan Hindu liberal juga sama pemahamannya?”
“Aku kurang tahu. Baru kali ini aku dengar Hindu dan Budha liberalnya juga. Aku
tidak pernah bersinggungan dengan agama dari bumi itu. Tapi mungkin juga iya. Soalnya itu
kan kitabnya sudah pasti buatan manusia bukan berasal dari mukzizat yang diwahyukan
Tuhan melalui malaikat. Jadi ada kemungkinan mereka dengan mudahnya mengubah-ubah
isinya.”
“Apakah kamu tidak kepikiran menganut ajaran Budha dan Hindu sebagai agama
nenek moyang suku bangsa Indonesia ini?”
“Aku kira tidak mungkin. Terlalu tua dan terlalu alamiah prosedur periketuhanannya.”
“Aku kira justru itu lebih baik. Apalagi buatmu yang menyetujui paham liberal.
Menurutku Budha dan Hindu itu adalah basic sebuah misi liberalism. Agama yang terlahir
dari puncak kesuciannya seorang manusia dalam mengkaji diri. Kitab penuh teladan yang
terpuji yang tercipta lewat tangan manusia. Pemahaman jati dirinya dengan sang pencipta
melahirkan kesempurnaan hidupnya yang sangat arif dan bijaksana. Kesucian lahir dan
batinnya tidak semata tergerak karena rencana Tuhan. Tidak seperti Isa dan Muhammad yang
semenjak di alam ruhnya sudah berada dalam penjagaan Tuhannya. Sudah ada isyarah-
isyarah kenabiannya semenjak kelahirannya. Tuhan sudah memberikan pertanda-pertanda
khusus titel keagungannya. Juga diberi petunjuk dan dituruni wahyu dari langit tidak seperti
para pemuka agama bumi yang melahirkan agamanya atas dasar pendalaman pemahaman
terhadap pengalaman-pengalaman alam ruhiahnya. Atas kemurnian suci sukmanya. Lantas
mereka tidak mengagungkan dirinya sebagai Tuhan melainkan mereka menyampaikan
pemahaman tentang keTuhanan yang mana manusia ini hidup melalui proses sebuah Dzat
yang Maha Mencipta. Tidak juga mereka mengaku dan memproklamirkan kenabian atau
kerasulan atas kecemerlangan ilhamnya itu. Tidak seperti belakangan dalam Islam ada
beberapa kalangan yang mempublikasikan dirinya sebagai nabi. Sayangnya menurutku
tentang pengertian dewa-dewanya saja. Kalaulah memang matahari dan bumi ini dipegang
dalam kekuasaan dewa matahari dan dewa bumi, kenapa kita sebagai umat agama Islam dan
agama Kristen dibiarkan berkeliaran mengacaukan tempat kekuasaannya di atas bumi serta
sinar matahari yang sama dengan umat agamanya? Bukankah dewa itu Maha Kuasa sama
halnya dengan derajat Tuhan?
Sungguh dalam pemahaman ini aku kurang mengerti. Entah bagaimana sesungguhnya
bentuk kekuasaan Tuhan itu yang sebenarnya. Kalau saja Tuhan itu berbentuk matahari dan
bumi atau bulan, bintang dan menyerupai seantero yang ditampilkan secara konkrit di alam
semesta ini termasuk manusia seperti perwujudan Tuhanmu itu yaitu Jesus. Mungkinkah bisa
Tuhan seperti itu menyaksikan tingkah manusia dan seluruh makhluknya dengan secara
mendetail-detailnya tak terkecualikan perbuatan apapun yang dilakukannya itu? Bagaimana
mungkin bisa mengontrol dengan sedemikian sempurnanya. Mengatur keluar masuknya
nyawa, menciptakan jenis kelamin agar seimbang antara jantan dan betina. Atau mungkin
terlahirnya kaum homoseksual juga itu karena terjadinya kesalahan teknis saat Tuhan
menciptakannya. Ya, mungkin saja ketika pertama kali Tuhan membuat adonan kita ini
memang laki-laki. Tetapi karena terjadi kekeliruan atau kelupaan atau error system karena
saking sibuknya Tuhan itu malah meniupkan ruh perempuan pada kita. Atau sudah di kasih
ruh laki-laki sebelumnya lalu Tuhan malah ngisi lagi dengan ruh perempuan. Hingga nafsu
kita jadi dua hasrat.
Tapi semua itu aku kembalikan lagi pada imanku terhadap Tuhan. Aku yakin
Tuhanku Maha Kuasa. Sebab Tuhanku Maha Esa yaitu Maha Tunggal. Dia menciptakan
seluruh makhluk ciptaan-Nya tanpa harus beradu pendapat dulu dengan Tuhan lainnya. Dia
berkuasa menciptakan apapun yang dikehendaki-Nya. Termasuk menciptakan kita dengan
mental sex seorang gay. Lalu mempertemukan kita dengan rencana-Nya pula. Aku yakin ini
adalah peta hidup kita yang sudah Tuhan goreskan semenjak awal kehidupan kita bahkan
mungkin semenjak di alam roh.
Christ! …” Muslim menaruh piring bekas alas makannya.
“Heh!” Christian memandang Muslim penuh kekaguman. Sinar matanya tampak
teduh menyorotkan kadar jiwanya yang penuh damai.
Muslim membersihkan tangannya dengan air kocokan yang tersedia dalam baskom
kecil. Ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Ternyata tidak sesepi ketika ia dan Christian
tadi datang. Ada beberapa orang juga di sana yang sedang melahap makan siangnya.
“Apa aku tidak sampai meresahkan mereka ya?”
“Biarlah itu malah bagus. Biar mereka lebih ngerti lagi. Juga mereka bisa menerima
kita. Menurutku paham kamu itu membuat aku lebih luas lagi memaknai arti keTuhanan. Aku
salut pada daya pikirmu yang cenderung terbuka memahami latar belakang sebuah
keyakinan. Tidak seperti keortodokan para pemuka agama yang jika kita nanya berlebihan
karena demi lebih meyakinkan keimanan kita, mereka malah memutuskan perdebatan dengan
kilah; sudahlah kita percaya saja, kita yakini saja apa yang agama kita ajarkan, jangan terlalu
mempertanyakan sesuatu yang akhirnya hanya akan membuat kita tidak diakui sama Tuhan
kita. Emangnya Tuhan itu membatasi dirinya di mata umatnya? Berarti Tuhan itu cenderung
menutupi kekurangan-Nya. Tidak transparansi. Lalu kenapa mesti ngasih otak buat ngakal
kalo Tuhan tidak mengizinkan manusia buat berpikir?”
“… kamu sudah makannya?” Muslim meraih segelas teh lalu mereguknya.
“Kamu sudah? Kok dikit banget. Kamu kalo ngomong nyampe bisa ngenyangin perut
ya?” celoteh Christian mengakhiri santapannya.
“Aku ingin ngobrol lebih banyak lagi sama kamu,” Muslim mengudar duduk silanya.
“Disini saja. Kenapa?”
“Enggak. Gak enak sama orang-orang yang diluar pemahaman kita.”
“Lantas mau dimana? Atau kita nyari tempat yang sekiranya bisa bikin hepi kita?”
“Cepatlah!”
Christian membersihkan tangannya. Lalu mengambil tissue serta menanyakan harga
dan membayarnya. Setelah minum kemudian keduanya keluar.
“Mau kemana sekarang?” Tanya Christian segera.
“Kita nyantai di pinggir kolam. Kayaknya enjoy bisa lebih memfreshkan pikiran kita
demi segera mengambil keputusan apa buat kelanjutan kita,” tutur Muslim.
Sebuah sedan merah berhenti di samping mobilnya Christian yang terparkir dibawah
pohon akor.
“Kalo gitu aku ambil dulu minuman sama snack ya,” Christian segera balik ke dalam
rumah makan dimana menyediakan jualan jajanan ringan dan minuman dingin.
Muslim memperhatikan sesosok cewek Korea yang keluar dari sedan merah tua
metalik itu. Sendirian. Cukup seksi juga penampilannya. Tapi gak apa sesuai dengan bentuk
tubuhnya yang seksi juga. Cukup cantik. Biarpun ia tidak tahu dari sudut mana menilai
kecantikan seorang wanita. Lagipula ia tidak begitu menyukai perempuan bermata sipit.
Entah kenapa. Namun yang jelas perempuan itu menarik saja dalam pandangannya. Apalagi
mungkin dalam pandangan cowok normal! Cewek berambut pirang diikat itu melewati
Muslim segera memasuki rumah makan.
“Hai…!”
Muslim menoleh pada gadis itu. Christian sedang dirangkul oleh cewek tak dikenal
itu. Lagi-lagi ia diciumnya begitu hangat. Muslim mengalihkan pandangannya seraya
melangkahkan kakinya beranjak pergi.
“Hai, tunggu!” panggil Christian.
Muslim tak menyahut ia terus saja berjalan menuju kolam. Christian segera berlari
mengejarnya. Tidak memperdulikan cewek Korea itu berteriak memanggilnya.
“Mos, tunggu dulu dong,” Christian mendekat.
“Namaku Muslim bukan mouse atau tikus,” Muslim menimpali dengan ketus.
“Sory, sory! Jangan ngambek gitu dong. Maksudku bukan mouse is tikus but Moses is
Musa. Kan aku memuji namamu yang agungnya laksana tahta kerasulan. Atau most is paling
sangat sekali atau lebih fokusnya mos sebagai panggilan Muslim in English it’s Moslem.
Panggilan-panggilan yang indah dan bersenandung do’a, kan ?” Christian mengklarifikasi
maksud omongannya yang sudah sembarangan saja memanggil Muslim dengan sapaan Mos
tanpa persetujuannya dulu hingga Muslim tampak bermuram durja dibuatnya. 
Muslim tak berkomentar. Setelah menemukan tempat yang dirasa cukup nyaman.
Muslim lalu duduk di bawah pohon gandaria yang lagi rekah bunganya yang sungguh indah
sangat elok menawan. Christian pun segera ambil tempat disampingnya. Di atas akar pohon
gandaria yang muncul ke permukaan tanah. Tempatnya sangat teduh. Angin selatan semilir
menghanyutkan rasa sejuk dari pesona air kolam yang tenang. Rumpun ilalang bergoyang
seiring bunganya yang putih menari-nari riang. Segerombol kupu-kupu beterbangan di
angkasa mengecup pujaan hidupnya, bunga gandaria yang jelita. Bunga-bunga indah yang
menjadi cermin kepribadian jati dirinya. Tak pernah berubah sejak pertama kali tercipta
sampai saat ini, serangga manis bersayap indah itu selalu dan selalu saja mencintai bunga-
bunga!
“Kamu pemuja alam,” ujar Christian tidak begitu diketahui jelas motif perkataannya.
Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan ataukah komentar.
“Menyatukan diri dan perasaan dengan alam itu merupakan cerminan sebuah jiwa
yang mempunyai pertimbangan seimbang pada hidupnya,” tanggap Muslim.
“Most, maafkan aku ya!”
Muslim melirik Christian heran.
“Kamu jangan mencemburukan aku dengan cewek barusan itu ya,” tukas Christian
memperjelas.
“Aku ngucap syukurlah kalo kamu memang masih normal. Ngapain juga jadi gay
yang mesti ribet cari pengakuan hukum?” tanggap Muslim dengan masam.
“Kamu marah ya? Aku ngerti kalo kamu cemburu. Aku juga ngerasa kalo kamu kesel
melihat aku barusan itu. Tapi bener bukan aku yang sengaja ingin dipeluknya. Aku juga
terkejut saat tiba-tiba saja dia merangkulku. Kalo tidak sadar inginnya aku memaki-maki dia.
Memarahinya dan memukulnya ketika melihat kamu spontan bersikap gitu,” Christian
mencoba menjelaskan.
“Aku gak apa-apa. Sudahlah. Percuma saja aku mencemburukanmu. Kita netral saja.
Aku tidak ingin pikiranku kacau hanya gara-gara masalah sepele begitu. Jikapun kamu mau
ngelacur dan pesta sex di depan mataku. Kenapa mesti repot-repot negangin otot syaraf?
Silahkan saja selagi kamu emang suka. Emangnya situ siapanya aku? Aku merasa gak terlalu
berkepentingan denganmu. Aku lebih kenal sama kamu juga bukan karena keinginan aku.
Kalo aku emang kamu butuhkan mungkin kamu bisa bersikap lebih baik lagi padaku. Jikapun
aku sudah tidak kamu perlukan, apa susahnya aku pergi dari kehidupan kamu?” Muslim
berlaga ketus sekali sambil meraih teh botol yang ditaruh Christian di depannya.
“Most cintaku. Kamu jangan ngomong gitu dong. Aku jadi sedih. Aku akui aku
memang salah kenapa aku tidak menghindar ketika berpapasan dengannya,” Christian
menyesalinya.
“Christ percayalah kepadaku. Kebersihan hatiku menerima cintamu tidaklah mungkin
semudah itu ternoda dan terkotori hanya karena sebuah pelukan dan ciuman seorang gadis.
Kalo kamu memang gay sejati, niscaya hasrat sex kamu tidak sampai bangkit karenanya
kan?”
“Aku memang pernah melakukan hubungan sex dengannya.”
“Benarkah? Kok bisa?”
“Ketika aku sedang merayakan pesta sex bersama untuk syoting video porno versi
Korea. Aku bertemu dengannya di  Ancol waktu aku baru balik dari Amerika. Aku terkejut
juga ketika pertama kali bertemu dengannya. Dia berani sekali menghampiriku dan
mengajakku kenalan serta ngobrol. Padahal aku kan hanya memakai celana dalam saja karena
sedang asyik renang. Diapun sama memakai bikini. Karena kenalan kami memang di kolam
renang. Aku yang muncul setelah menyelam tiba-tiba saja dia merangkulku. Aku diam saja di
peluk dan diciumnya. Karena menurutku itu sesuatu yang wajar. Budaya kehidupanku juga di
Amerika berada ditengah masyarakat yang berbudaya bebas.
Namanya Naomi Lie. Dia bicaranya blak-blakan banget. Dia jujur saja. Dia itu
memang wanita penghibur. Tapi bukan pelacur pinggir jalan. Atau yang biasa nongkrong di
tempat-tempat hiburan. Mungkin pelacur elit. Pelacur kelas atas.”
“…kalau dia pelacur sekelas eksekutif. Kenapa bisa dia langsung terang-terangan
ngomong sama kamu?” Muslim membuka snack kacang garuda.
“Dia yakin kalo aku seorang cowok freesex. Dari penampilan tubuhku yang kebule-
bulean dan banyak bertato juga pake anting. Dia menawariku sebuah kencan. Dia
mengajakku ikut bermain dalam skenario garapan produsernya. Aku pikir kenapa enggak.
Apalagi ketika ia tahu aku seorang gay. Drama porno itu justru 90 % homo. Adegan bercinta
beberapa pasangan gay berpesta di tengah romantika beberapa pasangan lesbian dan bisex.
Aku langsung cabut ikut dengan rombongannya menuju sebuah perumahan elit yang
dihuni anak keturunan Korea. Disana sudah ada beberapa cowok-cewek yang lumayan cakep
berparas campuran Indo-Korea yang siap bermain. Maka malam harinya terjadilah syoting
pesta sex gila-gilaan yang baru pertama kali aku ngelakuinnya. Payahnya ketika aku harus
berhadapan dengan Naomi. Sebagai adegan pembuka film. Aku harus bermesra dan bercinta
sehebat mungkin dengannya. Untungnya aku sembari menyaksikan adegan gila gay-gay
hingga nafsuku bangkit dan kuat bertahan sampai Naomi ke puncak kenikmatan orgasmenya.
Semenjak itu seminggu sebelum ia kembali ke Korea untuk menandatangani kontrak
barunya, ia sering mengajakku untuk kencan meskipun ia tahu kalo aku seorang gay. Tapi
sebelum ia mendapatkan kepuasan sex denganku, ia diteror kekasihnya untuk segera kembali
ke Korea perihal pematangan lakon drama semi sex yang akan dimainkan bersamanya.
Sekarang ternyata dia ada di Indonesia. Setelah hampir tiga tahun aku tidak bertemu
dengannya,” Christian menutup kisahnya sambil meraih botol bir serta ditengggaknya lalu
mengambil sebatang rokok dan disulutnya.
Muslim memandangi sosok Christian yang duduk di sampingnya. Christian
memalingkan mukanya dari tatapan itu. Terlalu kuat aura jiwa Muslim menggugurkan pribadi
kekerasan jiwanya. Getar ketakberdayaan menyudutkan Christian dalam luruh hatinya. Ada
sinar cinta yang terpancar terlalu terang dari sorot mata cowok ganteng asli Indonesia itu
hingga menyilaukan seluruh fokus mata Christian untuk memandangnya. Christian menghela
nafasnya sambil berujar penuh kenaifan dirinya,
“Maafkan aku Most. Aku mengakui segala kehancuran moralku selama ini. Mungkin
aku memang tidak sesuci dirimu. Tapi alangkah besar harapan ini untuk menuju kebaikan
hidup hingga dapat sejalan dengan arahmu. Aku yakin jika aku menjadi kekasihmu aku akan
lebih baik dari sekarang dan masa laluku. Aku berjanji aku akan menjadi pasangan hidupmu
yang setia.”
“Bagaimana aku bisa percaya pada orang yang telah tidak dipercayai lagi oleh
agamanya?”
“Please, my heart. Help me! You must believe me!” Christian menatap Muslim penuh
pengharapan yang mendalam.
“OK! Kali ini aku bukan hanya sekedar saksi atas ucapan janjimu. Tapi pula adalah
sebagai saksi sejarah perjalanan hidupmu mulai saat ini, disini, di tempat ini, sampai nanti
diakhir kebersamaan,” tegas Muslim penuh pesona wibawa seorang Pastor atas sumpah
hamba tuna kasih Syibhinya.
“Thanks, my romanc sweety. I love you so much,” Christian berseri-seri serentak
merangkul Muslim serta menciumnya sepenuh rasa cinta terhadap hidupnya. Seperti yang
tiada kebosanan cinta itu mencumbu jiwanya. Selalu saja menghadirkan detak hasrat disetiap
jengkal langkahnya. Mengabadikan kenikmatan dalam desir darahnya. Menggemakan gaung
kasih disetiap degup jantungnya.
Suasana siang hari yang tenang. Cuaca musim yang cukup cerah. Menitikan cahaya
cintanya yang terenggut nafsu dalam sketsa buramnya yang kian memudar. Adakah harkat
mereka begitu agungnya dalam data sang para pencatat peraturan siklus kehidupan?
Naomi Lie segera menghentikan langkahnya. Dipandangnya sepasang kekasih yang
sedang bercumbu itu. Ada gelora kecemburuan berkecamuk di dadanya. Rasa iri yang begitu
tingginya atas keromantisan pasangan itu. Rasa panas yang segera ingin ia mendinginkannya
dengan memadamkan bara cinta yang berkobar diantaranya.
“Christan!” panggil Naomi Lie dengan cukup kencang membuat Christian dan
Muslim yang sedang bercumbu itu terkejut setengah mati seraya saling melepas diri dari
terali nafsunya.
“Rupanya kamu! Kirain siapa?” Christian ketus menampakan sikap
ketidaksenangannya atas penampakan Naomi Lie di moncongnya.
“I miss you!” Naomi Lie tersenyum hangat.
“Sory, I no like to meet you,” Christian menjujurkan perasaan hatinya.
“Okay! I am understand with your feel now.”
“But you … !? Why do you still this place?” Christian kereng.
“Maybe … I’m jelouse!”
Christian menoleh Muslim. “He is my love,” aku Christian tegas.
“Ow…!!? I’m sory. I think someone a …”
“Is better you go,” pinta Christian dengan lembut.
“If you a … kalian a … apa salahnya kita berkenalan teman? Apa itu tidak lebih
baik?”
Christian kembali melihat reaksi Muslim.
“Gak apa-apa. Aku senang,” ujar Muslim tulus.
“Kenalkan, Naomi Lie. Panggil saja Lie,” kenal cewek Korea itu mengulurkan tangan
pada Muslim.            
“Muslim,” Muslim menjabatnya.
“Muslim!?” Lie tampak heran.
“Ya. As-Shidiq Muslim. Kenapa?” Muslim balik merasa heran pada cewek itu yang
mengherankannya.
“Kok bisa jalan sama Si Christan? Kamu kan Islam?” selorohnya sambil duduk di atas
rumput di dekat mereka.
Muslim memandang Christian. Lalu jawabnya, “Lantas kenapa Christian yang Kristen
mau jalan denganku?”
“Benarkah kalo kamu itu homo?”
“Tidak salah, kan?”
“Apa Mohammed no problem with you?” Lie menatap Muslim serta
mereguk avocado juicenya.
“Emangnya kamu percaya Muhammad itu bertauladan baik?”
“Enggak juga.”
“Lho!?”
“Buktinya kalau Mohammed itu tidak baik sungguh jelas dalam coretan pena karya
tulisnya Koran yang menyatakan bahwa Isa sebagai Tuhan dan Rasul terakhir itu keliru. Lalu
menyatakan bahwa dirinya Nabi akhir zaman yang diutus Alah buat Kaum Bodoh. Padahal
Nasrani dalam Alkitabnya tidak menyinggung-nyinggung masalah kebiadaban Mohammed.
Kalau Mohammed itu bener utusan Tuhan, dia pasti diberi cahaya terang dari surga agar tidak
memicu permasalahan. Lagipula kalopun emang Nabi, dia kan diperuntukan buat Kaum
Bodoh bangsa Arab. Kenapa mesti ngotot memaksakan agamanya pada jemaat selamat Jesus
yang berpikiran terang cahaya Alah?”
Muslim tersenyum. “Gimana Christ? Kamu siap mendebatnya?”
Christian melirik Lie dan bertanya padanya. “Kamu yakin agamamu itu paling baik?”
“Kamu ragu? Apa kamu tidak melihat tragedy dunia juga yang terjadi di negeri ini?
Mohammed telah menggerakan umatnya dengan seruan dalam bukunya Koran itu bahwa
Tuhannya menyerukan Islam untuk menyebarkan dan membela agamanya. Hingga
berseliwerannya teroris disana sini membumihanguskan dunia dengan bom bunuh diri.”
“Aku yakin kalo kamu bukan seorang umat Jesus yang paham betul ajarannya,” tukas
Muslim memperangahkan Lie dalam ketidakenakan perasaan hatinya.
“Bagaimana kamu tahu sampai menuduh aku sedemikian sadisnya?” Lie menuntut
keadilan Muslim.
“Dari cara menuduhmu yang juga sedemikian sadisnya terhadap umat Islam. Kamu
sudah seberapa jauh dan seberapa mendalaminya kandungan paham yang tersirat dalam kitab
suciku?”
“Sejauh pendapat para pakar agamaku,” Lie sangat yakin.
“Kamu pasti terinspirasi hujatan terhadap Islam dalam film Fitna buatan Belanda itu
kan? Aku tahu siapa kamu. Kamu itu tak lebih dari hinanya seorang pelacur liar. Kamu
beragama Kristiani karena darah orang tuamu. Agama keturunan saja. Kalo kamu menganut
agamamu itu sesuai keyakinan yang sangat kuat atas dasar nuranimu, kamu pasti akan
menjaga image pribadimu. Karena aku yakin, Injil tidaklah berbeda dengan Al-Qur’an yang
menyantunkan rohani dalam kekudusan. Karena itu aku melihatmu dengan pandangan yang
sangat-sangat hambar sekali. Tidak berselera debat soal agama dengan orang yang bobrok
dan sama sekali nol pengetahuannya perihal agamanya sendiri. Percuma kamu menjelekkan
Islam dan membanggakan Kristen juga jika kamu hanyalah jadi simbol kekotoran dan
kejalangan agamamu saja. Kau kira Tuhan Bapakmu senang kamu mengikuti tindak lacur
yang dilakukannya terhadap Maria? Sadar dong, kamu tidak sesuci Maria. Kamu bukannya
bakal dinikahinya, melainkan jadi arang buat menghangatkan tubuh Jesus yang kedinginan
dalam tiang penyaliban,” Muslim mengatai Lie sesuka hatinya.
Raut muka Lie kian merah padam. Ada kecamuk dahsyat yang membakar jiwanya.
Betapa tidak menghancur leburkan harga dirinya perkataan Muslim seperti itu yang juga
sangat melecehkan terhadap tahta keagungan Tuhannya.
“Muslim! Kau pikir perilakumu itu suci dan menjaga image agamamu? Emangnya
homoseksual itu tauladan Mohammed yang diserukan pada umatnya? Sudah poligami
ngerendahin harkat kaum perempuan. Dalangnya teroris lagi. Ditambah makin hinanya
dengan berhubungan antar sesama kelainan sex menyimpang!”
“Tunggu dulu Putri Tiong Hoa yang cantik. Adakah gerangan Putri Salju sedang
terbakar api amarah? Biarkan hamba menumpas biang keladi amuk jiwa Sang Putri,” Muslim
berdiri lekas melakukan kowtow di depan Lie dengan penuh hormat.
“Lebih baik kita berangkat sekarang,” Christian ikut berdiri.
Lie jadi tertegun sendiri melihat Christian bersiap-siap beranjak pergi.
“Hai Putri yang jelita. Jika kamu orang Indonesia yang beragama Islam dan tinggal di
Aceh. Kamu pasti tahu kejadian pasca Tsunami  yang meluluh lantakan kepulauan Aceh.
Apakah kamu masih akan membaikkan agama Kristen yang telah menteror umat Islam secara
halus dengan gerakan Kristenisasi masa lewat pengorbanan harta benda sedemikian banyak
juga pendidikan yang berkedok Islam? Untungnya umat Islam yang berhasil agamamu rekrut
itu adalah umat Islam yang sudah kedaluarsa. Aku ucapkan terima kasih atas agamamu yang
sudi memungut sampah yang tidak berguna buat nambah koleksi betapa kotornya agamamu,”
Muslim pun seraya berjalan bergandengan tangan dengan Christian begitu mesranya
meninggalkan Lie yang melongo …
 
4   ‘RASA CINTA
 
MENGALIR APa ADANYA’
 
“Gimana kalo malam ini kamu nginep di rumahku?”
“Aku merasa gak enak sama keluargamu.”
“Bukankah kamu yang sengaja meng-isme pemikiran ibuku?”
“Emangnya kamu setuju atas paham ibumu?”
“Jangan berlaga jadi orang bego kalo kamu ingin lama berhubungan denganku.”
“Kamu galak juga.”
“Christ. Sebelum kamu menyesal akhirnya, lebih baik kamu pertimbangkan dulu. Aku
beri kesempatan padamu untuk lebih memahami karakterku. Aku jujur saja orangnya keras.
Tidak secool yang kau lihat. Jangan sampai penglihatanmu terbodohi dengan penampilanku.”
“Aku sudah yakin akan pilihanku. Aku akan bertahan menjadi pasanganmu. Kalo
kamu benar mencintaiku, aku berani melawan tantangan keluargamu seandainya mereka
tidak setuju dengan hubungan kita.”
“Aku salut padamu. Seandainya perasaan cintamu itu lurus sejalan alur cinta yang
Tuhan arahkan untuk sesosok perempuan. Mungkin akan lebih mulia hidupmu. Tidak seperti
mencintaiku yang bagaimanapun tulus dan sucinya tetap saja mengarah pada jalur cinta yang
salah.”
“Aku gantungkan seluruh angan dan harapanku di tingginya nuranimu.”
“Kita berjuang bersama memupus kekeliruan firman Tuhan di benak manusia demi
menuju bahtera cinta yang sangat agung yang senyatanya adalah kehendak Tuhan semata.”
“Most, aku sangat yakin sekali kalo kamu bisa menjadi figure penerang bagi manusia-
manusia yang sesat pemikirannya. Diperkuat lagi dengan ilham-ilham cemerlang ibumu yang
sangat ingin memanusiakan manusia. Yang ingin menyamakan kedudukan derajat manusia
dari sisi gender serta dalam pandangan Tuhannya.”
“Mungkin kamu tidak pernah tahu asal mula tercetusnya pengakuan ibuku terhadap
pemberdayaan kaum homoseksual yang berdalih diatas nama besar agamanya itu.
Sebenarnya bukan semata karena ide-ide konyolmu saja yang menjadi landasan ibuku
memproklamirkan fatwa hebatnya yang langsung disambut meriah pesta syukuran kaum
homosek Indonesia itu. Tetapi berawal dari dorongan batin atas latar belakang keluarganya
termasuk aku.
Kamu benar. Dan aku tidak harus memungkirinya lagi kalo aku memang seorang gay.
Kisah kesukaanku terhadap sesama jenis ku rasa tak jauh beda dengan latar belakangmu.
Waktu aku SD aku tinggal bersama nenek-kakekku di desa. Sebagai anak desa aku tidak
memiliki kebebasan penuh dalam pergaulan. Nenek-kakekku memberikan batasan-batasan
tertentu. Aku tidak boleh main berkeliaran dengan anak-anak desa lainnya yang tidak teratur
dan nakal-nakal.
Nenekku menitipkan aku pada seorang kiai agar aku mendapatkan didikan agama
darinya. Aku senang sekali dapat mengaji dan bergaul dengan anak yang lain. Meskipun
hanya sebatas sore menjelang maghrib hingga ba’da isya nenek-kakekku memberikan
izinnya. Sepulang mengaji aku harus belajar mata pelajaran sekolah, agar prestasi baikku di
sekolah tidak menurun. Hanya malam minggu aku punya waktu untuk menginap di
pondoknya Bapak Ustad. Dan semalam dalam satu minggu itulah yang menjadi ukiran
sejarahku untuk terjun ke dalam lautan berahi homoseksual.
Sudah penampilanku sejak kecil tampil rapi dan bersih menyumbang nilai tambah
yang sangat besar buat fisikku yang berparas tampan. Terlebih kesopan-santunanku yang
menjadikan semua orang segan terhadapku. Siapa orangnya yang tidak menghormati aku.
Sudah terlahir sebagai cucu orang kaya. Anak dari keluarga yang berpendidikan tinggi.
Mempunyai sifat yang terpuji lagi. Juga otakku cerdas. Pokoknya karismaku sangat begitu
besar pengaruhnya bagi teman-teman sepengajianku. Tak hanya teman sebaya dan yang
dibawah umurku. Kakak-kakak seniorku seolah menteman emaskan diriku dari teman-teman
yang lainnya. Aku bangga sekali dan selalu merasa betah jika berada di pondok.
Usiaku baru sebelas. Baru kelas 5 SD. Kegantenganku sudah begitu jelas tercermin.
Hingga bukan hanya santriyat saja yang suka padaku, melainkan guru ngaji serta semua
orang sayang padaku. Aku maknai semua itu sesuatu yang wajar. Tapi, aku tidak tahu persis
apa yang terjadi di malam minggu itu. Yang aku ingat, aku terjaga dari tidurku dalam pelukan
seorang kakak seniorku yang tangannya asyik mempermainkan kemaluanku.
Aku yang polos. Tidak tahu apa maksud kegiatan pemuda yang biasanya berlaku
tegas pada setiap santri lainnya itu. Aku menoleh wajahnya yang rapat menghembuskan
nafasnya di telingaku. Cahaya remang bulan yang menerobos masuk jendela kobong cukup
buatku mengenalinya meskipun samar. Bibirnya tersenyum dengan matanya yang menatapku
tajam. Lalu wajahnya mendekat seraya hidung mancungnya menyentuh pipiku. Dia
menciumku dengan sentuhan bibirnya yang lembut. Jantungku berdetak. Entah apa yang aku
rasakan. Aku tidak tahu karena itulah kali pertama aku mengalaminya.
Dia bangun seraya meleletkan sarung yang aku buat menyelimuti betisku dari gigitan
nyamuk. Begitu juga kian meleletkan celanaku yang sudah ia melorotkannya entah sejak
kapan. Mataku mengitari keadaan kobong. Aku heran kok di kobong itu hanya tinggal aku
berdua dengannya. Bukankah semula aku tidur berhimpitan dengan kawan-kawanku.
Ternyata itu memang bukan kobong dimana aku pertama memejamkan mata. Itu kobong
pribadi dirinya tertangkap samar di mataku dari tulisan yang tertera di balik daun pintu
kobong yang tertutup rapat; Natrak.
Entah sudah berapa jam ia setia mempermainkan kelaminku yang terbilang masih
sangat kecil sesuai tingkat masa pertumbuhanku belum mengalami perkembangan sex masa
puber. Kelaminku yang tegang itu dengan tanpa rasa jijik Natrak mengulumnya.
Menjilatinya. Serta terus mempermainkan lidahnya memberikan rangsangan tersendiri pada
syarafku. Aku sedikit meringis-ringis merasa geli ditengah desir lembut kenikmatan sambil
sesekali terpekik kecil karena kaget saat giginya itu menekan seolah ingin menggigitnya.
Laganya yang berwibawa dengan sikapnya yang romantis. Natrak menyingkap
bajuku. Lalu ia menyentuh puting susuku. Dan, iapun mengulumnya membuatku tak tahan
geli segera menggerinjal. Tapi tenaga remajanya yang lebih kuat enam tahun dariku,
meneraliku untuk bertahan sambil berbisik meyakinkanku bahwa itu adalah sebuah
kenikmatan. Aku luluh dalam rangsangan mautnya. Karena memang aku merasakan
kenikmatan yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Rasa senang yang tak terhingga
indahnya.
Natrak sungguh mengagumkanku. Aku memujanya. Diantara senior-senior yang lain
aku lebih senang dibimbing ngaji olehnya. Hingga akhirnya aku berani nginap di pondok
meskipun bukan malam minggu juga dengan izin dulu tentunya dari nenek-kakekku beriring
buku pelajaran harus ikut serta dibawa untukku menghapal dan mendalami pelajarannya.
Asyiknya Natrak sangat perduli sekali padaku. Ia sedia menemaniku belajar sambil ia belajar
menelaah kitab-kitab. Tak jarang ia memberiku masukan-masukan juga penambah semangat
dengan pengalaman sekolahnya dulu dimana ia juga adalah seorang juara kelas sepanjang
SD-nya.
Dan akhir dari semua itu kami berujung pada permainan sex! Akupun dengan senang
hati mempraktekan segala apa yang telah ia ajarkan padaku. Kami saling melumat bibir.
Saling mengulum lidah. Juga saling menggigit mesra. Lalu menjilati dadanya serta
mengulum puting susunya hingga ke bawah sampai di titik pusat organ sensitifnya. Kepalaku
naik turun seiring mulutku yang dipenuhi penis Natrak yang kurasa terlalu besar
dibandingkan dengan kelaminku yang hanya sebesar jempol. Itupun tidak semuanya masuk
karena aku suka keselek dibuatnya bila ia terlalu menekannya oleh sebab saking panjang
ukurannya. Setelah usai sampai spermanya keluar dalam mulutku, baru aku mendapatkan
giliran. Kami melakukannya bergantian dengan penuh nafsu. Itulah kisahku yang terus
berlanjut hingga kelas 6. Dan tanpa disadari pertumbuhanku sangat boros. Aku mengalami
perkembangan yang pesat. Termasuk kelaminku yang kian membengkak seiring tumbuhnya
bulu-bulu halus di sekitarnya juga kumis dan bulu betis. Sungguh saat itu kami menikmati
malam-malam penuh romantika kenikmatan sex.
Lalu setelah aku melanjutkan sekolah tingkat pertamaku di Jakarta, tentunya selalu
saja bergelayut kerinduan yang sangat dahsyat terhadap kampung nenek. Hingga seringkali
aku ke desa tanpa alasan yang jelas terhadap ayah dan ibuku. Kadang-kadang diluar
pengetahuannya, aku minggat bolos sekolah demi menemui sang panutan pemberi
kenikmatan.
Ternyata Natrak mungkin seorang bisek. Bukan hanya aku dan santri yang lain yang
menjadi sasaran pemuas seknya. Suatu malam ia juga pernah digrebeg warga atas sikap
senonohnya terhadap seorang santriyat yang dipanggil orang sebagai kekasihnya. Lebih
parahnya, belum beres kasus itu Natrak membuat lagi ulah menjamah putra ustadnya.
Menjinahi duburnya hingga ketika pagi anak ustad itu merasa malu dengan basah dan bau
menjijikan sperma di selangkangan dan pantatnya. Maka hancurlah riwayat Natrak sebagai
santri di pondok pesantren itu. Natrak diusir sang ustad karena sudah banyak memalukan
nama besar keluarga pesantrennya. Natrak pun pergi beriring caci maki masyarakat terhadap
akhlaknya yang keji.
Kejadian itu membuatku stress. Natrak sudah tidak mungkin lagi dapat ku temui.
Katanya ia melanjutkan nyantrinya ke daerah kota. Aku tidak punya tempat untuk
mengadukan rinduku serta menyalurkan hasratku. Juga rasa sayang di hatiku membuat aku
merasa sakit dan terluka dengan penderitaan yang dialaminya. Namun dibalik semua rasa
yang berkecamuk di batinku. Aku mulai menyadari, bahwa perbuatan yang pernah aku
lakukan dengan Natrak itu ternyata adalah perbuatan yang menyimpang dari peraturan
agama. Buktinya siapa masyarakat yang sudi memperdulikannya. Kalau saja kasus itu sampai
ke telinga keluarganya yang tinggal berjauhan desa dengan pesantren itu, mungkinkah ia
akan mendapatkan pembelaan atas tindakannya itu? Ku rasa tidak. Jangankan berhubungan
sex menyimpang, berhubungan sex secara normal juga sudah haram hukumnya diluar ikatan
pernikahan. Apalagi ini, sudah berjinah ditambah menyimpang lagi dari aturan sexnya!
Akhirnya aku kembali pada kesadaran fitrahku sebagai lelaki. Aku harus menjadi
lelaki yang normal. Yang mencintai perempuan. Untuk apa Tuhan menganugerahkan
kelebihan-kelebihannya padaku kalau aku malah menyelewengkan harkat kemuliaannya aku
sebagai lelaki. Aku memotivasi diriku kuat-kuat sambil berusaha untuk berhubungan lebih
dekat dan sangat erat dengan faktor-faktor yang berazaskan motif kenormalan seorang lelaki
dewasa. Aku anak SMA. Begitu banyak siswi-siswi cantik yang melirikku. Mereka terpana
dan kagum atas pesonaku. Kenapa tidak aku memanfaatkan momen baik itu untuk
membangkitkan mentalitas kejantananku yang ambruk.
Ya, aku mencoba menjalin ikatan cinta dengan mereka. Tak tanggung-tanggung, tak
cukup satu-dua aku memacari mereka sekaligus. Pacar kemunafikanku. Karena aku tidak
punya nafsu cinta saat bersama mereka. Kencan-kencan yang hambar dimana aku selalu
merasa terpaksa untuk berlaga mesra dan romantis. Anehnya walaupun aku dijuluki teman-
temanku sebagai si playboy tingkat elit, cewek-cewek itu mau-maunya bertahan untuk
menjadi pacarku. Hingga timbullah masalah besar dengan pihak yang kontra akan
keplayboyanku. Aku terjebak oleh salah satu pacarku yang ternyata adalah seorang pelacur
yang biasa bertengger di hotel-hotel berbintang yang terjadwal di boking langganannya
orang-orang berpredikat eksekutif Indonesia.
Aku dijanjikan kencan oleh pacarku yang pelacur itu. Herannya dia begitu perhatian
serta tak segan-segan banyak mengeluarkan duitnya buat melengkapi perjalanan kencan. Di
dalam mobil yang ku bawa malam itu, di pinggiran alun-alun sebuah kota yang remang-
remang. Disitulah dia menjamahku dengan penuh goda dan rayuannya. Dia membuka
pakaian yang menutupi bagian-bagian vital area paling sensitive dari organ tubuhnya. Aku
langsung memaki dan menghardiknya sebagai pelacur jalang. Lalu dia malah mengancamku
bahwa dia tetap akan mengatakan aku dan dia telah berhubungan sex pada orang banyak
termasuk pacar-pacarku jikapun waktu itu aku menolak untuk bermesraan dengannya.
Tapi aku tidak ambil pusing dengan gertakannya. Aku tidak mau melayani permainan
berahinya. Hingga dia mungkin kecewa dan kesal padaku. Aku membiarkannya sendirian di
mobil. Aku menuju alun-alun. Aku berbaur dengan penonton yang lagi suka citanya dimabuk
kepayang hingar bingar meriahnya konser sebuah band yang baru naik daun. Dan disitu aku
bertemu dengan pacarku yang lain sedang asyik ngedance dengan Very cowok teman
sekolahku sendiri. Dialah cewek yang paling matre diantara pacar-pacarku. Namanya Monee.
Rupanya Very mengenali kedatanganku. Ia langsung menghampiriku dengan sikap
yang tidak bersahabat. Diluar kesadaranku, Very yang sedang mabuk berat langsung
memukulku. Monee yang mungkin sama mabuknya menarik Very untuk menjauhiku.
Sayangnya mereka sedang berada diluar kontrol syaraf normalnya sehingga keduanya yang
sedang berlawanan emosi itu terjatuh di tengah sesak gempitanya penonton. Aku kalut
sesegera mungkin menolongnya yang terpekik dan menjerit-jerit histeris terinjak-injak kaki
para penonton yang berjubel. Aku berusaha menyibakan penonton dan membantu mereka
untuk segera bangkit. Untungnya Very tidak begitu parah meskipun kakinya mungkin lecet
terinjak-injak kaki orang. Dengan tergopoh ia bangkit berdiri. Namun Monee, tubuhnya yang
terjatuh ke tanah itu langsung tertindih tubuh-tubuh penonton lain yang oleng dan tumbang
tertubruknya. Suasana jadi tidak menentu. Ada beberapa penonton yang ribut karenanya, ada
juga yang santai saja terpusat pada panggung hiburan yang kian melantunkan irama yang
menghentak-hentak.
Dengan susah payah aku berhasil membopong Monee keluar arena dibantu Very yang
malah merepotkan. Monee yang setengah sadar ku bawa menuju mobilku dimana Vegina
pacarku yang pelacur itu ku tinggal disana. Sungguh sesuatu yang sangat-sangat diluar
dugaanku sama sekali. Sesampainya di mobilku, aku langsung dihajar seorang lelaki tak ku
kenal hingga akhirnya aku pingsan.
Malam itu aku naas sekali. Aku baru sadarkan diri jam tiga dini hari. Aku dapatkan
diriku terkulai di jok depan mobilku. Mobil yang terparkir di tepi jalan yang sepi. Aku sudah
tidak mendapati siapa-siapa lagi. Monee, Very dan Vegina entah sudah pada kemana. Aku
tinggal sendiri dengan bibir bawahku yang pecah dan terasa perih seiring kepalaku yang
sangat tidak keruan sekali rasanya.
Dengan sangat memaksakan diri akupun segera mengendarai mobil menuju pulang.
Diperjalanan aku dicegat segerombol banci yang lagi pada jalan kaki sambil nunggu lewat
kendaraan umum untuk membawanya pulang. Banci-banci yang habis nonton konser band di
alun-alun itu. Yang kebetulan malam itu pada apes tidak menemukan pasien hingga kantong
mereka pada tipis tidak punya ongkos ojek buat balik ke sarangnya.  
Aku yang sangat perlahan menjalankan laju mobil tak bisa menghindar dari
kerubutannya. Hingga akhirnya akupun mempersilahkan mereka buat numpang di mobilku.
Dasar banci-banci edan yang lagi kelaparan kali, ke sembilan mereka berdesak memenuhi
mobilku serta pada berkelakar ingin di depan semua duduk disampingku. Dan yang berhasil
mendamaikan mereka serta mendapatkan duduk disampingku itu ternyata dia adalah
germonya. Perempuan tulen 60 tahun bergaya ABG dengan rambut putihnya yang pakai jepit.
Germo itu mengaku namanya Mrs. Pipanci. Ia sangat terkejut ketika mengenali
keadaan wajahku yang biru lebam dengan rona merah darah yang masih berbekas di bibirku.
Ia bergaya sok perhatian berperilaku lembut dan dengan sangat halus mengusap-usap raut
mukaku dengan tissue. Sungguh aku sangat alergi sekali apalagi ketika Pipanci merangkulku
dengan menyenderkan kepalanya di pundakku. Bayangkan perempuan peot 60 tahun, laksana
aku dipeluk kuntilanak saja sambil bergidik ngeri. Jangankan nenek-nenek setua itu, gadis
tercantik sekalipun kiranya tidaklah sanggup membangkitkan gairah sexku. Apalagi ini …
meskipun parfumnya semerbak sewilayah kecamatan, tetap saja nenek peot tua renta itu bau
tanah di hidungku. Hingga para bancipun gaduh mengirikan sikap kemesraan pimpinannya
terhadapku.
Lagi-lagi aku terjebak dalam kenaasan di penghujung malam itu. Sekiraku
pedumukan waria itu dekat, eh tak tahunya nyampe hampir satu jam aku dibawa perjalanan
mereka menuju gubuknya itu. Sesampainya disana, sungguh para waria jalang. Mereka pada
menawarkan dirinya untukku pakai sebagai imbalan balas jasa pengantarannya. Banci-banci
genit itu pada bertengkar dan saling menggerutu satu sama lain. Lalu akhirnya bubar ketika
aku menolaknya dengan tegas seiring titah sang Mrs. Pipanci yang memerintahkan mereka
untuk segera kembali ke sarangnya masing-masing. Aku segera cabut setelah aku menolak
tawaran Mrs. Pipanci untuk singgah di rumahnya. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata
gerombolan banci itu mencegatku di tikungan jalan dan memaksaku menghentikan mobil.
Aku tidak bisa apa. Tidak mungkin kalau harus menabrak lari mereka. Akupun menghentikan
mobilku. Kemudian mereka masuk lagi semua ke mobilku. Aku tidak berdaya ketika mereka
menerali pergerakanku dengan tangan-tangan kasarnya. Salah satunya mengambil kemudi
dan mengarahkan mobil menuju sebuah rumah tempat dimana mereka biasa berkumpul dan
berbagi informasi bermusyawarah merundingkan rencana-rencana kegiatannya.
Di rumah yang nyaman itulah seorang Muslim teraniaya kehormatannya. Aku
ditelanjangi. Tubuhku laksana seonggok tulang ikan teri dikerubuti semut. Aku yang tidak
berkekuatan hanya bisa pasrah pada keadaan. Di subuh itu aku bermandikan air liur para
waria yang haus sex. Mereka menjilati sekujur tubuhku. Tidak memperdulikan suara keluh
kesakitanku menahan perih pecah bibirku yang harus terkena uluman dan gigitan mereka.
Aku sangat merasa getir sekali menjadi nasi tumpeng di tengah pesta mereka. Gigitan-gigitan
liar bergerayangan disana-sini. Aku memejamkan mataku entahlah apa yang aku rasakan.
Antara ketegangan dan nikmatnya rangsangan yang mereka tebarkan serasa jiwaku terayun
ambing. Mereka bergantian mengulum kelaminku. Tak bosan-bosan mereka
mempermainkannya sampai aku merasa ngilu dan kesakitan.
Akhirnya aku terkulai di atas lantai bersimbah peluh dan bau ludah yang menyebalkan
serta anyir air mani mereka yang muncrat di atas permukaan tubuhku. Aku sangat lemah
sekali. Tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku digotong mereka ke kamar
mandi. Kemudian aku dimandikan sebersih mungkin. Sehabis mandi aku dibawa ke kamar
dan dibaringkan di atas kasur busa yang hangat. Aku diselimutinya. Lalu akupun tertidur
nyenyak sekali.
Siang hari aku terbangun. Di meja kecil di sudut kamar itu sudah tersedia hidangan
sarapan beserta sajian lezat lainnya. Aku lekas mengenakan bajuku yang tergantung di
dinding. Aku tidak menghiraukan hidangan itu. Aku bergegas keluar. Rumah itu sepi. Tak
ada seorangpun banci yang aku temui. Di halaman rumah mobilku terparkir. Tanpa pikir
panjang lagi akupun segera cabut pergi meninggalkan tempat biadab itu, setelah dirasa tak
ada sesuatu apapun yang hilang dari semua kepemilikanku selain terenggutnya kesucian
harga diriku.
Dari semua rentetan peristiwa yang menimpaku itu menghasilkan mentalku yang
menjadi sangat labil pada keyakinan jati diriku. Jiwaku kacau balau! Kisah pacaranku
berantakan. Dan aku membiarkan semuanya terjadi tanpa perlu aku harus memperbaiki
hubunganku lagi dengan mereka. Aku membiarkan diriku apa adanya. Yang tak jarang suka
tergetar hati ketika melihat sosok-sosok cowok tampan sahabatku. Hingga aku berteman
dekat sekali dengan Elqo, seorang remaja korban pergaulan bebas. Yang tampilannya selalu
bersih dan rapi meskipun seorang pemabuk yang doyannya main. Elqo orangnya caper sekali
kepadaku. Suka memujiku. Melebih-lebihkanku hingga membuat aku simfati padanya. Dia
senang sekali mengajakku bermain. Memperkenalkanku pada dunia pergaulannya. Carut-
marut dunia bebasnya. Sampai ujungnya akupun tahu kalau Elqo itu sebenarnya seorang
gigolo.
Diapun bercerita tentang perjalanan hidupnya. Dunia pelacurannya itu berawal dari
titah tantenya sendiri. Karena di Jakarta ia tinggal bersama tantenya. Numpang untuk sekedar
tempat tinggal selama dia menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Dan di rumah itulah ia
diajari tantenya bermain sex. Latihan sex sambil mempraktekannya pada si tante disaat
omnya belum pulang dari kerjanya. Lewat tantenya pula Elqo diterjunkan pada indahnya
dunia gigolo. Tantenyalah yang memanagerinya sebagai gigolo yang sukses dan berkelas.
Hingga akhirnya Elqo sempat menjadi pacar kontrak juga jadi cowok simpanan seorang
selebritis.  
Sebagai gigolo yang profesiaonal yang tentunya punya target mendapatkan uang
sebanyak mungkin. Tak jarang iapun dikontak dan diajak kencan kaum gay. Pernah juga ia
ditawari sebuah rumah dan mobil mewah oleh actor gay Indonesia yang beberapa tahun ke
belakang sempat meraih award sebagai actor terbaiknya Indonesa. Tapi Elqo menolaknya
karena ia tidak siap apabila terlalu dini ia harus meninggalkan masa remajanya. Karena
harapan akhir hidupnya ia ingin menjadi orang baik-baik yang normal dan berkeluarga
layaknya sebagaimana titah agamanya.
Dan karena ketampanan serta kejantanan sifat keheterosexkannya yang mengalir
begitu saja diluar jiwa sadarnya, menjadikan dia playgigolo super star yang cemerlang
perjalanan kariernya. Diusianya yang baru berkepala tiga, Elqo sudah mempunyai rumah dan
kendaraan sendiri tanpa harus terikat total hubungannya oleh siapapun pelanggannya. Juga
herannya sepanjang aku mengenalinya, aku tidak pernah sekalipun melihat sifat
materialistisnya terhadapku. Malahan ia sendiri yang pertama kali menawarkan aku sebuah
permainan sex. Elqo sangat fasih banget mengemukakan pemahamannya tentang sex. Seolah-
olah ia mau menyadarkan aku bahwa berhubungan sex itu adalah sesuatu yang benar dan
sangat penting dalam kehidupan ini biar bagaimanapun alasan dan hukumnya. Mungkin
setadinya niat Elqo itu maksudnya ia masih manaruh simfati dan rasa hormatnya padaku
sebagai anak dari keluarga terpandang hingga selalu hati-hati dan penuh kelembutan
memperjelas masalah sex. Tapi dibuatnya Elqo terhenyak ketika tahu bagaimana cerita
tentang perjalanan sexku.
Maka semenjak itulah aku dan Elqo sering berhubungan sex. Dan kenang-kenangan
darinya pula anting-anting yang terpasang di kelaminku. Dialah yang menindiknya. Sebab
karena anting-anting yang terpasang di kemalinnya pula yang banyak memuaskan pasangan
bercintanya…” Muslim mengakhiri cerita panjang sejarah perjalanan sexnya.
 
5   ‘TERBUKAlah dengan cinta’
 
 
Christian yang serius mendengarkannya segera memperlambat laju
mobilnya. Tak lama ia menghentikannya di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar
dan megah. Lalu setelah sekian lama terdiam iapun berujar,
“Keluargamu tahu tentang bagaimana kisahmu?”
“Tak ada seorangpun yang tahu,” Muslim melihat ke gerbang. “Coba klakson. Biar si
Paman membukakan gerbang.”                                  
Christian pun membunyikan klakson beberapa kali. “Termasuk ibumu?”
“Begitulah.”
“Kalau mereka tidak tahu, lantas kau bilang ibumu menyetujui kebebasan monosex
bukan karena atas obok-obok aku atau atas tuntutan masa saja itu maksudnya karena atas
dasar apa kalau tidak bermula karena latar belakang kelainan sex anggota keluarganya yaitu
kamu?”
“Ibuku mengetahuinya atas pengaduan Alpin teman kuliahku.”
“Kok bisa seorang Alpin tahu kepribadianmu?”
“Peristiwanya saat liburan di pantai Anyer. Ku kenal dia karena kesok kenalan dan
kesok dekatannya dia. Sikapnya yang sok akrab membuat perkenalanku yang sebentar seperti
sudah berteman lama saja. Waktu itu dia semester enam sementara aku baru semester empat.
Aku yang sengaja ngajak dia wisata ke Anyer. Aku yang mengongkosi dan
membiayai perjalanannya selama liburan. Karena ku tahu diantara mahasiswa yang lain
dialah yang paling boke dan paling pintarnya cari muka. Tipenya sangat caper banget. Dia
curhat segala macam problematika hidupnya yang ujung-ujungnya ia cerita soal belum
terlunasinya tunggakan dua semester terakhirnya. Aku coba bercerita soal gay. Dia langsung
cepat tanggap dan berceloteh panjang lebar tentang pendapatnya soal gay. Dan ketika aku
mengusulkan pendapat bagaimana seandainya kalau ada seorang gay yang mengajaknya
kencan. Ternyata dia tidak keberatan asalkan bisa menarik keuntungan buatnya. Maka tanpa
negoisiasi yang lain-lain lagi aku dengan Alpin pun menginap di sebuah hotel pantai Anyer.
Disanalah kami bercinta dengan biaya operasional aku siap membayarkan tunggakan bayaran
dua semesternya Alpin.
Tapi goblognya seorang Alpin. Dikasih hati minta jantung. Dia malah ngebocorin
permainan sexnya itu pada ibuku yang lagi menjabat sebagai rector. Bagaimana tidak ibuku
marah sekali padanya serta memandang aduannya itu hanyalah fitnah dan rekayasa buat
menghancurkan reputasi baikku dan ibu. Hingga ibuku tak segan-segan langsung menindak
Alpin dengan mencabut kartu kemahasiswaan Alpin di UIN.
Aku merasa nuraniku tiba-tiba berontak. Hati kecilku mengecam tindak ibuku. Ibuku
memang tidak salah. Tapi aku. Apakah aku tega membiarkan hukum ketidak adilan
merenggut Alpin sementara aku sebagai pelaku utamanya terbebas riang dan bertepuk
tangan?
Maka dari itu aku dengan ibuku terjadi debat yang alot. Yang akhirnya berat-berat
juga ibuku menyerah pada kenyataan dan dengan sangat terpaksa sekali harus menerima fakta
bahwa anaknya memang seorang gay. Lalu ibuku kembali mengklarifikasi gugatannya
terhadap Alpin, bahwa senyatanya telah terjadi kesalah pahaman antara informasi Alpin
dengan komfirmasi yang telah ibuku ikrarkan.
Semenjak itu keuanganku dijatah. Aku harus menepati janjiku untuk tidak lagi
berhubungan dekat dengan Alpin jika aku memang masih mau melihat Alpin berpendidikan
di UIN. Aku pun memang tidak begitu berkepentingan dengannya. Lagipula aku tahu kalau
dia sudah punya tunangan seorang gadis yang masih sekota dengannya. Meskipun tidak
jarang ia mencuri-curi waktu untuk menemuiku dan menawarkan kencan lagi sebagai ucapan
terima kasihnya. Aku menolaknya. Dan tidak pernah terjadi lagi hubungan sampai dia lulus
sarjananya. Kasihan memang, percuma saja dia lulus juga jika ijazahnya belum juga tertebus
sampai saat ini. Alpin lebih mendahulukan kawin daripada melunasi tunggakan biaya
kuliahnya yang masih menggantung besar,” Muslim melihat ke gerbang seperti yang kesal
belum ada juga pembantu rumah yang nongol untuk membukakannya.
“Coba klakson lagi!” seru Muslim.
Christian kembali membunyikan klakson hingga beberapa kali serta sengaja
menekannya beberapa saat hingga menjerit kencang memekakan suasana sore kawasan itu.
“Biar aku saja yang bukain,” Christian menawarkan dirinya untuk turun setelah sesaat
belum nampak juga orang rumah yang mau membukakan pintu gerbang.
“Bukan gitu. Soalnya gembok gerbangnya di kunci,” tukas Muslim seraya merogoh
HP-nya.
“Biar aku telepon dulu. Mungkin saja mereka tidak mendengar nyaringnya bunyi
klakson,” Muslim segera menghubungi nomor rumah.
“Halo!” suara perempuan yang mengangkat telepon dari sana.
“Halo, Bi lagi ngapain? Bisa tolong bukain kunci gerbang dulu sebentar, gak?”
“Aduh Bang Muslim. Kemana aja? Kenapa dihubungi gak nyambung-nyambung?
Ayah dan ibu marah-marah tahu! Emangnya ada kepentingan rahasia apa sih nyampe Hp pun
gak diaktifin segala?”
“Eh, Fit. Kapan kau balik?”
“Kemarin.”
“Mama sama Papa ada di rumah gak?”
“Gak ada. Lagi jalan-jalan.”
“Yang bener aja kau!”
“Makanya kalo maen mesti tahu waktu. Berlaga sok gak penting aja dengan keluarga.
Makin serampangan banget ya sekarang?”
“Udah. Entarlah konfirmasinya. Si Paman sama Bi Bibi pada kemana? Tolong bukain
gerbang gitu. Cepetan!”
“Si Paman lagi mandi. Si Bibi ikut jalan-jalan. Paling nanti maghrib pulangnya juga.
Apa aku harus nyuruh si Paman telanjang bulat bukain gerbang sekarang atau nyuruh si Bibi
segera pulang?”
“Ribet amat sih. Kamu aja deh. Please, my beautiful sister. Help me!” Muslim
merayu.
“Rasain aja deh. Jadi orang sabar itu di kasih Tuhan. Anggap aja balasan buat orang
yang lalai akan kedisiplinannya terhadap keluarganya. Semoga sadar ya!”
“Hai, Fit! Kamu jangan macem-macem ya. Entar kamu tahu rasa. Ngertiin aku dong.
Malu ama temen nih. Baru kali ini kemari udah disambut sikap kurang baik. Tolong bukain
gerbang sekarang ya. Okey!”
“Tunggu aja. Thanks banget ya udah mau balik ke rumah. Soalnya ada sesuatu yang
penting banget.”
“Ada apaan sih?”
“Entar aja ya konfirmasinya,” Fitrea menirukan kalimat kakaknya sungguh
menambah kekesalan dan kejengkelan di hati Muslim.
Muslim enek sekali pada kelakuan adiknya itu. Ditambah lagi ia segera memutuskan
komunikasinya. Hingga karena tidak puasnya Muslim kembali mengontak nomor rumahnya.
“Percuma deh Most. Dia gak bakalan ngangkat. Mendingan kita tunggu aja. Tuh
kebetulan Si Paman kayaknya kemari,” Christian memperhatikan sesosok laki-laki dari dalam
berjalan menuju gerbang.
Muslim melihatnya. Wajahnya berseri. Itu memang Si Paman pembantunya. Lalu ia
segera menghentikan usahanya untuk menelpon adiknya.
“Maaf banget ya Christ atas ketidakdewasaan sikap adikku,” ucap Muslim mohon
pengertian.
“Gak apa-apa. Tapi sory aja ya jika entar aku memalukan dihadapan keluargamu.
Soalnya aku kurang begitu tahu bagaimana baiknya berlaku sopan santun. Maklumlah aku
tidak begitu mengenal benar didikan bertata krama.”
Setelah Si Paman membukakan gerbang, Christian pun melajukan mobilnya perlahan
memasuki pekarangan rumah Muslim yang sangat luas. Sengaja diparkir dibawah pohon
bunga bugenfil yang sedang merekah merah putih mahkotanya sangat mempesona. Muslim
pun segera turun diikuti Christian yang kemudian melangkah mengikutinya.
“Paman! Benarkah Mama lagi pada jalan keluar?”
“Iya,” Si Paman menganggukan kepalanya hormat.
“Siapa yang mengemudi mobil? Papa?”
“Bapak yang minta.”
“Katanya barusan habis mandi, tapi kenapa masih kucel gitu?” Muslim heran melihat
keadaan tubuh Si Paman yang masih belepotan tanah kering yang nempel di keringatnya.
“Siapa bilang? Paman barusan habis menggali tanah di halaman belakang
menanamkan pohon pisang hias dekat kolam ikan hias,” sahut Si Paman sambil tersenyum.
“Oh ya? Huh, awas lo ya Fit udah berani ngerjain Abang!” Muslim geram serta
mempercepat laju langkahnya tak sabar sekali tampaknya ingin segera melakukan
pembalasan terhadap adiknya.      
“Fitrea! Fitrea!” Muslim berteriak-teriak memanggil adiknya yang tidak menampakan
batang hidungnya di ruangan itu.
“Tut…tit…tut…tot-tot-tot-end!” ponsel Muslim berbunyi.
“Hai dimana kau tukang ngibul?” tanya Muslim segera pada adiknya yang mau-
maunya buat menghubunginya.
“Bang, temennya sangat ganteng juga tuh! Buat Fitrea aja ya!”
“Gak bakalan doyan ama cewek macam kamu yang udah dibuatnya pusing,” Muslim
berlari menaiki lantai atas dimana letak kamar Fitrea berada bersebelahan dengan kamarnya.
“Maca, cih! Iang bener aca cali!”
Muslim segera membuka pintu kamar Fitrea. Blak…! Kosong!
“Hai cewek konyol dimana kau?”
“Cari aja sendiri!”
“Aku acak-acak ya kamarmu biar berantakan!” ancam Muslim
“Emangnya aku bakalan rugi? Biasa aja kali! Yang repot kan Si Bibi juga buat
ngeberesinnya. Kalopun ada kerusakan kan Papa yang bertindak. Jadi Abangku yang…”
“Hai!” bentak Muslim kesal.
“Sorry ya aku kebelet mau ke kamar mandi. And aku pinjem DVD The Drunk
Flyrabbit-nya ya.”
“Wei jangan!” teriak Muslim panik  berlari cepat keluar kamar Fitrea menuju
kamarnya.
“Fitrea!” teriak Muslim membuka kamarnya yang juga kosong tak ada sosok Fitrea
juga disana.
“Dasar orang pandir!” terdengar teriakan Fitrea dari lantai dasar membuat Muslim
serentak berlari-lari cepat penuh kemarahan pada adiknya.
Sepintas lalu Muslim melihat bayangan Fitrea menghilang ke balik dinding tembok
ruangan dapur. Iapun lekas mengejarnya menyusul Fitrea yang tiba-tiba menjerit terpekik
kaget.
“Fitrea!” Muslim pun sangat terkejut mendengarnya segera menuju sumber suara
jeritannya.
“Kamu kenapa?” Tanya Muslim segera. “Atau cuma pura-pura aja kali. Ku tangkap
kau!” Muslim menangkap tangan Fitrea yang membelakanginya.
“Maaf!”
Muslim terkejut melihat Christian yang muncul dari toilet. “Habis ngapain Christ?”
“H, buang air kecil. Tadinya mau lepas mandi. Tapi ketika baru buka baju adikmu
membuka pintu dari luar. Aku ngaku salah. H … enggak ngunci dulu pintunya. Maaf ya …!”
terang Christian sambil menyelendangkan kaosnya ke pundak.
“Gak apa-apa. Salah adikku sendiri jadi orang asal ceplos aja. Tapi lain kali kalo
kamu pengen apa-apa ngomong dulu sama aku,” Muslim sedikit menampakan sikap
ketidaksukaannya.
“Iya. Maafin aku juga Mister. Ini salah kakakku juga sih. Ada tamu dibiarin aja,
mestinya ia memperlakukannya penuh dengan perhatian,” Fitrea juga minta maaf sambil
menyudutkan kakaknya dengan matanya lekat memandang tubuh Christian yang hanya
mengenakan celana jean saja. Hingga tato-tatonya tampak jelas beserta anting-anting yang
menghias puting susunya. Fitrea segera menepiskan tangan Muslim yang memeganginya.
“Kemana kau?”
“Udah dibilangin aku kebelet sedari tadi,” Fitrea meronta.
“Cuma alasan!”
“Atau aku kencing disini?”
“Hai Most. Kenapa sih?” Christian mempertanyakan Muslim heran.
“Okey! Tapi kalo kamu macam-macam, awas ya!”
“Macam-macam apaan?” Fitrea juga tidak mengerti.
“Kembaliin DVD itu. Kalo tidak!?”
“Emangnya DVD apaan sih? Cuma pengen nonton doang. Entar juga aku balikin,”
Fitrea memasuki kamar mandi lalu menutup pintunya dari dalam.
Muslim mengikutinya merapat ke pintu dan menggedornya. “Kamu menyimpannya
dimana? Biar aku ambil.”
“Hai, sopan dong jadi orang. Sudah menjadi seorang sarjana agama masih saja tidak
punya adab,” umpat Fitrea.
“Please! Adikku yang cantik. Aku mohon kamu balikin lagi DVD itu sekarang,”
Muslim memelas.
“Tidak percaya amat sih sama aku. Apa takut rusak? Biar aku entar gantiin, harganya
tidak seberapa kan?”
“Bukan masalah rusak dan menggantinya. Tapi ini soal larangan untukmu
menontonnya. Kalo kamu mau berapapun juga biar Abang beliin kaset yang lain buat
ngegantiinnya. Tapi tolong jangan putar kaset itu. Please kamu balikin sama Abang ya,”
sekali lagi Muslim mohon pengertian adiknya.
Fitrea tidak lagi mengomentari apa ajuannya. Ia terdiam tidak menyahutnya. Muslim
dibuatnya kebingungan sendiri. Dilihatnya Christian yang masih berdiri tidak mengerti
dengan tingkahnya.
“Gerah banget. Aku ingin ngadem,” ujar Christian mengungkapkan perasaan suhu
tubuhnya.
Muslim dengan raut muka yang masih menunjukan kebengalan dan kecemasannya
sekali lagi ia menggedor pintu dengan sangat kesal dan marah membuat adiknya terpekik
kaget dari dalam. Lalu ia melangkah tidak memperdulikan celaan dan makian adiknya yang
menggerutu.
“Emangnya DVD film apa?”
“My secret,” sahut Muslim pendek.
“Film kan?” Christian memperjelas keterangan Muslim.
“Iya.”
“Rekaman your self sex?  With someone or… your special film production? Or a
documenter film?”
“I hope you never know about it.”
“Why?”
“I’m fear you’ll jealous.”
“Love words is true always!” Christian menarik lengan Muslim agar menghadapnya.
Muslim menatap Christian sejenak. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya dan
berujar pelan, “I believe it. But you’re still a man.”
“What is the meaning your speak?” Christian tidak mengerti.
“That love and jealousy is together always. Godself has most jealousy when his
creature not honesty of his religion, morever the mans has very it sure.”
“Maybe … I want you …”
“I’m sory! Bukannya aku tidak meyakini cintamu padaku it’s very-very-very…”
“Maksudmu?”
“Cintamu terlalu tulus dan mulianya padaku, sedangkan aku belum tentu sesuai
dengan harapanmu,” Muslim memasuki kamarnya.
“Aku tidak perduli kamu bisa setia padaku ataupun tidak. Yang perlu kamu tahu
bahwa aku akan selalu setia untukmu,” Christian mempertegas keyakinannya.
“Thank you very much my sweetheart!” ucapan terima kasih Muslim begitu dalam
disambut kecupan mesra bibir Christian di pipinya.
“Mau mandi? Atau istirahat dulu. Tiduran? Atau ngejus apaan?” tawar Muslim sambil
menyalakan air conditioner anti bakteri sehingga ruangan kamar terasa sejuk berbaur
semerbak anggur aromaterapi.
“Nyaman banget kamarmu,” puji Christian.
“Maklumlah sifatnya juga seimbang antara laki-laki dan perempuan. Aku kontraskan
saja dengan memadukan arsiteknya sesuai fisik dan sifat sexku.”
“Kita mandi bareng aja ya,” ajak Christian.
“Takutnya kita nanti terjebak dalam keasyikan main sex.”
“Untuk itu kan ada waktunya juga. Emang sih kayaknya menyenangkan, tapi kalo
kamu gak mau ya gak apa-apa. Aku harus belajar menghormati hak asasi antar kita,”
Christian sadar diri sambil melucuti celana yang dikenakannya.
“Jangan salah pengertian gitu. Bukannya aku menolak keinginanmu untuk bermain
sex. Tapi apa sehat dalam keadaan badan kurang nyaman gini untuk melakukan hubungan?
Kalo ada waktu entar malam kita bisa bermain. Untuk sekarang kamu bersih-bersih duluan,
entar aku belakangan. Sementara kamu mandi aku buatkan jus anggur saja ya. Sebagai ganti
minuman anggur beralkoholmu. Maklum aku tidak suka naruh minuman di rumahku,” kilah
Muslim bergegas keluar kamar meninggalkan Christian yang segera masuk ke kamar mandi. 
“Kalo mau ganti baju ambil saja di lemari,” Muslim segera keluar kamar menuju
lantai dasar.
“Hai, Bang. Tamunya mana?” Tanya Fitrea yang muncul ke ruangan itu.
“Emangnya ngapain?” Muslim membuka kulkas.
“Si Mister itu orang Kristen ya?”
“Apa urusannya gitu?” Muslim mengambil buah anggur dan sebongkah es batu.
“Kok Abang berani bawa dia kemari. Apa tidak akan bermasalah nantinya sama
Mama dan Papa?”
Muslim mengambil blender dan susu kaleng. “Bukankah kita sudah dikasih didikan
agar saling menghormati perbedaan agama?”
“Tapi gimana entar kalo nenek kita yang sangat panatik itu komplen?”
“Emang kamu bawa nenek kemari?” Muslim menengok Fitrea.
“Heeh. Sekalian entar Papa mau mengajaknya ke acara ESQ,” terang Fitrea sambil
memetik beberapa buah anggur yang ditaruh Muslim dalam keranjang buah diatas meja.
“Jangan bilang sama nenek saja tentang siapa dia,” kilah Muslim.
“Dia mau baliknya kapan?” Tanya Fitrea.
“Mungkin dia nginep.”
“Syukurlah. Apa dia bisa dipercaya?”
“Maksudmu?” Muslim menyalakan blender mengaduk es batu yang sudah halus
dengan anggur dan susu.
“Suruh jaga rumah. Sebab Si Paman dan Si Bibi mau diajak serta ke acara ESQ.”
“Kan ada security?”
“Tadinya mau diajak juga dan bakal nyuruh orang tetangga buat jaga rumah.
Sayangnya Paman Satpam izin perihal keluarganya yang di Bogor kemusibahan.”
“Biar aku saja yang jaga rumah,” Muslim menuangkan jus ke dalam dua gelas diatas
nampan.
“Emangnya Papa bakal ngizinin?”
“Tapi biasanya kan dilangsungkan acaranya siang selama tiga hari.”
“ESQ khusus keluarga besar bareng rekan-rekan Papa.”
“Eh!” Muslim tiba-tiba menghentikan langkahnya seraya menoleh Fitrea yang sedang
menuangkan sisa jus dalam blender.
“Mana DVD itu?” Tanya Muslim teringatkan lagi.
“Iya. Entar aku kembaliin. Napa sih?”
“Kamu jangan memutarnya. Kembaliin sekarang.”
“Heeh. Aku bakal anterin ke kamar sekarang juga. Cemas banget.”
“Awas kalo tidak!” ancam Muslim sambil kembali melangkahkan kakinya menuju
kamarnya.
Di kamarnya Christian baru selesai mandinya. Ia hanya mengenakan handuk sebatas
pinggangnya. Muslim menaruh nampan di atas meja kecil disamping twalet. Fitrea pun
muncul di ambang pintu kamar sambil tersenyum memangggil Muslim,
“Ini DVD-nya,” Fitrea menyerahkannya pada Muslim.
“Kamu tidak menontonnya, kan?”
“Belum.”
“Nah gitu dong. Jadi orang mesti pengertian. Baru itu namanya adikku yang baik dan
cantik. Thanks ya!” Muslim mengusap-usap ubun-ubun kepala Fitrea.
“Nenek nanyain di bawah,” kabar Fitrea.
“Udah pada balik dari jalannya?”
“Barusan.”
“Bentar aku nyusul.”
“Jangan lama-lama. Jangan buat nenek menemui Abang kemari,” kata Fitrea kembali
berbalik pergi.
“Christ, cepetan pake baju. Sekalian copot anting-antingmu itu. Juga tolong
bersikaplah sewajarnya sebagai seorang tamu yang penuh tata krama dan tahu sopan santun.
Bagaimanapun juga aku tidak mungkin dapat menyembunyikan keberadaanmu. Yang aku
takutkan kamu entar bermasalah dengan nenekku yang sangat panatik. Kamu diam aja di
kamar. Syukur-syukur dia tidak nanyain. Kalo sampai maksa ingin kenal kamu kan repot.
Aku menemui mereka dulu ya. Sekalian sudah pasti shalat berjamaah maghrib dulu,” setelah
cukup berpesan pada Christian, Muslim pun lekas meninggalkan kamarnya menemui
neneknya yang dulu menjadi wali asuhnya selama pendidikan sekolah dasarnya waktu di
desa.
Baru saja sampai di tepi tangga, neneknya sudah nampak sedang menaiki tangga
menujunya.
“Hai, Nek!” sapa Muslim mencegatnya.
“Assalamualaikum,” Muslim menyalaminya.
“Waalaikumussalam, Cu,” neneknya berlinang air mata menatap tajam dan
mengusap-usap bahu Muslim.
“Gimana kabarnya, Nek?”
“Alhamdulillah kalo soal materi tidak kekurangan. Tapi soal hati, Nenek tidak
tercukupi. Kangen ingin bercinta dengan Kakekmu yang sudah meninggal. Ingin sekali
Nenek mencari gantinya. Inginnya seorang perjaka yang ganteng dan perkasa. Tapi Nenek
tahu diri. Lalu Nenek jatuh hati pada sang Ustad guru ngajimu dulu itu. Nenek kira Ustad
mengerti perasaan Nenek. Eh tidak tahunya dia malah menyakiti hati Nenek. Nenek sangat
sakit hati sekali padanya. Dia menolak cinta Nenek. Katanya ia tidak mau berpoligami. Ia
sudah merasa cukup dengan satu istri. Nenek sungguh sangat kecewa sekali. Nenek pikir
Ustad itu bodoh tidak melihat dan tidak mengikuti jejak Rasul yang punya istri banyak dan
sangat ingin membahagiakan janda-janda tua yang terlantar butuh cinta kasih sayang. Nenek
sedih sekali Alim,” Nenek memeluk tubuh Muslim begitu erat sambil menangis meratapi
nasibnya.
“… Nenek kesepian. Nenek butuh cinta. Nenek merasa dilecehkan oleh Ustad itu. Dia
pikir dia itu siapa. Bangunan pondok pesantrennya juga berdiri karena sebagian besar
sumbangan dari Nenek. Mesjid pun mungkin tidak akan semegah sekarang kalo tanpa
bantuan dari Nenek. Mereka tidak mau balas budi. Mereka mencampakkan Nenek. Dulu
ketika Nenek masih muda Nenek banyak sekali yang melamar. Tapi sekarang mereka hanya
ingin memanfaatkan Nenek buat memeras uangnya saja. Nenek tidak terima. Nenek sakit
hati. Nenek benci pada masyarakat kampung. Nenek tidak ingin pulang lagi. Nenek mau
tinggal disini. Biar Nenek bisa menikmati menciumi dan mencumbu perjaka ganteng
sepertimu, Alim…” Nenek menciumi wajah Muslim hingga belepotan bau air liurnya.
Muslim berusaha meronta melepaskan diriya dengan lembut dari pelukan neneknya
yang kayak kesurupan.
“Nek. Sudahlah malu sama Papa dan Mama. Lagipula ada tamu,” ujar Muslim halus.
“Kita sembahyang maghrib dulu. Nanti kita bisa melepas rindu selepas shalat,” ajak
Muslim memapah neneknya kembali turun.
“Bu. Sudah mengambil air wudlu?” Tanya Pak Martin Hamzah ayahnya Muslim.
“Buat apa?” Nenek Honey (sebagai panggilan dari nama aslinya Haniyah Hartinah)
balik nanya pada anaknya itu.                
“Kita shalat maghrib bersama,” jawab Pak Martin.
“Aku males ketemu Allah. Aku sedang perang dingin dengannya,” celoteh Nenek
Honey mengejutkan.
“Bu! Ibu jangan berkata demikian. Itu sangat tidak baik,” Pak Martin mengingatkan
ibunya.
“Martin. Aku lebih tua darimu. Aku lebih banyak pengalaman darimu. Ilmuku lebih
luas darimu. Pengetahuanku lebih dalam darimu. Ajaran agama Islam yang mana yang belum
aku kuasai? Sejak kecil sampai tiga bulan yang lalu aku taat pada Allah. Aku
menyembahnya. Aku memujanya. Aku melaksanakan segala perintahnya. Aku menjauhi
segala larangannya. Aku menyeimbangkan mencari rizkiku dengan ibadah. Sehingga
kehidupan rumah tanggaku perkembangan ekonominya meskipun sedang-sedang saja tetapi
penuh dengan berkah. Aku dan suamiku menyedekahkan sebagian besar harta kekayaan buat
pembangunan kemajuan agama. Tapi kenapa Allah tidak mengabulkan segala permintaanku
yang ingin sehidup dan semati dengan suamiku? Allah sengaja membuat aku berdosa dengan
mengingkari perjanjian sehidup sematiku. Allah mengambil nyawa ayahmu sementara
nyawaku tidak. Padahal demi memperpanjang nyawa ayahmu, aku sudah berusaha membawa
ayahmu yang sedang sakit untuk berkeliling wilayah buat silaturahmi dengan penduduk
sambil membagikan sedekah guna memperpanjang umur ayahmu. Karena dalam keterangan
sebuah riwayat, orang yang sedang menghadapi kematian dapat diundur waktunya dan
diperpanjang hidupnya dengan silaturahmi dan berbagi sedekah. Tapi kenapa suamiku
akhirnya mati juga? Aku kecewa pada Allah yang telah berdusta. Aku sakit hati padanya. Dia
tidak adil. Masa suamiku mati langsung disambut 40 bidadari sedangkan aku yang masih
hidup tidak dikasih satupun suami. Allah telah memisahkan cintaku. Allah telah menjadi
jurang pemisah kebahagiaanku dengan suamiku. Allah sengaja merayu-rayu suamiku agar
mau mati dan diiming-imingi surga. Sehingga suamiku berpaling dariku dan mencampakkan
aku yang sudah peot…” Nenek Honey sesenggukan seperti anak kecil sambil sesekali lantang
mengumpat Tuhannya.
Muslim, Fitrea, Pak Martin, Si Bibi dan Si Paman pada terdiam tidak mengerti. Bu
Latifa muncul dengan terheran-heran melihat keadaan mereka yang masih belum bersiap-siap
untuk sembahyang.
“Ada apa gerangan belum pada siap shalat?” Tanya Bu Latifa segera.
“… Bu! Ibu jangan keliru memaknai riwayat orang yang dipanjangkan umurnya
karena silaturahmi dan bersedekah itu. Kita harus punya pemahaman yang luas. Bukankah
dengan silaturahmi dan membagikan sedekah yang dilakukan Ibu dengan Almarhum Bapak
juga seyogyanya telah memanjangkan umur nama baik Bapak dengan selalu dikenangnya
oleh masyarakat atas segala amal baik yang telah dilakukannya semasa hidup? Nama Bapak
itu akan selalu hidup di hati orang yang telah tersentuh kebaikannya,” Pak Martin mencoba
memberi paham baik. 
 “Jika kalian pada ketemu Allah, tolong sampein pesanku padanya. Bahwa aku tidak
akan segera menghadap-Nya lagi jika belum mempertemukan aku dengan suamiku atau
memberikan penggantinya yang lebih muda dan lebih gagah seimbang dengan pesona para
bidadari yang melayani suamiku di surga. Biar Allah tahu rasa bagaimana jengkel dan
kesalnya akibat ulahnya sendiri yang sudah menganiaya makhluk-Nya,” kilah Nenek Honey
sambil berlalu kembali menaiki tangga menuju lantai atas. Ia mengarah menuju kamar
Muslim. Lalu dibukanya pintu kamar itu. Ia terkejut melihat Christian yang juga terkejut
sedang mengontakkan lampu kamar hingga suasana terang dan jelas.
“Kamu siapa?” Tanya Nenek Honey segera.
“Temannya Muslim,” jawab Christian agak kikuk juga.
“Kenapa kamu tidak shalat?”
“Nenek sendiri?” Christian balik nanya.
“Aku sedang halangan.”
“Ada-ada saja. Halangan? Menstruasi maksudnya?”
“Kamu pongah juga ya!?” Nenek Honey menampakan sikap tersinggungnya.
“Islam tidak mengajarkan umatnya supaya galak. Mana dong keramahannya? Gak
malu apa sama Mohammed?” Christian begitu santainya melayani Nenek Honey berbicara.
“Nek. Nenek itu aneh. Mana ada perempuan setua nenek yang masih menstruasi.
Seusia nenek itu udah masanya menopause. Tidak subur lagi, tahu!” lanjut Christian
menceramahi nenek tua itu.
“Kalo gitu, kalo kamu tidak mau shalat kita sembunyi aja disini. Mudah-mudahan
malaikat pencatat amal tidak mengetahui keberadaan kita,” Nenek Honey seraya menutup
pintu dari dalam.
Christian jadi terheran-heran dengan nenek-nenek itu. Bukankah kata Muslim
neneknya itu seorang yang panatik beragama? Tapi kenyataannya kok!?...
“Tidak shalat juga aku tidak akan dituntut Tuhanku. Malahan kalo shalat aku malah
kena laknat-Nya,” tukas Christian.
“Enak dong! Gimana caranya kamu dapat menaklukan Tuhan kayak gitu?”
“Karena aku bukan seorang muslim. Jadi aku tidak diwajibkan shalat,” timpal
Christian tegas dan sedikit jengkel pada nenek tua itu yang berani-beraninya menggenggam
tangannya.
“Jadi!?...” Nenek Honey menatap Christian.
“Agamaku Kristen,” jelas Christian.
“Aduh kebetulan. Gimana kita ngobrolnya sambil duduk aja biar lebih enjoy?” Nenek
Honey menarik lengan Christian dengan genit mengajaknya duduk di tepi pembaringan.
“Kamu romantis banget deh. Sengaja ya menyetel film porno biar nambah gairahku.
Padahal tanpa menonton film porno juga gelora sexku mudah terangsang,” celoteh Nenek
Honey melihat monitor laptop yang entah sedang menayangkan acara apa. Hanya sesekali
tampak close up sosok lelaki telanjang dada saja lagi angkat besi.
“Hai, ganteng! Bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa menerima cintamu. Aku
tetap menginginkan pasanganku yang seagama denganku,” kilah Nenek Honey membuat
Christian jadi memecahkan tawanya sangat lucu sekali dibalik rasa sebalnya.
“Tapi … kalo dipinang sama Tuhanmu, aku tidak keberatan. Aku rela menjadi istri
keduanya. Betapa mulianya aku dapat dipersunting Dia. Aku akan panas-panasi suamiku
yang sudah berada di surga dengan para bidadari. Aku akan berkunjung ke surganya bersama
Tuhan Bapak yang menjadi suamiku. Bukankah kekuasaan Tuhanmu berdekataan dengan
pusat pemerintahan Tuhanku?”
Christian jadi kebingungan sendiri menghadapi sikap Nenek Honey yang perilakunya
diluar realita manusia.
“Nek! Sadar diri dong. Nenek itu sudah tua. Jangan ngaco. Saatnya Nenek sekarang
mempersiapkan diri buat menghadap Tuhan dengan banyak beribadah. Banyak berdo’a.
Bertaubat. Menyerahkan diri pada Tuhan. Sudah bukan lagi saatnya buat berhalusinasi yang
bukan-bukan. Soal perkembangan zaman dan paham agama yang kian plural biarkan saja
masih banyak generasi agama yang muda-muda untuk mengurusinya. Nenek tenang-tenang
saja melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan Nenek pada Tuhan yang Nenek yakini
ajarannya selama ini. Biar Tuhan Nenek tidak pusing menilai amal Nenek. Apakah Nenek itu
masih umatnya apa bukan? Jangan meragukan para malaikat yang menjaga Nenek. Nanti
kalo Nenek mati, tujuan roh Nenek mau kemana kalau tidak tentu arah. Apa Nenek mau
sendirian nanti di alam sana? Tidak ada satupun Tuhan yang menyahut Nenek. Apa Nenek
mau hidup abadi seorang diri berkelana dalam keterasingan di alam nanti?” Christian
berusaha mengembalikan fitrah manusia Nenek Honey.
“Aku senang sekali mendengar perkataanmu anak muda. Mumpung masih muda
kamu masuk Islam saja, gimana? Biar entar aku bersedia diajak nikah olehmu. Dan aku akan
menuruti perintahmu. Kalau kamu masih bukan Islam tak perlu ngomong banyak-banyak
lagi. Sebab tidak berhak untukmu memasukan pemahaman agamamu. Sebab tidak akan
mempan. Aku sudah punya kekebalan batin tentang Tuhanku.”
“Nek! Nenek bilang aku ini masih muda. Ganteng lagi. Pastinya bakalan mikir dulu
nerima tawaran nikah sama perempuan tua kayak Nenek. Pasanganku ya, yang muda lagi
dong,” elak Christian lekas berdiri.
“Kau telah menghinaku ya? Padahal dulu aku ini cantik jelita. Bintang yang bersinar.
Bunga yang menawan. Apa bedanya dengan aku yang sekarang? Karena perasaanku aku
masih jasad yang sama dengan jasadku yang dulu. Perasaanku juga masih sama seperti
perasaanku yang dulu. Jiwaku masih jiwa muda yang dulu. Seleraku masih selera darah
mudaku yang dulu. Hasrat dan gairah sexku masih sekuat permainan sex masa puber dulu.
Kalau kamu meragukannya kamu boleh mencobanya. Asal nanti setelah mencoba kamu harus
tanggung jawab menikahiku. Karena menurutku apa ruginya menikah denganku?”
“Secantik dan seterkenal Dian Sastro, Luna Maya dan Marsyanda pun aku tidak akan
tergoda. Apalagi perempuan tua renta kayak Nenek, jauh-jauh deh terbang ke langit. Kenapa
Tuhan Nenek tidak sesegera mungkin menjemput Nenek yang sudah bosen hidup dan hanya
meresahkan umat manusia saja?” celoteh Christian keluar kamar meninggalkan Nenek Honey
yang langsung terdengar menjerit-jerit histeris … tetapi Christian tidak terkejut ia terus saja
melangkah menuju lantai dasar.
“Ada apa dengan nenekku Mister?” Tanya Fitrea pada Christian cemas.
“… Kurang tahu ya,” Christian pura-pura tidak tahu keadaan membuat Fitrea
langsung lari tergesa menuju suara jeritan neneknya.
“Christ! Kenapa dengan nenekku? Kamu bertemu dia, kan?” Muslim menarik lengan
Christian.
“Nenekmu gila kali, ya!” seru Christian.
“Kamu ngapain saja dengannya?”
“Ya adu bicara aja. Tapi nenekmu udah ngaco banget otaknya.”
“Harap maklum saja nenekku lagi stress. By the way kamu mau nemui Mama Papaku
atau mau menghindarinya?”
“Menurutmu baiknya gimana?”
“Inginmu sendiri bagaimana? Bukannya kamu dan Mamaku sudah saling kenal?”
“Maunya sih kenal lebih akrab lagi dengan keluargamu. Sebagai kekasihmu bukankah
itu lebih baik? Tapi yang aku khawatirkan mereka malah tidak akan menerima kehadiranku
dan akan mengecammu kalau mereka sampai tahu kita pacaran,” kilah Christian
memprediksikan keadaan yang bakal terjadi.
“Muslim!” panggil Pak Martin.
“Iya, Pak,” sahut Muslim segera.
“Kenapa dengan Nenek?” Tanya Pak Martin.
Muslim memandang Christian memohonkan jawaban atas pertanyaan ayahnya.
“Kemana orang Kristen tadi Martin?” terdengar suara Nenek Honey bertanya pada
Pak Martin.
“Maksud Ibu siapa?” Tanya Pak Martin heran pada ibunya.
“Gimana nih?” Christian balik memandang Muslim.
Disaat seperti itu Bu Latifa muncul ke hadapan mereka dan sedikit terkejut mengenali
sosok Christian.
“Hai, sejak kapan kemari Mr. Christ?” sapa Bu Latifa hangat.
“Tadi sore bersama putra Miss,” Christian mengulurkan tangannya pada Bu Latifa
penuh keakraban.
“Rupanya kalian sudah saling kenal?”
“Lumayan,” Christian tersenyum sambil menoleh Muslim.
“Ada masalah penting kiranya?”
“Lebih mempererat tali persaudaraan kita saja.”
“Oh, ya. Sudah pada makan? Kita makan malam bersama saja sekarang. Nanti usai
makan kita bisa komunikasi lebih jauh lagi. Mari!” ajak Bu Latifa seraya melangkahkan
kakinya menuju ruang makan.
“Ibumu ngasih lampu hijau buat kita,” cetus Christian tersenyum senang.
“Mudah-mudahan saja. Kamu mau makan sekarang?”
“Kenapa enggak?”
“Okey!”
Keduanya lalu mengikuti jejak Bu Latifa ke ruang makan. Disana telah tersaji
hidangan makan malam siap santap di atas meja dimana Pak Martin, Bu Latifa dan Nenek
Honey telah terduduk di kursi mengelilingi meja.
“Itu orangnya Martin,” seru Nenek Honey menudingkan telunjuknya pada Christian.
“O… teman Muslim kiranya,” Pak Martin memandang Christian dengan sambutan
senyumnya yang ramah.
“Christian Om,” kenal Christian.
“Duduklah!” Bu Latifa mempersilakan.
“Fitrea mana?” Tanya Muslim sambil mengambil tempat duduk disamping Christian.
“Masih di kamarmu. Ajak dia segera, gih!” suruh Nenek Honey.
“Ngapain di kamarku?”
Christian menepuk paha Muslim sehingga Muslim segera menolehnya sambil
mengernyitkan dahinya. Christian sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Muslim sambil
berbisik,
“Tadi aku memutar The Drunk Flyrabbit dan belum dimatikan.” 
“Apa?” Muslim terkejut setengah mati dan serentak berlari tergesa-gesa dengan panik
menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Muslim tertegun menatap adiknya yang sedang
membakar DVD The Drunk Flyrabbit miliknya itu.
“Jadi ini alasan Bang Muslim melarangku memutar kaset ini?” Fitrea menatap tajam
sosok Muslim dengan matanya yang deras berderai air mata.
Muslim menundukan wajahnya penuh rasa penyesalan yang mendalam.
“Sekarang puas, kan? Abangku tersayang, Abangku yang malang. Abangku begitu
sadisnya merobek-robek harga diri keluarga Abang sendiri. Inikah moral seorang sarjana
lulusan UIN? Kalau hanya ingin menjadi pelacur jalang, kenapa mesti ngotot menyelesaikan
pendidikan tingkat tinggi segala? Kelakuan Iblis macam begini orang yang tidak sekolahpun
bisa. Atau almamater UIN hanyalah sebagai formalitas di bahu wibawa gagah seorang
Muslim belaka? Bang!...” suara Fitrea tersedak.
“… serahasia apapun Abang menyembunyikan bangkai, tetap akan tercium baunya.
Mengapa Abang menyetujui aku pacaran sama Elqo? Heh!? Kenapa? Abang tidak merasakan
betapa sangat terhinanya aku sekarang. Abang telah memanfaatkan aku untuk menjadi umpan
agar Elqo sering datang kemari. Abang sangat picik sekali. Ternyata dibalik semua sikap baik
Abang itu tersimpan niat busuk seekor serigala yang siap menerkam mangsanya.
Aku merasa sangat kecewa sekali pada kebiadaban Abang. Aku sangat benci sekali.
Benci! Aku sudah tidak percaya lagi pada kealimanmu. Pada titel sarjana agamamu. Karena
kau dan Elqo tak lebih dari sepasang syaitan. Masih mulia pelacur dan binatang melakukan
sex yang normal ketimbang hubungan lacurmu homoseksual!” kecam Fitrea menjadi-jadi
memecahkan gelora emosinya yang meledak-ledak.
Seorang Muslim hanya terdiam membisu. Segala yang terlontar dari mulut adiknya itu
bukanlah sebuah kekeliruan. Tapi sebuah dakwaan yang konkrit sesuai faktanya. The Drunk
Flyrabbit adalah video hasil rekaman handycam tentang permainan sexnya dengan Elqo. Lalu
dipandangnya Fitrea yang masih menatapnya penuh dendam.
“Maafkan Abang!” ujar Muslim lirih.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” sahut Fitrea ketus. “Aku merasa muak dan jijik
melihatmu,” lanjutnya lagi penuh kebencian seraya berlalu meninggalkan Muslim yang
terduduk di tepi ranjang.
Muslim terasa tercabik-cabik sukma sadarnya dengan lontaran kalimat demi kalimat
kemurkaan adiknya. Ya, dialah yang salah. Hubungan Elqo dan Fitrea adalah hasil rencana
Muslim dengan Elqo. Muslimlah yang meminta Elqo untuk memacari adiknya dengan
batasan Elqo terlarang buat menjamahnya. Sehingga sosok Elqo di mata Fitrea sangat begitu
sucinya. Fitrea sangat yakin kalau Elqo pemuda yang berlatar agama yang baik. Sikap Elqo
yang selalu terjaga dari hal-hal yang mengundang nafsu. Elqo pandai menyembunyikan sikap
lacur seorang gigolonya. Elqo tercipta laksana sempurnanya sesosok malaikat. Ganteng,
romantis dan paham benar tentang aturan agamanya. Sungguh betapa piawainya seorang Elqo
hingga sanggup memutar balikan fakta 1800 dari kejalangan perilaku liarnya menjadi sesosok
pribadi alim dan berbudi pekerti luhur di hadapan Fitrea. Tapi sekarang? Masih adakah sisa
kekuatan itu untuk membangun kepercayaan?
 
 
 6   ‘CINTA ADALAH HARGA DIRI’
 
“Kenapa?” Christian menghampiri Muslim.
Setelah menghempaskan nafasnya baru Muslim bicara perlahan, “Fitrea melihat
adegan sexku dengan Elqo dalam film itu.”
“The Drunk Flyrabbit maksudmu? Bukankah itu hanya berisi rekaman latihan angkat
besi di sebuah taman?” Christian heran.
“Kamu tidak memahami juga maksud laranganku pada Fitrea agar tidak memutarnya.
Kalau sebatas latihan angkat besi, apa pentingnya aku melarangnya nonton.”
“Lantas?”
“Ya, setelah usai angkat besi itu aku dan Elqo telanjang bulat saling melucuti celana.
Dan di taman belakang rumahnya itu kelaminku kena the drunk piercing-nya. Disitulah aku
habis-habisan bercinta dengannya,” terang Muslim.
“Aku jadi merasa bersalah. Benar-benar aku tidak tahu akan hal itu. Kalau saja aku
tahu…” Christian menyadari kesalahannya penuh penyesalan.
“Bagiku mungkin ini bisa diambil hikmahnya. Bahwa kejujuran itu lebih baik
meskipun menyakitkan. Daripada menutupi kebusukan yang malah bikin mabok sendiri.
Setelah sekarang terbuka buat apa aku harus menutupi diri lagi. Kalau aku senyatanya
bersifat mencintai sesama jenis, kenapa tidak aku jujur dan berani memperjuangkannya.
Karena perasaan itu sama saja dengan harga diri. Jika aku tidak mampu memperjuangkan
perasaanku berarti sama saja aku rela kehilangan harga diriku,” tegas Muslim yakin.
“Kita berjuang bersama untuk mendapatkan hak kita sebagai gay. Kita harus
mempunyai perlindungan hukum hak asasi kaum homoseksual. Karena gay itu bukan hanya
kita. Di Indonesia ini sudah cukup banyak perkumpulan kaum homo. Dan tidak sedikit para
pemuka agama dan psikolog yang mulai terbuka pemahamannya tentang keberadaan
homoseksual. Apalagi besar pengaruhnya jika kita mengusung ibumu buat terus
mendeklarasikan pengakuannya tentang perberdayaan kaum homoseksual Indonesia.”
“Kita harus berani menerobos keortodokan keyakinan agama. Dan jika agama yang
sudah terbentuk masih menentang berkembangnya sekte homo, kenapa tidak kita membentuk
agama baru dengan peraturan yang baru tanpa mengalihkan keyakinan yang baku tentang
periketuhanan yang maha esa. Asalkan kita masih berazaskan ketuhanan, Indonesia tentunya
masih mengakui keberadaan kita sesuai janji Pancasila. Juga kenapa kita meski takut neraka
karena menurut cendikiawan muslim Cak Nur juga bahwa orang yang akan selamat masuk
syurga itu memang orang Islam, tetapi tidak terbatas pada keanggotaan formal dalam agama
Islam. Setiap orang yang menyerahkan hatinya kepada rahasia Ilahi sesuai keyakinan
agamanya, tidak akan ditolak Allah,” Muslim semakin mantap berpegang teguh pada
keyakinannya.
Suasana hening sejenak. Keduanya sama-sama berpikir kritis tentang rencana sepak
terjang buat mempertaruhkan kecemerlangan masa depannya.
“Kedengarannya dibawah sepi,” Muslim seakan baru menyadari suasana rumah.
“Mengikuti ESQ katanya di hotel Brilliance Star.”
“Tidak mengajakku?”
“Eh, katanya yang terdaftar hanya 6 orang. Tadinya keluarga mau ngajak security.
Karena securitynya pulang. Maka diganti sama nenekmu. Ayahmu asalnya mau ngajak kamu
sama aku, tapi ibumu terlanjur udah ngajak kedua pembantu sejak kemarin. Emangnya ESQ
itu acara apaan sih?” terang Christian diakhiri pertanyaan.
“Emotional Spirit Quotient. Cerdas Spirit dan Emosi. Sebuah acara yang mengusung
harapan misi cerdas hidup dalam menyeimbangkannya perkara dunia dan akhirat umat Islam
seluruh dunia di tahun 2020. Mungkin kamu juga akan langsung dibuatnya menangis
mengikuti acara itu. Sebab rangkaian acaranya cenderung mencuci bersih rohani kotor kita.
Kita dibawa hanyut ke alam bawah sadar kita dimana segala dosa dan kesalahan kita laksana
menjelma begitu nyata mencemoohkan kita. Untuk apa sebenarnya tujuan hidup kita.
Kemana arahnya yang benar yang menunjukkan arah akhir dari rangkaian hidup itu pada titik
Tuhan. Seirama dengan hentakan emosi sang Tutor, musik yang bergemuruh beserta
gelapnya ruangan yang menampilkan sketsa alam angkasa luar semakin kita merasa
melayang-layang dalam imaji kehidupan dalam diri yang berlumur dosa."
“Ada kecenderungan dengan mudahnya aku bakal masuk Islam setelah mengikuti
acara itu.”
“Kemungkinan besar. Tapi apa yang dapat dibanggakan dari dirimu oleh orang Islam?
Yang jelas hanya akan menambah makin amburadulnya moral Islam. Aku tidak mau
mencemarkan agama manapun. Kecuali kalau kamu mau insyaf tidak lagi menjadi
seorang queer, aku bersedia membimbingmu masuk Islam sekalian meluruskan sifat
menyimpangku,” tandas Muslim.
“Bagaimana kalau kita menirukan kegiatan ESQ guna merekrut persatuan kaum
homoseksual?”
“Sifat manusia memang cenderung latah ketimbang kreatif. Bagi kalangan umat Islam
yang membiasakan diri dengan ESQ ada baiknya juga. ESQ itu kreatif. Sayangnya menarik
uang pendaftaran sebesar tiga ratus ribu rupiah dengan tujuan agar si orang dapat benar-benar
insyaf karena sayang sudah mengorbankan uang yang cukup besar untuk mengikutinya.
Padahal seorang AA Gym yang berpenampilan sederhana tidak berdasi dan tidak berjas
dengan peralatan dakwah hanya menggunakan pengeras suara biasa tidak memerlukan alat
bantu sound system dan video rekayasa sekalipun beliau mampu menghantarkan jemaat
dakwahnya pada linangan air mata taubat. Sementara ESQ? Mungkin menurut hematku tidak
jauh beda dengan liberal tidaklah mencerminkan simbolik kesederhanaan Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad. Liberal lebih tampak jelas tinjauannya pada keduniawian.
Liberal cermin dari kemewahannya orang Islam. Diperuntukkan hanya buat para hartawan
belaka. Apa mungkin seorang miskin bisa ikut menerima ceramah multivisinya? Apalagi
dalam persatuan busana baru orang berdasi. Mimpi rasanya. Jauh kiranya dari struktur
kesahajaannya Islam. Diseragamkannya mukena sebagai busana sembahyang bagi kaum
hawa juga justru demi menyamakan penilaian lahiriyah dari status sosial masyarakat yang
berbeda. Juga demi menghindari terjadinya rasa minder bagi yang miskin dan perbuatan riya
bagi si kaya. Ini malah perempuan liberalis sekarang tampak bebas berpakaian saat
menghadap Tuhannya. Meskipun memang tidak ada batasan larangannya, tapi sungguh
sangat berbentrokannya dengan budaya Islam miskin di perkampungan. ESQ tak lebih adalah
siraman ruhani bagi kaum moderat. Bentang pemisah umat Islam melarat dengan para
konglomerat. Tapi memang sih, perlu dana lumayan besar juga untuk sekali kegiatan ESQ
saja. Tak salah. ESQ bagus. Karena orang-orang yang tolol dan goblog yang tidak mengenal
Tuhannya kebanyakan adalah orang-orang kaya dan kaum bangsawan. Jadi orang-orang fakir
miskin tidak usah repot-repot buat kerja keras cari duit untuk ikutan ESQ, karena sasaran
ESQ hanyalah orang-orang kapitalis yang mulai atheistic,” umpat Muslim mengkritik sengit.
“Kamu bercakap banyak dengan ibuku?” tanya Muslim kemudian.
“Ngobrol ringan saja.”
“Apa Fitrea tidak mengadu perihal permainan sexku dengan Elqo?”
“Dia tidak banyak bicara. Tampaknya mumet banget. Makannya juga sedikit. Oh ya,
kamu makan dulu sana. Entar gak bersemangat lagi waktu intim,” Christian mengingatkan.
“Kamu udah berasa kenyang?”
“Mana bisa tenang makannya juga inget sama kamu terus. Aku gelisah gak enak sama
kamu. Kan orang yang saling mencintai mestinya selalu bersama dalam suka dan dukanya.”
“Kamu makan lagi barengi aku ya,” ajak Muslim menarik lengan Christian agar
mengikutinya. Keduanyapun keluar kamar berjalan bergandengan begitu mesranya hingga
tak terlepas meski menuruni tangga sekalipun.
“Kamu pengen makan sama apa?” tawar Muslim sesampainya di ruang makan.
“Tak ada sesuatu yang lebih kan selain dari menu yang tadi dihidangkan?”
“Kalo kamu pengen biar aku beli dulu keluar sana.”
“Gak usah ngerepotin lah. Lagipula makanku juga paling dikit tinggal ngenyangin
doang.”
“Maksudku sekalian beli minuman kesukaanmu.”
“Kamu perhatian banget sih.”
“Aku mesti ngerti juga apa kebiasaanmu.”
“Tapi sebagai kekasihmu aku mestinya ngertiin kebiasaanmu juga. Mungkin lebih
baik aku berhenti minum demi menyelaraskan kebiasaan kita.”
“Itu pendapat yang bagus. Tapi siapa bilang aku tidak doyan minum. Setiap kali
kencanku dengan Elqo sudah barang tentu minuman keras adalah sajian wajib diantara kami.
Elqo orangnya nyenengin banget. Bahkan tak tanggung-tanggung ia membelikan minuman
termahal di setiap pesta dansa,” cerita Muslim membuat kemuraman di wajah Christian.
“Kenapa?” Tanya Muslim heran.
Christian sejenak menarik nafasnya. “Aku cemburu!”
“Lho, denger gitu aja udah cemburu.”
“Apa kamu dengan Elqo masih hubungan?”
“Emangnya kenapa?”
“Enggak. Mungkin aku perlu berjuang lebih keras lagi untuk sepenuhnya dapat
memenangkan hatimu.”
“Justru itu tentang apa yang pernah aku bilang. Kamu jangan terlalu berlebih-lebihan
mencintai aku, karena aku belum tentu bisa setia dan membahagiakanmu.”
Christian terdiam. Muslim telah siap dengan hidangan makannya. Lalu ia duduk di
kursi samping Christian.
“Kenapa? Kamu marah padaku?” Tanya Muslim lembut sambil menatap wajah
Christian yang dingin tak bersinar.
“Aku sadar. Tapi aku harus berani menanggung resikonya. Aku akan terus berjuang
demi mendapatkan cintamu seutuhnya,” bisik Christian mantap.
“Christ!” Muslim menggenggam jari-jemari tangan Christian dengan halus.
“Bukannya aku tidak percaya pada ketulusan cintamu padaku. Bukannya aku tidak
menghargai semua apa yang telah kau janjikan. Aku sangat kagum dan tersanjung atas betapa
besarnya harapan cintamu untukku. Tapi aku sangat memohon pengertianmu. Tidak semudah
itu untukku bisa meninggalkan Elqo. Sebagai pecinta sejati, tak baik berlaku sebagai
pengkhianat terhadap kekasihnya. Sekarang terserah pilihanmu. Untuk saat ini,
bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa terlepas dari Elqo. Meski antara aku dan dia
belum pernah terucap kata saling mencintai. Tapi kebiasaan kami sudah lebih romantisnya
dari cerminan apa yang dinamakan cinta.”
“Aku tidak perduli kamu masih saling mencintai apa tidak. Tapi aku akan tetap
bertahan untuk menjadi kekasihmu sampai kapanpun. Aku akan tetap berusaha keras menjadi
kekasih pilihanmu. Karena aku sangat terlalu mencintaimu. Sangat!” Christian meremas
genggaman jemari Muslim. Lalu diciumnya perlahan penuh kelembutan irama cinta.
“I love you so much. Cintaku padamu tak ada batasan waktunya. Always, I want you
beside me,” suara Christian bergeletar dengan tatapan yang sayu penuh pengharapan.
Muslim tidak kuasa lama-lama beradu dengan tatapan seorang penghamba cinta itu.
Hatinya tersentuh. Nuraninya gemuruh. Bergejolak laksana mendidihnya kawah asmara di
puncak gunung Pangrango.
“Kita makan,” Muslim melepaskan genggamannya. Jemarinya beralih pada sendok di
atas piring yang sudah penuh dengan sajian lezat.
“A’!” Muslim menyuapi Christian.
Sejenak Christian menatap Muslim. Lalu iapun menyantapnya.
“Biar aku yang menyuapimu,” Christian merebut sendok di tangan Muslim.
Kemudian ia segera menyuapi Muslim. Keduanya begitu mesra dan romantis. Laksana
sepasang sejoli yang lagi kasmaran dimabok cinta.
“Ada telepon,” ujar Muslim meracungkan telinganya ke ruang tengah.
“Angkat dulu sana,” suruh Christian solider.
“Maaf ya. Aku tinggal dulu,” Muslim lekas beranjak meningglkan ruang makan
dimana Christian harus sabar sebentar menungguinya.
“Elqo!?” Muslim seakan kurang percaya dengan siapa yang menghubunginya.
“Iya. Kok rumahnya nampak sepi? Security kemana?” Elqo terdengar heran.
“Kamu di depan gerbang halaman rumahku?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa tidak menghubungi nomor ponselku?” Muslim berjalan menuju jendela.
Lalu ia menyibakkan gardennya dan melihat keluar.
“Udah beberapa kali nyampe kesel. Tapi kenapa gak diangkat? Kemarin juga kenapa
nomormu gak aktif-aktif? Makanya sekarang aku datang buat mengetahui keberadaanmu.
Aku merasa cemas sekali,” cerita Elqo.
“O, sory-sory. HPku tidak ku pegang. Ketinggalan di kamar. Tunggu dulu bentar ya,
aku bukain gerbangnya,” Muslim menaruh kembali gagang telepon. Lalu secepatnya keluar
rumah setengah lari-lari menuju gerbang. Di balik gerbang diluar sana sebuah thunder
terhenti dalam tunggangan sesosok lelaki berhelm. Muslim berseri-seri membukakan kunci
gerbang menyambut kedatangan tamunya itu. Setelah Elqo dengan thundernya masuk
melewati pintu gerbang, Muslim kembali menutup dan menguncinya. Kemudian iapun
nunggang di jok belakang serta melaju perlahan menuju rumah.
Christian tertegun berdiri di ambang pintu. Dipandangnya Muslim yang turun dari
motor itu dengan api cemburu yang membakar jiwanya. Apalagi, lihat! Si ganteng cowok
keren yang baru memarkir thundernya itu memberikan setangkai mawar biru kepada Muslim.
Lalu mereka berciuman pipi. Hah … betapa berkobarnya bara itu menghanguskan perasaan
Christian! Api amarah dan bara cinta menyala dalam tungku yang sama. Apakah kuali akan
menghidangkan sajian menu yang berselera? Tidak! Selain dari resultnya makanan beracun
yang mematikan.
“Hai, Christ!” Muslim sedikit terkejut juga menemukan Christian disitu.
“Kenalkan, inilah yang namanya Elqo,” kenal Muslim.
“Christian,” ujar Christian menyambut uluran tangan Elqo dengan sedikit senyum
yang dipaksakan.
“Fitreanya ada?” Tanya Elqo.
“Keluar bareng keluarga. Nanti tengah malam mungkin pada pulangnya. Eh, mau
minum apa?”
“Biasa kopi ginseng. Kalo gak mau minum sekarang.”
“Emangnya kamu bawa?” Muslim memandang Elqo. Cowok keren berpenampilan
rapi berjaket itu.
“Jangan ditanya,” Elqo tersenyum sambil duduk di sofa serta menaruh serangkai
bunga tulip yang dibawanya di atas meja.
“Christ! Temenin Elqo ngobrol. Aku ambilkan minum dulu,” Muslim bergegas ke
dapur.
Setelah Christian duduk berhadapan dengan Elqo dengan tetap mengusung raut muka
yang sangat tidak mood sekali. Elqo pun segera mengajak Christian berbicara.
“Kamu temannya Muslim?”
“Lebih dari itu,” jawab Christian sangat memaksakan diri.
“Saudaranya?”
“Pacarnya,” tandas Christian jelas.
“Masa sih? Emangnya sejak lama kalian sudah saling mengenal? Kok aku gak tahu.
Muslim pun yang biasanya terus terang tidak pernah cerita tentangmu sebelumnya.”
“Mungkin karena dia tidak ingin melukai perasaanmu.”
“O, ya. Ku rasa Muslim bukan tipe orang yang suka menutup perasaannya jika
berhadapan denganku. Dia terbuka sekali tentang permasalahan yang dialaminya.”
“Hati orang siapa tahu. Mungkin saja Muslim ingin membalas rasa sakit hati karena
ketidaksetiaanmu yang selalu saja masih suka berkeliaran mencari mangsa. Apa tidak
menutup kemungkinan seorang Muslim merasa tidak dihargai perasaannya olehmu atas
kesetiaannya terhadapmu tetapi kamu tidak pernah mau mengerti untuk mengikrarkan kata
cinta sebagai pemersatu hubungan intimmu dengannya?”
Elqo memandang Christian dengan tatapan egonya yang mulai meninggi. “Kamu
jangan coba memicu perselisihan antara aku dengannya. Aku dengan Muslim telah terikat
janji, bahwa permainan sexku diluar kencan dengannya itu semata hanya buat mencari nafkah
hidup saja. Bukan demi memuaskan hasrat sex dan senang-senang. Tapi buat biaya hidup
kami berdua. Karena setidaknya aku ikut membiayai dana operasional hidup Muslim sehari-
hari.”
“Sekarang kamu tidak akan bisa keluar masuk bebas rumah ini lagi. Karena Fitrea
sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya antara kamu dengan Muslim,” ungkap Christian.
“Yang bener aja!” Elqo seakan tidak percaya.
“Apaan?” Tanya Muslim yang muncul dengan nampan berisi tiga cangkir kopi
ginseng panas.
“Fitrea sudah nonton rekaman video sex kalian,” seru Christian.
“Heeh, aku mau minta maaf banget El,” Muslim memohon pengertian Elqo.
“Ya, lebih bagusnya gitu lah,” sahut Elqo tidak menampakan raut kekecewaannya.
“Bagus apanya?” malah Christian yang nampaknya jadi tidak senang akan sikap Elqo.
“Daripada hubungan kita terus-terusan ditutupi kebohongan. Dari dulu juga aku
inginnya terbuka. Ngomong baik-baik sama keluargamu. Aku selalu merasa bersalah sekali
jika setiap kali berhadapan dengan Fitrea. Aku tidak tega ia berlama-lama jadi korban
kemunafikanku. Makanya aku selalu mencoba mencari jalan terbaik buat ngomongin
permasalahan ini. Tapi sekarang, syukurlah tak perlu repot lagi aku berfikir menemukan
solusi tepat buat terus terang seandainya Fitrea sudah tahu dengan sendirinya tentang siapa
aku yang sebenarnya,” tanggap Elqo mensyukurinya.
“Minum dulu kopinya,” Muslim duduk disamping Elqo.
“Thanks ya!” Elqo mengecup pipi Muslim dengan hangat sambil seraya meraih
secangkir kopi dari atas meja. Lalu ia mereguknya beberapa teguk. Setelah kemudian ia
kembali menaruhnya.
“Pas banget. Nikmat!” Elqo mengailkan sebelah tangannya ke bahu Muslim membuat
Christian kian panas membara terbakar kobaran api cemburu yang meluap-luap.
“Sudah makan?” Tanya Muslim.
“Sebelum kesini barusan di jalan,” jawab Elqo.
“Kamu lapar?” lanjut Elqo.
“Enggak juga. Baru saja usai sama Christian disaat kamu menghubungi.”
“Hubungan kita sekarang gimana?” Elqo kembali pada persoalan sebelumnya.
“Gimana apanya?” Muslim seolah-olah tidak paham.
“Sekarang Fitrea kan sudah tahu siapa aku. Juga tentunya mungkin mengecam antara
aku denganmu. Jadi sebaiknya kita harus gimana? Aku kira kamu tidak akan sampai
keterlanjuran menjadi gay mengingat omonganmu waktu itu pernah serius mau break dari
permainan sex denganku. Padahal tidak keberatan bagiku kalo kamu sampai nikah juga sama
perempuan. Itu kan lebih baik. Kamu akan dipandang normal oleh masyarakat. Aku siap
membantu supaya kamu bisa belajar untuk mencintai perempuan. Aku punya klien-klien
cantik dan binal yang mungkin bisa menggairahkan berahi sexmu. Kamu bisa belajar
berhubungan sex dengan mereka. Aku jamin tidak akan mengecewakan. Apalagi ini tidak
membutuhkan biaya kursus. Mereka pekerja sex relawan yang siap membantumu untuk
terbiasa melakukan sex sebatas kenormalan kejantanannya seorang laki-laki,” kilah Elqo
begitu bijak dengan sarannya yang membangun keyakinan di hati seorang Muslim. Dan
mungkin juga didengar jelas oleh sesosok ganteng Christian yang menanggapinya hanya
dengan kemengkalan perasaannya.
“Percuma El. Selama aku bisa melihatmu, selama itu pula perasaan kasih dan
sayangku padamu terus berbunga. Sebagaimana yang kamu ketahui tentang perjalanan
sejarah sexku, dulu aku pernah mencoba untuk belajar mencintai perempuan. Tapi bukankah
dirimu sendiri yang sengaja menjatuhkan rasa percayaku pada cintanya perempuan?”
“Benarkah? Kapan?” Elqo merasa terkejut dan heran mendengar penuturan Muslim
yang menyudutkan kesalahan padanya.
“Sewaktu aku masih di SMA dulu. Mungkin kamu sudah tidak mengingatnya lagi.
Waktu malam konser sebuah band di alun-alun. Kita memang tidak saling mengenal. Dan
akupun kiranya tidak akan pernah mengenalmu seandainya Vegina tidak curhat terhadapku.”
“Vegina!?” Elqo melongo.
“Iya. Waktu itu aku lagi pacaran dengannya. Aku mencoba berlaga jadi cowok
normal. Tapi sayangnya kendati berat di hati, kecambah tumbuh di jantung. Jamur luka
bertengger di upuk otak. Kepercayaanku terhadap wanita hilang sirna di malam itu. Monee
pacarku yang lain ternyata selingkuh dengan teman sekolahku sendiri. Vegina yang sangat
perhatian itu ternyata dia tak lebih dari seorang pelacur. Wanita malam yang juga terjerumus
karena perkenalannya denganmu. Vegina adalah teman nongkrong sepropesimu. Hingga
malam itu ia sengaja menelponmu buat menghajarku karena sikap kecewanya padaku yang
tidak bersedia bermain sex dengannya. Kamu kan yang memukulku hingga pingsan di malam
itu? Kamu juga yang membawa serta mobilku diparkir ditempat sunyi. Elqo yang kejam dan
tak punya hati. Elqo yang sok gagah dan pemberani. Tapi mungkin saat itu kamu memang
tidak mengerti…” Muslim memutar kembali masa lalunya. Sepertinya peristiwa itu tidaklah
kan pudar terekam jelas di sanubarinya.
Elqo menatap Muslim tidak berkedip. Ada sebongkah perasaan yang bergelut di
hatinya. Ada sesuatu yang melonjak dalam jiwanya hingga menekan-nekan sesak di
jantungnya.
“Apa yang bisa kamu pertanggungjawabkan sekarang atas tindak bodohmu itu?”
Christian ikut memicu kempisnya kebijakan paham Elqo.
“Kenapa kamu tidak bilang sedari dulu?” Elqo mempertentangkan.
“Ku kira Vegina cerita soal ini.”
“Dia tidak pernah cerita apapun tentangmu soal ini.”
“Lalu bagaimana mulanya kamu tiba-tiba hadir dalam pergaulanku?”
“Vegina memang yang memperkenalkan kamu padaku. Tapi kenapa kamu mau-
maunya ikut pergaulanku?”
“Awalnya aku tidak menyangka kalau Elqo yang ku kenal adalah Elqo yang telah
meruntuhkan harga diriku sebagai lelaki. Tapi setelah aku mengenal nama Vegina dari
mulutmu. Aku baru menyadari bahwa dirimu adalah Elqo yang liar itu. Bukannya kebencian
yang tumbuh saat aku tersadar dari semuanya, melainkan rasa simfati dan jatuh hati yang
langsung merasuki pikiranku. Aku merasa bangga bergaul dengan seorang gigolo. Apalagi
orangnya sangat pengertian. Selalu bersikap romantis dan perhatian. Membuatku selalu
merindukanmu. Merindukan jalan-jalan denganmu. Yang membuat perasaanku selalu
bergetar dan melambung tinggi. Aku terpesona padamu. Dan selalu terpesona. Entah sampai
kapan. Aku selalu terlena. Selalu tersiksa. Aku merasakan siksa cinta yang sangat mendalam
padamu. Dalam sekali. Siksa yang harus menuntut pengertian dan kesadaranku sendiri,
bahwa dirimu bukanlah seorang homosex melainkan seorang bisex yang ada kecenderungan
kamu suatu waktu akan mempersunting seorang perempuan untuk menjadi pemuas sex akhir
perjalanan hidupmu dan meninggalkan kehidupanku tanpa sebilurpun bekas hasrat di
kelaminmu saat-saat bersamaku …” tutur Muslim lirih penuh duka.
Elqo menghempaskan nafasnya sesak. Seolah ada beban berat yang menumbuk paru-
parunya. Dan terdengar berat-berat juga ia bicara,
“Dulu ku dengar senandung cinta dan janji-janji seorang gay senior sempat
membuatku muak dan membencinya. Tapi sekarang, aku baru memahami tentang perasaan
cinta itu yang sesungguhnya. Mungkin petualangan sexmu sebagai seorang homo sangat jauh
berbanding perbedaannya dengan pengalaman sexku. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ini
terhitung semenjak aku kelas dua SMA, jumlah hari-hariku yang bebas sex tidak mungkin
terkumpul sampai satu tahun. Tapi mengapa, hanya baru pertama kali ini aku merasakan
batinku sangat bergetar hebat. Nuraniku merasa tersentuh mendengar semua apa yang
terlontar dari hatimu. Mungkinkah aku juga merasakan getar yang sama seperti apa yang
bersenandung diperasaanmu? Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri saat ini. Yang
mungkin ku mengerti hanyalah aku harus memahami tentang apakah artinya cinta itu…”
Elqo menatap bola mata Muslim sebening riak embun di hatinya.
“Aku tidak menuntutmu untuk mencintaiku. Aku sangat menghormati keputusanmu.
Dan lagi mungkin tindakanmu itu lebih baik dari kenistaanku. Kamu jangan sampai terjebak
dengan intuisi yang membisikan sifat kemanusiawianmu. Cinta, kasih dan sayang sudah
memiliki alur jejaknya tersendiri. Seperti halnya kita dilahirkan yang pada dasarnya adalah
hanya untuk dimatikan. Proses hidup yang kita tempuh adalah tujuan satu-satunya untuk
mati. Layaknya cinta, kehidupanpun tujuannya sama yaitu kebahagiaan. Untuk
memperjuangkan agar berhasil hidup bahagia, cintapun bergerak sama mencari jati dirinya
yang sudah terukir pada kepribadiannya yang terwujud berkat sosialisasi dengan
lingkungannya. Dengan mudah raga yang masih putih dan bersih menyerap berbagai warna
ruh kehidupan. Hingga ruh-ruh itu bersatu menjadi kekuatan baru dalam jiwa. Dan sudah
barang tentu, sesuatu yang dominan menunjukan rangsangan pada kesenangan dan
kenikmatan cenderung lebih mengelabui watak dan sifat. Hingga tidak heran, jika filterisasi
kebahagiaan yang sedari dini sudah menguasai akal dan nafsu kita maka kita akan
menyuarakan hal yang membahagiakan itu berdasar dari keyakinan dan naluri yang tercipta
atas kehendak Tuhan. Lurus dan menyimpangnya akhlak kita sekarang tidak lain adalah hasil
dari makanan apa yang diberikan pada ternak semenjak dininya. Pur dan bungkil tentulah
menghasilkan ternak ayam yang beda setelah dewasanya. Pemahaman apa yang kita serap
semenjak kecil kita? Berkembang di lingkungan bagaimana masa puber kita? Didikan apa
yang banyak nyangkut di ruhani kita? Semisal aku, walaupun masa kecilku tumbuh dan
berkembang di lingkungan pesantren dan orang-orang berilmu agama, jika ruhaniku tidak
pernah tersentuh pemahaman tentang sex bagaimana mungkin aku menolak kenikmatan sex
yang ditawarkan seorang santri dewasa dan bagaimana pula aku merasakan bahwa tindakan
sodomi itu terlarang mengingat semua perbuatan itu belum pernah aku dengar peraturan dan
hukumnya. Lalu setelah aku ketagihan kenikmatan bermain sex sesama lelaki, apakah ajaran
agama sanggup dengan mudahnya begitu saja meruntuhkan tatanan yang telah kuat
menguasai setiap sel di tubuhku. Sesuatu yang telah mendarah daging, ku rasa bermimpi
jikalah ia berharap membersihkannya sesuci kelahiran. Aku sudah berusaha keras
membersihkan sifat kehomoanku. Tapi setinggi UINpun tingkatan ilmunya tidaklah sanggup
mencuci bersih kadar sifat yang telah melekat di jiwaku. Sudah tak mempan dengan cara
apapun juga untukku menjadi seorang lelaki yang normal yang 100% bisa mencintai
perempuan. Bibirku masih bisa ku paksakan menentang dan bicara lantang homosexsual itu
haram. Tapi dibalik fatwa yang terlontar, di sanubariku tetaplah jelas tersirat kalau aku
munafik! Dengan mudah aku menyuarakan sabda-sabda kebenaran yang sesuai titah Tuhan,
tapi hatiku tercabik sendiri kenapa aku tidak bisa menyuarakan kebenaran yang bertahta di
jiwaku?
Sekarang aku tidak tahu apa yang semestinya aku pilih. Karena bagiku mustahil
apabila harus mendustakan tingginya derajat ke Maha Benaran Tuhan. Apapun yang telah Ia
firmankan lewat Rasul dan kitab-Nya bukanlah titah yang menyesatkan. Hanya saja imanku
lemah dibangunkan pondasi pada latar yang salah. Dan sudah tidak sepantasnya lagi aku
menyiksa diriku sendiri dengan selimut kemunafikan. Karena Tuhan pun mengutuk orang-
orang yang munafik. Maka dari sekarang aku akan jujur, aku tidak ingin menjadi pengkhianat
lagi. Aku akan mendeklarasikan kehomoanku agar tidak ada lagi orang yang merasa tertipu
dengan penampilanku. Untuk apa aku menyembunyikan identitas jati diri kepribadianku, jika
Tuhan sudah tahu dengan sendirinya. Bagiku haram tetaplah haram. Aku tidak akan
mengklarifikasi firman Tuhan yang telah melarang hubungan homoseksual. Karena
menurutku Tuhan itu Maha Yakin tidak pernah bersifat plin-plan. Tuhan itu Maha Tahu, jadi
mustahil Dia salah memberikan hukuman. Sementara itu aku pun akan mencoba bertahan
hidup. Aku akan berjuang mempertahankan kehidupanku sebelum datangnya maut yang telah
dipastikan. Tentunya motivator yang sangat kuat mendominasi faktor mobilisator kehidupan
manusia adalah sex. Seorang suami yang baik sekalipun tergerak untuk mempertahankan
hidupnya hanya karena dorongan sex yang dimotori dengan rasa cinta. Sejauh mana ia
merantau, ia akan kembali menemui istrinya di kampung halaman demi tersalurkannya hasrat
sexnya. Mencari nafkah, kerja keras, banting tulang tak lain ujungnya seorang suami yang
baik adalah istrinya. Seorang remaja adalah harapan tersenyumnya seorang kekasih. Bahkan
lebih diharapkan kekasihnya setia hingga ia mempersuntingnya. Bukankah harapan pusat dari
kehidupan ini adalah sex? Lalu bagaimana aku akan bertahan hidup seandainya hasrat sexku
tidak tersalurkan? Jikapun aku harus menikah dengan perempuan, apakah itu tidak akan lebih
hina dan menambah pasokan nilai dosa? Sebab dipaksa diperadukannya penisku dengan
vagina tidaklah mungkin sanggup membangkitkan gairah sexku. Oleh sebab itu,
pernikahanku hanyalah akan menjadi ladang dosa semata karena aku tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan batin istriku. Aku tidak akan sanggup melakukan kewajibanku sebagai
seorang suami.
Dengan demikian alangkah lebih terhormatnya aku membuka mata semua orang
tentang siapa aku. Terserah mereka mau mempergunjingkan aku, menghina dan mencaci
maki sampai dibatas kepuasan mereka. Karena dalam pandanganku, aku telah berpihak pada
keyakinan dan kebenaranku untuk bisa hidup. Sebagaimana agama yang menuntut sebuah
keyakinan para pemeluknya dalam iman pada Tuhannya. Karena sesuatu perbuatan yang
berazas keyakinan akan mencerminkan perilaku yang optimal dan percaya diri.
Aku sudah tidak punya keputusan lain. Aku terlanjur mencintai laki-laki dan banyak
mendapatkan kenikmatan hubungan sex dengannya. Aku kira sifatku tidak mungkin lagi
berubah. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa pilihanku ini memang salah. Aku mengakui sifat
sexku menyimpang dari tekstur psikologis dan aqidah. Tapi jika rasa ini memang lebih
nyaman dan lebih mendamaikan perasaan hati dan pikiran, kenapa aku mesti berusaha keras
untuk membantahnya?
Sekarang keputusan kalian ada di tangan kalian sendiri. Soal Christian aku sudah
banyak mengerti. Mungkin boleh dibilang sebagai kembaranku. Tapi kamu El, selagi kamu
bisa berhasrat dan punya nafsu bercinta dengan perempuan, alangkah lebih baiknya kamu
menjalani hidup normal. Kamu akhiri petualangan sexmu. Ku rasa sudah cukup umur dan
materi untukmu hidup berumah tangga. Seberat dan sebesar apapun perasaan cintaku
padamu, akan sangat tololnya jika aku menjadi hambatan untukmu mengenal hakmu dalam
keadilan Tuhan. Aku rela jika kamu akhirnya menikah daripada kita berlama-lama
menggantungkan hubungan yang tidak jelas kemana arahnya…” setelah panjang lebar
menyerukan suara nuraninya Muslim pun akhirnya menyerahkan sebuah keputusan yang
sekiranya menjadi pilihan terbaik buat masa depan hidup mereka.
“… Iya. Sebaiknya kamu segera menikah saja,” dengan nada suaranya yang lembut
Christian menyetujui pendapat Muslim.
Betapa mengharubirunya perasaan Elqo saat ini. Ada cinta dan harapan juga Tuhan
dan agama, yang membuat pikirannya kini sangat kritis dalam dilemma. Akal dan nafsunya
berkecamuk dalam perang keyakinan di hatinya. Mungkinkah nuraninya akan bicara setelah
sekian lama hidupnya bergerilya dalam nafsu? Masih adakah tersisa puing-puing nurani di
palung jiwanya yang telah membeku? Elqo, siapa yang mengenal latar belakang
kelahirannya?
“Jadi kamu tetap akan mengambil keputusan untuk menjadi gay sepanjang hidupmu?”
akhirnya Elqo bicara juga yang masih mempertanyakan keputusan yakinnya Muslim.
“Kamu masih meragukan pilihan hidupnya?” Christian menimpali.
“Takutnya keputusanmu itu dipengaruhi oleh ide picik anak Kristus ini,” kilah Elqo
membuat merah paras Christian.
“Justru kamu jangan terus memaksa memasukan paham-paham kebenaranmu dalam
otak Muslim. Dia sudah jelas tahu dan paham serta mengakui bahwa gay itu tidak normal dan
haram. Tapi kenapa kamu malah terus meracuni pikirannya? Atau tujuanmu supaya Muslim
itu gila?” Christian sangat sewot.
“Hai keturunan Israel. Siapa yang tidak kenal kepicikan bangsa lo? Dari dulu Nasrani
tidak pernah menghargai dan menghormati keberadaan agama Islam. Elo selalu menjadi
biang kerok permusuhan umat kami. Elo selalu mengadu domba antar kami. Dan harap elo
tahu, gue tahu siapa lo. Misi elo ngedeketin Muslim adalah guna makin memporak-
porandakan utuhnya keyakinan berketuhanan dengan misi homoisme yang elo emban dari
misionaris Liberal Christiani. Elo adalah bintang video porno homo. Elo juga kan yang selalu
bilang dalam setiap adegan sex lo bahwa Tuhan Bapak lo dengan Tuhan Anak suka
melakukannya di syurga nan damai? Jangan mimpi elo bisa menghancurkan harga diri teman
seiman gue agar tersesat dalam perangkap misi Kristenisasi lo!”
“Elo pikir elo tahu apa tentang gue heh?” Christian bangkit menarik jaket bagian
depan Elqo dengan kasar.
“Elo jangan nambah runyam suasana. Denger ya, gue dengan Muslim kenal dengan
baik-baik. Gue dengannya berhubungan dengan baik-baik. Keluarganya menyambut
kehadiran gue dengan baik-baik. Apa urusannya dengan lo yang malah nimbulin keributan,
goblog?” Christian mendorong keras tubuh Elqo hingga hampir-hampir sofa tempat
duduknya terjungkir.
Elqo merah padam. Nafsunya melonjak cepat menguasai emosinya hingga ia lekas
bangkit mendekati Christian yang masih berdiri dengan amarahnya yang meledak.
“Syaitan lo ya. Masih juga mengelak dan memperbaiki nama baik,” Elqo memukul
muka Christian dengan berang.         
Christian melenguh kesakitan. Tapi Elqo malah kembali menambah pukulannya kian
hebat saja.
“Stop!” seru Muslim kencang.
“Ingat! Bisa-bisa gue membunuh lo!” bentak Elqo menarik tubuh Christian hingga
tersungkur ke meja dan tak pelak lagi segala apa yang ada di atas meja jadi berserakan pada
berjatuhan ke karpet. Termasuk pas bunga dan tiga cangkir kopi yang langsung pecah
berhamburan mengotori lantai.   
Mereka terdiam sesaat terpana menyaksikan keadaan itu. Sementara Christian
berusaha kembali duduk. Elqo dilanda perasaan bersalah. Muslim pun tidak memberikan
komentar apa-apa. Hanya katanya,
“Disini bukan tempat yang tepat buat kalian berdebat dan adu kekuatan. Jadi kalian
yang mesti menanggung jawab resiko atas akibat yang kalian perbuat,” Muslim seraya
berlalu meninggalkan keduanya menuju lantai atas. Tak lama iapun kembali dengan
mengenakan sweater abu-abunya menuju mereka.
“Kemana?” Tanya Elqo segera.
“Pengen ngefresh pikiran,” sahut Muslim dingin serta bergegas menuju keluar rumah.
“Tunggu!” panggil Elqo.
“Elo harus rapiin dulu berantakannya karena ulah elo,” Christian menarik jaket
belakang Elqo.
“Elo pengen gue hajar lagi ya?” Elqo berbalik siap melayangkan lagi tonjokannya.
Tapi Christian segera mengelak dengan gesit serta menangkapnya.
“Kita beresin dulu tempat ini bersama. Baru nanti kita pergi menyusul Muslim,”
Christian memohon kebijakan Elqo.
Setelah sejenak berpikir, akhirnya Elqo pun tergerak untuk bertindak keadilan.
Keduanya serba gesit memunguti pecahan gelas serta menyapunya dan mengepel lantai yang
kotor terkena tumpahan kopi.
“Karpetnya masih basah,” ujar Christian.
“Biarin lah. Yang penting tidak begitu berbekas. Jika lo pengen ngeringin, keringin
aja sendiri,” sahut Elqo segera beranjak pergi.
Begitu juga dengan Christian lekas mengejar Elqo keluar. Disana, tampak jauh
didepan gerbang sedan abu-abu terhenti dimana Muslim sedang membuka kunci gerbang.
Lalu Muslim kembali memasuki lagi mobilnya serta meluncur menembus malam. Elqo dan
Christian pun tak tinggal diam secepat kilat keduanya memburu kendaraannya. Elqo yang
lebih cepat seraya menggaurkan thundernya meluncur keluar meninggalkan pekarangan.
Disusul Christian dibelakangnya dengan Pigeout 506 nya.
 
7   ‘perang;
 
berjuang untuk menang’
 
Suasana tengah malam di belahan kota Jakarta yang tak jua lengang dari
gaduhnya hiruk-pikuk manusia. Meskipun tidak sepadat siang hari, jalan raya yang
menjadi cermin kepribadian sebuah kota besar padat penduduk berkendaraan ini masih saja
menampakan kesombongannya. Perlukah ditanggapi sikap ketakaburannya yang
menyuarakan kepongahannya dengan lantang, ‘waktu adalah uang!’? Seakan uang adalah
Tuhan. Tiada satupun gerak selain demi uang. Waktu tak pernah memberi celah luang untuk
sejenak diam. Seluruh waktunya adalah kesempatan. Lengah sedetik adalah kerugian. Dan,
adakah faktor ketidaksengajaan Tuhan menciptakan matahari dan bulan agar berputar?
Hingga alam mentasbihkan hukum kesempurnaan dengan bergulirnya pergantian siang dan
malam. Masih kurangkah 12 jam perhari untuk memeras otak dan keringat?  Bukankah; ‘…
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari guna
usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya? …’ (Ar-Rum 23). Ataukah memang kita ini
selayaknya adalah Tuhan yang tak pernah kenal lelah menggerakkan serta mengawasi
ciptaan-Nya?
Sedan abu-abu yang dikendarai Muslim itu terus meluncur menembus misteri dunia
malam kota Jakarta. Thunder Elqo tak jauh membuntutinya dalam kecepatan tinggi mengekor
kecepatan Muslim. Christian kian terpanas-panasi dengan isyarat-isyarat ejekan Elqo yang
ditujukan padanya. Elqo sengaja sekali terus menghalang-halangi mobil Christian yang
hendak menyiapnya. Bahkan Elqo sengaja memperlambat laju motornya sambil terus
merintangi Christian yang kian membludak saja nafsunya saking terlalu keseringannya ia
harus mendadak ngerem. Elqo sungguh menjadi sosok makhluk paling menggeramkan bagi
Christian yang tak henti-hentinya terus mempermainkannya. Saking kesal dan pusingnya
Christian pun menekan tombol klakson mobilnya membuyarkan suasana malam yang kian
memanas membakar jiwanya. Lihat, Elqo mendadak memutar kendali arah motornya
mendengar klakson yang dibunyikan Christian begitu lama menghingar-bingar. Ckittt! Elqo
mengerem motornya pas di moncong mobil Christian yang juga dengan kaget spontan
mengeremnya.
“Wei, syaitan lo ya. Mau mampus apa!?” hardik Christian nongol di pintu mobil.
“Elo yang syaitan! Jaga hak orang lain untuk istirahat dengan tenang, dong. Dasar
keparat lo!” timpal Elqo tak kalah sengit.
“Elo yang mesti ngaca bego. Elo sudah terlalu keterlaluan jadi manusia biadab di
negeri ini,” balas Christian penuh emosi.
“Jika elo seorang gantelman. Hadapi gue dengan sifat kejantanan lo!” tantang Elqo
berlaga seorang hero.
“Elo pikir gue takut apa?” Christian segera turun dari mobilnya segera menghadap
panggilan perang.
“Ayo turun lo syaitan. Lawan gue yang lo anggap bermental tempe. Lo kira seorang
gay tidak punya kekuatan! Buktikan kalo elo emang seorang pejantan!” sesumbar Christian
begitu lantang sambil menerjang thunder yang masih ditunggangi Elqo hingga oleng hampir-
hampir tumbang kalau Elqo tidak segera menahannya.
“Elo bener-bener serius ngajak adu kekuatan ya,” Elqo dengan geram langsung
menyerang Christian yang sudah siap siaga.
Akhirnya keduanyapun bergelut di pinggiran jalan di ujung malam itu. Di bawah
remang-remang sinar lampu jalan Elqo dan Christian saling serang dan mengerang. Hiuk,
jbettt! Hgk! Sesekali terdengar mereka teriak saling mengumpat. Tak jarang terdengar
rintihan sakit disertai engahan nafasnya yang ngos-ngosan dalam gelora nafsunya yang pada
membara.
Hingga pada akhirnya Christian tampak kewalahan menghadapi keliarannya serangan
Elqo yang sangat ganas dan sadis. Christian pun terhuyung dan amruk ke aspal. Christian
sudah tidak berdaya. Dalam pandangannya yang samar Elqo menghampirinya kian dekat.
Dibatas kekuatannya itu ia menggulirkan tubuhnya ke arah mobilnya. Sudah tidak ia rasa
betapa sakit dan perih meranjami organ tubuhnya atas baku hantamnya Elqo. Ketakutan
memberikan kekuatan baru buatnya segera kembali naik ke mobil. Antara sadar dan tidak
Christian seraya melambungkan mobilnya seiring bergemanya sirine mobil polisi yang lagi
patroli menyusuri jalan itu. Secepat kilat Elqo pun menghambur thundernya serta melesat
laksana keedanan menyusul lajunya mobil Christian.
Gerungan motor Elqo yang menggaur-gaur kencang sungguh sangat mengacau-
balaukan konsentrasi Christian. Ketegangan dan kepanikan membuat jiwanya kadang
melayang dari kesadarannya. Hingga terkadang laju mobilnya berkelok-kelok dan meluncur
keluar jalur menjadikan para pengguna jalan dan pengemudi kendaraan yang searah
dengannya banyak yang menghardiknya dengan caci-maki yang sangat kotor.
Elqo berhasil kembali memimpin didepan. Christian berusaha menyerempetnya
namun tak dapat. Elqo sekarang seakan menghindari jarak dekat dengannya. Ia terus menjauh
meluncur didepan. Christian berusaha mengejar beriring rasa tegangnya yang kian memuncak
atas suara sirine kepolisian yang kian mendekat. Hingga tidak pikir panjang lagi ia langsung
belok kiri ketika lampu merah menghadangnya di muka.
Kini jalanan menyusuri kawasan yang agak sepi. Satu dua kedai malam di sepanjang
pinggiran jalan masih ada yang buka. Pandangan mata Christian terasa redup terang. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali mengusir rasa nyeri dan peningnya yang
menyerang demikian hebat merasuki kepalanya.
Dan, lihat! Dalam pandangan jarak jauh. Elqo yang melihat sedannya Muslim
terparkir didepan sebuah kedai, segera membalikan lagi motornya yang kebablasan jauh ke
sana dalam kecepatan tinggi. Christian yang sedang dipuncak ketidaksadarannya tidak lagi
menyadari aturan kemudinya yang kian lepas landas menghadang laju cepat thunder Elqo
yang melawan arah. Elqo yang tidak pernah mengira mobil yang dikendarai Christian itu
akan terus melaju dan kian menyisi sangat terperangah ketika untuknya sudah tidak ada lagi
waktu dan kesempatan buat menghindar. Hingga … Jger! Elqo yang berusaha membelokkan
motornya sudah terlambat untuk menghindar. Elqo dengan motornya terpisah terpelanting
jauh tertubruk mobil Christian yang baru berhenti ketika membentur tiang listrik.
Suasana hening sejenak. Sebuah penghujung malam yang mengerikan. Christian yang
sudah tidak sadar sedari tadi tampak terkulai memeluk setir dengan darah segar yang kental
meleleh disela bibirnya. Sementara Elqo setelah terguling begitu jauh ia pun terlentang dalam
pingsan dengan wajah belepotan darah yang mengalir dari kepalanya yang bocor …
Sedangkan di dalam kedai, Muslim tampak terduduk menghadapi sebotol wiski serta
menikmati kepul demi kepulan asap rokok yang dihisapnya. Ia sama sekali tidak tersentuh
alunan kesakitan yang melolong dari jiwa kedua orang teramat dekatnya. Muslim acuh dalam
keasyikannya. Ia seakan tidak perduli pada sang pemilik kedai dan dua orang pengunjung
kedai lain yang berlari keluar setelah mendengar jeritan histeris bertabuh suara hentakan
keras di luar sana.
Baru Muslim tersadar, ketika sang pemilik kedai merebut botol wiski dan lintingan
rokok dari tangannya. Jiwanya yang mulai labil seketika menggerakan otot syarafnya. Tapi
sebelum ia ngotot dan mohon diperlakukan secara adil, Muslim terdiam mendengar
nyaringnya suara sirine menggema di tepi jalan.
“Maaf Mas ada kecelakaan didepan. Kebetulan polisi lagi patroli kemari,” sang
pemilik kedai mohon pengertian sambil kembali keluar meninggalkan Muslim yang tidak
segera ambil tindakan.
Setelah sejenak berpikir, alangkah lebih baiknya jika ia segera pergi menghindari
pertemuannya dengan polisi yang barangkali saja bisa-bisa menyeretnya ke tahanan atas
minuman dan selinting gelek yang baru saja dinikmatinya. Baru saja Muslim berdiri hendak
beranjak keluar, ponselnya berdering. Lalu ia pun melihat siapa yang memanggilnya. Elqo
Alldear. Dengan males ia menerimanya.
“Ada apa? Kalian dimana sekarang?”
“Kami dari pihak kepolisian. Apa Anda keluarganya Elqo?”
“Saya saudaranya. Kenapa dengannya, Pak?”
“…”
Muslim serentak berlari keluar, “Iya, ya. Saya segera kesana.”
“Apa Anda juga masih kerabatnya Christian?”
Muslim tidak menjawabnya. Sesampainya di luar matanya melotot melihat ke pinggir
jalan tepat pinggir kedai itu. Benarkah apa yang telah terjadi?
 
8   ‘taat dan kesetiaan
 
bukti agungnya cinta’
 
Pagi hari yang tenang. Terduduk Muslim disamping Elqo yang terbaring terlentang.
Kepala Elqo terbalut perban. Hanya mata, lobang hidung dan bibirnya yang telanjang. Begitu
juga di bagian dada dan lengan kanan. Lututnya juga sama halnya demikian. Serta beberapa
bilur biru kehitam-hitaman.
Elqo sudah siuman sejak sampai rumah sakit juga semalam. Matanya melirik Muslim.
Muslim menghindari tatapan itu. Seakan ia tidak ingin matanya tiba-tiba basah. Karena di
wajahnya tersimpan sebongkah penyesalan serta kesedihan yang mendalam.
“Terima kasih kau telah sudi menungguiku,” bisik Elqo dalam.
“Maafkan aku. Ini semua salahku,” ujar Muslim pelan.
Elqo menggerakan tangannya perlahan menyentuh tangan Muslim. Lalu
digenggamnya jemari tangan Muslim dengan lembut.
“Jika aku dengan Christian tidak berkelakar, tentunya kamu tidak akan pergi. Ini
bukan salahmu. Tapi salahku sendiri yang menemuimu tidak tepat waktu,” Elqo
menyikapinya dengan kesadaran.
“Akulah yang menyebabkan kalian bertengkar,” Muslim tetap menyalahkan dirinya.
“Jika aku tidak egois. Tentunya antara aku dengan Christian tidak akan berselisih
paham,” tutur Elqo lagi merendahkan dirinya.
“Jika aku tidak kenal Christian, niscaya tidak akan terjadi perselisihan.”
“Sebagai sahabat yang baik. Apa benar aku mesti marah apabila kamu punya teman
lagi selain aku?”
“Sahabat yang baik tidak akan menghadirkan teman barunya hanya untuk memicu
permasalahan dengan sahabatnya.”
“Muslim, siapapun teman barumu itu mungkin aku akan memperlakukan mereka
sama seperti apa yang aku lakukan pada Christian,” Elqo menatap wajah Muslim demikian
lekatnya seakan ia ingin menitipkan pesan hatinya yang mungkin tidak pernah tersirat di hati
pemuda tegap itu.
“Maafkan aku tidak sempat mengerti perasaanmu. Kalaupun aku tahu kamu akan
membenci siapapun orangnya yang dekat denganku. Mungkin aku akan selalu diam di rumah,
hanya demi menunggu kehadiranmu saja.”
Elqo terdengar menarik nafasnya. Lalu disusul ujarnya perlahan, “Bukan kamu yang
seharusnya mengerti perasaanku. Melainkan salahku yang tidak mau mengerti perasaanmu.
Sebagai seorang pencinta kamu pasti sangat mencintai aku. Mendambakanku. Selalu setia
dan selalu merindukanku di setiap waktumu. Melihat latar belakang dan sifat yang terbentuk
dalam karaktermu, aku yakin kamu tipe orang yang sangat setia pada pasangannya. Sehingga
perkenalanmu dengan Christian aku rasa itu bukanlah berasal dari kehendakmu. Meski
akupun merasakan bahwa hatimu juga sangat menyukai sosok lelaki seperti Christian. Tapi
dibalik rasa sukamu itu, dibalik gilanya hasrat sexmu untuk berkencan dengannya itu, kamu
masih bisa menahan gejolak nafsu liarmu untuk tetap mempertahankan rasa cinta dan setiamu
padaku. Kamu berusaha keras untuk tidak mengecewakan perasaanku. Kamu selalu ingin
membuat aku merasa senang karenamu. Karena kamu termasuk tipe orang yang romantis.
Muslim. Aku salut atas kesetiaanmu. Atas besarnya cintamu. Juga atas segala
perhatian dan sikap pengertianmu yang selalu tulus dan bijak saat menghadapiku. Kamu tidak
pernah mempermasalahkan profesiku sebagai gigolo. Bahkan aku sangat tersanjung dengan
sikap ramah tamahmu ketika menyambut tamuku. Kamu menjamunya dengan sangat baik.
Kamu tidak marah mengizinkanku pergi bersamanya. Padahal dia seorang selebritis papan
atas.
Mus. Tidak selayaknya aku marah pada orang yang dekat denganmu. Tidak
sepantasnya aku membatasi pergaulanmu. Karena akupun tidak punya banyak waktu untuk
bersama dan membahagiakanmu. Juga sebagai gigolo akupun dituntut untuk bahagia dalam
bergonta-ganti pasangan…”
“Sebagai gigolo yang profesional, sudah sepatutnya bagimu memuaskan pasanganmu.
Karena yang kamu jalani itu adalah sebuah profesi yang selalu menuntut upah akhir berupa
uang. Maka, bagaimana mungkin aku harus mencemburukanmu dalam hal itu. Bukankah
sedemikian besarnyapun cintaku padamu, tidaklah dapat menyumbangkan sekecil apapun
materi buatmu? Aku yang bodoh. Kenapa aku sampai tergoda dan terbujuk jerat rayunya
Christian. Padahal apakah yang kurang dari dirimu. Kamu telah banyak mengeluarkan
hartamu untukku. Kamu dengan senang hati memuaskan hasrat berahi sexku. Itu kamu
lakukan tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan balas jasa apapun dariku. Padahal, bukankah
demi bisa kencan denganmu saja sudah harus mengeluarkan biaya yang cukup besar?
El. Aku memang tolol. Tidak tahu diri. Tidak tahu balas budi. Kamu berhak marah
padaku. Kamu berhak melakukan sesuatu apapun sesuai kehendakmu padaku. Aku sudah
tidak patut lagi kamu kasihani. Aku sudah tidak dapat dipercayai lagi. Aku sudah tidak setia
lagi. Aku sudah melakukan hubungan sex dengan Christian. Maafkan aku,” suara Muslim
bergetar parau. Air matanya turun berderai membasahi kedua pipinya. Ia menangis getir
menyesali semua kesalahannya. Kesalahan seorang pencinta yang sudah tidak lagi setia
memegang tali cintanya.
“Tidak selayaknya aku mesti marah kepadamu. Tidak sepatutnya aku menuntut
kesetiaan dari dirimu. Yang namanya teman, ia hanya akan mengharap sebuah ketulusan
untuk dekat dan bersama dalam segala situasi. Tak pantas membatasi pergaulannya untuk
mendapatkan kebahagiaannya.”
“Kamu lebih dari sekedar teman bagi diriku. Mungkin engkau juga mengerti
perasaanku. Aku sangat mencintaimu. Dan aku telah menganggapmu sebagai kekasihku.”
“Maafkan aku Mus! Selama ini aku selalu berusaha untuk menghindari perkataan
cinta dengan siapapun. Karena aku takut dengannya. Seorang gigolo tidaklah mesti terjalin
kata cinta dengan setiap kliennya. Dan aku sangat tidak ingin kalau aku sampai terperangkap
dalam ikatan sakral cinta.
Begitupun denganmu. Dulu, aku mengira hubungan sex antara kita hanyalah sebatas
sekedar petualangan dan bersensasi saja. Aku pikir kamu juga sama seperti aku. Kamu orang
yang terbiasa bebas bermain sex. Tetapi kenyataannya lain. Kamu adalah orang pemegang
kesuciannya cinta. Kamu hanya menunggu berhubungan sex denganku. Saat aku tahu
bagaimana dirimu, hatiku seketika goncang. Ada kelembutan dan getar kasih yang kau tebar
disetiap kencan kita. Hatiku luruh oleh sifatmu. Aku baru mengerti tentang arti cinta. Kau
begitu sempurnanya perkenalkan aku pada haqiqat cinta. Keikhlasan dan kebijakanmu dalam
menyikapi pertentangan jalan hidupku yang telah membuat aku terperosok pada perasaan
mendalam terhadapmu. Aku selalu ingat kamu. Saat-saat indah kencanku yang terbayang
hanyalah kamu. Aku selalu merindukanmu. Entahlah aku selalu tersiksa jika aku
berhubungan sex dengan orang lain. Aku selalu merasa bersalah. Entahlah, Mus. Itu cinta
ataulah apa. Yang aku rasa dan harus kau tahu, aku sayang kamu…
Tapi, jiwa sadarku mengingatkanku agar perkenalan kita janganlah sampai
menjerumuskan kita pada alur yang salah. Dulu, aku sangat yakin kalau kamu bisa berubah.
Kamu bisa mencintai perempuan. Dan aku berusaha membantumu agar bisa mencintai
perempuan. Aku sangat berharap kamu bisa menemukan jati dirimu untuk menjadi lelaki
normal. Karena meskipun aku seorang gigolo yang tak jarang berhubungan sex dengan gay,
tetapi nuraniku berontak dan sangat mengecam kaum homoseksual. Hatiku sangat membenci
pilihan hidup orang-orang yang sampai tuanya tetap melajang bertahan dengan nafsunya.
Mus. Aku kenal kamu itu sudah lama. Sekarang mataku telah terbuka. Bahwa cinta itu
tidak selamanya hadir diantara pria dan wanita. Dan rasa cinta itu tidak pernah salah. Jika
cinta diantara sesama jenis itu melantunkan simfoni kedamaian dan menjadi sumber
kebahagiaan, kenapa tidak cinta sejati itu terjalin? Kenapa mesti ngotot mencintai lawan jenis
yang belum tentu memberikan ketenangan dan kesenangan? Untuk apa kita terfokus dan tetap
angkuh pada batas normal dan ketidak normalan? Untuk apa kita menjaga pandangan orang
lain agar menilai kita normal, jika itu hanyalah topeng belaka yang menutupi betapa busuk
dan menjijikannya luka dan cacat perasaan dalam jiwa? Jika cinta yang terjalin antara
homoseksual mencerminkan kerukunan hidup yang sejahtera, apakah itu tidak lebih mulia
daripada pasangan normal yang selalu dipacu perselisihan yang sangat tidak nyaman dan
tidak menentramkan bagi dirinya serta bagi orang disekelilingnya?
Muslim … Tak ada yang salah dari dirimu. Kamu terlalu suci untuk menjadi seorang
gay. Aku minta maaf. Aku telah menjerumuskanmu pada rasa cinta terhadapku. Tidak
sepantasnya aku menerima uluran tulusnya cinta suci seorang gay sepertimu. Aku terlalu
kotor untuk dicintaimu. Aku tidak layak untukmu cintai. Pasanganmu seharusnya gay yang
sesuci dirimu pula. Aku malu atas cintamu…”
Di tatapnya dua bola mata itu. Riak bening berlinang di dua sudut matanya. Elqo
meneteskan sejuknya embun cinta yang terperas dari hatinya. Baru kali ini kebeningan
jiwanya itu berbias di matanya. Laksana jernihnya air yang menggenang diatas lumpur.
Dimana kotoran mengendap jelas namun kesucian tetap terlindung jua.
“El, setulus hatiku aku mencintaimu. Meskipun tidak pernah terlontar kata cinta di
bibirmu. Aku cinta kamu. Meskipun tidak menampik rasa sakit yang kadang menyiksa
batinku atas perilakumu itu. Tapi aku coba tegar dan selalu setia padamu meskipun kamu
mungkin tidak pernah menyadarinya. Akupun telah berusaha keras untuk menghindari
Christian. Tapi aku tak berdaya. Dia terlalu kuat merobohkan bangunan jiwaku. Dia
menyerangku bukan hanya lewat depanku saja. Tetapi pula lewat pertahanan belakang.
Christian telah menaklukan kerasnya prinsip ibuku. Hingga ibuku mendeklarasikan dukungan
moralnya terhadap pemberdayaan kaum homoseksual. Aku tidak berdaya menghadapinya El.
Dia sangat tergila-gila mencintai aku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawannya
selain dari pasrah mengikuti arus cintanya. Karena aku pikir, apa salahnya juga aku jalan
dengannya yang punya janji manis masa depannya ketimbang menunggu kepastian darimu
yang tidak tentu arahnya.”
Lagi-lagi Elqo menghela nafasnya begitu panjang. Seakan-akan saluran
pernafasannya tiba-tiba menyempit hingga memperlambat pasokan udara yang masuk
menjadi sedikit demi sedikit. Namun, sinar itu tidaklah redup dari matanya. Segelintir
senyumpun tersungging di bibirnya. Meskipun siapa yang tahu guratan rasa yang terbentuk
dalam senyumnya itu tak lain dari garis kelukaan belaka.
“Aku mengerti,” bisiknya berat.
“Terserah bagaimanapun penilaianmu.”
“Kamu benar. Aku sadar. Dan aku memahami perasaanmu. Wajar saja bila kamu
terjerat tipu daya Christian. Selain ganteng, dia pun piawai dalam bersilat lidah. Siapa
orangnya yang tidak tergoda melihat penampilan fisik beserta karakternya yang meyakinkan.
Kamu mungkin tidak tahu betul siapa dia. Christian adalah actor gay yang sempat meraih the
best Queer of Asian dari forum gay dunia atas suksesnya film So’ Holy Gay Holy God yang
sempat controversial dan dilematik bagi lembaga sensor Indonesia. Hingga akhirnya film
itupun dicekal dan dilarang beredar di Indonesia. Tetapi akupun sempat menontonnya waktu
aku berkencan dengan actor sinetron gay yang sekarang sudah melangsungkan
perkawinannya dengan sesama actor gay pula di Belanda. Dia mendapatkan kasetnya kiriman
dari rekan gaynya di Singapur.”
“Aku tidak penah tahu akan hal itu. Setahuku Christian pernah di bon untuk
membintangi video porno biasa saja.”
“Siapapun Christian dan bagaimanapun dia. Jika dia sanggup membahagiakanmu, aku
pun tidak keberatan untukmu bisa lebih dekat lagi dengannya. Aku sewajarnya melihatmu
bahagia. Betapa goblognya aku bila sampai melarangmu untuk mendapatkan kebahagiaanmu.
Christian mungkin lebih baik daripada aku. Dia seorang actor gay yang punya rasa cinta dan
pengertian. Tidak seperti aku yang selalu meragukan dan mengecewakanmu …”
“El. Jika kamu masih normal dan tetap ingin normal, aku tulus untuk melepasmu
menempuh jalan yang lurus. Kamu jangan merasa terbebani rasa iba atas cintaku. Seberat dan
sebesar apapun rasa cintaku padamu, akan lebih besar keikhlasanku untuk melihat kamu
kembali pada fitrahmu sebagai lelaki sejati.”
“Muslim. Janganlah menambah siksa pada batinku. Seandainya Christian memang
mencintaimu setulus hatinya. Cintailah pula Christian dengan sepenuh hatimu. Tapi jangan
pernah kau melarangku untuk mencintaimu. Dan aku tidak akan menuntutmu untuk setia
padaku. Karena cinta itu tidak selamanya harus memiliki. Biarlah aku menghadang karma
atas dosaku yang telah mengabaikan cintamu. Aku tulus melepasmu untuk menjadi
kekasihnya. Meskipun betapa sakitnya hatiku tertikam perasaan cemburu yang menggebu-
gebu …”
“El. Sadarlah!” Muslim menggenggam erat jemari tangan Elqo yang bergetar lemah.
Dipandangnya raut muka terbalut kain kasa itu. Ada sayatan perih yang menikam hatinya.
Bilur-bilur kelukaan di wajah itu seakan tergores sama sakit di sukmanya.
“Kamu telah menemui Christian?” Tanya Elqo setengah berbisik dengan tatapan
matanya yang sayu.
“Maafkan aku! Selama kamu ditangani dokter, aku pun menunggui Christian.”
“Bagaimana keadaannya?” Elqo sambil meringis seakan menahan rasa sakit yang
tiba-tiba menyerangnya.
“Tidak separah kamu. Aku kira tetesan darah yang keluar dari mulutnya itu luka
dalam akibat benturan dadanya ke setir. Ternyata bukan. Hanya mulutnya saja yang
membentur setir yang menyebabkan bibir dan gusi-gusinya pecah dan berdarah. Yang aku
herankan, wajahnya sampai luka memar seperti bekas pukulan,” Muslim menceritakan
keadaan Christian.
“Maafkan aku Mus telah melukai kekasihmu. Di tengah perjalanan selama
membuntutimu kami adu hantam. Jika Christian tidak secepatnya pergi dan datangnya polisi
patroli mungkin Christian akan lebih parah lagi aku pukuli. Aku sangat muak melihatnya.”
“Kenapa kamu sampai sebegitu geramnya pada Christian?”
“Aku cemburu padanya. Aku hanya ingin membuktikan seberapa hebatkah
kejantanannya? Tetapi kejantanan ternyata bukanlah faktor utama untuk menaklukan rasa
cinta,” Elqo kembali nyengir menahan sakit.
“Kamu kenapa?” Muslim cemas.
“Tidak apa-apa,” bisiknya sambil tersenyum seolah-olah ia ingin membuktikan bahwa
dia benar-benar pejantan yang tangguh yang sanggup menahan dan melawan kecengengan
atas rasa sakit yang dideranya.
“Lukamu kembali berasa sakit?”
“Luka tubuh yang ku derita tidak separah sakit hati yang ku rasa.”
“El. Kamu jangan berpikiran yang bukan-bukan dan yang lebih berat lagi. Mungkin
lebih baik kamu sekarang istirahat. Tenangkan pikiranmu. Semakin kacau pikiranmu akan
lebih menambah rasa sakit luka berat di kepalamu,” nasihat Muslim mencoba menenangkan
perasaan Elqo agar bisa berpikiran positif demi mengurangi tekanan emosi yang memicu
kuatnya tekanan darah berproses di kepalanya.
“Aku tidak mungkin bisa tenang Mus. Jika keberadaanmu di sisiku ada yang
mencemburukannya.”
“Kamu jangan menyibukan pikiranmu hanya memikirkan sesuatu yang belum tentu.
Aku menungguimu disini berarti hanya untuk menemanimu.”
“Aku tidak berhak atasmu. Aku tidak berhak ditungguimu. Jangan membuat Christian
marah padamu. Dia kekasihmu. Dia lebih berhak mendapatkan pelayanan darimu. Jangan
biarkan dia terbakar api cemburu. Temui dan tungguilah dia. Layanilah dia layaknya
pengabdian mulia seorang pencinta. Aku rela …” Elqo akhirnya terdiam. Matanya terpejam
membekaskan basah air di balutan perban. Jemarinya menggenggam rapuh dalam kepalan
Muslim.
“El. Elqo!” Muslim mencoba mnyadarkan kembali ketidaksadaran Elqo dengan
sangat panik. Berkali-kali ia menyeru namanya namun Elqo tetap terdiam. Warna merahpun
tiba-tiba tampak merambah kain perban yang membalut kepala bagian kanannya. Dengan
histeris Muslim pun seketika berteriak memanggil suster berlari dari ruangan. Muslim dilanda
kepanikan yang sangat dahsyat. Wajahnya tampak tegang. Dengan disertai rasa
kekecewaannya iapun akhirnya duduk diruang tunggu sendirian ketika dokter yang
menangani Elqo memintanya agar tenang. Matanya tak berkedip memandang daun pintu
kamar dimana Elqo dirawat. Sejuta perasaan berkecamuk di dadanya. Ia sangat menunggu
dokter itu segera keluar memberikan kabar baik untuknya.
Seraya iapun bangkit menyambut Dokter itu. Elqo butuh istirahat yang cukup. Untuk
sementara tidak izinkan siapapun menemuinya, kecuali suster yang merawatnya.
Seberapa besarpun keinginan Muslim untuk berada dekat disamping Elqo, ia harus
meredakan rasa beratnya dengan lapang demi cepat membaiknya kesehatan Elqo pula
tentunya. Wajahnya tidak setegang tadi. Rautnya tidak sepanik tadi. Ia menghalau
kemuraman hatinya dengan harapan yang menggunung bahwa Elqo akan segera sembuh.
Elqo akan kembali bicara dengannya. Elqo akan kembali bermain dengannya. Dan tentunya,
Elqo akan kembali bercinta dengannya! Lalu Christian? Ya. Muslim harus lebih dewasa lagi
menyikapi problematika diantara mereka. Dia satu-satunya orang yang masih sehat diantara
sudut segitiga itu. Dia harus berlaku bijak demi mengembalikan dua derajat sudut segitiga
yang hilang itu. Dia harus adil. Karena cinta itu adalah keadilan! Cinta itu peradaban, bukan
kebiadaban!
Dengan perasaan sedikit tegar. Gontai langkahnya menuju kamar pasien yang
bersebelahan dengan kamar dimana Elqo dirawat. Dibukanya daun pintu itu. Lalu iapun
masuk. Kemudian pintu ditutupkannya lagi rapat-rapat. Muslim berjalan mendekat ranjang
pasien. Christian rupanya sedang tidur. Matanya tertutup. Bekas pukulan keras Elqo tergurat
jelas membentuk warna biru lebam di mukanya. Bilur-bilur luka itu mungkinkah sanggup
membuat Muslim mengerti? Bahwa derita yang menyebabkan mereka berbaring di rumah
tidak sehat ini adalah syariat kekuatan cinta! Ya. Apalagi? Jika bukan karena cinta, akankah
perseturuan antara Elqo dengan Christian itu terjadi? Akankah kecelakaan itu terjadi,
seandainya Christian mengendalikan kendaraannnya dalam keadaan sadar?
“Christ!” sapa Muslim lembut pada sosok pemuda indo yang terlentang tenang itu.
Tenang terhanyut ke alam bawah sadarnya. Sejenak melupakan rasa sakit bibirnya yang
sedikit membengkak karena membentur setir mobil itu. Sejenak membiarkan rasa sakit bekas
pukulan yang nyarang di hamparan mukanya itu lenyap.
Muslim mendekatkan wajahnya pada raut muka itu. Perlahan dikecupnya ubun-ubun
kepala pemuda itu dengan penuh kelembutan. Hingga bulu mata itu perlahan bergerak. Lalu
terbuka. Christian pun terjaga. Tatapnya berbinar lembut. Laksana ada tersimpan sekeping
cahaya hatinya yang sempat padam. Bibirnya pun bergerak. Menitipkan pesan hangat sebuah
senyum yang tidak lagi begitu tampak manis di bibirnya. Ia pun berbisik,
“Kamu habis menemui Elqo, kan?”
Muslim menganggukan kepalanya perlahan. Seakan begitu berat dan sangat rapat
sekali kedua belahan bibirnya untuk terbuka.
“Kamu marah padaku? Maafkan aku yang telah membuat Elqo demikian parahnya.
Sungguh aku tidak pernah menyangka kejadiannya akan setragis ini. Ketika pikiranku masih
sadar, aku rasa tidak melihat Elqo didepan mobilku. Hingga akhirnya kesadaranku buyar
karena rasa sakit bekas tonjokan Elqo di kepalaku tak lagi dapat ku tahan. Aku tidak tahu apa
yang terjadi kemudian. Aku benar-benar tidak sadar dengan semuanya. Sadar-sadar aku
sudah berbaring disini ditungguimu.”
Muslim diam saja. Matanya memandang buyar tak terarah. Pikirannya seakan jauh
terbang entah kemana. Ia seperti tidak memperdulikan Christian bicara apa. Lamunannya
menerawang tak menentu. Kesana. Dimana roda-roda pembawa meriam cinta berketipak
menyongsongnya.
Christian perlahan bangkit duduk dari tidurnya. Kakinya ia juntaikan ke tepi ranjang.
Ia duduk tepat menghadap Muslim. Kedua tangannya ia gerakkan. Disentuhnya muka
ganteng cowok itu dengan halus. Lalu didongakkannnya agar melihat ke wajahnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Muslim memaksakan bibirnya tersenyum sebagai tanda jawaban atas tanyanya
Christian.
“Terima kasih kau masih sudi menemui serta menungguiku.”
“Aku tidak akan bisa lama melayanimu. Hari ini juga kamu diperbolehkan pulang.
Sementara aku masih harus menunggui Elqo sampai kiranya ia membaik,” ujar Muslim
akhirnya bicara juga.       
“Aku tidak apa-apa. Mungkin kalau kamu berkenan aku bersedia menemanimu disini
untuk ikut menjaga Elqo.”
Muslim menatap mata itu. “Jangan korbankan perasaanmu. Lebih baik kamu
melupakan aku untuk selamanya. Aku bukan seorang gay yang bisa setia pada satu cinta. Aku
tidak layak dicintai seorang actor sepertimu. Masih banyak orang yang akan lebih
membahagiakanmu. Masih banyak gay-gay ganteng yang lain yang bersedia menjadi
pasanganmu. Jangan bersikukuh mencintai gay kelas bawah seperti aku yang sama sekali
tidak mahir melayani adegan bercintamu.”
“Kamu masih mengatakan sesuatu yang sudah tidak ingin lagi ku dengar. Masih
kurangkah caraku untuk meyakinkanmu bahwa aku benar-benar mencintaimu sepenuh
hatiku?”
Muslim mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam sorot mata itu.
“Jika kamu masih berat hati pada Elqo, apakah sudah pasti dia akan setia
mencintaimu? Jikapun Elqo memang menyayangimu, apakah salah jika akupun sama
mencintaimu? Aku rela menjadi kekasih keduamu. Aku tidak keberatan apabila kamu sampai
membagi cintamu. Karena cinta yang sejati itu terlahir dari nurani tulus nan suci. Kamu harus
dengar aku. Kamu harus percaya itu. Cintaku padamu tidak akan terhalangi apapun. Aku
terlalu sayang kamu Most,” bisiknya serak menahan gejolak hatinya yang memuncak
meluapkan lahar cinta yang mendidih.
Alangkah lembutnya bisikan itu. Alangkah merdunya alunan itu. Cinta mulai menerali
lagi hatinya. Perasaan itu bedesir lagi di aliran darahnya. Jantungnya berdetak lagi tersapa:
cin-ta. Jiwanya merekah, semerbak wewangian cinta yang bermekaran indah. Musim semi,
engkau selalu datang tepat waktu menjala cinta yang terbang diantara lebah, kumbang dan
kupu-kupu. Cinta dan keterpesonaan adalah cermin bening air telaga yang beriak terhanyut
dihempasan nafasmu. Bias raut di wajahmu akan tenggelam di danau itu. Dimana sang lebah
memeraskan sedanau madu untukmu berenang dalam ketelanjangan nafsu.
Dipeluknya erat-erat tubuh Christian. Muslim menyandarkan kepalanya di dada
Christian. Air matanyapun berderai membasahi dada Christian. Begitupun Christian
mendekap hangat kekasih hatinya itu. Ia biarkan Muslim mendengar dengan jelas bisikan
yang bersenandung syahdu di balik dadanya. Ada cinta yang bertabuh disana. Laksana
genderang perang di medan laga. Cinta yang melantunkan genderang perdamaian bagi
mereka yang mengenal betapa menyakitkannya sebuah luka!
 
9   ‘cinta, sex dan tuhan’
 
 
Seminggu yang lalu Christian dan Elqo berbaring lemah di ranjang pasien
didalam kamar rawat sebuah rumah sakit. Hari berikutnya Christian dengan setia dan
penuh ketulusan menemani Muslim menjagai Elqo. Meskipun rasa cemburu tak lekang
mengusung perang hati diantara mereka. Tapi, cinta ternyata sanggup menyejukkan segala
murka. Selama hati masih membekaskan cinta, disana kedamaian masih bisa dipaksakan
untuk tercipta.
Kini Elqo terduduk disamping Muslim yang sedang mengemudi laju sedan abu-
abunya. Hari ini Elqo pulang. Setelah seminggu mendekam dalam perawatan.
“Om dan Tantemu sengaja aku tidak mengabarinya perihal kecelakaanmu. Aku tidak
mau mencemaskan mereka. Lagipula aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untuk
menjagamu.”
“Aku ucapkan terima kasih atas segala kebaikan dan ketulusan hatimu. Juga atas
biaya perawatanku selama di rumah sakit,” Elqo mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga.
“Christian yang telah membayar seluruh biaya perawatanmu. Bukan aku.”
Elqo tampak terkejut. “Benarkah?”
“Dia yang menginginkan semua itu.”
“Apakah tidak menyimpan harapan lain dibalik kebaikannya itu hanya demi menarik
simfatimu belaka?”  
“Mungkin Christian tidaklah seperti apa yang kamu kira selama ini. Aku telah lebih
dekat mengenal dia. Soal pembayaran rumah sakit juga ia berpesan agar aku tidak
menceritakannya. Tapi aku tidak mau jika aku merahasiakannya engkau malah
menganggapku yang telah berbaik hati padamu.”
“Biarlah entar aku gantiin.”
“Tidak perlu. Kecuali kamu sudah tidak percaya lagi padaku.”
“Kenapa?”
“Dia akan sangat membenciku. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
“Apakah kamu mencintainya serta merasa takut jika kehilangannya?”
“Kamu mengerti sendiri bagaimana orang yang telah bersentuhan dengan lembutnya
cinta. Dia akan sangat sulit untuk memupus segala goresan warna indah yang melukis
hatinya.”
“Sebaiknya kamu memang mencintai dia,” Elqo menghela nafasnya begitu dalam.
“Kamu jangan bilang lagi sesuatu kata yang menyemangati persengketaan. Kecuali
jika kamu memang sudah membenciku dan tidak ingin lagi melihatku di depanmu. Mungkin
aku akan mewujudkan harapanmu untuk tidak lagi hadir dalam hidupmu.”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya mungkin dia itu lebih baik daripada aku.
Jikapun kamu memang mencintainya, untuk apalagi aku menghalangi kebahagiaanmu?
Bukankah cintamu padanya tidak akan sampai merintangi hubungan kita?”
“Tolong jangan perpanjang lagi membahas masalah ini.”
Elqo pun akhirnya diam. Namun sesaat ia kembali bertanya,
“Christian sekarang kemana?”
“Mengurus dana perbaikan mobilnya sekalian mengambil motormu.”
Sedan abu-abu itu meluncur menembus teriknya matahari yang sebentar lagi bergulir
sekitar 1000 ke arah barat. Namun tidak sampai merangsang tumpahnya keringat di wajah
Muslim. Begitu pula kesejukan tetap menetralkan wajah Elqo. Meskipun wajah itu sudah
tidak lagi semulus minggu lalu. Wajah gantengnya kini belepotan bercak luka. Di dahi, pipi
serta di dagunya masih menyisakan hitam bercak luka yang mulai mengering. Noda putih pun
menghiasi sudut pinggir luar mata kanannya bekas luka tipisnya yang sudah mengering dan
mengelupas. Helm yang dikenakannya tidak menyumbang pertolongan sedikit pun. Karena
terlempar jauh sebab Elqo mengenakannya sembarang pakai sehabis bertarung dengan
Christian.
Muslim membelokkan kemudinya ke kiri menapaki jalan berkerikil sepas mobil.
Persimpangan terakhir menuju rumah Elqo yang berdiri 500 meter dari jalan raya. Rumah
mungil yang asri yang sekelilingnya di pugar pagar teralis serta pohon vinus. Rumah hibah
dari seorang gay yang beberapa tahun lalu telah meninggal. Gay yang merupakan seorang
pengusaha juga pensiunan BUMN. Sebenarnya semula ia lelaki normal. Namun setelah
istrinya meninggal dan anak-anaknya pada sibuk dengan rutinitas kegiatannya, dia sangat
merasa kesepian. Hingar bingar ibu kota tidaklah sanggup mengusir rasa penat dan
kebosanannya untuk menghibur sisa hidupnya. Mencari seorang istri baru bukanlah sesuatu
yang ia harapkan. Sebagai pencinta sejati ia tidak mudah melupakan khasanah cinta pada
istrinya yang telah setia membantunya berjuang menemukan relief megah bangunan
hidupnya. Kerabat kenalannya hanyalah menjadi pengisi sebagian waktunya dikala mereka
punya waktu luang. Sementara dirinya, hampir seluruh waktu yang dipunyainya adalah luang
yang kosong. Siapa yang tak jenuh dengan kehidupan masa tua yang semasa mudanya tidak
pernah akrab dengan Tuhannya? Masa mudanya yang telah berlalu habis dalam pencarian
syurga dunia dengan dalih demi masa depan dan keturunan. Lantas, setelah renta apalagi
yang dapat diharapkan dari masa depan? Jika waktu anak-anaknya habis disibukkan
pekerjaan meneruskan jejak perusahaannya dan mengurus keluarganya. Banban Sironang SE,
setelah meninggal gelar sarjananya sudah tidak berlaku lagi. Karena tanah dan belatung
tidaklah pernah diajari kecongkakan pelajaran hidup. Setelah diciptakan sebagai makhluk
terendah di alam semesta, tugasnya adalah kembali menetralkan apa-apa yang telah terbentuk
dari zatnya.
Banban Sironang adalah senior Omnya. Elqo mengenal pria tua satu ini berkat
tantenya. Semula ia diangkat sebagai grandfather sitter nya. Lalu diakui sebagai anak
angkatnya. Kemudian berlanjut jadi lawan mainnya di atas ranjang. Untungnya Elqo tidak
perlu lama setia mengabdikan dirinya menjadi pencinta lelaki tua renta. Setahun tiga bulan
perjalanan kisah asmaranya, Banban Sironang pun meninggal terkena serangan jantung. Dan
rumah itu akhirnya dihibahkan pada Elqo oleh keluarganya tak luput juga beriring ajuan
tantenya yang memohon kesadaran dan kelapangan pihak keluarga agar mempertimbangkan
Elqo didalam pembagian hak waris. Mengingat pula rumah itu pun bukanlah rumah utama
keluarga besar Banban. Rumah itu hanyalah rumah sebagai tempat istirahat. Lebih layaknya
rumah itu merupakan sebuah vila. Serta vila itu sertifikatnya sudah Banban alih namakan
kepemilikannya pada Elqo Alldear sebelum Banban meninggal.
Muslim memarkir sedannya di halaman rumah itu dibawah pohon vinus yang sedikit
condong. Hari beranjak sore. Jam empat saat itu.
“Keluargamu tidak ada yang menghubungi?” Elqo berdiri menunggu Muslim yang
menguncikan pintu mobilnya.
“Malam itu juga mereka menelponku. Papa sangat marah besar ketika sepulangnya
mereka ke rumah, pintu gerbang dan pintu rumah pada terbuka,” kata Muslim sambil
menghampiri Elqo serta keduanya lalu melangkah menuju rumah.
“Christian yang terakhir keluar.”
“Sama saja. Kita bertiga penghuni rumah itu yang terakhir keluar malam itu,” Muslim
tidak menyalahkan salah seorang.
“Oh, ya. Kunci rumahku … di jacket. Di jacket yang ku pakai itu!?” Elqo seakan baru
tersadar dengan kunci rumahnya yang ia simpan di kantong jacket yang ia pakai waktu
kecelakaan.
“Nih!” Muslim memperlihatkan sesuatu yang diambil dari saku celananya.
“Darimana kamu mendapatkannya?” Elqo heran melihat kunci rumahnya ada di
tangan Muslim.
“Dari jacketmu. Tapi maaf aku telah membuang jacket dan celanamu itu. Habisnya
sudah tidak ada lagi yang mungkin dapat diperbaiki. Robek-robek disana sini. Lagipula bau
darah serta minuman alcohol yang kau taruh di jacketmu itu pecah,” terang Muslim segera
membuka kunci pintu.
“Pantesan di kulit perutku terdapat goresan luka memanjang. Mungkin karena
pecahan botol minuman itu,” tanggap Elqo mengikuti Muslim memasuki rumah.
“Juga aku mau minta maaf atas kelancanganku telah memasuki rumahmu tanpa seizin
dari kamu.”
“Kapan punya waktu kemari? Bukankah kamu selalu berada di rumah sakit
menungguiku?”
“Barang sebentar aku kemari. Sekedar mengurus komputer. Mengetik rancangan
rencana serta menyimpan beberapa dokumen yang sekiranya ku anggap penting.”
“Ternyata otakmu jalan terus buat menyusun agenda masa depanmu rupanya,” Elqo
berjalan menuju kulkas.
“Sejak kemarin aku mengisi kulkas. Ada pepsi dan beberapa botol bir juga buah-
buahan kesukaanmu,” kabar Muslim.
“Terima kasih banget Mus. Kamu selalu saja membuatku merasa senang. Kamu juga
kan yang sudah merapikan berantakannya keadaan rumah?”
“Iya, bareng Christian.”
“Apa?” Elqo terbelalak menoleh Muslim sampai-sampai ia tidak jadi mau meminum
pepsinya.
“Kenapa? Kamu merasa keberatan Christian menginjakan kakinya di rumahmu?”
Muslim menghampiri Elqo.
“Bukan,” sahut Elqo segera meminum pepsi yang telah dibukanya.
“Lalu?” Muslim mengambil pepsi dalam pegangan Elqo.
“Masih ada yang baru. Biar aku bukain,” Elqo sedikit menahan pepsi dari tarikan
tangan Muslim.
“Aku ingin merasakan nikmatnya pepsi yang telah tercelup manisnya bibir sexsimu.
Aku sudah lama tidak merasakan nikmatnya lumatan bibirmu. Aku terlalu merindukanmu
El,” suara Muslim sedikit mendengus berat beriring tatapnya yang begitu tajam seakan ingin
memadamkan kobaran sinar yang terpancar di mata Elqo.
“Bukankah disini kamu dan Christian bebas berkencan?” bisik Elqo dengan nada
suaranya yang bergetar antara rangsangan berahi cinta dan api cemburu.
“Jikalah aku ingin. Terlarang untukku berkencan dengannya di dalam rumahmu.
Christian pun belakangan sering mengajakku bercinta, tetapi aku tidak memberikan waktuku
untuk melayaninya. Selama kamu menderita, aku ingin turut sependeritaan denganmu. Aku
tidak ingin berbahagia diatas rasa sakit yang kau dera. Dan aku hanya ingin, aku bisa
berkencan denganmu sebelum aku berkencan dengan Christian. El, percayalah. Aku sangat
merindukanmu,” Muslim menarik pepsi dari tangan Elqo kemudian didekapnya tubuh Elqo
dengan segenap rasa cintanya.
Sore hari yang kian redup seiring matahari yang kian turun ke tepian perlembahan.
Seakan kembali terang mengangkat matahari kembali ke pusat langit bumi ini dan
diberhentikannya disana dalam gejolak neraka yang teramat panas. Neraka yang berkobar
merebus kedua insan telanjang dalam balutan busana cinta yang mereka pandang itu sangat
elok dan indah ibarat pesona surga. Sungguh, jika mereka sudah bicara soal cinta maka dosa
banyak menjadi perwujudan dari nikmatnya. Laknat itu belakangan berada di urutan paling
ujung kesadaran sedangkan nikmat melesat hebat selalu di posisi pertama dalam tangga
kehidupan berada tepat paling depan serta selalu meraih penghargaan. Dan, apakah benar
cinta itu tak pernah salah? Benarkah ketulusan hati itu tandanya arti cinta sejati, jika jejak
yang dipapahnya selalu berkeping rona norma yang terlahir dari kebijakan selubung nafsunya
sendiri?
Pigeout 506 perlahan memasuki pekarangan rumah diikuti sebuah thunder
dibelakangnya beserta sebuah SupraX yang telah berhenti di tepi gerbang. Setelah memarkir
mobilnya disamping sedan abu-abu, Christian tampak keluar dari mobilnya. Wajahnya
berseri-seri sambil mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengantarkan motornya
Elqo. Juga pada orang yang mengemudi SupraX itu sebagai ojeg yang membawa orang
pengemudi thunder itu kembali ke bengkel. Setelah menolak basa-basi Christian yang
mengajak sejenak singgah buat menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok di dalam
rumah, mereka pun akhirnya lekas kembali pergi.
Christian menutup lagi pintu gerbang. Kemudian langkahnya penuh semangat masuk
ke dalam rumah. Remang cuaca petang menyebabkan keadaan di dalam rumah sedikit gelap.
Sepi. Christian merasa heran sendiri. Hingga iapun teriak memanggil penghuni rumah yang
sekiranya dipastikan ada.
“Most! Moslem! Dimana kau? Apakah kau ada di rumah?” tidak ada yang menjawab.
Tetap sepi seperti sedia kala. Christian mencoba kembali memanggil-manggil barangkali saja
mereka tidak mendengar.
“Moslem! Bersama Elqo kah kamu? Halo!” Christian mengitari keadaan
disetiap  sudut ruangan rumah itu. Termasuk setiap kamarnya. Juga ke dapur tak ketinggalan.
Tapi yang dicarinya tetap tidak ada. Mereka kemana?
Christian bergegas menuju kebun belakang. Disana juga sepi. Yang ia kenali hanya
sebongkah besi yang sempat ia lihat dalam video The Drunk Flyrabbit itu. Beserta suasana
tempatnya yang memang terasa sangat nyaman untuk bercinta. Sebuah ayunan terjuntai tegar
ditengah romantika warna-warni bunga yang merambat rapi di berbagai pohon bunga yang
dibiarkan liar menjulang. Di sekelilingnya rapat pohon vinus memugari tempat itu menambah
kokoh kuatnya benteng yang dibangun setinggi dua meter. 
Setelah mereka tidak diketemukan disana. Christian kembali masuk ke dalam rumah.
Tenggorokannya terasa kering dan haus hingga ia lekas menuju kulkas yang mungkin
barangkali saja tersedia sesuatu yang dapat menyegarkan perasaannya. Kebetulan ia melihat
sakelar lampu yang terpasang di dinding dekat kulkas berada. Lalu dikontakkannya. Ternyata
sakelar lampu ruangan itu. Dan ruangan itupun sekarang tampak t`erang. Namun, terangnya
cahaya lampu neon itu dibuatnya Christian terkesiap. Matanya melihat ke ubin dimana
sebuah kaleng pepsi tergeletak beserta tumpahan airnya yang berceceran. Dilihatnya lagi ke
meja makan. Bukankah pakaian yang tertumpuk di kursi makan itu baju dan celananya
Muslim yang dipakainya seharian ini? Juga itupun kalau tidak salah adalah pakaian Elqo
yang kenakannya semenjak di rumah sakit? Ya. Hati Christian seketika berdesir kencang.
Perasaan itu kembali menghantamnya. Panasnya api cemburu itu kembali membakar jiwanya.
Matanya dengan berapi-api menumpu pintu kamar mandi yang tertutup. Mereka pasti disana.
Karena hanya ruangan itu yang belum dikontrolnya. Mereka pasti bercumbu mesra di kamar
mandi!
Bersama kobar api cemburu yang membara Christian melangkahkan kakinya merapat
ke pintu kamar mandi. Tapi tidak juga terdengar sesuatu dari dalam. Lalu ditempelkannya
telinganya ke daun pintu. Tetap sunyi. Hati Christian jadi bertanya-tanya sendiri diusung rasa
penasaran. Jikalah mereka tidak bercinta di kamar mandi. Lantas mereka dimana? Apakah
dibawah genteng diatas langit-langit rumah itu? Memungkinkankah bila mereka sampai
berkencan disana?
Christian tidak ingin lama-lama beradu emosi dengan perasaan penasaranannya. Ia
segera membukakan pintu kamar mandi itu. Dan,
“Christ!” dari dalam Muslim yang berdiri di ambang pintu telah mengenakan handuk
sebatas pinggangnya tampak terkejut mendapati sosok Christian yang membukakan pintu.
Dengan jelalatan mata Christian berputar ke seluruh ruangan kamar mandi.
“Ada apa? Mau ke air? Atau mau mandi?” Muslim heran atas sikap Christian seperti
itu.
“Eh, kamu mandi sendirian? Kemana Elqo?” tanya Christian lebih meyakinkan lagi
prasangka hatinya.
“Oh. Kamu curiga ya?”
“H … ku pikir,” Christian jadi malu-malu kucing dan salah tingkah dibuatnya.
“Elqo di kamarnya. Kapan kamu kemari?”
“Dua puluh menit yang lalu. Tapi aku tidak menemukan Elqo di kamar.”
“Emangnya kenapa sih? Apa kamu masih mencemburukan kedekatannya sama aku?”
“Enggak. Aku cuma mau bicara aja dengan Elqo perihal motornya,” Christian
berusaha menutupi gemuruh perasaan hatinya yang tiba-tiba saja bergejolak dipenuhi hasrat
cinta melihat bidangnya dada Muslim yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu sungguh seketika
menggairahkan berahi sexnya.
“Kirain mau ngajaknya tarung lagi. Tapi kenapa kamu menatapku sampai sedemikian
seriusnya?” Muslim merasa aneh melihat tatapan Christian yang melongo terhadapnya.
“Aku kangen ingin menjilati dadamu,” desis Christian serak mulai terangsang.
“Hargailah bagaimana perasaan Elqo saat ini,” Muslim menempelkan telunjuknya di
bibir Christian yang belum sehat benar seratus persen.
“Kita ajak Elqo untuk bercinta bertiga. Aku rasa itu akan sangat menggairahkan.
Sekalian aku ingin menjajal seberapa hebatkah kejantanan dia sebagai seorang gigolo,” usul
Christian.
Mendengar ajuan Christian seperti itu, Muslim menarik nafasnya begitu dalam. Lalu
dihempaskannya perlahan seakan ingin menghalau sebuah perasaan yang tiba-tiba meracuni
pikirannya.
“Jangan pernah berharap kita bisa berjamaah berhubungan sex. Elqo sangat
mengecam hal itu,” Muslim bergegas meninggalkan Christian yang masih komat-kamit
menelan ludah dan menggigit bibirnya dalam lamunan indah bercinta dengan Muslim.
Maghrib telah tiba. Aneh sekali rasanya Elqo tidak seperti biasanya kali ini mengajak
Muslim mendirikan shalat maghrib berjamaah. Ditatapnya wajah penuh luka itu. Ada
keharuan yang menyeruak di hati Muslim. Perasaan yang begitu halus menyerap perih ke
palung jiwanya. Adakah sama Elqo yang kemarin yang pertama ia kenal dengan Elqo yang
saat ini berada di hadapannya? Elqo seorang gigolo yang gagah berwajah tampan dan sangat
jantan itu. Elqo yang penuh pesona daya tarik bagi siapapun mereka yang memandangnya.
Masihkah sama Elqo saat ini dengan Elqo yang dulu itu? Elqo! Hati Muslim merintih getir
menyapa nama itu.
“Kenapa?” Elqo merasa heran dengan sikap Muslim.
“Shalatlah sendiri. Sampaikan salamku pada Allah, mungkin akan sangat lama sekali
aku tidak akan menjumpainya lagi.”
“Tidak baik kamu bicara seperti itu. Setiap kesadaranmu itu adalah kesempatan
perjumpaanmu dengan-Nya. Allah tidak membutuhkan shalat kita, melainkan kita shalat
adalah perwujudan rasa butuh kita pada Allah. Dan shalat bukanlah satu-satunya jalan yang
bisa menyampaikan tujuan kita pada Allah. Jeritan jernih nuranimu akan lebih mendekatkan
dirimu pada haqiqat kekuasaan-Nya. Ketimbang perlakuan rukuk dan sujud yang tidak diringi
kebersihan hati dan pikiran untuk menghadap-Nya,” perkataan Elqo sungguh membuat
Muslim terpana. Darimanakah seorang Elqo memahami sebuah fatwa bijak seperti itu?
Bukankah Elqo tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik?
“Jika memang kamu mau shalat. Shalatlah. Terima kasih kau telah mengingatkanku
akan saatnya waktu untuk mengingat-Nya. Semoga Allah memberikan pahala yang besar atas
niat sucimu mengajakku mengerjakan suatu kebaikan yang telah diwajibkan-Nya.”
“Sudahlah. Semoga segala amal baik ataupun buruk yang kita kerjakan diterima
dengan nilai baik di hadapan Allah.”
“Amin!” Muslim mengamininya.
Elqo mengambil sehelai kain lebar yang diyakini kesuciannya dari lemari pakaiannya.
Lalu dihamparkannya di atas lantai kamar. Kain itu dijadikannya sajadah. Yakni alas bersih
sebagai tempat sujud bagi orang-orang yang mengerjakan shalat. Maklum selama ini dia
tidak pernah merasa berkepentingan dengan yang namanya Tuhan. Sehingga meskipun dalam
pengakuan lisan dan data tertulisnya Elqo itu beragama Islam. Tapi sudah berapa tahun
lamakah  hidupnya kosong dari makna keTuhanan? Apakah benar kali ini ia akan menghadap
Tuhan? Apakah yang akan diadukannya pada Tuhan? Apakah ia akan mengaduh perih
menjatuhkan air matanya guna merayu Tuhan agar mau berbaik budi padanya? Mungkinkah
Tuhan akan perduli padanya jika Tuhan pun selama ini tidak pernah diperdulikanya? Ataukah
Elqo menghadap Tuhan itu untuk bertaubat atas segala dosa yang telah dilakukannya?
Jikapun benar ia akan bertaubat, apakah taubatnya itu berhubungan dengan kecelakaan dan
derita yang harus diembannya sekarang? Hanya Tuhanlah yang tahu apa yang Elqo panjatkan
dalam do’anya.
Christian nongol di pintu kamar. Rambutnya masih tampak basah sehabis mandi. Dia
hanya mengenakan celana panjangnya sehingga dadanya yang telanjang menampakan kedua
puting susunya yang kembali dipasangi anting-anting. Dia tidak langsung masuk ketika
melihat adegan Elqo yang sedang melaksanakan shalat.
“Kamu tidak shalat?” Christian menoleh Muslim yang keluar dari kamar.
“Bedebah dengan yang namanya shalat!”
“Lho!?” Christian mengikuti Muslim keluar menuju teras yang belum dinyalakan
lampunya.
“Percuma aku shalat juga jika perbuatanku tidak mencerminkan keIslamanku.”
“Shalat juga kan cerminan nyata yang menunjukan keIslamannya seseorang?”
“Aku tidak suka kemunafikan. Itu saja. Tidak sedikit ahli shalat yang akan menjadi
penghuni neraka kelak di akhiratnya,” Muslim duduk di teras yang diterangi redupnya cahaya
bulan separuh yang menyerpih dedaunan pohon vinus. Sungguh terasa betapa indahnya di
tepian malam itu.
“Kau bilang tukang shalat banyak yang jadi ahli neraka. Apalagi yang tidak
melakukan shalat,” Christian duduk disamping Muslim sambil mengenakan bajunya.
“Jika aku memang ingin masuk surga. Aku tidak punya jaminan amalan shalatku
dapat ditukar dengan kemaha megahannya surga. Aku lebih menyetujui pendapatnya
Nurkhalish Madjid yang tidak memusatkan titik tumpu kedekatan umat manusia terhadap
Tuhannya hanya melalui rutinitas ubudullah yang telah tertera dalam kitab-Nya saja.
Melainkan ibadah yang mendekatkan Tuhan dengan manusia itu adalah ibadah yang tidak
terjerat sebuah keterbatasan. Yaitu setiap pergerakan manusia yang sanggup mengoneksikan
hati nuraninya pada kejernihan jiwanya hingga sampai pada tingkat kesucian ruhiahnya
bertemu Tuhan dalam konteks Tuhan itu berupa sinaran yang menggetarkan ruhani, maka
disanalah terciptanya amalan ibadah yang sampai kepada Tuhan. Karena shalat dan
sembahyangmu di gereja itu hanyalah formalitas bentuk ibadah saja. Sebagai pembeda antara
adat dan budaya yang dibatasi hukum agama yang sesuai mengikuti arus perkembangan
zaman. Dibalik semua ajaran agama yang ada, pusat dari peradaban manusia dan
peribadatannya itu sama yaitu proses perjalanan menuju Tuhan. Agama hanyalah sebuah
organisasi yang terhimpun dari perkumpulan beberapa manusia yang tergabung untuk
memegang satu prinsip yang sama. Jikapun Tuhan itu menunjuk hanya satu agama saja yang
benar, apakah Islam merupakan agama yang menjamin umatnya masuk surga? Sedangkan
Islam sendiri sekarang sudah banyak sekali alirannya. Mana dari himpunan syariat-syariat
Islam itu yang paling benar yang mempunyai stempel asli atas nama Tuhan? Semuanya
memiliki keyakinan yang sangat kuat. Mereka yang paling benar. Jika memang demikian,
surga ataukah neraka yang lebih luas tempatnya apabila melihat janji Tuhan yang hanya
mengakui satu agama saja yang benar?
Ku rasa Islam dan Kristen juga agama lain yang ada di muka bumi saat ini semuanya
mengajarkan kebenaran. Selalu berpacu pada azas keTuhanan. Sungguh agama mengajarkan
manusia agar bertahta mulia. Siapapun dia yang beragama, terlepas agama apapun yang
mereka pegang. Senyatanya mereka telah meyatakan kerendahan dirinya dengan sangat
terhormat. Mereka menyadari dan meyakini bahwa hidup ini ada yang menciptakanya. Ada
kekuatan sesuatu yang Maha Besar dan Maha Sempurna yang menggerakan kehidupan ini.
Yaitu Tuhan.
Sedangkan kita Christ. Tuhan kita ini sebenarnya siapa, jika perbuatan kita tidak
mencerminkan salah satu ajaran agama manapun? Apakah Tuhan kita masih akan mengakui
kita sebagai hamba-Nya, seandainya keyakinan kita terhadap-Nya hanya berupa pengakuan
saja tanpa adanya bukti nyata menjalankan tata cara ibadah yang telah dianjurkan-Nya?”
Muslim menerawang jauh ke negeri awan putih dimana segala kebenaran terpantau amat jelas
dari atas sana. Ia seakan ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya itu seperti apa. Kalau
kuasa, mungkin Muslim inginnya meminjam buku amal seorang manusia yang dicap masuk
surga oleh Allah dari tangan malaikat pencatat amal. Biar ia bisa meniru dan meyakinkan
hatinya bahwa jalan yang ditempuhnya benar-benar jalan lurus sesuai kehendak Tuhan. Dan
kalau bisa, ia ingin melihat buku catatan amalnya biar ia bisa mengoreksi diri tentang dimana
letak nilai baik dan buruk amalnya berada. Jika ia telah tahu, mungkin tidak akan ada lagi
keraguan untuknya melakoni jalan hidup dalam jalur agamanya. Dan mungkin saja,
homoseksual itu tidak pernah tercatat merah dalam lembaran buku amalnya!
“Lalu sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya?” Christian akhirnya terdengar
bicara setelah beberapa saat mereka terdiam dalam permainan manjanya semilir angin
malam.
“Seandainya kita masih mempertahankan sifat kehomoseksualan kita, aku ingin
mendirikan agama khusus buat kaum homoseksual. Yang menjadikan agama poros tengah
bagi kalangan kita. Mengapa bisa sebagian kalangan meruntuhkan ajaran agamanya demi
membenarkan homoseksual? Sedangkan mendirikan agama baru yang sama sekali tidak
merubah atau menduplikat ajaran agama yang telah ada mesti dilarang?”
“Kamu yakin dengan pilihanmu?”
“Daripada aku merasa terkekang oleh hukum agamaku. Lebih baik aku mendirikan
agama baru yang bisa ku atur hukumnya semau sendiri. Daripada aku terus dihantui perasaan
berdosa pada Tuhanku. Mungkin dengan agama baru aku bisa lebih akrab lagi dengan Tuhan.
Karena aku akan selalu merasa dikasihani, dicintai dan diperhatikan-Nya tanpa adanya
perasaan takut atas pencekalan-Nya. Aku akan beribadat lebih khusuk lagi. Karena
keyakinanku sepenuhnya mengimani-Nya. Aku berjanji dengan agama baruku aku akan
menjadi orang yang lebih baik lagi. Sebagai umat yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk
Tuhannya.”
 
10 ‘CRYSIS;
 
Agama tanda cinta hidup’                 
 
Kehidupan Muslim yang dilanda krisis keyakinan semakin kritis. Jiwanya yang
labil membentuk segumpal keyakinan baru yang sangat kuat menggerakkan IQ, EQ dan
SQnya. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya terus beputar mencari fatwa-fatwa
dan paham yang sekiranya bisa memperkuat untuk membenarkan keyakinannya. Anehnya,
Muslim seperti yang mengabaikan kebijakan ibunya dalam pengambilan dasar-dasar
pembentukan aliran paham barunya itu. Muslim merasa pendapat ibunya dalam
pemberdayaan kaum homoseksual itu tidaklah begitu kuat untuk dijadikan dasar terbentuknya
agama baru yang diusungnya itu. Dia malah mengambil dalih Dr. Anis Malik Thoha tentang
pluralisme agama yang termaktub dalam bukunya berjudul ‘Tren Pluralisme Agama’, yang
menyatakan bahwa:
‘… di kalangan para ahli dan berbagai disiplin ilmu, ada kecenderungan baru yang
cukup kuat untuk memperluas definisi agama hingga mencakup semua jenis kepercayaan
dan keyakinan serta ideology, baik yang berketuhanan (theistic) maupun tak berketuhanan
(non-theistic), sebagaimana dalam klasifikasi John Hick, atau jenis agama alternative yang
menurut terminology Paul Tillich adalah ideology yang mirip agama atau ideology
pengganti agama (quasi-religions), atau menurut istilah Ninian Smart adalah filsafat hidup
atau pandangan dunia (worldviews) …’
“Aku tidak mempunyai komentar apa-apa atas niatmu untuk mendirikan agama baru.
Jika kamu memang akan merasa nyaman dengan agama barumu, mungkin itu pilihan yang
bijak daripada tidak beragama sekalipun. Jika memang seluruh agama yang ada di muka
bumi ini tidaklah satupun yang engkau pahami, daripada kamu memegang satu agama yang
hanya menykisa batinmu saja dan merasa kamu selalu berdosa terus menerus karena tidak
ikhlas kamu menjalankan syariatnya. Semoga saja agama baru yang kau yakini beserta Tuhan
yang akan kau lantik itu bisa membawamu pada akhlak yang mulia. Aku hanya bisa
memberikan dukungan moral kepadamu. Aku berharap kamu bisa menjadi pemimpin agama
yang baik. Menjadi suri tauladan bagi seluruh umat agamamu. Laksana mulianya Nabi
Muhammad SAW dalam mendakwahkan Islam. Selamat berjuang! Do’a dan cintaku selalu
menyertaimu,” semangat Elqo penuh haru sambil mengelus-elus bahu Muslim yang
bersimpuh mohon do’anya.
Dengan mata yang berlinang, tatapan matanya sejenak beradu. Kemudian didekapnya
tubuh itu. “Atas rasa cinta pada dunia dan hidupku. Aku dirikan agamaku,” bisik Muslim
lirih.
Hari itu, Jum’at 13 Juni 2008 diadakan konferensi meja bundar di kediamannya
sahabat dekat Christian. Mister Rothe Vej yang juga seorang gay meski dulunya sempat
kawin dengan perempuan Indonesia. Tapi 9 minggu yang lalu dia hengkang ke Calipornia
mempersunting seorang gay asli sana. Sehubungan kontrak kerjanya di Indonesia telah usai.
Maka bangunan rumahnya ia titipkan pada Christian sebelum ada orang yang besedia
membelinya. Dan sampai saat itu belum ada orang  yang berminat hingga rumah itu untuk
sementara kosong tidak ada yang menempatinya.
Dengan demikian rumah yang terletak di Jl. Papaya 06 kawasan Jagakarsa Jakarta
Selatan itu sangat nyaman untuk dijadikan tempat rahasia terlaksananya perundingan antar
senior gay Indonesia yang sudah dikirim lampiran undangan sebelumnya. Sekitar 60 orang
gay dari berbagai daerah dan kalangan agama yang hadir dalam acara itu. Terdiri dari 33
tokoh gay (20 laki-laki termasuk Muslim dan Christian, dan 13 perempuan) dan 27 fanatisme
gay dan lesbian yang ingin ikut berpartisifasi dalam menyumbang aspirasi demi kemajuan
indevendensi koloninya.
Acara dimulai dari jam 15.30 WIB. Christian yang pada saat itu tampil rapi bertugas
selaku moderator. Disaat Muslim menyampaikan tujuan utama dari pertemuan itu yaitu
perihal rencana membentuk sebuah lembaga khusus demi pemberdayaan hak asasi kaum
homoseksual. Seluruh peserta setuju dan memberikan sambutan yang meriah dengan harapan
besar yang menggunung tentang cerahnya masa depan mereka. Tapi setelah Muslim
menerangkan lebih jauh tentang lembaga yang akan didirikannya itu mengusung jalur
keagamaan yakni membentuknya sebuah agama baru yang diperuntukkan khusus umatnya
homoseksual. Terjadilah disana pro dan kontra. Adu pendapat antara para fanatic agama
dengan kaum bebas.
Muslim tidak menindaklanjuti anggota forum dengan demikian exstrim. Ia
menjelaskan kecenderungan lebih baiknya perkembangan gay di dunia khususnya Indonesia
jika sudah terbentuknya sebuah wadah yang berazaskan keTuhanan. Dan lebih memberikan
janji manis seandainya mereka mempunyai agama sendiri niscaya akan terbentuknya
peraturan-peraturan yang bersifat sangat memprioritaskan kepentingan dan hak-haknya.
Setidaknya begitu juga dengan pemerintahan akan memberikan perlindungan hukum yang
sejajar sesuai undang-undang yang berlaku.  
Usai musyawarah yang cukup menarik dengan beragam pendapat yang dilontarkan.
Maka terbentuklah sebuah keputusan mufakat yang 90% setuju untuk mendirikan agama
baru. Kemudian Muslim mengetengahkan usul tentang nama agama barunya itu :
‘CRYSIS’, singkatan dari CRYS (Christian/Kristen) dan IS (Islam). Kenapa
mengambil namanya mesti menggabungkan nama dua agama tidak mengambil nuansa baru
dan umum? Karena dari semua anggota gay yang hadir saat itu terdiri dari dua umat agama.
Yakni Kristen 21 orang dan Islam 39 orang. Lagipula dua agama ini merupakan agama yang
paling sering besinggungan di muka dunia. Dan misi CRYSIS itu sendiri adalah sebagai
agama poros tengah yang bisa menjadi pemersatu dan juru perdamaian bagi Kristen dan
Islam. Khususnya kaum homoseksual. Karena agama ini adalah khusus diperuntukkan
sebagai agamanya kaum homoseksual. Terlepas mereka berlatar agama apapun sebelumnya.
Tidak semata-mata Muslim menamainya CRYSIS kalau tanpa sebuah pemikiran yang
matang. Karena CRY bisa berarti seruan atau tangisan, berlanjut dengan makna CRYS yang
diambil dari kata CRYSTAL yang berarti Kristal sesuatu zat yang bening, juga CRYS sebagai
pelesetan dari Keris yakni sebuah perkakas yang unik dan tajam yang ketika zaman dulu
terkenal kesaktiannya, dan IS berarti adalah atau ada atau berada,
atau IS itu ISSUE yaitu masalah, atau pulaISME yakni paham, juga layak
menambahkan IS itu berasal dari suku kata ISLAND yang berarti tanah atau pulau. Jadi
secara istilah CRYSIS bisa diartikan sebagaiseruan paham bening atau suci yang
mengabarkan bahwa sesuatu itu ada tempatnya. Jika huruf Y diganti dengan I maka
menjadi CRISIS yang berarti masa gawat. Maka secara umum CRYSIS mengandung
makna wadah atau agama yang tajam menyerukan paham kebenaran bagi umat yang
bermasalah sangat gawat dengan agama yang dianutnya. Dan diambilnya perpaduan kata
CRYSIS tidak ISCRYS (Islam-Kristen) juga memiliki makna tersendiri dilihat dari mata
penilaian sejarah dimana Kristen atau Nasrani dengan Injil nya jauh lebih dahulu
berkembangnya dibawah kenabian Isa AS dengan pangkat Almasih ketimbang Islam yang
baru muncul di abad kelima Masehi dalam kerasulan Muhammad SAW yang diberi gelar Al-
amin.
Sepertinya Muslim tidak main-main dengan rencananya. Terbukti dari
kemantapannya itu ternyata dia tidak hanya mempersiapkan nama untuk agama barunya itu
saja melainkan sudah lengkap dengan simbol CRYSIS yang syarat dengan makna. Lihat!
 

 Lambang CRYSIS yang terdiri dari gabungan beberapa simbol:

bulan bintang menunjukkan simbol Islam, bulan dan bintang sebagai sumber cahaya yang
indah yang bersinar teduh di tengah gelap gulitanya malam.
 salib menunjukkan tanda Kristus, pengorbanan Yesus demi menebus segala dosa seluruh
umatnya.
 gen biologis kelamin perempuan, pemikiran yang bulat dan positif.
gen biologis kelamin laki-laki, petunjuk yang bulat (mantap/benar).
 kertas simbolik dari kitab,   sebagai azas ketuhanan dimana adanya hukum yang mengatur
kehidupan.
 

Sedangkan warna: *biru; merupakan cerminan pribadi kelembutan dan keromantisan yang


netral _tidak seperti warna fink yang cenderung mendominasi sifat perempuan_, *abu-abu;
transparansi sebuah rahasia yang terselubung, *ungu; banyak orang yang menasbihkan
sebagai warna yang identik dengan barang second (duda/janda)._tetapi lain halnya dengan
nama sebuah band_ dan *putih; adalah kesucian.
 
Jadi kalau melihat definisi CRYSIS dari simbolnya bisa diartikan sebagai cahaya petunjuk
yang benar ditengah kegelapan yang sanggup mensucikan dosa manusia yang memiliki
kesatuan perasaan nafsu sex dengan nurani yang bersumber dari Tuhan yang cinta kasih-
Nya begitu nyata dirasakan bagi mereka yang telah dianggap tidak berarti lagi dalam
agamanya.
 
Tetapi dibalik semua rancangan yang sudah disusunnya, keputusan tetap harus hasil
mufakat. Sehingga akhirnya Muslim menyerahkan kesepakatan ke forum. Dan ternyata, tak
ada satupun suara yang menyanggahnya. Mereka setuju. Sangat setuju! CRYSIS adalah
agama logika yang penuh janji manis tentang masa depan yang dinamis dan realistis. Agama
yang sangat humanis. Melindungi hak asasi cinta bagi pasangan sejenis! Selamat datang
bagimu yang teraniaya dan merasa sudah terasingkan dari qadratmu sebagai manusia! Agama
ini menyambutmu penuh cinta. Welcome, if you want to world is loving you!  Caused it’s the
largest heaven. Ever you think it’s maybe no! Congratulation … for you is your new God! No
fear to love. God together love always.   
Lalu, siapakah Tuhan itu? Dalam CRYSIS Tuhan itu tidak perlu dikenal nama-Nya
siapa. Tuhan hanyalah kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha Kuasa menciptakan manusia
beserta alam raya semesta. Tanpa ada batasan-batasan waktu sebuah rutinitas untuk beribadat
pada-Nya. Dan Muslim tidak serta merta menobatkan dirinya sebagai nabi. Cukup puas
dengan tersampaikannya mukzizat kepada umat juga. Ilham terang pemberi petunjuk bagi
mereka yang tersesat dalam langkah menuju Tuhan yang bisa menyayangi mereka. Dialah
Tuhanmu. Cukup kau panggil Tuhan. Dia pasti akan menolehmu.
 
Maka dalam pertemuan itu dicapailah kebijakan mufakat yang sangat sakral:
1.      Agama CRYSIS
2.      Simbol CRYSIS
3.      Tuhan adalah sebagai nama Tuhan itu sendiri
4.      Homoseksual sebagai umat utama
Sementara peraturan hukum akan dikaji dalam musyawarah selanjutnya yang
berkesinambungan. Kumpulan kesepakatan akan tertuang sebagai kitab suci.
 
Dan malam itu, tepat jam 21.00 WIB mereka menyatakan keCRYSISannya. Tangisan
haru yang syarat penuh cinta laksana hujan yang turun di padang tandus. Peluk cium suka cita
menebar harmoni damai diantara senyum bahagia. Inikah agama sesungguhnya yang mereka
dambakan? Wahai dirimu yang rindu damai dan kesejahteraan, selamat datang! CRYSIS
untukmu gay yang haus kasih sayang Tuhan. Disini tempatmu berpijak dalam kebenaran. Tak
ada lagi dosa untukmu bercinta. Karena Tuhan pun tidak tentu bagaimana kelaminnya.
Dipeluknya Muslim erat-erat. Dialah yang pertama memeluknya dan kini dia juga
yang mengakhiri dari serangkaian pelukan cinta dan kehormatan dari jemaat barunya. Wajah
Christian menyemburatkan sinar kemenangan. Kebahagiaan. Kebanggaan dan kepuasan. Air
mata cinta seorang gay. Sebening nuansa suci hatinya yang sejuk tersinar serpihan cahaya
Tuhan yang Maha Benar akan segala apa yang dititipkan pada makhluk ciptaan-Nya.
“Sejarah hidup kita dimulai dari sini. Semoga engkau merasa senang atasnya, Christ!”
“Aku sangat berbahagia sekali saat ini. Ternyata kita memang sehati. Jiwamu adalah
jiwaku. Nuranimu adalah cahaya hatiku. Antara kita tidak mungkin dapat dipisahkan lagi.
Aku sembahkan jiwa ragaku padamu. Muslim, sekarang aku milikmu. Aku akan
mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu. Bakti dan cintaku adalah untukmu.
Perlakukanlah aku layaknya seorang kekasih memperlakukan kekasihnya. Baik dan buruk
amalku, engkaulah yang akan menjadi sumber tauladanku. Kalau engkau mau, tak segan
untukku sampaikan kabar gembira kenabianmu pada seluruh umat. Wahai dirimu seorang
utusan Tuhan yang bijak. Syibhi Muslim Al-Adl,” begitu sempurnanya Christian berlakon
laksana jerat cinta kama sutra sidiqnya Abu Bakar pada Muhammad.   
Malam yang kian larut bertebaran sinar bintang penuh gemerlap cahaya keagungan
yang mempesona. Sepertinya alam sangat berbaik budi pada malam ini. Adakah memang
senyatanya Tuhan lebih menyukai kehidupan yang terpecah kembali menyatu dalam suatu
kesatuan yang berbeda? Inikah ilham? Inikah mukzizat? Inikah kecerdasan? Inikah
kebenaran? Inikah perkembangan? Inikah kemajuan? Inikah kemanusiaan? Inikah
keTuhanan? Atau inikah…? Ya, inikah memang inilah. Begini adanya. Kebebasan manusia
yang sempurna memiliki sifat yang mulia. Manusia yang ingin dimanusiakan
kemanusiawiannya. Manusia yang ingin memanusiakan manusia. Manusia yang telah merasa
hilang harga dirinya sebagai manusia ditengah peradaban manusia. Manusia yang sudah tidak
merasa lagi menjadi manusia dihadapan Tuhannya. Lantas apa sebenarnya yang Tuhan lihat
saat menyaksikan mereka? Binatangkah mereka itu di matanya? Syaitankah mereka itu dalam
tingkahnya? Apa mungkin Tuhan sudah salah melihat? Atau karena Tuhan sudah rabun dan
pikun? … Ah. Jangan paksakan aku untuk membaca sesuatu yang lain yang lebih parah dan
menjauhkan diri dari-Nya. Jika mereka memang merasa benar. Apakah dengan semudah itu
aku harus menyalahkan sesuatu yang ku pilih? Bukankah ini juga kebenaran tentang sebuah
keyakinan?
Lakum dinukum waliyadin; untukmu agamamu, untukku agamaku! Diamlah, karena
kita sama-sama benar. Jika memang kau masih merasa umat yang beriman. Imanlah pada
agamamu. Karena agama bukan sebuah paksaan. Tapi terlahir demi menyelaraskan sifat
manusia dengan Tuhan dan kebenaran.
“… saya sengaja menunggu Bapak berdua.”
“Ada sesuatu yang sangat penting kiranya?” Tanya Muslim dengan ramah.
Kalau kelaminnya perempuan wajah itu mungkin cantik. Apalagi kulitnya yang putih
bersinar itu sangat halus dan lembut. Bibir tipisnya yang merah merona itu sangat manis
menggoda. Sungguh siapa gay pejantannya yang tidak terjerat hatinya? Gay feminim satu ini
penuh kelembutan. Laki-laki yang manis. Senyumnya segar laksana strawberry. Matanya
hitam putih umpama kopi susu. Menggiurkan hasrat mereka yang merindukan belai lembut
kemanjaan. Evel lelaki berambut lurus sejengkal acak-acakan itu.
“Saya sangat terkesan dengan idealisnya pemahaman Bapak tentang memaknai
hidup,” ujar Evel mengawali pembicaraan.
“Terima kasih. Jika kamu bisa menerima CRYSIS, marilah kita berjuang bersama
demi melindungi hak-hak kita sebagai gay.”
“Eh, sebelumnya aku minta maaf. Apa tidak lebih nyamannya bila kita berbincang
sambil menikmati secangkir kopi hangat?”
Muslim melihat pada Christian. “Kamu lapar?”
“Mungkin saudara Evel juga sama,” Christian melemparkan alibi pada Evel.
“Tidak juga. Saya masih berasa kenyang dengan konsumsi yang disuguhkan tadi
juga,” sanggah Evel sambil tersenyum.
“Aku ngerti. Kamu tadi terlalu suportif dalam musyawarah hingga lupa makan segala.
Padahal kamu sendiri yang memesankan catering. Tapi sebenarnya aku juga sama lapar.
Hanya rasanya aku merasa lebih nyaman ngobrol disisni. Kamu ke warung saja dan tolong
pesankan aku satu,” kata Muslim.
“Evel?” Christian melihat Evel.
“Tidak usah. Terima kasih.”
“Jangan begitu. Kalau tidak mau makan. Kopi, susu atau minuman dan makanan lain
barangkali?” tawar Muslim.
“Kalau begitu teh hangat saja. Saya merasa tidak enak jadi merepotkan.”
“Enggak apa-apa. Sungguh kami yang malah akan merasa tidak enak tidak bisa
menjamu kunjunganmu dengan memuaskan,” timpal Muslim.
Sementara Christian berlalu menuju warung nasi terdekat yang memberikan
pelayanan 24 jam. Muslim dan Evel duduk di tepi teras rumah dibawah redupnya cahaya
lampu yang tergantung di langit-langit.
“Saya sangat merasa senang sekali. Apabila CRYSIS sudah disyahkan pemerintah.
Mungkin kita akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan sudah dapat dipastikan seluruh
homoseksual di dunia akan menyambut kedatangan CRYSIS dengan penuh suka cita.
Seandainya kaum gay sudah tergabung dalam satu kesatuan badan hukum, tidak menutup
kemungkinan kita dapat mendirikan Negara bagian khusus bangsa CRYSIS,” Evel sangat
antusias menyambut hangat kehadiran CRYSIS yang penuh janji kerukunan dan
kesejahteraan hidup homoseksual dalam romantika berkasih sayang dan berkeTuhanan.
“Kamu menghadiri launcing agama gay ini ikut beserta kesatuan homoseksual daerah
mana?”
“Saya mendapat informasi dari forum lingkar gay Bogor. Antolin Joseph dan Titia
Alimistri sebagai ketua perkumpulan gay dan lesbianisme Bogor yang tadi sempat menolak
terbentuknya CRYSIS,” terang Evel.
“Latarmu sendiri?”
“Belum lama ini saya terjun dalam semarak kebahagiaan hidup gay.”
“Apa karena terjerumus pada sebuah masalah? Atau berawal dari bisikan nuranimu
sendiri?”
“Masalah itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Baik buruk dampak yang
ditimbulkan sebuah problematika yang kita hadapi, berawal dari sikap sadar dan sabarnya
kita juga. Dalam hal ini saya tidak menepis jika sifat kehomoan saya tumbuh dari sebuah
masalah. Saya terjerat hubungan cinta dengan pelacur yang bisex. Saya tidak pernah
menyangka akan mempunyai anak dari keturunan manusia kotor dan hina seperti itu. Dan
parahnya anak itu lahir diluar nikah. Sungguh sesuatu yang membuat saya merasa sangat
dilemma dengan yang namanya cinta. Setelah itu saya tidak mempunyai lagi kepercayaan
pada yang namanya cinta. Saya tidak memperdulikan lagi makna kesucian dan harga diri.
Dimanapun saya mau sex, disitu saya cari kenikmatan. Tapi saya tidak sejalang pelacur-
pelacur liar. Karena yang saya cari adalah kenikmatan yang berada diatas keadilan,” Evel
menuturkan lakon drama hidupnya yang tersudut dalam sebuah prinsip.
Muslim menatap Evel yang terduduk dekat disampingnya dengan sorot matanya yang
buyar ke depan.
“Hai!” sapanya lembut pada lelaki itu.
Evel meliriknya. Lalu bibirnya yang merah itu tersenyum. Dug. Ada sentuhan halus
menumbuk dada Muslim secara tiba-tiba. Senyum itu terlalu manis. Hati Muslim bergetar
lembut. Darahnya berdesir lirih menebarkan gula-gula bibir itu pada setiap sel tubuhnya.
“Kenapa?” bisik Evel penuh jerat.
Muslim menelan ludahnya. Mengapa lelaki ganteng dihadapannya itu bisa-bisanya
membekukan sel syarafnya? Muslim mencoba berusaha menjaga image kepemimpinannya.
“Jadilah dirimu sendiri. Yakinlah dengan apa yang kamu perbuat bahwa segalanya itu
adalah kebenaran,” kilahnya memotivasi keyakinan Evel.
“Bukan sesuatu yang salah seandainya saya mencintai Bapak?” mata Evel yang
lembut tapi tajam itu membidik kekuatan karismatik aura seorang Muslim. Muslim yang
sesaat terdiam. Menormalkan proses jiwanya yang tergoyang hebat.
“… eh, jangan biarkan nafsumu mempermainkan akal sehatmu. Cintamu hanya
tergoda dipandangan pertama. Tidak patut kau banggakan diriku dengan cintamu,” Muslim
berusaha menyembunyikan getar hatinya yang senyatanya memang tergoda.
“Salahkah jika saya mencintai Bapak? Apa itu bukan sesuatu yang baik demi
memperkuatnya keyakinan saya tentang CRYSIS?”
“Tidak semata-mata aku dirikan CRYSIS kalau aku bukan gay. Aku sudah
mempunyai pasangan yang tak mungkin dapat terpisahkan lagi.”
“Pak Christian kan? Bapak sudah menikah dengannya?”
“Sebatas kekasih.”
“Jikapun Bapak dengan Pak Christian sudah menikah juga saya tidak keberatan
menjadi pasangan Bapak yang kedua. Bukankah CRYSIS juga membolehkan poligami?”
Muslim tertegun dalam tatap penuh arti tertumpu di mata laki-laki manis itu. Adakah
mungkin undang-undang poligami itu dalam CRYSIS? Jangankan poligami, undang-undang
perkawinanpun belum terbentuk. Apakah mungkin ada K.U.A (Kantor Urusan Agama)
CRYSIS yang bakal melegalkan perkawinan sejenis di negeri mayoritas Islam ini?
“CRYSIS baru terbentuk. Kita lupakan dulu masalah pribadi. Kita dahulukan dulu
urusan yang menyangkut kepentingan banyak umat CRYSIS yang mungkin saja akan
semakin bertambah. Lagipula CRYSIS belum tentu aman. Tidak menuntut kemungkinan
CRYSIS akan menghadapi banyak hujatan dan celaan dari khalayak. Belum tentu pemerintah
juga bersedia mengizinkan CRYSIS. Kita harus berjuang membela dan mepertahankan
CRYSIS. Kita harus memberikan paham agar mereka mengerti. Kita harus bisa meyakinkan
mereka. Jika tidak, mungkin saja aku bisa dipenjara,” Muslim menyampaikan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi dalam CRYSIS dengan harapan Evel mau mengerti.
“Bolehkah saya menyentuh Bapak? Barang sejenak saja saya ingin menikmati
hangatnya memeluk Bapak. Lama sekali saya tidak merasakan kedamaian hati seperti
sekarang ini. Saya merasa sangat jatuh hati sekali pada Bapak. Saya jatuh cinta,” mata Evel
berbinar-binar.
Muslim terdiam. Nafasnya dihela perlahan. Kenapa cinta itu seperti itu? Adakah
kesalahan dari dirinya yang selalu melantunkan cinta pada setiap mereka yang tak pernah
dimimpikannya?
“Ataukah CRYSIS mengharamkan menjamah orang bukan mukhrim?”
“Bagaimana bisa kita mengharamkannya. Justru CRYSIS tercipta demi menghindari
keharaman dan keterlarangan hubungan sex antar sejenis. Karena dunia homo identik dengan
simbol sex bebas. Maka CRYSIS mencoba mengaturnya dalam binaan agama. Agar homo
tidak lagi sebebas sex tanpa ikatan. CRYSIS bertujuan menyatukan jalinan cinta dan sex
homoseksual ke dalam  sebuah bahtera rumah tangga. Agar mereka bisa berkeluarga.
Mengecap indahnya kehidupan yang sempurna layaknya orang sex normal kebanyakan,”
jelas Muslim lagi penuh harap.
“Izinkan saya memeluk Bapak,” Evel menggeser duduknya merapat pada Muslim.
Kedua tangannya rekah seraya mendekap Muslim.
Muslim biarkan saja Evel memeluknya. Biarkan saja kehangatan itu merebak
menyebar ke seluruh sel organ tubuhnya. Biarkan saja jantungnya berdebar. Biarkan saja,
karena ia tidak tahu harus berbuat apa jika hatinya juga senyatanya mengiyakannya.
Mengiyakan Evel berbuat seperti itu terhadapnya. Mengiyakan Evel mendekapnya. Dimana
desir cinta bedenyut di kedua nadinya.
Disandarkannya kepalanya itu di bahu Muslim. Wajah keduanya begitu dekat.
Nafasnya telah menyatu dalam satu helaan udara yang sama. Muslim tergoda. Berahi itu
membakarnya. Ah, Muslim tak kuasa. Didekatkannya wajahnya dengan wajah itu. Semakin
dekat. Dan, rapat. Ciuman itu … akhirnya mendarat! Mengapa kenikmatan itu selalu saja
datang berulang? Padahal dia punya janji yang belum usai dengan orang terkasihnya. Janji
setia pada mereka yang mencintainya.      
Langkah Christian terhenti beberapa jarak dari teras rumah. Api itu membara lagi.
Membakar lagi. Panas lagi. Gejolak itu. Cemburu yang memburu. Namun sejenak. Christian
berusaha kembali menetralkan perasaannya. Saat ini Muslim bukan lagi hanya miliknya
seorang. Tapi jauh lebih banyak lagi mereka yang akan memujanya. Satu langkah bergerak
ke depan. Muslim menemukan satu pemujanya. Dua, tiga,empat, lima, sepuluh, seratus,
seribu langkah ke depan. Apa Muslim harus dibiarkan digerayangi seribu pemujanya juga?
Tapi sebatas pengertian, Christian pun mengerti. Hanya, bukankah semenjak kecelakaan itu
Muslim dan dirinya belum sempat sekalipun meluangkan waktunya buat bercinta? Lalu,
sekarang di depan matanya pemuda yang sangat dicintainya itu bercumbu dengan orang baru
kenal sampai sedemikian mesranya? Lantas, dimanakah letaknya batasan kesetiaan itu?
Cukupkah setia berarti saat butuh harus ada?
“Oh, ya. Nih pesanannya,” Christian membuyarkan keromantisan mereka dengan
sikapnya yang berlaga acuh dan biasa-biasa saja. Kok bisa ya Christian yang pencemburu
berat itu berlaga netral?
“Pak Christ. Izinkan saya mencintai Pak Muslim. Bukan berarti saya hendak merebut
Pak Muslim dari tangan Pak Christ. Tetapi alangkah mulianya Pak Christ seandainya sudi
berbagi Pak Muslim dengan saya. Saya sangat mencintai Pak Muslim. Jangan marahi Pak
Muslim jika Pak Christ cemburu. Saya yang sengaja merayunya. Karena saya sangat ingin
sekali bercinta dengannya. Maafkan kenistaan saya. Demi CRYSIS saya bersedia
mengorbankan apapun juga. Asal berilah celah bagi saya untuk mencintai Pak Muslim,” Evel
bicara demikian tegas dan jelas penuh kepastian.
“Bukan sesuatu yang harus diperkarakan. Kita harus bisa saling pengertian. Tidak
salah apa yang kamu rasakan. Sebab cinta itu adalah kebenaran,” kilah Christian sangat bijak.
Muslim tidak berkomentar perihal kejadian itu. Ia seakan tidak ingin banyak cakap
apa-apa. Ia mengerti bagaimana perasaan Christian saat ini. Ia menyalahkan dirinya cukup
dalam hatinya. Dan ia jangan berlaku lebih bego dari itu. Bagaimanapun juga Christian itu
sekarang sudah siapanya dia? Christian adalah … yang memujanya sebagai kekasih. Ya. Dia
harus menjadi tauladan. Segenap tingkah lakunya melangkah diatas terompah CRYSIS.
Muslim mengambil makanan yang dibawakan Christian. Begitupun teh hangat
dikasihkannya pada Evel. Setelah mengajak Evel yang menolaknya untuk makan bersama,
Muslim dan Christian pun segera mengenyangkan perutnya.
“Maafkan aku atas apa yang telah terjadi!” ucap Muslim dengan segenap kerendahan
diri.
“Kau tahu sendiri apa yang aku rasakan. Tapi saat ini aku harus mengerti, CRYSIS
bukan milik kita berdua. Aku harus menerima kehadiran orang lain dalam hidup kita. Kau
bukan hanya milikku. Tapi milik orang banyak, mereka pengikut CRYSIS. Agama yang
terlahir dari agungnya nuranimu. Jangan pernah merasa salah kepadaku karena banyaknya
orang yang mencintaimu. Aku hanya pengikutmu. Sesuatu yang kau anggap baik, baik juga
bagiku dan bagi mereka. Karena segala fatwamu adalah kebenaran yang bersumber dari
Tuhan. Bagaimanapun jejakmu, aku dan mereka ikut melangkah menyertaimu. Sabdamu
adalah petunjuk arah dalam perjalanan hidup kami semua…” penuturan Christian begitu
tegar mengalun syahdu laksana dawai biola yang tergetar. Suara kesucian dari merdunya
dawai hati seorang sufi. Christian, yang kembali suci seputih kelahiran.
“Elqo menghubungi,” Muslim melihat monitor ponselnya.
“Angkat saja,” Christian tulus.
“Gimana acaranya udah kelar?” Tanya Elqo.
“Sejak jam sebelas.”
“Launcingnya sukses?”
“90%.”
“Syukurlah! …!?” suara Elqo lalu diam.
“El. Apa ada sesuatu yang sangat penting?” Tanya Muslim heran.
“Enggak. Cuma kangen aja pengen ketemu kamu.”
“Jam segini kamu belum tidur?”
“Mana bisa tidur. Pikiranku inget sama kamu terus. Kangen banget. Inginnya aku
menyusulmu ke situ. Tapi ku kira kamu akan segera pulang. Nyatanya belum nongol juga.
Padahal usainya jam sebelas. Sedang ini udah jam setengah tiga. Kamu kencan dulu sama
Christian kan?”
“Percayalah padaku. Aku dengan Christian tidak ngapa-ngapain.”
“Aku percaya padamu. Tapi jikapun memang kamu bercinta dengannya juga gak apa-
apa. Aku tulus kok. Aku juga menerima diriku saat ini bukan lagi Elqo yang sanggup
menggairahkan berahimu …”
“El. Jangan berkata sesuatu yang lebih terbuka lagi soal itu. Tanpa pengakuanmu juga
aku pun tahu. Tapi cintaku padamu tak akan memudar karena itu.”
“… aku ingin semua orang tahu tentang aku. Termasuk Christian agar dia tidak lagi
mencemburukan kita. Tolong ceritakanlah pada Christian bagaimana keadaan aku sekarang.
Atau biarkan aku bicara dengannya. Atau jika dia sedang mendengarkan aku ngomong.
Syukurlah! Christ …”
Muslim seketika memutuskan saluran. Dengan wajah muram ia menonaktifkan
HPnya. Ada gurat kekesalan yang tersirat di raut mukanya. Christian memperhatikannya
dengan heran. Kenapa Muslim seperti yang tidak menghendaki Elqo bicara padanya? Ada
apa gerangan?
     
 11 ‘IMAN;
 PERCAYA DAN YAKIN’
 
“Kenapa semalam kamu memutuskan teleponku serta tidak mengaktifkannya?”
“Aku tidak ingin melihat Christian bahagia setelah mendengar kejujuranmu.”
“Itu lebih baik bagi masa depan kebahagiaanmu.”
“Okelah kalo kamu memang mau orang lain wajib tahu tentang kamu. Aku siap
membantumu untuk menyebarkan berita kebodohanmu lewat media cetak dan media
elektronik sekalipun. Biar semua orang tahu. Biar dunia tahu. Biar …”
“Muslim!” Elqo menenangkan ego Muslim yang seketika meledak.
Muslim meredam emosinya sendiri. Nafasnya tersengal tertahan. Ada kecamuk batin
yang berontak memaki. Ia menghardik kenyataan yang dihadapinya. Ia muak!
“Sory!” Muslim menghempaskan nafasnya begitu sesak. Berat kiranya untuk ia
rasakan beban yang menimpanya itu.
Keduanya lalu terdiam. Sedan abu-abu itu terus meluncur. Membelah kedua perasaan
yang menumpanginya. Terbelah teriknya matahari musim panas yang membakar siang. Di
jalur tol jagorawi menuju Bogor.
“Apa mungkin CRYSIS sanggup menggantikan posisi Islam di hatimu?” terdengar
suara Elqo mendayu lembut.
“Jika Islam masih menghendaki aku berpegang teguh mengimaninya, mungkin aku
tidak akan melalui perjalanan hidupku menjadi seorang homoseksual.”
“Kamu mengimani CRYSIS sepenuh hatimu?”
“Aku yang mendirikannya. Bagaimana mungkin aku untuk tidak mengimaninya.”
“Apa tidak lebih baik jika CRYSIS hanya dibentuk sebagai sebuah lembaga
pemberdayaan homoseksual saja yang mempunyai peraturan tersendiri? Tidak lekas
menjadikan CRYSIS sebagai agama.”
“Kalau sebuah lembaga anggota yang tergabung didalamnya itu dari berbagai agama
dan keyakinan. Dan agama mana di dunia ini yang melegalkan kaum monosex untuk
mendapatkan perlakuan yang adil? Tak ada satupun kitabnya yang memuat firman Tuhan
tentang keabsahannya homoseksual. Semua fatwa yang ada sekarang hanyalah bersumber
dari mengkelirukannya manusia memaknai agamanya. Yang ingin kebebasan tapi masih
merasa takut murtad. Yang ingin kesenangan tapi masih berharap ingin diakui Tuhan sebagai
umatnya. Sehingga dengan sengaja mereka meracuni paham umatnya dibalik kedok agama.
Apa mereka berlaku demikian tidak lebih sesat dan menyesatkan umat beragamanya untuk
menjauhi fatwa-fatwa kebenaran Tuhan yang seutuhnya? Mereka banyak menyamarkan
makna-makna yang tersirat dalam kitab suci dan sabda para Nabi dengan pemahaman
barunya yang lebih logis dan realistis berdalih diatas pengadaptasian agama terhadap
perkembangan zaman. Mereka menyelewengkan kebenaran. Mereka banyak merenovasi
firman Tuhan tapi tidak mau mengambil alih kekuasaan-Nya. Mereka itu picik. Ingin
mengembangkan pahamnya diatas kepopuleran dan kemajuan sebuah agama yang sangat
besar pengaruhnya di dunia. Tidak mau bekerja keras mendulang keberhasilan dari nol.
Mereka itu pengecut. Jika mereka punya paham sendiri tentang prinsip hidup dan keTuhanan,
kenapa tidak mendirikan kesatuan organisasi yang sepaham dengannya? Jangan mencarut-
marut dan campur adukan pahamnya pada umat yang sudah  berkeyakinan,” Muslim begitu
sentimentil.
“Jika aku tidak bersedia menerima CRYSIS sebagai agamaku. Apa Islam tidak akan
menjadi musuhmu?”
“Agama itu dimiliki oleh orang-orang yang sadar akan adanya Tuhan. Dan agama itu
hanya dapat diterima dengan sebuah ketulusan. Agama yang dipegang tanpa keyakinan akan
menyebabkan umatnya tidak punya tanggung jawab untuk berbudaya agama. Aku tidak akan
memaksa siapapun untuk berpegang pada CRYSIS. Yang akan aku lakukan hanyalah
memberikan penjelasan tentang paham CRYSIS yang bagiku sudah dipastikan bahwa
CRYSIS itu bersumber dari sebuah kebenaran. Apakah salah aku menyampaikan kabar
kebenaran? Menerima ataupun tidaknya itu berada di tingginya puncak keyakinan mereka.
Karena CRYSIS adalah agama yang sangat memuliakan setinggi-tingginya harkat martabat
homoseksual sebagai manusia di mata Tuahannya.”
“Kamu lebih merasa berarti hidup menjadi seorang gay?”
“Siapa bilang? Justru aku hengkang dari Islam juga karena aku merasa hidupku sangat
tidak ada artinya sama sekali dalam agamaku.”
“Apa tidak lebih baiknya kamu berhenti jadi seorang gay dan memulai kehidupan
baru sebagai lelaki normal ketimbang mesti repot mengurusi kegiatan baru keagamaan
agamamu?”
“Sekarang memang kamu baru sadar setelah kamu kehilangan banyak rencana masa
depanmu. Sekarang kamu boleh insyaf dan mengatai gay itu abnormal dan hina setelah kamu
cacat sex. Sedangkan dulu jauh sepuluh tahun sebelum hari ini semasa kamu masih enjoy
menikmati indahnya bersensasi sex sebagai gigolo apa pernah terlintas untukmu menginsyafi
segala kekotoran dan kebiadabanmu sebagai manusia yang beragama? Apa pernah kamu
kenal dekat dengan Tuhanmu? Apa pernah kamu ingat akan kitabmu? Apa pernah kamu
merasa takut pada Nabimu? Apa pernah terlintas ngerinya api neraka di benakmu?
Kini. Saat ini. Sekarang kamu baru sadar. Sekarang. Bukan dulu. Sekarang dikala
dirimu sudah merasa tidak berarti lagi sebagai seorang lelaki sejati. Disaat kelaminmu sudah
tidak terangsang lagi dengan sex. Dengan berahi perempuan dan laki-laki. Setelah kamu
sudah tidak punya nafsu sex lagi. Kenapa? Kenapa tidak sedari dulu kamu sadar dan kembali
pada ajaran agamamu?” Muslim seakan ingin habis-habisan menyudutkan serta menyalahkan
total akhlak Elqo selama ini. Seakan ingin membuatkan cermin yang kembali memutar
bayangan segala perbuatan buruk Elqo. Seakan benar-benar ingin menghakimi dosa-dosa
Elqo. Elqo yang dulu jalang. Yang dulu gagah. Yang dulu jantan. Yang dulu tak pernah
mengenal Tuhan!
Seraut wajah yang masih menyisakan paras tampannya. Kini tidak seangkuh dulu
lagi. Dari kedua sudut matanya bergulir bening butiran-butiran kristal tejatuh di tebing curam
pipinya yang tidak lagi semulus dan sehalus dulu. Hatinya terkoyak. Tercabik sayatan pisau
berkarat. Pisau yang terlupa ia pendam dalam endapan lumpur hitam dosanya.
Air matanya berderai jatuh. Deras. Menghujani debu-debu yang menempel di hatinya.
Debu-debu yang berhamburan dari jejak langkahnya selama perjalanan. Debu yang telah
menebal. Menutup hatinya dari serpihan cahaya terang.
Elqo terisak perih. Setiap hembusan udara yang keluar masuk laksana menghela
sembilu yang ditarik ulur antara hidung dan paru-parunya. Sungguh, ia tak kuasa menahan
sakit yang menderanya. Sakit yang tak pernah terbayangkan akan terlalu dini menghimpitnya.
Rasa sakit yang tidak mungkin Muslim ikut merasakannya. Dan ia tidak ingin Muslim akan
menghadapinya. Elqo takut, jika Muslim harus mengalami luka yang sama dengannya. Bukan
hari ini, tapi nanti! Jika bukan di dunia, derita itu pasti akan menyergapnya. Saat orang lain
sudah tidak memperhatikannya, tapi dia sendiri yang mencela dan menyesalinya. Saat pintu-
pintu telah tertutup kecuali lorong sepi berdinding bara. Saat kelamin sudah tidak lagi
menghadirkan kenikmatan surga!
“Jadi kamu akan taubat setelah Tuhan memberikan adzab? Kamu akan mencontoh
nasib yang aku alami? Kamu akan sadar setelah Tuhan memberikan peringatan? Apa kamu
yakin Tuhan akan ngasih kamu kesempatan untuk taubat setelah kamu diberi adzab?” suara
Elqo tegar penuh pertimbangan tidak ada lagi raut kesedihan yang terbias di wajahnya.
Sebuah ketulusan menerima kehendak Tuhan yang diperuntukannya. Sebuah kelapangan hati
menerima kenyataan kisah hidupnya dengan penuh kesadaran.
“Tuhan tidak pernah salah menurunkan adzabnya. Mungkin kita bisa mengambil
contoh dari karma yang menimpamu. Sebuah kejadian yang membuktikan bahwa gigolo atau
pelacur yang doyan gonta-ganti pasangan, yang suka pada laki-laki dan perempuan justru itu
adalah orang yang tidak normal dan dibenci Tuhan. Faktanya terlihat jelas dengan apa yang
kau alami. Jika Tuhan merasa tidak senang dengan kaum homoseksual ada kemungkinan
Christian pun akan mengalami hal serupa sepertimu karena kecelakaan kalianpun bersamaan.
Tapi nyatanya kenapa Christian baik-baik saja sementara kamu sangat parah dan kelaminmu
sampai putus urat syarafnya?
Jikapun memang homoseksual itu dibenci sama Tuhan. Bukankah dengan sangat
mudahnya Tuhan melaknat dan mengadzabnya? Kenapa kaum homoseksual itu dibiarkan
gentayangan? Dibiarkannya tetap hidup? Apa tidak membuka cakrawala pemikiran kita,
bahwa homoseksual itu juga manusia sebagai ciptaan Tuhan? Manusia yang telah sengaja
Tuhan warisi sifat suka sesama jenis. Jika bukan sifat bawaan yang Tuhan taqdirkan, lantas
sifat kehomoan itu terilhami dari sifat makhluk seperti apa? Bukankah ruh dan jasad manusia
itu hanya Tuhanlah yang Maha Kuasa menciptakannya?” Muslim mengetengahkan berbagai
paham yang akurat dengan hasil tinjauan sudut pandangnya secara konkrit dan aktual. Seperti
yang hendak membuka mata Elqo lebar-lebar untuk melihat sejelas mungkin apa dan
bagaimana kebenaran itu.
“Ya! Tuhan memang murka terhadapku. Dan aku menerimanya dengan tulus dan
penuh kesadaran. Mungkin adzab yang aku terima sebanding dengan dosa yang telah aku
perbuat. Atau bahkan dosaku lebih besar lagi ketimbang balasan yang Tuhan timpakan. Aku
sangat bersyukur Tuhan telah menyapaku dengan demikian bijaknya. Aku yakin apa yang
aku alami ini adalah sebagai tanda dari kasih sayang-Nya. Tandanya Tuhan masih
memperhatikan gerak-gerik tingkahku. Tandanya Tuhan tidak ingin menyaksikan aku
menderita dalam gejolak siksa neraka. Hingga dia menyadarkan aku. Aku kira seperti inilah
bentuk peringatan-Nya yang sempurna untukku. Setelah dengan cara lemah lembut aku tidak
menurut. Dengan sedikit kekerasan akhirnya akupun tunduk. Masih untung aku dikasih
waktu untuk hidup. Padahal jika ditinjau dari aspek kegunaan, apalah gunanya seorang Elqo?
Manusia yang berlumur noda yang sama sekali tidak bermanfaat hidupnya. Jangankan untuk
orang lain, untuk dirinya sendiri sangat merugi. Jangankan menyumbang kekuatan manusia
pada keimanan, sebagai umat agamanya juga sudah tidak diperhitungkan.
Sementara apa yang kamu pahami Tuhan itu menyayangi hubungan satu jenis dan
diperkirakan Dia dengan sengaja menciptakannya serta melindunginya. Jika demikian apakah
Tuhanmu dalam Islam dan Tuhan Christian dalam Kristen itu sama kekuasaan-Nya? Lalu jika
Tuhan yang telah berkuasa selama ini mengakui dan mencintai budaya monosex, kenapa
kamu mesti membentuk CRYSIS sebagai agama yang berTuhan baru? Bukannya kamu
tercipta berkat kemaha kuasaan Tuhan Allah?” Elqo mencoba menyisir kembali pemahaman
Muslim tanpa sedikitpun memberikan penekanan dalam nada bicaranya.
“Tuhan itu memiliki makna yang sangat luas. Dalam pandangan mata batinku alam
semesta beserta seluruh isinya termasuk manusia didalamnya itu diciptakan oleh kekuatan
yang satu. Yaitu Tuhan yang Maha Esa yang Maha Kuasa atas segalanya. Tuhan yang
diperkenalkan oleh Adam dan Hawa. Setiap agama yang terbentuk siapapun itu nama
Tuhannya, tetaplah tujuannya satu mengarah pada keEsaan Tuhan yang Maha Kuasa. Hanya
tata cara ibadahnya saja yang berbeda sesuai dengan masa berkembangnya keyakinan
manusia. Aku tidak tahu pasti agama mana yang merupakan asli bentukan Tuhan. Sejauh ini
agama tak lebih fungsinya hanya sebagai wadah yang memberikan aturan untuk
menyelaraskan proses peribadatan manusia terhadap Tuhannya. Agar perilaku manusia itu
tertata dengan rapi. Terlihat rukun dan teratur. Semua umatnya tertata sama. Hingga adanya
perintah dan larangan yang semata demi menyeimbangkan siklus kehidupan di muka bumi.
Ibadah yang diwajibkannya beserta sarana ibadah yang dikhususkannya adalah sebagai
bentuk persatuan perkumpulannya. Sebagai ajang pembentuk kedisiplinan pribadi solidaritas.
Pemersatu perbedaan.
Dan aku membentuk CRYSIS menurutku bukanlah sesuatu yang salah. Siapapun
yang ingin mendirikan agama baru di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang salah. Selama
masih meninggikan derajat Tuhan sebagai dzat yang Maha Mengatur kehidupan, mungkin
disana kebenaran masih terpijak oleh kakinya. Karena seandainya diantara nama salah satu
Tuhan yang menjadi simbol kekuatan agama yang ada selama ini menjamin sebuah
keakuratan-Nya sebagai Tuhan pencipta alam raya ini. Mungkinkah Dia akan membiarkan
makhluk-makhluk ciptaan-Nya memproklamirkan sebuah kekuasaan baru Tuhan yang lain
dari-Nya?
Aku yakin Tuhan penguasa jagat buana ini hanya satu. Jika banyak; Islam, Nasrani,
Yahudi, Budha, Hindu, Mazusi dan banyak agama yang lainnya itu berarti setiap agama
punya daerah kekuasan Tuhan tersendiri. Dan dimana letaknya pusat kekuasaan itu?
Bukankah tak ada yang lebih menyebutkan selain dari tingginya peradaban langit dan bumi?
Kalau saja Tuhan itu banyak. Tak mungkin ada yang mau jadi Tuhan adikuasa kekuasaan
Tuhan agama yang lain. Pasti Tuhan-Tuhan yang Maha Kuasa itu menciptakan lagi makhluk-
makhluk-Nya diluar bumi dan angkasa luas langit yang ini. Juga mana mungkin Tuhan-
Tuhan itu mau menjiplak dan membajak bentuk makhluk-makhluk yang sudah diciptakan
Tuhan yang lain. Begitu juga dengan bentuk bumi dan langitnya. Dan bila berpikiran sejauh
itu, agama lalu menyudutkan kita pada kekufuran. Apa itu bukan suatu kekangan bagi
hamba-hamba-Nya yang ingin tahu sejelas mungkin tentang keTuhanan guna demi
mempertebalnya keimanan dan keyakinan? Bukankah mulianya manusia itu karena diberi
kelebihan akal dan nafsu? Jika pemikirannya dicekal, dibatasi dan ditutupi lalu akal manusia
itu berfungsi sebagai apa?
Dengan demikian apa salahnya jika aku juga mendirikan agama baru beserta Tuhan
angkatan baru pula? Bukannya selama ini tidak pernah mendengar adanya protes dan hujatan
dari Tuhan yang pertama membangun bumi dan langit? Tak ada peperangan Tuhan antar
agama. Karena senyatanya Tuhan itu hanya satu. Maha Tunggal. Hanya latar keyakinan dan
cara pelaksanaan ibadah menuju pada-Nya saja yang berbeda. Aku ingin homoseksual punya
peraturan sendiri. Bisa menata ibadah menuju Tuhan yang diyakini. Menurutku jika sudah
merasa Tuhan itu mencintai dan mengasihi niscaya tak ada lagi keraguan untuk melakukan
beribadah kepada-Nya. Aku ingin kaum homoseksual yakin bahwa ada Tuhan yang
melindungi pergerakan mereka. Tuhan yang bisa mencintai dan menjaga kehidupan mereka.
Bukankah rasa aman dan nyaman dalam beribadah akan menciptakan nuansa kehidupan yang
damai yang selalu mencerminkan sifat adab manusia yang cenderung bernilai positif?
Dimana ketulusan dan kekhusuan dalam melaksanakan kewajiban ibadah akan tercapai
sempurna,” jelas Muslim panjang lebar mengutarakan segala pemahamannya tentang Tuhan,
agama dan keyakinan menurut tinjauan kritisnya. Sebuah paham yang sekiranya mau tidak
mau memaksa Elqo harus menerima dan memahaminya. Mungkinkah pemahaman seorang
Sarjana Agama dapat diterima oleh pemikiran kerdil seorang lulusan SMA yang rendah
wawasan agamanya?
“Orang bodoh seperti aku memang lebih kebal dan takut untuk mengikuti modernisasi
keTuhanan. Biasanya memang lebih dominan dengan keortodokan. Karena perjalanan
hidupnya selalu menjauh dari Tuhan. Tidak pernah bersinggungan. Tidak pernah teringatkan.
Sehingga ketika ia tersadar, ia seolah baru terjaga dari mimpi yang mengerikan. Ia bangun
dan mengitari sekelilingnya dengan pemandangan yang seperti sedia kala. Tak ada yang
berubah. Pikirannya statis mengingat sesuatu yang sempat dikenalinya pertama kali. Jika ia
waktu tidur diatas ranjang, maka setelah bertualang dari mimpi arwahnya pasti akan kembali
ke jasad yang berbaring diatas ranjang lalu terbangun dengan pemandangan yang sama.
Demikian pula dengan Tuhan. Pertama aku mengenal agama adalah Islam dengan
Allah selaku Tuhannya. Sehingga ketika aku kembali tersadarkan perihal keTuhanan, aku
kembali pada Allah dan Islam. Tidak seperti perjalananmu yang senantiasa diselubungi
ruhani keTuhanan selalu dalam setiap apapun gerakmu. Otomatis apa-apa yang kamu lakukan
selalu berujung pada pemikiran nilai hak dan bathil. Niscaya dengan sendirinya apabila kamu
melakukan sutau perbuatan yang  melanggar larangan Tuhan akan menyebabkan kamu
depresi. Kamu merasa tersiksa dengan dosa. Sementara apa yang kamu lakukan itu
menurutmu adalah benar. Maka wajar saja jika pikiranmu stress. Terkekang antara hukum
agama dengan kenyataanmu.
Dari awal juga aku tidak pernah ingin ikut campur masalah keyakinan yang kau
pahami. Wawasan kamu tentang agama lebih luas ketimbang aku. Jika Muhammad sudah
tidak layak lagi menjadi suri tauladan bagimu. Jika Allah sudah tidak patut lagi kau sembah
sebagai Tuhanmu. Jika peraturan Islam sudah tidak lagi bertindak adil terhadapmu. Mungkin
pantas kiranya buatmu mendemo Allah agar lengser dari jabatannya sebagai Tuhan. Kamu
dan kaum homoseksual berhak melucuti gelar Tuhan-Tuhan yang telah berkuasa selama ini.
Anggaplah agama itu sebuah Negara. Dimana Tuhan ibaratnya presiden. Malaikat adalah
para menteri kabinet. Sedangkan Nabi adalah gubernur. Atau agama itu lebih layaknya dalam
konteks pengertianmu tak jauh dengan sebuah partai…”
“El. Kapan kau dengar aku bilang agama itu adalah sebuah partai?” potong Muslim
sedikit tersentuh.
“Kemungkinan saja menurutmu begitu. Tapi … apakah CRYSISpun akan
memberikan jaminan kehalalan sex bagi para penganutnya?”
“Itulah misi utama terbentuknya CRYSIS.”
“Jadi akan ada majelis agama sendiri yang mengurus keharmonisan umat CRYSIS?”
“Begitulah. Yang aku prioritaskan dibidang perkawinan dulu.”
“Bukannya sekarang juga sudah ada majelis hukum yang secara syah mengawinkan
pasangan homoseksual?”
“Itu bukan agama.”
“Jika laki-laki menikahi pria dan perempuan kawin dengan wanita, apa tidak
menuntut kemungkinan akan berkurangnya populasi manusia dikarenakan terhambatnya
proses perkembangbiakannya?”                       
“Justru itu lebih baik demi tercapainya program Keluarga Berencana,” sahut Muslim
asal saja.
“Apa alasan itu cukup kuat untuk membela CRYSIS seandainya nanti didebat dalam
persidangan antar pemuka umat agama?”
“Apa tidak lebih baik ketimbang aborsi?”
“Otakku sudah error. Pikiranku sudah tidak normal lagi. Sebentar lagi mungkin aku
akan gila. Sekarang, aku serahin gimana baiknya saja. Juga maafkan aku seandainya hanya
bikin masalah dan menghambat rencanamu saja,” tandas Elqo akhirnya.
“Bukan suatu masalah yang mesti diperselisihkan. Itu malahan lebih baik demi
menambah dewasanya permikiran kita. Mungkin ini sesuai dengan ajaran Islam yang
meramal kehidupan akhir zaman akan lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
Menggambarkan sebuah perbandingan yang tidak seimbang. Hal itu menurutku sangat
realistis dengan kehadiran kaum homoseksual. Makin banyaknya jumlah gay maka makin
berkurang jumlah laki-laki normal. Juga makin maraknya banci alias waria -wanita pria- atau
wanita imitasi, apa itu bukanlah sebuah bukti nyata mengurangi populasi pria normal secara
drastis?”
“Kau lebih memilih bersaing untuk mendapatkan cintanya laki-laki normal daripada
memilih jadi laki-laki normal yang banyak  dicintai?”
“Bukankah ketidak seimbangan jumlah nominal jenis kelamin sudah termasuk dalam
rencana Tuhan sejauh waktu? Begitupun dengan banyaknya golongan agama juga sudah
termasuk dalam rencana-Nya bukan? Mengapa kita mesti berusaha menghambat
perkembangan zaman yang sudah dirancang-Nya? Jika kekacauan yang terjadi sekarang ini
sudah menjadi standar manusia akhir zaman yang terlampir dalam firman-Nya. Apa tidak
lebih kafirnya manusia yang hendak memupus kebenaran fatwa Tuhan dan Rasul-Nya yang
menyatakan sejelas-jelasnya tentang akhir zaman?”
 
 
 
12 ‘cinta sejati;
 
Sekali jadi tak pernah mati’
 
“Jadi kamu dengan Christian benar-benar akan menikah?”
Sesaat Muslim terdiam. Lalu jawabnya pelan, “Mungkin!”
“Daripada aku nanti lebih terluka parah melihatmu menikah dengan Christian. Aku
harap Bogor menjadi kenangan terakhir kita dalam saling mengenal. Aku tidak ingin akhir
hidupku semakin hancur dan menderita menyaksikan dirimu yang telah sempat membuatku
bahagia.”
“Kamu membenciku karena CRYSIS?” Tanya Muslim pelan.
“Bukan benci, tapi karena cinta aku lebih baik tidak mengenalimu lagi,” sahut Elqo
berbisik getir.
“Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa menerima kehadiran CRYSIS.”
“Percuma aku meyakini CRYSIS juga. Kelaminku sudah tidak akan lagi memberikan
kepuasan sex bagimu.”
“Kita harus berusaha dan tetap yakin kalau kelaminmu bisa kembali normal.”
“Lebih baik jangan bermimpi aku bisa melayani permainan sexmu lagi. Bagiku ini
sudah cukup menjadi sebuah peringatan yang sangat berarti. Aku yakin apa yang terjadi
padaku saat ini adalah kehendak-Nya agar aku mendapat kesempatan untuk taubat dan
menikmati indahnya hidup dalam kebenaran petunjuk-Nya. Aku yakin kalau Tuhan yang
telah menciptakan aku itu adalah Allah. Hingga aku diperkenankan oleh-Nya untuk kembali
pada-Nya. Setelah aku banyak berzina dan sempat menyakiti perasaan wanita. Setelah aku
ketakutan mempunyai keturunan serta sempat menggugurkan janin dalam kandungan mereka.
Setelah aku jadi pengecut tidak memiliki tanggung jawab. Aku vaksetomi. Kelaminku
dikebiri. Dan kini … kelaminku impotensi! Maka jangan berusaha menghalangi aku pergi.
Karena sudah tak ada yang dapat diharapkan lagi,” ratap Elqo begitu dalam.
“Kamu yakin akan tetap pergi dariku?”
“Semoga saja kebahagiaan menyertaimu selepas aku pergi darimu.”
“Aku tidak pernah berharap kita akan berpisah. Bagaimana bisa aku menghancurkan
bangunan cintaku padamu yang sangat demikian besar kekuatannya?”
“Robohkan sedikit demi sedikit sebagaimana dulu ketika kamu secara bertahap
membangunnya.”
“Jika kamu mau berpegang teguh pada Islam, aku tidak akan memaksakan keyakinan
CRYSIS padamu. Karena cintaku padamu tidak akan terhalangi perbedaan itu.”
“Islam tidak membenarkannya. Sekali lagi. Jangan paksa aku mengakhiri
kebersamaan kita dengan kebencian.”
“Jadi benar-benar kau ingin meninggalkanku sejauh mungkin?”
“Sudah keputusanku,” tandas Elqo mantap tanpa sedikitpun keraguan yang tertangkap
dalam sikapnya.
“Jadi ini akhir perjuanganmu setelah berhasil menjadikan aku sebagai seorang homo?
Kau sengaja menjerumuskan aku pada indahnya percintaan dunia homo? Sengaja kan kau
mau menghancurkan hidupku? Lalu setelah berantakan kau mau meninggalkannya begitu
saja? Inikah arti cinta kasih yang kau ajarkan itu? Inikah akhirnya? Apakah pantas Islam
menjadi naungan orang-orang berdosa seperti kita? Apakah tidak malu nanti dihadapan
Muhammad kita diadili? Orang berpendidikan rendah tentang agama seperti dirimu tidak
akan banyak yang akan kamu pertanggungjawabkan. Sementara aku? Aku seorang sarjana
agama yang terlahir dari keluarga agamis dan dididik secara benar dalam keagamaan. Apa
tidak akan berat nanti menghadapi proses pertimbangan amal?
El. Aku sungguh kecewa padamu. Kamu egois. Kamu tidak mengerti perasaanku.
Padahal semua apa yang aku perjuangkan selama ini juga adalah demi aku bisa hidup
bersamamu secara syah dalam sebuah bahtera rumah tangga. Aku tidak perduli kamu
impoten. Aku tidak membutuhkan tegangnya penismu saat bercinta. Jika kamu memang mau
membahagiakan aku, bukankah mulut, tangan dan duburmu juga masih bisa membuat
penisku ereksi?
Tapi sex bagiku bukan satu-satunya alasan untukku bersikeras ingin tetap bersamamu.
Lebih dari itu. Aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untukmu. Aku ingin menebus
segala kesalahanku yang telah aku perbuat selama ini padamu. Aku ingin membuktikan
seberapa besar cintaku padamu. Aku ingin memperlihatkan pada orang-orang normal bahwa
gay juga mempunyai cinta suci. Cinta yang bukan hanya berasal dari nafsu sex belaka.
El. Dulu mungkin aku sempat berkata memberikan kebebasan untukmu pergi dariku
serta mengharapkanmu dapat menikah dengan seorang perempuan. Dulu aku ingin
melihatmu menjadi pembawa kabar baik buat kaum gay, bahwa seorang gay juga bisa
kembali normal dan hidup berumah tangga secara wajar. Tapi sekarang tidak lagi. Kamu
sudah impoten. Dan aku tahu dari dokter konsultasimu kalau kamu impoten total yang tidak
dapat diusahakan lagi untuk normal. Sejak tahu itu. Aku jadi takut untuk melepasmu. Aku
kira tidak akan ada wanita yang sudi menikah denganmu. Jikapun kamu membohongi mereka
dan membawanya berumah tangga, kamu sebagai orang yang berperikemanusiaan tidak akan
tega melihat istrimu tersiksa karena tidak terpenuhi kebutuhan batinnya. Dan kamu tidak
akan berbuat bodoh membiarkan istrimu menuntut haknya sebagai istri pada pengadilan.
Kamu tahu istrimu akan meminta cerai. Lalu kamu akan menanggung aib sebagai lelaki yang
tidak berguna.
El. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau akhir hidupmu tersiksa. Aku ingin
menjagamu. Aku ingin tetap menjadi orang yang mencintaimu. Maka dari itu keinginanku
untuk membentuk forum gay Indonesia yang sempat down karena harapanmu yang
menginginkan aku menjadi pria sejati, kembali menggebu setelah mendengar kabar
keimpotenanmu. Didukung lagi dengan kehadiran Christian yang senyatanya dia mempunyai
cita-cita ingin mendirikan komunitas gay Indonesia berbasis internasional. Apalagi dengan
kebijakan ibuku sebagai guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta yang sudah demikian
sangat jelas simfatiknya melegalkan keberadaan kaum homoseksual dalam Islam. Juga
deklarasi Semarang yang memuliakan tingginya derajat kaum homoseksual sebanding
dengan martabat manusia heterosex. Fatalnya mereka berdalih dibawah naungan agama Islam
yang sudah jelas mengharamkannya. Atau mungkin mereka hanya orang buta yang tidak
melihat goresan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyamakan sebuah pernikahan dengan
separuh kesempurnaan agamanya? Yang sangat menganjurkan pernikahan sehingga Baginda
Nabi berseru barangsiapa orang yang tidak mau menikah maka tidak akan diakui sebagai
umatnya. Lalu melihat lagi firman Allah yang menyerukan laki-laki untuk menikahi istri-istri
satu, dua, tiga sampai empat. Apakah tercantum dalam ayat-ayat-Nya bahwa laki-laki
dianjurkan menikah dengan laki-laki ataupun perempuan menikahi perempuan atau pula laki-
laki memadu perempuan dengan laki-laki juga perempuan demikian sebaliknya?
Banyak lagi perkumpulan yang menyuarakan nuraninya sebagai homoseksual. Jauh
sejak awal tahun sembilan puluhan sejarah perjuangan peradaban kaum homo bergerilya.
Tapi tidak satupun diantara para pelopor gay yang berani memproklamasikan
kemerdekaannya dalam kebudayaan agama baru yang cenderung membela hak-hak asasi
kemanusiaan kaumnya serta meninggikan setinggi-tingginya derajat gay sebagai makhluk
Tuhan yang seutuhnya. 
Dan karena rasa cintaku padamulah CRYSIS ku dirikan. Karena aku tidak ingin
tercela jika aku mempersuntingmu. Menikah dan berumah tangga ditengah mayoritas
masyarakat yang sudah berkeyakinan teguh terhadap agama dan Tuhannya. Juga, alangkah
merasa senangnya mereka para pemeluk agama yang taat jika kaum homoseksual yang
mencemari nama baik agamanya tidak lagi menjadi sampah busuk yang kian meracuni
bersihnya pemahaman mereka terhadap Rasul dan kitab-Nya. Ku rasa semua agama di dunia
ini akan merasa lega dan sangat senang dengan berdirinya CRYSIS. Bukan hanya kaum
homoseksual saja yang merasa gembira dengan datangnya agama yang siap membawanya
pada kebenaran dan surga Tuhan, melainkan seluruh umat beragama di dunia yang merasa
risih dan sangat terganggu dengan umatnya yang monosex. Sebab segenap umatnya yang
menjadi biang kerok melemahkan firman-firman Tuhannya itu akan hengkang dari agamanya
untuk segera meminang CRYSIS. Apakah itu tidak termasuk misi yang fantastis dan sangat
mulia dalam pencanangan menuju agama yang damai antar pemeluknya serta memberikan
keyakinan pada kaum homoseksual bahwa mereka juga adalah makhluk Tuhan yang sangat
dimuliakan sekali martabatnya?” demikian panjang lebarnya Muslim menjelaskan detail misi
CRYSISnya. Elqo menebar tatapnya menerawang jauh. Adakah setitik nila tercelup pada
kebeningan nuraninya? Di matanya tidak nampak. Kosong. Tak ada sesuatu. Hanya bayangan
khayalnya saja yang sempat tertangkap bahwa ia terbang ke hari esok yang tak jelas dan
meragukannya!
“Sungguh mulia cita-citamu,” hanya sepenggal kalimat itu yang terlontar dari belahan
kedua bibirnya yang mengering.
Sedan abu-abu yang dikemudi Muslim segera keluar tol Ciawi. Belok kanan dan
menepi di pinggir jalan. Suasana tengah hari yang sejuk. Maklum kota hujan berbeda jauh
iklimnya dengan cuaca kota Jakarta yang gersang. Khususnya siang ini. Bogor mendung
berawan.
Muslim menurunkan kaca pintu depan mobilnya. Lalu ia memesan dua botol
minuman pengganti cairan tubuh beserta sebungkus rokok pada pedagang asongan yang
langsung menyergapnya. Usai itu ia kembali menutupnya. Seraya melajukan lagi sedannya
perlahan. Elqo segera mengambil minuman itu mengikuti Muslim yang sudah lebih dahulu
mereguknya.
            “El!” Muslim kembali bicara.
“Hmm!” Elqo menyahut.
“Mau tahu atau tidaknya dirimu bukan suatu yang penting. Tapi aku jujur, sejak kamu
dirawat di rumah sakit karena kecelakaan itu sampai saat ini aku tidak berhubungan sex
dengan siapapun termasuk dengan Christian sekalipun. Selain bersetubuh denganmu diawal
kepulanganmu dari rumah sakit di sore itu. Sore yang membuat aku heran mengenali penismu
yang tak bereaksi.”
Elqo menarik nafasnya. Ia baru tersadar. Ditatapnya lelaki tampan yang sedang
mengemudi di sampingnya itu. Sungguh cinta yang suci jernih itu ia temukan di riak mimik
wajah kejujurannya. Ada kemilau sinar lembut yang menyerpih di sikapnya. Dan rasa itu
menyelinap masuk ke lorong sempit hatinya. Elqo terbujur didalam pusara cinta. Antara
mengerikannya alam baqa bergulat dengan indahnya pesona alam fana.
“Christian sangat mencintaimu. Jangan abaikan cintanya. Kamu juga tahu bagaimana
tersiksanya orang yang sedang dimabok asmara. Jangan membuat dia membencimu karena
aku.”
“Aku dengan Christian sedang berjuang memenuhi janji kami. Dimana aku
dengannya tidak akan melakukan hubungan intim selama CRYSIS belum disyahkan sebagai
agama yang diakui oleh pemerintahan. Itu adalah komitmen teguh kami guna memotivasi
kegigihan untuk mewujudkan CRYSIS bisa berlaku.”
“Apa itu bukan sebuah janji yang berlebihan?”
“Itu adalah keoptimisan dan keyakinan kami pada CRYSIS.”
“Jangan jadikan agama menjadi siksa bagimu. Bukankah CRYSIS adalah agama yang
memberikan janji manis tentang kebebasan bercinta? Jika Christian tahu kamu tidak mau
melayaninya bercinta karena aku, mungkin dia akan kecewa dan marah padamu lalu
meninggalkan CRYSIS dan menghancurkannya. Eratkanlah hubungan cinta kalian.
Kuatkanlah keyakinan Christian pada CRYSIS dengan cintamu.”
“Aku ingin hubungan sexku berada didalam kehalalan sebagaimana halalnya
hubungan sex suami istri dalam Islam. Aku ingin membangun jiwa CRYSIS di setiap gay
sebagai agama suci. Agama yang menjunjung tinggi nilai kesucian bagi setiap umatnya. Aku
ingin menghilangkan budaya sex bebas yang sangat kental dengan dunia gay. Aku ingin
menjalin hubungan sex mereka dengan ikatan cinta yang terangkai dalam ritual syahnya
sebuah perkawinan.”
“Kamu bisa melangsungkan pernikahanmu dengan Christian di luar negeri. Bukannya
ada aktor gay Indonesia yang sudah melangsungkan pernikahannya di Belanda? Aku bisa
membantumu untuk mencari tahu bagaimana prosesi pernikahan itu padanya. Aku yakin dia
akan menyambut hangat rencanamu karena aku kenal dia sangat baik. Maklum aku sebagai
bekas kliennya yang cukup lama. Sekalian kamu mohon dukungannya atas CRYSIS.”
“Jika aku siap menikah dengan Christian. Sudah sejauh hari mungkin aku menikah
dengannya. Bukan sesuatu yang susah seandainya aku bersedia untuk menikah. Tapi aku
ingin CRYSIS yang menikahkan kami. Kamilah yang harus pertama kali menikah dalam
CRYSIS. Dan orang yang bersanding denganku itu bukan Christian melainkan kamu.
Christian bersedia hidup berumah tangga dalam ikatan cinta segitiga. Itulah yang membuat
aku tidak mungkin bisa melepaskan dia begitu saja. Cintanya begitu tulus dan sucinya
padaku. Serta agamanya pula yang menjadi insprirasi nama CRYSIS itu ada.”
“Muslim!” Elqo begitu lembut. Ditumpangkannya telapak kanan tangannya ke atas
telapak tangan kiri Muslim yang sedang memegang setir. Lalu dipegangnya.
“Ya!” Muslim menoleh.
“Sebentar lagi sampai. Aku pulang ke tempat kelahiranku. Kota Tajur yang telah
membesarkan aku dengan lingkungan agama dan pergaulannya. Disini dulu aku terlahir dari
keluarga miskin. Dan aku tumbuh menjadi orang miskin. Masa kanak-kanakku kurang
bahagia. Usia tujuh tahun aku bergabung dengan anak-anak jalanan. Kerjaku seharian
meminta-minta dengan ngamen pada setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah. Orang
tuaku menyuruh aku sekolah. Tapi aku males banget. Aku malah keasyikan menjadi tukang
ngamen. Meskipun uang yang dikantongi tidak seberapa tapi aku sangat merasa senang tak
terhingga. Apalagi ketika aku sudah kenal kakak-kakak pengamen seniorku. Bertengger gitar
setiap harinya. Dan terlalu dini usiaku mengenal dunia pergaulan remaja. Usia tujuh tahunku
telah mengenal asap rokok. Bahkan ganja dan minuman keras. Mulanya itu semua ku
dapatkan dengan cuma-cuma. Tapi lama-lama mereka berani memalakku. Merampas semua
uang hasil ngamenku. Dan entah kenapa aku marah serta hati kecilku berontak karena mereka
akhirnya mengerjaiku setiap harinya agar setor padanya. Lalu sekali waktu aku dipukulnya.
Aku benci pada mereka. Aku kembali ke rumah. Ku lihat lagi kebiasaan sehari-hari di
lingkungan rumah. Aku terdiam melihat teman-teman seusiaku yang pada sekolah. Hatiku
tergerak. Aku sering main dengan mereka. Aku bersahabat dengan mereka. Sedikit-sedikit
aku menyerap ilmu pengetahuan dari mereka disaat mereka diajari orang tuanya. Aku tertarik
untuk sekolah. Kemudian akupun masuk SD di usiaku yang ke delapan tahun. Dan kebiasaan
buruk di jalanan ternyata masih sangat mempengaruhiku. Dari rumah aku bawa rokok yang
ku curi dari ayahku. Di sekolah aku menyulutnya yang tentu saja kena marah dan hukuman
dari guruku. Aku bilang aku dapat rokok dari ayahku sehingga guruku mengantarkanku ke
rumah serta menasehati orang tuaku tentang bahayanya rokok bagi anak dibawah umur. Lagi-
lagi akupun langsung kena hukuman dari orang tuaku yang telah memalukan keluarga.
Kehidupan SDku kacau balau. Akulah yang jadi biang keributan di sekolah. Hingga
aku pernah tidak naik kelas. Aku pernah ngadat pada orang tuaku agar dibelikan motor.
Tamat SD aku tidak langsung SMP. Aku bekerja sebisa-bisa membantu orang tuaku. Dan
pergaulanku sangat bebas. Dengan lingkungan anak-anak kurang pendidikan niscaya
perkembangan remajaku ditentukan karakternya. Aku brutal!
Setelah 5 tahun kelulusan SD. Aku tertarik untuk mengikuti kejar paket B sebagai
penyetaraan pendidikan dengan tingkat SMP. Dan untungnya kejar paket B yang sangat
menyenangkan. Baru juga satu semester sudah ikut ujian akhir dan mendapatkan ijazah yang
layak buat melanjutkan ke SLTA. Aku ngotot pada orang tuaku ingin melanjutkan sekolah.
Tetapi mereka tidak meresponnya.          
Kebetulan saudara jauh ayah, Om Hendri yang tinggal di Jakarta pulang dan
silaturahmi pada keluarga besarnya di Bogor. Dan mujurnya basa-basi ayah yang cerita
keinginanku melanjutkan sekolah ditanggapi hangat oleh Tante Tanti istrinya Om Hendri
yang selama lima tahun perkawinannya belum juga dikaruniai anak. Akhirnya akupun
melanjutkan SLTAku di Jakarta. Bagaimanapun baiknya keluarga Om Hendri, aku tetap
mencuri-curi waktu luangku untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan pembantu. Dan
seperti yang pernah aku ceritakan, aku terjerumus pada dunia sex diperkenalkan oleh
Tanteku. Puber pertamaku yang kegoblogannya aku bawa dari kampung kembali pecah.
Sensasiku tentang sex kembali tumpah. Tante Tanti membawaku ke ranjang kenikmatan
perselingkuhannya. Hingga aku dikarantina untuk mengerti teori dan praktek sex yang baik.
Karena ketampananku sudah ada yang mau membayar dengan harga relatif tinggi. Janda kaya
yang haus sex. Maka dari sanalah awalnya aku mengenal hubungan erat antara
keterkaitannya sex dan materi. Dan aku sangat senang. Bisa membalikkan fakta
kemiskinanku menjadi sebuah keadaan yang sangat berkecukupan.
Seorang Elan Komarudin yang miskin berubah dengan cepat menjadi seorang Elqo
remaja keren yang modis dan berkelas. Elqo Alldear, Elqo yang semua kasih.
Muslim. Tajur adalah peradaban kecilku. Dimana aku pertama kali mengenal Allah
sebagai Tuhanku. Muhammad sebagai Nabiku. Dan Al-Qur’an sebagai kitabku. Aku telah
lama berpisah dengan-Nya. Aku sangat merindukan-Nya. Rindukan indahnya masa kecil
waktu di surau bersama teman-teman kecil sepengajianku. Aku rindu pada kumandang adzan
beserta senandung merdu ayat-ayat Tuhan yang biasa kami lantunkan setiap pagi dan petang.
Sekarang aku kembali dengan seorang Elan Komarudin yang penuh cacat luka dan berlumpur
dosa.
Aku sangat merasa terluka bila mengenangkan lagi semua kisah perjalanan yang
sempat aku lalui. Aku sedih. Aku tidak mungkin sanggup berjalan lebih jauh lagi untuk
meninggalkan sepenggal indah masa laluku di kota kecil ini. Aku sudah terlalu kangen ingin
kembali. Biarkan aku pergi dari hidupmu. Berilah aku kesempatan untuk mengecap indahnya
cinta kota Tuhanku yang telah aku abaikan. Aku tak kuasa lagi untuk menahannya …” Elqo
mengusap basah kedua pipinya. Luka-luka itu kembali berdarah. Tersiram perih asam cuka
air matanya. Pahit getirnya dunia seakan meranjam dan mencambuk meremuk redamkan
harga dirinya sebagai manusia. Kembali melumatkannya jadi adonan yang lembek. Kembali
dibentuknya menjadi keutuhan nuraninya yang bersih. Mungkinkah?
Mendung awan di kota Tajur mengelabui perasaan kedua lelaki dalam sedan abu-abu
itu. Sedan yang mulai mengurangi lajunya perlahan. Abu-abu cerita kabut dari gulung Salak.
Gunung cinta yang berkabut abu-abu. Cinta abu-abu dari gunung yang berkabut. Tinggi.
Indah. Sejuk. Tapi rimba belantara yang membinasakan!
Wajahnya mendung. Awan itu menutupi auranya. Muslim dingin. Laksana salju di
kutub utara. Salju cinta yang membeku. Cinta yang membeku menjadi bukit dan lembah
salju. Badai salju yang membekukan kutub cintanya. Sungguh, badai cinta yang bersalju! Jika
jasadnya membeku, akankah jiwanya juga membeku? Dan jika sukmanya hidup, di raga
mana ia akan hinggap? Selama nyawa masih mengiblat, disana cinta tetap berkarat! Adakah
kau mengerti?  
“Aku sangat sedih jika aku harus kehilanganmu,” Muslim terbata. Tak banyak yang
dapat ia ucapkan karena kelu lidahnya yang tersumpal lendir berduri. Lendir hatinya yang
berdarah tertancap duri beracun.    
“Disini saja,” Elqo meminta Muslim agar menghentikan mobilnya. Tanpa bicara
sepatahpun Muslim segera menghentikannya. Mimik wajahnya yang muram itu seraya
melirik pada Elqo. Sosok lelaki yang sangat dicintainya. Yang telah menghempaskan helaan
nafas-nafas cinta pada kehidupannya. Lelaki itu, Elqo … yang meminta pergi untuk
selamanya. Setelah menuangkan madu cinta, kini ia torehkan pedang berbisa. Mungkinkah
cinta itu membunuhnya?
“Sekali lagi maafkan aku,” Elqo dengan tegar serta senyumnya yang mengembang
seakan tak ada luka sedikitpun yang tersembunyi dibalik kedalaman palung jiwanya.
“Kau tidak mau singgah dulu ke rumahku?” tawar Elqo berdiri di pinggir pintu mobil.
Muslim diam.
“Oh, ya. Gak apa-apa kalau kamu merasa tidak berkenan. Aku pamit. Sampaikan
salam maafku buat Christian. Terima kasih atas segalanya. Semoga kamu berbahagia
dengannya. Selamat tinggal! Assalamualaikum!” Elqo membalikan tubuhnya setelah
menyunggingkan senyum terakhirnya sebagai ucapan selamat tinggal pada lelaki bernama
Muslim yang sempat bersamanya mengayuh dayung romantika cinta menuju pulau dewata.
 
13 ‘salahkah skenario-nya?’
    
 
Langit Bogor yang mendung tidak segera hujan. Tapi rintik deras gerimis itu turun
pula di matanya. Muslim berlari sambil berteriak memanggil Elqo yang sudah memasuki
pekarangan rumahnya. Rumahnya yang ia bangun dengan jerih payahnya. Rumah cantik
yang harus ia tukar dengan kegantengan dan kejantanannya.
“El … !!!”
Elqo berhenti di depan teras.
Muslim langsung memeluknya dari belakang. “Elqo!” di tatapnya mata itu dengan
tajam. Ternyata mata itupun basah. Elqo pun menjatuhkan air matanya. Dibalasnya pelukan
Muslim demikian eratnya. Keduanya berpelukan dalam tangisan yang menyayat sanubari
mereka yang mengenal betapa sempurnanya cinta.
“Hai! Rupanya sudah pada datang,” seruan seorang perempuan yang keluar dari
rumah membuyarkan perasaan Muslim seketika.
“Kamu!?” Muslim memandang perempuan itu tak berkedip. Beberapa waktu lalu ke
belakang kembali membayang. Benarkah perempuan Korea yang dilihatnya itu …
“Naomi!?”
“Mari masuk,” perempuan berambut pirang itu yang tiada lain dari Naomi Lie begitu
ramah mempersilahkan mereka masuk.
Muslim menoleh Elqo penuh tanda tanya. Ada rasa heran dan keraguan menyekap
sikapnya.
“Ayo!” Elqo menarik lengan Muslim diajaknya lekas menaiki teras memasuki rumah
mengikuti Naomi Lie.
“Ini rumahmu, kan?” tanya Muslim berbisik.
“Ya.”
“Kenapa Naomi ada disini?”
“Naomi Lie cucunya Banban Sironang dari anaknya yang menikah dengan keturunan
Korea.”
“Apa urusannya?”
“Dia sempat mengontakku mohon izin untuk menempati rumahku yang ayah ibuku
sangat tidak sudi untuk menempatinya.”
“Kau tidak tahu dia itu pelacur?”
“Tahu.”
“Tapi kenapa? …” Muslim tak lanjut ketika melihat ada beberapa orang pria dewasa
duduk di kursi berpakaian rapi.
“ … tuh kan, dia sedang menerima tamu!” gumam Muslim lagi didekatkan ke telinga
Elqo.
Elqo sama sekali tidak menghiraukan celoteh Muslim. Ia langsung menyapa ke enam
orang pria yang pada duduk santai itu dengan ucapan salam. Lalu dibalas kembali oleh
mereka yang tidak semuanya kompak.
Setelah bersalaman ke semuanya, Elqo dan Muslim pun lalu duduk pada kursi yang
masih tersedia.
“ … mungkin sudah tahu kiranya apa maksud dan tujuan saya mengundang Bapak
semua. Saya ucapkan terima kasih atas kesediannya Bapak berkenan memenuhi panggilan
saya. Bapak Ustad beserta Bapak Pendeta yang sangat saya hormati,” Elqo membuka
percakapan yang sama sekali terdengar janggal di telinga Muslim. Ada rencana apa kiranya
yang telah Elqo susun tanpa sepengetahuannya? Sampai di rumahnya ia mendatangkan para
Ustad dan Pendeta?
“Bagi saya ini sudah merupakan kewajiban,” kata Bapak Pendeta yang nampak lebih
tua dari rekannya.
“Apa tidak lebih baik kita langsungkan akad nikah sekarang saja?” ujar Sang Ustad
tambah mengejutkan Muslim.
“Iya. Soalnya kami semua jam tiga nanti akan menghadiri rapat keagamaan di kantor
kelurahan,” timpal Pendeta satunya.
Setelah sejenak berpikir, Elqo menoleh Muslim yang sedari tadi bengong melihatnya.
“Kamu bersedia menikah hari ini?” tanya Elqo laksana bunyi gemuruh guntur yang
memekakan indera pendengaran Muslim.
“Kamu serius?” Muslim menatap terpana.
“Tak ada yang perlu kau ragukan.”
“El!” Muslim trenyuh. “Bagaimana bisa mereka menikahkan kita?”
“Kenapa tidak bisa kami menikahkan kalian?” Sang Ustad menimpali.
“Bukankah ini yang kau inginkan?” Elqo mempertanyakan keraguan di hati Muslim.
Muslim menggelengkan kepalanya. “Aku telah berdiri dalam kibaran bendera
CRYSIS,” bisiknya.
“Saya Antolin Josephaus yang semalam ikut menghadiri seminar CRYSIS yang
Bapak Muslim gelar. Mungkin Bapak masih ingat usul saya yang mengultimatum seluruh
anggota untuk menyatakan janjinya dalam CRYSIS. Janji manis perkawinan dan hidup rukun
berumah tangga. Bagaimana orang bisa meyakini CRYSIS seandainya janji pembawa
CRYSISnya saja masih hanya berupa imaji?” Pendeta muda itu demikian mengejutkan
Muslim. Lalu dipandangnya Pendeta itu. Ya. Muslim masih sangat jelas mengenalnya. Laki-
laki itu yang telah banyak memberikan komentar dan masukan dalam seminar CRYSIS
semalam.
Jiwa Muslim menggeliat. Lorong-lorong kosong itu sekejap penuh tersumbat. Labirin
hatinya yang hitam kini memucat. Laksana putih menjadi serpihan sinar yang bersemburat.
“Muslim,” Elqo membisiki telinga Muslim sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil
dari sakunya.
Mata Muslim berbinar.
“Terimalah,” Elqo mengulurkan kotak kecil di tangannya itu pada Muslim yang
seraya menerimanya tergagap.
“El!” Muslim berdesis lembut melihat isi kotak kecil itu. Sebuah cincin permata!
“Aku meminangmu demi orang yang aku cintai,” Elqo mendekap Muslim. Mata
Muslim berbulir bening. Butiran permata seketika berjatuhan ke pipinya.
“Demi CRYSIS mereka akan menikahkanmu. Dan aku akan menjadi saksi sejarah
pernikahanmu,” lanjut Elqo lekas melepaskan pelukannya.
“Jadi!?” Muslim melongo tak mengerti.
“Aku sangat mencintaimu. Begitu juga Evel adalah orang yang tak mungkin terlepas
dari rasa cintaku. Menikahlah dengannya jika kau memang benar-benar mencintai aku.
Tebuslah dosa-dosaku padanya dengan cintamu. Dia sudah sangat terluka parah oleh cintaku.
Terimalah dia menjadi pasanganmu. Bahagiakan hatiku dengan membahagiakan hatinya.
Nyawaku adalah taruhannya sebagai jaminan kemuliaan cintanya untukmu,” Elqo
menguraikan air matanya senandung harap dan do’a yang penuh kesucian.
“Evel!?” Muslim terpana mengenali sesosok orang yang tengah berdiri
memandangnya dengan sejuta pesona. Evel lelaki berbibir merah semanis apel itu. Bermata
bening sesejuk embun itu. Berkulit halus selembut sutera itu. Yang sempat menggodanya.
Mengundang hasratnya. Hasrat bercinta. Merangsang syaraf nafsu berahinya.
Muslim menelan ludahnya. Sejenak pandangannya beralih pada Elqo. Lalu ia
menunduk.
“Bagaimana kami bisa mempercayai Bapak untuk menjadi seorang pemimpin, jika
Bapak tidak memperlihatkan sikap berani bertanggung jawab Bapak sebagai seorang
pemimpin kepada kami?” suara Evel begitu merdu menghanyutkan seluruh sel darah Muslim
pada jantungnya.
Muslim mendongakkan lagi wajahnya. Tatapnya tak lagi basah. Ada kekuatan besar
yang terpancar di matanya. Tatapannya berputar melihat pada semua orang yang hadir di
ruangan yang lumayan luas itu. Naomi Lie yang berdiri disamping Evel. Juga tampak pula
Titia Alimistri mendampingi Evel. Dan tumpuan akhir matanya beradu di tatapan Elqo. Lalu
Muslim turun dari kursinya dan seraya bersimpuh di pangkuan Elqo.
“Atas nama Tuhan, semoga cinta dan kasih-Nya menyenandungkan berkat padamu
senantiasa. Semoga kebenaran menyamakan derajat kita dalam pandangan Tuhan. Hingga
kita memiliki kunci surga yang sama. Berdiri di depan pintu surga yang sama. Meniti
keMahabahagiaan-Nya yang tak terhingga. Cintamu adalah jejakku untuk memahami
keyakinan hidup yang seutuhnya. Terima kasih. Sempurnalah hidupmu dalam cinta-Nya. Ku
jadikan harapanmu adalah kebahagiaanku. Aku mohon izin dan do’amu. Semoga Evel
membangunkan surga-Nya untuk kita. Aku bersumpah untuk menikahinya.”
Semua yang hadir tertegun. Terpana dalam senandung simfoni yang Muslim
lantunkan. Sungguh syahdu merayu menggelitik pada setiap celah pori yang tertutup dari
cinta. Menerpa riak-riak kepongahan yang menutup permukaan telaga nista di pusaran
ruhnya. Layaknya sebuah ayat yang berkidung mesra menebar tasbih Tuhan beriring
semerbak harum kesturi.
Muslim bangkit dari sungkemnya. Berdiri tegap laksana seorang prawira. Lalu dengan
lantangnya dengan sepenuh keyakinannya Muslim berikrar janji dalam akad pernikahan yang
disaksikan oleh dua pemuka besar agama.    
“… Dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, saya terima Evel putra Bapak Haman
menjadi pendamping hidup saya …” Muslim melingkarkan cincin permata pemberian Elqo
itu di jari manis Evel.
Akhirnya Muslim menikah juga. Suasana prosesi pernikahan yang sangat sederhana.
Dengan penampilan Evel yang hanya berkemeja lengan pendek serta rambutnya yang
dibiarkan apa adanya. Namun, kebahagiaan itu jelas tersirat dari aura semua orang yang
hadir. Terutama Evel, Elqo dan Muslim. Sebuah suasana yang sangat mengesankan.
Kemudian sebuah pesta kecilpun digelar. Mereka makan bersama dengan menu ala
restaurant mahal. Suka cita yang mempesonakan. Dimana Ustad dan Pendeta terjalin rukun
dalam sebuah hidangan yang sama.
“… dari siapa?” Elqo memperhatikan Muslim yang mengangkat handphonenya.
“Christian ngucapin selamat atas pernikahanku dengan Evel.”
“Oh, ya!”
“Darimana ia tahu bahwa sekarang aku menikah dengan Evel?”
“Aku yang mengabarinya,” sahut Evel.
“Apa?” Muslim terbelalak kaget.
“Bukankah kabar pernikahanmu denganku itu kabar baik buatnya?”
“Dalam hal ini kalian harus coba memahami perasaanku!” Muslim kesal sedikit
meninggikan suaranya.
“Ada apa?” Pendeta Antolin Josephaus beserta rekan pendetanya juga Ulama yang
hendak beranjak keluar merasa dikejutkan.
“Aku minta maaf!” Evel merendahkan diri mencoba meredam kembali emosi Muslim
yang mendadak naik.
Rupanya Christian langsung mengontak Muslim. Terlihat Muslim seperti berdialog
bergegas menghindari orang-orang menuju keluar. Tidak menghiraukan Evel, Elqo dan yang
lainnya yang mempertanyakannya.
“… hatiku sangat teriris sekali dengan pernikahanmu. Ku kira apa kata Evel itu
hanyalah bualan belaka. Tapi ternyata benar, aku menyaksikan pernikahanmu barusan. Jika
yang menikah denganmu itu Elqo, aku tidak akan sesakit ini. Aku pasti akan menyambutnya
bahagia. Karena akupun akan menyusul menikah menjadi pasanganmu yang kedua. Tapi
Evel!? Orang yang baru kau kenal. Kau tidak tahu siapa dia. Engkau telah terjebak olehnya.
Kau telah terjebak oleh mereka. Atau mungkin sebenarnya kamu masih seorang lelaki normal
yang mencintai wanita. Kamu hanya pura-pura saja menjadikan dirimu seorang gay sejati.
Nyatanya …”
“Christ! Aku menikah demi CRYSIS,” teriak Muslim tak sadar.
“Dalam anggapanmu kamu memang menikah demi CRYSIS. Tapi bagi Evel dan
Ulama yang menikahkanmu itu kamu menikah secara syah. Karena Evel itu seungguhnya
adalah seorang perempuan, bukan seorang laki-laki homoseksual!”
“Apa? Emangnya…!?”
“Aku bersama Naomi Lie sekarang. Dia menyeretku pergi saat aku mengintai kamu
sedang melangsungkan pernikahan dengan Evel. Dia cerita segalanya …”
“Kamu jangan termakan bualan perempuan itu!”
“Tidak. Jika kamu memang merasa senang dengan pernikahanmu. Aku turut bahagia
atas kemenanganmu yang telah sukses membuat aku keliru. Yang telah sukses menipuku.
Kamu bersekongkol dengan Elqo. Tapi tak apa, aku pun telah sukses membelokkan
keyakinan seorang mahaguru universitas agama mayoritas negerimu ini. Aku telah berhasil
merekayasa ibumu.”
“Christian! Kamu harus dengar penjelasanku.”
“Sukar untukku dapat percaya lagi padamu. Kecuali kamu sekarang juga menceraikan
Evel yang telah menjadi istrimu.”
“Evel adalah yang akan membangun kepercayaan CRYSIS pada setiap homoseksual.”
“Lindungilah kebegoanmu. Aku tidak ingin bertengkar. Tapi ingat, jika kamu
memang seorang normal. CRYSIS tetap akan hidup dan berkembang menjadi paham yang
menyesatkan. Kamu yang berhak menanggung semua dosa mereka…”
“Halo! Halo! Christ! Christian!” panggil Muslim teriak-teriak. Christian memutuskan
komunikasinya. Dia mengnonaktifkan HPnya.
Muslim jadi kalang kabut. Dilihatnya Evel dan Elqo menujunya. Ia langsung teriak.
“Sini!” Muslim menarik lengan Evel.
“Kenapa Mus?” Elqo heran.
Muslim melihat Elqo. “El. Mumpung aku masih sadar. Tolong jawab pertanyaanku
dengan jujur. Mengapa Ulama tadi bersedia menikahkan aku dengan Evel?”
“H … karena tidak ada sesuatu yang salah dengan pernikahanmu,” Elqo agak
gelagapan juga dihadapkan dengan pertanyaan dan sikap Muslim yang seperti itu.
“Yang lebih jelas lagi. Apa karena Evel sebenarnya adalah perempuan?”
Evel dan Elqo tidak ada yang menjawab.
“Atau kalian ingin supaya aku menelanjangi Evel disini untuk membuktikannya dia
itu perempuan atau laki-laki?”
Evel menatap Elqo memohon pertimbangan.
“Cepat!” Muslim sangat emosi.
Setelah berpikir sejenak dan melepas ketegangannya, Elqo pun berkata. “Kamu tahu
sendiri bagaimana daya rangsang yang ditebarkan Evel terhadapmu. Jika Evel perempuan
mungkin dia tidak akan mampu membangkitkan nafsu berahimu.”
Muslim jadi terpekur bimbang. “Jadi kamu itu laki-laki atau perempuan?” Muslim
membidikkan ketajaman matanya pada Evel.
“Kalian sudah syah menjadi sepasang pengantin,” ujar Elqo tenang.
“Pernikahanku tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan,” Muslim sangat
menyesalkan.
“Kita bisa menikah lagi sesuai pernikahan CRYSIS. Anggaplah ini kenangan terakhir
kita dalam Islam,” Evel memegangi lengan Muslim.
“Aku sangat kecewa Islam telah menikahkan aku dengan seorang lelaki,” Muslim
kelu.
“Itu keinginan setiap gay bisa menikah dengan sesama jenisnya dalam lindungan
hukum agamanya. Mestinya kamu bahagia Islam mempunyai solidarits yang sangat tinggi.”
“El. Aku tidak ingin gay merusak nama baik agama. Aku tidak mau gay menodai
kesucian agama manapun di dunia yang dalam ajarannya tidak mengakui homoseksual. Maka
CRYSIS ku dirikan itu demi gay bisa mempunyai komunitas tersendiri yang terlepas dari
ikatan kepercayaan agamanya. Karena aku sangat menghormati dan menghargai tingginya
martabat seluruh agama yang meninggikan Tuhan sebagai tahta kekuasaan yang Maha
Tinggi. Tapi sekarang kesucian Islam telah ternoda. Meskipun aku menceraikan Evel, tetap
saja kisah Ulama dan Pendeta yang telah menikahkan sepasang homoseksual itu akan
menjadi sejarah di dunia. Aku telah mencemarkan agama. Aku telah sangat berdosa,” keluh
Muslim demikian dalamnya.
“Menikah itu lebih baik daripada melakukan hubungan sex bebas yang penuh dosa.
Ikatan pernikahan akan menghalalkan hubungan sex kamu.”
“Dalam kitab Islam mana yang menerangkan ada hadist Nabi yang membahas sebuah
pernikahan sesama jenis. Allah sendiri dalam Al-Qur’an mengecam kaum Lut yang
homoseksual serta mengazabnya demikian pedih dengan hujan batu. Karena dalam
keyakinanku Muhammad SAW beserta Al-Qur’an merupakan pembawa ajaran kebenaran
yang sempurna dan mutakhir. Segalanya merupakan sumber tauladan yang berlaku hingga
akhir masa. Jikapun memang homoseksual dibenarkannya, mungkin sebagai Nabi yang
terkenal banyak istrinya tidak menuntut kemungkinan beliau mencontohkannya dengan
menikahi laki-laki para sahabatnya atau umatnya yang taat,” hati nurani Muslim tetap saja
membantah. Membantah! Mengapa dilemma itu masih saja mengelabuinya? Mengapa
keyakinan terhadap agamanya masih saja begitu kuat sementara CRYSISpun ia dirikan
sebagai agama pula? Jika kepercayaannya pada agama Islam sangat kental, mengapa sampai
tidak sanggup meluluhkan sifat kehomoannya yang seakan malah kian menebal?
“Ketegasan kamu sekarang mau bagaimana?” Elqo meminta kepastian Muslim.
“Dalam Kanzul Ummaal, Al-Hindi meramalkan kehidupan akhir zaman bahwa
‘manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism.’ Mungkin saat ini
memang sudah akhir zaman sehingga mengapa aku mesti terus menerus mencari kebenaran
yang ku inginkan?” Muslim memasrahkan keyakinannya.
“Evel,” Muslim menatap Evel. “Bagaimanapun sekarang kita sudah menikah. Baik
dan buruknya nilai moral yang kita perbuat, agama telah melindungi hubungan sex kita. Kau
telah menjadi pasanganku. Aku bertanggung jawab sepenuhnya atas apapun yang terjadi
denganmu. Demikian kamu jadilah pasanganku yang senantiasa mengingatkan dan
melindungi aku dari setiap angkara yang menerpa. Cinta dan tidaknya aku padamu atau kamu
padaku, semoga rumah tangga kita selalu ada dalam berkah dan karunia rahmat-Nya,”
dikecupnya kening Evel perlahan dengan lembut. Serasa genderang itu kembali bertalu.
Menyerukan sebuah semangat perjuangan menuju kemenangan yang menggembirakan. Evel
memeluknya. Air matanya terjatuh penuh keharuan. Cinta itu sungguh gemuruh di dadanya.
Kebahagiaan itu menyeruak memenuhi ruang hamapa di jiwanya.
Tapi Elqo. Dia terlihat perih. Matanya yang basah menyiratkan sebuah kelukaan yang
mendalam. Langkahnya ia ayunkan pergi dengan genangan air matanya yang tiba-tiba deras
ibarat hujan asam mengguyur puing-puing bangunan jiwanya yang rapuh.
“Elqo!” panggil Muslim mencoba menghentikan langkah lelaki yang dicintainya itu.
Elqo terhenti. Tapi entah apa yang membuat langkah kakinya terhenti. Matanya
melihat seorang anak perempuan empat tahun yang baru datang diiring seorang gadis belia
menujunya. Elqo memandangnya tak berkedip. Bocah itu melihatnya.
“Om Elqo!” serunya.
Elqo memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Wajahnya berkerut-kerut dengan
hidungnya yang mengembang seolah sedang berusaha menahan tumpahan gejolak jiwanya
yang memuncak pada bibirnya yang bergeletar.
“Elin,” hanya sapaan itu yang sanggup terucap dari bibirnya. Dihamburnya bocah itu.
Dipangkunya. Ditumpahkannya air matanya di wajah cantik bocah itu. Diciuminya dengan
hangat. Elin didekapnya begitu erat.
“Kenapa Om menangis?” Elin menatap Elqo dengan sorot matanya yang polos.
“Om kangen sekali sama Elin,” suara Elqo serak.
“Muka Om kenapa? Kok banyak nodanya,” tangan Elin meraba jidat Elqo.
“Seorang lelaki yang gagah harus berani melawan musuhnya. Om telah bertarung
mengalahkan musuh Om yang akan mengganggu Elin.”
“Terima kasih ya Om! Mama juga suka bilang kalau Om Elqo itu seorang pahlawan
yang suka menolong Mama dan Elin,” cerita Elin sungguh polosnya sambil menyandarkan
kepalanya ke leher Elqo. Sebuah pernyataan yang sangat menyayat ke kedalaman palung
sanubarinya. Air matanya kembali bergulir lagi. Jatuh lagi. Kian menambah perih.
Muslim berjalan menghampiri Elqo diikuti Evel yang melangkah dibelakangnya
dengan kepalanya yang tertunduk.
“El. Temani aku bulan madu,” kata Muslim sangat mengejutkan Elqo.
Elqo terdiam. Evel pun diam. Baby sitter Elin pun diam. Muslim melihat Elqo. Elqo
membiarkan Muslim memandangnya. Elin melihat pada Muslim. Tatapan tidak kenal dan tak
bersahabat.
“Pergi saja kalian berdua,” bisik Elqo terbata.
“Aku ingin kamu ikut. Aku sangat mencintai kamu begitu juga katamu kalau Evel
orang yang sangat kamu cintai. Kita berbulan madu bertiga,” rujuk Muslim.
“Aku tidak mempunyai hak untuk turut memeriahkan bulan madumu. Haram
hukumnya aku menjamah berahi kalian berdua.”
“El. Kamu ingin melihat aku bahagia atau menderita dengan pernikahan ini?”
“Bahagia …” Elqo menundukkan mukanya.
“Om Elqo. Ini ya orang yang mau mengganggu Elin dan telah bertarung dengan Om
itu?” tanya Elin pada Elqo yang merunduk membisu.
Elqo menggelengkan kepalanya. “Bukan. Om ini orang yang baik,” bisiknya pelan.
“Dia ini keponakanmu?” tanya Muslim.
Elqo menelan ludahnya yang mengental di tenggorokannya.
“Mama!?” teriak Elin ragu-ragu.
“Iya Teteh Evelin saya disuruh Ibu sama Bapak untuk nganter Elin kemari,” Si gadis
belia itu mengherankan Muslim.
“Maksud kamu De, Evelin?” Muslim memandang gadis itu.
“Maafkan aku Muslim!” ujar Elqo berat sembari menenangkan nafasnya.
Muslim beralih memandang pada Elqo.
“Kamu boleh membenci aku untuk selama-lamanya. Dan sesuatu yang sangat baik
kamu bisa menganggap aku telah mati.”
“Kamu bicara apa?”
“Muslim. Aku sangat mempercayaimu. Aku titipkan Evel padamu. Jagalah dirinya
seiring benih cintanya yang tumbuh untukmu. Jika memang sampai kapanpun kamu tidak
pernah bisa mencintainya, jadikan Evel temanmu yang biasa menyajikan hidangan lezat di
setiap kamu pulang ke rumah setelah tak ada satupun restaurant yang memuaskan kenikmatan
nafsumu…”
“Elqo. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan rasa cintaku padamu. Kita bisa
tinggal serumah bertiga. Jika kamu memang tidak menginginkan pernikahan denganku, apa
salah jika aku menginginkan hidup bersama dalam satu rumah denganmu?”
“Jangan lukai hati Evel. Hatinya adalah hatiku. Lukanya adalah lukaku. Aku telah
lama terluka dengan perbuatanku yang telah menyengsarakan hidupnya. Jangan tambah lagi
penderitaanku dengan melihat Evel tersiksa olehmu. Jika kamu memang mencintai aku,
cintailah Evel sebagaimana kamu mencintaiku. Tebuslah segala dosa-dosaku selama ini
padanya dengan tulusnya kasih sayangmu.”
“Emangnya Evel itu siapanya kamu?”
“Seandainya kamu tahu siapa Evel, apa kamu akan meninggalkannya lalu
membiarkan dia menikahi Fitrea adikmu?”
“Justru aku akan merasa sangat senang melihat Evel menikah dengan adikku daripada
menikah tidak normal denganku.”
“Evel adalah seorang wanita. Nama aslinya adalah Evelin Puteri.”
“Apa? Jika Evel adalah seorang wanita normal. Apa gunanya merubah
penampilannya jadi laki-laki apabila masih menyukai laki-laki?” Muslim terbelalak kaget.
“Mana yang kamu pilih? Evelin kamu jadikan istri atau mengizinkan dia
menghancurkan kehidupan adikmu Fitrea? Karena dia telah berhasil menaklukan Fitrea jatuh
cinta padanya sebagai seorang Evel sosok lelaki yang romantis dan humanis. Evel lelaki
jelmaan dari seorang lesbian Evelin yang terperangkap dalam jeratan sexnya Naomi Lie. Evel
yang telah terluka parah hatinya oleh cinta seorang lelaki hingga ia prustasi tidak
mempercayai lagi cintanya kaum lelaki. Evelin telah menderita olehku. Aku yang telah
menodai cintanya sebagai gadis suci. Aku telah menghamilinya diluar nikah. Dan Elin adalah
anakku…”
“Maafkan aku!” Evel memegang tangan Muslim.
“Kalian semua pengkhianat!” geram Muslim menepiskan pegangan Evel dengan raut
mukanya yang mendadak merah padam.
“Muslim!” Elqo meneriaki Muslim yang bergegas pergi dengan kobaran emosi yang
membara membakar seluruh keyakinan yang sempat kokoh dipertahankannya.
Evel berlari mengejar. Elqo pun berlari menyusul dibelakang Evel sambil
menggendong Elin yang berteriak memangil ibunya. Keduanya berusaha menghalangi
kepergian Muslim. Namun,
“Bedebah dengan kalian semua!” hardik Muslim segera menancap gas melajukan
sedan abu-abunya meluncur menembus cuaca Bogor yang mendung bergerimis. Awan hitam
yang lama bergelayut menyelubungi indahnya kota hujan ini akhirnya mencair juga jatuh
berpencar tertiup sepoi angin petang yang mempertanyakan dimanakah letaknya kepercayaan
itu mesti disimpan. Bila ditaruh di atas langit masih tetap juga tergapai bias panas uap bumi.
Di air, ia akan menguap. Di awan, ia akan mencair. Di tanah, ia akan terinjak. Di udara, ia
akan terhisap. Di cahaya, ia akan padam. Di makhluk hidup, ia akan membusuk. Lalu
dimanakah letaknya yang tepat buat menaruh kepercayaan itu? Hanya satu, keyakinan itu
berada di puncak Maha Tingginya Kekuasaan Tuhan Yang Maha Tunggal!
“… hari ini tadinya aku berencana mengajakmu pergi ke Meksiko. Aku sudah
memesankan dua tiket keberangkatan kita sejak seminggu lalu. Karena masa tinggalku di
Indonesia berakhir di hari ini.
Muslim yang sempat aku cintai. Dan masih sangat aku cintai. Serta aku sampai
dibuatnya tergila-gila mencintainya. Kini aku pergi dengan segenggam bunga cinta yang
berduri dan penuh cacat. Bunga cinta yang sudah tidak menarik dan harum lagi.
Selamat atas kebahagiaanmu. Semoga kamu bisa menjalani hidup normal sebagai
seorang suami bagi istrinya. Meskipun sangat menyiksa dan menyakitkan melawan sifat
manusia yang diqadratkan Tuhan.
CRYSIS ku bawa dalam nuraniku. Namaku dan namamu juga agamaku dan agamamu
bersatu disana. CRYS adalah nama dan agamaku Christian dan IS adalah Islam (Moslem)
nama dan agamamu.
Doakan agar aku bisa belajar hidup normal dengan Naomi Lie yang ikut bersamaku
ke Meksiko sebagai penggantimu.
Salam CRYSIS tak pernah mati untuk kita! ...”
Muslim terpejam. Butiran-butiran kristal itu berjatuhan satu persatu menelusuri
kelembutan pipinya dan jatuh di dagunya yang mulai di tumbuhi janggut. Gerimis kecil yang
memercikan tetes demi tetesan darah yang merembes dari sayatan-sayatan luka di hatinya.
Gerimis yang menerpa menambah gelap suasana. Basah. Dingin. Dan menggigil. Bersama
menyambarnya sepercik cahaya kilat yang sempat menyerpih terang gulita sukmanya.
Beriring rintihan gemuruh guntur yang menumbangkan kekuatannya. Muslim terdiam di
depan beranda surga yang pintunya bersebelahan dengan neraka. Kilat itu hilang
menyesatkan jejaknya. Karena ‘… Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk menimbulkan
ketakutan dan harapan…’ (Ar-Rum 24). Dan gemuruh itu datang menyerbunya. Kemanakah
ia mesti berlari? Sedang sekali pintu terbuka akan menutupnya rapat-rapat dalam sebuah
keabadian! Kekekalan hukum Tuhan Yang Maha Adil!
 
Terima kasih!
 
Alhamdulillaahirobil’alamiin,
My Humz, minggu 21 april 2012.
 
 
 
 
 
 
*Laki-laki akan menyerupai perempuan dan perempuan akan menyerupai laki-laki!
[Allamah Jalaluddin Suyuti, Durre-Mansoor]
 

 
To:
 
 
Dear,
 
 
Thank you.
 
Best regards, 
Anton Saptonadi (Sales Admin) 
PT Mega Global Solution
Komplek Perkantoran and Apartment Harmony Plaza Block K8-K9
Jl. Suryopranoto No 2 Jakarta Pusat 10130 Indonesia
Telp.: +62-21-63863409, 63863410
Fax.: +62-21-63863411
Mobile: +62-81902580413
YM: saptonadi
email: anton@megaglobalsolution.com
website: www.megaglobalsolution.com  

----- Forwarded Message -----


From: Laksa Buana <laksabuana@yahoo.co.id>
To: "anton@megaglobalsolution.com" <anton@megaglobalsolution.com> 
Sent: Monday, November 5, 2012 8:17 PM
Subject: 

Naena Jhaya
 Perkasa
 
Ketika Aku Ditanya Apa Agamaku
 
 
 
 
 
*Manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism!
[Naena Jhaya Perkasa]
 
 
 
Bismillahirrahmaanirrahiim
 
 
 
1  ‘tabiat orang pemuja cinta’
          
                                   
“… asyik banget nih!” pria keren berambut pirang sebahu menepuk pundak seorang
pemuda yang sedang duduk asyik membuka situs internet.
Pemuda itu menolehnya sambil tersenyum. Wajahnya yang asli melayu itu tak kalah
tampan dari pria yang menepuk pundaknya.
“Lagi ada sesuatu yang dicari?” tanya pria Indo itu.
“Iseng aja,” pemuda itu tertawa kecil.
“Aku lihat kamu sering ngerental internet ke mari.”
“Sekedar nonton video porno,” sahutnya santai.
“O, ya. Emangnya kamu tinggal dekat sini?”
“Naik angkot ngeluarin duit PP 4.000 rupiah.”
“Namaku Christian,” pria Indo yang keren itu mengulurkan tangannya ngajak
kenalan.
“Muslim,” pemuda itu menjabatnya.
“Semoga kita bisa lebih akrab lagi.”
“Sesuatu yang baik. Tapi apakah kamu gak punya niat hasud padaku sebagai orang
Islam?” tanya Muslim segera melepaskan tangannya dari genggaman Christian yang
sepertinya sengaja tidak segera melepasnya.
“Aku malah seneng kok dengan banyaknya orang muslim sekitar sini yang senang
ngerental ke mari. Remaja belia yang keseringan ngunjungi situs porno.”
“Kenapa mesti seneng? Mestinya kamu kasih larangan. Aku juga pertama kali kesini
merasa heran. Aku takut kalau sampai harus membuka-buka alamat web tentang sex. Eh tak
tahunya hampir semua pengunjung sini bebas ngeakses situs porno,” celoteh Muslim.
“Bagaimana kalau malam ini nginep saja di sini?”
“Emangnya kenapa?” Muslim melirik Christian.
“ Ada aja!” Christian mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum genit.
“Ngapain nginep di tempat orang sembarangan?” Muslim mengetik lagi alamat web.
“Kamu gak mikir apa? Ini malem udah jam berapa? Sekarang sudah waktunya tutup.
Sudah lebih satu jam setengah. Orang lain sudah pada gak ada. Kalo kamu tidak berniat
nginep, aku kan ngantuk nungguinnya.”
“Tapi tanggung nih belum puas. Biar deh aku bayar dua kali lipat perjamnya. Soal
pintu tutup saja. Kamu sudah tidur dulu sana . Entar aku bangunin kalo aku mau pulang,”
Muslim berusaha nego.
“Semua yang kamu omongin itu bukanlah persoalan penting bagiku. Tapi jadi orang
aku ingin disiplin menghargai waktu. Sebagai tamu disini kamu semestinya nyadar perjanjian
jam yang sudah dipersiapkan untuk ngerental disini,” Christian begitu halus mengemukakan
sebuah prinsip kebijakan.
“Iya maaf. Kasih aku waktu lima menit lagi, OK!”
“Sampai pagi atau sampai malem lagi juga gak apa-apa kalo kamu memang mau
nginep. Mungkin aku pulang sekarang. Aku gak usah nungguin kamu.”
“Nyampe segitu percayanya kamu padaku buat nginep disini?”
“Kalo ada apa-apa juga kan gampang tinggal nuduh kamu saja. Aku ngarepin banget
ada orang muslim bikin ulah. Aku tak segan-segan ngangkat masalahnya hingga ke surat
kabar internasional buat nambah fakta bahwa orang Islam itu emang biang kerok
permusuhan.”
“Busyet, bisa-bisanya kepikiran jauh nyampe disitu. Emang orang-orang Kristen
mungkin pikirannya busuk terus ya nganggap umat Islam. Kayaknya dicari-cari terus sumber
buat ngejerumusin orang Islam pada tindak kesalahan,” Muslim berkelakar.
“Makanya jadi seorang muslim apalagi namamu Muslim, kamu mesti waspada kalau
bertindak. Mungkin masalah kamu ini juga bisa ku angkat buat ngejelekin agamamu. Ku kira
orang muslim itu bersifat baik-baik. Eh tak tahunya mereka itu tak lebih dari para pendusta.
Teorinya saja yang sok suci, eh perilakunya lebih buruk dari telor busuk sekalipun.”
“Kamu jangan sembarangan ngomong ya. Apalagi nyangkut soal agama. Urusannya
bisa besar tahu. Kalo cuma mau ngritik gak apa-apa. Emang siapa orang Islamnya yang tidak
tahu akal bulusnya orang-orang Kristen yang selalu saja ingin ngancurin dengan mengadu
dombakan umat Islam di muka bumi,” Muslim kian sewot.
“Udah deh, gak usah ngebela diri. Kalo mau debat aku kasih waktu banyak buat kita
diskusi alot. Tapi bukan sekarang. Yang jelas sekarang cerminan jeleknya pribadi orang
Islam itu sudah terwakili sama kamu. Sudah  tidak kenal waktu. Tidak mau menghargai orang
lain. Terjebak dalam halusinasi sex lagi. Kalo demen sex, ngelacur aja sekalian,” Christian
kian memanas-manasi Muslim.
Dicemoohkan seperti itu Muslim jadi terdiam. Dia gak bisa membalas Christian lagi.
Emang sih, kesalahan jelas berada pada dirinya.
“Okey, aku sekarang selesai,” Muslim menutup situs internetnya dengan
menampakan rasa bengalnya. Ia berdiri menghadapi Christian yang berlaga sudah jadi
pahlawan.
“Kamu pengen dibayar ganti rugi berapa? Jika kamu mau ngejelekin aku, jelekan saja
aku sampe habis-habisan. Tapi tolong jaga mulutmu jangan bawa-bawa agama dalam
persoalan ini,” Muslim segera mengeluarkan dompetnya.
“Aku tidak mau meminta sesuatu yang lebih. Bayar sesuai harga rental yang biasa
saja. Kamu ngerental lebih dari enam jam. Berarti yang lebih dari tiga jam mendapat
potongan dua puluh persen dari biaya keseluruhan,” Christian tenang dan bijak saja
bicaranya.
“Jelimet banget sih. Aku kira tidak nyampe dua puluh ribu kan apalagi dipotong
diskon. Nih gocap. Selebihnya ambil saja buat ganti rugi dan meredakan pegelnya otot
jantungmu nungguin aku,” Muslim  menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada
Christian.
“Kita adil saja. Bukan sesuatu yang baik, manfaatin kesempatan dalam kesempitan.
Ngambil punya orang saat orang itu dalam keadaan tidak sadar akan hatinya,” Christian
mengeluarkan dompetnya buat ngambil kembalian untuk Muslim.
“Sok gak butuh banget sih sama uang. Berlaga baik banget. Padahal rencana ngebuka
warnet ini juga kan kamu buat cari penghasilan? Udah, aku gak bakalan bilang kalo orang
Kristen itu materialistis kok. Santai aja. Yah, met malem cucu Tuhan!” Muslim membuka
pintu bergegas keluar dari warnet itu sebelum Christian memberikan uang kembalian
padanya.
“Keras kepala banget lo. Punya duit segini udah berlaga sok kaya. Padahal lo
keturunan Nabi yang paling miskin,” Christian menggerutu.
Rupanya Muslim mendengar omelan Christian. Hingga ia dari luar segera mencibir
membalasnya,
“Hai denger ya. Apa umat agama lo tidak berlaga sok kuat dan sok gagah? Udah tahu
Nabi lo yang dianggap Tuhan sekalipun mampus mengenaskan dan sangat memalukan
ditelanjangi di tiang penyaliban. Apa umat Kristen menciptakan bom atom dan nuklir yang
jelas sangat merugikan dan sama sekali tidak bermanfaat itu tidak berasa sudah melebihi sifat
kekuasaan Tuhannya yang sangat lemah?”
Sungguh suasana hati diantara keduanya kian menghangat saja. Muslim berdiri di
depan pintu menunggu Christian kembali menanggapinya. 
“Jesus itu manusia Maha Mulia rela berkorban jiwa raganya demi menebus dosa
seluruh umatnya!” Christian keluar setelah mematikan lampu ruangan.
“Manusia? Bukankah menurut keyakinan lo Jesus itu Tuhan?”
“Ya gimana lagi kalau agama gue udah nganggapnya Jesus itu Tuhan. Apa gue harus
ngebangkang? Gue kan lebih baik jadi umat yang taat daripada neko-neko cari keyakinan
lain. Lagipula berada dalam naungan agama gue kan sudah dicap sebagai orang suci yang
terbebas dari dosa,” Christian mengunci pintu.
“Jesus itu Tuhan apa anak Tuhan sih?”
Christian menghampiri Muslim sambil bicara, “Ya sama saja lah. Kenapa sampe
antusias gitu sih? Apa pengen masukin paham baru dalam otak gue? Percuma lah. Gue
orangnya netral kalo ngomongin soal agama. Gue lebih seneng paham liberal sekarang,
mungkin sebagai pembaruan dan modernisasi dari Kristen Protestan yang lebih dimengerti
dan realistis.”
“O, ya! Gimana jika paham Islam ternyata lebih mudah dipahami dan sangat realistis
ketimbang Kristen liberal?”
“Kita bicarakan nanti saja. Gue yakin kita akan lebih sering ketemu dan lebih sangat
akrab lagi. Bahkan lebih dari prakiraan kita sebelumnya,” Christian menuju mobil Pigeout
506 yang terparkir dipinggir halaman warnet itu.
“Kayaknya tidak akan berjalan sesuai dengan apa yang lo rencanain deh, Christ!”
Muslim sedikit teriak sembari melangkah ke pinggir jalan buat menunggu angkot lewat.
Christian menghentikan mobilnya disamping Muslim. Kemudian wajahnya nongol di
kaca pintu mobil yang dibukanya.
“Pulang bareng gue aja yah,” Christian mengajak Muslim.
“Kita, kan tidak searah?”
“Gampang. Gue anterin lo nyampe kemana, kek.”
“ Kan lo bilang pengen segera tidur?”
“Sudah naik sini. Gak tahu apa, jam segini angkot jurusan ke rumah lo udah pada
break. Paling entar jam empat baru pada jalan lagi,” Christian memperingatkan.
“Apa lo gak bakalan ngebaptis gue?”
“Edan lo ya. Pikiran lo kotor terus, sih! Lo pikir karena gue orang Kristen maka gue
akan nindak kejam lo dan ngristenisasikan lo apa? Lo dilarang suudzon kan ama Tuhan lo?”
“Emang lo tahu darimana tuh istilah suudzon?”
“Sama saja kayak lo tahu darimana lo tahu malaikat pada bersayap kayak burung
dalam kepercayaan Kristen,” sahut Christian.
“Gue tahu dari film-film religi Kristen dong.”
“Tidak nyadar ya kalo kepercayaan itu udah diserap oleh keyakinan agama lo?
Bukankah lo sering liat tayangan sinetron Islami yang ngangkat peri-peri cantik bersayap
sebagai juru selamatnya? Gue udah seneng merhatiin kebegoan umat lo yang mudah ngasih
toleransi hukum agamanya. Kalo gue kan sekedar nyontek bahasa suudzon dari film religi lo
juga, tapi gak nyampe ngelunturin keyakinan kan soalnya kalo bahasa itu gak ada batasan
hukum buat ngegunainnya.”
Muslim memandang Christian, “Bener juga ya. Apa semua orang Kristen pikirannya
kayak lo?”
“Lo liat sendiri faktanya. Gue gak mau jadi seorang pendusta yang doyan nutupin
kekurangan agamanya. Transparan saja. Bukankah sikap munafik dalam ajaran agama lo
sangat tidak baik?”
Muslim mengeluarkan HP dari saku celana levisnya.
“Cepetan!” Christian menggerungkan mesin mobil.
“Gue nyuruh jemput sama sopir gue,” Muslim mengontak nomor.
“Jadi lo gak percaya sama gue? Apa menurut Nabi lo menolak tulusnya bantuan orang
lain itu tidak dikecam?”
Muslim segera memutuskan kontaknya. Ia menatap pada Christian.
“Okey!” Muslim pun lekas masuk lewat pintu sebelah. Lalu ia duduk disamping
Christian yang segera menjalankan lagi mobilnya.
“Kalau ngasih bantuan ama orang yang tidak mau ditolong gimana? Apa menurut lo
baik memaksakan makan saat perut sudah terlalu kenyang?”  
“Gue rasa elo tidak termasuk orang yang kenyang makan dan gak butuh bantuan
malam ini,” sahut Christian santai saja.
“Elo mau bawa gue pake jalur mana?” Muslim baru menyadari laju mobil yang
berlawanan arah dengan jalur ke rumahnya.
“Emang lo bilang mestinya gue bawa lo kemana?”
“Makanya jangan sok tahu dong. Nanya dulu apa?”
“Lantas kemana? Bukankah jalan sini juga sering elo lewati? Yang penting kan
akhirnya elo nyampe kembali pulang ke rumah lo,” Christian bawaannya kalem saja.
“Iya. Tapi ini kan malah makin ngejauh. Nyampe rumah guenya kapan kalo harus
muter balik arah lagi entar,” celoteh Muslim kesal.
“Gue punya rencana buat ngebahas segala hal yang elo pengen tahu tentang gue,”
cowok Indo bule sekeren Bertrand Antolin ini baru memberi penjelasan.
“Ngapain enggak tadi di warnet saja?”
“Pengen disebuah tempat yang bernuansa romantis,” ujar Christian tenang.
“Lo kira gue bakalan suka?”
“Suka gak suka bukan urusan gue tapi urusan lo. Kalo gue perhatiin kesukaan lo
mungkin gue akan negosiasi dulu tadi sama lo tentang rencana gue ini. Tapi Isa Alah deh, gue
jamin lo suka,” tandas Christian begitu yakin.
“Kalo pengen latah ngomong baik bahasa Islam, jangan diselewengkan gitu dong.
Kalo gak becus mendingan lo jangan berlaga sok gaul Islam deh. Kualat tahu. Udah jelas
insya Allah, ini malah jadi Isa Alah. Artinya jadi ngawur tahu!?”
“Justru agar gue gak kepeleset ke Islam-Islaman. Isa dan Alah kan nama Nabi dan
Tuhan gue!”
“Sekalian aja Jesus Alah. Atau Jesus Alah Aduh. Atau lebih mendominasi maskot
anak Tuhan itu dengan gelar Jesus Kalah kalo elo mau ngepelesetin namanya wakil presiden
Jusuf Kala,” Muslim kian rame.
Christian tertawa mendengar celotehan Muslim, si ganteng yang alim itu ternyata bisa
jadi juru debat yang handal.
“Ngapain tawa? Elo nawain gue? Apa elo seneng Tuhan lo diinjak-injak harga
namanya?”
“Emang nama Tuhan ada harganya gitu?”
“Ya jelas dong kalo dalam Islam itu Tuhan hanya dikenal namanya saja sebagai Dzat
yang sangat halus dan bersifat ghaib. Mungkin lain buat Tuhan lo, harga diri emang lebih
pantes dan lebih efisien ketimbang harga nama. Sebab Tuhan lo itu berwujud kayak manusia.
Makanya lo itu mesti nyadar kalo Tuhan lo sifatnya kayak manusia tidak memiliki sifat
kekekalan. Dia pasti akan mati. Atau mungkin udah wafat bareng Jesus, anaknya itu.”
“Kalo Tuhan gue emang udah meninggal dunia. Terus yang ngeciptain gue dan balita
umat Kristiani sekarang itu siapa?”
“Ya Tuhan gue gitu lo!”
“Emang Tuhan lo gak fanatik terhadap Tuhan gue? Mau-maunya Dia nerusin hak
cipta pemroduksian manusia yang diluar hak kekuasaannya.”
“Nah itulah betapa Maha Baiknya Tuhan gue yang tidak pandang bulu. Hitam-putih-
merah-pirang-biru rambutnya gak jadi masalah. Dan mesti kau tahu ya, sebelum mampusnya
Tuhan lo itu Dia berpesan rahasia pada Tuhan gue sekaligus menyerahkan kekuasaannya.
Makanya Tuhan gue berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Injil itu sudah kedaluarsa. Sudah
tidak berlaku lagi. Sebab segala perintah dan larangan di muka bumi ini sudah menjadi hak
patennya Tuhan yang mengutus Muhammad sebagai perantara kebenaran-Nya.”
“Gue tetep yakin sama Tuhan Jesus Kristus. Jikapun dia emang udah wafat, gue kira
penciptaan semesta dan pengisinya ini sudah terakses sedemikian canggihnya. Di surga
sepertinya Tuhan Bapak dan Tuhan Anak juga Bunda Maria meneruskan bahtera rumah
tangganya. Tuhan Bapak tugasnya mengontrol tombol-tombol sinyal yang menggerakkan
kehidupan kaum bapak-bapak. Begitu pula Jesus sebagai sang pemerhati anak-anak. Juga
Bunda Maria mengawasi kaum perempuan. Sedangkan para malaikat menjaga keseimbangan
fenomena alam raya ini dengan seksama termasuk perubahan cuaca dan iklim. Bisa juga misi
pekerja lapangan sebagai tugas praktek atas teori-teori yang dititahkan Tuhan.”
“Lucu ya ada Tuhan jadi ribet ngurusin ciptaan-Nya!” Muslim menertawakan
pendapat Christian.            
“Gue seneng ama lo!” ujar Christian sejenak noleh Muslim yang seketika terbelalak.
“Seneng apanya? Seneng kalo gue udah termasuk orang yang bakalan kena laknat
Tuhan lo itu?” Muslim menatap Christian.
“Jangan pura-pura bego lah jadi orang. Sifat lo kayaknya sama kayak sifat gue.”
“Maksud lo sifat seneng debat?”
“Gak perlu nanya. Entar lo lihat sendiri dimana letak persamaan kita,” Christian
membelokan arah mobilnya memasuki jalan kecil.
“Kalo elo nganggap gue orang special yang wajib dikasih kejutan sama elo malam ini.
Kenapa elo buat gue enggak merasa betah dan malah muak ama tingkah lo yang dari tadi
ngeselin terus?”
“Bentar lagi nyampe. Ngomong aja selagi lo pengen ngomong,” Christian malah
senyum.
Muslim akhirnya diam juga melihat reaksi Christian yang sepertinya enggak mau
banyak komentar. Tak lama Christian pun menghentikan mobilnya di depan gerbang
pekarangan rumah yang cukup asri.
“Jadi elo tinggal di komplek sini?” tanya Muslim pada Christian yang segera turun.
“Elo diem aja. Gue cuma mau ngebuka gerbang,” perintahnya sembari membuka
pintu gerbang. 
“Elo bisa ngejalanin mobil, kan ?” lanjutnya agak berteriak.
“Emang kenapa?”
“Tolong masukin ke sini. Gue tanggung entar mesti turun lagi nutup gerbang,” titah
Christian.
“Hah… Okey Bos!” Muslim segera mengemudi mobil serta perlahan melewati
gerbang memasuki pekarangan rumah yang menyerupai vila itu.
Christian kembali menutup gerbang dan menguncinya. Lalu ia berjalan mengikuti
mobil yang dikemudikan Muslim.
“Diparkir dimana?” teriak Muslim.
“Ya udah henti disitu aja. Gue gak punya garasi,” Christian berhenti didekat pintu
depan mobil.
“Sekalian kunci pintunya. Gue mau buka kunci rumah. Ikuti saja ya,” Christian
melangkahkan kakinya menuju rumah.
“Percaya banget sih lo ama gue. Emang enak lo ya punya sopir pribadi!” Muslim
menggerutu sembari lekas mengikuti jejak Christian yang sudah memasuki rumah.
“Christ!...” panggil Muslim kencang saat di ruang depan ia tidak menemukan sosok
Indo itu.
“Masuk saja. Jangan lupa tutup pintunya dan kunciin lagi. Gue lagi di dapur. Tunggu
saja disitu,” sahut Christian.
“Elo pikir gue ini pembantu lo apa?”
“Disuruh juga udah males. Gimana nunggu kesadaran dan ketulusan dari lo.
Bukannya Islam itu cermin Nabi yang sangat bertauladan akhlak yang baik?” Christian
muncul sambil membawakan dua cangkir susu hangat diatas nampan beserta biscuit dalam
toples.
“Kayaknya lo tahu banget pribadi Islam secara sespesipik mungkin.”
“Udah lah lo pengen istirahat dimana? Disini? Atau di ruang tengah sambil nonton
film porno? Atau di kamar gue sambil nuntasin ngeinternet lo itu?” Christian tidak segera
menaruh nampan yang dibawanya.
“Emang disini bebas? Gak ada anggota keluarga yang lain?”
“Pilih dulu dimana tempat yang lo inginkan sesuai yang gue omongin barusan. Baru
nanti kita ngomongin apa saja yang memang lo pengen tahu,” tandas Christian.
“Di kamar saja deh sambil tiduran. Lagian kalopun ada orang lain, kan enggak
bakalan ngeganggu istirahat gue,” pilih Muslim.
“Yah kalo gitu ikut gue,” Christian berjalan melewati ruang tengah kemudian menaiki
anak tangga menuju lantai atas. Disana ada sebuah ruangan yang lumayan luas.
Disampingnya sebuah pintu, dan Christian membuka pintu itu serta masuk.
“Ini kamar gue,” Christian segera menaruh nampan di sebuah meja yang hanya
nampak bayangan gelap saja. Hanya tersinari samar cahaya lampu dari luar.
“Gelap sih,” celetuk Muslim.
Christian segera mengontakkan sakelar. Lampu neon 30 watt pun menyala
menampakan bentuk dan isi ruangan itu. Muslim sejenak memutar-mutar matanya mengenali
nuansa rapi kamar itu.
“Maklum lah gue tinggal sendirian disini. Ada juga Si Bibi kerjanya sekedar nyuci
dan bersih-bersih rumah kalo pagi. Waktu petang ia nyalain lampu-lampu. Itu saja. Ia tinggal
di rumahnya saja yang lumayan agak jauh juga dari sini,” Christian mulai cerita sambil
membuka sweaternya.
“Emang ngewarnet cukup buat ngebiayai hidup serba extra lo?” Muslim duduk di
kursi depan meja komputer yang disampingnya ada sebuah meja kecil dimana nampan itu
tadi Christian menaruhnya.
“Bukan hanya warnet. Itu hanyalah formalitas kegiatan gue saja.”
“Maksud lo ada rutinitas pekerjaan lain?” Muslim melihat Christian yang sedang
membuka kaos streetnya. Ia baru tahu kalo tubuh cowok itu ternyata banyak juga tatonya.
Lihat tato Jesus bersayap malaikat dalam posisi penyaliban terukir di punggungnya. Juga tato
hati berwarna merah menyala tergores di atas pantatnya. Muslim segera mengalihkan
pandangannya ketika Christian membalikan tubuh menghadapnya.
“Tuh, susunya minum mumpung masih hangat. Oh, ya elo doyan ngerokok kan ? Nih
adanya mild sisa gue tadi,” Christian menaruh bungkus rokok didekat nampan beserta korek
gasnya.
“Kalo mau ngeinternet. Aktifin aja komputernya. Silahkan sepuas elo nyampe mana
gak perlu mikirin bayar rentalnya,” lanjut Christian lekas membuka celana jeannya didepan
Muslim.
“Lo demen tato ya?” Tanya Muslim memperhatikan bagian depan tubuh Christian
yang mana di dadanya serta di bawah pusarnya terdapat lukisan tato juga.
“Gue seneng aja. Kayaknya nambah keindahan kulit tubuh.”
“Ngotorin saja kali yang ada. Udah kulit sebersih-bersih lo malah menodainya. Apa lo
gak bosen lihatin gambar yang gitu-gitu aja tiap harinya? Kalo lo demen tato bikin aja tato
temporer, buat sebulan dua bulan biar mudah ganti lagi kalo dah bosen. Lagipula emangnya
lo gak PD apa punya tampang seganteng gitu?” celoteh Muslim sambil memperhatikan paha
cowok Indo itu yang juga terhiasi ukiran warna hijau tua.
“Emang menurut elo gue ini ganteng?” Christian menggantungkan celananya di
kastop di  balik daun pintu kamar.
“Kalo gue cewek. Gue pasti cinta banget ama kesempurnaan fisik lo,” puji Muslim
sambil mengaktifkan komputer.
“Tapi elo mustahil jadi cewek. Buat gue biarpun lo itu cowok tapi gue tetep suka
banget sama penampilan dan karakter lo,” Christian tiba-tiba memeluk Muslim dari belakang
serta mencium pipinya dengan sangat gemes.
“Goblog lo ya,” hardik Muslim segera bangkit meronta melepaskan pelukan
Christian.
Christian yang hanya mengenakan celana dalam saja itu tersenyum tanpa
menampakan sikap bersalah atas tindakan yang dilakukannya barusan terhadap Muslim.
“Kenapa?” tanyanya santai.
“Elo seorang gay!?” Muslim menatap tajam sosok Christian yang membalasnya
dengan senyum simpul disela celotehnya,
“Apa gue perlu memperjelasnya lagi? Gak usah pura-pura naïf. Gue jujur aja.
Ngapain nutupin perasaan jiwa jika hanya bikin menyiksa hati kita saja?”
“Jadi niat lo bawa gue kemari itu hanya buat memperkenalkan siapa jati diri elo yang
sebenarnya? Lalu dengan mudahnya elo bakal manfaatin gue buat memuaskan hasrat sex
elo?” interogasi Muslim tegas.
“Apalagi?” Christian mengerutkan keningnya seakan habis perkara.
“Kalo gue tahu niat lo, mungkin lebih baik nunggu angkot nyampe pagi. Justru gue
berani bayar dua kali lipat itu karena gue bingung balik.”
“Sekarang kan elo udah nyaman?”
“Masuk ke sarang macan kali!”
“Emang dalam pandangan mata elo gue ini kayak macan?”
“Nalurinya kayak binatang!”
“Emang ada binatang homoseksual gitu?”
“Kejamnya!” Muslim jengkel.
“Emang gue nerkam elo?”
“Ibaratnya, bajingan!” bentak Muslim kian nafsu.
“Kita sama kan manusia? Kalo gue macan, berarti elo juga macan? Emangnya ada
kisahnya macan nyampe memangsa binatang sejenisnya gitu?”
“Bedebah ngadu omongan sama elo!” umpat Muslim menuju pintu kamar.
“Mau kemana?” Tanya Christian tenang-tenang saja.
“Keluar dari sarang elo,” sahut Muslim ketus.
“Kunci kamarnya di saku celana itu,” Christian menunjuk celana yang bekas
dipakainya tadi yang menggantung di kastop belakang daun pintu.
“Kunci gerbangnya juga disitu. Kalau kunci pintu rumah enggak dicopot kan ?”
“Elo tidak ngelarang gue pergi kan ?” Muslim membalikan tubuhnya menghadap
Christian.
“Pengennya sih. Justru gue ajak elo kemari biar elo dapat ngerti gue. Tapi jika elo
ngerasa kesiksa ama gue, ya ngapain gue malah bikin masalah saja nantinya?”
“Ini semua emang kesalahan elo kenapa tidak ngomong baik-baik sama gue sedari
tadi. Tapi okey, gue gak jadi balik. Lagian konyol juga kalo gue keluar. Jam segini mana ada
kendaraan buat ke rumah gue yang cukup jauh, lagi. Setidaknya gue akan nginep disini, asal
elo janji nggak bakal berlaku lebih goblok lagi,” Muslim akhirnya mengurungkan niat
perginya seraya duduk lagi di kursi depan komputer.
“Di mata orang penilaian itu tidak selalu sama. Goblog menurut elo belum tentu
menurut gue. Gue berlaku kayak gitu emang gue rasa baik buat gue.”
“Jika emang lo paham ajaran Tuhan, gak mungkin bertindak hanya buat
menyenangkan sebelah pihak.”
“Gue rasa lo paham juga gimana nafsunya seorang gay,” Christian duduk di tepi
pembaringan yang cukup besar itu.
“Elo kira gue seorang homo!?” Muslim menatap tajam.
Christian dengan tawa khasnya yang menggoda, “Gue yakin banget kalo elo punya
perasaan kayak gue juga.”
“Gimana elo memprediksi gue sampai sedemikian yakinnya?”
“Elo keseringan buka situs tentang gay kan ? Dari tanya jawabnya. Sumber agama
dan hukumnya. Perkembangan kaum homoseksual di Indonesia juga mancanegara. Apa tidak
cukup kuat juga jika video porno yang sering elo tonton itu kan sexsual gay? Lalu kalo elo
bukan seorang homo, lantas apa alasannya atas semua perhatian lo yang begitu antusias
terhadap dunia gay?”
“Jadi selama ini elo selalu memantau gerak-gerik gue?”
“Sebagai orang yang jadi inceran, mungkin juga.”
“Maksud lo?”
“Dalam beberapa kali pertemuan saja gue sudah tahu karakter lo. Gue jadi demen ama
lo. Elo gak pernah lepas dari perhatian gue. Gue ngerasa kehilangan jika sewaktu-waktu elo
gak kunjung ke warnet. Lalu gue cari informasi tentang elo. Gue pernah ngikutin pulangnya
elo hingga elo nyampe rumah. Dan gue tahu kalo elo itu ternyata anaknya ibu dosen
Universitas Islam Negeri Jakarta yang belakangan berfatwa telah setuju dan melegalisasikan
kaum homoseksual menindaklanjuti kesepakatan forum pro gay Semarang ,” Christian
bangkit seraya mengambil secangkir susu hangat di atas meja itu lalu menyeruputnya dengan
nikmat.
Muslim terdiam. Sepertinya ia sudah tidak punya komentar apa-apa atas semua
keterangan tentangnya yang terlontar dari mulut gay ganteng itu.
“Gue kira tidak semata-mata ibu lo ngebebasin kaum gay kalo tidak punya alasan
yang kuat. Bukankah seorang ibu yang bijak adalah yang bersikap pro terhadap anggota
keluarganya? Ibunya yang mana yang sudi nanggung aib dan nerima cela dari masyarakat
gara-gara tindak bodoh keluarganya? Apalagi ini anak kesayangannya, ya sebisa mungkin lah
dia pengen nutupin kebusukannya. Dengan cara apapun itu. Meskipun harus membuat hukum
sendiri atau merubah aturan agama yang tersirat jelas dalam alkitab. Elo mestinya ngucapin
makasih sama ibu elo. Dia udah berani nentang hukum Tuhan dan Nabinya guna demi
melindungi nama baik elo yang mungkin nganggap betapa sucinya elo kayak Jesus sebagai
anak Tuhan.”
Muslim menarik nafas. Lalu menatap Christian yang berdiri disampingnya bersandar
ke meja. Ia baru melihat kalau kedua puting susunya cowok Indo itu ditindik serta memakai
anting-anting.
“Elo pikir semua yang elo omongin tentang gue itu bener?” Tanya Muslim dengan
nada suaranya yang datar.
“Elo yang berhak mengedit omongan gue layak denger dan tidaknya di telinga elo,”
Christian mengambil sebatang rokok serta lalu di sulutnya.
“Jika elo suka sama gue. Gue juga jujur suka sama elo. Tapi denger ya, saat ini gue
lagi yakinin prinsip gue bahwa sifat kehomoan itu bisa berubah. Bisa kembali normal
meskipun tidak total 100%. Gue pengen ngelenyapin prinsip bahwa sifat suka sesama jenis
itu adalah kebenaran sifat bawaan dari Tuhan.”
“Jangan ngekhayal sedemikian jauh dan rumitnya. Asal lo tahu saja, seorang tak
berdosa sesuci Sang Pendeta sekalipun mengakui bahwa sifat homoseksual itu adalah sebagai
kebijakan dan Kasih Alah sehingga tak ada larangan bagi kaum Kristen liberal buat
melakukan hubungan intim sesama jenis.”
“Apa ada kebebasan hal yang demikian itu dalam amanat Alkitab? Setahu gue
seorang Uskhup Fatikan pernah berfatwa sangat membenci dan mengutuk kaum
homoseksual.”
“Gue menjadi gay karena tersentuh kenikmatan sex seorang Pendeta. Waktu itu gue
baru SMP. Gue terrmasuk anak yang taat beribadah dan mungkin terlalu sering
menyempatkan diri buat bertemu Jesus dan Bunda Maria di gereja. Gue senang banget
rasanya kalo berada di gereja. Cinta dan damai Tuhan seakan selalu mempesonakan keadaan
gereja. Roh Kudus seakan senantiasa selalu menyambut dan mengajak gue bermain disana.
Bernyanyi-nyanyi riang laksana gue menikmati nirwana dimana Tuhan Bapak beristirahat
dengan tenang. Gue merasa jadi gembalanya. Apalagi Sang Pendeta yang baik hati bagaikan
Sinter Klas selalu memberikan gue kejutan-kejutan mengasyikan. Serasa gue menemukan
kasih sayang sebuah keluarga yang mungkin gue kurang rasakan dan mungkin tidak gue
dapatkan dari orang tua gue.
Gue banyak disanjung oleh Sang Pendeta juga para biarawati. Begitu juga merasa
terhormat mendapat pujian dari para jemaat yang ngasih julukan gue sebagai Tuhan Kecil,
Gembala Surga, Joshua II sebagai sebutan lain nama Jesus, juga ada yang bilang gue ini Putra
Mery. Sebagian besar waktu gue habiskan di gereja. Kadang malam hari gue belajar bareng
Pendeta. Disitulah gue mulai terjebak. Pendeta memeluk gue dengan dalih Kasih Bapak peluk
Maria atau Putra. Gue senang. Waktu-waktu sepi kedatangan gue ke gereja menjadi moment
buat gue ngerasaain peluk cium kasih Alah. Gue ketagihan. Hingga sampai kelamin gue yang
jadi mangsa. Sang Pendeta berlaga sebagai Madame Theresa yang jadi seorang peri maskot
cinta kasih Alah dalam medan perang. Madame Theresa yang berhati mulia yang dijuluki
sebagai Suster Perdamaian. Sang Pendeta mengulum penis gue. Tentunya dilengkapi dengan
kisah Abraham. Lalu memainkannya seperti dokter yang sedang terapi kesehatan terhadap
pasiennya. Gue seneng dubur gue diperawani kelaminnya laksana team medis yang hendak
nyembuhin pasien susah kentut dan berak. Gue percaya aja. Gue sangat seneng sekali. Gue
selalu kangen melulu pada gereja yang asyik, penuh harmoni, simfoni yang mengalun damai,
juga romantika cinta Pendeta yang disuguhkannya pada gue.
Tapi tamat SMP gue harus ngelanjutin pendidikan SMA gue di Amerika. Gue tersiksa
sekali dengan kerinduan gue terhadap gereja dan Pendeta. Makanya di Amerika gue kembali
membiasakan diri ke gereja meskipun bokap gue betapa jarangnya beribadat. Gue temui
Pendetanya. Dan gue tidak menemukan sesuatu yang lebih yang gue ingin dari sosok seorang
Pendeta. Hasrat sex gue tidak tersalurkan. Sang Pendeta disana tidak mau mengerti tentang
tekanan batin gue. Lalu sekali waktu gue menyempatkan waktu luang gue buat ke gereja
menemui Sang Pendeta itu. Gue langsung mencuri pipinya dengan ciuman hangat gue. Entah
kenapa gue senang banget dapat melakukan itu meskipun Pendeta itu sudah cukup tua.       
Sang Pendeta merasa heran dengan sikap gue. Lalu gue cerita tentang keadaan gue
yang sebenarnya. Termasuk kisah romantis gue dengan Sang Pendeta Indonesia . Ternyata
tanggapannya sangat sengit. Sang Pendeta tidak menghardik gue sedemikian kejamnya
melainkan meminta surat pernyataan dan kesaksian atas tindak Pendeta Indonesia itu. Lalu
Pendeta itu melayangkan surat permohonan izin pada badan agama Kristen Amerika untuk
segera menurunkan surat perintah kepada badan persatuan umat Kristen Indonesia untuk
segera melucuti titel derajat kependetaan Sang Pendeta itu.
Gue sangat terpukul sekali dengan kejadian itu. Gue tidak bisa terima fatwa-fatwa
para Pendeta yang melarang keras hubungan seksual antar laki-laki. Mereka tidak berpihak
pada kebenaran dan telah berlaku dusta. Mereka tidak punya hati nurani. Sungguh mereka
jauh dari Maha Kasih Alah juga cermin Jesus yang cinta damai.
Semenjak itu gue jarang pergi ke gereja. Lama kelamaan gue jadi tidak sama sekali
menginjak gereja. Gue benci gereja. Gue jadi remaja yang brutal. Gue pencinta kebebasan.
Karena pinsip gue hanyalah Tuhan yang Maha Mengerti dan Maha Mencinta, maka dengan
senang hati gue mengabadikan kasihnya dalam ukiran tato. Hati sebagai cintanya Bunda
Maria. Sedangkan tengkorak lambang hidup gue. Gue doyan banget urakan. Hingga
kesempatan mempertemukan gue dengan kelompok besar gay Amerika. Gue pernah ikut
parade demo kaum homoseksual yang termasuk pula lesbianisme. Seluruh anggota parade
hanya mengenakan celana dalam dan bagi cewek plus pake BH. Gue gak keberatan sampai
telanjang bulat gak pakai celana dalam sekalipun. Malahan gue menjadi anggota yang paling
disegani kaum homoseksual karena gue termasuk orang Indonesia yang paling berani tampil
syur…” cerita Christian membongkar riwayat hidupnya sambil kembali menghisap rokok lalu
mengepulkan asapnya ke arah Muslim yang termangu jadi pendengar yang baik.    
Muslim mengambil secangkir susu yang mulai dingin itu. Lalu mereguknya.
Disimpan lagi serta membuka toples mengambil biscuit yang seraya disantapnya.
“Kenapa bisa lo balik lagi ke Indonesia ? Bukannya di Amerika hasrat hidup lo sudah
terpuaskan?” Tanya Muslim sambil menatap lagi cowok yang asyik dengan rokoknya itu.
“Gue merasa ternyata kebebasan itu tidak selamanya menyenangkan bagi pribadi
hidup gue. Gue merasa Indonesia adalah tempat yang cocok dan sesuai dengan karakter
selera jiwa. Gue penyuka tantangan. Gue pengen Indonesia mengukir nama gue dalam
sejarahnya. Gue pengen menjadi proklamator kemerdekaan kaum homoseksual Indonesia .
Sebab di Amerika kesempatan mengambil perhatian dan menyimpan nama besar itu sudah
tak ada celah bagi gua. Sedangkan Indonesia sepertinya sangat realistis sekali dengan rencana
mulia gue. Dan harapan itu laksana pucuk di cinta ulampun tiba setelah gue kenal siapa lo.
Elo mungkin gak tahu gimana sepak terjang gue dibelakang mata lo. Gue sudah
berhubungan komunikasi khusus dengan ibu lo. Gue melihat peluang besar dari kualitas
seorang mahaguru sebuah fakultas agama seperti ibu lo. Pengaruhnya akan sangat besar bagi
kafasitas penduduk Indonesia karena universitas agama tersebut merupakan agama
mayoritas…” Christian menyeringai menampakan taring kemenangannya.
“Jadi elo Syaitan yang menggerakan ibu gue!?” Muslim berdiri menunjukan
telunjuknya ke moncong Christian dengan beringas.
“Gue kira ibu elo malah seneng. Bukannya tahun kemarin juga dapet penghargaan
sebagai Ibu pembela hak kaum perempuan Indonesia dari Amerika? Sekarang juga kenapa
enggak? Tunggu saja ibu elo akan meraih Oscar sebagai Madame pembela hak asasi kaum
homoseksual Indonesia ,” kilah Christian begitu tenang sambil menggenggam lengan
Muslim. Ia menatapnya. Lalu ditariknya tubuh cowok itu hingga merapat dengannya, dan …
ciumannya itu kembali mendarat di permukaan wajah Muslim. Kini, … di bibirnya!
Sesaat hening tidak terdengar ucapan apapun. Hanya desah Christian yang mulai
hanyut dalam berahinya mengulum bibir Muslim yang terdiam seakan rela membiarkan
perasaannya ikut hanyut dalam kenikmatan …
“… I love you, so much!” bisik Christian bergetar.
Muslim membuka matanya yang sesaat terpejam. Ia perlahan menjauhkan wajahnya
dari wajah Christian yang sangat berselera untuk bercinta. Muslim menundukkan mukanya
sambil beringsut hendak duduk kembali. Tapi Christian menarik tangannya seakan tidak
memperkenankannya untuk duduk. Christian menatap tajam wajah pemuda itu.
“Gue gak ngerti,” Muslim menggelengkan kepalanya.
“Jangan menjadi seorang pengecut! Ini adalah kebenaran untuk kita. Tidak mungkin
Tuhan memberikan perasaan seperti ini jika hal ini justru dibencinya. Gue yakin kaum Luther
itu tidak salah, tetapi Tuhan melaknat kaum Luther itu karena Luther sudah merasa kecewa
tidak bisa mengawinkan kedua anak gadisnya dengan laki-laki yang ternyata homo. Atas
kecewanya itu Luther protes sama Tuhan hingga Tuhan lalu menurunkan azab tanpa Tuhan
tahu bagaimana kisah sebenarnya yang terjadi,” Christian menyiram ruhani Muslim dengan
azas religius.
“Elo pikir Tuhan itu kadang bersifat tidak Maha Tahu? Elo pikir Tuhan itu pilih
kasih? Elo pikir Tuhan itu sembrono? Serampangan dan sembarangan saja ngasih hukuman
pada umatnya?”
“Jika kita merasa ragu dengan kebijakan Maha Kasih Tuhan, kenapa kita tidak
mencari Tuhan baru yang sekiranya mendukung dan mensucikan jalinan cinta kasih kaum
homoseksual?”
“Gue merasa pusing banget. Kenapa kita jadi terjerumus ngebahas permasalahan ini?
Sudah jelas Tuhan ngasih jalan yang lurus dan menentramkan untuk manusia. Kenapa kita
mesti repot-repot cari jalan lain yang malah bikin capek dan celaka?” keluh Muslim
menyesalkan.
“Jika elo sebagai manusia yang berdedikasi tinggi pengen jadi manusia beneran. Elo
pasti akan berusaha keras buat mewujudkan jati diri elo yang sesungguhnya sebagai manusia.
Apa elo akan menghancurkan misi nyokap elo yang gencar ingin memanusiakan manusia?
Apa elo meragukan seberapa pasih paham nyokap lo terhadap agamanya? Nyokap lo
berpegang teguh prinsip pada Al-Qur’an yang agung sepenuhnya. Al-Qur’an yang
senyatanya sangat dikagumi dan diakui kebenaran dan kemaha dahsyatannya sebagai kitab
Tuhan oleh bangsa Nasrani. Tapi mereka cenderung berasa malu bila harus terang-terangan
ngaku Islam sebagai agama yang benar. Sehingga sebisa mungkin mereka menjatuhkan dan
menghujat umat Muslim diseluruh dunia dengan segala rekayasa dan tipu dayanya hingga tak
segan-segan mengalih bahasakan Al-Qur’an dengan terjemahan internasional yang
menyesatkan…” Christian membisiki nurani Muslim dengan sedemikian lembutnya. Bisik
seorang pencinta yang ingin menjerat dan memenjarakan hati orang yang dicintainya dengan
segala keunikan indahnya bentuk cinta. Christian mendekap Muslim perlahan. Mereka rapat
berpelukan. Jantungnya kian bergetar tak keruan.
“Tidur yuk!” ajak Christian lembut.
Muslim tidak mengisyaratkan reaksi apa-apa. Ia hanya menuruti kemauan Christian
saja. Ia biarkan Christian memapahnya berjalan menuju pembaringan. Lalu iapun duduk di
tepinya.
“Kamu senang minum?” Tanya Christian sambil jongkok di ubin di depan Muslim
yang duduk di tepi ranjang.
Karena Muslim diam saja. Christian kemudian memperjelas,
“Maksudku minuman beralkohol!?”
Muslim seraya menggelengkan kepalanya perlahan.
“Mau nyoba? Yang ringan saja. Atau bir? Anggur merah?” Christian menawarinya.
“Aku ingin tidur,” bisik Muslim segera merebahkan tubuhnya ke atas kasur yang
berseprai hitam putih belang zebra. Nuansa hitam putih yang menjadi corak romantis
dekorasi kamar itu. Termasuk ubinnya laksana kotak-kotak hitam putih papan catur.
“Tidak mau ganti baju?”
“Udah nyaman begini juga,” sahut Muslim pelan.
“Aku merasa gerah lihat kamu pake baju,” Christian naik ke pembaringan lalu
bersimpuh di samping badan Muslim yang tergolek.
“Aku bukain bajumu. Aku lebih senang tidur gak pake baju,” Christian mulai
membuka satu-persatu kancing baju Muslim. Muslim yang terlentang pasrah.
Kemejanya telah dibuka. Dadanya yang bidang ditumbuhi rambut-rambut halus yang
lembut menambah selera hasrat berahi Christian yang mulai membuka celana levis Muslim.
Tampak celana dalam Muslim mengembung tak ubahnya CD Christian yang mungkin sudah
mulai basah.
“Aku sedang ingin bercinta!” desah Christian menggebu.
……………………!?
Malam! Apakah ada cinta diseberang laut sehingga semut berlari kesana? Sementara
seekor gajah masih menunggunya disini untuk bertarung?        
 
 2   ‘dosa itu seperti apa,
jika cinta itu fitrah?’
 
Hidangan Tuhan di Malam Natal
 
Aku adalah seorang umat yang selalu senang bersama Tuhan
Aku senang mengoleksi banyak bentuk sosoknya
Aku sangat yakin sekali kalau Dia itu Maha Kuasa
Dia pandai menyerupai siapa saja
Bagaikan bunglon ku pandang Dia
Pandai beradaptasi dengan lingkungannya
Perhatikan, jelas dari perubahan-perubahan fisiknya
Yang aku beli dari Belanda, wajah Isa menyerupai pria orang sana
Yang aku dapat waktu dari kawasan kecil Afrika, Isa berkulit hitam legam
Yang dari Roma dan Palestina pun berbeda
Posternya juga beraneka ragam
Tapi yang sangat aku senangi yang mirip dengan orang Indonesia
Entah kenapa
Yang paling berkesan ketika aku bersama teman-teman religiku mengadakan lomba
Membuat patung Jesus dari bahan coklat dan mentega
Sungguh aku terkesima melihat hasilnya
Semuanya hampir mirip dengan orang-orang suku Irian Jaya
Pemenangnya adalah satu yang berbeda dari bentuk mahkotanya
Yang rambutnya dimiripkan dengan kebiasaan orang Indian dari Amerika
Patung-patung indah itu lalu kami sembah bersama
Kemudian kami persembahkan pada jemaat gereja agar mereka bisa mencicipinya
Di malam suka cita pesta natal yang penuh nuansa romantika
           
            “Kenapa?” Tanya Christian lembut memeluk Muslim dari belakang.
            “Ini puisi?” Muslim memperlihatkan secarik kertas.
“Mungkin lebih pantes dibilang cerita. Itu memang ceritaku beberapa tahun lalu,
sewaktu aku masih SMP. Aku buat puisi itu sebagai kenangan masa laluku yang tak mungkin
aku akan melaluinya kembali. Malam natal yang indah, yang aku habiskan bersama Sang
Pendeta tercinta itu. Yang kini tak tahu entah berada dimana. Sekaligus sebagai kenangan
terakhir natalku bersama keluarga. Natal yang sangat berbahagia. Karena pemenang lomba
buat patung Jesus itu adalah aku. Aku dikasih piagam penghargaan. Juga hadiah natal dari
jemaat dan pengurus gereja. Juga hadiah dari Pendeta serta Nyokap dan Bokap yang sangat
bangga. Aku suka terharu dan meneteskan air mata jika mengenangkannya. Sebrutal dan
sebernodanya aku menjalani kehidupan, senyatanya jiwaku tak pernah kotor. Rohku bening
sesuci Roh Kudus, merindukan sosok keluarga yang penuh damai. Dimana aku merindukan
sosok Bunda Maria sebagai pelindungku. Sebagai pengganti kasih ibuku yang mana sedari
kecil aku tumbuh dalam asuhan berganti tangan baby sitter…” Christian menghela nafasnya
dalam-dalam.
“Sudahlah. Kita harus berani jalani kehidupan ini. Apapun yang terjadi. Kita harus
bertanggung jawab atas apa yang kita jalani. Kayaknya niatku untuk ngejauh dan musnahin
sifat suka sesama jenis itu bukanlah sebuah harapan yang mesti ditangguhkan lagi. Kamu sih
malah ngambuhin lagi. Dasar lo!”
“Kok ngomong gitu? Bukannya seneng aku udah nyelamatin perasaan kamu yang
sebenarnya. Kita jadi orang kan harus jujur. Ngapain kita takut dijelekin sama orang hingga
kita bela-belain bohong sana-sini? Bukankah bohong itu lebih tidak baik? Anjing
menggonggong, kafilah berlalu! Biarkan mereka bilang sesuka hati. Agama ya biarin aja
mengatur hukumnya. Kenapa kita sewot mesti harus memperdebatkan hukum? Kita jalan
saja. Kenapa kita mesti terselubungi pikiran tentang adanya pertimbangan surga dan neraka?
Surga dan neraka kan harus ada penghuninya. Daripada kita hidup tersiksa dengan perasaan.
Bertolak belakang dengan keinginan. Ngomong jadi ngawur penuh kemunafikan. Apa itu
tidak sama saja menjerumuskan diri ke dalam jurang neraka secara perlahan-lahan tanpa
sedikitpun ada untung dan kenikmatan. Sementara kita jikapun nanti memang masuk neraka,
setidaknya di dunia kan sudah berpuas-puas menyalurkan hasrat yang menjadi sumber
penyemangat jiwa untuk bertahan hidup.”
“Kita jalan sekarang saja. Sudah hampir jam sebelas,” Muslim melihat jam.
“Okey! Kamu tidak apa-apa kan bekas semalam?”
“Masih sedikit linu penisku yang kamu gigit kekencengan,” Muslim meraba celana
bagian depannya.
“Maklum aku sudah terlalu kangen menantikan nuansa romantis seperti semalam.
Kamu juga gigit puting susuku nyampe antingnya copot. Untung saja putingnya gak ikut
copot,” celoteh Christian juga sedikit menggerutu.
Keduanya segera keluar rumah. Christian berpesan sama Si Bibi yang masih menyapu
halaman agar mengunci rumah dan gerbang. Karena Si Bibi memegang kunci duplikatnya.
Juga hati-hati jangan sampai teledor menjalankan tugasnya.
Pigeout 506 itu perlahan keluar pekarangan rumah. Lalu meluncur meninggalkan
komplek perumahan elit itu. Suasana tengah hari yang tidak terlalu panas. Langit Jakarta
sedang berbaik budi. Menyelimuti matahari siang ini dengan awan putih berarak. Ataukah
mungkin sebagai selubung tabir yang merahasiakan kisah kasih dua insan manusia sesama
jenis itu? Ukiran cinta yang siapa bisa memperjelas jikalah senyatanya itu adalah dosa!
“Aku gak nyangka permainanmu semalam bisa hebat juga,” Christian menilai
pertarungan perdana mereka semalam.
“Atau kamu udah terlatih bercinta?” lanjutnya.
Muslim tersenyum saja menanggapinya.
“Beneran aku merasa puas banget. Meskipun kamu masih sedikit arogan gitu. Gimana
nantinya kalo udah mahir? Ada kemungkinan aku bakal kalah tanding. Aku yakin kamu
bukan pertama kali ini bermain mesra. Pastilah setidaknya pernah mengecap nikmatnya
sentuhan lembut pasangan kencanmu,” Christian seperti yang ingin mengorek sejarah
terjunnya Muslim ke dunia mesum kaum homoseksual.
“Apa kamu gak bakalan cemburu ngedengernya?”
“Mungkin juga sih. Tapi kejujuran kan lebih baik. Biar aku ngerti gimana mestinya
ngadepin sifat kamu.”
“Jadi benar kamu sangat mencintai aku?”
“Kamu ingin aku menunjukan rasa cintaku padamu dengan cara apa? Jika masih
belum cukup dengan ucapan ‘aku cinta kamu’, aku harus bagaimana biar kamu benar-benar
yakin kalau aku sangat mencintai kamu?”
“Apa kamu akan menjadi pasanganku yang setia?”
“Aku bukan tipe kekasih yang doyan selingkuh. Percayalah demi nama Almasih yang
suci, aku berjanji laksana janji fajar yang setia mengitari bumi setiap hari. Aku akan setia
padamu.”
“Mengapa kau sampai bisa merasakan dalamnya cinta itu pada rentang waktu yang
terlalu singkat?”
“Muslim, kamu tidak mengerti perasaanku. Kaupun merasa bagaimana orang yang
jatuh cinta itu? Apakah perlu waktu yang lama, jika hati sudah tersiksa perasaan suka? Aku
jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Aku menemukan sesuatu yang beda dari
dirimu. Kamu punya wibawa tersendiri. Keluguanmu yang acuh itu sungguh mempesonaku.
Semula ku kira dirimu sosok cowok sejati yang normal. Tapi dibalik sikapmu lambat laun
aku mulai memahami bahwa kamu sedang mengalami goncangan batin. Ada harap-harap
cemas tentang naluri kelelakianmu. Kamu sedang pura-pura menutupi gejolak jiwamu.
Terbukti ketika ada seorang gadis duduk bersebelahan denganmu. Lagamu cuek. Tidak
berkepentingan. Tidak seperti ketika ada aku atau seorang lelaki cakap disampingmu. Kamu
sangat krisis PD. Jaga image banget. Dengan  sikap ramah dan banyak senyum. Aku
penasaran padamu. Aku tergoda setiap kamu tersenyum ramah padaku. Hatiku selalu
berdebar jika beradu tatap denganmu. Entah kenapa. Tapi waktu itu aku merasa takut dan
tidak berani macam-macam padamu. Aku tahu tipe kayak kamu itu adalah orang yang sulit
untuk dikasih paham juga sulit menerima sesuatu yang baru. Sangat sukar menerima
perubahan. Kecuali sesuatu itu yang sangat pas dengan keadaan sifatmu waktu itu. Meskipun
sifatmu itu cenderung munafik, tapi kamu juga jujur dengan perasaan hati. Dimana kamu
tidak suka, maka susah sekali untuk dipaksakan agar kamu menyukainya termasuk hadirnya
seorang sahabat. Kamu sulit untuk mendapatkan seorang teman, tapi setelah kamu punya
teman kamu sulit untuk menjauh darinya. Maka dari itu aku sangat hati-hati denganmu.
Meskipun perasaan ingin kenal kamu itu sudah sejauh hari, aku tetap tidak berani sekonyong-
konyong masuk dalam hidupmu. Aku cari jalan untuk bisa mengakrabimu. Hingga aku bela-
belain meneror dan memberi masukan-masukan terhadap ibumu. Akhirnya kan , berhasil
juga. Kamu yang ngotot semalam itu buat ku ajak nego, ujungnya kamu bisa pasrah setelah
aku balikin semuanya pada kepribadian ibumu. Jika aku tidak mengetengahkan kebijakan
ibumu, mungkin aku tidak punya alasan kuat buat menjeratmu. Ada kemungkinan besar
kamu akan melaporkan tindakanku itu pada pihak yang berwajib. Kamu itu emang sifatnya
gitu. Lugu. Tegas. Berani. Sayangnya munafik. Tapi syukur deh dengan susah payah juga
akhirnya aku bisa laksana meraih cintaku,” Christian tersenyum mesra pada Muslim yang
duduk disampingnya.  
“Apakah kau sudah meminta persetujuan Almasih tentang perasaan cintamu itu?”
“Apakah Tuhanmu juga sudah sepakat ngasih izin sama kamu?” Christian balik
nanya.
“Jika aku ingin memuaskan diriku dengan cara begini, alangkah lebih baiknya aku
melupakan Tuhanku. Karena aku tidak ingin mendustakan agamaku. Aku lebih memilih
menganut paham kebebasan untuk sementara sebelum aku menemukan agama baru yang bisa
menerima dan mengangkat harga diri kaum homoseksual,” tandas Muslim begitu yakin dan
sekaligus mengejutkan Christian.
“Kau kira tidak berTuhan itu orang yang baik? Bukankah Islam liberal telah
memberikan begitu banyak kebijakan-kebijakan serta pemahaman-pemahaman baru yang
lebih logistik termasuk pengakuannya terhadap keberadaan kaum homoseksual? Bukan hanya
ibumu saja yang setuju pemberlakuan hak asasi untuk peradaban homo di Indonesia ini, tetapi
sudah ada gerakan kelompok Islam yang pro homo sebelumnya,” Christian memberikan
masukan baik.
“Sebagai umat Islam yang tahu betul ajaran agamanya, aku pasti tidak mungkin
memungkiri sebuah petuah yang menyatakan bahwa yang haram itu tetap haram, juga halal
tetap halal. Jangan sampai merubah peraturan hukum yang ada hanya karena kita senang
sebuah perkara yang diharamkan lalu kita merubah hukumnya menjadi halal. Jika kita
menyukai perbuatan yang diharamkan, kita bilang saja itu haram jangan sampai bilang halal
dan diperbolehkan. Jikapun suka ya lakonin saja sampai dimana batas kepuasannya, tapi
jangan sampai menghalalkannya.
Maka dari itu, beragam penganut paham kebebasan agama liberal ataupun sekuler
yang berkembang zaman ini menurutku mereka hanya sedang berhalusinasi mewujudkan
mimpi-mimpi lenyapnya keserba terkekangan hukum agamanya. Tak lebih bagiku mereka
adalah budak-budak dari hawa nafsu yang bersumber dari syaitan yang menjelma menjadi
manusia,” kecam Muslim tegas.
Christian terpana dengan omongan Muslim hingga ia hampir-hampir lupa kendali
kemudinya, “Kalau ngomong jangan terlalu sadis dong. Aku jadi merinding juga dengernya.
Kamu itu tidak sadar apa, keluargamu sendiri yang malah jadi sumber Islam liberal Indonesia
. Lagi pula menurutku liberal itu cenderung lebih maju dan berpikiran positif. Mereka
memberikan paham yang membukakan cakrawala keterbatasan pemikiran kita. Bukankah Al-
Qur’an itu kitab yang berisikan sajak-sajak indah yang penuh simbol dan slogan-slogan yang
sulit dipahami muslim awam? Beberapa paham ulama zaman dulu dirasa banyak yang salah
memaknai slogan dan simbol-simbol firman Tuhan itu. Sehingga sekarang kaum liberalis
lebih mendefinisikan Al-Qur’an itu dengan penafsiran-penafsiran yang lebih logis dan real.
Tidak lagi ortodoks pada pemahaman yang jelas malah mengebelakangkan perkembangan
Islam dalam peradabannya di muka bumi. Manusia di kasih akal pikiran sama Tuhan itu
bukan hanya agar lebih pandai dari binatang saja, tetapi pula agar mampu berpikir serta
memecahkan tabir-tabir rahasianya. Termasuk tata ruang cipta semesta dalam peraturan
wahyu yang diturunkannya. Ajaran Islam itu dalam pandanganku sebenarnya tidak sempit.
Kajiannya sangat luas sekali.”
“Tidak salah. Dalam surat Ar-Rum ayat 58 Allah berfirman bahwa ‘…sesungguhnya
telah Kami buat dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia.’ Tapi
perumpamaan apa yang tersirat dalam Al-Qur’an yang menjadi simbol bahwa homoseksual
itu dibenarkan?
Jika kamu menganut paham liberalis. Apakah kamu juga dibebaskan untuk berpikir
mencari jati diri Tuhanmu yang selama ini kamu percayai dan kamu sembah? Apakah kamu
diperbolehkan agamamu untuk menguji kebenaran Jesus itu sebagai Tuhan? Apakah kamu
tidak pernah berpikir dan tidak pernah merasa ragu dengan Tuhanmu itu? Menurut
pandangan mata orang Islam, umat Kristen itu sungguh sudah sangat keliru menyeru Nabi Isa
sebagai Tuhan? Bagaimana mungkin seorang Jesus yang dianggap Tuhan itu sampai mati?
Juga waktu dalam penyaliban bukankah Jesus memanggil-manggil minta pertolongan Tuhan?
Kalau dia memang Tuhan, kenapa mesti meminta pertolongan Tuhan lagi? Ataukah mungkin
sifat Tuhan itu tidak memiliki sifat kekekalan? Kalau begitu berarti Tuhan Bapakmu juga
akan mati! Lalu tahta ke-Tuhanannya diwariskan sama siapa? Karena dalam agamamu Tuhan
itu mempunyai syahwat yang cenderung berkembangbiak dan mempunyai generasi.
Ataukah mungkin liberal itu artinya adalah kebebasan untuk menyenang-nyenangkan
diri? Memperingan atau bahkan melenyapkan aturan yang sekiranya membatasi pergaulan
sosial saja, sedangkan pengertian Tuhan tidak seraya berani menggantinya karena takut
murtad dan kufur keluar dari agamanya. Karena mereka tetap yakin dalam dasar sanubarinya,
sekeji dan seberlimpahnya dosa yang mereka perbuat jika masih beragama Islam niscaya
awal akhir mereka akan diangkat dari api neraka oleh Allah untuk mengecap nikmatnya
surga,” Muslim kian meluaskan pemikirannya.
“Dalam Kristen liberal yang mengakui hak kaum homo. Aku tidak dilarang untuk
berpikir tentang bagaimana Tuhanku. Justru malah mendapat tanggapan baik ketika aku
mempertanyakan siapakah perempuan yang diperuntukan buat Jesus di surga? Mengingat
tidak diketahui adanya perawan sesuci Maria sebagai umat Jesus yang mati sebelum wafatnya
Jesus. Juga karena Jesus itu Tuhan, maka Tuhan Bapak mana mungkin
mempersandingkannya dengan para bidadari yang sudah diperuntukan untuk umat manusia
biasa…”
“Mungkin dengan Tuhan Putri,” potong Muslim membuat Christian tampak heran
mendengarnya.
“Tuhan Putri? Emangnya ada? Setahu aku yang ada itu Tuhan Bapak yaitu Alah,
Tuhan Anak alias Jesus atau Isa Almasih beserta Bunda Maria,” kilah Christian.
“Ya, tidak menuntut kemungkinan Tuhan Bapak menghamili lagi Bunda Maria di
surga lalu melahirkan seorang putri sebagai adiknya Isa Almasih. Niscaya kan dia dipanggil
Tuhan Anak Perempuan atau Tuhan Putri,” tukas Muslim.
“Jangan macem-macem ya. Tidak mungkin saudara sekandung bisa bersanding.”
“Buktinya Tuhan yang Rohul Kudus, Roh Tuhan yang sangat mulia dan suci ternyata
mempunyai nafsu dan berhasrat sex juga tergoda oleh sesosok Maryam manusia ciptaan-Nya
hingga dihamilinya.”
“Tuhan menitipkan anak pada rahim suci Maria tidak melalui kelamin seperti
manusia.”
“Lantas kapan berbuahnya sel telur Maria di rahimnya jika tidak tercampur sel
sperma?”
“Tuhanlah yang mengatur semuanya itu karena Dia Maha Mengetahui serta Maha
Kuasa atas segalanya.”
“Bukankah paham liberal menganut prinsip berpikir secara logis? Apa kamu juga
takut berpikir macam-macam bila yang berhubungan dengan Tuhan? Atau kamu belum
dengar kisah hamilnya Maria itu sebagaimana menurut seorang penganut paham Islam liberal
yang menyatakan bahwa Maryam itu senyatanya menikah dengan seorang anak petani
bernama Yusuf?”
Christian akhirnya diam. Matanya memusat ke depan pada jalan yang tidak juga
lengang dari berseliwerannya kendaraan. Tapi dibalik fokus lensa matanya, ia menyimpan
sketsa film yang tidak bisa tertuang jelas di layar kosong pandangan Muslim. Memori
Christian sedang error!
“Jadi siapa yang akan menyambut Jesus di surga itu?” Muslim mengembalikan lagi
masalah yang sekiranya membuat Christian bisa kembali menjalankan otaknya.
“Tuhan Bapak dan Tuhan Anak bermain intim. Karena ada kemungkinan Tuhan
Bapak itu bersifat bisex. Mengingat umatnya yang heterosex. Jadi kenapa tidak Tuhan Bapak
suka sesama jenis juga, selain dari melayani Bunda Maria?”
“Busyet, betapa mengerikannya kamu punya Tuhan yang bersyahwat. Jadi tidak salah
dong kalo Maria itu sudah diperkosa Tuhan juga,” Muslim tertawa geli mendengar tanggapan
Christian yang semakin amburadul pemahamannya.  
“Mungkin itulah kajian Kristen liberal yang menjadi tolak ukur dibebaskannya kaum
homo,” Christian lebih meyakinkan prinsipnya.
“Christ! Daripada kita makin ngaco menelaah makna aqidah agama kita, apa tidak
lebih baik kita mencari keyakinan baru? Sumber hukum baru yang memihak pada kebenaran
kita. Yang bisa menyatukan  kepercayaan kita. Bagaimanapun juga, Islam itu jelas tidak
menerima sifat kaum homosek begitu pula dengan Kristen. Aku ingin kita punya kepribadian
serta landasan hidup yang sama, jika memang kita mau mempertahankan prinsip bahwa
homoseksual itu bukanlah perilaku sex menyimpang melainkan sebuah kebenaran.
Seandainya kita masih berpegang pada agama kita sekarang, aku Islam kamu Kristen aku
takut pada akhirnya nanti tetap saja akan ada orang yang menghujat dari pihak agama kita.
Lagipula aku tidak ingin Allah Tuhanku mempergunjingkan keIslamanku nanti di akhirat.
Juga aku tidak tega melihatmu nanti diadili Tuhan Alah atas dosamu. Apalagi Tuhanmu ada
dua. Berarti kamu akan lebih ribet nanti naik banding gugat kasusmu di dua persidangan.
Atau mungkin kamu tidak akan mengenal neraka karena dalam agamamu tidak ada kasus
dosa oleh sebab sudah ditebus dengan darah Jesus. Jikapun demikian apakah kamu akan tega
melihat aku sebagai orang yang kamu sangat cintai waktu di dunia menjerit-jerit menahan
siksa kobar api neraka sebagai balasan atas nista dan dosa kita?
Maka dari itu aku ingin kita hidup di dunia ini saling mencintai, saling mengasihi,
juga saling menyayangi. Seiring sejalan, seiya sekata, senada seirama, senasib dan
sepenanggungan. Suka duka, asam manis, pahit getir, serasa dan sepengertian. Begitupun di
akhirat nanti aku ingin kita tetap bersama. Memapah bahtera cinta kita. Didakwa di negeri
pengadilan Tuhan yang sama. Hingga surga maupun neraka kita menjalaninya bersama. Atas
dasar itu kita harus mencari Tuhan yang masih suci. Yang namanya belum tercemar dengan
imajinasi-imajinasi para politisi. Kita harus menemukan agama baru yang bisa
mempersatukan keyakinan kita. Demi kita merasa tenang dan damai menjalankan
peribadatannya penuh dengan kekhusuan dan khidmat,” Muslim begitu mengharubirukan
perasaan Christian.
“Mungkin dalam soal ini kamu yang lebih mengerti tentang ketuhanan. Aku tidak
tahu terlalu banyak tentang masalah ketuhanan. Sebagaimana kamu ketahui aku hanya aktif
dalam agamaku semasa aku masih SMP. Ku kira kamu lebih mendalami dan lebih bisa
berpikir cemerlang. Aku percaya kamu umat yang taat terhadap ajaran agamanya,” Christian
menatap Muslim penuh rasa cinta dan kepercayaan.
“Apa karena cinta kamu sudi mengikuti jejak langkahku?”
“Demi nama Tuhanmu aku bersumpah, jikalah kamu menginginkan aku sekeyakinan
denganmu. Aku siap berganti Tuhan, asal benar kau akan mencintaiku. Demi memperkuat
keutuhan dan kesucian cintaku, aku akan selalu mencoba menjadi yang terbaik bagi kekasih
tercintaku. Karena aku sangat terlalu mecintaimu,” bisik Christian begitu mendalam.
Muslim menatapnya lekat. Ada keharuan yang bersenandung di hatinya. Betapa tulus
dan sucinya niat cinta Christian untuknya.
“Christ!” seru Muslim lembut.
Christian memperlambat laju mobilnya hingga akhirnya menepi di pinggir jalan dan
berhenti. Christian menoleh Muslim. Ia tersenyum begitu tulus. Lalu ia gerakan tangannya
meraih jemari tangan Muslim. Kemudian digenggamnya dengan lembut.
“Sayangku,” bisik Christian sambil mencium jemari tangan Muslim yang dalam
genggamannya. “Apa yang kau pikirkan? Apa kamu masih meragukan cintaku?”
“Aku terharu mendengar semua perkataanmu. Mengapa bisa kau sampai sebegitu
dalamnya mencintai aku? Apa kau yakin aku bisa membahagiakan hidupmu?”
“Terlalu dalamnya perasaan hatiku tak mungkin sanggup kamu menyelaminya. Aku
juga tidak mengerti mengapa sampai begitu beratnya cintaku padamu. Tapi aku yakin
sepenuh keyakinanku, kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tak mungkin sanggup
bila harus kehilanganmu. Kali inipun aku mengajakmu jalan karena aku merasa berat hati bila
harus melepasmu pulang ke rumahmu. Aku tidak mau berpisah denganmu sekejappun. Aku
ingin selalu bersamamu. Menyertaimu. Aku harap kamu mengerti perasaanku. Jangan pernah
pergi untuk meninggalkan aku … ya, sayang. Aku berjanji akan selalu melindungimu.
Menjagamu. Saat tidur dan terjagamu. Aku akan siaga sepanjang waktu, demi kebaikanmu,”
Christian mencium kening Muslim penuh kasih dan kemesraan.
“Terima kasih!” bisik Muslim menyandarkan kepalanya ke pundak Christian.
Christian memelukan tangannya mendekap tubuh Muslim. Ia sandarkan pipinya ke
kepala Muslim yang menyender di pundaknya. Tangannya mengelus rambut Muslim dengan
penuh kelembutan. Muslim menggerakkan tangannya meraih tangan Christian yang
memainkan rambutnya itu. Lalu ia mendongakan wajahnya menghadap wajah Christian …
Di tatapan sorot matanya ia titipkan pesona riak jiwanya yang indah … Riak arus air telaga
cinta yang tertebak sepoi semilir lembut angin surga …
 
3   ‘cemburu dan pengertian’
 
 
      Suasana siang hari di rumah makan khas Sunda. Rumah makan dengan artistik model
saung beratap rumbia yang menghadap ke sebuah kolam ikan yang cukup luas. Di atas dipan
yang terbuat dari bilik bambu terduduk Christian dan Muslim sedang melahap sajian makan
siang. Keduanya begitu menikmati romansa siang ini. Keduanya menghadap ke kolam,
menyaksikan panorama alam yang cukup indah. Pepohonan yang tumbuh rindang di tepi
kolam daunnya meliuk-liuk tertebak angin. Tidak ada orang yang memancing siang ini. Ada
juga sepasang remaja yang sedang asik bercanda di bangku kayu dibawah pohon jambu air.
Sambil mengunyah Christian mengajak Muslim berbicara,
            “Apa rencanamu untuk masa depan kita?”
“Mencari solusi yang terbaik,” jawab Muslim.
“Kamu menginginkan aku menjadi seorang muslim?”
“Buat apa?”
“Menyamakan keyakinan kita, kalo kamu merasa keberatan untuk masuk agama
Kristen.”
“Aku tidak akan mengajakmu untuk menganut agama Islam. Begitu juga aku sangat
tidak mungkin untuk menyembah patung Jesus.”
“Lalu? Kita jalani saja agama kita masing-masing? Apakah kamu tidak akan merasa
terbebani dengan perbedaan ini?”
“Aku ingin kejelasan tentang agamamu. Begitu juga kau harus paham tentang ajaran
agamaku.”
“Kita memegang dua agama? Aku merasa kurang setuju. Soalnya jangankan untuk
memegang dua keyakinan Kristen dan Islam. Kristen saja satu aku sudah semrawut sekali.
Apalagi dua!”
“Bukan itu maksudku. Kita menyatukan keyakinan kita. Memadukan hukum Kristen
dengan Islam.”
“Sampai sedemikian jauhnya pandanganmu. Apa tidak akan memicu perselisihan
sengit antar agama kita? Menurutku lebih baik aku yang pindah saja menganut agama Islam.
Kita bersatu memperjuangkan hak kita dalam Islam.”
“Justru itu yang tidak aku inginkan.”
“Kenapa? Bukankah orang Islam akan merasa bangga ada orang Kristen menjadi mau
balaf...”
“Mau balap?” Muslim heran.
“Ya, orang yang baru masuk Islam.”
“Mualaf!?”
“Heeh. Maksudku juga itu. Setidaknya itu akan lebih baik. Apalagi buatku, mungkin
aku akan belajar menjadi orang yang baik. Karena sebenarnya aku sangat memuji ajaran
Islam yang memiliki penataan aturan hidup yang sangat terperinci sekali dari hal-hal yang
paling kecil sampai yang sangat besarnya yaitu alam semesta raya ini,” Christian memberikan
pertimbangan.
“Kamu boleh memuji dan menilai apapun tentang Islam. Tapi satu hal yang harus
kamu ketahui, agama mana yang dalam kitabnya mengakui dan melindungi hak kaum
homoseksual?”
“Ya agama liberal. Baik Kristen ataupun Islam,” Christian sangat mantap.
“Apakah Budha liberal dan Hindu liberal juga sama pemahamannya?”
“Aku kurang tahu. Baru kali ini aku dengar Hindu dan Budha liberalnya juga. Aku
tidak pernah bersinggungan dengan agama dari bumi itu. Tapi mungkin juga iya. Soalnya itu
kan kitabnya sudah pasti buatan manusia bukan berasal dari mukzizat yang diwahyukan
Tuhan melalui malaikat. Jadi ada kemungkinan mereka dengan mudahnya mengubah-ubah
isinya.”
“Apakah kamu tidak kepikiran menganut ajaran Budha dan Hindu sebagai agama
nenek moyang suku bangsa Indonesia ini?”
“Aku kira tidak mungkin. Terlalu tua dan terlalu alamiah prosedur periketuhanannya.”
“Aku kira justru itu lebih baik. Apalagi buatmu yang menyetujui paham liberal.
Menurutku Budha dan Hindu itu adalah basic sebuah misi liberalism. Agama yang terlahir
dari puncak kesuciannya seorang manusia dalam mengkaji diri. Kitab penuh teladan yang
terpuji yang tercipta lewat tangan manusia. Pemahaman jati dirinya dengan sang pencipta
melahirkan kesempurnaan hidupnya yang sangat arif dan bijaksana. Kesucian lahir dan
batinnya tidak semata tergerak karena rencana Tuhan. Tidak seperti Isa dan Muhammad yang
semenjak di alam ruhnya sudah berada dalam penjagaan Tuhannya. Sudah ada isyarah-
isyarah kenabiannya semenjak kelahirannya. Tuhan sudah memberikan pertanda-pertanda
khusus titel keagungannya. Juga diberi petunjuk dan dituruni wahyu dari langit tidak seperti
para pemuka agama bumi yang melahirkan agamanya atas dasar pendalaman pemahaman
terhadap pengalaman-pengalaman alam ruhiahnya. Atas kemurnian suci sukmanya. Lantas
mereka tidak mengagungkan dirinya sebagai Tuhan melainkan mereka menyampaikan
pemahaman tentang keTuhanan yang mana manusia ini hidup melalui proses sebuah Dzat
yang Maha Mencipta. Tidak juga mereka mengaku dan memproklamirkan kenabian atau
kerasulan atas kecemerlangan ilhamnya itu. Tidak seperti belakangan dalam Islam ada
beberapa kalangan yang mempublikasikan dirinya sebagai nabi. Sayangnya menurutku
tentang pengertian dewa-dewanya saja. Kalaulah memang matahari dan bumi ini dipegang
dalam kekuasaan dewa matahari dan dewa bumi, kenapa kita sebagai umat agama Islam dan
agama Kristen dibiarkan berkeliaran mengacaukan tempat kekuasaannya di atas bumi serta
sinar matahari yang sama dengan umat agamanya? Bukankah dewa itu Maha Kuasa sama
halnya dengan derajat Tuhan?
Sungguh dalam pemahaman ini aku kurang mengerti. Entah bagaimana sesungguhnya
bentuk kekuasaan Tuhan itu yang sebenarnya. Kalau saja Tuhan itu berbentuk matahari dan
bumi atau bulan, bintang dan menyerupai seantero yang ditampilkan secara konkrit di alam
semesta ini termasuk manusia seperti perwujudan Tuhanmu itu yaitu Jesus. Mungkinkah bisa
Tuhan seperti itu menyaksikan tingkah manusia dan seluruh makhluknya dengan secara
mendetail-detailnya tak terkecualikan perbuatan apapun yang dilakukannya itu? Bagaimana
mungkin bisa mengontrol dengan sedemikian sempurnanya. Mengatur keluar masuknya
nyawa, menciptakan jenis kelamin agar seimbang antara jantan dan betina. Atau mungkin
terlahirnya kaum homoseksual juga itu karena terjadinya kesalahan teknis saat Tuhan
menciptakannya. Ya, mungkin saja ketika pertama kali Tuhan membuat adonan kita ini
memang laki-laki. Tetapi karena terjadi kekeliruan atau kelupaan atau error system karena
saking sibuknya Tuhan itu malah meniupkan ruh perempuan pada kita. Atau sudah di kasih
ruh laki-laki sebelumnya lalu Tuhan malah ngisi lagi dengan ruh perempuan. Hingga nafsu
kita jadi dua hasrat.
Tapi semua itu aku kembalikan lagi pada imanku terhadap Tuhan. Aku yakin
Tuhanku Maha Kuasa. Sebab Tuhanku Maha Esa yaitu Maha Tunggal. Dia menciptakan
seluruh makhluk ciptaan-Nya tanpa harus beradu pendapat dulu dengan Tuhan lainnya. Dia
berkuasa menciptakan apapun yang dikehendaki-Nya. Termasuk menciptakan kita dengan
mental sex seorang gay. Lalu mempertemukan kita dengan rencana-Nya pula. Aku yakin ini
adalah peta hidup kita yang sudah Tuhan goreskan semenjak awal kehidupan kita bahkan
mungkin semenjak di alam roh.
Christ! …” Muslim menaruh piring bekas alas makannya.
“Heh!” Christian memandang Muslim penuh kekaguman. Sinar matanya tampak
teduh menyorotkan kadar jiwanya yang penuh damai.
Muslim membersihkan tangannya dengan air kocokan yang tersedia dalam baskom
kecil. Ia memutar pandangan ke sekelilingnya. Ternyata tidak sesepi ketika ia dan Christian
tadi datang. Ada beberapa orang juga di sana yang sedang melahap makan siangnya.
“Apa aku tidak sampai meresahkan mereka ya?”
“Biarlah itu malah bagus. Biar mereka lebih ngerti lagi. Juga mereka bisa menerima
kita. Menurutku paham kamu itu membuat aku lebih luas lagi memaknai arti keTuhanan. Aku
salut pada daya pikirmu yang cenderung terbuka memahami latar belakang sebuah
keyakinan. Tidak seperti keortodokan para pemuka agama yang jika kita nanya berlebihan
karena demi lebih meyakinkan keimanan kita, mereka malah memutuskan perdebatan dengan
kilah; sudahlah kita percaya saja, kita yakini saja apa yang agama kita ajarkan, jangan terlalu
mempertanyakan sesuatu yang akhirnya hanya akan membuat kita tidak diakui sama Tuhan
kita. Emangnya Tuhan itu membatasi dirinya di mata umatnya? Berarti Tuhan itu cenderung
menutupi kekurangan-Nya. Tidak transparansi. Lalu kenapa mesti ngasih otak buat ngakal
kalo Tuhan tidak mengizinkan manusia buat berpikir?”
“… kamu sudah makannya?” Muslim meraih segelas teh lalu mereguknya.
“Kamu sudah? Kok dikit banget. Kamu kalo ngomong nyampe bisa ngenyangin perut
ya?” celoteh Christian mengakhiri santapannya.
“Aku ingin ngobrol lebih banyak lagi sama kamu,” Muslim mengudar duduk silanya.
“Disini saja. Kenapa?”
“Enggak. Gak enak sama orang-orang yang diluar pemahaman kita.”
“Lantas mau dimana? Atau kita nyari tempat yang sekiranya bisa bikin hepi kita?”
“Cepatlah!”
Christian membersihkan tangannya. Lalu mengambil tissue serta menanyakan harga
dan membayarnya. Setelah minum kemudian keduanya keluar.
“Mau kemana sekarang?” Tanya Christian segera.
“Kita nyantai di pinggir kolam. Kayaknya enjoy bisa lebih memfreshkan pikiran kita
demi segera mengambil keputusan apa buat kelanjutan kita,” tutur Muslim.
Sebuah sedan merah berhenti di samping mobilnya Christian yang terparkir dibawah
pohon akor.
“Kalo gitu aku ambil dulu minuman sama snack ya,” Christian segera balik ke dalam
rumah makan dimana menyediakan jualan jajanan ringan dan minuman dingin.
Muslim memperhatikan sesosok cewek Korea yang keluar dari sedan merah tua
metalik itu. Sendirian. Cukup seksi juga penampilannya. Tapi gak apa sesuai dengan bentuk
tubuhnya yang seksi juga. Cukup cantik. Biarpun ia tidak tahu dari sudut mana menilai
kecantikan seorang wanita. Lagipula ia tidak begitu menyukai perempuan bermata sipit.
Entah kenapa. Namun yang jelas perempuan itu menarik saja dalam pandangannya. Apalagi
mungkin dalam pandangan cowok normal! Cewek berambut pirang diikat itu melewati
Muslim segera memasuki rumah makan.
“Hai…!”
Muslim menoleh pada gadis itu. Christian sedang dirangkul oleh cewek tak dikenal
itu. Lagi-lagi ia diciumnya begitu hangat. Muslim mengalihkan pandangannya seraya
melangkahkan kakinya beranjak pergi.
“Hai, tunggu!” panggil Christian.
Muslim tak menyahut ia terus saja berjalan menuju kolam. Christian segera berlari
mengejarnya. Tidak memperdulikan cewek Korea itu berteriak memanggilnya.
“Mos, tunggu dulu dong,” Christian mendekat.
“Namaku Muslim bukan mouse atau tikus,” Muslim menimpali dengan ketus.
“Sory, sory! Jangan ngambek gitu dong. Maksudku bukan mouse is tikus but Moses is
Musa. Kan aku memuji namamu yang agungnya laksana tahta kerasulan. Atau most is paling
sangat sekali atau lebih fokusnya mos sebagai panggilan Muslim in English it’s Moslem.
Panggilan-panggilan yang indah dan bersenandung do’a, kan ?” Christian mengklarifikasi
maksud omongannya yang sudah sembarangan saja memanggil Muslim dengan sapaan Mos
tanpa persetujuannya dulu hingga Muslim tampak bermuram durja dibuatnya. 
Muslim tak berkomentar. Setelah menemukan tempat yang dirasa cukup nyaman.
Muslim lalu duduk di bawah pohon gandaria yang lagi rekah bunganya yang sungguh indah
sangat elok menawan. Christian pun segera ambil tempat disampingnya. Di atas akar pohon
gandaria yang muncul ke permukaan tanah. Tempatnya sangat teduh. Angin selatan semilir
menghanyutkan rasa sejuk dari pesona air kolam yang tenang. Rumpun ilalang bergoyang
seiring bunganya yang putih menari-nari riang. Segerombol kupu-kupu beterbangan di
angkasa mengecup pujaan hidupnya, bunga gandaria yang jelita. Bunga-bunga indah yang
menjadi cermin kepribadian jati dirinya. Tak pernah berubah sejak pertama kali tercipta
sampai saat ini, serangga manis bersayap indah itu selalu dan selalu saja mencintai bunga-
bunga!
“Kamu pemuja alam,” ujar Christian tidak begitu diketahui jelas motif perkataannya.
Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan ataukah komentar.
“Menyatukan diri dan perasaan dengan alam itu merupakan cerminan sebuah jiwa
yang mempunyai pertimbangan seimbang pada hidupnya,” tanggap Muslim.
“Most, maafkan aku ya!”
Muslim melirik Christian heran.
“Kamu jangan mencemburukan aku dengan cewek barusan itu ya,” tukas Christian
memperjelas.
“Aku ngucap syukurlah kalo kamu memang masih normal. Ngapain juga jadi gay
yang mesti ribet cari pengakuan hukum?” tanggap Muslim dengan masam.
“Kamu marah ya? Aku ngerti kalo kamu cemburu. Aku juga ngerasa kalo kamu kesel
melihat aku barusan itu. Tapi bener bukan aku yang sengaja ingin dipeluknya. Aku juga
terkejut saat tiba-tiba saja dia merangkulku. Kalo tidak sadar inginnya aku memaki-maki dia.
Memarahinya dan memukulnya ketika melihat kamu spontan bersikap gitu,” Christian
mencoba menjelaskan.
“Aku gak apa-apa. Sudahlah. Percuma saja aku mencemburukanmu. Kita netral saja.
Aku tidak ingin pikiranku kacau hanya gara-gara masalah sepele begitu. Jikapun kamu mau
ngelacur dan pesta sex di depan mataku. Kenapa mesti repot-repot negangin otot syaraf?
Silahkan saja selagi kamu emang suka. Emangnya situ siapanya aku? Aku merasa gak terlalu
berkepentingan denganmu. Aku lebih kenal sama kamu juga bukan karena keinginan aku.
Kalo aku emang kamu butuhkan mungkin kamu bisa bersikap lebih baik lagi padaku. Jikapun
aku sudah tidak kamu perlukan, apa susahnya aku pergi dari kehidupan kamu?” Muslim
berlaga ketus sekali sambil meraih teh botol yang ditaruh Christian di depannya.
“Most cintaku. Kamu jangan ngomong gitu dong. Aku jadi sedih. Aku akui aku
memang salah kenapa aku tidak menghindar ketika berpapasan dengannya,” Christian
menyesalinya.
“Christ percayalah kepadaku. Kebersihan hatiku menerima cintamu tidaklah mungkin
semudah itu ternoda dan terkotori hanya karena sebuah pelukan dan ciuman seorang gadis.
Kalo kamu memang gay sejati, niscaya hasrat sex kamu tidak sampai bangkit karenanya
kan?”
“Aku memang pernah melakukan hubungan sex dengannya.”
“Benarkah? Kok bisa?”
“Ketika aku sedang merayakan pesta sex bersama untuk syoting video porno versi
Korea. Aku bertemu dengannya di  Ancol waktu aku baru balik dari Amerika. Aku terkejut
juga ketika pertama kali bertemu dengannya. Dia berani sekali menghampiriku dan
mengajakku kenalan serta ngobrol. Padahal aku kan hanya memakai celana dalam saja karena
sedang asyik renang. Diapun sama memakai bikini. Karena kenalan kami memang di kolam
renang. Aku yang muncul setelah menyelam tiba-tiba saja dia merangkulku. Aku diam saja di
peluk dan diciumnya. Karena menurutku itu sesuatu yang wajar. Budaya kehidupanku juga di
Amerika berada ditengah masyarakat yang berbudaya bebas.
Namanya Naomi Lie. Dia bicaranya blak-blakan banget. Dia jujur saja. Dia itu
memang wanita penghibur. Tapi bukan pelacur pinggir jalan. Atau yang biasa nongkrong di
tempat-tempat hiburan. Mungkin pelacur elit. Pelacur kelas atas.”
“…kalau dia pelacur sekelas eksekutif. Kenapa bisa dia langsung terang-terangan
ngomong sama kamu?” Muslim membuka snack kacang garuda.
“Dia yakin kalo aku seorang cowok freesex. Dari penampilan tubuhku yang kebule-
bulean dan banyak bertato juga pake anting. Dia menawariku sebuah kencan. Dia
mengajakku ikut bermain dalam skenario garapan produsernya. Aku pikir kenapa enggak.
Apalagi ketika ia tahu aku seorang gay. Drama porno itu justru 90 % homo. Adegan bercinta
beberapa pasangan gay berpesta di tengah romantika beberapa pasangan lesbian dan bisex.
Aku langsung cabut ikut dengan rombongannya menuju sebuah perumahan elit yang
dihuni anak keturunan Korea. Disana sudah ada beberapa cowok-cewek yang lumayan cakep
berparas campuran Indo-Korea yang siap bermain. Maka malam harinya terjadilah syoting
pesta sex gila-gilaan yang baru pertama kali aku ngelakuinnya. Payahnya ketika aku harus
berhadapan dengan Naomi. Sebagai adegan pembuka film. Aku harus bermesra dan bercinta
sehebat mungkin dengannya. Untungnya aku sembari menyaksikan adegan gila gay-gay
hingga nafsuku bangkit dan kuat bertahan sampai Naomi ke puncak kenikmatan orgasmenya.
Semenjak itu seminggu sebelum ia kembali ke Korea untuk menandatangani kontrak
barunya, ia sering mengajakku untuk kencan meskipun ia tahu kalo aku seorang gay. Tapi
sebelum ia mendapatkan kepuasan sex denganku, ia diteror kekasihnya untuk segera kembali
ke Korea perihal pematangan lakon drama semi sex yang akan dimainkan bersamanya.
Sekarang ternyata dia ada di Indonesia. Setelah hampir tiga tahun aku tidak bertemu
dengannya,” Christian menutup kisahnya sambil meraih botol bir serta ditengggaknya lalu
mengambil sebatang rokok dan disulutnya.
Muslim memandangi sosok Christian yang duduk di sampingnya. Christian
memalingkan mukanya dari tatapan itu. Terlalu kuat aura jiwa Muslim menggugurkan pribadi
kekerasan jiwanya. Getar ketakberdayaan menyudutkan Christian dalam luruh hatinya. Ada
sinar cinta yang terpancar terlalu terang dari sorot mata cowok ganteng asli Indonesia itu
hingga menyilaukan seluruh fokus mata Christian untuk memandangnya. Christian menghela
nafasnya sambil berujar penuh kenaifan dirinya,
“Maafkan aku Most. Aku mengakui segala kehancuran moralku selama ini. Mungkin
aku memang tidak sesuci dirimu. Tapi alangkah besar harapan ini untuk menuju kebaikan
hidup hingga dapat sejalan dengan arahmu. Aku yakin jika aku menjadi kekasihmu aku akan
lebih baik dari sekarang dan masa laluku. Aku berjanji aku akan menjadi pasangan hidupmu
yang setia.”
“Bagaimana aku bisa percaya pada orang yang telah tidak dipercayai lagi oleh
agamanya?”
“Please, my heart. Help me! You must believe me!” Christian menatap Muslim penuh
pengharapan yang mendalam.
“OK! Kali ini aku bukan hanya sekedar saksi atas ucapan janjimu. Tapi pula adalah
sebagai saksi sejarah perjalanan hidupmu mulai saat ini, disini, di tempat ini, sampai nanti
diakhir kebersamaan,” tegas Muslim penuh pesona wibawa seorang Pastor atas sumpah
hamba tuna kasih Syibhinya.
“Thanks, my romanc sweety. I love you so much,” Christian berseri-seri serentak
merangkul Muslim serta menciumnya sepenuh rasa cinta terhadap hidupnya. Seperti yang
tiada kebosanan cinta itu mencumbu jiwanya. Selalu saja menghadirkan detak hasrat disetiap
jengkal langkahnya. Mengabadikan kenikmatan dalam desir darahnya. Menggemakan gaung
kasih disetiap degup jantungnya.
Suasana siang hari yang tenang. Cuaca musim yang cukup cerah. Menitikan cahaya
cintanya yang terenggut nafsu dalam sketsa buramnya yang kian memudar. Adakah harkat
mereka begitu agungnya dalam data sang para pencatat peraturan siklus kehidupan?
Naomi Lie segera menghentikan langkahnya. Dipandangnya sepasang kekasih yang
sedang bercumbu itu. Ada gelora kecemburuan berkecamuk di dadanya. Rasa iri yang begitu
tingginya atas keromantisan pasangan itu. Rasa panas yang segera ingin ia mendinginkannya
dengan memadamkan bara cinta yang berkobar diantaranya.
“Christan!” panggil Naomi Lie dengan cukup kencang membuat Christian dan
Muslim yang sedang bercumbu itu terkejut setengah mati seraya saling melepas diri dari
terali nafsunya.
“Rupanya kamu! Kirain siapa?” Christian ketus menampakan sikap
ketidaksenangannya atas penampakan Naomi Lie di moncongnya.
“I miss you!” Naomi Lie tersenyum hangat.
“Sory, I no like to meet you,” Christian menjujurkan perasaan hatinya.
“Okay! I am understand with your feel now.”
“But you … !? Why do you still this place?” Christian kereng.
“Maybe … I’m jelouse!”
Christian menoleh Muslim. “He is my love,” aku Christian tegas.
“Ow…!!? I’m sory. I think someone a …”
“Is better you go,” pinta Christian dengan lembut.
“If you a … kalian a … apa salahnya kita berkenalan teman? Apa itu tidak lebih
baik?”
Christian kembali melihat reaksi Muslim.
“Gak apa-apa. Aku senang,” ujar Muslim tulus.
“Kenalkan, Naomi Lie. Panggil saja Lie,” kenal cewek Korea itu mengulurkan tangan
pada Muslim.            
“Muslim,” Muslim menjabatnya.
“Muslim!?” Lie tampak heran.
“Ya. As-Shidiq Muslim. Kenapa?” Muslim balik merasa heran pada cewek itu yang
mengherankannya.
“Kok bisa jalan sama Si Christan? Kamu kan Islam?” selorohnya sambil duduk di atas
rumput di dekat mereka.
Muslim memandang Christian. Lalu jawabnya, “Lantas kenapa Christian yang Kristen
mau jalan denganku?”
“Benarkah kalo kamu itu homo?”
“Tidak salah, kan?”
“Apa Mohammed no problem with you?” Lie menatap Muslim serta
mereguk avocado juicenya.
“Emangnya kamu percaya Muhammad itu bertauladan baik?”
“Enggak juga.”
“Lho!?”
“Buktinya kalau Mohammed itu tidak baik sungguh jelas dalam coretan pena karya
tulisnya Koran yang menyatakan bahwa Isa sebagai Tuhan dan Rasul terakhir itu keliru. Lalu
menyatakan bahwa dirinya Nabi akhir zaman yang diutus Alah buat Kaum Bodoh. Padahal
Nasrani dalam Alkitabnya tidak menyinggung-nyinggung masalah kebiadaban Mohammed.
Kalau Mohammed itu bener utusan Tuhan, dia pasti diberi cahaya terang dari surga agar tidak
memicu permasalahan. Lagipula kalopun emang Nabi, dia kan diperuntukan buat Kaum
Bodoh bangsa Arab. Kenapa mesti ngotot memaksakan agamanya pada jemaat selamat Jesus
yang berpikiran terang cahaya Alah?”
Muslim tersenyum. “Gimana Christ? Kamu siap mendebatnya?”
Christian melirik Lie dan bertanya padanya. “Kamu yakin agamamu itu paling baik?”
“Kamu ragu? Apa kamu tidak melihat tragedy dunia juga yang terjadi di negeri ini?
Mohammed telah menggerakan umatnya dengan seruan dalam bukunya Koran itu bahwa
Tuhannya menyerukan Islam untuk menyebarkan dan membela agamanya. Hingga
berseliwerannya teroris disana sini membumihanguskan dunia dengan bom bunuh diri.”
“Aku yakin kalo kamu bukan seorang umat Jesus yang paham betul ajarannya,” tukas
Muslim memperangahkan Lie dalam ketidakenakan perasaan hatinya.
“Bagaimana kamu tahu sampai menuduh aku sedemikian sadisnya?” Lie menuntut
keadilan Muslim.
“Dari cara menuduhmu yang juga sedemikian sadisnya terhadap umat Islam. Kamu
sudah seberapa jauh dan seberapa mendalaminya kandungan paham yang tersirat dalam kitab
suciku?”
“Sejauh pendapat para pakar agamaku,” Lie sangat yakin.
“Kamu pasti terinspirasi hujatan terhadap Islam dalam film Fitna buatan Belanda itu
kan? Aku tahu siapa kamu. Kamu itu tak lebih dari hinanya seorang pelacur liar. Kamu
beragama Kristiani karena darah orang tuamu. Agama keturunan saja. Kalo kamu menganut
agamamu itu sesuai keyakinan yang sangat kuat atas dasar nuranimu, kamu pasti akan
menjaga image pribadimu. Karena aku yakin, Injil tidaklah berbeda dengan Al-Qur’an yang
menyantunkan rohani dalam kekudusan. Karena itu aku melihatmu dengan pandangan yang
sangat-sangat hambar sekali. Tidak berselera debat soal agama dengan orang yang bobrok
dan sama sekali nol pengetahuannya perihal agamanya sendiri. Percuma kamu menjelekkan
Islam dan membanggakan Kristen juga jika kamu hanyalah jadi simbol kekotoran dan
kejalangan agamamu saja. Kau kira Tuhan Bapakmu senang kamu mengikuti tindak lacur
yang dilakukannya terhadap Maria? Sadar dong, kamu tidak sesuci Maria. Kamu bukannya
bakal dinikahinya, melainkan jadi arang buat menghangatkan tubuh Jesus yang kedinginan
dalam tiang penyaliban,” Muslim mengatai Lie sesuka hatinya.
Raut muka Lie kian merah padam. Ada kecamuk dahsyat yang membakar jiwanya.
Betapa tidak menghancur leburkan harga dirinya perkataan Muslim seperti itu yang juga
sangat melecehkan terhadap tahta keagungan Tuhannya.
“Muslim! Kau pikir perilakumu itu suci dan menjaga image agamamu? Emangnya
homoseksual itu tauladan Mohammed yang diserukan pada umatnya? Sudah poligami
ngerendahin harkat kaum perempuan. Dalangnya teroris lagi. Ditambah makin hinanya
dengan berhubungan antar sesama kelainan sex menyimpang!”
“Tunggu dulu Putri Tiong Hoa yang cantik. Adakah gerangan Putri Salju sedang
terbakar api amarah? Biarkan hamba menumpas biang keladi amuk jiwa Sang Putri,” Muslim
berdiri lekas melakukan kowtow di depan Lie dengan penuh hormat.
“Lebih baik kita berangkat sekarang,” Christian ikut berdiri.
Lie jadi tertegun sendiri melihat Christian bersiap-siap beranjak pergi.
“Hai Putri yang jelita. Jika kamu orang Indonesia yang beragama Islam dan tinggal di
Aceh. Kamu pasti tahu kejadian pasca Tsunami  yang meluluh lantakan kepulauan Aceh.
Apakah kamu masih akan membaikkan agama Kristen yang telah menteror umat Islam secara
halus dengan gerakan Kristenisasi masa lewat pengorbanan harta benda sedemikian banyak
juga pendidikan yang berkedok Islam? Untungnya umat Islam yang berhasil agamamu rekrut
itu adalah umat Islam yang sudah kedaluarsa. Aku ucapkan terima kasih atas agamamu yang
sudi memungut sampah yang tidak berguna buat nambah koleksi betapa kotornya agamamu,”
Muslim pun seraya berjalan bergandengan tangan dengan Christian begitu mesranya
meninggalkan Lie yang melongo …
 
4   ‘RASA CINTA
 
MENGALIR APa ADANYA’
 
“Gimana kalo malam ini kamu nginep di rumahku?”
“Aku merasa gak enak sama keluargamu.”
“Bukankah kamu yang sengaja meng-isme pemikiran ibuku?”
“Emangnya kamu setuju atas paham ibumu?”
“Jangan berlaga jadi orang bego kalo kamu ingin lama berhubungan denganku.”
“Kamu galak juga.”
“Christ. Sebelum kamu menyesal akhirnya, lebih baik kamu pertimbangkan dulu. Aku
beri kesempatan padamu untuk lebih memahami karakterku. Aku jujur saja orangnya keras.
Tidak secool yang kau lihat. Jangan sampai penglihatanmu terbodohi dengan penampilanku.”
“Aku sudah yakin akan pilihanku. Aku akan bertahan menjadi pasanganmu. Kalo
kamu benar mencintaiku, aku berani melawan tantangan keluargamu seandainya mereka
tidak setuju dengan hubungan kita.”
“Aku salut padamu. Seandainya perasaan cintamu itu lurus sejalan alur cinta yang
Tuhan arahkan untuk sesosok perempuan. Mungkin akan lebih mulia hidupmu. Tidak seperti
mencintaiku yang bagaimanapun tulus dan sucinya tetap saja mengarah pada jalur cinta yang
salah.”
“Aku gantungkan seluruh angan dan harapanku di tingginya nuranimu.”
“Kita berjuang bersama memupus kekeliruan firman Tuhan di benak manusia demi
menuju bahtera cinta yang sangat agung yang senyatanya adalah kehendak Tuhan semata.”
“Most, aku sangat yakin sekali kalo kamu bisa menjadi figure penerang bagi manusia-
manusia yang sesat pemikirannya. Diperkuat lagi dengan ilham-ilham cemerlang ibumu yang
sangat ingin memanusiakan manusia. Yang ingin menyamakan kedudukan derajat manusia
dari sisi gender serta dalam pandangan Tuhannya.”
“Mungkin kamu tidak pernah tahu asal mula tercetusnya pengakuan ibuku terhadap
pemberdayaan kaum homoseksual yang berdalih diatas nama besar agamanya itu.
Sebenarnya bukan semata karena ide-ide konyolmu saja yang menjadi landasan ibuku
memproklamirkan fatwa hebatnya yang langsung disambut meriah pesta syukuran kaum
homosek Indonesia itu. Tetapi berawal dari dorongan batin atas latar belakang keluarganya
termasuk aku.
Kamu benar. Dan aku tidak harus memungkirinya lagi kalo aku memang seorang gay.
Kisah kesukaanku terhadap sesama jenis ku rasa tak jauh beda dengan latar belakangmu.
Waktu aku SD aku tinggal bersama nenek-kakekku di desa. Sebagai anak desa aku tidak
memiliki kebebasan penuh dalam pergaulan. Nenek-kakekku memberikan batasan-batasan
tertentu. Aku tidak boleh main berkeliaran dengan anak-anak desa lainnya yang tidak teratur
dan nakal-nakal.
Nenekku menitipkan aku pada seorang kiai agar aku mendapatkan didikan agama
darinya. Aku senang sekali dapat mengaji dan bergaul dengan anak yang lain. Meskipun
hanya sebatas sore menjelang maghrib hingga ba’da isya nenek-kakekku memberikan
izinnya. Sepulang mengaji aku harus belajar mata pelajaran sekolah, agar prestasi baikku di
sekolah tidak menurun. Hanya malam minggu aku punya waktu untuk menginap di
pondoknya Bapak Ustad. Dan semalam dalam satu minggu itulah yang menjadi ukiran
sejarahku untuk terjun ke dalam lautan berahi homoseksual.
Sudah penampilanku sejak kecil tampil rapi dan bersih menyumbang nilai tambah
yang sangat besar buat fisikku yang berparas tampan. Terlebih kesopan-santunanku yang
menjadikan semua orang segan terhadapku. Siapa orangnya yang tidak menghormati aku.
Sudah terlahir sebagai cucu orang kaya. Anak dari keluarga yang berpendidikan tinggi.
Mempunyai sifat yang terpuji lagi. Juga otakku cerdas. Pokoknya karismaku sangat begitu
besar pengaruhnya bagi teman-teman sepengajianku. Tak hanya teman sebaya dan yang
dibawah umurku. Kakak-kakak seniorku seolah menteman emaskan diriku dari teman-teman
yang lainnya. Aku bangga sekali dan selalu merasa betah jika berada di pondok.
Usiaku baru sebelas. Baru kelas 5 SD. Kegantenganku sudah begitu jelas tercermin.
Hingga bukan hanya santriyat saja yang suka padaku, melainkan guru ngaji serta semua
orang sayang padaku. Aku maknai semua itu sesuatu yang wajar. Tapi, aku tidak tahu persis
apa yang terjadi di malam minggu itu. Yang aku ingat, aku terjaga dari tidurku dalam pelukan
seorang kakak seniorku yang tangannya asyik mempermainkan kemaluanku.
Aku yang polos. Tidak tahu apa maksud kegiatan pemuda yang biasanya berlaku
tegas pada setiap santri lainnya itu. Aku menoleh wajahnya yang rapat menghembuskan
nafasnya di telingaku. Cahaya remang bulan yang menerobos masuk jendela kobong cukup
buatku mengenalinya meskipun samar. Bibirnya tersenyum dengan matanya yang menatapku
tajam. Lalu wajahnya mendekat seraya hidung mancungnya menyentuh pipiku. Dia
menciumku dengan sentuhan bibirnya yang lembut. Jantungku berdetak. Entah apa yang aku
rasakan. Aku tidak tahu karena itulah kali pertama aku mengalaminya.
Dia bangun seraya meleletkan sarung yang aku buat menyelimuti betisku dari gigitan
nyamuk. Begitu juga kian meleletkan celanaku yang sudah ia melorotkannya entah sejak
kapan. Mataku mengitari keadaan kobong. Aku heran kok di kobong itu hanya tinggal aku
berdua dengannya. Bukankah semula aku tidur berhimpitan dengan kawan-kawanku.
Ternyata itu memang bukan kobong dimana aku pertama memejamkan mata. Itu kobong
pribadi dirinya tertangkap samar di mataku dari tulisan yang tertera di balik daun pintu
kobong yang tertutup rapat; Natrak.
Entah sudah berapa jam ia setia mempermainkan kelaminku yang terbilang masih
sangat kecil sesuai tingkat masa pertumbuhanku belum mengalami perkembangan sex masa
puber. Kelaminku yang tegang itu dengan tanpa rasa jijik Natrak mengulumnya.
Menjilatinya. Serta terus mempermainkan lidahnya memberikan rangsangan tersendiri pada
syarafku. Aku sedikit meringis-ringis merasa geli ditengah desir lembut kenikmatan sambil
sesekali terpekik kecil karena kaget saat giginya itu menekan seolah ingin menggigitnya.
Laganya yang berwibawa dengan sikapnya yang romantis. Natrak menyingkap
bajuku. Lalu ia menyentuh puting susuku. Dan, iapun mengulumnya membuatku tak tahan
geli segera menggerinjal. Tapi tenaga remajanya yang lebih kuat enam tahun dariku,
meneraliku untuk bertahan sambil berbisik meyakinkanku bahwa itu adalah sebuah
kenikmatan. Aku luluh dalam rangsangan mautnya. Karena memang aku merasakan
kenikmatan yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Rasa senang yang tak terhingga
indahnya.
Natrak sungguh mengagumkanku. Aku memujanya. Diantara senior-senior yang lain
aku lebih senang dibimbing ngaji olehnya. Hingga akhirnya aku berani nginap di pondok
meskipun bukan malam minggu juga dengan izin dulu tentunya dari nenek-kakekku beriring
buku pelajaran harus ikut serta dibawa untukku menghapal dan mendalami pelajarannya.
Asyiknya Natrak sangat perduli sekali padaku. Ia sedia menemaniku belajar sambil ia belajar
menelaah kitab-kitab. Tak jarang ia memberiku masukan-masukan juga penambah semangat
dengan pengalaman sekolahnya dulu dimana ia juga adalah seorang juara kelas sepanjang
SD-nya.
Dan akhir dari semua itu kami berujung pada permainan sex! Akupun dengan senang
hati mempraktekan segala apa yang telah ia ajarkan padaku. Kami saling melumat bibir.
Saling mengulum lidah. Juga saling menggigit mesra. Lalu menjilati dadanya serta
mengulum puting susunya hingga ke bawah sampai di titik pusat organ sensitifnya. Kepalaku
naik turun seiring mulutku yang dipenuhi penis Natrak yang kurasa terlalu besar
dibandingkan dengan kelaminku yang hanya sebesar jempol. Itupun tidak semuanya masuk
karena aku suka keselek dibuatnya bila ia terlalu menekannya oleh sebab saking panjang
ukurannya. Setelah usai sampai spermanya keluar dalam mulutku, baru aku mendapatkan
giliran. Kami melakukannya bergantian dengan penuh nafsu. Itulah kisahku yang terus
berlanjut hingga kelas 6. Dan tanpa disadari pertumbuhanku sangat boros. Aku mengalami
perkembangan yang pesat. Termasuk kelaminku yang kian membengkak seiring tumbuhnya
bulu-bulu halus di sekitarnya juga kumis dan bulu betis. Sungguh saat itu kami menikmati
malam-malam penuh romantika kenikmatan sex.
Lalu setelah aku melanjutkan sekolah tingkat pertamaku di Jakarta, tentunya selalu
saja bergelayut kerinduan yang sangat dahsyat terhadap kampung nenek. Hingga seringkali
aku ke desa tanpa alasan yang jelas terhadap ayah dan ibuku. Kadang-kadang diluar
pengetahuannya, aku minggat bolos sekolah demi menemui sang panutan pemberi
kenikmatan.
Ternyata Natrak mungkin seorang bisek. Bukan hanya aku dan santri yang lain yang
menjadi sasaran pemuas seknya. Suatu malam ia juga pernah digrebeg warga atas sikap
senonohnya terhadap seorang santriyat yang dipanggil orang sebagai kekasihnya. Lebih
parahnya, belum beres kasus itu Natrak membuat lagi ulah menjamah putra ustadnya.
Menjinahi duburnya hingga ketika pagi anak ustad itu merasa malu dengan basah dan bau
menjijikan sperma di selangkangan dan pantatnya. Maka hancurlah riwayat Natrak sebagai
santri di pondok pesantren itu. Natrak diusir sang ustad karena sudah banyak memalukan
nama besar keluarga pesantrennya. Natrak pun pergi beriring caci maki masyarakat terhadap
akhlaknya yang keji.
Kejadian itu membuatku stress. Natrak sudah tidak mungkin lagi dapat ku temui.
Katanya ia melanjutkan nyantrinya ke daerah kota. Aku tidak punya tempat untuk
mengadukan rinduku serta menyalurkan hasratku. Juga rasa sayang di hatiku membuat aku
merasa sakit dan terluka dengan penderitaan yang dialaminya. Namun dibalik semua rasa
yang berkecamuk di batinku. Aku mulai menyadari, bahwa perbuatan yang pernah aku
lakukan dengan Natrak itu ternyata adalah perbuatan yang menyimpang dari peraturan
agama. Buktinya siapa masyarakat yang sudi memperdulikannya. Kalau saja kasus itu sampai
ke telinga keluarganya yang tinggal berjauhan desa dengan pesantren itu, mungkinkah ia
akan mendapatkan pembelaan atas tindakannya itu? Ku rasa tidak. Jangankan berhubungan
sex menyimpang, berhubungan sex secara normal juga sudah haram hukumnya diluar ikatan
pernikahan. Apalagi ini, sudah berjinah ditambah menyimpang lagi dari aturan sexnya!
Akhirnya aku kembali pada kesadaran fitrahku sebagai lelaki. Aku harus menjadi
lelaki yang normal. Yang mencintai perempuan. Untuk apa Tuhan menganugerahkan
kelebihan-kelebihannya padaku kalau aku malah menyelewengkan harkat kemuliaannya aku
sebagai lelaki. Aku memotivasi diriku kuat-kuat sambil berusaha untuk berhubungan lebih
dekat dan sangat erat dengan faktor-faktor yang berazaskan motif kenormalan seorang lelaki
dewasa. Aku anak SMA. Begitu banyak siswi-siswi cantik yang melirikku. Mereka terpana
dan kagum atas pesonaku. Kenapa tidak aku memanfaatkan momen baik itu untuk
membangkitkan mentalitas kejantananku yang ambruk.
Ya, aku mencoba menjalin ikatan cinta dengan mereka. Tak tanggung-tanggung, tak
cukup satu-dua aku memacari mereka sekaligus. Pacar kemunafikanku. Karena aku tidak
punya nafsu cinta saat bersama mereka. Kencan-kencan yang hambar dimana aku selalu
merasa terpaksa untuk berlaga mesra dan romantis. Anehnya walaupun aku dijuluki teman-
temanku sebagai si playboy tingkat elit, cewek-cewek itu mau-maunya bertahan untuk
menjadi pacarku. Hingga timbullah masalah besar dengan pihak yang kontra akan
keplayboyanku. Aku terjebak oleh salah satu pacarku yang ternyata adalah seorang pelacur
yang biasa bertengger di hotel-hotel berbintang yang terjadwal di boking langganannya
orang-orang berpredikat eksekutif Indonesia.
Aku dijanjikan kencan oleh pacarku yang pelacur itu. Herannya dia begitu perhatian
serta tak segan-segan banyak mengeluarkan duitnya buat melengkapi perjalanan kencan. Di
dalam mobil yang ku bawa malam itu, di pinggiran alun-alun sebuah kota yang remang-
remang. Disitulah dia menjamahku dengan penuh goda dan rayuannya. Dia membuka
pakaian yang menutupi bagian-bagian vital area paling sensitive dari organ tubuhnya. Aku
langsung memaki dan menghardiknya sebagai pelacur jalang. Lalu dia malah mengancamku
bahwa dia tetap akan mengatakan aku dan dia telah berhubungan sex pada orang banyak
termasuk pacar-pacarku jikapun waktu itu aku menolak untuk bermesraan dengannya.
Tapi aku tidak ambil pusing dengan gertakannya. Aku tidak mau melayani permainan
berahinya. Hingga dia mungkin kecewa dan kesal padaku. Aku membiarkannya sendirian di
mobil. Aku menuju alun-alun. Aku berbaur dengan penonton yang lagi suka citanya dimabuk
kepayang hingar bingar meriahnya konser sebuah band yang baru naik daun. Dan disitu aku
bertemu dengan pacarku yang lain sedang asyik ngedance dengan Very cowok teman
sekolahku sendiri. Dialah cewek yang paling matre diantara pacar-pacarku. Namanya Monee.
Rupanya Very mengenali kedatanganku. Ia langsung menghampiriku dengan sikap
yang tidak bersahabat. Diluar kesadaranku, Very yang sedang mabuk berat langsung
memukulku. Monee yang mungkin sama mabuknya menarik Very untuk menjauhiku.
Sayangnya mereka sedang berada diluar kontrol syaraf normalnya sehingga keduanya yang
sedang berlawanan emosi itu terjatuh di tengah sesak gempitanya penonton. Aku kalut
sesegera mungkin menolongnya yang terpekik dan menjerit-jerit histeris terinjak-injak kaki
para penonton yang berjubel. Aku berusaha menyibakan penonton dan membantu mereka
untuk segera bangkit. Untungnya Very tidak begitu parah meskipun kakinya mungkin lecet
terinjak-injak kaki orang. Dengan tergopoh ia bangkit berdiri. Namun Monee, tubuhnya yang
terjatuh ke tanah itu langsung tertindih tubuh-tubuh penonton lain yang oleng dan tumbang
tertubruknya. Suasana jadi tidak menentu. Ada beberapa penonton yang ribut karenanya, ada
juga yang santai saja terpusat pada panggung hiburan yang kian melantunkan irama yang
menghentak-hentak.
Dengan susah payah aku berhasil membopong Monee keluar arena dibantu Very yang
malah merepotkan. Monee yang setengah sadar ku bawa menuju mobilku dimana Vegina
pacarku yang pelacur itu ku tinggal disana. Sungguh sesuatu yang sangat-sangat diluar
dugaanku sama sekali. Sesampainya di mobilku, aku langsung dihajar seorang lelaki tak ku
kenal hingga akhirnya aku pingsan.
Malam itu aku naas sekali. Aku baru sadarkan diri jam tiga dini hari. Aku dapatkan
diriku terkulai di jok depan mobilku. Mobil yang terparkir di tepi jalan yang sepi. Aku sudah
tidak mendapati siapa-siapa lagi. Monee, Very dan Vegina entah sudah pada kemana. Aku
tinggal sendiri dengan bibir bawahku yang pecah dan terasa perih seiring kepalaku yang
sangat tidak keruan sekali rasanya.
Dengan sangat memaksakan diri akupun segera mengendarai mobil menuju pulang.
Diperjalanan aku dicegat segerombol banci yang lagi pada jalan kaki sambil nunggu lewat
kendaraan umum untuk membawanya pulang. Banci-banci yang habis nonton konser band di
alun-alun itu. Yang kebetulan malam itu pada apes tidak menemukan pasien hingga kantong
mereka pada tipis tidak punya ongkos ojek buat balik ke sarangnya.  
Aku yang sangat perlahan menjalankan laju mobil tak bisa menghindar dari
kerubutannya. Hingga akhirnya akupun mempersilahkan mereka buat numpang di mobilku.
Dasar banci-banci edan yang lagi kelaparan kali, ke sembilan mereka berdesak memenuhi
mobilku serta pada berkelakar ingin di depan semua duduk disampingku. Dan yang berhasil
mendamaikan mereka serta mendapatkan duduk disampingku itu ternyata dia adalah
germonya. Perempuan tulen 60 tahun bergaya ABG dengan rambut putihnya yang pakai jepit.
Germo itu mengaku namanya Mrs. Pipanci. Ia sangat terkejut ketika mengenali
keadaan wajahku yang biru lebam dengan rona merah darah yang masih berbekas di bibirku.
Ia bergaya sok perhatian berperilaku lembut dan dengan sangat halus mengusap-usap raut
mukaku dengan tissue. Sungguh aku sangat alergi sekali apalagi ketika Pipanci merangkulku
dengan menyenderkan kepalanya di pundakku. Bayangkan perempuan peot 60 tahun, laksana
aku dipeluk kuntilanak saja sambil bergidik ngeri. Jangankan nenek-nenek setua itu, gadis
tercantik sekalipun kiranya tidaklah sanggup membangkitkan gairah sexku. Apalagi ini …
meskipun parfumnya semerbak sewilayah kecamatan, tetap saja nenek peot tua renta itu bau
tanah di hidungku. Hingga para bancipun gaduh mengirikan sikap kemesraan pimpinannya
terhadapku.
Lagi-lagi aku terjebak dalam kenaasan di penghujung malam itu. Sekiraku
pedumukan waria itu dekat, eh tak tahunya nyampe hampir satu jam aku dibawa perjalanan
mereka menuju gubuknya itu. Sesampainya disana, sungguh para waria jalang. Mereka pada
menawarkan dirinya untukku pakai sebagai imbalan balas jasa pengantarannya. Banci-banci
genit itu pada bertengkar dan saling menggerutu satu sama lain. Lalu akhirnya bubar ketika
aku menolaknya dengan tegas seiring titah sang Mrs. Pipanci yang memerintahkan mereka
untuk segera kembali ke sarangnya masing-masing. Aku segera cabut setelah aku menolak
tawaran Mrs. Pipanci untuk singgah di rumahnya. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata
gerombolan banci itu mencegatku di tikungan jalan dan memaksaku menghentikan mobil.
Aku tidak bisa apa. Tidak mungkin kalau harus menabrak lari mereka. Akupun menghentikan
mobilku. Kemudian mereka masuk lagi semua ke mobilku. Aku tidak berdaya ketika mereka
menerali pergerakanku dengan tangan-tangan kasarnya. Salah satunya mengambil kemudi
dan mengarahkan mobil menuju sebuah rumah tempat dimana mereka biasa berkumpul dan
berbagi informasi bermusyawarah merundingkan rencana-rencana kegiatannya.
Di rumah yang nyaman itulah seorang Muslim teraniaya kehormatannya. Aku
ditelanjangi. Tubuhku laksana seonggok tulang ikan teri dikerubuti semut. Aku yang tidak
berkekuatan hanya bisa pasrah pada keadaan. Di subuh itu aku bermandikan air liur para
waria yang haus sex. Mereka menjilati sekujur tubuhku. Tidak memperdulikan suara keluh
kesakitanku menahan perih pecah bibirku yang harus terkena uluman dan gigitan mereka.
Aku sangat merasa getir sekali menjadi nasi tumpeng di tengah pesta mereka. Gigitan-gigitan
liar bergerayangan disana-sini. Aku memejamkan mataku entahlah apa yang aku rasakan.
Antara ketegangan dan nikmatnya rangsangan yang mereka tebarkan serasa jiwaku terayun
ambing. Mereka bergantian mengulum kelaminku. Tak bosan-bosan mereka
mempermainkannya sampai aku merasa ngilu dan kesakitan.
Akhirnya aku terkulai di atas lantai bersimbah peluh dan bau ludah yang menyebalkan
serta anyir air mani mereka yang muncrat di atas permukaan tubuhku. Aku sangat lemah
sekali. Tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku digotong mereka ke kamar
mandi. Kemudian aku dimandikan sebersih mungkin. Sehabis mandi aku dibawa ke kamar
dan dibaringkan di atas kasur busa yang hangat. Aku diselimutinya. Lalu akupun tertidur
nyenyak sekali.
Siang hari aku terbangun. Di meja kecil di sudut kamar itu sudah tersedia hidangan
sarapan beserta sajian lezat lainnya. Aku lekas mengenakan bajuku yang tergantung di
dinding. Aku tidak menghiraukan hidangan itu. Aku bergegas keluar. Rumah itu sepi. Tak
ada seorangpun banci yang aku temui. Di halaman rumah mobilku terparkir. Tanpa pikir
panjang lagi akupun segera cabut pergi meninggalkan tempat biadab itu, setelah dirasa tak
ada sesuatu apapun yang hilang dari semua kepemilikanku selain terenggutnya kesucian
harga diriku.
Dari semua rentetan peristiwa yang menimpaku itu menghasilkan mentalku yang
menjadi sangat labil pada keyakinan jati diriku. Jiwaku kacau balau! Kisah pacaranku
berantakan. Dan aku membiarkan semuanya terjadi tanpa perlu aku harus memperbaiki
hubunganku lagi dengan mereka. Aku membiarkan diriku apa adanya. Yang tak jarang suka
tergetar hati ketika melihat sosok-sosok cowok tampan sahabatku. Hingga aku berteman
dekat sekali dengan Elqo, seorang remaja korban pergaulan bebas. Yang tampilannya selalu
bersih dan rapi meskipun seorang pemabuk yang doyannya main. Elqo orangnya caper sekali
kepadaku. Suka memujiku. Melebih-lebihkanku hingga membuat aku simfati padanya. Dia
senang sekali mengajakku bermain. Memperkenalkanku pada dunia pergaulannya. Carut-
marut dunia bebasnya. Sampai ujungnya akupun tahu kalau Elqo itu sebenarnya seorang
gigolo.
Diapun bercerita tentang perjalanan hidupnya. Dunia pelacurannya itu berawal dari
titah tantenya sendiri. Karena di Jakarta ia tinggal bersama tantenya. Numpang untuk sekedar
tempat tinggal selama dia menyelesaikan pendidikan SLTA-nya. Dan di rumah itulah ia
diajari tantenya bermain sex. Latihan sex sambil mempraktekannya pada si tante disaat
omnya belum pulang dari kerjanya. Lewat tantenya pula Elqo diterjunkan pada indahnya
dunia gigolo. Tantenyalah yang memanagerinya sebagai gigolo yang sukses dan berkelas.
Hingga akhirnya Elqo sempat menjadi pacar kontrak juga jadi cowok simpanan seorang
selebritis.  
Sebagai gigolo yang profesiaonal yang tentunya punya target mendapatkan uang
sebanyak mungkin. Tak jarang iapun dikontak dan diajak kencan kaum gay. Pernah juga ia
ditawari sebuah rumah dan mobil mewah oleh actor gay Indonesia yang beberapa tahun ke
belakang sempat meraih award sebagai actor terbaiknya Indonesa. Tapi Elqo menolaknya
karena ia tidak siap apabila terlalu dini ia harus meninggalkan masa remajanya. Karena
harapan akhir hidupnya ia ingin menjadi orang baik-baik yang normal dan berkeluarga
layaknya sebagaimana titah agamanya.
Dan karena ketampanan serta kejantanan sifat keheterosexkannya yang mengalir
begitu saja diluar jiwa sadarnya, menjadikan dia playgigolo super star yang cemerlang
perjalanan kariernya. Diusianya yang baru berkepala tiga, Elqo sudah mempunyai rumah dan
kendaraan sendiri tanpa harus terikat total hubungannya oleh siapapun pelanggannya. Juga
herannya sepanjang aku mengenalinya, aku tidak pernah sekalipun melihat sifat
materialistisnya terhadapku. Malahan ia sendiri yang pertama kali menawarkan aku sebuah
permainan sex. Elqo sangat fasih banget mengemukakan pemahamannya tentang sex. Seolah-
olah ia mau menyadarkan aku bahwa berhubungan sex itu adalah sesuatu yang benar dan
sangat penting dalam kehidupan ini biar bagaimanapun alasan dan hukumnya. Mungkin
setadinya niat Elqo itu maksudnya ia masih manaruh simfati dan rasa hormatnya padaku
sebagai anak dari keluarga terpandang hingga selalu hati-hati dan penuh kelembutan
memperjelas masalah sex. Tapi dibuatnya Elqo terhenyak ketika tahu bagaimana cerita
tentang perjalanan sexku.
Maka semenjak itulah aku dan Elqo sering berhubungan sex. Dan kenang-kenangan
darinya pula anting-anting yang terpasang di kelaminku. Dialah yang menindiknya. Sebab
karena anting-anting yang terpasang di kemalinnya pula yang banyak memuaskan pasangan
bercintanya…” Muslim mengakhiri cerita panjang sejarah perjalanan sexnya.
 
5   ‘TERBUKAlah dengan cinta’
 
 
Christian yang serius mendengarkannya segera memperlambat laju
mobilnya. Tak lama ia menghentikannya di depan gerbang sebuah rumah yang cukup besar
dan megah. Lalu setelah sekian lama terdiam iapun berujar,
“Keluargamu tahu tentang bagaimana kisahmu?”
“Tak ada seorangpun yang tahu,” Muslim melihat ke gerbang. “Coba klakson. Biar si
Paman membukakan gerbang.”                                  
Christian pun membunyikan klakson beberapa kali. “Termasuk ibumu?”
“Begitulah.”
“Kalau mereka tidak tahu, lantas kau bilang ibumu menyetujui kebebasan monosex
bukan karena atas obok-obok aku atau atas tuntutan masa saja itu maksudnya karena atas
dasar apa kalau tidak bermula karena latar belakang kelainan sex anggota keluarganya yaitu
kamu?”
“Ibuku mengetahuinya atas pengaduan Alpin teman kuliahku.”
“Kok bisa seorang Alpin tahu kepribadianmu?”
“Peristiwanya saat liburan di pantai Anyer. Ku kenal dia karena kesok kenalan dan
kesok dekatannya dia. Sikapnya yang sok akrab membuat perkenalanku yang sebentar seperti
sudah berteman lama saja. Waktu itu dia semester enam sementara aku baru semester empat.
Aku yang sengaja ngajak dia wisata ke Anyer. Aku yang mengongkosi dan
membiayai perjalanannya selama liburan. Karena ku tahu diantara mahasiswa yang lain
dialah yang paling boke dan paling pintarnya cari muka. Tipenya sangat caper banget. Dia
curhat segala macam problematika hidupnya yang ujung-ujungnya ia cerita soal belum
terlunasinya tunggakan dua semester terakhirnya. Aku coba bercerita soal gay. Dia langsung
cepat tanggap dan berceloteh panjang lebar tentang pendapatnya soal gay. Dan ketika aku
mengusulkan pendapat bagaimana seandainya kalau ada seorang gay yang mengajaknya
kencan. Ternyata dia tidak keberatan asalkan bisa menarik keuntungan buatnya. Maka tanpa
negoisiasi yang lain-lain lagi aku dengan Alpin pun menginap di sebuah hotel pantai Anyer.
Disanalah kami bercinta dengan biaya operasional aku siap membayarkan tunggakan bayaran
dua semesternya Alpin.
Tapi goblognya seorang Alpin. Dikasih hati minta jantung. Dia malah ngebocorin
permainan sexnya itu pada ibuku yang lagi menjabat sebagai rector. Bagaimana tidak ibuku
marah sekali padanya serta memandang aduannya itu hanyalah fitnah dan rekayasa buat
menghancurkan reputasi baikku dan ibu. Hingga ibuku tak segan-segan langsung menindak
Alpin dengan mencabut kartu kemahasiswaan Alpin di UIN.
Aku merasa nuraniku tiba-tiba berontak. Hati kecilku mengecam tindak ibuku. Ibuku
memang tidak salah. Tapi aku. Apakah aku tega membiarkan hukum ketidak adilan
merenggut Alpin sementara aku sebagai pelaku utamanya terbebas riang dan bertepuk
tangan?
Maka dari itu aku dengan ibuku terjadi debat yang alot. Yang akhirnya berat-berat
juga ibuku menyerah pada kenyataan dan dengan sangat terpaksa sekali harus menerima fakta
bahwa anaknya memang seorang gay. Lalu ibuku kembali mengklarifikasi gugatannya
terhadap Alpin, bahwa senyatanya telah terjadi kesalah pahaman antara informasi Alpin
dengan komfirmasi yang telah ibuku ikrarkan.
Semenjak itu keuanganku dijatah. Aku harus menepati janjiku untuk tidak lagi
berhubungan dekat dengan Alpin jika aku memang masih mau melihat Alpin berpendidikan
di UIN. Aku pun memang tidak begitu berkepentingan dengannya. Lagipula aku tahu kalau
dia sudah punya tunangan seorang gadis yang masih sekota dengannya. Meskipun tidak
jarang ia mencuri-curi waktu untuk menemuiku dan menawarkan kencan lagi sebagai ucapan
terima kasihnya. Aku menolaknya. Dan tidak pernah terjadi lagi hubungan sampai dia lulus
sarjananya. Kasihan memang, percuma saja dia lulus juga jika ijazahnya belum juga tertebus
sampai saat ini. Alpin lebih mendahulukan kawin daripada melunasi tunggakan biaya
kuliahnya yang masih menggantung besar,” Muslim melihat ke gerbang seperti yang kesal
belum ada juga pembantu rumah yang nongol untuk membukakannya.
“Coba klakson lagi!” seru Muslim.
Christian kembali membunyikan klakson hingga beberapa kali serta sengaja
menekannya beberapa saat hingga menjerit kencang memekakan suasana sore kawasan itu.
“Biar aku saja yang bukain,” Christian menawarkan dirinya untuk turun setelah sesaat
belum nampak juga orang rumah yang mau membukakan pintu gerbang.
“Bukan gitu. Soalnya gembok gerbangnya di kunci,” tukas Muslim seraya merogoh
HP-nya.
“Biar aku telepon dulu. Mungkin saja mereka tidak mendengar nyaringnya bunyi
klakson,” Muslim segera menghubungi nomor rumah.
“Halo!” suara perempuan yang mengangkat telepon dari sana.
“Halo, Bi lagi ngapain? Bisa tolong bukain kunci gerbang dulu sebentar, gak?”
“Aduh Bang Muslim. Kemana aja? Kenapa dihubungi gak nyambung-nyambung?
Ayah dan ibu marah-marah tahu! Emangnya ada kepentingan rahasia apa sih nyampe Hp pun
gak diaktifin segala?”
“Eh, Fit. Kapan kau balik?”
“Kemarin.”
“Mama sama Papa ada di rumah gak?”
“Gak ada. Lagi jalan-jalan.”
“Yang bener aja kau!”
“Makanya kalo maen mesti tahu waktu. Berlaga sok gak penting aja dengan keluarga.
Makin serampangan banget ya sekarang?”
“Udah. Entarlah konfirmasinya. Si Paman sama Bi Bibi pada kemana? Tolong bukain
gerbang gitu. Cepetan!”
“Si Paman lagi mandi. Si Bibi ikut jalan-jalan. Paling nanti maghrib pulangnya juga.
Apa aku harus nyuruh si Paman telanjang bulat bukain gerbang sekarang atau nyuruh si Bibi
segera pulang?”
“Ribet amat sih. Kamu aja deh. Please, my beautiful sister. Help me!” Muslim
merayu.
“Rasain aja deh. Jadi orang sabar itu di kasih Tuhan. Anggap aja balasan buat orang
yang lalai akan kedisiplinannya terhadap keluarganya. Semoga sadar ya!”
“Hai, Fit! Kamu jangan macem-macem ya. Entar kamu tahu rasa. Ngertiin aku dong.
Malu ama temen nih. Baru kali ini kemari udah disambut sikap kurang baik. Tolong bukain
gerbang sekarang ya. Okey!”
“Tunggu aja. Thanks banget ya udah mau balik ke rumah. Soalnya ada sesuatu yang
penting banget.”
“Ada apaan sih?”
“Entar aja ya konfirmasinya,” Fitrea menirukan kalimat kakaknya sungguh
menambah kekesalan dan kejengkelan di hati Muslim.
Muslim enek sekali pada kelakuan adiknya itu. Ditambah lagi ia segera memutuskan
komunikasinya. Hingga karena tidak puasnya Muslim kembali mengontak nomor rumahnya.
“Percuma deh Most. Dia gak bakalan ngangkat. Mendingan kita tunggu aja. Tuh
kebetulan Si Paman kayaknya kemari,” Christian memperhatikan sesosok laki-laki dari dalam
berjalan menuju gerbang.
Muslim melihatnya. Wajahnya berseri. Itu memang Si Paman pembantunya. Lalu ia
segera menghentikan usahanya untuk menelpon adiknya.
“Maaf banget ya Christ atas ketidakdewasaan sikap adikku,” ucap Muslim mohon
pengertian.
“Gak apa-apa. Tapi sory aja ya jika entar aku memalukan dihadapan keluargamu.
Soalnya aku kurang begitu tahu bagaimana baiknya berlaku sopan santun. Maklumlah aku
tidak begitu mengenal benar didikan bertata krama.”
Setelah Si Paman membukakan gerbang, Christian pun melajukan mobilnya perlahan
memasuki pekarangan rumah Muslim yang sangat luas. Sengaja diparkir dibawah pohon
bunga bugenfil yang sedang merekah merah putih mahkotanya sangat mempesona. Muslim
pun segera turun diikuti Christian yang kemudian melangkah mengikutinya.
“Paman! Benarkah Mama lagi pada jalan keluar?”
“Iya,” Si Paman menganggukan kepalanya hormat.
“Siapa yang mengemudi mobil? Papa?”
“Bapak yang minta.”
“Katanya barusan habis mandi, tapi kenapa masih kucel gitu?” Muslim heran melihat
keadaan tubuh Si Paman yang masih belepotan tanah kering yang nempel di keringatnya.
“Siapa bilang? Paman barusan habis menggali tanah di halaman belakang
menanamkan pohon pisang hias dekat kolam ikan hias,” sahut Si Paman sambil tersenyum.
“Oh ya? Huh, awas lo ya Fit udah berani ngerjain Abang!” Muslim geram serta
mempercepat laju langkahnya tak sabar sekali tampaknya ingin segera melakukan
pembalasan terhadap adiknya.      
“Fitrea! Fitrea!” Muslim berteriak-teriak memanggil adiknya yang tidak menampakan
batang hidungnya di ruangan itu.
“Tut…tit…tut…tot-tot-tot-end!” ponsel Muslim berbunyi.
“Hai dimana kau tukang ngibul?” tanya Muslim segera pada adiknya yang mau-
maunya buat menghubunginya.
“Bang, temennya sangat ganteng juga tuh! Buat Fitrea aja ya!”
“Gak bakalan doyan ama cewek macam kamu yang udah dibuatnya pusing,” Muslim
berlari menaiki lantai atas dimana letak kamar Fitrea berada bersebelahan dengan kamarnya.
“Maca, cih! Iang bener aca cali!”
Muslim segera membuka pintu kamar Fitrea. Blak…! Kosong!
“Hai cewek konyol dimana kau?”
“Cari aja sendiri!”
“Aku acak-acak ya kamarmu biar berantakan!” ancam Muslim
“Emangnya aku bakalan rugi? Biasa aja kali! Yang repot kan Si Bibi juga buat
ngeberesinnya. Kalopun ada kerusakan kan Papa yang bertindak. Jadi Abangku yang…”
“Hai!” bentak Muslim kesal.
“Sorry ya aku kebelet mau ke kamar mandi. And aku pinjem DVD The Drunk
Flyrabbit-nya ya.”
“Wei jangan!” teriak Muslim panik  berlari cepat keluar kamar Fitrea menuju
kamarnya.
“Fitrea!” teriak Muslim membuka kamarnya yang juga kosong tak ada sosok Fitrea
juga disana.
“Dasar orang pandir!” terdengar teriakan Fitrea dari lantai dasar membuat Muslim
serentak berlari-lari cepat penuh kemarahan pada adiknya.
Sepintas lalu Muslim melihat bayangan Fitrea menghilang ke balik dinding tembok
ruangan dapur. Iapun lekas mengejarnya menyusul Fitrea yang tiba-tiba menjerit terpekik
kaget.
“Fitrea!” Muslim pun sangat terkejut mendengarnya segera menuju sumber suara
jeritannya.
“Kamu kenapa?” Tanya Muslim segera. “Atau cuma pura-pura aja kali. Ku tangkap
kau!” Muslim menangkap tangan Fitrea yang membelakanginya.
“Maaf!”
Muslim terkejut melihat Christian yang muncul dari toilet. “Habis ngapain Christ?”
“H, buang air kecil. Tadinya mau lepas mandi. Tapi ketika baru buka baju adikmu
membuka pintu dari luar. Aku ngaku salah. H … enggak ngunci dulu pintunya. Maaf ya …!”
terang Christian sambil menyelendangkan kaosnya ke pundak.
“Gak apa-apa. Salah adikku sendiri jadi orang asal ceplos aja. Tapi lain kali kalo
kamu pengen apa-apa ngomong dulu sama aku,” Muslim sedikit menampakan sikap
ketidaksukaannya.
“Iya. Maafin aku juga Mister. Ini salah kakakku juga sih. Ada tamu dibiarin aja,
mestinya ia memperlakukannya penuh dengan perhatian,” Fitrea juga minta maaf sambil
menyudutkan kakaknya dengan matanya lekat memandang tubuh Christian yang hanya
mengenakan celana jean saja. Hingga tato-tatonya tampak jelas beserta anting-anting yang
menghias puting susunya. Fitrea segera menepiskan tangan Muslim yang memeganginya.
“Kemana kau?”
“Udah dibilangin aku kebelet sedari tadi,” Fitrea meronta.
“Cuma alasan!”
“Atau aku kencing disini?”
“Hai Most. Kenapa sih?” Christian mempertanyakan Muslim heran.
“Okey! Tapi kalo kamu macam-macam, awas ya!”
“Macam-macam apaan?” Fitrea juga tidak mengerti.
“Kembaliin DVD itu. Kalo tidak!?”
“Emangnya DVD apaan sih? Cuma pengen nonton doang. Entar juga aku balikin,”
Fitrea memasuki kamar mandi lalu menutup pintunya dari dalam.
Muslim mengikutinya merapat ke pintu dan menggedornya. “Kamu menyimpannya
dimana? Biar aku ambil.”
“Hai, sopan dong jadi orang. Sudah menjadi seorang sarjana agama masih saja tidak
punya adab,” umpat Fitrea.
“Please! Adikku yang cantik. Aku mohon kamu balikin lagi DVD itu sekarang,”
Muslim memelas.
“Tidak percaya amat sih sama aku. Apa takut rusak? Biar aku entar gantiin, harganya
tidak seberapa kan?”
“Bukan masalah rusak dan menggantinya. Tapi ini soal larangan untukmu
menontonnya. Kalo kamu mau berapapun juga biar Abang beliin kaset yang lain buat
ngegantiinnya. Tapi tolong jangan putar kaset itu. Please kamu balikin sama Abang ya,”
sekali lagi Muslim mohon pengertian adiknya.
Fitrea tidak lagi mengomentari apa ajuannya. Ia terdiam tidak menyahutnya. Muslim
dibuatnya kebingungan sendiri. Dilihatnya Christian yang masih berdiri tidak mengerti
dengan tingkahnya.
“Gerah banget. Aku ingin ngadem,” ujar Christian mengungkapkan perasaan suhu
tubuhnya.
Muslim dengan raut muka yang masih menunjukan kebengalan dan kecemasannya
sekali lagi ia menggedor pintu dengan sangat kesal dan marah membuat adiknya terpekik
kaget dari dalam. Lalu ia melangkah tidak memperdulikan celaan dan makian adiknya yang
menggerutu.
“Emangnya DVD film apa?”
“My secret,” sahut Muslim pendek.
“Film kan?” Christian memperjelas keterangan Muslim.
“Iya.”
“Rekaman your self sex?  With someone or… your special film production? Or a
documenter film?”
“I hope you never know about it.”
“Why?”
“I’m fear you’ll jealous.”
“Love words is true always!” Christian menarik lengan Muslim agar menghadapnya.
Muslim menatap Christian sejenak. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya dan
berujar pelan, “I believe it. But you’re still a man.”
“What is the meaning your speak?” Christian tidak mengerti.
“That love and jealousy is together always. Godself has most jealousy when his
creature not honesty of his religion, morever the mans has very it sure.”
“Maybe … I want you …”
“I’m sory! Bukannya aku tidak meyakini cintamu padaku it’s very-very-very…”
“Maksudmu?”
“Cintamu terlalu tulus dan mulianya padaku, sedangkan aku belum tentu sesuai
dengan harapanmu,” Muslim memasuki kamarnya.
“Aku tidak perduli kamu bisa setia padaku ataupun tidak. Yang perlu kamu tahu
bahwa aku akan selalu setia untukmu,” Christian mempertegas keyakinannya.
“Thank you very much my sweetheart!” ucapan terima kasih Muslim begitu dalam
disambut kecupan mesra bibir Christian di pipinya.
“Mau mandi? Atau istirahat dulu. Tiduran? Atau ngejus apaan?” tawar Muslim sambil
menyalakan air conditioner anti bakteri sehingga ruangan kamar terasa sejuk berbaur
semerbak anggur aromaterapi.
“Nyaman banget kamarmu,” puji Christian.
“Maklumlah sifatnya juga seimbang antara laki-laki dan perempuan. Aku kontraskan
saja dengan memadukan arsiteknya sesuai fisik dan sifat sexku.”
“Kita mandi bareng aja ya,” ajak Christian.
“Takutnya kita nanti terjebak dalam keasyikan main sex.”
“Untuk itu kan ada waktunya juga. Emang sih kayaknya menyenangkan, tapi kalo
kamu gak mau ya gak apa-apa. Aku harus belajar menghormati hak asasi antar kita,”
Christian sadar diri sambil melucuti celana yang dikenakannya.
“Jangan salah pengertian gitu. Bukannya aku menolak keinginanmu untuk bermain
sex. Tapi apa sehat dalam keadaan badan kurang nyaman gini untuk melakukan hubungan?
Kalo ada waktu entar malam kita bisa bermain. Untuk sekarang kamu bersih-bersih duluan,
entar aku belakangan. Sementara kamu mandi aku buatkan jus anggur saja ya. Sebagai ganti
minuman anggur beralkoholmu. Maklum aku tidak suka naruh minuman di rumahku,” kilah
Muslim bergegas keluar kamar meninggalkan Christian yang segera masuk ke kamar mandi. 
“Kalo mau ganti baju ambil saja di lemari,” Muslim segera keluar kamar menuju
lantai dasar.
“Hai, Bang. Tamunya mana?” Tanya Fitrea yang muncul ke ruangan itu.
“Emangnya ngapain?” Muslim membuka kulkas.
“Si Mister itu orang Kristen ya?”
“Apa urusannya gitu?” Muslim mengambil buah anggur dan sebongkah es batu.
“Kok Abang berani bawa dia kemari. Apa tidak akan bermasalah nantinya sama
Mama dan Papa?”
Muslim mengambil blender dan susu kaleng. “Bukankah kita sudah dikasih didikan
agar saling menghormati perbedaan agama?”
“Tapi gimana entar kalo nenek kita yang sangat panatik itu komplen?”
“Emang kamu bawa nenek kemari?” Muslim menengok Fitrea.
“Heeh. Sekalian entar Papa mau mengajaknya ke acara ESQ,” terang Fitrea sambil
memetik beberapa buah anggur yang ditaruh Muslim dalam keranjang buah diatas meja.
“Jangan bilang sama nenek saja tentang siapa dia,” kilah Muslim.
“Dia mau baliknya kapan?” Tanya Fitrea.
“Mungkin dia nginep.”
“Syukurlah. Apa dia bisa dipercaya?”
“Maksudmu?” Muslim menyalakan blender mengaduk es batu yang sudah halus
dengan anggur dan susu.
“Suruh jaga rumah. Sebab Si Paman dan Si Bibi mau diajak serta ke acara ESQ.”
“Kan ada security?”
“Tadinya mau diajak juga dan bakal nyuruh orang tetangga buat jaga rumah.
Sayangnya Paman Satpam izin perihal keluarganya yang di Bogor kemusibahan.”
“Biar aku saja yang jaga rumah,” Muslim menuangkan jus ke dalam dua gelas diatas
nampan.
“Emangnya Papa bakal ngizinin?”
“Tapi biasanya kan dilangsungkan acaranya siang selama tiga hari.”
“ESQ khusus keluarga besar bareng rekan-rekan Papa.”
“Eh!” Muslim tiba-tiba menghentikan langkahnya seraya menoleh Fitrea yang sedang
menuangkan sisa jus dalam blender.
“Mana DVD itu?” Tanya Muslim teringatkan lagi.
“Iya. Entar aku kembaliin. Napa sih?”
“Kamu jangan memutarnya. Kembaliin sekarang.”
“Heeh. Aku bakal anterin ke kamar sekarang juga. Cemas banget.”
“Awas kalo tidak!” ancam Muslim sambil kembali melangkahkan kakinya menuju
kamarnya.
Di kamarnya Christian baru selesai mandinya. Ia hanya mengenakan handuk sebatas
pinggangnya. Muslim menaruh nampan di atas meja kecil disamping twalet. Fitrea pun
muncul di ambang pintu kamar sambil tersenyum memangggil Muslim,
“Ini DVD-nya,” Fitrea menyerahkannya pada Muslim.
“Kamu tidak menontonnya, kan?”
“Belum.”
“Nah gitu dong. Jadi orang mesti pengertian. Baru itu namanya adikku yang baik dan
cantik. Thanks ya!” Muslim mengusap-usap ubun-ubun kepala Fitrea.
“Nenek nanyain di bawah,” kabar Fitrea.
“Udah pada balik dari jalannya?”
“Barusan.”
“Bentar aku nyusul.”
“Jangan lama-lama. Jangan buat nenek menemui Abang kemari,” kata Fitrea kembali
berbalik pergi.
“Christ, cepetan pake baju. Sekalian copot anting-antingmu itu. Juga tolong
bersikaplah sewajarnya sebagai seorang tamu yang penuh tata krama dan tahu sopan santun.
Bagaimanapun juga aku tidak mungkin dapat menyembunyikan keberadaanmu. Yang aku
takutkan kamu entar bermasalah dengan nenekku yang sangat panatik. Kamu diam aja di
kamar. Syukur-syukur dia tidak nanyain. Kalo sampai maksa ingin kenal kamu kan repot.
Aku menemui mereka dulu ya. Sekalian sudah pasti shalat berjamaah maghrib dulu,” setelah
cukup berpesan pada Christian, Muslim pun lekas meninggalkan kamarnya menemui
neneknya yang dulu menjadi wali asuhnya selama pendidikan sekolah dasarnya waktu di
desa.
Baru saja sampai di tepi tangga, neneknya sudah nampak sedang menaiki tangga
menujunya.
“Hai, Nek!” sapa Muslim mencegatnya.
“Assalamualaikum,” Muslim menyalaminya.
“Waalaikumussalam, Cu,” neneknya berlinang air mata menatap tajam dan
mengusap-usap bahu Muslim.
“Gimana kabarnya, Nek?”
“Alhamdulillah kalo soal materi tidak kekurangan. Tapi soal hati, Nenek tidak
tercukupi. Kangen ingin bercinta dengan Kakekmu yang sudah meninggal. Ingin sekali
Nenek mencari gantinya. Inginnya seorang perjaka yang ganteng dan perkasa. Tapi Nenek
tahu diri. Lalu Nenek jatuh hati pada sang Ustad guru ngajimu dulu itu. Nenek kira Ustad
mengerti perasaan Nenek. Eh tidak tahunya dia malah menyakiti hati Nenek. Nenek sangat
sakit hati sekali padanya. Dia menolak cinta Nenek. Katanya ia tidak mau berpoligami. Ia
sudah merasa cukup dengan satu istri. Nenek sungguh sangat kecewa sekali. Nenek pikir
Ustad itu bodoh tidak melihat dan tidak mengikuti jejak Rasul yang punya istri banyak dan
sangat ingin membahagiakan janda-janda tua yang terlantar butuh cinta kasih sayang. Nenek
sedih sekali Alim,” Nenek memeluk tubuh Muslim begitu erat sambil menangis meratapi
nasibnya.
“… Nenek kesepian. Nenek butuh cinta. Nenek merasa dilecehkan oleh Ustad itu. Dia
pikir dia itu siapa. Bangunan pondok pesantrennya juga berdiri karena sebagian besar
sumbangan dari Nenek. Mesjid pun mungkin tidak akan semegah sekarang kalo tanpa
bantuan dari Nenek. Mereka tidak mau balas budi. Mereka mencampakkan Nenek. Dulu
ketika Nenek masih muda Nenek banyak sekali yang melamar. Tapi sekarang mereka hanya
ingin memanfaatkan Nenek buat memeras uangnya saja. Nenek tidak terima. Nenek sakit
hati. Nenek benci pada masyarakat kampung. Nenek tidak ingin pulang lagi. Nenek mau
tinggal disini. Biar Nenek bisa menikmati menciumi dan mencumbu perjaka ganteng
sepertimu, Alim…” Nenek menciumi wajah Muslim hingga belepotan bau air liurnya.
Muslim berusaha meronta melepaskan diriya dengan lembut dari pelukan neneknya
yang kayak kesurupan.
“Nek. Sudahlah malu sama Papa dan Mama. Lagipula ada tamu,” ujar Muslim halus.
“Kita sembahyang maghrib dulu. Nanti kita bisa melepas rindu selepas shalat,” ajak
Muslim memapah neneknya kembali turun.
“Bu. Sudah mengambil air wudlu?” Tanya Pak Martin Hamzah ayahnya Muslim.
“Buat apa?” Nenek Honey (sebagai panggilan dari nama aslinya Haniyah Hartinah)
balik nanya pada anaknya itu.                
“Kita shalat maghrib bersama,” jawab Pak Martin.
“Aku males ketemu Allah. Aku sedang perang dingin dengannya,” celoteh Nenek
Honey mengejutkan.
“Bu! Ibu jangan berkata demikian. Itu sangat tidak baik,” Pak Martin mengingatkan
ibunya.
“Martin. Aku lebih tua darimu. Aku lebih banyak pengalaman darimu. Ilmuku lebih
luas darimu. Pengetahuanku lebih dalam darimu. Ajaran agama Islam yang mana yang belum
aku kuasai? Sejak kecil sampai tiga bulan yang lalu aku taat pada Allah. Aku
menyembahnya. Aku memujanya. Aku melaksanakan segala perintahnya. Aku menjauhi
segala larangannya. Aku menyeimbangkan mencari rizkiku dengan ibadah. Sehingga
kehidupan rumah tanggaku perkembangan ekonominya meskipun sedang-sedang saja tetapi
penuh dengan berkah. Aku dan suamiku menyedekahkan sebagian besar harta kekayaan buat
pembangunan kemajuan agama. Tapi kenapa Allah tidak mengabulkan segala permintaanku
yang ingin sehidup dan semati dengan suamiku? Allah sengaja membuat aku berdosa dengan
mengingkari perjanjian sehidup sematiku. Allah mengambil nyawa ayahmu sementara
nyawaku tidak. Padahal demi memperpanjang nyawa ayahmu, aku sudah berusaha membawa
ayahmu yang sedang sakit untuk berkeliling wilayah buat silaturahmi dengan penduduk
sambil membagikan sedekah guna memperpanjang umur ayahmu. Karena dalam keterangan
sebuah riwayat, orang yang sedang menghadapi kematian dapat diundur waktunya dan
diperpanjang hidupnya dengan silaturahmi dan berbagi sedekah. Tapi kenapa suamiku
akhirnya mati juga? Aku kecewa pada Allah yang telah berdusta. Aku sakit hati padanya. Dia
tidak adil. Masa suamiku mati langsung disambut 40 bidadari sedangkan aku yang masih
hidup tidak dikasih satupun suami. Allah telah memisahkan cintaku. Allah telah menjadi
jurang pemisah kebahagiaanku dengan suamiku. Allah sengaja merayu-rayu suamiku agar
mau mati dan diiming-imingi surga. Sehingga suamiku berpaling dariku dan mencampakkan
aku yang sudah peot…” Nenek Honey sesenggukan seperti anak kecil sambil sesekali lantang
mengumpat Tuhannya.
Muslim, Fitrea, Pak Martin, Si Bibi dan Si Paman pada terdiam tidak mengerti. Bu
Latifa muncul dengan terheran-heran melihat keadaan mereka yang masih belum bersiap-siap
untuk sembahyang.
“Ada apa gerangan belum pada siap shalat?” Tanya Bu Latifa segera.
“… Bu! Ibu jangan keliru memaknai riwayat orang yang dipanjangkan umurnya
karena silaturahmi dan bersedekah itu. Kita harus punya pemahaman yang luas. Bukankah
dengan silaturahmi dan membagikan sedekah yang dilakukan Ibu dengan Almarhum Bapak
juga seyogyanya telah memanjangkan umur nama baik Bapak dengan selalu dikenangnya
oleh masyarakat atas segala amal baik yang telah dilakukannya semasa hidup? Nama Bapak
itu akan selalu hidup di hati orang yang telah tersentuh kebaikannya,” Pak Martin mencoba
memberi paham baik. 
 “Jika kalian pada ketemu Allah, tolong sampein pesanku padanya. Bahwa aku tidak
akan segera menghadap-Nya lagi jika belum mempertemukan aku dengan suamiku atau
memberikan penggantinya yang lebih muda dan lebih gagah seimbang dengan pesona para
bidadari yang melayani suamiku di surga. Biar Allah tahu rasa bagaimana jengkel dan
kesalnya akibat ulahnya sendiri yang sudah menganiaya makhluk-Nya,” kilah Nenek Honey
sambil berlalu kembali menaiki tangga menuju lantai atas. Ia mengarah menuju kamar
Muslim. Lalu dibukanya pintu kamar itu. Ia terkejut melihat Christian yang juga terkejut
sedang mengontakkan lampu kamar hingga suasana terang dan jelas.
“Kamu siapa?” Tanya Nenek Honey segera.
“Temannya Muslim,” jawab Christian agak kikuk juga.
“Kenapa kamu tidak shalat?”
“Nenek sendiri?” Christian balik nanya.
“Aku sedang halangan.”
“Ada-ada saja. Halangan? Menstruasi maksudnya?”
“Kamu pongah juga ya!?” Nenek Honey menampakan sikap tersinggungnya.
“Islam tidak mengajarkan umatnya supaya galak. Mana dong keramahannya? Gak
malu apa sama Mohammed?” Christian begitu santainya melayani Nenek Honey berbicara.
“Nek. Nenek itu aneh. Mana ada perempuan setua nenek yang masih menstruasi.
Seusia nenek itu udah masanya menopause. Tidak subur lagi, tahu!” lanjut Christian
menceramahi nenek tua itu.
“Kalo gitu, kalo kamu tidak mau shalat kita sembunyi aja disini. Mudah-mudahan
malaikat pencatat amal tidak mengetahui keberadaan kita,” Nenek Honey seraya menutup
pintu dari dalam.
Christian jadi terheran-heran dengan nenek-nenek itu. Bukankah kata Muslim
neneknya itu seorang yang panatik beragama? Tapi kenyataannya kok!?...
“Tidak shalat juga aku tidak akan dituntut Tuhanku. Malahan kalo shalat aku malah
kena laknat-Nya,” tukas Christian.
“Enak dong! Gimana caranya kamu dapat menaklukan Tuhan kayak gitu?”
“Karena aku bukan seorang muslim. Jadi aku tidak diwajibkan shalat,” timpal
Christian tegas dan sedikit jengkel pada nenek tua itu yang berani-beraninya menggenggam
tangannya.
“Jadi!?...” Nenek Honey menatap Christian.
“Agamaku Kristen,” jelas Christian.
“Aduh kebetulan. Gimana kita ngobrolnya sambil duduk aja biar lebih enjoy?” Nenek
Honey menarik lengan Christian dengan genit mengajaknya duduk di tepi pembaringan.
“Kamu romantis banget deh. Sengaja ya menyetel film porno biar nambah gairahku.
Padahal tanpa menonton film porno juga gelora sexku mudah terangsang,” celoteh Nenek
Honey melihat monitor laptop yang entah sedang menayangkan acara apa. Hanya sesekali
tampak close up sosok lelaki telanjang dada saja lagi angkat besi.
“Hai, ganteng! Bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa menerima cintamu. Aku
tetap menginginkan pasanganku yang seagama denganku,” kilah Nenek Honey membuat
Christian jadi memecahkan tawanya sangat lucu sekali dibalik rasa sebalnya.
“Tapi … kalo dipinang sama Tuhanmu, aku tidak keberatan. Aku rela menjadi istri
keduanya. Betapa mulianya aku dapat dipersunting Dia. Aku akan panas-panasi suamiku
yang sudah berada di surga dengan para bidadari. Aku akan berkunjung ke surganya bersama
Tuhan Bapak yang menjadi suamiku. Bukankah kekuasaan Tuhanmu berdekataan dengan
pusat pemerintahan Tuhanku?”
Christian jadi kebingungan sendiri menghadapi sikap Nenek Honey yang perilakunya
diluar realita manusia.
“Nek! Sadar diri dong. Nenek itu sudah tua. Jangan ngaco. Saatnya Nenek sekarang
mempersiapkan diri buat menghadap Tuhan dengan banyak beribadah. Banyak berdo’a.
Bertaubat. Menyerahkan diri pada Tuhan. Sudah bukan lagi saatnya buat berhalusinasi yang
bukan-bukan. Soal perkembangan zaman dan paham agama yang kian plural biarkan saja
masih banyak generasi agama yang muda-muda untuk mengurusinya. Nenek tenang-tenang
saja melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan Nenek pada Tuhan yang Nenek yakini
ajarannya selama ini. Biar Tuhan Nenek tidak pusing menilai amal Nenek. Apakah Nenek itu
masih umatnya apa bukan? Jangan meragukan para malaikat yang menjaga Nenek. Nanti
kalo Nenek mati, tujuan roh Nenek mau kemana kalau tidak tentu arah. Apa Nenek mau
sendirian nanti di alam sana? Tidak ada satupun Tuhan yang menyahut Nenek. Apa Nenek
mau hidup abadi seorang diri berkelana dalam keterasingan di alam nanti?” Christian
berusaha mengembalikan fitrah manusia Nenek Honey.
“Aku senang sekali mendengar perkataanmu anak muda. Mumpung masih muda
kamu masuk Islam saja, gimana? Biar entar aku bersedia diajak nikah olehmu. Dan aku akan
menuruti perintahmu. Kalau kamu masih bukan Islam tak perlu ngomong banyak-banyak
lagi. Sebab tidak berhak untukmu memasukan pemahaman agamamu. Sebab tidak akan
mempan. Aku sudah punya kekebalan batin tentang Tuhanku.”
“Nek! Nenek bilang aku ini masih muda. Ganteng lagi. Pastinya bakalan mikir dulu
nerima tawaran nikah sama perempuan tua kayak Nenek. Pasanganku ya, yang muda lagi
dong,” elak Christian lekas berdiri.
“Kau telah menghinaku ya? Padahal dulu aku ini cantik jelita. Bintang yang bersinar.
Bunga yang menawan. Apa bedanya dengan aku yang sekarang? Karena perasaanku aku
masih jasad yang sama dengan jasadku yang dulu. Perasaanku juga masih sama seperti
perasaanku yang dulu. Jiwaku masih jiwa muda yang dulu. Seleraku masih selera darah
mudaku yang dulu. Hasrat dan gairah sexku masih sekuat permainan sex masa puber dulu.
Kalau kamu meragukannya kamu boleh mencobanya. Asal nanti setelah mencoba kamu harus
tanggung jawab menikahiku. Karena menurutku apa ruginya menikah denganku?”
“Secantik dan seterkenal Dian Sastro, Luna Maya dan Marsyanda pun aku tidak akan
tergoda. Apalagi perempuan tua renta kayak Nenek, jauh-jauh deh terbang ke langit. Kenapa
Tuhan Nenek tidak sesegera mungkin menjemput Nenek yang sudah bosen hidup dan hanya
meresahkan umat manusia saja?” celoteh Christian keluar kamar meninggalkan Nenek Honey
yang langsung terdengar menjerit-jerit histeris … tetapi Christian tidak terkejut ia terus saja
melangkah menuju lantai dasar.
“Ada apa dengan nenekku Mister?” Tanya Fitrea pada Christian cemas.
“… Kurang tahu ya,” Christian pura-pura tidak tahu keadaan membuat Fitrea
langsung lari tergesa menuju suara jeritan neneknya.
“Christ! Kenapa dengan nenekku? Kamu bertemu dia, kan?” Muslim menarik lengan
Christian.
“Nenekmu gila kali, ya!” seru Christian.
“Kamu ngapain saja dengannya?”
“Ya adu bicara aja. Tapi nenekmu udah ngaco banget otaknya.”
“Harap maklum saja nenekku lagi stress. By the way kamu mau nemui Mama Papaku
atau mau menghindarinya?”
“Menurutmu baiknya gimana?”
“Inginmu sendiri bagaimana? Bukannya kamu dan Mamaku sudah saling kenal?”
“Maunya sih kenal lebih akrab lagi dengan keluargamu. Sebagai kekasihmu bukankah
itu lebih baik? Tapi yang aku khawatirkan mereka malah tidak akan menerima kehadiranku
dan akan mengecammu kalau mereka sampai tahu kita pacaran,” kilah Christian
memprediksikan keadaan yang bakal terjadi.
“Muslim!” panggil Pak Martin.
“Iya, Pak,” sahut Muslim segera.
“Kenapa dengan Nenek?” Tanya Pak Martin.
Muslim memandang Christian memohonkan jawaban atas pertanyaan ayahnya.
“Kemana orang Kristen tadi Martin?” terdengar suara Nenek Honey bertanya pada
Pak Martin.
“Maksud Ibu siapa?” Tanya Pak Martin heran pada ibunya.
“Gimana nih?” Christian balik memandang Muslim.
Disaat seperti itu Bu Latifa muncul ke hadapan mereka dan sedikit terkejut mengenali
sosok Christian.
“Hai, sejak kapan kemari Mr. Christ?” sapa Bu Latifa hangat.
“Tadi sore bersama putra Miss,” Christian mengulurkan tangannya pada Bu Latifa
penuh keakraban.
“Rupanya kalian sudah saling kenal?”
“Lumayan,” Christian tersenyum sambil menoleh Muslim.
“Ada masalah penting kiranya?”
“Lebih mempererat tali persaudaraan kita saja.”
“Oh, ya. Sudah pada makan? Kita makan malam bersama saja sekarang. Nanti usai
makan kita bisa komunikasi lebih jauh lagi. Mari!” ajak Bu Latifa seraya melangkahkan
kakinya menuju ruang makan.
“Ibumu ngasih lampu hijau buat kita,” cetus Christian tersenyum senang.
“Mudah-mudahan saja. Kamu mau makan sekarang?”
“Kenapa enggak?”
“Okey!”
Keduanya lalu mengikuti jejak Bu Latifa ke ruang makan. Disana telah tersaji
hidangan makan malam siap santap di atas meja dimana Pak Martin, Bu Latifa dan Nenek
Honey telah terduduk di kursi mengelilingi meja.
“Itu orangnya Martin,” seru Nenek Honey menudingkan telunjuknya pada Christian.
“O… teman Muslim kiranya,” Pak Martin memandang Christian dengan sambutan
senyumnya yang ramah.
“Christian Om,” kenal Christian.
“Duduklah!” Bu Latifa mempersilakan.
“Fitrea mana?” Tanya Muslim sambil mengambil tempat duduk disamping Christian.
“Masih di kamarmu. Ajak dia segera, gih!” suruh Nenek Honey.
“Ngapain di kamarku?”
Christian menepuk paha Muslim sehingga Muslim segera menolehnya sambil
mengernyitkan dahinya. Christian sedikit mendekatkan wajahnya ke telinga Muslim sambil
berbisik,
“Tadi aku memutar The Drunk Flyrabbit dan belum dimatikan.” 
“Apa?” Muslim terkejut setengah mati dan serentak berlari tergesa-gesa dengan panik
menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Muslim tertegun menatap adiknya yang sedang
membakar DVD The Drunk Flyrabbit miliknya itu.
“Jadi ini alasan Bang Muslim melarangku memutar kaset ini?” Fitrea menatap tajam
sosok Muslim dengan matanya yang deras berderai air mata.
Muslim menundukan wajahnya penuh rasa penyesalan yang mendalam.
“Sekarang puas, kan? Abangku tersayang, Abangku yang malang. Abangku begitu
sadisnya merobek-robek harga diri keluarga Abang sendiri. Inikah moral seorang sarjana
lulusan UIN? Kalau hanya ingin menjadi pelacur jalang, kenapa mesti ngotot menyelesaikan
pendidikan tingkat tinggi segala? Kelakuan Iblis macam begini orang yang tidak sekolahpun
bisa. Atau almamater UIN hanyalah sebagai formalitas di bahu wibawa gagah seorang
Muslim belaka? Bang!...” suara Fitrea tersedak.
“… serahasia apapun Abang menyembunyikan bangkai, tetap akan tercium baunya.
Mengapa Abang menyetujui aku pacaran sama Elqo? Heh!? Kenapa? Abang tidak merasakan
betapa sangat terhinanya aku sekarang. Abang telah memanfaatkan aku untuk menjadi umpan
agar Elqo sering datang kemari. Abang sangat picik sekali. Ternyata dibalik semua sikap baik
Abang itu tersimpan niat busuk seekor serigala yang siap menerkam mangsanya.
Aku merasa sangat kecewa sekali pada kebiadaban Abang. Aku sangat benci sekali.
Benci! Aku sudah tidak percaya lagi pada kealimanmu. Pada titel sarjana agamamu. Karena
kau dan Elqo tak lebih dari sepasang syaitan. Masih mulia pelacur dan binatang melakukan
sex yang normal ketimbang hubungan lacurmu homoseksual!” kecam Fitrea menjadi-jadi
memecahkan gelora emosinya yang meledak-ledak.
Seorang Muslim hanya terdiam membisu. Segala yang terlontar dari mulut adiknya itu
bukanlah sebuah kekeliruan. Tapi sebuah dakwaan yang konkrit sesuai faktanya. The Drunk
Flyrabbit adalah video hasil rekaman handycam tentang permainan sexnya dengan Elqo. Lalu
dipandangnya Fitrea yang masih menatapnya penuh dendam.
“Maafkan Abang!” ujar Muslim lirih.
“Tak ada yang perlu dimaafkan,” sahut Fitrea ketus. “Aku merasa muak dan jijik
melihatmu,” lanjutnya lagi penuh kebencian seraya berlalu meninggalkan Muslim yang
terduduk di tepi ranjang.
Muslim terasa tercabik-cabik sukma sadarnya dengan lontaran kalimat demi kalimat
kemurkaan adiknya. Ya, dialah yang salah. Hubungan Elqo dan Fitrea adalah hasil rencana
Muslim dengan Elqo. Muslimlah yang meminta Elqo untuk memacari adiknya dengan
batasan Elqo terlarang buat menjamahnya. Sehingga sosok Elqo di mata Fitrea sangat begitu
sucinya. Fitrea sangat yakin kalau Elqo pemuda yang berlatar agama yang baik. Sikap Elqo
yang selalu terjaga dari hal-hal yang mengundang nafsu. Elqo pandai menyembunyikan sikap
lacur seorang gigolonya. Elqo tercipta laksana sempurnanya sesosok malaikat. Ganteng,
romantis dan paham benar tentang aturan agamanya. Sungguh betapa piawainya seorang Elqo
hingga sanggup memutar balikan fakta 1800 dari kejalangan perilaku liarnya menjadi sesosok
pribadi alim dan berbudi pekerti luhur di hadapan Fitrea. Tapi sekarang? Masih adakah sisa
kekuatan itu untuk membangun kepercayaan?
 
 
 6   ‘CINTA ADALAH HARGA DIRI’
 
“Kenapa?” Christian menghampiri Muslim.
Setelah menghempaskan nafasnya baru Muslim bicara perlahan, “Fitrea melihat
adegan sexku dengan Elqo dalam film itu.”
“The Drunk Flyrabbit maksudmu? Bukankah itu hanya berisi rekaman latihan angkat
besi di sebuah taman?” Christian heran.
“Kamu tidak memahami juga maksud laranganku pada Fitrea agar tidak memutarnya.
Kalau sebatas latihan angkat besi, apa pentingnya aku melarangnya nonton.”
“Lantas?”
“Ya, setelah usai angkat besi itu aku dan Elqo telanjang bulat saling melucuti celana.
Dan di taman belakang rumahnya itu kelaminku kena the drunk piercing-nya. Disitulah aku
habis-habisan bercinta dengannya,” terang Muslim.
“Aku jadi merasa bersalah. Benar-benar aku tidak tahu akan hal itu. Kalau saja aku
tahu…” Christian menyadari kesalahannya penuh penyesalan.
“Bagiku mungkin ini bisa diambil hikmahnya. Bahwa kejujuran itu lebih baik
meskipun menyakitkan. Daripada menutupi kebusukan yang malah bikin mabok sendiri.
Setelah sekarang terbuka buat apa aku harus menutupi diri lagi. Kalau aku senyatanya
bersifat mencintai sesama jenis, kenapa tidak aku jujur dan berani memperjuangkannya.
Karena perasaan itu sama saja dengan harga diri. Jika aku tidak mampu memperjuangkan
perasaanku berarti sama saja aku rela kehilangan harga diriku,” tegas Muslim yakin.
“Kita berjuang bersama untuk mendapatkan hak kita sebagai gay. Kita harus
mempunyai perlindungan hukum hak asasi kaum homoseksual. Karena gay itu bukan hanya
kita. Di Indonesia ini sudah cukup banyak perkumpulan kaum homo. Dan tidak sedikit para
pemuka agama dan psikolog yang mulai terbuka pemahamannya tentang keberadaan
homoseksual. Apalagi besar pengaruhnya jika kita mengusung ibumu buat terus
mendeklarasikan pengakuannya tentang perberdayaan kaum homoseksual Indonesia.”
“Kita harus berani menerobos keortodokan keyakinan agama. Dan jika agama yang
sudah terbentuk masih menentang berkembangnya sekte homo, kenapa tidak kita membentuk
agama baru dengan peraturan yang baru tanpa mengalihkan keyakinan yang baku tentang
periketuhanan yang maha esa. Asalkan kita masih berazaskan ketuhanan, Indonesia tentunya
masih mengakui keberadaan kita sesuai janji Pancasila. Juga kenapa kita meski takut neraka
karena menurut cendikiawan muslim Cak Nur juga bahwa orang yang akan selamat masuk
syurga itu memang orang Islam, tetapi tidak terbatas pada keanggotaan formal dalam agama
Islam. Setiap orang yang menyerahkan hatinya kepada rahasia Ilahi sesuai keyakinan
agamanya, tidak akan ditolak Allah,” Muslim semakin mantap berpegang teguh pada
keyakinannya.
Suasana hening sejenak. Keduanya sama-sama berpikir kritis tentang rencana sepak
terjang buat mempertaruhkan kecemerlangan masa depannya.
“Kedengarannya dibawah sepi,” Muslim seakan baru menyadari suasana rumah.
“Mengikuti ESQ katanya di hotel Brilliance Star.”
“Tidak mengajakku?”
“Eh, katanya yang terdaftar hanya 6 orang. Tadinya keluarga mau ngajak security.
Karena securitynya pulang. Maka diganti sama nenekmu. Ayahmu asalnya mau ngajak kamu
sama aku, tapi ibumu terlanjur udah ngajak kedua pembantu sejak kemarin. Emangnya ESQ
itu acara apaan sih?” terang Christian diakhiri pertanyaan.
“Emotional Spirit Quotient. Cerdas Spirit dan Emosi. Sebuah acara yang mengusung
harapan misi cerdas hidup dalam menyeimbangkannya perkara dunia dan akhirat umat Islam
seluruh dunia di tahun 2020. Mungkin kamu juga akan langsung dibuatnya menangis
mengikuti acara itu. Sebab rangkaian acaranya cenderung mencuci bersih rohani kotor kita.
Kita dibawa hanyut ke alam bawah sadar kita dimana segala dosa dan kesalahan kita laksana
menjelma begitu nyata mencemoohkan kita. Untuk apa sebenarnya tujuan hidup kita.
Kemana arahnya yang benar yang menunjukkan arah akhir dari rangkaian hidup itu pada titik
Tuhan. Seirama dengan hentakan emosi sang Tutor, musik yang bergemuruh beserta
gelapnya ruangan yang menampilkan sketsa alam angkasa luar semakin kita merasa
melayang-layang dalam imaji kehidupan dalam diri yang berlumur dosa."
“Ada kecenderungan dengan mudahnya aku bakal masuk Islam setelah mengikuti
acara itu.”
“Kemungkinan besar. Tapi apa yang dapat dibanggakan dari dirimu oleh orang Islam?
Yang jelas hanya akan menambah makin amburadulnya moral Islam. Aku tidak mau
mencemarkan agama manapun. Kecuali kalau kamu mau insyaf tidak lagi menjadi
seorang queer, aku bersedia membimbingmu masuk Islam sekalian meluruskan sifat
menyimpangku,” tandas Muslim.
“Bagaimana kalau kita menirukan kegiatan ESQ guna merekrut persatuan kaum
homoseksual?”
“Sifat manusia memang cenderung latah ketimbang kreatif. Bagi kalangan umat Islam
yang membiasakan diri dengan ESQ ada baiknya juga. ESQ itu kreatif. Sayangnya menarik
uang pendaftaran sebesar tiga ratus ribu rupiah dengan tujuan agar si orang dapat benar-benar
insyaf karena sayang sudah mengorbankan uang yang cukup besar untuk mengikutinya.
Padahal seorang AA Gym yang berpenampilan sederhana tidak berdasi dan tidak berjas
dengan peralatan dakwah hanya menggunakan pengeras suara biasa tidak memerlukan alat
bantu sound system dan video rekayasa sekalipun beliau mampu menghantarkan jemaat
dakwahnya pada linangan air mata taubat. Sementara ESQ? Mungkin menurut hematku tidak
jauh beda dengan liberal tidaklah mencerminkan simbolik kesederhanaan Islam yang
diajarkan Nabi Muhammad. Liberal lebih tampak jelas tinjauannya pada keduniawian.
Liberal cermin dari kemewahannya orang Islam. Diperuntukkan hanya buat para hartawan
belaka. Apa mungkin seorang miskin bisa ikut menerima ceramah multivisinya? Apalagi
dalam persatuan busana baru orang berdasi. Mimpi rasanya. Jauh kiranya dari struktur
kesahajaannya Islam. Diseragamkannya mukena sebagai busana sembahyang bagi kaum
hawa juga justru demi menyamakan penilaian lahiriyah dari status sosial masyarakat yang
berbeda. Juga demi menghindari terjadinya rasa minder bagi yang miskin dan perbuatan riya
bagi si kaya. Ini malah perempuan liberalis sekarang tampak bebas berpakaian saat
menghadap Tuhannya. Meskipun memang tidak ada batasan larangannya, tapi sungguh
sangat berbentrokannya dengan budaya Islam miskin di perkampungan. ESQ tak lebih adalah
siraman ruhani bagi kaum moderat. Bentang pemisah umat Islam melarat dengan para
konglomerat. Tapi memang sih, perlu dana lumayan besar juga untuk sekali kegiatan ESQ
saja. Tak salah. ESQ bagus. Karena orang-orang yang tolol dan goblog yang tidak mengenal
Tuhannya kebanyakan adalah orang-orang kaya dan kaum bangsawan. Jadi orang-orang fakir
miskin tidak usah repot-repot buat kerja keras cari duit untuk ikutan ESQ, karena sasaran
ESQ hanyalah orang-orang kapitalis yang mulai atheistic,” umpat Muslim mengkritik sengit.
“Kamu bercakap banyak dengan ibuku?” tanya Muslim kemudian.
“Ngobrol ringan saja.”
“Apa Fitrea tidak mengadu perihal permainan sexku dengan Elqo?”
“Dia tidak banyak bicara. Tampaknya mumet banget. Makannya juga sedikit. Oh ya,
kamu makan dulu sana. Entar gak bersemangat lagi waktu intim,” Christian mengingatkan.
“Kamu udah berasa kenyang?”
“Mana bisa tenang makannya juga inget sama kamu terus. Aku gelisah gak enak sama
kamu. Kan orang yang saling mencintai mestinya selalu bersama dalam suka dan dukanya.”
“Kamu makan lagi barengi aku ya,” ajak Muslim menarik lengan Christian agar
mengikutinya. Keduanyapun keluar kamar berjalan bergandengan begitu mesranya hingga
tak terlepas meski menuruni tangga sekalipun.
“Kamu pengen makan sama apa?” tawar Muslim sesampainya di ruang makan.
“Tak ada sesuatu yang lebih kan selain dari menu yang tadi dihidangkan?”
“Kalo kamu pengen biar aku beli dulu keluar sana.”
“Gak usah ngerepotin lah. Lagipula makanku juga paling dikit tinggal ngenyangin
doang.”
“Maksudku sekalian beli minuman kesukaanmu.”
“Kamu perhatian banget sih.”
“Aku mesti ngerti juga apa kebiasaanmu.”
“Tapi sebagai kekasihmu aku mestinya ngertiin kebiasaanmu juga. Mungkin lebih
baik aku berhenti minum demi menyelaraskan kebiasaan kita.”
“Itu pendapat yang bagus. Tapi siapa bilang aku tidak doyan minum. Setiap kali
kencanku dengan Elqo sudah barang tentu minuman keras adalah sajian wajib diantara kami.
Elqo orangnya nyenengin banget. Bahkan tak tanggung-tanggung ia membelikan minuman
termahal di setiap pesta dansa,” cerita Muslim membuat kemuraman di wajah Christian.
“Kenapa?” Tanya Muslim heran.
Christian sejenak menarik nafasnya. “Aku cemburu!”
“Lho, denger gitu aja udah cemburu.”
“Apa kamu dengan Elqo masih hubungan?”
“Emangnya kenapa?”
“Enggak. Mungkin aku perlu berjuang lebih keras lagi untuk sepenuhnya dapat
memenangkan hatimu.”
“Justru itu tentang apa yang pernah aku bilang. Kamu jangan terlalu berlebih-lebihan
mencintai aku, karena aku belum tentu bisa setia dan membahagiakanmu.”
Christian terdiam. Muslim telah siap dengan hidangan makannya. Lalu ia duduk di
kursi samping Christian.
“Kenapa? Kamu marah padaku?” Tanya Muslim lembut sambil menatap wajah
Christian yang dingin tak bersinar.
“Aku sadar. Tapi aku harus berani menanggung resikonya. Aku akan terus berjuang
demi mendapatkan cintamu seutuhnya,” bisik Christian mantap.
“Christ!” Muslim menggenggam jari-jemari tangan Christian dengan halus.
“Bukannya aku tidak percaya pada ketulusan cintamu padaku. Bukannya aku tidak
menghargai semua apa yang telah kau janjikan. Aku sangat kagum dan tersanjung atas betapa
besarnya harapan cintamu untukku. Tapi aku sangat memohon pengertianmu. Tidak semudah
itu untukku bisa meninggalkan Elqo. Sebagai pecinta sejati, tak baik berlaku sebagai
pengkhianat terhadap kekasihnya. Sekarang terserah pilihanmu. Untuk saat ini,
bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa terlepas dari Elqo. Meski antara aku dan dia
belum pernah terucap kata saling mencintai. Tapi kebiasaan kami sudah lebih romantisnya
dari cerminan apa yang dinamakan cinta.”
“Aku tidak perduli kamu masih saling mencintai apa tidak. Tapi aku akan tetap
bertahan untuk menjadi kekasihmu sampai kapanpun. Aku akan tetap berusaha keras menjadi
kekasih pilihanmu. Karena aku sangat terlalu mencintaimu. Sangat!” Christian meremas
genggaman jemari Muslim. Lalu diciumnya perlahan penuh kelembutan irama cinta.
“I love you so much. Cintaku padamu tak ada batasan waktunya. Always, I want you
beside me,” suara Christian bergeletar dengan tatapan yang sayu penuh pengharapan.
Muslim tidak kuasa lama-lama beradu dengan tatapan seorang penghamba cinta itu.
Hatinya tersentuh. Nuraninya gemuruh. Bergejolak laksana mendidihnya kawah asmara di
puncak gunung Pangrango.
“Kita makan,” Muslim melepaskan genggamannya. Jemarinya beralih pada sendok di
atas piring yang sudah penuh dengan sajian lezat.
“A’!” Muslim menyuapi Christian.
Sejenak Christian menatap Muslim. Lalu iapun menyantapnya.
“Biar aku yang menyuapimu,” Christian merebut sendok di tangan Muslim.
Kemudian ia segera menyuapi Muslim. Keduanya begitu mesra dan romantis. Laksana
sepasang sejoli yang lagi kasmaran dimabok cinta.
“Ada telepon,” ujar Muslim meracungkan telinganya ke ruang tengah.
“Angkat dulu sana,” suruh Christian solider.
“Maaf ya. Aku tinggal dulu,” Muslim lekas beranjak meningglkan ruang makan
dimana Christian harus sabar sebentar menungguinya.
“Elqo!?” Muslim seakan kurang percaya dengan siapa yang menghubunginya.
“Iya. Kok rumahnya nampak sepi? Security kemana?” Elqo terdengar heran.
“Kamu di depan gerbang halaman rumahku?”
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa tidak menghubungi nomor ponselku?” Muslim berjalan menuju jendela.
Lalu ia menyibakkan gardennya dan melihat keluar.
“Udah beberapa kali nyampe kesel. Tapi kenapa gak diangkat? Kemarin juga kenapa
nomormu gak aktif-aktif? Makanya sekarang aku datang buat mengetahui keberadaanmu.
Aku merasa cemas sekali,” cerita Elqo.
“O, sory-sory. HPku tidak ku pegang. Ketinggalan di kamar. Tunggu dulu bentar ya,
aku bukain gerbangnya,” Muslim menaruh kembali gagang telepon. Lalu secepatnya keluar
rumah setengah lari-lari menuju gerbang. Di balik gerbang diluar sana sebuah thunder
terhenti dalam tunggangan sesosok lelaki berhelm. Muslim berseri-seri membukakan kunci
gerbang menyambut kedatangan tamunya itu. Setelah Elqo dengan thundernya masuk
melewati pintu gerbang, Muslim kembali menutup dan menguncinya. Kemudian iapun
nunggang di jok belakang serta melaju perlahan menuju rumah.
Christian tertegun berdiri di ambang pintu. Dipandangnya Muslim yang turun dari
motor itu dengan api cemburu yang membakar jiwanya. Apalagi, lihat! Si ganteng cowok
keren yang baru memarkir thundernya itu memberikan setangkai mawar biru kepada Muslim.
Lalu mereka berciuman pipi. Hah … betapa berkobarnya bara itu menghanguskan perasaan
Christian! Api amarah dan bara cinta menyala dalam tungku yang sama. Apakah kuali akan
menghidangkan sajian menu yang berselera? Tidak! Selain dari resultnya makanan beracun
yang mematikan.
“Hai, Christ!” Muslim sedikit terkejut juga menemukan Christian disitu.
“Kenalkan, inilah yang namanya Elqo,” kenal Muslim.
“Christian,” ujar Christian menyambut uluran tangan Elqo dengan sedikit senyum
yang dipaksakan.
“Fitreanya ada?” Tanya Elqo.
“Keluar bareng keluarga. Nanti tengah malam mungkin pada pulangnya. Eh, mau
minum apa?”
“Biasa kopi ginseng. Kalo gak mau minum sekarang.”
“Emangnya kamu bawa?” Muslim memandang Elqo. Cowok keren berpenampilan
rapi berjaket itu.
“Jangan ditanya,” Elqo tersenyum sambil duduk di sofa serta menaruh serangkai
bunga tulip yang dibawanya di atas meja.
“Christ! Temenin Elqo ngobrol. Aku ambilkan minum dulu,” Muslim bergegas ke
dapur.
Setelah Christian duduk berhadapan dengan Elqo dengan tetap mengusung raut muka
yang sangat tidak mood sekali. Elqo pun segera mengajak Christian berbicara.
“Kamu temannya Muslim?”
“Lebih dari itu,” jawab Christian sangat memaksakan diri.
“Saudaranya?”
“Pacarnya,” tandas Christian jelas.
“Masa sih? Emangnya sejak lama kalian sudah saling mengenal? Kok aku gak tahu.
Muslim pun yang biasanya terus terang tidak pernah cerita tentangmu sebelumnya.”
“Mungkin karena dia tidak ingin melukai perasaanmu.”
“O, ya. Ku rasa Muslim bukan tipe orang yang suka menutup perasaannya jika
berhadapan denganku. Dia terbuka sekali tentang permasalahan yang dialaminya.”
“Hati orang siapa tahu. Mungkin saja Muslim ingin membalas rasa sakit hati karena
ketidaksetiaanmu yang selalu saja masih suka berkeliaran mencari mangsa. Apa tidak
menutup kemungkinan seorang Muslim merasa tidak dihargai perasaannya olehmu atas
kesetiaannya terhadapmu tetapi kamu tidak pernah mau mengerti untuk mengikrarkan kata
cinta sebagai pemersatu hubungan intimmu dengannya?”
Elqo memandang Christian dengan tatapan egonya yang mulai meninggi. “Kamu
jangan coba memicu perselisihan antara aku dengannya. Aku dengan Muslim telah terikat
janji, bahwa permainan sexku diluar kencan dengannya itu semata hanya buat mencari nafkah
hidup saja. Bukan demi memuaskan hasrat sex dan senang-senang. Tapi buat biaya hidup
kami berdua. Karena setidaknya aku ikut membiayai dana operasional hidup Muslim sehari-
hari.”
“Sekarang kamu tidak akan bisa keluar masuk bebas rumah ini lagi. Karena Fitrea
sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya antara kamu dengan Muslim,” ungkap Christian.
“Yang bener aja!” Elqo seakan tidak percaya.
“Apaan?” Tanya Muslim yang muncul dengan nampan berisi tiga cangkir kopi
ginseng panas.
“Fitrea sudah nonton rekaman video sex kalian,” seru Christian.
“Heeh, aku mau minta maaf banget El,” Muslim memohon pengertian Elqo.
“Ya, lebih bagusnya gitu lah,” sahut Elqo tidak menampakan raut kekecewaannya.
“Bagus apanya?” malah Christian yang nampaknya jadi tidak senang akan sikap Elqo.
“Daripada hubungan kita terus-terusan ditutupi kebohongan. Dari dulu juga aku
inginnya terbuka. Ngomong baik-baik sama keluargamu. Aku selalu merasa bersalah sekali
jika setiap kali berhadapan dengan Fitrea. Aku tidak tega ia berlama-lama jadi korban
kemunafikanku. Makanya aku selalu mencoba mencari jalan terbaik buat ngomongin
permasalahan ini. Tapi sekarang, syukurlah tak perlu repot lagi aku berfikir menemukan
solusi tepat buat terus terang seandainya Fitrea sudah tahu dengan sendirinya tentang siapa
aku yang sebenarnya,” tanggap Elqo mensyukurinya.
“Minum dulu kopinya,” Muslim duduk disamping Elqo.
“Thanks ya!” Elqo mengecup pipi Muslim dengan hangat sambil seraya meraih
secangkir kopi dari atas meja. Lalu ia mereguknya beberapa teguk. Setelah kemudian ia
kembali menaruhnya.
“Pas banget. Nikmat!” Elqo mengailkan sebelah tangannya ke bahu Muslim membuat
Christian kian panas membara terbakar kobaran api cemburu yang meluap-luap.
“Sudah makan?” Tanya Muslim.
“Sebelum kesini barusan di jalan,” jawab Elqo.
“Kamu lapar?” lanjut Elqo.
“Enggak juga. Baru saja usai sama Christian disaat kamu menghubungi.”
“Hubungan kita sekarang gimana?” Elqo kembali pada persoalan sebelumnya.
“Gimana apanya?” Muslim seolah-olah tidak paham.
“Sekarang Fitrea kan sudah tahu siapa aku. Juga tentunya mungkin mengecam antara
aku denganmu. Jadi sebaiknya kita harus gimana? Aku kira kamu tidak akan sampai
keterlanjuran menjadi gay mengingat omonganmu waktu itu pernah serius mau break dari
permainan sex denganku. Padahal tidak keberatan bagiku kalo kamu sampai nikah juga sama
perempuan. Itu kan lebih baik. Kamu akan dipandang normal oleh masyarakat. Aku siap
membantu supaya kamu bisa belajar untuk mencintai perempuan. Aku punya klien-klien
cantik dan binal yang mungkin bisa menggairahkan berahi sexmu. Kamu bisa belajar
berhubungan sex dengan mereka. Aku jamin tidak akan mengecewakan. Apalagi ini tidak
membutuhkan biaya kursus. Mereka pekerja sex relawan yang siap membantumu untuk
terbiasa melakukan sex sebatas kenormalan kejantanannya seorang laki-laki,” kilah Elqo
begitu bijak dengan sarannya yang membangun keyakinan di hati seorang Muslim. Dan
mungkin juga didengar jelas oleh sesosok ganteng Christian yang menanggapinya hanya
dengan kemengkalan perasaannya.
“Percuma El. Selama aku bisa melihatmu, selama itu pula perasaan kasih dan
sayangku padamu terus berbunga. Sebagaimana yang kamu ketahui tentang perjalanan
sejarah sexku, dulu aku pernah mencoba untuk belajar mencintai perempuan. Tapi bukankah
dirimu sendiri yang sengaja menjatuhkan rasa percayaku pada cintanya perempuan?”
“Benarkah? Kapan?” Elqo merasa terkejut dan heran mendengar penuturan Muslim
yang menyudutkan kesalahan padanya.
“Sewaktu aku masih di SMA dulu. Mungkin kamu sudah tidak mengingatnya lagi.
Waktu malam konser sebuah band di alun-alun. Kita memang tidak saling mengenal. Dan
akupun kiranya tidak akan pernah mengenalmu seandainya Vegina tidak curhat terhadapku.”
“Vegina!?” Elqo melongo.
“Iya. Waktu itu aku lagi pacaran dengannya. Aku mencoba berlaga jadi cowok
normal. Tapi sayangnya kendati berat di hati, kecambah tumbuh di jantung. Jamur luka
bertengger di upuk otak. Kepercayaanku terhadap wanita hilang sirna di malam itu. Monee
pacarku yang lain ternyata selingkuh dengan teman sekolahku sendiri. Vegina yang sangat
perhatian itu ternyata dia tak lebih dari seorang pelacur. Wanita malam yang juga terjerumus
karena perkenalannya denganmu. Vegina adalah teman nongkrong sepropesimu. Hingga
malam itu ia sengaja menelponmu buat menghajarku karena sikap kecewanya padaku yang
tidak bersedia bermain sex dengannya. Kamu kan yang memukulku hingga pingsan di malam
itu? Kamu juga yang membawa serta mobilku diparkir ditempat sunyi. Elqo yang kejam dan
tak punya hati. Elqo yang sok gagah dan pemberani. Tapi mungkin saat itu kamu memang
tidak mengerti…” Muslim memutar kembali masa lalunya. Sepertinya peristiwa itu tidaklah
kan pudar terekam jelas di sanubarinya.
Elqo menatap Muslim tidak berkedip. Ada sebongkah perasaan yang bergelut di
hatinya. Ada sesuatu yang melonjak dalam jiwanya hingga menekan-nekan sesak di
jantungnya.
“Apa yang bisa kamu pertanggungjawabkan sekarang atas tindak bodohmu itu?”
Christian ikut memicu kempisnya kebijakan paham Elqo.
“Kenapa kamu tidak bilang sedari dulu?” Elqo mempertentangkan.
“Ku kira Vegina cerita soal ini.”
“Dia tidak pernah cerita apapun tentangmu soal ini.”
“Lalu bagaimana mulanya kamu tiba-tiba hadir dalam pergaulanku?”
“Vegina memang yang memperkenalkan kamu padaku. Tapi kenapa kamu mau-
maunya ikut pergaulanku?”
“Awalnya aku tidak menyangka kalau Elqo yang ku kenal adalah Elqo yang telah
meruntuhkan harga diriku sebagai lelaki. Tapi setelah aku mengenal nama Vegina dari
mulutmu. Aku baru menyadari bahwa dirimu adalah Elqo yang liar itu. Bukannya kebencian
yang tumbuh saat aku tersadar dari semuanya, melainkan rasa simfati dan jatuh hati yang
langsung merasuki pikiranku. Aku merasa bangga bergaul dengan seorang gigolo. Apalagi
orangnya sangat pengertian. Selalu bersikap romantis dan perhatian. Membuatku selalu
merindukanmu. Merindukan jalan-jalan denganmu. Yang membuat perasaanku selalu
bergetar dan melambung tinggi. Aku terpesona padamu. Dan selalu terpesona. Entah sampai
kapan. Aku selalu terlena. Selalu tersiksa. Aku merasakan siksa cinta yang sangat mendalam
padamu. Dalam sekali. Siksa yang harus menuntut pengertian dan kesadaranku sendiri,
bahwa dirimu bukanlah seorang homosex melainkan seorang bisex yang ada kecenderungan
kamu suatu waktu akan mempersunting seorang perempuan untuk menjadi pemuas sex akhir
perjalanan hidupmu dan meninggalkan kehidupanku tanpa sebilurpun bekas hasrat di
kelaminmu saat-saat bersamaku …” tutur Muslim lirih penuh duka.
Elqo menghempaskan nafasnya sesak. Seolah ada beban berat yang menumbuk paru-
parunya. Dan terdengar berat-berat juga ia bicara,
“Dulu ku dengar senandung cinta dan janji-janji seorang gay senior sempat
membuatku muak dan membencinya. Tapi sekarang, aku baru memahami tentang perasaan
cinta itu yang sesungguhnya. Mungkin petualangan sexmu sebagai seorang homo sangat jauh
berbanding perbedaannya dengan pengalaman sexku. Dalam kurun waktu sepuluh tahun ini
terhitung semenjak aku kelas dua SMA, jumlah hari-hariku yang bebas sex tidak mungkin
terkumpul sampai satu tahun. Tapi mengapa, hanya baru pertama kali ini aku merasakan
batinku sangat bergetar hebat. Nuraniku merasa tersentuh mendengar semua apa yang
terlontar dari hatimu. Mungkinkah aku juga merasakan getar yang sama seperti apa yang
bersenandung diperasaanmu? Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri saat ini. Yang
mungkin ku mengerti hanyalah aku harus memahami tentang apakah artinya cinta itu…”
Elqo menatap bola mata Muslim sebening riak embun di hatinya.
“Aku tidak menuntutmu untuk mencintaiku. Aku sangat menghormati keputusanmu.
Dan lagi mungkin tindakanmu itu lebih baik dari kenistaanku. Kamu jangan sampai terjebak
dengan intuisi yang membisikan sifat kemanusiawianmu. Cinta, kasih dan sayang sudah
memiliki alur jejaknya tersendiri. Seperti halnya kita dilahirkan yang pada dasarnya adalah
hanya untuk dimatikan. Proses hidup yang kita tempuh adalah tujuan satu-satunya untuk
mati. Layaknya cinta, kehidupanpun tujuannya sama yaitu kebahagiaan. Untuk
memperjuangkan agar berhasil hidup bahagia, cintapun bergerak sama mencari jati dirinya
yang sudah terukir pada kepribadiannya yang terwujud berkat sosialisasi dengan
lingkungannya. Dengan mudah raga yang masih putih dan bersih menyerap berbagai warna
ruh kehidupan. Hingga ruh-ruh itu bersatu menjadi kekuatan baru dalam jiwa. Dan sudah
barang tentu, sesuatu yang dominan menunjukan rangsangan pada kesenangan dan
kenikmatan cenderung lebih mengelabui watak dan sifat. Hingga tidak heran, jika filterisasi
kebahagiaan yang sedari dini sudah menguasai akal dan nafsu kita maka kita akan
menyuarakan hal yang membahagiakan itu berdasar dari keyakinan dan naluri yang tercipta
atas kehendak Tuhan. Lurus dan menyimpangnya akhlak kita sekarang tidak lain adalah hasil
dari makanan apa yang diberikan pada ternak semenjak dininya. Pur dan bungkil tentulah
menghasilkan ternak ayam yang beda setelah dewasanya. Pemahaman apa yang kita serap
semenjak kecil kita? Berkembang di lingkungan bagaimana masa puber kita? Didikan apa
yang banyak nyangkut di ruhani kita? Semisal aku, walaupun masa kecilku tumbuh dan
berkembang di lingkungan pesantren dan orang-orang berilmu agama, jika ruhaniku tidak
pernah tersentuh pemahaman tentang sex bagaimana mungkin aku menolak kenikmatan sex
yang ditawarkan seorang santri dewasa dan bagaimana pula aku merasakan bahwa tindakan
sodomi itu terlarang mengingat semua perbuatan itu belum pernah aku dengar peraturan dan
hukumnya. Lalu setelah aku ketagihan kenikmatan bermain sex sesama lelaki, apakah ajaran
agama sanggup dengan mudahnya begitu saja meruntuhkan tatanan yang telah kuat
menguasai setiap sel di tubuhku. Sesuatu yang telah mendarah daging, ku rasa bermimpi
jikalah ia berharap membersihkannya sesuci kelahiran. Aku sudah berusaha keras
membersihkan sifat kehomoanku. Tapi setinggi UINpun tingkatan ilmunya tidaklah sanggup
mencuci bersih kadar sifat yang telah melekat di jiwaku. Sudah tak mempan dengan cara
apapun juga untukku menjadi seorang lelaki yang normal yang 100% bisa mencintai
perempuan. Bibirku masih bisa ku paksakan menentang dan bicara lantang homosexsual itu
haram. Tapi dibalik fatwa yang terlontar, di sanubariku tetaplah jelas tersirat kalau aku
munafik! Dengan mudah aku menyuarakan sabda-sabda kebenaran yang sesuai titah Tuhan,
tapi hatiku tercabik sendiri kenapa aku tidak bisa menyuarakan kebenaran yang bertahta di
jiwaku?
Sekarang aku tidak tahu apa yang semestinya aku pilih. Karena bagiku mustahil
apabila harus mendustakan tingginya derajat ke Maha Benaran Tuhan. Apapun yang telah Ia
firmankan lewat Rasul dan kitab-Nya bukanlah titah yang menyesatkan. Hanya saja imanku
lemah dibangunkan pondasi pada latar yang salah. Dan sudah tidak sepantasnya lagi aku
menyiksa diriku sendiri dengan selimut kemunafikan. Karena Tuhan pun mengutuk orang-
orang yang munafik. Maka dari sekarang aku akan jujur, aku tidak ingin menjadi pengkhianat
lagi. Aku akan mendeklarasikan kehomoanku agar tidak ada lagi orang yang merasa tertipu
dengan penampilanku. Untuk apa aku menyembunyikan identitas jati diri kepribadianku, jika
Tuhan sudah tahu dengan sendirinya. Bagiku haram tetaplah haram. Aku tidak akan
mengklarifikasi firman Tuhan yang telah melarang hubungan homoseksual. Karena
menurutku Tuhan itu Maha Yakin tidak pernah bersifat plin-plan. Tuhan itu Maha Tahu, jadi
mustahil Dia salah memberikan hukuman. Sementara itu aku pun akan mencoba bertahan
hidup. Aku akan berjuang mempertahankan kehidupanku sebelum datangnya maut yang telah
dipastikan. Tentunya motivator yang sangat kuat mendominasi faktor mobilisator kehidupan
manusia adalah sex. Seorang suami yang baik sekalipun tergerak untuk mempertahankan
hidupnya hanya karena dorongan sex yang dimotori dengan rasa cinta. Sejauh mana ia
merantau, ia akan kembali menemui istrinya di kampung halaman demi tersalurkannya hasrat
sexnya. Mencari nafkah, kerja keras, banting tulang tak lain ujungnya seorang suami yang
baik adalah istrinya. Seorang remaja adalah harapan tersenyumnya seorang kekasih. Bahkan
lebih diharapkan kekasihnya setia hingga ia mempersuntingnya. Bukankah harapan pusat dari
kehidupan ini adalah sex? Lalu bagaimana aku akan bertahan hidup seandainya hasrat sexku
tidak tersalurkan? Jikapun aku harus menikah dengan perempuan, apakah itu tidak akan lebih
hina dan menambah pasokan nilai dosa? Sebab dipaksa diperadukannya penisku dengan
vagina tidaklah mungkin sanggup membangkitkan gairah sexku. Oleh sebab itu,
pernikahanku hanyalah akan menjadi ladang dosa semata karena aku tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan batin istriku. Aku tidak akan sanggup melakukan kewajibanku sebagai
seorang suami.
Dengan demikian alangkah lebih terhormatnya aku membuka mata semua orang
tentang siapa aku. Terserah mereka mau mempergunjingkan aku, menghina dan mencaci
maki sampai dibatas kepuasan mereka. Karena dalam pandanganku, aku telah berpihak pada
keyakinan dan kebenaranku untuk bisa hidup. Sebagaimana agama yang menuntut sebuah
keyakinan para pemeluknya dalam iman pada Tuhannya. Karena sesuatu perbuatan yang
berazas keyakinan akan mencerminkan perilaku yang optimal dan percaya diri.
Aku sudah tidak punya keputusan lain. Aku terlanjur mencintai laki-laki dan banyak
mendapatkan kenikmatan hubungan sex dengannya. Aku kira sifatku tidak mungkin lagi
berubah. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa pilihanku ini memang salah. Aku mengakui sifat
sexku menyimpang dari tekstur psikologis dan aqidah. Tapi jika rasa ini memang lebih
nyaman dan lebih mendamaikan perasaan hati dan pikiran, kenapa aku mesti berusaha keras
untuk membantahnya?
Sekarang keputusan kalian ada di tangan kalian sendiri. Soal Christian aku sudah
banyak mengerti. Mungkin boleh dibilang sebagai kembaranku. Tapi kamu El, selagi kamu
bisa berhasrat dan punya nafsu bercinta dengan perempuan, alangkah lebih baiknya kamu
menjalani hidup normal. Kamu akhiri petualangan sexmu. Ku rasa sudah cukup umur dan
materi untukmu hidup berumah tangga. Seberat dan sebesar apapun perasaan cintaku
padamu, akan sangat tololnya jika aku menjadi hambatan untukmu mengenal hakmu dalam
keadilan Tuhan. Aku rela jika kamu akhirnya menikah daripada kita berlama-lama
menggantungkan hubungan yang tidak jelas kemana arahnya…” setelah panjang lebar
menyerukan suara nuraninya Muslim pun akhirnya menyerahkan sebuah keputusan yang
sekiranya menjadi pilihan terbaik buat masa depan hidup mereka.
“… Iya. Sebaiknya kamu segera menikah saja,” dengan nada suaranya yang lembut
Christian menyetujui pendapat Muslim.
Betapa mengharubirunya perasaan Elqo saat ini. Ada cinta dan harapan juga Tuhan
dan agama, yang membuat pikirannya kini sangat kritis dalam dilemma. Akal dan nafsunya
berkecamuk dalam perang keyakinan di hatinya. Mungkinkah nuraninya akan bicara setelah
sekian lama hidupnya bergerilya dalam nafsu? Masih adakah tersisa puing-puing nurani di
palung jiwanya yang telah membeku? Elqo, siapa yang mengenal latar belakang
kelahirannya?
“Jadi kamu tetap akan mengambil keputusan untuk menjadi gay sepanjang hidupmu?”
akhirnya Elqo bicara juga yang masih mempertanyakan keputusan yakinnya Muslim.
“Kamu masih meragukan pilihan hidupnya?” Christian menimpali.
“Takutnya keputusanmu itu dipengaruhi oleh ide picik anak Kristus ini,” kilah Elqo
membuat merah paras Christian.
“Justru kamu jangan terus memaksa memasukan paham-paham kebenaranmu dalam
otak Muslim. Dia sudah jelas tahu dan paham serta mengakui bahwa gay itu tidak normal dan
haram. Tapi kenapa kamu malah terus meracuni pikirannya? Atau tujuanmu supaya Muslim
itu gila?” Christian sangat sewot.
“Hai keturunan Israel. Siapa yang tidak kenal kepicikan bangsa lo? Dari dulu Nasrani
tidak pernah menghargai dan menghormati keberadaan agama Islam. Elo selalu menjadi
biang kerok permusuhan umat kami. Elo selalu mengadu domba antar kami. Dan harap elo
tahu, gue tahu siapa lo. Misi elo ngedeketin Muslim adalah guna makin memporak-
porandakan utuhnya keyakinan berketuhanan dengan misi homoisme yang elo emban dari
misionaris Liberal Christiani. Elo adalah bintang video porno homo. Elo juga kan yang selalu
bilang dalam setiap adegan sex lo bahwa Tuhan Bapak lo dengan Tuhan Anak suka
melakukannya di syurga nan damai? Jangan mimpi elo bisa menghancurkan harga diri teman
seiman gue agar tersesat dalam perangkap misi Kristenisasi lo!”
“Elo pikir elo tahu apa tentang gue heh?” Christian bangkit menarik jaket bagian
depan Elqo dengan kasar.
“Elo jangan nambah runyam suasana. Denger ya, gue dengan Muslim kenal dengan
baik-baik. Gue dengannya berhubungan dengan baik-baik. Keluarganya menyambut
kehadiran gue dengan baik-baik. Apa urusannya dengan lo yang malah nimbulin keributan,
goblog?” Christian mendorong keras tubuh Elqo hingga hampir-hampir sofa tempat
duduknya terjungkir.
Elqo merah padam. Nafsunya melonjak cepat menguasai emosinya hingga ia lekas
bangkit mendekati Christian yang masih berdiri dengan amarahnya yang meledak.
“Syaitan lo ya. Masih juga mengelak dan memperbaiki nama baik,” Elqo memukul
muka Christian dengan berang.         
Christian melenguh kesakitan. Tapi Elqo malah kembali menambah pukulannya kian
hebat saja.
“Stop!” seru Muslim kencang.
“Ingat! Bisa-bisa gue membunuh lo!” bentak Elqo menarik tubuh Christian hingga
tersungkur ke meja dan tak pelak lagi segala apa yang ada di atas meja jadi berserakan pada
berjatuhan ke karpet. Termasuk pas bunga dan tiga cangkir kopi yang langsung pecah
berhamburan mengotori lantai.   
Mereka terdiam sesaat terpana menyaksikan keadaan itu. Sementara Christian
berusaha kembali duduk. Elqo dilanda perasaan bersalah. Muslim pun tidak memberikan
komentar apa-apa. Hanya katanya,
“Disini bukan tempat yang tepat buat kalian berdebat dan adu kekuatan. Jadi kalian
yang mesti menanggung jawab resiko atas akibat yang kalian perbuat,” Muslim seraya
berlalu meninggalkan keduanya menuju lantai atas. Tak lama iapun kembali dengan
mengenakan sweater abu-abunya menuju mereka.
“Kemana?” Tanya Elqo segera.
“Pengen ngefresh pikiran,” sahut Muslim dingin serta bergegas menuju keluar rumah.
“Tunggu!” panggil Elqo.
“Elo harus rapiin dulu berantakannya karena ulah elo,” Christian menarik jaket
belakang Elqo.
“Elo pengen gue hajar lagi ya?” Elqo berbalik siap melayangkan lagi tonjokannya.
Tapi Christian segera mengelak dengan gesit serta menangkapnya.
“Kita beresin dulu tempat ini bersama. Baru nanti kita pergi menyusul Muslim,”
Christian memohon kebijakan Elqo.
Setelah sejenak berpikir, akhirnya Elqo pun tergerak untuk bertindak keadilan.
Keduanya serba gesit memunguti pecahan gelas serta menyapunya dan mengepel lantai yang
kotor terkena tumpahan kopi.
“Karpetnya masih basah,” ujar Christian.
“Biarin lah. Yang penting tidak begitu berbekas. Jika lo pengen ngeringin, keringin
aja sendiri,” sahut Elqo segera beranjak pergi.
Begitu juga dengan Christian lekas mengejar Elqo keluar. Disana, tampak jauh
didepan gerbang sedan abu-abu terhenti dimana Muslim sedang membuka kunci gerbang.
Lalu Muslim kembali memasuki lagi mobilnya serta meluncur menembus malam. Elqo dan
Christian pun tak tinggal diam secepat kilat keduanya memburu kendaraannya. Elqo yang
lebih cepat seraya menggaurkan thundernya meluncur keluar meninggalkan pekarangan.
Disusul Christian dibelakangnya dengan Pigeout 506 nya.
 
7   ‘perang;
 
berjuang untuk menang’
 
Suasana tengah malam di belahan kota Jakarta yang tak jua lengang dari
gaduhnya hiruk-pikuk manusia. Meskipun tidak sepadat siang hari, jalan raya yang
menjadi cermin kepribadian sebuah kota besar padat penduduk berkendaraan ini masih saja
menampakan kesombongannya. Perlukah ditanggapi sikap ketakaburannya yang
menyuarakan kepongahannya dengan lantang, ‘waktu adalah uang!’? Seakan uang adalah
Tuhan. Tiada satupun gerak selain demi uang. Waktu tak pernah memberi celah luang untuk
sejenak diam. Seluruh waktunya adalah kesempatan. Lengah sedetik adalah kerugian. Dan,
adakah faktor ketidaksengajaan Tuhan menciptakan matahari dan bulan agar berputar?
Hingga alam mentasbihkan hukum kesempurnaan dengan bergulirnya pergantian siang dan
malam. Masih kurangkah 12 jam perhari untuk memeras otak dan keringat?  Bukankah; ‘…
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari guna
usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya? …’ (Ar-Rum 23). Ataukah memang kita ini
selayaknya adalah Tuhan yang tak pernah kenal lelah menggerakkan serta mengawasi
ciptaan-Nya?
Sedan abu-abu yang dikendarai Muslim itu terus meluncur menembus misteri dunia
malam kota Jakarta. Thunder Elqo tak jauh membuntutinya dalam kecepatan tinggi mengekor
kecepatan Muslim. Christian kian terpanas-panasi dengan isyarat-isyarat ejekan Elqo yang
ditujukan padanya. Elqo sengaja sekali terus menghalang-halangi mobil Christian yang
hendak menyiapnya. Bahkan Elqo sengaja memperlambat laju motornya sambil terus
merintangi Christian yang kian membludak saja nafsunya saking terlalu keseringannya ia
harus mendadak ngerem. Elqo sungguh menjadi sosok makhluk paling menggeramkan bagi
Christian yang tak henti-hentinya terus mempermainkannya. Saking kesal dan pusingnya
Christian pun menekan tombol klakson mobilnya membuyarkan suasana malam yang kian
memanas membakar jiwanya. Lihat, Elqo mendadak memutar kendali arah motornya
mendengar klakson yang dibunyikan Christian begitu lama menghingar-bingar. Ckittt! Elqo
mengerem motornya pas di moncong mobil Christian yang juga dengan kaget spontan
mengeremnya.
“Wei, syaitan lo ya. Mau mampus apa!?” hardik Christian nongol di pintu mobil.
“Elo yang syaitan! Jaga hak orang lain untuk istirahat dengan tenang, dong. Dasar
keparat lo!” timpal Elqo tak kalah sengit.
“Elo yang mesti ngaca bego. Elo sudah terlalu keterlaluan jadi manusia biadab di
negeri ini,” balas Christian penuh emosi.
“Jika elo seorang gantelman. Hadapi gue dengan sifat kejantanan lo!” tantang Elqo
berlaga seorang hero.
“Elo pikir gue takut apa?” Christian segera turun dari mobilnya segera menghadap
panggilan perang.
“Ayo turun lo syaitan. Lawan gue yang lo anggap bermental tempe. Lo kira seorang
gay tidak punya kekuatan! Buktikan kalo elo emang seorang pejantan!” sesumbar Christian
begitu lantang sambil menerjang thunder yang masih ditunggangi Elqo hingga oleng hampir-
hampir tumbang kalau Elqo tidak segera menahannya.
“Elo bener-bener serius ngajak adu kekuatan ya,” Elqo dengan geram langsung
menyerang Christian yang sudah siap siaga.
Akhirnya keduanyapun bergelut di pinggiran jalan di ujung malam itu. Di bawah
remang-remang sinar lampu jalan Elqo dan Christian saling serang dan mengerang. Hiuk,
jbettt! Hgk! Sesekali terdengar mereka teriak saling mengumpat. Tak jarang terdengar
rintihan sakit disertai engahan nafasnya yang ngos-ngosan dalam gelora nafsunya yang pada
membara.
Hingga pada akhirnya Christian tampak kewalahan menghadapi keliarannya serangan
Elqo yang sangat ganas dan sadis. Christian pun terhuyung dan amruk ke aspal. Christian
sudah tidak berdaya. Dalam pandangannya yang samar Elqo menghampirinya kian dekat.
Dibatas kekuatannya itu ia menggulirkan tubuhnya ke arah mobilnya. Sudah tidak ia rasa
betapa sakit dan perih meranjami organ tubuhnya atas baku hantamnya Elqo. Ketakutan
memberikan kekuatan baru buatnya segera kembali naik ke mobil. Antara sadar dan tidak
Christian seraya melambungkan mobilnya seiring bergemanya sirine mobil polisi yang lagi
patroli menyusuri jalan itu. Secepat kilat Elqo pun menghambur thundernya serta melesat
laksana keedanan menyusul lajunya mobil Christian.
Gerungan motor Elqo yang menggaur-gaur kencang sungguh sangat mengacau-
balaukan konsentrasi Christian. Ketegangan dan kepanikan membuat jiwanya kadang
melayang dari kesadarannya. Hingga terkadang laju mobilnya berkelok-kelok dan meluncur
keluar jalur menjadikan para pengguna jalan dan pengemudi kendaraan yang searah
dengannya banyak yang menghardiknya dengan caci-maki yang sangat kotor.
Elqo berhasil kembali memimpin didepan. Christian berusaha menyerempetnya
namun tak dapat. Elqo sekarang seakan menghindari jarak dekat dengannya. Ia terus menjauh
meluncur didepan. Christian berusaha mengejar beriring rasa tegangnya yang kian memuncak
atas suara sirine kepolisian yang kian mendekat. Hingga tidak pikir panjang lagi ia langsung
belok kiri ketika lampu merah menghadangnya di muka.
Kini jalanan menyusuri kawasan yang agak sepi. Satu dua kedai malam di sepanjang
pinggiran jalan masih ada yang buka. Pandangan mata Christian terasa redup terang. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali mengusir rasa nyeri dan peningnya yang
menyerang demikian hebat merasuki kepalanya.
Dan, lihat! Dalam pandangan jarak jauh. Elqo yang melihat sedannya Muslim
terparkir didepan sebuah kedai, segera membalikan lagi motornya yang kebablasan jauh ke
sana dalam kecepatan tinggi. Christian yang sedang dipuncak ketidaksadarannya tidak lagi
menyadari aturan kemudinya yang kian lepas landas menghadang laju cepat thunder Elqo
yang melawan arah. Elqo yang tidak pernah mengira mobil yang dikendarai Christian itu
akan terus melaju dan kian menyisi sangat terperangah ketika untuknya sudah tidak ada lagi
waktu dan kesempatan buat menghindar. Hingga … Jger! Elqo yang berusaha membelokkan
motornya sudah terlambat untuk menghindar. Elqo dengan motornya terpisah terpelanting
jauh tertubruk mobil Christian yang baru berhenti ketika membentur tiang listrik.
Suasana hening sejenak. Sebuah penghujung malam yang mengerikan. Christian yang
sudah tidak sadar sedari tadi tampak terkulai memeluk setir dengan darah segar yang kental
meleleh disela bibirnya. Sementara Elqo setelah terguling begitu jauh ia pun terlentang dalam
pingsan dengan wajah belepotan darah yang mengalir dari kepalanya yang bocor …
Sedangkan di dalam kedai, Muslim tampak terduduk menghadapi sebotol wiski serta
menikmati kepul demi kepulan asap rokok yang dihisapnya. Ia sama sekali tidak tersentuh
alunan kesakitan yang melolong dari jiwa kedua orang teramat dekatnya. Muslim acuh dalam
keasyikannya. Ia seakan tidak perduli pada sang pemilik kedai dan dua orang pengunjung
kedai lain yang berlari keluar setelah mendengar jeritan histeris bertabuh suara hentakan
keras di luar sana.
Baru Muslim tersadar, ketika sang pemilik kedai merebut botol wiski dan lintingan
rokok dari tangannya. Jiwanya yang mulai labil seketika menggerakan otot syarafnya. Tapi
sebelum ia ngotot dan mohon diperlakukan secara adil, Muslim terdiam mendengar
nyaringnya suara sirine menggema di tepi jalan.
“Maaf Mas ada kecelakaan didepan. Kebetulan polisi lagi patroli kemari,” sang
pemilik kedai mohon pengertian sambil kembali keluar meninggalkan Muslim yang tidak
segera ambil tindakan.
Setelah sejenak berpikir, alangkah lebih baiknya jika ia segera pergi menghindari
pertemuannya dengan polisi yang barangkali saja bisa-bisa menyeretnya ke tahanan atas
minuman dan selinting gelek yang baru saja dinikmatinya. Baru saja Muslim berdiri hendak
beranjak keluar, ponselnya berdering. Lalu ia pun melihat siapa yang memanggilnya. Elqo
Alldear. Dengan males ia menerimanya.
“Ada apa? Kalian dimana sekarang?”
“Kami dari pihak kepolisian. Apa Anda keluarganya Elqo?”
“Saya saudaranya. Kenapa dengannya, Pak?”
“…”
Muslim serentak berlari keluar, “Iya, ya. Saya segera kesana.”
“Apa Anda juga masih kerabatnya Christian?”
Muslim tidak menjawabnya. Sesampainya di luar matanya melotot melihat ke pinggir
jalan tepat pinggir kedai itu. Benarkah apa yang telah terjadi?
 
8   ‘taat dan kesetiaan
 
bukti agungnya cinta’
 
Pagi hari yang tenang. Terduduk Muslim disamping Elqo yang terbaring terlentang.
Kepala Elqo terbalut perban. Hanya mata, lobang hidung dan bibirnya yang telanjang. Begitu
juga di bagian dada dan lengan kanan. Lututnya juga sama halnya demikian. Serta beberapa
bilur biru kehitam-hitaman.
Elqo sudah siuman sejak sampai rumah sakit juga semalam. Matanya melirik Muslim.
Muslim menghindari tatapan itu. Seakan ia tidak ingin matanya tiba-tiba basah. Karena di
wajahnya tersimpan sebongkah penyesalan serta kesedihan yang mendalam.
“Terima kasih kau telah sudi menungguiku,” bisik Elqo dalam.
“Maafkan aku. Ini semua salahku,” ujar Muslim pelan.
Elqo menggerakan tangannya perlahan menyentuh tangan Muslim. Lalu
digenggamnya jemari tangan Muslim dengan lembut.
“Jika aku dengan Christian tidak berkelakar, tentunya kamu tidak akan pergi. Ini
bukan salahmu. Tapi salahku sendiri yang menemuimu tidak tepat waktu,” Elqo
menyikapinya dengan kesadaran.
“Akulah yang menyebabkan kalian bertengkar,” Muslim tetap menyalahkan dirinya.
“Jika aku tidak egois. Tentunya antara aku dengan Christian tidak akan berselisih
paham,” tutur Elqo lagi merendahkan dirinya.
“Jika aku tidak kenal Christian, niscaya tidak akan terjadi perselisihan.”
“Sebagai sahabat yang baik. Apa benar aku mesti marah apabila kamu punya teman
lagi selain aku?”
“Sahabat yang baik tidak akan menghadirkan teman barunya hanya untuk memicu
permasalahan dengan sahabatnya.”
“Muslim, siapapun teman barumu itu mungkin aku akan memperlakukan mereka
sama seperti apa yang aku lakukan pada Christian,” Elqo menatap wajah Muslim demikian
lekatnya seakan ia ingin menitipkan pesan hatinya yang mungkin tidak pernah tersirat di hati
pemuda tegap itu.
“Maafkan aku tidak sempat mengerti perasaanmu. Kalaupun aku tahu kamu akan
membenci siapapun orangnya yang dekat denganku. Mungkin aku akan selalu diam di rumah,
hanya demi menunggu kehadiranmu saja.”
Elqo terdengar menarik nafasnya. Lalu disusul ujarnya perlahan, “Bukan kamu yang
seharusnya mengerti perasaanku. Melainkan salahku yang tidak mau mengerti perasaanmu.
Sebagai seorang pencinta kamu pasti sangat mencintai aku. Mendambakanku. Selalu setia
dan selalu merindukanku di setiap waktumu. Melihat latar belakang dan sifat yang terbentuk
dalam karaktermu, aku yakin kamu tipe orang yang sangat setia pada pasangannya. Sehingga
perkenalanmu dengan Christian aku rasa itu bukanlah berasal dari kehendakmu. Meski
akupun merasakan bahwa hatimu juga sangat menyukai sosok lelaki seperti Christian. Tapi
dibalik rasa sukamu itu, dibalik gilanya hasrat sexmu untuk berkencan dengannya itu, kamu
masih bisa menahan gejolak nafsu liarmu untuk tetap mempertahankan rasa cinta dan setiamu
padaku. Kamu berusaha keras untuk tidak mengecewakan perasaanku. Kamu selalu ingin
membuat aku merasa senang karenamu. Karena kamu termasuk tipe orang yang romantis.
Muslim. Aku salut atas kesetiaanmu. Atas besarnya cintamu. Juga atas segala
perhatian dan sikap pengertianmu yang selalu tulus dan bijak saat menghadapiku. Kamu tidak
pernah mempermasalahkan profesiku sebagai gigolo. Bahkan aku sangat tersanjung dengan
sikap ramah tamahmu ketika menyambut tamuku. Kamu menjamunya dengan sangat baik.
Kamu tidak marah mengizinkanku pergi bersamanya. Padahal dia seorang selebritis papan
atas.
Mus. Tidak selayaknya aku marah pada orang yang dekat denganmu. Tidak
sepantasnya aku membatasi pergaulanmu. Karena akupun tidak punya banyak waktu untuk
bersama dan membahagiakanmu. Juga sebagai gigolo akupun dituntut untuk bahagia dalam
bergonta-ganti pasangan…”
“Sebagai gigolo yang profesional, sudah sepatutnya bagimu memuaskan pasanganmu.
Karena yang kamu jalani itu adalah sebuah profesi yang selalu menuntut upah akhir berupa
uang. Maka, bagaimana mungkin aku harus mencemburukanmu dalam hal itu. Bukankah
sedemikian besarnyapun cintaku padamu, tidaklah dapat menyumbangkan sekecil apapun
materi buatmu? Aku yang bodoh. Kenapa aku sampai tergoda dan terbujuk jerat rayunya
Christian. Padahal apakah yang kurang dari dirimu. Kamu telah banyak mengeluarkan
hartamu untukku. Kamu dengan senang hati memuaskan hasrat berahi sexku. Itu kamu
lakukan tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan balas jasa apapun dariku. Padahal, bukankah
demi bisa kencan denganmu saja sudah harus mengeluarkan biaya yang cukup besar?
El. Aku memang tolol. Tidak tahu diri. Tidak tahu balas budi. Kamu berhak marah
padaku. Kamu berhak melakukan sesuatu apapun sesuai kehendakmu padaku. Aku sudah
tidak patut lagi kamu kasihani. Aku sudah tidak dapat dipercayai lagi. Aku sudah tidak setia
lagi. Aku sudah melakukan hubungan sex dengan Christian. Maafkan aku,” suara Muslim
bergetar parau. Air matanya turun berderai membasahi kedua pipinya. Ia menangis getir
menyesali semua kesalahannya. Kesalahan seorang pencinta yang sudah tidak lagi setia
memegang tali cintanya.
“Tidak selayaknya aku mesti marah kepadamu. Tidak sepatutnya aku menuntut
kesetiaan dari dirimu. Yang namanya teman, ia hanya akan mengharap sebuah ketulusan
untuk dekat dan bersama dalam segala situasi. Tak pantas membatasi pergaulannya untuk
mendapatkan kebahagiaannya.”
“Kamu lebih dari sekedar teman bagi diriku. Mungkin engkau juga mengerti
perasaanku. Aku sangat mencintaimu. Dan aku telah menganggapmu sebagai kekasihku.”
“Maafkan aku Mus! Selama ini aku selalu berusaha untuk menghindari perkataan
cinta dengan siapapun. Karena aku takut dengannya. Seorang gigolo tidaklah mesti terjalin
kata cinta dengan setiap kliennya. Dan aku sangat tidak ingin kalau aku sampai terperangkap
dalam ikatan sakral cinta.
Begitupun denganmu. Dulu, aku mengira hubungan sex antara kita hanyalah sebatas
sekedar petualangan dan bersensasi saja. Aku pikir kamu juga sama seperti aku. Kamu orang
yang terbiasa bebas bermain sex. Tetapi kenyataannya lain. Kamu adalah orang pemegang
kesuciannya cinta. Kamu hanya menunggu berhubungan sex denganku. Saat aku tahu
bagaimana dirimu, hatiku seketika goncang. Ada kelembutan dan getar kasih yang kau tebar
disetiap kencan kita. Hatiku luruh oleh sifatmu. Aku baru mengerti tentang arti cinta. Kau
begitu sempurnanya perkenalkan aku pada haqiqat cinta. Keikhlasan dan kebijakanmu dalam
menyikapi pertentangan jalan hidupku yang telah membuat aku terperosok pada perasaan
mendalam terhadapmu. Aku selalu ingat kamu. Saat-saat indah kencanku yang terbayang
hanyalah kamu. Aku selalu merindukanmu. Entahlah aku selalu tersiksa jika aku
berhubungan sex dengan orang lain. Aku selalu merasa bersalah. Entahlah, Mus. Itu cinta
ataulah apa. Yang aku rasa dan harus kau tahu, aku sayang kamu…
Tapi, jiwa sadarku mengingatkanku agar perkenalan kita janganlah sampai
menjerumuskan kita pada alur yang salah. Dulu, aku sangat yakin kalau kamu bisa berubah.
Kamu bisa mencintai perempuan. Dan aku berusaha membantumu agar bisa mencintai
perempuan. Aku sangat berharap kamu bisa menemukan jati dirimu untuk menjadi lelaki
normal. Karena meskipun aku seorang gigolo yang tak jarang berhubungan sex dengan gay,
tetapi nuraniku berontak dan sangat mengecam kaum homoseksual. Hatiku sangat membenci
pilihan hidup orang-orang yang sampai tuanya tetap melajang bertahan dengan nafsunya.
Mus. Aku kenal kamu itu sudah lama. Sekarang mataku telah terbuka. Bahwa cinta itu
tidak selamanya hadir diantara pria dan wanita. Dan rasa cinta itu tidak pernah salah. Jika
cinta diantara sesama jenis itu melantunkan simfoni kedamaian dan menjadi sumber
kebahagiaan, kenapa tidak cinta sejati itu terjalin? Kenapa mesti ngotot mencintai lawan jenis
yang belum tentu memberikan ketenangan dan kesenangan? Untuk apa kita terfokus dan tetap
angkuh pada batas normal dan ketidak normalan? Untuk apa kita menjaga pandangan orang
lain agar menilai kita normal, jika itu hanyalah topeng belaka yang menutupi betapa busuk
dan menjijikannya luka dan cacat perasaan dalam jiwa? Jika cinta yang terjalin antara
homoseksual mencerminkan kerukunan hidup yang sejahtera, apakah itu tidak lebih mulia
daripada pasangan normal yang selalu dipacu perselisihan yang sangat tidak nyaman dan
tidak menentramkan bagi dirinya serta bagi orang disekelilingnya?
Muslim … Tak ada yang salah dari dirimu. Kamu terlalu suci untuk menjadi seorang
gay. Aku minta maaf. Aku telah menjerumuskanmu pada rasa cinta terhadapku. Tidak
sepantasnya aku menerima uluran tulusnya cinta suci seorang gay sepertimu. Aku terlalu
kotor untuk dicintaimu. Aku tidak layak untukmu cintai. Pasanganmu seharusnya gay yang
sesuci dirimu pula. Aku malu atas cintamu…”
Di tatapnya dua bola mata itu. Riak bening berlinang di dua sudut matanya. Elqo
meneteskan sejuknya embun cinta yang terperas dari hatinya. Baru kali ini kebeningan
jiwanya itu berbias di matanya. Laksana jernihnya air yang menggenang diatas lumpur.
Dimana kotoran mengendap jelas namun kesucian tetap terlindung jua.
“El, setulus hatiku aku mencintaimu. Meskipun tidak pernah terlontar kata cinta di
bibirmu. Aku cinta kamu. Meskipun tidak menampik rasa sakit yang kadang menyiksa
batinku atas perilakumu itu. Tapi aku coba tegar dan selalu setia padamu meskipun kamu
mungkin tidak pernah menyadarinya. Akupun telah berusaha keras untuk menghindari
Christian. Tapi aku tak berdaya. Dia terlalu kuat merobohkan bangunan jiwaku. Dia
menyerangku bukan hanya lewat depanku saja. Tetapi pula lewat pertahanan belakang.
Christian telah menaklukan kerasnya prinsip ibuku. Hingga ibuku mendeklarasikan dukungan
moralnya terhadap pemberdayaan kaum homoseksual. Aku tidak berdaya menghadapinya El.
Dia sangat tergila-gila mencintai aku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk melawannya
selain dari pasrah mengikuti arus cintanya. Karena aku pikir, apa salahnya juga aku jalan
dengannya yang punya janji manis masa depannya ketimbang menunggu kepastian darimu
yang tidak tentu arahnya.”
Lagi-lagi Elqo menghela nafasnya begitu panjang. Seakan-akan saluran
pernafasannya tiba-tiba menyempit hingga memperlambat pasokan udara yang masuk
menjadi sedikit demi sedikit. Namun, sinar itu tidaklah redup dari matanya. Segelintir
senyumpun tersungging di bibirnya. Meskipun siapa yang tahu guratan rasa yang terbentuk
dalam senyumnya itu tak lain dari garis kelukaan belaka.
“Aku mengerti,” bisiknya berat.
“Terserah bagaimanapun penilaianmu.”
“Kamu benar. Aku sadar. Dan aku memahami perasaanmu. Wajar saja bila kamu
terjerat tipu daya Christian. Selain ganteng, dia pun piawai dalam bersilat lidah. Siapa
orangnya yang tidak tergoda melihat penampilan fisik beserta karakternya yang meyakinkan.
Kamu mungkin tidak tahu betul siapa dia. Christian adalah actor gay yang sempat meraih the
best Queer of Asian dari forum gay dunia atas suksesnya film So’ Holy Gay Holy God yang
sempat controversial dan dilematik bagi lembaga sensor Indonesia. Hingga akhirnya film
itupun dicekal dan dilarang beredar di Indonesia. Tetapi akupun sempat menontonnya waktu
aku berkencan dengan actor sinetron gay yang sekarang sudah melangsungkan
perkawinannya dengan sesama actor gay pula di Belanda. Dia mendapatkan kasetnya kiriman
dari rekan gaynya di Singapur.”
“Aku tidak penah tahu akan hal itu. Setahuku Christian pernah di bon untuk
membintangi video porno biasa saja.”
“Siapapun Christian dan bagaimanapun dia. Jika dia sanggup membahagiakanmu, aku
pun tidak keberatan untukmu bisa lebih dekat lagi dengannya. Aku sewajarnya melihatmu
bahagia. Betapa goblognya aku bila sampai melarangmu untuk mendapatkan kebahagiaanmu.
Christian mungkin lebih baik daripada aku. Dia seorang actor gay yang punya rasa cinta dan
pengertian. Tidak seperti aku yang selalu meragukan dan mengecewakanmu …”
“El. Jika kamu masih normal dan tetap ingin normal, aku tulus untuk melepasmu
menempuh jalan yang lurus. Kamu jangan merasa terbebani rasa iba atas cintaku. Seberat dan
sebesar apapun rasa cintaku padamu, akan lebih besar keikhlasanku untuk melihat kamu
kembali pada fitrahmu sebagai lelaki sejati.”
“Muslim. Janganlah menambah siksa pada batinku. Seandainya Christian memang
mencintaimu setulus hatinya. Cintailah pula Christian dengan sepenuh hatimu. Tapi jangan
pernah kau melarangku untuk mencintaimu. Dan aku tidak akan menuntutmu untuk setia
padaku. Karena cinta itu tidak selamanya harus memiliki. Biarlah aku menghadang karma
atas dosaku yang telah mengabaikan cintamu. Aku tulus melepasmu untuk menjadi
kekasihnya. Meskipun betapa sakitnya hatiku tertikam perasaan cemburu yang menggebu-
gebu …”
“El. Sadarlah!” Muslim menggenggam erat jemari tangan Elqo yang bergetar lemah.
Dipandangnya raut muka terbalut kain kasa itu. Ada sayatan perih yang menikam hatinya.
Bilur-bilur kelukaan di wajah itu seakan tergores sama sakit di sukmanya.
“Kamu telah menemui Christian?” Tanya Elqo setengah berbisik dengan tatapan
matanya yang sayu.
“Maafkan aku! Selama kamu ditangani dokter, aku pun menunggui Christian.”
“Bagaimana keadaannya?” Elqo sambil meringis seakan menahan rasa sakit yang
tiba-tiba menyerangnya.
“Tidak separah kamu. Aku kira tetesan darah yang keluar dari mulutnya itu luka
dalam akibat benturan dadanya ke setir. Ternyata bukan. Hanya mulutnya saja yang
membentur setir yang menyebabkan bibir dan gusi-gusinya pecah dan berdarah. Yang aku
herankan, wajahnya sampai luka memar seperti bekas pukulan,” Muslim menceritakan
keadaan Christian.
“Maafkan aku Mus telah melukai kekasihmu. Di tengah perjalanan selama
membuntutimu kami adu hantam. Jika Christian tidak secepatnya pergi dan datangnya polisi
patroli mungkin Christian akan lebih parah lagi aku pukuli. Aku sangat muak melihatnya.”
“Kenapa kamu sampai sebegitu geramnya pada Christian?”
“Aku cemburu padanya. Aku hanya ingin membuktikan seberapa hebatkah
kejantanannya? Tetapi kejantanan ternyata bukanlah faktor utama untuk menaklukan rasa
cinta,” Elqo kembali nyengir menahan sakit.
“Kamu kenapa?” Muslim cemas.
“Tidak apa-apa,” bisiknya sambil tersenyum seolah-olah ia ingin membuktikan bahwa
dia benar-benar pejantan yang tangguh yang sanggup menahan dan melawan kecengengan
atas rasa sakit yang dideranya.
“Lukamu kembali berasa sakit?”
“Luka tubuh yang ku derita tidak separah sakit hati yang ku rasa.”
“El. Kamu jangan berpikiran yang bukan-bukan dan yang lebih berat lagi. Mungkin
lebih baik kamu sekarang istirahat. Tenangkan pikiranmu. Semakin kacau pikiranmu akan
lebih menambah rasa sakit luka berat di kepalamu,” nasihat Muslim mencoba menenangkan
perasaan Elqo agar bisa berpikiran positif demi mengurangi tekanan emosi yang memicu
kuatnya tekanan darah berproses di kepalanya.
“Aku tidak mungkin bisa tenang Mus. Jika keberadaanmu di sisiku ada yang
mencemburukannya.”
“Kamu jangan menyibukan pikiranmu hanya memikirkan sesuatu yang belum tentu.
Aku menungguimu disini berarti hanya untuk menemanimu.”
“Aku tidak berhak atasmu. Aku tidak berhak ditungguimu. Jangan membuat Christian
marah padamu. Dia kekasihmu. Dia lebih berhak mendapatkan pelayanan darimu. Jangan
biarkan dia terbakar api cemburu. Temui dan tungguilah dia. Layanilah dia layaknya
pengabdian mulia seorang pencinta. Aku rela …” Elqo akhirnya terdiam. Matanya terpejam
membekaskan basah air di balutan perban. Jemarinya menggenggam rapuh dalam kepalan
Muslim.
“El. Elqo!” Muslim mencoba mnyadarkan kembali ketidaksadaran Elqo dengan
sangat panik. Berkali-kali ia menyeru namanya namun Elqo tetap terdiam. Warna merahpun
tiba-tiba tampak merambah kain perban yang membalut kepala bagian kanannya. Dengan
histeris Muslim pun seketika berteriak memanggil suster berlari dari ruangan. Muslim dilanda
kepanikan yang sangat dahsyat. Wajahnya tampak tegang. Dengan disertai rasa
kekecewaannya iapun akhirnya duduk diruang tunggu sendirian ketika dokter yang
menangani Elqo memintanya agar tenang. Matanya tak berkedip memandang daun pintu
kamar dimana Elqo dirawat. Sejuta perasaan berkecamuk di dadanya. Ia sangat menunggu
dokter itu segera keluar memberikan kabar baik untuknya.
Seraya iapun bangkit menyambut Dokter itu. Elqo butuh istirahat yang cukup. Untuk
sementara tidak izinkan siapapun menemuinya, kecuali suster yang merawatnya.
Seberapa besarpun keinginan Muslim untuk berada dekat disamping Elqo, ia harus
meredakan rasa beratnya dengan lapang demi cepat membaiknya kesehatan Elqo pula
tentunya. Wajahnya tidak setegang tadi. Rautnya tidak sepanik tadi. Ia menghalau
kemuraman hatinya dengan harapan yang menggunung bahwa Elqo akan segera sembuh.
Elqo akan kembali bicara dengannya. Elqo akan kembali bermain dengannya. Dan tentunya,
Elqo akan kembali bercinta dengannya! Lalu Christian? Ya. Muslim harus lebih dewasa lagi
menyikapi problematika diantara mereka. Dia satu-satunya orang yang masih sehat diantara
sudut segitiga itu. Dia harus berlaku bijak demi mengembalikan dua derajat sudut segitiga
yang hilang itu. Dia harus adil. Karena cinta itu adalah keadilan! Cinta itu peradaban, bukan
kebiadaban!
Dengan perasaan sedikit tegar. Gontai langkahnya menuju kamar pasien yang
bersebelahan dengan kamar dimana Elqo dirawat. Dibukanya daun pintu itu. Lalu iapun
masuk. Kemudian pintu ditutupkannya lagi rapat-rapat. Muslim berjalan mendekat ranjang
pasien. Christian rupanya sedang tidur. Matanya tertutup. Bekas pukulan keras Elqo tergurat
jelas membentuk warna biru lebam di mukanya. Bilur-bilur luka itu mungkinkah sanggup
membuat Muslim mengerti? Bahwa derita yang menyebabkan mereka berbaring di rumah
tidak sehat ini adalah syariat kekuatan cinta! Ya. Apalagi? Jika bukan karena cinta, akankah
perseturuan antara Elqo dengan Christian itu terjadi? Akankah kecelakaan itu terjadi,
seandainya Christian mengendalikan kendaraannnya dalam keadaan sadar?
“Christ!” sapa Muslim lembut pada sosok pemuda indo yang terlentang tenang itu.
Tenang terhanyut ke alam bawah sadarnya. Sejenak melupakan rasa sakit bibirnya yang
sedikit membengkak karena membentur setir mobil itu. Sejenak membiarkan rasa sakit bekas
pukulan yang nyarang di hamparan mukanya itu lenyap.
Muslim mendekatkan wajahnya pada raut muka itu. Perlahan dikecupnya ubun-ubun
kepala pemuda itu dengan penuh kelembutan. Hingga bulu mata itu perlahan bergerak. Lalu
terbuka. Christian pun terjaga. Tatapnya berbinar lembut. Laksana ada tersimpan sekeping
cahaya hatinya yang sempat padam. Bibirnya pun bergerak. Menitipkan pesan hangat sebuah
senyum yang tidak lagi begitu tampak manis di bibirnya. Ia pun berbisik,
“Kamu habis menemui Elqo, kan?”
Muslim menganggukan kepalanya perlahan. Seakan begitu berat dan sangat rapat
sekali kedua belahan bibirnya untuk terbuka.
“Kamu marah padaku? Maafkan aku yang telah membuat Elqo demikian parahnya.
Sungguh aku tidak pernah menyangka kejadiannya akan setragis ini. Ketika pikiranku masih
sadar, aku rasa tidak melihat Elqo didepan mobilku. Hingga akhirnya kesadaranku buyar
karena rasa sakit bekas tonjokan Elqo di kepalaku tak lagi dapat ku tahan. Aku tidak tahu apa
yang terjadi kemudian. Aku benar-benar tidak sadar dengan semuanya. Sadar-sadar aku
sudah berbaring disini ditungguimu.”
Muslim diam saja. Matanya memandang buyar tak terarah. Pikirannya seakan jauh
terbang entah kemana. Ia seperti tidak memperdulikan Christian bicara apa. Lamunannya
menerawang tak menentu. Kesana. Dimana roda-roda pembawa meriam cinta berketipak
menyongsongnya.
Christian perlahan bangkit duduk dari tidurnya. Kakinya ia juntaikan ke tepi ranjang.
Ia duduk tepat menghadap Muslim. Kedua tangannya ia gerakkan. Disentuhnya muka
ganteng cowok itu dengan halus. Lalu didongakkannnya agar melihat ke wajahnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
Muslim memaksakan bibirnya tersenyum sebagai tanda jawaban atas tanyanya
Christian.
“Terima kasih kau masih sudi menemui serta menungguiku.”
“Aku tidak akan bisa lama melayanimu. Hari ini juga kamu diperbolehkan pulang.
Sementara aku masih harus menunggui Elqo sampai kiranya ia membaik,” ujar Muslim
akhirnya bicara juga.       
“Aku tidak apa-apa. Mungkin kalau kamu berkenan aku bersedia menemanimu disini
untuk ikut menjaga Elqo.”
Muslim menatap mata itu. “Jangan korbankan perasaanmu. Lebih baik kamu
melupakan aku untuk selamanya. Aku bukan seorang gay yang bisa setia pada satu cinta. Aku
tidak layak dicintai seorang actor sepertimu. Masih banyak orang yang akan lebih
membahagiakanmu. Masih banyak gay-gay ganteng yang lain yang bersedia menjadi
pasanganmu. Jangan bersikukuh mencintai gay kelas bawah seperti aku yang sama sekali
tidak mahir melayani adegan bercintamu.”
“Kamu masih mengatakan sesuatu yang sudah tidak ingin lagi ku dengar. Masih
kurangkah caraku untuk meyakinkanmu bahwa aku benar-benar mencintaimu sepenuh
hatiku?”
Muslim mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam sorot mata itu.
“Jika kamu masih berat hati pada Elqo, apakah sudah pasti dia akan setia
mencintaimu? Jikapun Elqo memang menyayangimu, apakah salah jika akupun sama
mencintaimu? Aku rela menjadi kekasih keduamu. Aku tidak keberatan apabila kamu sampai
membagi cintamu. Karena cinta yang sejati itu terlahir dari nurani tulus nan suci. Kamu harus
dengar aku. Kamu harus percaya itu. Cintaku padamu tidak akan terhalangi apapun. Aku
terlalu sayang kamu Most,” bisiknya serak menahan gejolak hatinya yang memuncak
meluapkan lahar cinta yang mendidih.
Alangkah lembutnya bisikan itu. Alangkah merdunya alunan itu. Cinta mulai menerali
lagi hatinya. Perasaan itu bedesir lagi di aliran darahnya. Jantungnya berdetak lagi tersapa:
cin-ta. Jiwanya merekah, semerbak wewangian cinta yang bermekaran indah. Musim semi,
engkau selalu datang tepat waktu menjala cinta yang terbang diantara lebah, kumbang dan
kupu-kupu. Cinta dan keterpesonaan adalah cermin bening air telaga yang beriak terhanyut
dihempasan nafasmu. Bias raut di wajahmu akan tenggelam di danau itu. Dimana sang lebah
memeraskan sedanau madu untukmu berenang dalam ketelanjangan nafsu.
Dipeluknya erat-erat tubuh Christian. Muslim menyandarkan kepalanya di dada
Christian. Air matanyapun berderai membasahi dada Christian. Begitupun Christian
mendekap hangat kekasih hatinya itu. Ia biarkan Muslim mendengar dengan jelas bisikan
yang bersenandung syahdu di balik dadanya. Ada cinta yang bertabuh disana. Laksana
genderang perang di medan laga. Cinta yang melantunkan genderang perdamaian bagi
mereka yang mengenal betapa menyakitkannya sebuah luka!
 
9   ‘cinta, sex dan tuhan’
 
 
Seminggu yang lalu Christian dan Elqo berbaring lemah di ranjang pasien
didalam kamar rawat sebuah rumah sakit. Hari berikutnya Christian dengan setia dan
penuh ketulusan menemani Muslim menjagai Elqo. Meskipun rasa cemburu tak lekang
mengusung perang hati diantara mereka. Tapi, cinta ternyata sanggup menyejukkan segala
murka. Selama hati masih membekaskan cinta, disana kedamaian masih bisa dipaksakan
untuk tercipta.
Kini Elqo terduduk disamping Muslim yang sedang mengemudi laju sedan abu-
abunya. Hari ini Elqo pulang. Setelah seminggu mendekam dalam perawatan.
“Om dan Tantemu sengaja aku tidak mengabarinya perihal kecelakaanmu. Aku tidak
mau mencemaskan mereka. Lagipula aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untuk
menjagamu.”
“Aku ucapkan terima kasih atas segala kebaikan dan ketulusan hatimu. Juga atas
biaya perawatanku selama di rumah sakit,” Elqo mengucapkan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga.
“Christian yang telah membayar seluruh biaya perawatanmu. Bukan aku.”
Elqo tampak terkejut. “Benarkah?”
“Dia yang menginginkan semua itu.”
“Apakah tidak menyimpan harapan lain dibalik kebaikannya itu hanya demi menarik
simfatimu belaka?”  
“Mungkin Christian tidaklah seperti apa yang kamu kira selama ini. Aku telah lebih
dekat mengenal dia. Soal pembayaran rumah sakit juga ia berpesan agar aku tidak
menceritakannya. Tapi aku tidak mau jika aku merahasiakannya engkau malah
menganggapku yang telah berbaik hati padamu.”
“Biarlah entar aku gantiin.”
“Tidak perlu. Kecuali kamu sudah tidak percaya lagi padaku.”
“Kenapa?”
“Dia akan sangat membenciku. Dan aku tidak mau itu terjadi.”
“Apakah kamu mencintainya serta merasa takut jika kehilangannya?”
“Kamu mengerti sendiri bagaimana orang yang telah bersentuhan dengan lembutnya
cinta. Dia akan sangat sulit untuk memupus segala goresan warna indah yang melukis
hatinya.”
“Sebaiknya kamu memang mencintai dia,” Elqo menghela nafasnya begitu dalam.
“Kamu jangan bilang lagi sesuatu kata yang menyemangati persengketaan. Kecuali
jika kamu memang sudah membenciku dan tidak ingin lagi melihatku di depanmu. Mungkin
aku akan mewujudkan harapanmu untuk tidak lagi hadir dalam hidupmu.”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya mungkin dia itu lebih baik daripada aku.
Jikapun kamu memang mencintainya, untuk apalagi aku menghalangi kebahagiaanmu?
Bukankah cintamu padanya tidak akan sampai merintangi hubungan kita?”
“Tolong jangan perpanjang lagi membahas masalah ini.”
Elqo pun akhirnya diam. Namun sesaat ia kembali bertanya,
“Christian sekarang kemana?”
“Mengurus dana perbaikan mobilnya sekalian mengambil motormu.”
Sedan abu-abu itu meluncur menembus teriknya matahari yang sebentar lagi bergulir
sekitar 1000 ke arah barat. Namun tidak sampai merangsang tumpahnya keringat di wajah
Muslim. Begitu pula kesejukan tetap menetralkan wajah Elqo. Meskipun wajah itu sudah
tidak lagi semulus minggu lalu. Wajah gantengnya kini belepotan bercak luka. Di dahi, pipi
serta di dagunya masih menyisakan hitam bercak luka yang mulai mengering. Noda putih pun
menghiasi sudut pinggir luar mata kanannya bekas luka tipisnya yang sudah mengering dan
mengelupas. Helm yang dikenakannya tidak menyumbang pertolongan sedikit pun. Karena
terlempar jauh sebab Elqo mengenakannya sembarang pakai sehabis bertarung dengan
Christian.
Muslim membelokkan kemudinya ke kiri menapaki jalan berkerikil sepas mobil.
Persimpangan terakhir menuju rumah Elqo yang berdiri 500 meter dari jalan raya. Rumah
mungil yang asri yang sekelilingnya di pugar pagar teralis serta pohon vinus. Rumah hibah
dari seorang gay yang beberapa tahun lalu telah meninggal. Gay yang merupakan seorang
pengusaha juga pensiunan BUMN. Sebenarnya semula ia lelaki normal. Namun setelah
istrinya meninggal dan anak-anaknya pada sibuk dengan rutinitas kegiatannya, dia sangat
merasa kesepian. Hingar bingar ibu kota tidaklah sanggup mengusir rasa penat dan
kebosanannya untuk menghibur sisa hidupnya. Mencari seorang istri baru bukanlah sesuatu
yang ia harapkan. Sebagai pencinta sejati ia tidak mudah melupakan khasanah cinta pada
istrinya yang telah setia membantunya berjuang menemukan relief megah bangunan
hidupnya. Kerabat kenalannya hanyalah menjadi pengisi sebagian waktunya dikala mereka
punya waktu luang. Sementara dirinya, hampir seluruh waktu yang dipunyainya adalah luang
yang kosong. Siapa yang tak jenuh dengan kehidupan masa tua yang semasa mudanya tidak
pernah akrab dengan Tuhannya? Masa mudanya yang telah berlalu habis dalam pencarian
syurga dunia dengan dalih demi masa depan dan keturunan. Lantas, setelah renta apalagi
yang dapat diharapkan dari masa depan? Jika waktu anak-anaknya habis disibukkan
pekerjaan meneruskan jejak perusahaannya dan mengurus keluarganya. Banban Sironang SE,
setelah meninggal gelar sarjananya sudah tidak berlaku lagi. Karena tanah dan belatung
tidaklah pernah diajari kecongkakan pelajaran hidup. Setelah diciptakan sebagai makhluk
terendah di alam semesta, tugasnya adalah kembali menetralkan apa-apa yang telah terbentuk
dari zatnya.
Banban Sironang adalah senior Omnya. Elqo mengenal pria tua satu ini berkat
tantenya. Semula ia diangkat sebagai grandfather sitter nya. Lalu diakui sebagai anak
angkatnya. Kemudian berlanjut jadi lawan mainnya di atas ranjang. Untungnya Elqo tidak
perlu lama setia mengabdikan dirinya menjadi pencinta lelaki tua renta. Setahun tiga bulan
perjalanan kisah asmaranya, Banban Sironang pun meninggal terkena serangan jantung. Dan
rumah itu akhirnya dihibahkan pada Elqo oleh keluarganya tak luput juga beriring ajuan
tantenya yang memohon kesadaran dan kelapangan pihak keluarga agar mempertimbangkan
Elqo didalam pembagian hak waris. Mengingat pula rumah itu pun bukanlah rumah utama
keluarga besar Banban. Rumah itu hanyalah rumah sebagai tempat istirahat. Lebih layaknya
rumah itu merupakan sebuah vila. Serta vila itu sertifikatnya sudah Banban alih namakan
kepemilikannya pada Elqo Alldear sebelum Banban meninggal.
Muslim memarkir sedannya di halaman rumah itu dibawah pohon vinus yang sedikit
condong. Hari beranjak sore. Jam empat saat itu.
“Keluargamu tidak ada yang menghubungi?” Elqo berdiri menunggu Muslim yang
menguncikan pintu mobilnya.
“Malam itu juga mereka menelponku. Papa sangat marah besar ketika sepulangnya
mereka ke rumah, pintu gerbang dan pintu rumah pada terbuka,” kata Muslim sambil
menghampiri Elqo serta keduanya lalu melangkah menuju rumah.
“Christian yang terakhir keluar.”
“Sama saja. Kita bertiga penghuni rumah itu yang terakhir keluar malam itu,” Muslim
tidak menyalahkan salah seorang.
“Oh, ya. Kunci rumahku … di jacket. Di jacket yang ku pakai itu!?” Elqo seakan baru
tersadar dengan kunci rumahnya yang ia simpan di kantong jacket yang ia pakai waktu
kecelakaan.
“Nih!” Muslim memperlihatkan sesuatu yang diambil dari saku celananya.
“Darimana kamu mendapatkannya?” Elqo heran melihat kunci rumahnya ada di
tangan Muslim.
“Dari jacketmu. Tapi maaf aku telah membuang jacket dan celanamu itu. Habisnya
sudah tidak ada lagi yang mungkin dapat diperbaiki. Robek-robek disana sini. Lagipula bau
darah serta minuman alcohol yang kau taruh di jacketmu itu pecah,” terang Muslim segera
membuka kunci pintu.
“Pantesan di kulit perutku terdapat goresan luka memanjang. Mungkin karena
pecahan botol minuman itu,” tanggap Elqo mengikuti Muslim memasuki rumah.
“Juga aku mau minta maaf atas kelancanganku telah memasuki rumahmu tanpa seizin
dari kamu.”
“Kapan punya waktu kemari? Bukankah kamu selalu berada di rumah sakit
menungguiku?”
“Barang sebentar aku kemari. Sekedar mengurus komputer. Mengetik rancangan
rencana serta menyimpan beberapa dokumen yang sekiranya ku anggap penting.”
“Ternyata otakmu jalan terus buat menyusun agenda masa depanmu rupanya,” Elqo
berjalan menuju kulkas.
“Sejak kemarin aku mengisi kulkas. Ada pepsi dan beberapa botol bir juga buah-
buahan kesukaanmu,” kabar Muslim.
“Terima kasih banget Mus. Kamu selalu saja membuatku merasa senang. Kamu juga
kan yang sudah merapikan berantakannya keadaan rumah?”
“Iya, bareng Christian.”
“Apa?” Elqo terbelalak menoleh Muslim sampai-sampai ia tidak jadi mau meminum
pepsinya.
“Kenapa? Kamu merasa keberatan Christian menginjakan kakinya di rumahmu?”
Muslim menghampiri Elqo.
“Bukan,” sahut Elqo segera meminum pepsi yang telah dibukanya.
“Lalu?” Muslim mengambil pepsi dalam pegangan Elqo.
“Masih ada yang baru. Biar aku bukain,” Elqo sedikit menahan pepsi dari tarikan
tangan Muslim.
“Aku ingin merasakan nikmatnya pepsi yang telah tercelup manisnya bibir sexsimu.
Aku sudah lama tidak merasakan nikmatnya lumatan bibirmu. Aku terlalu merindukanmu
El,” suara Muslim sedikit mendengus berat beriring tatapnya yang begitu tajam seakan ingin
memadamkan kobaran sinar yang terpancar di mata Elqo.
“Bukankah disini kamu dan Christian bebas berkencan?” bisik Elqo dengan nada
suaranya yang bergetar antara rangsangan berahi cinta dan api cemburu.
“Jikalah aku ingin. Terlarang untukku berkencan dengannya di dalam rumahmu.
Christian pun belakangan sering mengajakku bercinta, tetapi aku tidak memberikan waktuku
untuk melayaninya. Selama kamu menderita, aku ingin turut sependeritaan denganmu. Aku
tidak ingin berbahagia diatas rasa sakit yang kau dera. Dan aku hanya ingin, aku bisa
berkencan denganmu sebelum aku berkencan dengan Christian. El, percayalah. Aku sangat
merindukanmu,” Muslim menarik pepsi dari tangan Elqo kemudian didekapnya tubuh Elqo
dengan segenap rasa cintanya.
Sore hari yang kian redup seiring matahari yang kian turun ke tepian perlembahan.
Seakan kembali terang mengangkat matahari kembali ke pusat langit bumi ini dan
diberhentikannya disana dalam gejolak neraka yang teramat panas. Neraka yang berkobar
merebus kedua insan telanjang dalam balutan busana cinta yang mereka pandang itu sangat
elok dan indah ibarat pesona surga. Sungguh, jika mereka sudah bicara soal cinta maka dosa
banyak menjadi perwujudan dari nikmatnya. Laknat itu belakangan berada di urutan paling
ujung kesadaran sedangkan nikmat melesat hebat selalu di posisi pertama dalam tangga
kehidupan berada tepat paling depan serta selalu meraih penghargaan. Dan, apakah benar
cinta itu tak pernah salah? Benarkah ketulusan hati itu tandanya arti cinta sejati, jika jejak
yang dipapahnya selalu berkeping rona norma yang terlahir dari kebijakan selubung nafsunya
sendiri?
Pigeout 506 perlahan memasuki pekarangan rumah diikuti sebuah thunder
dibelakangnya beserta sebuah SupraX yang telah berhenti di tepi gerbang. Setelah memarkir
mobilnya disamping sedan abu-abu, Christian tampak keluar dari mobilnya. Wajahnya
berseri-seri sambil mengucapkan terima kasih pada orang yang telah mengantarkan motornya
Elqo. Juga pada orang yang mengemudi SupraX itu sebagai ojeg yang membawa orang
pengemudi thunder itu kembali ke bengkel. Setelah menolak basa-basi Christian yang
mengajak sejenak singgah buat menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok di dalam
rumah, mereka pun akhirnya lekas kembali pergi.
Christian menutup lagi pintu gerbang. Kemudian langkahnya penuh semangat masuk
ke dalam rumah. Remang cuaca petang menyebabkan keadaan di dalam rumah sedikit gelap.
Sepi. Christian merasa heran sendiri. Hingga iapun teriak memanggil penghuni rumah yang
sekiranya dipastikan ada.
“Most! Moslem! Dimana kau? Apakah kau ada di rumah?” tidak ada yang menjawab.
Tetap sepi seperti sedia kala. Christian mencoba kembali memanggil-manggil barangkali saja
mereka tidak mendengar.
“Moslem! Bersama Elqo kah kamu? Halo!” Christian mengitari keadaan
disetiap  sudut ruangan rumah itu. Termasuk setiap kamarnya. Juga ke dapur tak ketinggalan.
Tapi yang dicarinya tetap tidak ada. Mereka kemana?
Christian bergegas menuju kebun belakang. Disana juga sepi. Yang ia kenali hanya
sebongkah besi yang sempat ia lihat dalam video The Drunk Flyrabbit itu. Beserta suasana
tempatnya yang memang terasa sangat nyaman untuk bercinta. Sebuah ayunan terjuntai tegar
ditengah romantika warna-warni bunga yang merambat rapi di berbagai pohon bunga yang
dibiarkan liar menjulang. Di sekelilingnya rapat pohon vinus memugari tempat itu menambah
kokoh kuatnya benteng yang dibangun setinggi dua meter. 
Setelah mereka tidak diketemukan disana. Christian kembali masuk ke dalam rumah.
Tenggorokannya terasa kering dan haus hingga ia lekas menuju kulkas yang mungkin
barangkali saja tersedia sesuatu yang dapat menyegarkan perasaannya. Kebetulan ia melihat
sakelar lampu yang terpasang di dinding dekat kulkas berada. Lalu dikontakkannya. Ternyata
sakelar lampu ruangan itu. Dan ruangan itupun sekarang tampak t`erang. Namun, terangnya
cahaya lampu neon itu dibuatnya Christian terkesiap. Matanya melihat ke ubin dimana
sebuah kaleng pepsi tergeletak beserta tumpahan airnya yang berceceran. Dilihatnya lagi ke
meja makan. Bukankah pakaian yang tertumpuk di kursi makan itu baju dan celananya
Muslim yang dipakainya seharian ini? Juga itupun kalau tidak salah adalah pakaian Elqo
yang kenakannya semenjak di rumah sakit? Ya. Hati Christian seketika berdesir kencang.
Perasaan itu kembali menghantamnya. Panasnya api cemburu itu kembali membakar jiwanya.
Matanya dengan berapi-api menumpu pintu kamar mandi yang tertutup. Mereka pasti disana.
Karena hanya ruangan itu yang belum dikontrolnya. Mereka pasti bercumbu mesra di kamar
mandi!
Bersama kobar api cemburu yang membara Christian melangkahkan kakinya merapat
ke pintu kamar mandi. Tapi tidak juga terdengar sesuatu dari dalam. Lalu ditempelkannya
telinganya ke daun pintu. Tetap sunyi. Hati Christian jadi bertanya-tanya sendiri diusung rasa
penasaran. Jikalah mereka tidak bercinta di kamar mandi. Lantas mereka dimana? Apakah
dibawah genteng diatas langit-langit rumah itu? Memungkinkankah bila mereka sampai
berkencan disana?
Christian tidak ingin lama-lama beradu emosi dengan perasaan penasaranannya. Ia
segera membukakan pintu kamar mandi itu. Dan,
“Christ!” dari dalam Muslim yang berdiri di ambang pintu telah mengenakan handuk
sebatas pinggangnya tampak terkejut mendapati sosok Christian yang membukakan pintu.
Dengan jelalatan mata Christian berputar ke seluruh ruangan kamar mandi.
“Ada apa? Mau ke air? Atau mau mandi?” Muslim heran atas sikap Christian seperti
itu.
“Eh, kamu mandi sendirian? Kemana Elqo?” tanya Christian lebih meyakinkan lagi
prasangka hatinya.
“Oh. Kamu curiga ya?”
“H … ku pikir,” Christian jadi malu-malu kucing dan salah tingkah dibuatnya.
“Elqo di kamarnya. Kapan kamu kemari?”
“Dua puluh menit yang lalu. Tapi aku tidak menemukan Elqo di kamar.”
“Emangnya kenapa sih? Apa kamu masih mencemburukan kedekatannya sama aku?”
“Enggak. Aku cuma mau bicara aja dengan Elqo perihal motornya,” Christian
berusaha menutupi gemuruh perasaan hatinya yang tiba-tiba saja bergejolak dipenuhi hasrat
cinta melihat bidangnya dada Muslim yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu sungguh seketika
menggairahkan berahi sexnya.
“Kirain mau ngajaknya tarung lagi. Tapi kenapa kamu menatapku sampai sedemikian
seriusnya?” Muslim merasa aneh melihat tatapan Christian yang melongo terhadapnya.
“Aku kangen ingin menjilati dadamu,” desis Christian serak mulai terangsang.
“Hargailah bagaimana perasaan Elqo saat ini,” Muslim menempelkan telunjuknya di
bibir Christian yang belum sehat benar seratus persen.
“Kita ajak Elqo untuk bercinta bertiga. Aku rasa itu akan sangat menggairahkan.
Sekalian aku ingin menjajal seberapa hebatkah kejantanan dia sebagai seorang gigolo,” usul
Christian.
Mendengar ajuan Christian seperti itu, Muslim menarik nafasnya begitu dalam. Lalu
dihempaskannya perlahan seakan ingin menghalau sebuah perasaan yang tiba-tiba meracuni
pikirannya.
“Jangan pernah berharap kita bisa berjamaah berhubungan sex. Elqo sangat
mengecam hal itu,” Muslim bergegas meninggalkan Christian yang masih komat-kamit
menelan ludah dan menggigit bibirnya dalam lamunan indah bercinta dengan Muslim.
Maghrib telah tiba. Aneh sekali rasanya Elqo tidak seperti biasanya kali ini mengajak
Muslim mendirikan shalat maghrib berjamaah. Ditatapnya wajah penuh luka itu. Ada
keharuan yang menyeruak di hati Muslim. Perasaan yang begitu halus menyerap perih ke
palung jiwanya. Adakah sama Elqo yang kemarin yang pertama ia kenal dengan Elqo yang
saat ini berada di hadapannya? Elqo seorang gigolo yang gagah berwajah tampan dan sangat
jantan itu. Elqo yang penuh pesona daya tarik bagi siapapun mereka yang memandangnya.
Masihkah sama Elqo saat ini dengan Elqo yang dulu itu? Elqo! Hati Muslim merintih getir
menyapa nama itu.
“Kenapa?” Elqo merasa heran dengan sikap Muslim.
“Shalatlah sendiri. Sampaikan salamku pada Allah, mungkin akan sangat lama sekali
aku tidak akan menjumpainya lagi.”
“Tidak baik kamu bicara seperti itu. Setiap kesadaranmu itu adalah kesempatan
perjumpaanmu dengan-Nya. Allah tidak membutuhkan shalat kita, melainkan kita shalat
adalah perwujudan rasa butuh kita pada Allah. Dan shalat bukanlah satu-satunya jalan yang
bisa menyampaikan tujuan kita pada Allah. Jeritan jernih nuranimu akan lebih mendekatkan
dirimu pada haqiqat kekuasaan-Nya. Ketimbang perlakuan rukuk dan sujud yang tidak diringi
kebersihan hati dan pikiran untuk menghadap-Nya,” perkataan Elqo sungguh membuat
Muslim terpana. Darimanakah seorang Elqo memahami sebuah fatwa bijak seperti itu?
Bukankah Elqo tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik?
“Jika memang kamu mau shalat. Shalatlah. Terima kasih kau telah mengingatkanku
akan saatnya waktu untuk mengingat-Nya. Semoga Allah memberikan pahala yang besar atas
niat sucimu mengajakku mengerjakan suatu kebaikan yang telah diwajibkan-Nya.”
“Sudahlah. Semoga segala amal baik ataupun buruk yang kita kerjakan diterima
dengan nilai baik di hadapan Allah.”
“Amin!” Muslim mengamininya.
Elqo mengambil sehelai kain lebar yang diyakini kesuciannya dari lemari pakaiannya.
Lalu dihamparkannya di atas lantai kamar. Kain itu dijadikannya sajadah. Yakni alas bersih
sebagai tempat sujud bagi orang-orang yang mengerjakan shalat. Maklum selama ini dia
tidak pernah merasa berkepentingan dengan yang namanya Tuhan. Sehingga meskipun dalam
pengakuan lisan dan data tertulisnya Elqo itu beragama Islam. Tapi sudah berapa tahun
lamakah  hidupnya kosong dari makna keTuhanan? Apakah benar kali ini ia akan menghadap
Tuhan? Apakah yang akan diadukannya pada Tuhan? Apakah ia akan mengaduh perih
menjatuhkan air matanya guna merayu Tuhan agar mau berbaik budi padanya? Mungkinkah
Tuhan akan perduli padanya jika Tuhan pun selama ini tidak pernah diperdulikanya? Ataukah
Elqo menghadap Tuhan itu untuk bertaubat atas segala dosa yang telah dilakukannya?
Jikapun benar ia akan bertaubat, apakah taubatnya itu berhubungan dengan kecelakaan dan
derita yang harus diembannya sekarang? Hanya Tuhanlah yang tahu apa yang Elqo panjatkan
dalam do’anya.
Christian nongol di pintu kamar. Rambutnya masih tampak basah sehabis mandi. Dia
hanya mengenakan celana panjangnya sehingga dadanya yang telanjang menampakan kedua
puting susunya yang kembali dipasangi anting-anting. Dia tidak langsung masuk ketika
melihat adegan Elqo yang sedang melaksanakan shalat.
“Kamu tidak shalat?” Christian menoleh Muslim yang keluar dari kamar.
“Bedebah dengan yang namanya shalat!”
“Lho!?” Christian mengikuti Muslim keluar menuju teras yang belum dinyalakan
lampunya.
“Percuma aku shalat juga jika perbuatanku tidak mencerminkan keIslamanku.”
“Shalat juga kan cerminan nyata yang menunjukan keIslamannya seseorang?”
“Aku tidak suka kemunafikan. Itu saja. Tidak sedikit ahli shalat yang akan menjadi
penghuni neraka kelak di akhiratnya,” Muslim duduk di teras yang diterangi redupnya cahaya
bulan separuh yang menyerpih dedaunan pohon vinus. Sungguh terasa betapa indahnya di
tepian malam itu.
“Kau bilang tukang shalat banyak yang jadi ahli neraka. Apalagi yang tidak
melakukan shalat,” Christian duduk disamping Muslim sambil mengenakan bajunya.
“Jika aku memang ingin masuk surga. Aku tidak punya jaminan amalan shalatku
dapat ditukar dengan kemaha megahannya surga. Aku lebih menyetujui pendapatnya
Nurkhalish Madjid yang tidak memusatkan titik tumpu kedekatan umat manusia terhadap
Tuhannya hanya melalui rutinitas ubudullah yang telah tertera dalam kitab-Nya saja.
Melainkan ibadah yang mendekatkan Tuhan dengan manusia itu adalah ibadah yang tidak
terjerat sebuah keterbatasan. Yaitu setiap pergerakan manusia yang sanggup mengoneksikan
hati nuraninya pada kejernihan jiwanya hingga sampai pada tingkat kesucian ruhiahnya
bertemu Tuhan dalam konteks Tuhan itu berupa sinaran yang menggetarkan ruhani, maka
disanalah terciptanya amalan ibadah yang sampai kepada Tuhan. Karena shalat dan
sembahyangmu di gereja itu hanyalah formalitas bentuk ibadah saja. Sebagai pembeda antara
adat dan budaya yang dibatasi hukum agama yang sesuai mengikuti arus perkembangan
zaman. Dibalik semua ajaran agama yang ada, pusat dari peradaban manusia dan
peribadatannya itu sama yaitu proses perjalanan menuju Tuhan. Agama hanyalah sebuah
organisasi yang terhimpun dari perkumpulan beberapa manusia yang tergabung untuk
memegang satu prinsip yang sama. Jikapun Tuhan itu menunjuk hanya satu agama saja yang
benar, apakah Islam merupakan agama yang menjamin umatnya masuk surga? Sedangkan
Islam sendiri sekarang sudah banyak sekali alirannya. Mana dari himpunan syariat-syariat
Islam itu yang paling benar yang mempunyai stempel asli atas nama Tuhan? Semuanya
memiliki keyakinan yang sangat kuat. Mereka yang paling benar. Jika memang demikian,
surga ataukah neraka yang lebih luas tempatnya apabila melihat janji Tuhan yang hanya
mengakui satu agama saja yang benar?
Ku rasa Islam dan Kristen juga agama lain yang ada di muka bumi saat ini semuanya
mengajarkan kebenaran. Selalu berpacu pada azas keTuhanan. Sungguh agama mengajarkan
manusia agar bertahta mulia. Siapapun dia yang beragama, terlepas agama apapun yang
mereka pegang. Senyatanya mereka telah meyatakan kerendahan dirinya dengan sangat
terhormat. Mereka menyadari dan meyakini bahwa hidup ini ada yang menciptakanya. Ada
kekuatan sesuatu yang Maha Besar dan Maha Sempurna yang menggerakan kehidupan ini.
Yaitu Tuhan.
Sedangkan kita Christ. Tuhan kita ini sebenarnya siapa, jika perbuatan kita tidak
mencerminkan salah satu ajaran agama manapun? Apakah Tuhan kita masih akan mengakui
kita sebagai hamba-Nya, seandainya keyakinan kita terhadap-Nya hanya berupa pengakuan
saja tanpa adanya bukti nyata menjalankan tata cara ibadah yang telah dianjurkan-Nya?”
Muslim menerawang jauh ke negeri awan putih dimana segala kebenaran terpantau amat jelas
dari atas sana. Ia seakan ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya itu seperti apa. Kalau
kuasa, mungkin Muslim inginnya meminjam buku amal seorang manusia yang dicap masuk
surga oleh Allah dari tangan malaikat pencatat amal. Biar ia bisa meniru dan meyakinkan
hatinya bahwa jalan yang ditempuhnya benar-benar jalan lurus sesuai kehendak Tuhan. Dan
kalau bisa, ia ingin melihat buku catatan amalnya biar ia bisa mengoreksi diri tentang dimana
letak nilai baik dan buruk amalnya berada. Jika ia telah tahu, mungkin tidak akan ada lagi
keraguan untuknya melakoni jalan hidup dalam jalur agamanya. Dan mungkin saja,
homoseksual itu tidak pernah tercatat merah dalam lembaran buku amalnya!
“Lalu sekarang bagaimana rencana kita selanjutnya?” Christian akhirnya terdengar
bicara setelah beberapa saat mereka terdiam dalam permainan manjanya semilir angin
malam.
“Seandainya kita masih mempertahankan sifat kehomoseksualan kita, aku ingin
mendirikan agama khusus buat kaum homoseksual. Yang menjadikan agama poros tengah
bagi kalangan kita. Mengapa bisa sebagian kalangan meruntuhkan ajaran agamanya demi
membenarkan homoseksual? Sedangkan mendirikan agama baru yang sama sekali tidak
merubah atau menduplikat ajaran agama yang telah ada mesti dilarang?”
“Kamu yakin dengan pilihanmu?”
“Daripada aku merasa terkekang oleh hukum agamaku. Lebih baik aku mendirikan
agama baru yang bisa ku atur hukumnya semau sendiri. Daripada aku terus dihantui perasaan
berdosa pada Tuhanku. Mungkin dengan agama baru aku bisa lebih akrab lagi dengan Tuhan.
Karena aku akan selalu merasa dikasihani, dicintai dan diperhatikan-Nya tanpa adanya
perasaan takut atas pencekalan-Nya. Aku akan beribadat lebih khusuk lagi. Karena
keyakinanku sepenuhnya mengimani-Nya. Aku berjanji dengan agama baruku aku akan
menjadi orang yang lebih baik lagi. Sebagai umat yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk
Tuhannya.”
 
10 ‘CRYSIS;
 
Agama tanda cinta hidup’                 
 
Kehidupan Muslim yang dilanda krisis keyakinan semakin kritis. Jiwanya yang
labil membentuk segumpal keyakinan baru yang sangat kuat menggerakkan IQ, EQ dan
SQnya. Kecerdasan intelektual, emosional dan spiritualnya terus beputar mencari fatwa-fatwa
dan paham yang sekiranya bisa memperkuat untuk membenarkan keyakinannya. Anehnya,
Muslim seperti yang mengabaikan kebijakan ibunya dalam pengambilan dasar-dasar
pembentukan aliran paham barunya itu. Muslim merasa pendapat ibunya dalam
pemberdayaan kaum homoseksual itu tidaklah begitu kuat untuk dijadikan dasar terbentuknya
agama baru yang diusungnya itu. Dia malah mengambil dalih Dr. Anis Malik Thoha tentang
pluralisme agama yang termaktub dalam bukunya berjudul ‘Tren Pluralisme Agama’, yang
menyatakan bahwa:
‘… di kalangan para ahli dan berbagai disiplin ilmu, ada kecenderungan baru yang
cukup kuat untuk memperluas definisi agama hingga mencakup semua jenis kepercayaan
dan keyakinan serta ideology, baik yang berketuhanan (theistic) maupun tak berketuhanan
(non-theistic), sebagaimana dalam klasifikasi John Hick, atau jenis agama alternative yang
menurut terminology Paul Tillich adalah ideology yang mirip agama atau ideology
pengganti agama (quasi-religions), atau menurut istilah Ninian Smart adalah filsafat hidup
atau pandangan dunia (worldviews) …’
“Aku tidak mempunyai komentar apa-apa atas niatmu untuk mendirikan agama baru.
Jika kamu memang akan merasa nyaman dengan agama barumu, mungkin itu pilihan yang
bijak daripada tidak beragama sekalipun. Jika memang seluruh agama yang ada di muka
bumi ini tidaklah satupun yang engkau pahami, daripada kamu memegang satu agama yang
hanya menykisa batinmu saja dan merasa kamu selalu berdosa terus menerus karena tidak
ikhlas kamu menjalankan syariatnya. Semoga saja agama baru yang kau yakini beserta Tuhan
yang akan kau lantik itu bisa membawamu pada akhlak yang mulia. Aku hanya bisa
memberikan dukungan moral kepadamu. Aku berharap kamu bisa menjadi pemimpin agama
yang baik. Menjadi suri tauladan bagi seluruh umat agamamu. Laksana mulianya Nabi
Muhammad SAW dalam mendakwahkan Islam. Selamat berjuang! Do’a dan cintaku selalu
menyertaimu,” semangat Elqo penuh haru sambil mengelus-elus bahu Muslim yang
bersimpuh mohon do’anya.
Dengan mata yang berlinang, tatapan matanya sejenak beradu. Kemudian didekapnya
tubuh itu. “Atas rasa cinta pada dunia dan hidupku. Aku dirikan agamaku,” bisik Muslim
lirih.
Hari itu, Jum’at 13 Juni 2008 diadakan konferensi meja bundar di kediamannya
sahabat dekat Christian. Mister Rothe Vej yang juga seorang gay meski dulunya sempat
kawin dengan perempuan Indonesia. Tapi 9 minggu yang lalu dia hengkang ke Calipornia
mempersunting seorang gay asli sana. Sehubungan kontrak kerjanya di Indonesia telah usai.
Maka bangunan rumahnya ia titipkan pada Christian sebelum ada orang yang besedia
membelinya. Dan sampai saat itu belum ada orang  yang berminat hingga rumah itu untuk
sementara kosong tidak ada yang menempatinya.
Dengan demikian rumah yang terletak di Jl. Papaya 06 kawasan Jagakarsa Jakarta
Selatan itu sangat nyaman untuk dijadikan tempat rahasia terlaksananya perundingan antar
senior gay Indonesia yang sudah dikirim lampiran undangan sebelumnya. Sekitar 60 orang
gay dari berbagai daerah dan kalangan agama yang hadir dalam acara itu. Terdiri dari 33
tokoh gay (20 laki-laki termasuk Muslim dan Christian, dan 13 perempuan) dan 27 fanatisme
gay dan lesbian yang ingin ikut berpartisifasi dalam menyumbang aspirasi demi kemajuan
indevendensi koloninya.
Acara dimulai dari jam 15.30 WIB. Christian yang pada saat itu tampil rapi bertugas
selaku moderator. Disaat Muslim menyampaikan tujuan utama dari pertemuan itu yaitu
perihal rencana membentuk sebuah lembaga khusus demi pemberdayaan hak asasi kaum
homoseksual. Seluruh peserta setuju dan memberikan sambutan yang meriah dengan harapan
besar yang menggunung tentang cerahnya masa depan mereka. Tapi setelah Muslim
menerangkan lebih jauh tentang lembaga yang akan didirikannya itu mengusung jalur
keagamaan yakni membentuknya sebuah agama baru yang diperuntukkan khusus umatnya
homoseksual. Terjadilah disana pro dan kontra. Adu pendapat antara para fanatic agama
dengan kaum bebas.
Muslim tidak menindaklanjuti anggota forum dengan demikian exstrim. Ia
menjelaskan kecenderungan lebih baiknya perkembangan gay di dunia khususnya Indonesia
jika sudah terbentuknya sebuah wadah yang berazaskan keTuhanan. Dan lebih memberikan
janji manis seandainya mereka mempunyai agama sendiri niscaya akan terbentuknya
peraturan-peraturan yang bersifat sangat memprioritaskan kepentingan dan hak-haknya.
Setidaknya begitu juga dengan pemerintahan akan memberikan perlindungan hukum yang
sejajar sesuai undang-undang yang berlaku.  
Usai musyawarah yang cukup menarik dengan beragam pendapat yang dilontarkan.
Maka terbentuklah sebuah keputusan mufakat yang 90% setuju untuk mendirikan agama
baru. Kemudian Muslim mengetengahkan usul tentang nama agama barunya itu :
‘CRYSIS’, singkatan dari CRYS (Christian/Kristen) dan IS (Islam). Kenapa
mengambil namanya mesti menggabungkan nama dua agama tidak mengambil nuansa baru
dan umum? Karena dari semua anggota gay yang hadir saat itu terdiri dari dua umat agama.
Yakni Kristen 21 orang dan Islam 39 orang. Lagipula dua agama ini merupakan agama yang
paling sering besinggungan di muka dunia. Dan misi CRYSIS itu sendiri adalah sebagai
agama poros tengah yang bisa menjadi pemersatu dan juru perdamaian bagi Kristen dan
Islam. Khususnya kaum homoseksual. Karena agama ini adalah khusus diperuntukkan
sebagai agamanya kaum homoseksual. Terlepas mereka berlatar agama apapun sebelumnya.
Tidak semata-mata Muslim menamainya CRYSIS kalau tanpa sebuah pemikiran yang
matang. Karena CRY bisa berarti seruan atau tangisan, berlanjut dengan makna CRYS yang
diambil dari kata CRYSTAL yang berarti Kristal sesuatu zat yang bening, juga CRYS sebagai
pelesetan dari Keris yakni sebuah perkakas yang unik dan tajam yang ketika zaman dulu
terkenal kesaktiannya, dan IS berarti adalah atau ada atau berada,
atau IS itu ISSUE yaitu masalah, atau pulaISME yakni paham, juga layak
menambahkan IS itu berasal dari suku kata ISLAND yang berarti tanah atau pulau. Jadi
secara istilah CRYSIS bisa diartikan sebagaiseruan paham bening atau suci yang
mengabarkan bahwa sesuatu itu ada tempatnya. Jika huruf Y diganti dengan I maka
menjadi CRISIS yang berarti masa gawat. Maka secara umum CRYSIS mengandung
makna wadah atau agama yang tajam menyerukan paham kebenaran bagi umat yang
bermasalah sangat gawat dengan agama yang dianutnya. Dan diambilnya perpaduan kata
CRYSIS tidak ISCRYS (Islam-Kristen) juga memiliki makna tersendiri dilihat dari mata
penilaian sejarah dimana Kristen atau Nasrani dengan Injil nya jauh lebih dahulu
berkembangnya dibawah kenabian Isa AS dengan pangkat Almasih ketimbang Islam yang
baru muncul di abad kelima Masehi dalam kerasulan Muhammad SAW yang diberi gelar Al-
amin.
Sepertinya Muslim tidak main-main dengan rencananya. Terbukti dari
kemantapannya itu ternyata dia tidak hanya mempersiapkan nama untuk agama barunya itu
saja melainkan sudah lengkap dengan simbol CRYSIS yang syarat dengan makna. Lihat!
 

 Lambang CRYSIS yang terdiri dari gabungan beberapa simbol:

bulan bintang menunjukkan simbol Islam, bulan dan bintang sebagai sumber cahaya yang
indah yang bersinar teduh di tengah gelap gulitanya malam.
 salib menunjukkan tanda Kristus, pengorbanan Yesus demi menebus segala dosa seluruh
umatnya.
 gen biologis kelamin perempuan, pemikiran yang bulat dan positif.
gen biologis kelamin laki-laki, petunjuk yang bulat (mantap/benar).
 kertas simbolik dari kitab,   sebagai azas ketuhanan dimana adanya hukum yang mengatur
kehidupan.
 

Sedangkan warna: *biru; merupakan cerminan pribadi kelembutan dan keromantisan yang


netral _tidak seperti warna fink yang cenderung mendominasi sifat perempuan_, *abu-abu;
transparansi sebuah rahasia yang terselubung, *ungu; banyak orang yang menasbihkan
sebagai warna yang identik dengan barang second (duda/janda)._tetapi lain halnya dengan
nama sebuah band_ dan *putih; adalah kesucian.
 
Jadi kalau melihat definisi CRYSIS dari simbolnya bisa diartikan sebagai cahaya petunjuk
yang benar ditengah kegelapan yang sanggup mensucikan dosa manusia yang memiliki
kesatuan perasaan nafsu sex dengan nurani yang bersumber dari Tuhan yang cinta kasih-
Nya begitu nyata dirasakan bagi mereka yang telah dianggap tidak berarti lagi dalam
agamanya.
 
Tetapi dibalik semua rancangan yang sudah disusunnya, keputusan tetap harus hasil
mufakat. Sehingga akhirnya Muslim menyerahkan kesepakatan ke forum. Dan ternyata, tak
ada satupun suara yang menyanggahnya. Mereka setuju. Sangat setuju! CRYSIS adalah
agama logika yang penuh janji manis tentang masa depan yang dinamis dan realistis. Agama
yang sangat humanis. Melindungi hak asasi cinta bagi pasangan sejenis! Selamat datang
bagimu yang teraniaya dan merasa sudah terasingkan dari qadratmu sebagai manusia! Agama
ini menyambutmu penuh cinta. Welcome, if you want to world is loving you!  Caused it’s the
largest heaven. Ever you think it’s maybe no! Congratulation … for you is your new God! No
fear to love. God together love always.   
Lalu, siapakah Tuhan itu? Dalam CRYSIS Tuhan itu tidak perlu dikenal nama-Nya
siapa. Tuhan hanyalah kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha Kuasa menciptakan manusia
beserta alam raya semesta. Tanpa ada batasan-batasan waktu sebuah rutinitas untuk beribadat
pada-Nya. Dan Muslim tidak serta merta menobatkan dirinya sebagai nabi. Cukup puas
dengan tersampaikannya mukzizat kepada umat juga. Ilham terang pemberi petunjuk bagi
mereka yang tersesat dalam langkah menuju Tuhan yang bisa menyayangi mereka. Dialah
Tuhanmu. Cukup kau panggil Tuhan. Dia pasti akan menolehmu.
 
Maka dalam pertemuan itu dicapailah kebijakan mufakat yang sangat sakral:
1.      Agama CRYSIS
2.      Simbol CRYSIS
3.      Tuhan adalah sebagai nama Tuhan itu sendiri
4.      Homoseksual sebagai umat utama
Sementara peraturan hukum akan dikaji dalam musyawarah selanjutnya yang
berkesinambungan. Kumpulan kesepakatan akan tertuang sebagai kitab suci.
 
Dan malam itu, tepat jam 21.00 WIB mereka menyatakan keCRYSISannya. Tangisan
haru yang syarat penuh cinta laksana hujan yang turun di padang tandus. Peluk cium suka cita
menebar harmoni damai diantara senyum bahagia. Inikah agama sesungguhnya yang mereka
dambakan? Wahai dirimu yang rindu damai dan kesejahteraan, selamat datang! CRYSIS
untukmu gay yang haus kasih sayang Tuhan. Disini tempatmu berpijak dalam kebenaran. Tak
ada lagi dosa untukmu bercinta. Karena Tuhan pun tidak tentu bagaimana kelaminnya.
Dipeluknya Muslim erat-erat. Dialah yang pertama memeluknya dan kini dia juga
yang mengakhiri dari serangkaian pelukan cinta dan kehormatan dari jemaat barunya. Wajah
Christian menyemburatkan sinar kemenangan. Kebahagiaan. Kebanggaan dan kepuasan. Air
mata cinta seorang gay. Sebening nuansa suci hatinya yang sejuk tersinar serpihan cahaya
Tuhan yang Maha Benar akan segala apa yang dititipkan pada makhluk ciptaan-Nya.
“Sejarah hidup kita dimulai dari sini. Semoga engkau merasa senang atasnya, Christ!”
“Aku sangat berbahagia sekali saat ini. Ternyata kita memang sehati. Jiwamu adalah
jiwaku. Nuranimu adalah cahaya hatiku. Antara kita tidak mungkin dapat dipisahkan lagi.
Aku sembahkan jiwa ragaku padamu. Muslim, sekarang aku milikmu. Aku akan
mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu. Bakti dan cintaku adalah untukmu.
Perlakukanlah aku layaknya seorang kekasih memperlakukan kekasihnya. Baik dan buruk
amalku, engkaulah yang akan menjadi sumber tauladanku. Kalau engkau mau, tak segan
untukku sampaikan kabar gembira kenabianmu pada seluruh umat. Wahai dirimu seorang
utusan Tuhan yang bijak. Syibhi Muslim Al-Adl,” begitu sempurnanya Christian berlakon
laksana jerat cinta kama sutra sidiqnya Abu Bakar pada Muhammad.   
Malam yang kian larut bertebaran sinar bintang penuh gemerlap cahaya keagungan
yang mempesona. Sepertinya alam sangat berbaik budi pada malam ini. Adakah memang
senyatanya Tuhan lebih menyukai kehidupan yang terpecah kembali menyatu dalam suatu
kesatuan yang berbeda? Inikah ilham? Inikah mukzizat? Inikah kecerdasan? Inikah
kebenaran? Inikah perkembangan? Inikah kemajuan? Inikah kemanusiaan? Inikah
keTuhanan? Atau inikah…? Ya, inikah memang inilah. Begini adanya. Kebebasan manusia
yang sempurna memiliki sifat yang mulia. Manusia yang ingin dimanusiakan
kemanusiawiannya. Manusia yang ingin memanusiakan manusia. Manusia yang telah merasa
hilang harga dirinya sebagai manusia ditengah peradaban manusia. Manusia yang sudah tidak
merasa lagi menjadi manusia dihadapan Tuhannya. Lantas apa sebenarnya yang Tuhan lihat
saat menyaksikan mereka? Binatangkah mereka itu di matanya? Syaitankah mereka itu dalam
tingkahnya? Apa mungkin Tuhan sudah salah melihat? Atau karena Tuhan sudah rabun dan
pikun? … Ah. Jangan paksakan aku untuk membaca sesuatu yang lain yang lebih parah dan
menjauhkan diri dari-Nya. Jika mereka memang merasa benar. Apakah dengan semudah itu
aku harus menyalahkan sesuatu yang ku pilih? Bukankah ini juga kebenaran tentang sebuah
keyakinan?
Lakum dinukum waliyadin; untukmu agamamu, untukku agamaku! Diamlah, karena
kita sama-sama benar. Jika memang kau masih merasa umat yang beriman. Imanlah pada
agamamu. Karena agama bukan sebuah paksaan. Tapi terlahir demi menyelaraskan sifat
manusia dengan Tuhan dan kebenaran.
“… saya sengaja menunggu Bapak berdua.”
“Ada sesuatu yang sangat penting kiranya?” Tanya Muslim dengan ramah.
Kalau kelaminnya perempuan wajah itu mungkin cantik. Apalagi kulitnya yang putih
bersinar itu sangat halus dan lembut. Bibir tipisnya yang merah merona itu sangat manis
menggoda. Sungguh siapa gay pejantannya yang tidak terjerat hatinya? Gay feminim satu ini
penuh kelembutan. Laki-laki yang manis. Senyumnya segar laksana strawberry. Matanya
hitam putih umpama kopi susu. Menggiurkan hasrat mereka yang merindukan belai lembut
kemanjaan. Evel lelaki berambut lurus sejengkal acak-acakan itu.
“Saya sangat terkesan dengan idealisnya pemahaman Bapak tentang memaknai
hidup,” ujar Evel mengawali pembicaraan.
“Terima kasih. Jika kamu bisa menerima CRYSIS, marilah kita berjuang bersama
demi melindungi hak-hak kita sebagai gay.”
“Eh, sebelumnya aku minta maaf. Apa tidak lebih nyamannya bila kita berbincang
sambil menikmati secangkir kopi hangat?”
Muslim melihat pada Christian. “Kamu lapar?”
“Mungkin saudara Evel juga sama,” Christian melemparkan alibi pada Evel.
“Tidak juga. Saya masih berasa kenyang dengan konsumsi yang disuguhkan tadi
juga,” sanggah Evel sambil tersenyum.
“Aku ngerti. Kamu tadi terlalu suportif dalam musyawarah hingga lupa makan segala.
Padahal kamu sendiri yang memesankan catering. Tapi sebenarnya aku juga sama lapar.
Hanya rasanya aku merasa lebih nyaman ngobrol disisni. Kamu ke warung saja dan tolong
pesankan aku satu,” kata Muslim.
“Evel?” Christian melihat Evel.
“Tidak usah. Terima kasih.”
“Jangan begitu. Kalau tidak mau makan. Kopi, susu atau minuman dan makanan lain
barangkali?” tawar Muslim.
“Kalau begitu teh hangat saja. Saya merasa tidak enak jadi merepotkan.”
“Enggak apa-apa. Sungguh kami yang malah akan merasa tidak enak tidak bisa
menjamu kunjunganmu dengan memuaskan,” timpal Muslim.
Sementara Christian berlalu menuju warung nasi terdekat yang memberikan
pelayanan 24 jam. Muslim dan Evel duduk di tepi teras rumah dibawah redupnya cahaya
lampu yang tergantung di langit-langit.
“Saya sangat merasa senang sekali. Apabila CRYSIS sudah disyahkan pemerintah.
Mungkin kita akan mendapatkan perlindungan hukum. Dan sudah dapat dipastikan seluruh
homoseksual di dunia akan menyambut kedatangan CRYSIS dengan penuh suka cita.
Seandainya kaum gay sudah tergabung dalam satu kesatuan badan hukum, tidak menutup
kemungkinan kita dapat mendirikan Negara bagian khusus bangsa CRYSIS,” Evel sangat
antusias menyambut hangat kehadiran CRYSIS yang penuh janji kerukunan dan
kesejahteraan hidup homoseksual dalam romantika berkasih sayang dan berkeTuhanan.
“Kamu menghadiri launcing agama gay ini ikut beserta kesatuan homoseksual daerah
mana?”
“Saya mendapat informasi dari forum lingkar gay Bogor. Antolin Joseph dan Titia
Alimistri sebagai ketua perkumpulan gay dan lesbianisme Bogor yang tadi sempat menolak
terbentuknya CRYSIS,” terang Evel.
“Latarmu sendiri?”
“Belum lama ini saya terjun dalam semarak kebahagiaan hidup gay.”
“Apa karena terjerumus pada sebuah masalah? Atau berawal dari bisikan nuranimu
sendiri?”
“Masalah itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Baik buruk dampak yang
ditimbulkan sebuah problematika yang kita hadapi, berawal dari sikap sadar dan sabarnya
kita juga. Dalam hal ini saya tidak menepis jika sifat kehomoan saya tumbuh dari sebuah
masalah. Saya terjerat hubungan cinta dengan pelacur yang bisex. Saya tidak pernah
menyangka akan mempunyai anak dari keturunan manusia kotor dan hina seperti itu. Dan
parahnya anak itu lahir diluar nikah. Sungguh sesuatu yang membuat saya merasa sangat
dilemma dengan yang namanya cinta. Setelah itu saya tidak mempunyai lagi kepercayaan
pada yang namanya cinta. Saya tidak memperdulikan lagi makna kesucian dan harga diri.
Dimanapun saya mau sex, disitu saya cari kenikmatan. Tapi saya tidak sejalang pelacur-
pelacur liar. Karena yang saya cari adalah kenikmatan yang berada diatas keadilan,” Evel
menuturkan lakon drama hidupnya yang tersudut dalam sebuah prinsip.
Muslim menatap Evel yang terduduk dekat disampingnya dengan sorot matanya yang
buyar ke depan.
“Hai!” sapanya lembut pada lelaki itu.
Evel meliriknya. Lalu bibirnya yang merah itu tersenyum. Dug. Ada sentuhan halus
menumbuk dada Muslim secara tiba-tiba. Senyum itu terlalu manis. Hati Muslim bergetar
lembut. Darahnya berdesir lirih menebarkan gula-gula bibir itu pada setiap sel tubuhnya.
“Kenapa?” bisik Evel penuh jerat.
Muslim menelan ludahnya. Mengapa lelaki ganteng dihadapannya itu bisa-bisanya
membekukan sel syarafnya? Muslim mencoba berusaha menjaga image kepemimpinannya.
“Jadilah dirimu sendiri. Yakinlah dengan apa yang kamu perbuat bahwa segalanya itu
adalah kebenaran,” kilahnya memotivasi keyakinan Evel.
“Bukan sesuatu yang salah seandainya saya mencintai Bapak?” mata Evel yang
lembut tapi tajam itu membidik kekuatan karismatik aura seorang Muslim. Muslim yang
sesaat terdiam. Menormalkan proses jiwanya yang tergoyang hebat.
“… eh, jangan biarkan nafsumu mempermainkan akal sehatmu. Cintamu hanya
tergoda dipandangan pertama. Tidak patut kau banggakan diriku dengan cintamu,” Muslim
berusaha menyembunyikan getar hatinya yang senyatanya memang tergoda.
“Salahkah jika saya mencintai Bapak? Apa itu bukan sesuatu yang baik demi
memperkuatnya keyakinan saya tentang CRYSIS?”
“Tidak semata-mata aku dirikan CRYSIS kalau aku bukan gay. Aku sudah
mempunyai pasangan yang tak mungkin dapat terpisahkan lagi.”
“Pak Christian kan? Bapak sudah menikah dengannya?”
“Sebatas kekasih.”
“Jikapun Bapak dengan Pak Christian sudah menikah juga saya tidak keberatan
menjadi pasangan Bapak yang kedua. Bukankah CRYSIS juga membolehkan poligami?”
Muslim tertegun dalam tatap penuh arti tertumpu di mata laki-laki manis itu. Adakah
mungkin undang-undang poligami itu dalam CRYSIS? Jangankan poligami, undang-undang
perkawinanpun belum terbentuk. Apakah mungkin ada K.U.A (Kantor Urusan Agama)
CRYSIS yang bakal melegalkan perkawinan sejenis di negeri mayoritas Islam ini?
“CRYSIS baru terbentuk. Kita lupakan dulu masalah pribadi. Kita dahulukan dulu
urusan yang menyangkut kepentingan banyak umat CRYSIS yang mungkin saja akan
semakin bertambah. Lagipula CRYSIS belum tentu aman. Tidak menuntut kemungkinan
CRYSIS akan menghadapi banyak hujatan dan celaan dari khalayak. Belum tentu pemerintah
juga bersedia mengizinkan CRYSIS. Kita harus berjuang membela dan mepertahankan
CRYSIS. Kita harus memberikan paham agar mereka mengerti. Kita harus bisa meyakinkan
mereka. Jika tidak, mungkin saja aku bisa dipenjara,” Muslim menyampaikan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi dalam CRYSIS dengan harapan Evel mau mengerti.
“Bolehkah saya menyentuh Bapak? Barang sejenak saja saya ingin menikmati
hangatnya memeluk Bapak. Lama sekali saya tidak merasakan kedamaian hati seperti
sekarang ini. Saya merasa sangat jatuh hati sekali pada Bapak. Saya jatuh cinta,” mata Evel
berbinar-binar.
Muslim terdiam. Nafasnya dihela perlahan. Kenapa cinta itu seperti itu? Adakah
kesalahan dari dirinya yang selalu melantunkan cinta pada setiap mereka yang tak pernah
dimimpikannya?
“Ataukah CRYSIS mengharamkan menjamah orang bukan mukhrim?”
“Bagaimana bisa kita mengharamkannya. Justru CRYSIS tercipta demi menghindari
keharaman dan keterlarangan hubungan sex antar sejenis. Karena dunia homo identik dengan
simbol sex bebas. Maka CRYSIS mencoba mengaturnya dalam binaan agama. Agar homo
tidak lagi sebebas sex tanpa ikatan. CRYSIS bertujuan menyatukan jalinan cinta dan sex
homoseksual ke dalam  sebuah bahtera rumah tangga. Agar mereka bisa berkeluarga.
Mengecap indahnya kehidupan yang sempurna layaknya orang sex normal kebanyakan,”
jelas Muslim lagi penuh harap.
“Izinkan saya memeluk Bapak,” Evel menggeser duduknya merapat pada Muslim.
Kedua tangannya rekah seraya mendekap Muslim.
Muslim biarkan saja Evel memeluknya. Biarkan saja kehangatan itu merebak
menyebar ke seluruh sel organ tubuhnya. Biarkan saja jantungnya berdebar. Biarkan saja,
karena ia tidak tahu harus berbuat apa jika hatinya juga senyatanya mengiyakannya.
Mengiyakan Evel berbuat seperti itu terhadapnya. Mengiyakan Evel mendekapnya. Dimana
desir cinta bedenyut di kedua nadinya.
Disandarkannya kepalanya itu di bahu Muslim. Wajah keduanya begitu dekat.
Nafasnya telah menyatu dalam satu helaan udara yang sama. Muslim tergoda. Berahi itu
membakarnya. Ah, Muslim tak kuasa. Didekatkannya wajahnya dengan wajah itu. Semakin
dekat. Dan, rapat. Ciuman itu … akhirnya mendarat! Mengapa kenikmatan itu selalu saja
datang berulang? Padahal dia punya janji yang belum usai dengan orang terkasihnya. Janji
setia pada mereka yang mencintainya.      
Langkah Christian terhenti beberapa jarak dari teras rumah. Api itu membara lagi.
Membakar lagi. Panas lagi. Gejolak itu. Cemburu yang memburu. Namun sejenak. Christian
berusaha kembali menetralkan perasaannya. Saat ini Muslim bukan lagi hanya miliknya
seorang. Tapi jauh lebih banyak lagi mereka yang akan memujanya. Satu langkah bergerak
ke depan. Muslim menemukan satu pemujanya. Dua, tiga,empat, lima, sepuluh, seratus,
seribu langkah ke depan. Apa Muslim harus dibiarkan digerayangi seribu pemujanya juga?
Tapi sebatas pengertian, Christian pun mengerti. Hanya, bukankah semenjak kecelakaan itu
Muslim dan dirinya belum sempat sekalipun meluangkan waktunya buat bercinta? Lalu,
sekarang di depan matanya pemuda yang sangat dicintainya itu bercumbu dengan orang baru
kenal sampai sedemikian mesranya? Lantas, dimanakah letaknya batasan kesetiaan itu?
Cukupkah setia berarti saat butuh harus ada?
“Oh, ya. Nih pesanannya,” Christian membuyarkan keromantisan mereka dengan
sikapnya yang berlaga acuh dan biasa-biasa saja. Kok bisa ya Christian yang pencemburu
berat itu berlaga netral?
“Pak Christ. Izinkan saya mencintai Pak Muslim. Bukan berarti saya hendak merebut
Pak Muslim dari tangan Pak Christ. Tetapi alangkah mulianya Pak Christ seandainya sudi
berbagi Pak Muslim dengan saya. Saya sangat mencintai Pak Muslim. Jangan marahi Pak
Muslim jika Pak Christ cemburu. Saya yang sengaja merayunya. Karena saya sangat ingin
sekali bercinta dengannya. Maafkan kenistaan saya. Demi CRYSIS saya bersedia
mengorbankan apapun juga. Asal berilah celah bagi saya untuk mencintai Pak Muslim,” Evel
bicara demikian tegas dan jelas penuh kepastian.
“Bukan sesuatu yang harus diperkarakan. Kita harus bisa saling pengertian. Tidak
salah apa yang kamu rasakan. Sebab cinta itu adalah kebenaran,” kilah Christian sangat bijak.
Muslim tidak berkomentar perihal kejadian itu. Ia seakan tidak ingin banyak cakap
apa-apa. Ia mengerti bagaimana perasaan Christian saat ini. Ia menyalahkan dirinya cukup
dalam hatinya. Dan ia jangan berlaku lebih bego dari itu. Bagaimanapun juga Christian itu
sekarang sudah siapanya dia? Christian adalah … yang memujanya sebagai kekasih. Ya. Dia
harus menjadi tauladan. Segenap tingkah lakunya melangkah diatas terompah CRYSIS.
Muslim mengambil makanan yang dibawakan Christian. Begitupun teh hangat
dikasihkannya pada Evel. Setelah mengajak Evel yang menolaknya untuk makan bersama,
Muslim dan Christian pun segera mengenyangkan perutnya.
“Maafkan aku atas apa yang telah terjadi!” ucap Muslim dengan segenap kerendahan
diri.
“Kau tahu sendiri apa yang aku rasakan. Tapi saat ini aku harus mengerti, CRYSIS
bukan milik kita berdua. Aku harus menerima kehadiran orang lain dalam hidup kita. Kau
bukan hanya milikku. Tapi milik orang banyak, mereka pengikut CRYSIS. Agama yang
terlahir dari agungnya nuranimu. Jangan pernah merasa salah kepadaku karena banyaknya
orang yang mencintaimu. Aku hanya pengikutmu. Sesuatu yang kau anggap baik, baik juga
bagiku dan bagi mereka. Karena segala fatwamu adalah kebenaran yang bersumber dari
Tuhan. Bagaimanapun jejakmu, aku dan mereka ikut melangkah menyertaimu. Sabdamu
adalah petunjuk arah dalam perjalanan hidup kami semua…” penuturan Christian begitu
tegar mengalun syahdu laksana dawai biola yang tergetar. Suara kesucian dari merdunya
dawai hati seorang sufi. Christian, yang kembali suci seputih kelahiran.
“Elqo menghubungi,” Muslim melihat monitor ponselnya.
“Angkat saja,” Christian tulus.
“Gimana acaranya udah kelar?” Tanya Elqo.
“Sejak jam sebelas.”
“Launcingnya sukses?”
“90%.”
“Syukurlah! …!?” suara Elqo lalu diam.
“El. Apa ada sesuatu yang sangat penting?” Tanya Muslim heran.
“Enggak. Cuma kangen aja pengen ketemu kamu.”
“Jam segini kamu belum tidur?”
“Mana bisa tidur. Pikiranku inget sama kamu terus. Kangen banget. Inginnya aku
menyusulmu ke situ. Tapi ku kira kamu akan segera pulang. Nyatanya belum nongol juga.
Padahal usainya jam sebelas. Sedang ini udah jam setengah tiga. Kamu kencan dulu sama
Christian kan?”
“Percayalah padaku. Aku dengan Christian tidak ngapa-ngapain.”
“Aku percaya padamu. Tapi jikapun memang kamu bercinta dengannya juga gak apa-
apa. Aku tulus kok. Aku juga menerima diriku saat ini bukan lagi Elqo yang sanggup
menggairahkan berahimu …”
“El. Jangan berkata sesuatu yang lebih terbuka lagi soal itu. Tanpa pengakuanmu juga
aku pun tahu. Tapi cintaku padamu tak akan memudar karena itu.”
“… aku ingin semua orang tahu tentang aku. Termasuk Christian agar dia tidak lagi
mencemburukan kita. Tolong ceritakanlah pada Christian bagaimana keadaan aku sekarang.
Atau biarkan aku bicara dengannya. Atau jika dia sedang mendengarkan aku ngomong.
Syukurlah! Christ …”
Muslim seketika memutuskan saluran. Dengan wajah muram ia menonaktifkan
HPnya. Ada gurat kekesalan yang tersirat di raut mukanya. Christian memperhatikannya
dengan heran. Kenapa Muslim seperti yang tidak menghendaki Elqo bicara padanya? Ada
apa gerangan?
     
 11 ‘IMAN;
 PERCAYA DAN YAKIN’
 
“Kenapa semalam kamu memutuskan teleponku serta tidak mengaktifkannya?”
“Aku tidak ingin melihat Christian bahagia setelah mendengar kejujuranmu.”
“Itu lebih baik bagi masa depan kebahagiaanmu.”
“Okelah kalo kamu memang mau orang lain wajib tahu tentang kamu. Aku siap
membantumu untuk menyebarkan berita kebodohanmu lewat media cetak dan media
elektronik sekalipun. Biar semua orang tahu. Biar dunia tahu. Biar …”
“Muslim!” Elqo menenangkan ego Muslim yang seketika meledak.
Muslim meredam emosinya sendiri. Nafasnya tersengal tertahan. Ada kecamuk batin
yang berontak memaki. Ia menghardik kenyataan yang dihadapinya. Ia muak!
“Sory!” Muslim menghempaskan nafasnya begitu sesak. Berat kiranya untuk ia
rasakan beban yang menimpanya itu.
Keduanya lalu terdiam. Sedan abu-abu itu terus meluncur. Membelah kedua perasaan
yang menumpanginya. Terbelah teriknya matahari musim panas yang membakar siang. Di
jalur tol jagorawi menuju Bogor.
“Apa mungkin CRYSIS sanggup menggantikan posisi Islam di hatimu?” terdengar
suara Elqo mendayu lembut.
“Jika Islam masih menghendaki aku berpegang teguh mengimaninya, mungkin aku
tidak akan melalui perjalanan hidupku menjadi seorang homoseksual.”
“Kamu mengimani CRYSIS sepenuh hatimu?”
“Aku yang mendirikannya. Bagaimana mungkin aku untuk tidak mengimaninya.”
“Apa tidak lebih baik jika CRYSIS hanya dibentuk sebagai sebuah lembaga
pemberdayaan homoseksual saja yang mempunyai peraturan tersendiri? Tidak lekas
menjadikan CRYSIS sebagai agama.”
“Kalau sebuah lembaga anggota yang tergabung didalamnya itu dari berbagai agama
dan keyakinan. Dan agama mana di dunia ini yang melegalkan kaum monosex untuk
mendapatkan perlakuan yang adil? Tak ada satupun kitabnya yang memuat firman Tuhan
tentang keabsahannya homoseksual. Semua fatwa yang ada sekarang hanyalah bersumber
dari mengkelirukannya manusia memaknai agamanya. Yang ingin kebebasan tapi masih
merasa takut murtad. Yang ingin kesenangan tapi masih berharap ingin diakui Tuhan sebagai
umatnya. Sehingga dengan sengaja mereka meracuni paham umatnya dibalik kedok agama.
Apa mereka berlaku demikian tidak lebih sesat dan menyesatkan umat beragamanya untuk
menjauhi fatwa-fatwa kebenaran Tuhan yang seutuhnya? Mereka banyak menyamarkan
makna-makna yang tersirat dalam kitab suci dan sabda para Nabi dengan pemahaman
barunya yang lebih logis dan realistis berdalih diatas pengadaptasian agama terhadap
perkembangan zaman. Mereka menyelewengkan kebenaran. Mereka banyak merenovasi
firman Tuhan tapi tidak mau mengambil alih kekuasaan-Nya. Mereka itu picik. Ingin
mengembangkan pahamnya diatas kepopuleran dan kemajuan sebuah agama yang sangat
besar pengaruhnya di dunia. Tidak mau bekerja keras mendulang keberhasilan dari nol.
Mereka itu pengecut. Jika mereka punya paham sendiri tentang prinsip hidup dan keTuhanan,
kenapa tidak mendirikan kesatuan organisasi yang sepaham dengannya? Jangan mencarut-
marut dan campur adukan pahamnya pada umat yang sudah  berkeyakinan,” Muslim begitu
sentimentil.
“Jika aku tidak bersedia menerima CRYSIS sebagai agamaku. Apa Islam tidak akan
menjadi musuhmu?”
“Agama itu dimiliki oleh orang-orang yang sadar akan adanya Tuhan. Dan agama itu
hanya dapat diterima dengan sebuah ketulusan. Agama yang dipegang tanpa keyakinan akan
menyebabkan umatnya tidak punya tanggung jawab untuk berbudaya agama. Aku tidak akan
memaksa siapapun untuk berpegang pada CRYSIS. Yang akan aku lakukan hanyalah
memberikan penjelasan tentang paham CRYSIS yang bagiku sudah dipastikan bahwa
CRYSIS itu bersumber dari sebuah kebenaran. Apakah salah aku menyampaikan kabar
kebenaran? Menerima ataupun tidaknya itu berada di tingginya puncak keyakinan mereka.
Karena CRYSIS adalah agama yang sangat memuliakan setinggi-tingginya harkat martabat
homoseksual sebagai manusia di mata Tuahannya.”
“Kamu lebih merasa berarti hidup menjadi seorang gay?”
“Siapa bilang? Justru aku hengkang dari Islam juga karena aku merasa hidupku sangat
tidak ada artinya sama sekali dalam agamaku.”
“Apa tidak lebih baiknya kamu berhenti jadi seorang gay dan memulai kehidupan
baru sebagai lelaki normal ketimbang mesti repot mengurusi kegiatan baru keagamaan
agamamu?”
“Sekarang memang kamu baru sadar setelah kamu kehilangan banyak rencana masa
depanmu. Sekarang kamu boleh insyaf dan mengatai gay itu abnormal dan hina setelah kamu
cacat sex. Sedangkan dulu jauh sepuluh tahun sebelum hari ini semasa kamu masih enjoy
menikmati indahnya bersensasi sex sebagai gigolo apa pernah terlintas untukmu menginsyafi
segala kekotoran dan kebiadabanmu sebagai manusia yang beragama? Apa pernah kamu
kenal dekat dengan Tuhanmu? Apa pernah kamu ingat akan kitabmu? Apa pernah kamu
merasa takut pada Nabimu? Apa pernah terlintas ngerinya api neraka di benakmu?
Kini. Saat ini. Sekarang kamu baru sadar. Sekarang. Bukan dulu. Sekarang dikala
dirimu sudah merasa tidak berarti lagi sebagai seorang lelaki sejati. Disaat kelaminmu sudah
tidak terangsang lagi dengan sex. Dengan berahi perempuan dan laki-laki. Setelah kamu
sudah tidak punya nafsu sex lagi. Kenapa? Kenapa tidak sedari dulu kamu sadar dan kembali
pada ajaran agamamu?” Muslim seakan ingin habis-habisan menyudutkan serta menyalahkan
total akhlak Elqo selama ini. Seakan ingin membuatkan cermin yang kembali memutar
bayangan segala perbuatan buruk Elqo. Seakan benar-benar ingin menghakimi dosa-dosa
Elqo. Elqo yang dulu jalang. Yang dulu gagah. Yang dulu jantan. Yang dulu tak pernah
mengenal Tuhan!
Seraut wajah yang masih menyisakan paras tampannya. Kini tidak seangkuh dulu
lagi. Dari kedua sudut matanya bergulir bening butiran-butiran kristal tejatuh di tebing curam
pipinya yang tidak lagi semulus dan sehalus dulu. Hatinya terkoyak. Tercabik sayatan pisau
berkarat. Pisau yang terlupa ia pendam dalam endapan lumpur hitam dosanya.
Air matanya berderai jatuh. Deras. Menghujani debu-debu yang menempel di hatinya.
Debu-debu yang berhamburan dari jejak langkahnya selama perjalanan. Debu yang telah
menebal. Menutup hatinya dari serpihan cahaya terang.
Elqo terisak perih. Setiap hembusan udara yang keluar masuk laksana menghela
sembilu yang ditarik ulur antara hidung dan paru-parunya. Sungguh, ia tak kuasa menahan
sakit yang menderanya. Sakit yang tak pernah terbayangkan akan terlalu dini menghimpitnya.
Rasa sakit yang tidak mungkin Muslim ikut merasakannya. Dan ia tidak ingin Muslim akan
menghadapinya. Elqo takut, jika Muslim harus mengalami luka yang sama dengannya. Bukan
hari ini, tapi nanti! Jika bukan di dunia, derita itu pasti akan menyergapnya. Saat orang lain
sudah tidak memperhatikannya, tapi dia sendiri yang mencela dan menyesalinya. Saat pintu-
pintu telah tertutup kecuali lorong sepi berdinding bara. Saat kelamin sudah tidak lagi
menghadirkan kenikmatan surga!
“Jadi kamu akan taubat setelah Tuhan memberikan adzab? Kamu akan mencontoh
nasib yang aku alami? Kamu akan sadar setelah Tuhan memberikan peringatan? Apa kamu
yakin Tuhan akan ngasih kamu kesempatan untuk taubat setelah kamu diberi adzab?” suara
Elqo tegar penuh pertimbangan tidak ada lagi raut kesedihan yang terbias di wajahnya.
Sebuah ketulusan menerima kehendak Tuhan yang diperuntukannya. Sebuah kelapangan hati
menerima kenyataan kisah hidupnya dengan penuh kesadaran.
“Tuhan tidak pernah salah menurunkan adzabnya. Mungkin kita bisa mengambil
contoh dari karma yang menimpamu. Sebuah kejadian yang membuktikan bahwa gigolo atau
pelacur yang doyan gonta-ganti pasangan, yang suka pada laki-laki dan perempuan justru itu
adalah orang yang tidak normal dan dibenci Tuhan. Faktanya terlihat jelas dengan apa yang
kau alami. Jika Tuhan merasa tidak senang dengan kaum homoseksual ada kemungkinan
Christian pun akan mengalami hal serupa sepertimu karena kecelakaan kalianpun bersamaan.
Tapi nyatanya kenapa Christian baik-baik saja sementara kamu sangat parah dan kelaminmu
sampai putus urat syarafnya?
Jikapun memang homoseksual itu dibenci sama Tuhan. Bukankah dengan sangat
mudahnya Tuhan melaknat dan mengadzabnya? Kenapa kaum homoseksual itu dibiarkan
gentayangan? Dibiarkannya tetap hidup? Apa tidak membuka cakrawala pemikiran kita,
bahwa homoseksual itu juga manusia sebagai ciptaan Tuhan? Manusia yang telah sengaja
Tuhan warisi sifat suka sesama jenis. Jika bukan sifat bawaan yang Tuhan taqdirkan, lantas
sifat kehomoan itu terilhami dari sifat makhluk seperti apa? Bukankah ruh dan jasad manusia
itu hanya Tuhanlah yang Maha Kuasa menciptakannya?” Muslim mengetengahkan berbagai
paham yang akurat dengan hasil tinjauan sudut pandangnya secara konkrit dan aktual. Seperti
yang hendak membuka mata Elqo lebar-lebar untuk melihat sejelas mungkin apa dan
bagaimana kebenaran itu.
“Ya! Tuhan memang murka terhadapku. Dan aku menerimanya dengan tulus dan
penuh kesadaran. Mungkin adzab yang aku terima sebanding dengan dosa yang telah aku
perbuat. Atau bahkan dosaku lebih besar lagi ketimbang balasan yang Tuhan timpakan. Aku
sangat bersyukur Tuhan telah menyapaku dengan demikian bijaknya. Aku yakin apa yang
aku alami ini adalah sebagai tanda dari kasih sayang-Nya. Tandanya Tuhan masih
memperhatikan gerak-gerik tingkahku. Tandanya Tuhan tidak ingin menyaksikan aku
menderita dalam gejolak siksa neraka. Hingga dia menyadarkan aku. Aku kira seperti inilah
bentuk peringatan-Nya yang sempurna untukku. Setelah dengan cara lemah lembut aku tidak
menurut. Dengan sedikit kekerasan akhirnya akupun tunduk. Masih untung aku dikasih
waktu untuk hidup. Padahal jika ditinjau dari aspek kegunaan, apalah gunanya seorang Elqo?
Manusia yang berlumur noda yang sama sekali tidak bermanfaat hidupnya. Jangankan untuk
orang lain, untuk dirinya sendiri sangat merugi. Jangankan menyumbang kekuatan manusia
pada keimanan, sebagai umat agamanya juga sudah tidak diperhitungkan.
Sementara apa yang kamu pahami Tuhan itu menyayangi hubungan satu jenis dan
diperkirakan Dia dengan sengaja menciptakannya serta melindunginya. Jika demikian apakah
Tuhanmu dalam Islam dan Tuhan Christian dalam Kristen itu sama kekuasaan-Nya? Lalu jika
Tuhan yang telah berkuasa selama ini mengakui dan mencintai budaya monosex, kenapa
kamu mesti membentuk CRYSIS sebagai agama yang berTuhan baru? Bukannya kamu
tercipta berkat kemaha kuasaan Tuhan Allah?” Elqo mencoba menyisir kembali pemahaman
Muslim tanpa sedikitpun memberikan penekanan dalam nada bicaranya.
“Tuhan itu memiliki makna yang sangat luas. Dalam pandangan mata batinku alam
semesta beserta seluruh isinya termasuk manusia didalamnya itu diciptakan oleh kekuatan
yang satu. Yaitu Tuhan yang Maha Esa yang Maha Kuasa atas segalanya. Tuhan yang
diperkenalkan oleh Adam dan Hawa. Setiap agama yang terbentuk siapapun itu nama
Tuhannya, tetaplah tujuannya satu mengarah pada keEsaan Tuhan yang Maha Kuasa. Hanya
tata cara ibadahnya saja yang berbeda sesuai dengan masa berkembangnya keyakinan
manusia. Aku tidak tahu pasti agama mana yang merupakan asli bentukan Tuhan. Sejauh ini
agama tak lebih fungsinya hanya sebagai wadah yang memberikan aturan untuk
menyelaraskan proses peribadatan manusia terhadap Tuhannya. Agar perilaku manusia itu
tertata dengan rapi. Terlihat rukun dan teratur. Semua umatnya tertata sama. Hingga adanya
perintah dan larangan yang semata demi menyeimbangkan siklus kehidupan di muka bumi.
Ibadah yang diwajibkannya beserta sarana ibadah yang dikhususkannya adalah sebagai
bentuk persatuan perkumpulannya. Sebagai ajang pembentuk kedisiplinan pribadi solidaritas.
Pemersatu perbedaan.
Dan aku membentuk CRYSIS menurutku bukanlah sesuatu yang salah. Siapapun
yang ingin mendirikan agama baru di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang salah. Selama
masih meninggikan derajat Tuhan sebagai dzat yang Maha Mengatur kehidupan, mungkin
disana kebenaran masih terpijak oleh kakinya. Karena seandainya diantara nama salah satu
Tuhan yang menjadi simbol kekuatan agama yang ada selama ini menjamin sebuah
keakuratan-Nya sebagai Tuhan pencipta alam raya ini. Mungkinkah Dia akan membiarkan
makhluk-makhluk ciptaan-Nya memproklamirkan sebuah kekuasaan baru Tuhan yang lain
dari-Nya?
Aku yakin Tuhan penguasa jagat buana ini hanya satu. Jika banyak; Islam, Nasrani,
Yahudi, Budha, Hindu, Mazusi dan banyak agama yang lainnya itu berarti setiap agama
punya daerah kekuasan Tuhan tersendiri. Dan dimana letaknya pusat kekuasaan itu?
Bukankah tak ada yang lebih menyebutkan selain dari tingginya peradaban langit dan bumi?
Kalau saja Tuhan itu banyak. Tak mungkin ada yang mau jadi Tuhan adikuasa kekuasaan
Tuhan agama yang lain. Pasti Tuhan-Tuhan yang Maha Kuasa itu menciptakan lagi makhluk-
makhluk-Nya diluar bumi dan angkasa luas langit yang ini. Juga mana mungkin Tuhan-
Tuhan itu mau menjiplak dan membajak bentuk makhluk-makhluk yang sudah diciptakan
Tuhan yang lain. Begitu juga dengan bentuk bumi dan langitnya. Dan bila berpikiran sejauh
itu, agama lalu menyudutkan kita pada kekufuran. Apa itu bukan suatu kekangan bagi
hamba-hamba-Nya yang ingin tahu sejelas mungkin tentang keTuhanan guna demi
mempertebalnya keimanan dan keyakinan? Bukankah mulianya manusia itu karena diberi
kelebihan akal dan nafsu? Jika pemikirannya dicekal, dibatasi dan ditutupi lalu akal manusia
itu berfungsi sebagai apa?
Dengan demikian apa salahnya jika aku juga mendirikan agama baru beserta Tuhan
angkatan baru pula? Bukannya selama ini tidak pernah mendengar adanya protes dan hujatan
dari Tuhan yang pertama membangun bumi dan langit? Tak ada peperangan Tuhan antar
agama. Karena senyatanya Tuhan itu hanya satu. Maha Tunggal. Hanya latar keyakinan dan
cara pelaksanaan ibadah menuju pada-Nya saja yang berbeda. Aku ingin homoseksual punya
peraturan sendiri. Bisa menata ibadah menuju Tuhan yang diyakini. Menurutku jika sudah
merasa Tuhan itu mencintai dan mengasihi niscaya tak ada lagi keraguan untuk melakukan
beribadah kepada-Nya. Aku ingin kaum homoseksual yakin bahwa ada Tuhan yang
melindungi pergerakan mereka. Tuhan yang bisa mencintai dan menjaga kehidupan mereka.
Bukankah rasa aman dan nyaman dalam beribadah akan menciptakan nuansa kehidupan yang
damai yang selalu mencerminkan sifat adab manusia yang cenderung bernilai positif?
Dimana ketulusan dan kekhusuan dalam melaksanakan kewajiban ibadah akan tercapai
sempurna,” jelas Muslim panjang lebar mengutarakan segala pemahamannya tentang Tuhan,
agama dan keyakinan menurut tinjauan kritisnya. Sebuah paham yang sekiranya mau tidak
mau memaksa Elqo harus menerima dan memahaminya. Mungkinkah pemahaman seorang
Sarjana Agama dapat diterima oleh pemikiran kerdil seorang lulusan SMA yang rendah
wawasan agamanya?
“Orang bodoh seperti aku memang lebih kebal dan takut untuk mengikuti modernisasi
keTuhanan. Biasanya memang lebih dominan dengan keortodokan. Karena perjalanan
hidupnya selalu menjauh dari Tuhan. Tidak pernah bersinggungan. Tidak pernah teringatkan.
Sehingga ketika ia tersadar, ia seolah baru terjaga dari mimpi yang mengerikan. Ia bangun
dan mengitari sekelilingnya dengan pemandangan yang seperti sedia kala. Tak ada yang
berubah. Pikirannya statis mengingat sesuatu yang sempat dikenalinya pertama kali. Jika ia
waktu tidur diatas ranjang, maka setelah bertualang dari mimpi arwahnya pasti akan kembali
ke jasad yang berbaring diatas ranjang lalu terbangun dengan pemandangan yang sama.
Demikian pula dengan Tuhan. Pertama aku mengenal agama adalah Islam dengan
Allah selaku Tuhannya. Sehingga ketika aku kembali tersadarkan perihal keTuhanan, aku
kembali pada Allah dan Islam. Tidak seperti perjalananmu yang senantiasa diselubungi
ruhani keTuhanan selalu dalam setiap apapun gerakmu. Otomatis apa-apa yang kamu lakukan
selalu berujung pada pemikiran nilai hak dan bathil. Niscaya dengan sendirinya apabila kamu
melakukan sutau perbuatan yang  melanggar larangan Tuhan akan menyebabkan kamu
depresi. Kamu merasa tersiksa dengan dosa. Sementara apa yang kamu lakukan itu
menurutmu adalah benar. Maka wajar saja jika pikiranmu stress. Terkekang antara hukum
agama dengan kenyataanmu.
Dari awal juga aku tidak pernah ingin ikut campur masalah keyakinan yang kau
pahami. Wawasan kamu tentang agama lebih luas ketimbang aku. Jika Muhammad sudah
tidak layak lagi menjadi suri tauladan bagimu. Jika Allah sudah tidak patut lagi kau sembah
sebagai Tuhanmu. Jika peraturan Islam sudah tidak lagi bertindak adil terhadapmu. Mungkin
pantas kiranya buatmu mendemo Allah agar lengser dari jabatannya sebagai Tuhan. Kamu
dan kaum homoseksual berhak melucuti gelar Tuhan-Tuhan yang telah berkuasa selama ini.
Anggaplah agama itu sebuah Negara. Dimana Tuhan ibaratnya presiden. Malaikat adalah
para menteri kabinet. Sedangkan Nabi adalah gubernur. Atau agama itu lebih layaknya dalam
konteks pengertianmu tak jauh dengan sebuah partai…”
“El. Kapan kau dengar aku bilang agama itu adalah sebuah partai?” potong Muslim
sedikit tersentuh.
“Kemungkinan saja menurutmu begitu. Tapi … apakah CRYSISpun akan
memberikan jaminan kehalalan sex bagi para penganutnya?”
“Itulah misi utama terbentuknya CRYSIS.”
“Jadi akan ada majelis agama sendiri yang mengurus keharmonisan umat CRYSIS?”
“Begitulah. Yang aku prioritaskan dibidang perkawinan dulu.”
“Bukannya sekarang juga sudah ada majelis hukum yang secara syah mengawinkan
pasangan homoseksual?”
“Itu bukan agama.”
“Jika laki-laki menikahi pria dan perempuan kawin dengan wanita, apa tidak
menuntut kemungkinan akan berkurangnya populasi manusia dikarenakan terhambatnya
proses perkembangbiakannya?”                       
“Justru itu lebih baik demi tercapainya program Keluarga Berencana,” sahut Muslim
asal saja.
“Apa alasan itu cukup kuat untuk membela CRYSIS seandainya nanti didebat dalam
persidangan antar pemuka umat agama?”
“Apa tidak lebih baik ketimbang aborsi?”
“Otakku sudah error. Pikiranku sudah tidak normal lagi. Sebentar lagi mungkin aku
akan gila. Sekarang, aku serahin gimana baiknya saja. Juga maafkan aku seandainya hanya
bikin masalah dan menghambat rencanamu saja,” tandas Elqo akhirnya.
“Bukan suatu masalah yang mesti diperselisihkan. Itu malahan lebih baik demi
menambah dewasanya permikiran kita. Mungkin ini sesuai dengan ajaran Islam yang
meramal kehidupan akhir zaman akan lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan.
Menggambarkan sebuah perbandingan yang tidak seimbang. Hal itu menurutku sangat
realistis dengan kehadiran kaum homoseksual. Makin banyaknya jumlah gay maka makin
berkurang jumlah laki-laki normal. Juga makin maraknya banci alias waria -wanita pria- atau
wanita imitasi, apa itu bukanlah sebuah bukti nyata mengurangi populasi pria normal secara
drastis?”
“Kau lebih memilih bersaing untuk mendapatkan cintanya laki-laki normal daripada
memilih jadi laki-laki normal yang banyak  dicintai?”
“Bukankah ketidak seimbangan jumlah nominal jenis kelamin sudah termasuk dalam
rencana Tuhan sejauh waktu? Begitupun dengan banyaknya golongan agama juga sudah
termasuk dalam rencana-Nya bukan? Mengapa kita mesti berusaha menghambat
perkembangan zaman yang sudah dirancang-Nya? Jika kekacauan yang terjadi sekarang ini
sudah menjadi standar manusia akhir zaman yang terlampir dalam firman-Nya. Apa tidak
lebih kafirnya manusia yang hendak memupus kebenaran fatwa Tuhan dan Rasul-Nya yang
menyatakan sejelas-jelasnya tentang akhir zaman?”
 
 
 
12 ‘cinta sejati;
 
Sekali jadi tak pernah mati’
 
“Jadi kamu dengan Christian benar-benar akan menikah?”
Sesaat Muslim terdiam. Lalu jawabnya pelan, “Mungkin!”
“Daripada aku nanti lebih terluka parah melihatmu menikah dengan Christian. Aku
harap Bogor menjadi kenangan terakhir kita dalam saling mengenal. Aku tidak ingin akhir
hidupku semakin hancur dan menderita menyaksikan dirimu yang telah sempat membuatku
bahagia.”
“Kamu membenciku karena CRYSIS?” Tanya Muslim pelan.
“Bukan benci, tapi karena cinta aku lebih baik tidak mengenalimu lagi,” sahut Elqo
berbisik getir.
“Aku tahu kamu tidak akan pernah bisa menerima kehadiran CRYSIS.”
“Percuma aku meyakini CRYSIS juga. Kelaminku sudah tidak akan lagi memberikan
kepuasan sex bagimu.”
“Kita harus berusaha dan tetap yakin kalau kelaminmu bisa kembali normal.”
“Lebih baik jangan bermimpi aku bisa melayani permainan sexmu lagi. Bagiku ini
sudah cukup menjadi sebuah peringatan yang sangat berarti. Aku yakin apa yang terjadi
padaku saat ini adalah kehendak-Nya agar aku mendapat kesempatan untuk taubat dan
menikmati indahnya hidup dalam kebenaran petunjuk-Nya. Aku yakin kalau Tuhan yang
telah menciptakan aku itu adalah Allah. Hingga aku diperkenankan oleh-Nya untuk kembali
pada-Nya. Setelah aku banyak berzina dan sempat menyakiti perasaan wanita. Setelah aku
ketakutan mempunyai keturunan serta sempat menggugurkan janin dalam kandungan mereka.
Setelah aku jadi pengecut tidak memiliki tanggung jawab. Aku vaksetomi. Kelaminku
dikebiri. Dan kini … kelaminku impotensi! Maka jangan berusaha menghalangi aku pergi.
Karena sudah tak ada yang dapat diharapkan lagi,” ratap Elqo begitu dalam.
“Kamu yakin akan tetap pergi dariku?”
“Semoga saja kebahagiaan menyertaimu selepas aku pergi darimu.”
“Aku tidak pernah berharap kita akan berpisah. Bagaimana bisa aku menghancurkan
bangunan cintaku padamu yang sangat demikian besar kekuatannya?”
“Robohkan sedikit demi sedikit sebagaimana dulu ketika kamu secara bertahap
membangunnya.”
“Jika kamu mau berpegang teguh pada Islam, aku tidak akan memaksakan keyakinan
CRYSIS padamu. Karena cintaku padamu tidak akan terhalangi perbedaan itu.”
“Islam tidak membenarkannya. Sekali lagi. Jangan paksa aku mengakhiri
kebersamaan kita dengan kebencian.”
“Jadi benar-benar kau ingin meninggalkanku sejauh mungkin?”
“Sudah keputusanku,” tandas Elqo mantap tanpa sedikitpun keraguan yang tertangkap
dalam sikapnya.
“Jadi ini akhir perjuanganmu setelah berhasil menjadikan aku sebagai seorang homo?
Kau sengaja menjerumuskan aku pada indahnya percintaan dunia homo? Sengaja kan kau
mau menghancurkan hidupku? Lalu setelah berantakan kau mau meninggalkannya begitu
saja? Inikah arti cinta kasih yang kau ajarkan itu? Inikah akhirnya? Apakah pantas Islam
menjadi naungan orang-orang berdosa seperti kita? Apakah tidak malu nanti dihadapan
Muhammad kita diadili? Orang berpendidikan rendah tentang agama seperti dirimu tidak
akan banyak yang akan kamu pertanggungjawabkan. Sementara aku? Aku seorang sarjana
agama yang terlahir dari keluarga agamis dan dididik secara benar dalam keagamaan. Apa
tidak akan berat nanti menghadapi proses pertimbangan amal?
El. Aku sungguh kecewa padamu. Kamu egois. Kamu tidak mengerti perasaanku.
Padahal semua apa yang aku perjuangkan selama ini juga adalah demi aku bisa hidup
bersamamu secara syah dalam sebuah bahtera rumah tangga. Aku tidak perduli kamu
impoten. Aku tidak membutuhkan tegangnya penismu saat bercinta. Jika kamu memang mau
membahagiakan aku, bukankah mulut, tangan dan duburmu juga masih bisa membuat
penisku ereksi?
Tapi sex bagiku bukan satu-satunya alasan untukku bersikeras ingin tetap bersamamu.
Lebih dari itu. Aku ingin mengabdikan diriku sepenuhnya untukmu. Aku ingin menebus
segala kesalahanku yang telah aku perbuat selama ini padamu. Aku ingin membuktikan
seberapa besar cintaku padamu. Aku ingin memperlihatkan pada orang-orang normal bahwa
gay juga mempunyai cinta suci. Cinta yang bukan hanya berasal dari nafsu sex belaka.
El. Dulu mungkin aku sempat berkata memberikan kebebasan untukmu pergi dariku
serta mengharapkanmu dapat menikah dengan seorang perempuan. Dulu aku ingin
melihatmu menjadi pembawa kabar baik buat kaum gay, bahwa seorang gay juga bisa
kembali normal dan hidup berumah tangga secara wajar. Tapi sekarang tidak lagi. Kamu
sudah impoten. Dan aku tahu dari dokter konsultasimu kalau kamu impoten total yang tidak
dapat diusahakan lagi untuk normal. Sejak tahu itu. Aku jadi takut untuk melepasmu. Aku
kira tidak akan ada wanita yang sudi menikah denganmu. Jikapun kamu membohongi mereka
dan membawanya berumah tangga, kamu sebagai orang yang berperikemanusiaan tidak akan
tega melihat istrimu tersiksa karena tidak terpenuhi kebutuhan batinnya. Dan kamu tidak
akan berbuat bodoh membiarkan istrimu menuntut haknya sebagai istri pada pengadilan.
Kamu tahu istrimu akan meminta cerai. Lalu kamu akan menanggung aib sebagai lelaki yang
tidak berguna.
El. Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau akhir hidupmu tersiksa. Aku ingin
menjagamu. Aku ingin tetap menjadi orang yang mencintaimu. Maka dari itu keinginanku
untuk membentuk forum gay Indonesia yang sempat down karena harapanmu yang
menginginkan aku menjadi pria sejati, kembali menggebu setelah mendengar kabar
keimpotenanmu. Didukung lagi dengan kehadiran Christian yang senyatanya dia mempunyai
cita-cita ingin mendirikan komunitas gay Indonesia berbasis internasional. Apalagi dengan
kebijakan ibuku sebagai guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta yang sudah demikian
sangat jelas simfatiknya melegalkan keberadaan kaum homoseksual dalam Islam. Juga
deklarasi Semarang yang memuliakan tingginya derajat kaum homoseksual sebanding
dengan martabat manusia heterosex. Fatalnya mereka berdalih dibawah naungan agama Islam
yang sudah jelas mengharamkannya. Atau mungkin mereka hanya orang buta yang tidak
melihat goresan sabda Nabi Muhammad SAW yang menyamakan sebuah pernikahan dengan
separuh kesempurnaan agamanya? Yang sangat menganjurkan pernikahan sehingga Baginda
Nabi berseru barangsiapa orang yang tidak mau menikah maka tidak akan diakui sebagai
umatnya. Lalu melihat lagi firman Allah yang menyerukan laki-laki untuk menikahi istri-istri
satu, dua, tiga sampai empat. Apakah tercantum dalam ayat-ayat-Nya bahwa laki-laki
dianjurkan menikah dengan laki-laki ataupun perempuan menikahi perempuan atau pula laki-
laki memadu perempuan dengan laki-laki juga perempuan demikian sebaliknya?
Banyak lagi perkumpulan yang menyuarakan nuraninya sebagai homoseksual. Jauh
sejak awal tahun sembilan puluhan sejarah perjuangan peradaban kaum homo bergerilya.
Tapi tidak satupun diantara para pelopor gay yang berani memproklamasikan
kemerdekaannya dalam kebudayaan agama baru yang cenderung membela hak-hak asasi
kemanusiaan kaumnya serta meninggikan setinggi-tingginya derajat gay sebagai makhluk
Tuhan yang seutuhnya. 
Dan karena rasa cintaku padamulah CRYSIS ku dirikan. Karena aku tidak ingin
tercela jika aku mempersuntingmu. Menikah dan berumah tangga ditengah mayoritas
masyarakat yang sudah berkeyakinan teguh terhadap agama dan Tuhannya. Juga, alangkah
merasa senangnya mereka para pemeluk agama yang taat jika kaum homoseksual yang
mencemari nama baik agamanya tidak lagi menjadi sampah busuk yang kian meracuni
bersihnya pemahaman mereka terhadap Rasul dan kitab-Nya. Ku rasa semua agama di dunia
ini akan merasa lega dan sangat senang dengan berdirinya CRYSIS. Bukan hanya kaum
homoseksual saja yang merasa gembira dengan datangnya agama yang siap membawanya
pada kebenaran dan surga Tuhan, melainkan seluruh umat beragama di dunia yang merasa
risih dan sangat terganggu dengan umatnya yang monosex. Sebab segenap umatnya yang
menjadi biang kerok melemahkan firman-firman Tuhannya itu akan hengkang dari agamanya
untuk segera meminang CRYSIS. Apakah itu tidak termasuk misi yang fantastis dan sangat
mulia dalam pencanangan menuju agama yang damai antar pemeluknya serta memberikan
keyakinan pada kaum homoseksual bahwa mereka juga adalah makhluk Tuhan yang sangat
dimuliakan sekali martabatnya?” demikian panjang lebarnya Muslim menjelaskan detail misi
CRYSISnya. Elqo menebar tatapnya menerawang jauh. Adakah setitik nila tercelup pada
kebeningan nuraninya? Di matanya tidak nampak. Kosong. Tak ada sesuatu. Hanya bayangan
khayalnya saja yang sempat tertangkap bahwa ia terbang ke hari esok yang tak jelas dan
meragukannya!
“Sungguh mulia cita-citamu,” hanya sepenggal kalimat itu yang terlontar dari belahan
kedua bibirnya yang mengering.
Sedan abu-abu yang dikemudi Muslim segera keluar tol Ciawi. Belok kanan dan
menepi di pinggir jalan. Suasana tengah hari yang sejuk. Maklum kota hujan berbeda jauh
iklimnya dengan cuaca kota Jakarta yang gersang. Khususnya siang ini. Bogor mendung
berawan.
Muslim menurunkan kaca pintu depan mobilnya. Lalu ia memesan dua botol
minuman pengganti cairan tubuh beserta sebungkus rokok pada pedagang asongan yang
langsung menyergapnya. Usai itu ia kembali menutupnya. Seraya melajukan lagi sedannya
perlahan. Elqo segera mengambil minuman itu mengikuti Muslim yang sudah lebih dahulu
mereguknya.
            “El!” Muslim kembali bicara.
“Hmm!” Elqo menyahut.
“Mau tahu atau tidaknya dirimu bukan suatu yang penting. Tapi aku jujur, sejak kamu
dirawat di rumah sakit karena kecelakaan itu sampai saat ini aku tidak berhubungan sex
dengan siapapun termasuk dengan Christian sekalipun. Selain bersetubuh denganmu diawal
kepulanganmu dari rumah sakit di sore itu. Sore yang membuat aku heran mengenali penismu
yang tak bereaksi.”
Elqo menarik nafasnya. Ia baru tersadar. Ditatapnya lelaki tampan yang sedang
mengemudi di sampingnya itu. Sungguh cinta yang suci jernih itu ia temukan di riak mimik
wajah kejujurannya. Ada kemilau sinar lembut yang menyerpih di sikapnya. Dan rasa itu
menyelinap masuk ke lorong sempit hatinya. Elqo terbujur didalam pusara cinta. Antara
mengerikannya alam baqa bergulat dengan indahnya pesona alam fana.
“Christian sangat mencintaimu. Jangan abaikan cintanya. Kamu juga tahu bagaimana
tersiksanya orang yang sedang dimabok asmara. Jangan membuat dia membencimu karena
aku.”
“Aku dengan Christian sedang berjuang memenuhi janji kami. Dimana aku
dengannya tidak akan melakukan hubungan intim selama CRYSIS belum disyahkan sebagai
agama yang diakui oleh pemerintahan. Itu adalah komitmen teguh kami guna memotivasi
kegigihan untuk mewujudkan CRYSIS bisa berlaku.”
“Apa itu bukan sebuah janji yang berlebihan?”
“Itu adalah keoptimisan dan keyakinan kami pada CRYSIS.”
“Jangan jadikan agama menjadi siksa bagimu. Bukankah CRYSIS adalah agama yang
memberikan janji manis tentang kebebasan bercinta? Jika Christian tahu kamu tidak mau
melayaninya bercinta karena aku, mungkin dia akan kecewa dan marah padamu lalu
meninggalkan CRYSIS dan menghancurkannya. Eratkanlah hubungan cinta kalian.
Kuatkanlah keyakinan Christian pada CRYSIS dengan cintamu.”
“Aku ingin hubungan sexku berada didalam kehalalan sebagaimana halalnya
hubungan sex suami istri dalam Islam. Aku ingin membangun jiwa CRYSIS di setiap gay
sebagai agama suci. Agama yang menjunjung tinggi nilai kesucian bagi setiap umatnya. Aku
ingin menghilangkan budaya sex bebas yang sangat kental dengan dunia gay. Aku ingin
menjalin hubungan sex mereka dengan ikatan cinta yang terangkai dalam ritual syahnya
sebuah perkawinan.”
“Kamu bisa melangsungkan pernikahanmu dengan Christian di luar negeri. Bukannya
ada aktor gay Indonesia yang sudah melangsungkan pernikahannya di Belanda? Aku bisa
membantumu untuk mencari tahu bagaimana prosesi pernikahan itu padanya. Aku yakin dia
akan menyambut hangat rencanamu karena aku kenal dia sangat baik. Maklum aku sebagai
bekas kliennya yang cukup lama. Sekalian kamu mohon dukungannya atas CRYSIS.”
“Jika aku siap menikah dengan Christian. Sudah sejauh hari mungkin aku menikah
dengannya. Bukan sesuatu yang susah seandainya aku bersedia untuk menikah. Tapi aku
ingin CRYSIS yang menikahkan kami. Kamilah yang harus pertama kali menikah dalam
CRYSIS. Dan orang yang bersanding denganku itu bukan Christian melainkan kamu.
Christian bersedia hidup berumah tangga dalam ikatan cinta segitiga. Itulah yang membuat
aku tidak mungkin bisa melepaskan dia begitu saja. Cintanya begitu tulus dan sucinya
padaku. Serta agamanya pula yang menjadi insprirasi nama CRYSIS itu ada.”
“Muslim!” Elqo begitu lembut. Ditumpangkannya telapak kanan tangannya ke atas
telapak tangan kiri Muslim yang sedang memegang setir. Lalu dipegangnya.
“Ya!” Muslim menoleh.
“Sebentar lagi sampai. Aku pulang ke tempat kelahiranku. Kota Tajur yang telah
membesarkan aku dengan lingkungan agama dan pergaulannya. Disini dulu aku terlahir dari
keluarga miskin. Dan aku tumbuh menjadi orang miskin. Masa kanak-kanakku kurang
bahagia. Usia tujuh tahun aku bergabung dengan anak-anak jalanan. Kerjaku seharian
meminta-minta dengan ngamen pada setiap kendaraan yang berhenti di lampu merah. Orang
tuaku menyuruh aku sekolah. Tapi aku males banget. Aku malah keasyikan menjadi tukang
ngamen. Meskipun uang yang dikantongi tidak seberapa tapi aku sangat merasa senang tak
terhingga. Apalagi ketika aku sudah kenal kakak-kakak pengamen seniorku. Bertengger gitar
setiap harinya. Dan terlalu dini usiaku mengenal dunia pergaulan remaja. Usia tujuh tahunku
telah mengenal asap rokok. Bahkan ganja dan minuman keras. Mulanya itu semua ku
dapatkan dengan cuma-cuma. Tapi lama-lama mereka berani memalakku. Merampas semua
uang hasil ngamenku. Dan entah kenapa aku marah serta hati kecilku berontak karena mereka
akhirnya mengerjaiku setiap harinya agar setor padanya. Lalu sekali waktu aku dipukulnya.
Aku benci pada mereka. Aku kembali ke rumah. Ku lihat lagi kebiasaan sehari-hari di
lingkungan rumah. Aku terdiam melihat teman-teman seusiaku yang pada sekolah. Hatiku
tergerak. Aku sering main dengan mereka. Aku bersahabat dengan mereka. Sedikit-sedikit
aku menyerap ilmu pengetahuan dari mereka disaat mereka diajari orang tuanya. Aku tertarik
untuk sekolah. Kemudian akupun masuk SD di usiaku yang ke delapan tahun. Dan kebiasaan
buruk di jalanan ternyata masih sangat mempengaruhiku. Dari rumah aku bawa rokok yang
ku curi dari ayahku. Di sekolah aku menyulutnya yang tentu saja kena marah dan hukuman
dari guruku. Aku bilang aku dapat rokok dari ayahku sehingga guruku mengantarkanku ke
rumah serta menasehati orang tuaku tentang bahayanya rokok bagi anak dibawah umur. Lagi-
lagi akupun langsung kena hukuman dari orang tuaku yang telah memalukan keluarga.
Kehidupan SDku kacau balau. Akulah yang jadi biang keributan di sekolah. Hingga
aku pernah tidak naik kelas. Aku pernah ngadat pada orang tuaku agar dibelikan motor.
Tamat SD aku tidak langsung SMP. Aku bekerja sebisa-bisa membantu orang tuaku. Dan
pergaulanku sangat bebas. Dengan lingkungan anak-anak kurang pendidikan niscaya
perkembangan remajaku ditentukan karakternya. Aku brutal!
Setelah 5 tahun kelulusan SD. Aku tertarik untuk mengikuti kejar paket B sebagai
penyetaraan pendidikan dengan tingkat SMP. Dan untungnya kejar paket B yang sangat
menyenangkan. Baru juga satu semester sudah ikut ujian akhir dan mendapatkan ijazah yang
layak buat melanjutkan ke SLTA. Aku ngotot pada orang tuaku ingin melanjutkan sekolah.
Tetapi mereka tidak meresponnya.          
Kebetulan saudara jauh ayah, Om Hendri yang tinggal di Jakarta pulang dan
silaturahmi pada keluarga besarnya di Bogor. Dan mujurnya basa-basi ayah yang cerita
keinginanku melanjutkan sekolah ditanggapi hangat oleh Tante Tanti istrinya Om Hendri
yang selama lima tahun perkawinannya belum juga dikaruniai anak. Akhirnya akupun
melanjutkan SLTAku di Jakarta. Bagaimanapun baiknya keluarga Om Hendri, aku tetap
mencuri-curi waktu luangku untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan pembantu. Dan
seperti yang pernah aku ceritakan, aku terjerumus pada dunia sex diperkenalkan oleh
Tanteku. Puber pertamaku yang kegoblogannya aku bawa dari kampung kembali pecah.
Sensasiku tentang sex kembali tumpah. Tante Tanti membawaku ke ranjang kenikmatan
perselingkuhannya. Hingga aku dikarantina untuk mengerti teori dan praktek sex yang baik.
Karena ketampananku sudah ada yang mau membayar dengan harga relatif tinggi. Janda kaya
yang haus sex. Maka dari sanalah awalnya aku mengenal hubungan erat antara
keterkaitannya sex dan materi. Dan aku sangat senang. Bisa membalikkan fakta
kemiskinanku menjadi sebuah keadaan yang sangat berkecukupan.
Seorang Elan Komarudin yang miskin berubah dengan cepat menjadi seorang Elqo
remaja keren yang modis dan berkelas. Elqo Alldear, Elqo yang semua kasih.
Muslim. Tajur adalah peradaban kecilku. Dimana aku pertama kali mengenal Allah
sebagai Tuhanku. Muhammad sebagai Nabiku. Dan Al-Qur’an sebagai kitabku. Aku telah
lama berpisah dengan-Nya. Aku sangat merindukan-Nya. Rindukan indahnya masa kecil
waktu di surau bersama teman-teman kecil sepengajianku. Aku rindu pada kumandang adzan
beserta senandung merdu ayat-ayat Tuhan yang biasa kami lantunkan setiap pagi dan petang.
Sekarang aku kembali dengan seorang Elan Komarudin yang penuh cacat luka dan berlumpur
dosa.
Aku sangat merasa terluka bila mengenangkan lagi semua kisah perjalanan yang
sempat aku lalui. Aku sedih. Aku tidak mungkin sanggup berjalan lebih jauh lagi untuk
meninggalkan sepenggal indah masa laluku di kota kecil ini. Aku sudah terlalu kangen ingin
kembali. Biarkan aku pergi dari hidupmu. Berilah aku kesempatan untuk mengecap indahnya
cinta kota Tuhanku yang telah aku abaikan. Aku tak kuasa lagi untuk menahannya …” Elqo
mengusap basah kedua pipinya. Luka-luka itu kembali berdarah. Tersiram perih asam cuka
air matanya. Pahit getirnya dunia seakan meranjam dan mencambuk meremuk redamkan
harga dirinya sebagai manusia. Kembali melumatkannya jadi adonan yang lembek. Kembali
dibentuknya menjadi keutuhan nuraninya yang bersih. Mungkinkah?
Mendung awan di kota Tajur mengelabui perasaan kedua lelaki dalam sedan abu-abu
itu. Sedan yang mulai mengurangi lajunya perlahan. Abu-abu cerita kabut dari gulung Salak.
Gunung cinta yang berkabut abu-abu. Cinta abu-abu dari gunung yang berkabut. Tinggi.
Indah. Sejuk. Tapi rimba belantara yang membinasakan!
Wajahnya mendung. Awan itu menutupi auranya. Muslim dingin. Laksana salju di
kutub utara. Salju cinta yang membeku. Cinta yang membeku menjadi bukit dan lembah
salju. Badai salju yang membekukan kutub cintanya. Sungguh, badai cinta yang bersalju! Jika
jasadnya membeku, akankah jiwanya juga membeku? Dan jika sukmanya hidup, di raga
mana ia akan hinggap? Selama nyawa masih mengiblat, disana cinta tetap berkarat! Adakah
kau mengerti?  
“Aku sangat sedih jika aku harus kehilanganmu,” Muslim terbata. Tak banyak yang
dapat ia ucapkan karena kelu lidahnya yang tersumpal lendir berduri. Lendir hatinya yang
berdarah tertancap duri beracun.    
“Disini saja,” Elqo meminta Muslim agar menghentikan mobilnya. Tanpa bicara
sepatahpun Muslim segera menghentikannya. Mimik wajahnya yang muram itu seraya
melirik pada Elqo. Sosok lelaki yang sangat dicintainya. Yang telah menghempaskan helaan
nafas-nafas cinta pada kehidupannya. Lelaki itu, Elqo … yang meminta pergi untuk
selamanya. Setelah menuangkan madu cinta, kini ia torehkan pedang berbisa. Mungkinkah
cinta itu membunuhnya?
“Sekali lagi maafkan aku,” Elqo dengan tegar serta senyumnya yang mengembang
seakan tak ada luka sedikitpun yang tersembunyi dibalik kedalaman palung jiwanya.
“Kau tidak mau singgah dulu ke rumahku?” tawar Elqo berdiri di pinggir pintu mobil.
Muslim diam.
“Oh, ya. Gak apa-apa kalau kamu merasa tidak berkenan. Aku pamit. Sampaikan
salam maafku buat Christian. Terima kasih atas segalanya. Semoga kamu berbahagia
dengannya. Selamat tinggal! Assalamualaikum!” Elqo membalikan tubuhnya setelah
menyunggingkan senyum terakhirnya sebagai ucapan selamat tinggal pada lelaki bernama
Muslim yang sempat bersamanya mengayuh dayung romantika cinta menuju pulau dewata.
 
13 ‘salahkah skenario-nya?’
    
 
Langit Bogor yang mendung tidak segera hujan. Tapi rintik deras gerimis itu turun
pula di matanya. Muslim berlari sambil berteriak memanggil Elqo yang sudah memasuki
pekarangan rumahnya. Rumahnya yang ia bangun dengan jerih payahnya. Rumah cantik
yang harus ia tukar dengan kegantengan dan kejantanannya.
“El … !!!”
Elqo berhenti di depan teras.
Muslim langsung memeluknya dari belakang. “Elqo!” di tatapnya mata itu dengan
tajam. Ternyata mata itupun basah. Elqo pun menjatuhkan air matanya. Dibalasnya pelukan
Muslim demikian eratnya. Keduanya berpelukan dalam tangisan yang menyayat sanubari
mereka yang mengenal betapa sempurnanya cinta.
“Hai! Rupanya sudah pada datang,” seruan seorang perempuan yang keluar dari
rumah membuyarkan perasaan Muslim seketika.
“Kamu!?” Muslim memandang perempuan itu tak berkedip. Beberapa waktu lalu ke
belakang kembali membayang. Benarkah perempuan Korea yang dilihatnya itu …
“Naomi!?”
“Mari masuk,” perempuan berambut pirang itu yang tiada lain dari Naomi Lie begitu
ramah mempersilahkan mereka masuk.
Muslim menoleh Elqo penuh tanda tanya. Ada rasa heran dan keraguan menyekap
sikapnya.
“Ayo!” Elqo menarik lengan Muslim diajaknya lekas menaiki teras memasuki rumah
mengikuti Naomi Lie.
“Ini rumahmu, kan?” tanya Muslim berbisik.
“Ya.”
“Kenapa Naomi ada disini?”
“Naomi Lie cucunya Banban Sironang dari anaknya yang menikah dengan keturunan
Korea.”
“Apa urusannya?”
“Dia sempat mengontakku mohon izin untuk menempati rumahku yang ayah ibuku
sangat tidak sudi untuk menempatinya.”
“Kau tidak tahu dia itu pelacur?”
“Tahu.”
“Tapi kenapa? …” Muslim tak lanjut ketika melihat ada beberapa orang pria dewasa
duduk di kursi berpakaian rapi.
“ … tuh kan, dia sedang menerima tamu!” gumam Muslim lagi didekatkan ke telinga
Elqo.
Elqo sama sekali tidak menghiraukan celoteh Muslim. Ia langsung menyapa ke enam
orang pria yang pada duduk santai itu dengan ucapan salam. Lalu dibalas kembali oleh
mereka yang tidak semuanya kompak.
Setelah bersalaman ke semuanya, Elqo dan Muslim pun lalu duduk pada kursi yang
masih tersedia.
“ … mungkin sudah tahu kiranya apa maksud dan tujuan saya mengundang Bapak
semua. Saya ucapkan terima kasih atas kesediannya Bapak berkenan memenuhi panggilan
saya. Bapak Ustad beserta Bapak Pendeta yang sangat saya hormati,” Elqo membuka
percakapan yang sama sekali terdengar janggal di telinga Muslim. Ada rencana apa kiranya
yang telah Elqo susun tanpa sepengetahuannya? Sampai di rumahnya ia mendatangkan para
Ustad dan Pendeta?
“Bagi saya ini sudah merupakan kewajiban,” kata Bapak Pendeta yang nampak lebih
tua dari rekannya.
“Apa tidak lebih baik kita langsungkan akad nikah sekarang saja?” ujar Sang Ustad
tambah mengejutkan Muslim.
“Iya. Soalnya kami semua jam tiga nanti akan menghadiri rapat keagamaan di kantor
kelurahan,” timpal Pendeta satunya.
Setelah sejenak berpikir, Elqo menoleh Muslim yang sedari tadi bengong melihatnya.
“Kamu bersedia menikah hari ini?” tanya Elqo laksana bunyi gemuruh guntur yang
memekakan indera pendengaran Muslim.
“Kamu serius?” Muslim menatap terpana.
“Tak ada yang perlu kau ragukan.”
“El!” Muslim trenyuh. “Bagaimana bisa mereka menikahkan kita?”
“Kenapa tidak bisa kami menikahkan kalian?” Sang Ustad menimpali.
“Bukankah ini yang kau inginkan?” Elqo mempertanyakan keraguan di hati Muslim.
Muslim menggelengkan kepalanya. “Aku telah berdiri dalam kibaran bendera
CRYSIS,” bisiknya.
“Saya Antolin Josephaus yang semalam ikut menghadiri seminar CRYSIS yang
Bapak Muslim gelar. Mungkin Bapak masih ingat usul saya yang mengultimatum seluruh
anggota untuk menyatakan janjinya dalam CRYSIS. Janji manis perkawinan dan hidup rukun
berumah tangga. Bagaimana orang bisa meyakini CRYSIS seandainya janji pembawa
CRYSISnya saja masih hanya berupa imaji?” Pendeta muda itu demikian mengejutkan
Muslim. Lalu dipandangnya Pendeta itu. Ya. Muslim masih sangat jelas mengenalnya. Laki-
laki itu yang telah banyak memberikan komentar dan masukan dalam seminar CRYSIS
semalam.
Jiwa Muslim menggeliat. Lorong-lorong kosong itu sekejap penuh tersumbat. Labirin
hatinya yang hitam kini memucat. Laksana putih menjadi serpihan sinar yang bersemburat.
“Muslim,” Elqo membisiki telinga Muslim sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil
dari sakunya.
Mata Muslim berbinar.
“Terimalah,” Elqo mengulurkan kotak kecil di tangannya itu pada Muslim yang
seraya menerimanya tergagap.
“El!” Muslim berdesis lembut melihat isi kotak kecil itu. Sebuah cincin permata!
“Aku meminangmu demi orang yang aku cintai,” Elqo mendekap Muslim. Mata
Muslim berbulir bening. Butiran permata seketika berjatuhan ke pipinya.
“Demi CRYSIS mereka akan menikahkanmu. Dan aku akan menjadi saksi sejarah
pernikahanmu,” lanjut Elqo lekas melepaskan pelukannya.
“Jadi!?” Muslim melongo tak mengerti.
“Aku sangat mencintaimu. Begitu juga Evel adalah orang yang tak mungkin terlepas
dari rasa cintaku. Menikahlah dengannya jika kau memang benar-benar mencintai aku.
Tebuslah dosa-dosaku padanya dengan cintamu. Dia sudah sangat terluka parah oleh cintaku.
Terimalah dia menjadi pasanganmu. Bahagiakan hatiku dengan membahagiakan hatinya.
Nyawaku adalah taruhannya sebagai jaminan kemuliaan cintanya untukmu,” Elqo
menguraikan air matanya senandung harap dan do’a yang penuh kesucian.
“Evel!?” Muslim terpana mengenali sesosok orang yang tengah berdiri
memandangnya dengan sejuta pesona. Evel lelaki berbibir merah semanis apel itu. Bermata
bening sesejuk embun itu. Berkulit halus selembut sutera itu. Yang sempat menggodanya.
Mengundang hasratnya. Hasrat bercinta. Merangsang syaraf nafsu berahinya.
Muslim menelan ludahnya. Sejenak pandangannya beralih pada Elqo. Lalu ia
menunduk.
“Bagaimana kami bisa mempercayai Bapak untuk menjadi seorang pemimpin, jika
Bapak tidak memperlihatkan sikap berani bertanggung jawab Bapak sebagai seorang
pemimpin kepada kami?” suara Evel begitu merdu menghanyutkan seluruh sel darah Muslim
pada jantungnya.
Muslim mendongakkan lagi wajahnya. Tatapnya tak lagi basah. Ada kekuatan besar
yang terpancar di matanya. Tatapannya berputar melihat pada semua orang yang hadir di
ruangan yang lumayan luas itu. Naomi Lie yang berdiri disamping Evel. Juga tampak pula
Titia Alimistri mendampingi Evel. Dan tumpuan akhir matanya beradu di tatapan Elqo. Lalu
Muslim turun dari kursinya dan seraya bersimpuh di pangkuan Elqo.
“Atas nama Tuhan, semoga cinta dan kasih-Nya menyenandungkan berkat padamu
senantiasa. Semoga kebenaran menyamakan derajat kita dalam pandangan Tuhan. Hingga
kita memiliki kunci surga yang sama. Berdiri di depan pintu surga yang sama. Meniti
keMahabahagiaan-Nya yang tak terhingga. Cintamu adalah jejakku untuk memahami
keyakinan hidup yang seutuhnya. Terima kasih. Sempurnalah hidupmu dalam cinta-Nya. Ku
jadikan harapanmu adalah kebahagiaanku. Aku mohon izin dan do’amu. Semoga Evel
membangunkan surga-Nya untuk kita. Aku bersumpah untuk menikahinya.”
Semua yang hadir tertegun. Terpana dalam senandung simfoni yang Muslim
lantunkan. Sungguh syahdu merayu menggelitik pada setiap celah pori yang tertutup dari
cinta. Menerpa riak-riak kepongahan yang menutup permukaan telaga nista di pusaran
ruhnya. Layaknya sebuah ayat yang berkidung mesra menebar tasbih Tuhan beriring
semerbak harum kesturi.
Muslim bangkit dari sungkemnya. Berdiri tegap laksana seorang prawira. Lalu dengan
lantangnya dengan sepenuh keyakinannya Muslim berikrar janji dalam akad pernikahan yang
disaksikan oleh dua pemuka besar agama.    
“… Dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, saya terima Evel putra Bapak Haman
menjadi pendamping hidup saya …” Muslim melingkarkan cincin permata pemberian Elqo
itu di jari manis Evel.
Akhirnya Muslim menikah juga. Suasana prosesi pernikahan yang sangat sederhana.
Dengan penampilan Evel yang hanya berkemeja lengan pendek serta rambutnya yang
dibiarkan apa adanya. Namun, kebahagiaan itu jelas tersirat dari aura semua orang yang
hadir. Terutama Evel, Elqo dan Muslim. Sebuah suasana yang sangat mengesankan.
Kemudian sebuah pesta kecilpun digelar. Mereka makan bersama dengan menu ala
restaurant mahal. Suka cita yang mempesonakan. Dimana Ustad dan Pendeta terjalin rukun
dalam sebuah hidangan yang sama.
“… dari siapa?” Elqo memperhatikan Muslim yang mengangkat handphonenya.
“Christian ngucapin selamat atas pernikahanku dengan Evel.”
“Oh, ya!”
“Darimana ia tahu bahwa sekarang aku menikah dengan Evel?”
“Aku yang mengabarinya,” sahut Evel.
“Apa?” Muslim terbelalak kaget.
“Bukankah kabar pernikahanmu denganku itu kabar baik buatnya?”
“Dalam hal ini kalian harus coba memahami perasaanku!” Muslim kesal sedikit
meninggikan suaranya.
“Ada apa?” Pendeta Antolin Josephaus beserta rekan pendetanya juga Ulama yang
hendak beranjak keluar merasa dikejutkan.
“Aku minta maaf!” Evel merendahkan diri mencoba meredam kembali emosi Muslim
yang mendadak naik.
Rupanya Christian langsung mengontak Muslim. Terlihat Muslim seperti berdialog
bergegas menghindari orang-orang menuju keluar. Tidak menghiraukan Evel, Elqo dan yang
lainnya yang mempertanyakannya.
“… hatiku sangat teriris sekali dengan pernikahanmu. Ku kira apa kata Evel itu
hanyalah bualan belaka. Tapi ternyata benar, aku menyaksikan pernikahanmu barusan. Jika
yang menikah denganmu itu Elqo, aku tidak akan sesakit ini. Aku pasti akan menyambutnya
bahagia. Karena akupun akan menyusul menikah menjadi pasanganmu yang kedua. Tapi
Evel!? Orang yang baru kau kenal. Kau tidak tahu siapa dia. Engkau telah terjebak olehnya.
Kau telah terjebak oleh mereka. Atau mungkin sebenarnya kamu masih seorang lelaki normal
yang mencintai wanita. Kamu hanya pura-pura saja menjadikan dirimu seorang gay sejati.
Nyatanya …”
“Christ! Aku menikah demi CRYSIS,” teriak Muslim tak sadar.
“Dalam anggapanmu kamu memang menikah demi CRYSIS. Tapi bagi Evel dan
Ulama yang menikahkanmu itu kamu menikah secara syah. Karena Evel itu seungguhnya
adalah seorang perempuan, bukan seorang laki-laki homoseksual!”
“Apa? Emangnya…!?”
“Aku bersama Naomi Lie sekarang. Dia menyeretku pergi saat aku mengintai kamu
sedang melangsungkan pernikahan dengan Evel. Dia cerita segalanya …”
“Kamu jangan termakan bualan perempuan itu!”
“Tidak. Jika kamu memang merasa senang dengan pernikahanmu. Aku turut bahagia
atas kemenanganmu yang telah sukses membuat aku keliru. Yang telah sukses menipuku.
Kamu bersekongkol dengan Elqo. Tapi tak apa, aku pun telah sukses membelokkan
keyakinan seorang mahaguru universitas agama mayoritas negerimu ini. Aku telah berhasil
merekayasa ibumu.”
“Christian! Kamu harus dengar penjelasanku.”
“Sukar untukku dapat percaya lagi padamu. Kecuali kamu sekarang juga menceraikan
Evel yang telah menjadi istrimu.”
“Evel adalah yang akan membangun kepercayaan CRYSIS pada setiap homoseksual.”
“Lindungilah kebegoanmu. Aku tidak ingin bertengkar. Tapi ingat, jika kamu
memang seorang normal. CRYSIS tetap akan hidup dan berkembang menjadi paham yang
menyesatkan. Kamu yang berhak menanggung semua dosa mereka…”
“Halo! Halo! Christ! Christian!” panggil Muslim teriak-teriak. Christian memutuskan
komunikasinya. Dia mengnonaktifkan HPnya.
Muslim jadi kalang kabut. Dilihatnya Evel dan Elqo menujunya. Ia langsung teriak.
“Sini!” Muslim menarik lengan Evel.
“Kenapa Mus?” Elqo heran.
Muslim melihat Elqo. “El. Mumpung aku masih sadar. Tolong jawab pertanyaanku
dengan jujur. Mengapa Ulama tadi bersedia menikahkan aku dengan Evel?”
“H … karena tidak ada sesuatu yang salah dengan pernikahanmu,” Elqo agak
gelagapan juga dihadapkan dengan pertanyaan dan sikap Muslim yang seperti itu.
“Yang lebih jelas lagi. Apa karena Evel sebenarnya adalah perempuan?”
Evel dan Elqo tidak ada yang menjawab.
“Atau kalian ingin supaya aku menelanjangi Evel disini untuk membuktikannya dia
itu perempuan atau laki-laki?”
Evel menatap Elqo memohon pertimbangan.
“Cepat!” Muslim sangat emosi.
Setelah berpikir sejenak dan melepas ketegangannya, Elqo pun berkata. “Kamu tahu
sendiri bagaimana daya rangsang yang ditebarkan Evel terhadapmu. Jika Evel perempuan
mungkin dia tidak akan mampu membangkitkan nafsu berahimu.”
Muslim jadi terpekur bimbang. “Jadi kamu itu laki-laki atau perempuan?” Muslim
membidikkan ketajaman matanya pada Evel.
“Kalian sudah syah menjadi sepasang pengantin,” ujar Elqo tenang.
“Pernikahanku tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan,” Muslim sangat
menyesalkan.
“Kita bisa menikah lagi sesuai pernikahan CRYSIS. Anggaplah ini kenangan terakhir
kita dalam Islam,” Evel memegangi lengan Muslim.
“Aku sangat kecewa Islam telah menikahkan aku dengan seorang lelaki,” Muslim
kelu.
“Itu keinginan setiap gay bisa menikah dengan sesama jenisnya dalam lindungan
hukum agamanya. Mestinya kamu bahagia Islam mempunyai solidarits yang sangat tinggi.”
“El. Aku tidak ingin gay merusak nama baik agama. Aku tidak mau gay menodai
kesucian agama manapun di dunia yang dalam ajarannya tidak mengakui homoseksual. Maka
CRYSIS ku dirikan itu demi gay bisa mempunyai komunitas tersendiri yang terlepas dari
ikatan kepercayaan agamanya. Karena aku sangat menghormati dan menghargai tingginya
martabat seluruh agama yang meninggikan Tuhan sebagai tahta kekuasaan yang Maha
Tinggi. Tapi sekarang kesucian Islam telah ternoda. Meskipun aku menceraikan Evel, tetap
saja kisah Ulama dan Pendeta yang telah menikahkan sepasang homoseksual itu akan
menjadi sejarah di dunia. Aku telah mencemarkan agama. Aku telah sangat berdosa,” keluh
Muslim demikian dalamnya.
“Menikah itu lebih baik daripada melakukan hubungan sex bebas yang penuh dosa.
Ikatan pernikahan akan menghalalkan hubungan sex kamu.”
“Dalam kitab Islam mana yang menerangkan ada hadist Nabi yang membahas sebuah
pernikahan sesama jenis. Allah sendiri dalam Al-Qur’an mengecam kaum Lut yang
homoseksual serta mengazabnya demikian pedih dengan hujan batu. Karena dalam
keyakinanku Muhammad SAW beserta Al-Qur’an merupakan pembawa ajaran kebenaran
yang sempurna dan mutakhir. Segalanya merupakan sumber tauladan yang berlaku hingga
akhir masa. Jikapun memang homoseksual dibenarkannya, mungkin sebagai Nabi yang
terkenal banyak istrinya tidak menuntut kemungkinan beliau mencontohkannya dengan
menikahi laki-laki para sahabatnya atau umatnya yang taat,” hati nurani Muslim tetap saja
membantah. Membantah! Mengapa dilemma itu masih saja mengelabuinya? Mengapa
keyakinan terhadap agamanya masih saja begitu kuat sementara CRYSISpun ia dirikan
sebagai agama pula? Jika kepercayaannya pada agama Islam sangat kental, mengapa sampai
tidak sanggup meluluhkan sifat kehomoannya yang seakan malah kian menebal?
“Ketegasan kamu sekarang mau bagaimana?” Elqo meminta kepastian Muslim.
“Dalam Kanzul Ummaal, Al-Hindi meramalkan kehidupan akhir zaman bahwa
‘manusia akan berkubang dalam perilaku homosex dan lesbianism.’ Mungkin saat ini
memang sudah akhir zaman sehingga mengapa aku mesti terus menerus mencari kebenaran
yang ku inginkan?” Muslim memasrahkan keyakinannya.
“Evel,” Muslim menatap Evel. “Bagaimanapun sekarang kita sudah menikah. Baik
dan buruknya nilai moral yang kita perbuat, agama telah melindungi hubungan sex kita. Kau
telah menjadi pasanganku. Aku bertanggung jawab sepenuhnya atas apapun yang terjadi
denganmu. Demikian kamu jadilah pasanganku yang senantiasa mengingatkan dan
melindungi aku dari setiap angkara yang menerpa. Cinta dan tidaknya aku padamu atau kamu
padaku, semoga rumah tangga kita selalu ada dalam berkah dan karunia rahmat-Nya,”
dikecupnya kening Evel perlahan dengan lembut. Serasa genderang itu kembali bertalu.
Menyerukan sebuah semangat perjuangan menuju kemenangan yang menggembirakan. Evel
memeluknya. Air matanya terjatuh penuh keharuan. Cinta itu sungguh gemuruh di dadanya.
Kebahagiaan itu menyeruak memenuhi ruang hamapa di jiwanya.
Tapi Elqo. Dia terlihat perih. Matanya yang basah menyiratkan sebuah kelukaan yang
mendalam. Langkahnya ia ayunkan pergi dengan genangan air matanya yang tiba-tiba deras
ibarat hujan asam mengguyur puing-puing bangunan jiwanya yang rapuh.
“Elqo!” panggil Muslim mencoba menghentikan langkah lelaki yang dicintainya itu.
Elqo terhenti. Tapi entah apa yang membuat langkah kakinya terhenti. Matanya
melihat seorang anak perempuan empat tahun yang baru datang diiring seorang gadis belia
menujunya. Elqo memandangnya tak berkedip. Bocah itu melihatnya.
“Om Elqo!” serunya.
Elqo memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Wajahnya berkerut-kerut dengan
hidungnya yang mengembang seolah sedang berusaha menahan tumpahan gejolak jiwanya
yang memuncak pada bibirnya yang bergeletar.
“Elin,” hanya sapaan itu yang sanggup terucap dari bibirnya. Dihamburnya bocah itu.
Dipangkunya. Ditumpahkannya air matanya di wajah cantik bocah itu. Diciuminya dengan
hangat. Elin didekapnya begitu erat.
“Kenapa Om menangis?” Elin menatap Elqo dengan sorot matanya yang polos.
“Om kangen sekali sama Elin,” suara Elqo serak.
“Muka Om kenapa? Kok banyak nodanya,” tangan Elin meraba jidat Elqo.
“Seorang lelaki yang gagah harus berani melawan musuhnya. Om telah bertarung
mengalahkan musuh Om yang akan mengganggu Elin.”
“Terima kasih ya Om! Mama juga suka bilang kalau Om Elqo itu seorang pahlawan
yang suka menolong Mama dan Elin,” cerita Elin sungguh polosnya sambil menyandarkan
kepalanya ke leher Elqo. Sebuah pernyataan yang sangat menyayat ke kedalaman palung
sanubarinya. Air matanya kembali bergulir lagi. Jatuh lagi. Kian menambah perih.
Muslim berjalan menghampiri Elqo diikuti Evel yang melangkah dibelakangnya
dengan kepalanya yang tertunduk.
“El. Temani aku bulan madu,” kata Muslim sangat mengejutkan Elqo.
Elqo terdiam. Evel pun diam. Baby sitter Elin pun diam. Muslim melihat Elqo. Elqo
membiarkan Muslim memandangnya. Elin melihat pada Muslim. Tatapan tidak kenal dan tak
bersahabat.
“Pergi saja kalian berdua,” bisik Elqo terbata.
“Aku ingin kamu ikut. Aku sangat mencintai kamu begitu juga katamu kalau Evel
orang yang sangat kamu cintai. Kita berbulan madu bertiga,” rujuk Muslim.
“Aku tidak mempunyai hak untuk turut memeriahkan bulan madumu. Haram
hukumnya aku menjamah berahi kalian berdua.”
“El. Kamu ingin melihat aku bahagia atau menderita dengan pernikahan ini?”
“Bahagia …” Elqo menundukkan mukanya.
“Om Elqo. Ini ya orang yang mau mengganggu Elin dan telah bertarung dengan Om
itu?” tanya Elin pada Elqo yang merunduk membisu.
Elqo menggelengkan kepalanya. “Bukan. Om ini orang yang baik,” bisiknya pelan.
“Dia ini keponakanmu?” tanya Muslim.
Elqo menelan ludahnya yang mengental di tenggorokannya.
“Mama!?” teriak Elin ragu-ragu.
“Iya Teteh Evelin saya disuruh Ibu sama Bapak untuk nganter Elin kemari,” Si gadis
belia itu mengherankan Muslim.
“Maksud kamu De, Evelin?” Muslim memandang gadis itu.
“Maafkan aku Muslim!” ujar Elqo berat sembari menenangkan nafasnya.
Muslim beralih memandang pada Elqo.
“Kamu boleh membenci aku untuk selama-lamanya. Dan sesuatu yang sangat baik
kamu bisa menganggap aku telah mati.”
“Kamu bicara apa?”
“Muslim. Aku sangat mempercayaimu. Aku titipkan Evel padamu. Jagalah dirinya
seiring benih cintanya yang tumbuh untukmu. Jika memang sampai kapanpun kamu tidak
pernah bisa mencintainya, jadikan Evel temanmu yang biasa menyajikan hidangan lezat di
setiap kamu pulang ke rumah setelah tak ada satupun restaurant yang memuaskan kenikmatan
nafsumu…”
“Elqo. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan rasa cintaku padamu. Kita bisa
tinggal serumah bertiga. Jika kamu memang tidak menginginkan pernikahan denganku, apa
salah jika aku menginginkan hidup bersama dalam satu rumah denganmu?”
“Jangan lukai hati Evel. Hatinya adalah hatiku. Lukanya adalah lukaku. Aku telah
lama terluka dengan perbuatanku yang telah menyengsarakan hidupnya. Jangan tambah lagi
penderitaanku dengan melihat Evel tersiksa olehmu. Jika kamu memang mencintai aku,
cintailah Evel sebagaimana kamu mencintaiku. Tebuslah segala dosa-dosaku selama ini
padanya dengan tulusnya kasih sayangmu.”
“Emangnya Evel itu siapanya kamu?”
“Seandainya kamu tahu siapa Evel, apa kamu akan meninggalkannya lalu
membiarkan dia menikahi Fitrea adikmu?”
“Justru aku akan merasa sangat senang melihat Evel menikah dengan adikku daripada
menikah tidak normal denganku.”
“Evel adalah seorang wanita. Nama aslinya adalah Evelin Puteri.”
“Apa? Jika Evel adalah seorang wanita normal. Apa gunanya merubah
penampilannya jadi laki-laki apabila masih menyukai laki-laki?” Muslim terbelalak kaget.
“Mana yang kamu pilih? Evelin kamu jadikan istri atau mengizinkan dia
menghancurkan kehidupan adikmu Fitrea? Karena dia telah berhasil menaklukan Fitrea jatuh
cinta padanya sebagai seorang Evel sosok lelaki yang romantis dan humanis. Evel lelaki
jelmaan dari seorang lesbian Evelin yang terperangkap dalam jeratan sexnya Naomi Lie. Evel
yang telah terluka parah hatinya oleh cinta seorang lelaki hingga ia prustasi tidak
mempercayai lagi cintanya kaum lelaki. Evelin telah menderita olehku. Aku yang telah
menodai cintanya sebagai gadis suci. Aku telah menghamilinya diluar nikah. Dan Elin adalah
anakku…”
“Maafkan aku!” Evel memegang tangan Muslim.
“Kalian semua pengkhianat!” geram Muslim menepiskan pegangan Evel dengan raut
mukanya yang mendadak merah padam.
“Muslim!” Elqo meneriaki Muslim yang bergegas pergi dengan kobaran emosi yang
membara membakar seluruh keyakinan yang sempat kokoh dipertahankannya.
Evel berlari mengejar. Elqo pun berlari menyusul dibelakang Evel sambil
menggendong Elin yang berteriak memangil ibunya. Keduanya berusaha menghalangi
kepergian Muslim. Namun,
“Bedebah dengan kalian semua!” hardik Muslim segera menancap gas melajukan
sedan abu-abunya meluncur menembus cuaca Bogor yang mendung bergerimis. Awan hitam
yang lama bergelayut menyelubungi indahnya kota hujan ini akhirnya mencair juga jatuh
berpencar tertiup sepoi angin petang yang mempertanyakan dimanakah letaknya kepercayaan
itu mesti disimpan. Bila ditaruh di atas langit masih tetap juga tergapai bias panas uap bumi.
Di air, ia akan menguap. Di awan, ia akan mencair. Di tanah, ia akan terinjak. Di udara, ia
akan terhisap. Di cahaya, ia akan padam. Di makhluk hidup, ia akan membusuk. Lalu
dimanakah letaknya yang tepat buat menaruh kepercayaan itu? Hanya satu, keyakinan itu
berada di puncak Maha Tingginya Kekuasaan Tuhan Yang Maha Tunggal!
“… hari ini tadinya aku berencana mengajakmu pergi ke Meksiko. Aku sudah
memesankan dua tiket keberangkatan kita sejak seminggu lalu. Karena masa tinggalku di
Indonesia berakhir di hari ini.
Muslim yang sempat aku cintai. Dan masih sangat aku cintai. Serta aku sampai
dibuatnya tergila-gila mencintainya. Kini aku pergi dengan segenggam bunga cinta yang
berduri dan penuh cacat. Bunga cinta yang sudah tidak menarik dan harum lagi.
Selamat atas kebahagiaanmu. Semoga kamu bisa menjalani hidup normal sebagai
seorang suami bagi istrinya. Meskipun sangat menyiksa dan menyakitkan melawan sifat
manusia yang diqadratkan Tuhan.
CRYSIS ku bawa dalam nuraniku. Namaku dan namamu juga agamaku dan agamamu
bersatu disana. CRYS adalah nama dan agamaku Christian dan IS adalah Islam (Moslem)
nama dan agamamu.
Doakan agar aku bisa belajar hidup normal dengan Naomi Lie yang ikut bersamaku
ke Meksiko sebagai penggantimu.
Salam CRYSIS tak pernah mati untuk kita! ...”
Muslim terpejam. Butiran-butiran kristal itu berjatuhan satu persatu menelusuri
kelembutan pipinya dan jatuh di dagunya yang mulai di tumbuhi janggut. Gerimis kecil yang
memercikan tetes demi tetesan darah yang merembes dari sayatan-sayatan luka di hatinya.
Gerimis yang menerpa menambah gelap suasana. Basah. Dingin. Dan menggigil. Bersama
menyambarnya sepercik cahaya kilat yang sempat menyerpih terang gulita sukmanya.
Beriring rintihan gemuruh guntur yang menumbangkan kekuatannya. Muslim terdiam di
depan beranda surga yang pintunya bersebelahan dengan neraka. Kilat itu hilang
menyesatkan jejaknya. Karena ‘… Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk menimbulkan
ketakutan dan harapan…’ (Ar-Rum 24). Dan gemuruh itu datang menyerbunya. Kemanakah
ia mesti berlari? Sedang sekali pintu terbuka akan menutupnya rapat-rapat dalam sebuah
keabadian! Kekekalan hukum Tuhan Yang Maha Adil!
 
Terima kasih!
 
Alhamdulillaahirobil’alamiin,
My Humz, minggu 21 april 2012.
 
 
 
 
 
 
*Laki-laki akan menyerupai perempuan dan perempuan akan menyerupai laki-laki!
[Allamah Jalaluddin Suyuti, Durre-Mansoor]
 

Anda mungkin juga menyukai