A. STANDAR PELAYANAN RUMAH SAKIT PERSPEKTIF INTERNASIONAL Di seluruh dunia, sebagai bagian dari hak asasi manusia, pelayanan kesehatan seharusnya setara (BUKAN sama). Kesetaraan inilah yang dianggap penting dalam standar Internasional, walaupun bentuk dan ragamnya berbeda-beda tergantung kemampuan rumah sakit dan budaya yang mempengaruhinya. Standar Internasional penting diketahui tidak hanya untuk rumah sakit yang berencana memperoleh akreditasi Internasional. Yang lebih utama lagi adalah untuk mengetahui kesenjangan antara kondisi kita sekarang dengan tujuan jangka panjang. Rumah sakit tipe D, C bahkan B bukannya tidak perlu tahu tentang standar Internasional. Justru amat sangat perlu. Dengan mengetahui apa dan bagaimana seharusnya pelayanan minimal yang dapat diterima secara Internasional, rumah sakit dapat mengukir jalur pengembangannya berdasarkan poin-poin penekanan standar Internasional. Misalnya bab COP (Care of Patients), pada intinya memberi panduan mengenai pelayanan minimal seperti apa yang aman bagi pasien, aman bagi pemberi layanan dan memenuhi hak kedua belah pihak. Itu saja. Memang penjabarannya cukup luas dan dapat diintepretasikan sesuai kondisi masing- masing rumah sakit. Bagaimana merencanakan perawatan dan tatalaksana pasien dari terdiagnosa hingga pulang dengan baik (clinical pathway, plan of care, discharge planning). Bagaimana memastikan terjadinya komunikasi antar dokter yang merawat pasien bersama. Bagaimana memastikan segala kebutuhan pasien saat pulang terpenuhi; rencana tindak lanjut; edukasinya; alat kesehatan (bila perlu) dan obat-obatan. Dan lain sebagainya, Pelayanan
B. PELAYANAN PRIMA KEPEAWATAN BERBASIS BUDAYA
Pelayanan Prima dalam keperawatan adalah pelayanan yang berdasarkan perilaku caring, dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger dan McFarland (2002), yang didasarkan pada kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk memperoleh kesejahteraan, kesehatan, partumbuhan dan ketahanan, serta kemampuan untuk menghadapi rintangan maupun kematian. Perawatan yang mendasarkan budaya adalah bagian komprehensif serta holistik untuk mengetahui, menjelaskan, menginterpretasikan, dan memprediksikan fenomena asuhan keperawatan serta memberikan panduan dalam pengambilan keputusan dan tindakan keperawatan. Keperawatan transkultural adalah disiplin ilmu perawatan humanistik dan profesi yang memiliki tujuan utama untuk melayani individu dan kelompok. Praktik perawatan dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai budaya yang cenderung tertanam dalam pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, kekeluargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi, kompetensi peka budaya juga meningkatkan kepercayaan pasien dan kepuasan pasien (DeRosa & Kochurka, 2006). Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna bagi kelompoknya. Setiap kelompok masyarakat mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat sebagai tenaga profesional harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang dianut oleh kliennya sehingga interaksi dapat berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011). Perawat sebagai bagian dari sumberdaya manusia yang bekerja di rumah sakit (RS) memiliki nilai budaya tertentu, yang menyangkut masyarakat kecil dengan kebudayaannya sendiri yang sangat mirip dengan suatu desa petani atau suatu masyarakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan tertentu (Foster & Anderson, 2009). Perawatan kesehatan yang benar adalah yang berfokus pada gaya hidup, kondisi sosial dan lingkungan, bukan proses diagnosa penyakit atau pengobatan (Watson, 2002; Tomey & Alligood, 2006). Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat perlu melengkapi dirinya dengan cultural competency, terutama bagi perawat yang bertugas pada tatanan komunitas. Apabila klien dirujuk dan dirawat di rumah sakit, klien akan membawa budaya yang selama ini dianut sehingga perlu bantuan perawat dalam beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Kebiasaan hidup klien sehari-hari dapat berubah secara drastis, seperti kebiasaan makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh karena itu, perawat perlu memahami aspek budaya yang dianut kliennya. Dengan demikian, pengkajian perlu dilakukan secara komprehensif dan juga melibatkan orang-orang terdekat klien. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan.
C. KOMUNIKASI DALAM MELAKUKAN PELAYANAN KESEHATAN DENGAN
BUDAYA DAN BAHASA YANG BERBEDA. Komunikasi lintas budaya dalam bidang kesehatan sangat penting dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, menurut Rotell dan Hall dalam Perloff (2006, hlm.835) mengungkapkan bahwa komunikasi merupakan hal dasar dalam hubungan dokter dan pasien yang dibuat untuk mencapai komunikasi terapetik. Istilah kompetensi budaya menjadi hal penting dalam mengatasi permasalahan komunikasi. Bahasa menjadi salah satu faktor kegagalan dalam komunikasi dokter dan pasien. Perbedaan interpretasi makna bahasa disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya, pendidikan dan status sosial ekonomi. Bahasa dokter yang terlalu akademis dan minimnya pemahaman bahasa mengakibatkan kegagalan dalam pelayanan medis. Menurut Perloff (2006, hlm 835) sarjana kesehatan, praktisi kesehatan dan psikolog harus memiliki kepekaan terhadap isu- isu budaya yang terlibat dalam penyediaan layanan kesehatan. Isu sosial dan budaya yang harus dipahami yaitu latar belakang budaya, adat, norma, dan sistem kepercayaan . masyarakat terkait kesehatan. Kedua, menurut Thakker dalam Forbes (2016, hlm.288) kesadaran budaya adalah kunci keterampilan yang diperlukan dalam perawatan kesehatan. Kompetensi komunikasi lintas budaya diperlukan untuk mengurangi kesenjangan budaya yang terjadi dalam dunia medis. Menurut Betancourt dalam Samovar (2010, hlm.373) mengungkapkan bahwa kompetensi budaya merupakan seperangkat keterampilan yang diperlukan untuk dokter yang memberikan keperawatan berkualitas tinggi untuk semua pasien. Pelatihan komunikasi profesional medis sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan. MacLachlan (2006, hlm.160) mengungkapkan bahwa kompetensi komunikasi lintas budaya diperlukan untuk menanggapi isu budaya yang kompleks dalam pelayanan kesehatan. Dokter yang memiliki kompetensi komunikasi yang baik akan melakukan tindakan cerdas dan efektif dalam praktik pelayanan kesehatan. Ketiga, budaya memainkan peran mendasar dalam interaksi pelayanan medis (Villagran, 2011, hlm.445). Identitas etnis dan budaya berperan dalam membangun perspektif seseorang terkait pengobatan kesehatan. Perspektif kepercayaan tersebut akan menentukan kesuksesan pengobatan dan terapi dalam pelayanan medis. Perbedaan kepercayaan menjadi tantangan bagi praktisi medis, jika tidak ditangani dengan baik maka berdampak buruk terhadap interaksi pelayanan medis selanjutnya. Keempat, literatur komunikasi yang membahas kompetensi komunikasi lintas budaya dokter-pasien masih sangat terbatas. Menurut Berger (2014, hlm.578) tidak banyak peneliti yang mengkaji interaksi dokter dan pasien secara bersamaan atau berupaya mengembangkan model-model yang memadukan riset komunikasi dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian komunikasi dokter dan pasien dalam konteks budaya masih sedikit. Penelitian terkait komunikasi dokter-pasien telah dilakukan sejak 1960-an akhir dan awal 1970-an (Berger, 2014, )
D. KELUHAN/HAMBATAN DALAM MELAYANI PASIEN INTERNASIONAL
Klien dengan budaya internasional umumnya merupakan wisatawan asing. Wisatawan umumnya menyadari bahwa kesehatan adalah hal yang paling penting dan utama dalam hidupnya, dan bagi mereka hal tersebut sama pentingnya dengan kebutuhan berwisata. Berhubung wisatawan kebanyakan berasal dari negara yang sudah maju, maka penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan kesehatan dengan standar internasional bagi destinasi wisata merupakan syarat yang mutlak. Karena itu, keluhan dari orang asing pun tidak dapat dihindari. Hal ini dapat disebabkan karena fasilitas maupun sumber daya manusia yang tersedia belum dapat memenuhi harapan wisatawan mancanegara, dan ini membuat wisatawan mancanegara berpaling atau bahkan pulang ke negaranya untuk memilih rumah sakit yang lebih baik dan dapat dipercaya. Penelitian Villagran terkait kompetensi lintas budaya yang dilakukan terhadap imigran Meksiko menemukan tiga hal. Pertama, pasien imigran Meksiko menginginkan adanya akomodasi linguistik kebahasaan dari dokter. Kedua, identitas budaya memainkan peran penting dalam harapan kunjungan medis. Ketiga, praktisi kesehatan yang sukses adalah menjalin interaksi dan memberikan solusi alternatif pengobatan kesehatan kepada pasien. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi keputusan kepatuhan pasien dalam praktik pelayanan kesehatan. Kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi selama proses akulturasi dapat mempengaruhi keputusan nilai kepatuhan pasien. Mayoritas imigran Meksiko memiliki kemampuan bahasa Inggris yang rendah sehingga rentan terjadi kesalahpahaman. Perbedaan budaya antara pasien imigran Meksiko dengan dokter mempengaruhi tingkat kepercayaan terkait pengobatan kesehatan. Pasien yang memiliki kemampuan literasi bahasa dan akulturasi budaya akan lebih mudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
E. LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KELUHAN PASIEN
1. Dengarkan dengan penuh perhatian dan empati. 2. Jika memungkinkan, isolasikan tamu yang sedang marah, agar tamu yang lain tidak merasa terganggu. 3. Bertindak secara tenang. Hindari amarah dan jangan membuat pernyataan bahwa kesalahan dipihak tamu serta jangan cepat berdebatapalagi sampai menghina tamu. 4. Berhati-hati dengan harga diri tamu. Tunjukkan perhatian serius pada masalah yang sedang dihadapi. 5. Katakan pada tamu apa yang sedang kita lakukan untuk mereka, tawarkan beberapa pilihan, jangan membuat janji kalau tidak mungkin dipenuhi. 6. Dalam menyelesaikan masalah, tentukan waktu yang setepat mungkin. Jangan menjanjikan waktu yang sesingkat mungkin tapi tidak ditepati. 7. Hubungi pelanggan dan tanyakan apakah keluhan yang ditangani sudah memuaskan atau belum. Sampaikan rasa terima kasih kepada tamu.
F. PENYELESAIAN MASALAH KELUHAN KLIEN DALAM BUDAYA
INTERNASIONAL Berikut adalah hal – hal yang bisa dilakukan untuk menangani permasalahan keluhan dalam perbedaan budaya internasional : 1. Setiap orang dalam institusi harus dilibatkan dalam penentuan, pengertian, dan peningkatan proses yang berkelanjutan dengan masing-masing kontrol serta bertanggung jawab dalam setiap mutu yang dihasilkan oleh masing-masing orang. 2. Setiap orang harus sepakat untuk memuaskan setiap pelanggan, baik pelanggan eksternal maupun pelanggan internal. 3. Peningkatan mutu dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah, yaitu dengan menggunakan data untuk pengambilan keputusan, penggunaan metode statistik, dan keterlibatan setiap orang yang terkait. 4. Adanya pengertian dan penerimaan terhadap suatu perbedaan yang alami. 5. Pembentukan team work. Baik itu dalam part-time teamwork, full-time teamwork ataupun cross-functional team. 6. Adanya komitmen tentang pengembangan karyawan (development of employees) melalui keterlibatan dalam pemgambilan keputusan. 7. Partisipasi dari setiap orang dalam kegiatan merupakan dorongan yang positif dan harus dilaksanakan. 8. Program pendidikan dan pelatihan dianggap sebagai suatu investment atau modal dalam rangka pengembangan kemampuan dan pengetahuan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. 9. Supplier dan costumer diintegrasikan dalam proses peningkatan mutu. DAFTAR PUSTAKA - http://repository.upi.edu/30402/4/S_IKOM_1300752_Chapter1.pdf - Novieastari, et al., 2018. Pelatihan Asuhan Keperawatan Peka Budaya Efektif Meningkatkan Kompetensi Kultural Perawat. Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 21, No. 1, Maret 2018, hal 27-33. https://media.neliti.com/media/publications/260847-none- 01e7bc1a.pdf (diakses tanggal 24 September 2020) - Suroso, Rr Tutik Sri Haryati, Mustikasari, Enie Novieastari. PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015