Anda di halaman 1dari 13

RESUME KEBIJAKAN MDGs DAN SDGs

DALAM BIDANG KESEHATAN

Oleh :
EFANY RESMA
NIM. P2.06.20.1.18.012
3A KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TASIKMALAYA
2020
G
Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima dapat
diwujudkan dengan melaksanakan pelayanan prima. Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh pelayanan prima berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan
pasien di rumah sakit. Metode penelitian menggunakan quasi experiment dengan
rancangan pre and post with control group design. Jumlah sampel adalah tiga puluh
lima perawat dan seratus empat puluh pasien. Teknik pengambilan sampel untuk
perawat menggunakan total sampling, sementara untuk pasien dilakukan dengan
consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna
(p< 0,05) terhadap tingkat kepuasan pasien setelah perawat mendapatkan pelatihan
pelayanan prima berbasis budaya pada sebelum dan sesudah di kelompok intervensi.
Rekomendasi yang dapat diberikan adalah perlunya meningkatkan peran supervisi agar
keberlangsungannya tetap terjaga. Selain itu, untuk penelitian berikut dapat juga
dilakukan dengan model triangulasi.

Pelayanan prima dalam keperawatan adalah pelayanan yang berdasarkan


perilaku caring, dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger dan McFarland
(2002), yang didasarkan pada kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk
memperoleh kesejahteraan, kesehatan, partumbuhan dan ketahanan, serta
kemampuan untuk menghadapi rintangan maupun kematian. Perawatan yang
mendasarkan budaya adalah bagian komprehensif serta holistik untuk mengetahui,
menjelaskan, menginterpretasikan, dan memprediksikan fenomena asuhan
keperawatan serta memberikan panduan dalam pengambilan keputusan dan tindakan
keperawatan. Keperawatan transkultural adalah disiplin ilmu perawatan humanistik
dan profesi yang memiliki tujuan utama untuk melayani individu dan kelompok. Praktik
perawatan dipengaruhi oleh keyakinan dan nilai budaya yang cenderung tertanam
dalam pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, kekeluargaan, sosial, politik,
pendidikan, ekonomi, Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya
Berpengaruh 39 teknologi, etnohistory,dan lingkungan kebudayaan. Keperawatan yang
berdasarkan budaya dapat meningkatkan kepuasan pasien sehingga dapat
memengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, kelompok, dan
komunitas di dalam lingkungannya. Keperawatan yang berdasarkan budaya dapat
terwujud apabila pola, nilai budaya dan perawatan digunakan secara tepat, aman dan
bermakna (Bhui, Warfa, Edonya, McKenzie, & Bhugra, 2007).
Raso (2006) menyatakan bahwa memahami bahasa sangat penting.
Ketidakmampuan untuk berkomunikasi tidak hanya membuat frustasi bagi kedua belah
pihak, tetapi juga menimbulkan risiko keselamatan pasien dalam rangka untuk
merencanakan dan mengoordinasikan sesuai perawatan. Douglas, et al., (2009)
menyatakan bahwa perawat perlu mendapatkan pendidikan tentang budaya dalam
melakukan pelayanan, sehingga perawat mempunyai kompetensi atau kemampuan
tentang kebudayaan pasien yang dirawat. Standar praktik untuk kompetensi perawat
berbasis budaya terdiri atas keadilan sosial, pemikiran kritis, pengetahuan tentang
perawatan lintas budaya, praktik lintas budaya, sistem kesehatan dan organisasi,
pemberdayaan dan advokasi pasien, tenaga kerja yang bermacam ragam budaya,
pendidikan dan pelatihan, komunikasi lintas budaya, kepemimpinan lintas budaya,
kebijakan pengembangan, dan penelitian berbasis evidence base.
Model keperawatan transkultural adalah panduan yang baik bagi perawat dalam
memberikan pelayanan kepada pasien dengan struktur budaya masyarakat yang
bermacam ragam (Gulbu, 2006; Maier-Lorentz, 2008; Foster & Anderson, 2009).
Kemampuan tentang budaya dalam keperawatan profesional sangat penting
untuk mengatasi masalah kesehatan pasien. Perawatan peka budaya mengelola konflik
yang dapat menyebabkan frustrasi, baik kepada pasien maupun keluarga. Manfaat yang
diperoleh dengan menyiapkan kompetensi budaya kesehatan adalah meningkatkan
efisiensi waktu. Pasien lebih mendapat informasi dan dapat menurunkan rasa stress
pada pasien dan tenaga perawat, kemampuan kompetensi peka budaya juga
meningkatkan kepercayaan pasien dan kepuasan pasien (DeRosa & Kochurka, 2006).
Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas yang dianut oleh suatu kelompok
masyarakat dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna bagi kelompoknya. Setiap
kelompok masyarakat mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat sebagai tenaga
profesional harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang dianut
oleh kliennya sehingga interaksi dapat berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011).
Perawat sebagai bagian dari sumberdaya manusia yang bekerja di rumah sakit
(RS) memiliki nilai budaya tertentu, yang menyangkut masyarakat kecil dengan
kebudayaannya sendiri yang sangat mirip dengan suatu desa petani atau suatu
masyarakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan tertentu (Foster & Anderson, 2009).
Meskipun demikian, rumah sakit memiliki kebudayaannya sendiri, kebudayaan secara
umum sulit untuk dicirikan, keperawatan merupakan ilmu tentang manusia dan
pengalaman sehat-sakit manusia yang disampaikan melalui transaksi profesional, ilmiah,
estetis, dan etis. Perawatan kesehatan yang benar adalah yang berfokus pada gaya
hidup, kondisi sosial dan lingkungan, bukan proses diagnosa penyakit atau pengobatan
(Watson, 2002; Tomey & Alligood, 2006).
Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat perlu melengkapi dirinya dengan
cultural competency, terutama bagi perawat yang bertugas pada tatanan komunitas.
Apabila klien dirujuk dan dirawat di rumah sakit, klien akan membawa budaya yang
selama ini dianut sehingga perlu bantuan perawat dalam beradaptasi dengan
lingkungannya yang baru. Kebiasaan hidup klien sehari-hari dapat berubah secara
drastis, seperti kebiasaan makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh karena itu, perawat
perlu memahami aspek budaya yang dianut kliennya. Dengan demikian, pengkajian
perlu dilakukan secara komprehensif dan juga melibatkan orang-orang terdekat klien.
Penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit di Papua dengan dilatarbelakangi
bahwa pasien banyak mengeluh tentang sikap perawat yang kurang perhatian dalam
pemberian pelayanan sebesar 48%, perawat kurang komunikasi terhadap pasien dan
keluarga 53%, sikap perawat yang lambat dalam merespons keluhan atau panggilan
pasien sebesar 46%, sarana dan prasarana penunjang yang kurang memuaskan sebesar
30%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang perawat tentang tingkat
kepuasan pasien didapatkan hasil bahwa hampir setiap bulan terjadi komplain atau
keluhan baik dari pasien maupun keluarga. Keluhan yang dirasakan adalah sikap petugas
administrasi yang kurang ramah, sikap perawat yang cerewet, judes, dan lamban dalam
merespons keluhan pasien serta komunikasi yang kurang baik terhadap pasien.
Intervensi yang dilakukan dengan memberikan pelatihan pelayanan prima
berbasis budaya selama dua hari untuk dua gelombang. Pelatihan yang diberikan kepada
perawat kelompok intervensi meliputi materi pelayanan prima, caring, komunikasi
terapeutik, dan budaya. Setelah mendapatkan materi pelatihan dilakukan kegiatan role
play, tentang cara komunikasi dengan pasien menggunakan dialek Papua, peserta
disimulasikan sebagai pasien dan perawat. Kegiatan ini berlangsung selama dua jam,
memang tidak semua peserta mendapat kesempatan untuk melakukan simulasi karena
keterbatasan waktu pelatihan.
Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan, pendampingan untuk perawat
pelaksana dilakukan selama dua minggu, perawat diberikan pendampingan oleh peneliti
dibantu oleh tiga kepalaruang. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan pelayanan
prima berbasis budaya, seperti cara menyapa pasien dengan dialek Papua, cara
menjelaskan informasi berkaitan dengan pelayanan keperawatan yang diberikan kepada
pasien, cara memfasilitasi pasien jika ada kunjungan dari keluarga, tetangga, atau
perkumpulan gereja. Kendala yang dihadapi pada saat pendampingan adalah kurangnya
tenaga pendamping atau mentor sehingga hanya kepala ruang yang diharapkan bisa
memberikan pendampingan. Jika kepala ruangan memiliki jadwal yang padat, seperti
rapat, dan kegiatan sosialisasi, perawat pelaksana sedikit sekali mendapatkan
bimbingan.
Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan prima berbasis budaya yang dilakukan
di rumah sakit kelompok intervensi, yaitu dengan memfasilitasi pengunjung pasien yang
membesuk untuk diberi waktu dalam memberikan doa kepada pasien. Pasien yang
mendapat kunjungan dari kelompok gereja atau jemaatnya disiapkan ruangan khusus.
Dalam kegiatan ini, sementara, ruangan yang dipakai adalah ruangan pertemuan
perawat. Pasien yang mendapat kunjungan dari jemaat gereja di dorong ke ruangan
tersebut, di sinilah para jemaat atau keluarga yang ingin mendoakan diberi waktu 15-20
menit untuk mendoakan agar pasien lekas sembuh. Ternyata kegiatan yang dilakukan
seperti ini mendapatkan respons positif dari pasien dan keluarga serta pengunjung
sehingga banyak keluarga dan pengunjung pasien yang menyatakan bahwa hal semacam
ini baik dan tetap terus untuk ditingkatkan dan dipertahankan. Pelaksanaan kegiatan ini
belum tersosialisasi dengan baik ke seluruh petugas
sehingga ada yang melakukan dan ada yang tidak. Selain itu, belum adanya aturan
yang tertulis berapa kali pasien diberi kesempatan, berapa lama waktu yang disediakan,
dan perlu adanya pemberitahuan dari keluarga untuk bisa dijadwalkan dalam kegiatan
harian perawat untuk memfasilitasi keluarga dalam memberikan doa kepada pasien
sehingga tidak terjadi penumpukan atau jadwal yang sama dalam satu waktu.
Kegiatan pelayanan prima berbasis budaya yang lain adalah dengan menganalisis
budaya masyarakat Papua yang biasa makan pinang, dan membuang ludah pinang di
sembarang tempat. Berdasarkan hal tersebut, perawat berinisiatif untuk menyediakan
suatu tempat yang sudah disiapkan, seperti bak pasir tempat membuang ludah pinang,
para pasien atau pengunjung yang akan makan pinang diarahkan ketempat tersebut,
secara fasilitas tempat tersebut masih perlu pembenahan agar representatif. Tanggapan
dari keluarga pasien atau pengunjung juga baik, bahkan ada yang menyarankan agar
ruangannya diperluas dan dibuat permanen sehingga para pengunjung dapat
menikmatinya dengan nyaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor kepuasan pasien sebelum
intervensi dan setelah intervensi mengalami peningkatan satu setengah kali lipat lebih
puas dari kondisi awal. Artinya ada pengaruh pelatihan pelayanan prima berbasis
budaya terhadap kepuasan pasien pada kelompok intervensi. Komunikasi perawat
terhadap pasien menjadi faktor yang penting dalam pemberian pelayanan prima
berbasis budaya. Pelayanan prima menurut Budiono (2012) adalah pelayanan jasa yang
dapat membuat pelanggan merasa mendapatkan pelayanan sesuai harapan, sesuai
dengan indikator yang ditentukan serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga merasa
puas. Pelayanan prima harus memberikan yang terbaik bagi pelanggan, melakukan
apapun yang mungkin untuk memuaskan pelanggan, serta membuat keputusan yang
dapat memberikan keuntungan pada pelanggan tapi tidak merugikan perusahaan
(Gerson, 2011). Pelayanan prima dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan secara utuh
yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sederhana, tepat sasaran, terjangkau, lengkap, dan
tidak rumit.
Banyak rumah sakit disejumlah daerah terus berbenah untuk menyambut
kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sejak beberapa tahun terakhir. Sejak tahun
2012 sebanyak 125 rumah sakit di Indonesia sudah mengikuti standar internasional
dalam pelayanan kesehatan (Imanurrohmah,2016). Salah satu standar pelayanan
kesehatan internasional adalah JCI (Joint Commission International) yang memuat mutu
pelayanan kesehatan. Menurut (Priyanto.A, 2009) komunikasi tidak hanya sekedar alat
untuk berbicara dengan klien namun komunikasi antar perawat dan klien memiliki
hubungan terapeutik yang bertujuan untuk kesembuhan klien. Perawat yang memiliki
keterampilan berkomunikasi terapeutik tidak saja akan mudah membina hubungan
saling percaya dengan klien tetapi juga dapat mencegah terjadinya masalah legal etik,
serta dapat memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan,
meningkatkan citra profesi keperawatan dan citra rumah sakit dalam memberikan
pelayanan.
Kepuasan akan berdampak pada kualitas pelayanan keperawatan maupun
pengakuan terhadap profesional perawat dalam mengatasi permasalahan pasien. Selain
itu kepuasan juga akan berdampak pada penggunaan berulang fasilitas rumah sakit atau
menjadi pilihan utama pasien untk meminta bantuan medis. Peningkatan kepercayaan
terhadap pelayanan turut mempengaruhi perkembangan rumah sakit baik secara
kualitatif maupun kuantitatif (Husna et al., n.d.)
Kepuasan merupakan penilaian mengenai ciri atau keistimewaan produk atau
jasa, atau produk itu sendiri, yang menyediakan tingkat kesenangan konsumen
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi konsumen. Kepuasan pasien adalah
suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan
yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya
(Priyanto.A, 2009).
Tingkat kepuasan pasien tergantung pada mutu pelayanan yang diberikan rumah
sakit kepada pasien.Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan berhubungan dengan
tingkah laku konsumen yaitu faktor budaya, faktor pribadi dan faktor psikologi. Faktor
budaya memberi pengaruh yang paling luas dan mendalam terhadap perilaku klien.
Faktor pribadi merupakan keputusan seseorang dalam menerima pelayanan dan
menanggapi pengalaman sesuai dengan tahap-tahap kedewasaannya. Faktor pribadi
klien dipengaruhi oleh usia dan tahap siklus hidup, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
status ekonomi, gaya hidup, dan kepribadian / konsep dir
tandar akreditasi 2012 ini mirip dengan standar akreditasi
internasional. Dalam standar akreditasi baru ini terdapat 4 kelompok
standar yang terdiri dari 1.048 elemen yang akan dinilai. Keempat
kelompok standar akreditasi rumah versi 2012 yaitu: kelompok
standar pelayanan berfokus pada pasien, kelompok standar
manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien rumah sakit dan
sasaran Millenium Development Goals. Dalam kelompok standar
pelayanan berfokus pada pasien, komponen penilaian selain berfokus
pada hal – hal terkait pelayanan pasien dan keluarga, mulai dari
pemenuhan hak-hak pasien, pendidikan pasien dan keluarga sampai
ke pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Pada kelompok
standar manajemen rumah sakit, komponen yang dinilai misalnya
upaya manajemen untuk memberikan dukungan agar rumah sakit
dapat memberi pelayanan yang baik kepada pasien. Sasaran
keselamatan pasien di rumah sakit dimaksudkan untuk meningkatkan
mutu pelayanan lebih baik dan memperhatikan keselamatan pasien.
Jangan sampai pasien yang datang ke rumah sakit membawa pulang
penyakit lagi. Sasaran Millenium Development Goals merupakan
komponen penilaian tambahan dalam standar akreditasi rumah sakit,
khusus di Indonesia. Sasaran-sasarannya berupa penurunan angka
kematian ibu dan bayi, penurunan kasus HIV dan AIDS serta
pengendalian tuberkulosis. Tingkat-tingkat kelulusan berdasarkan
standar akreditasi versi 2012 adalah dasar, madya, utama dan
paripurna. Tingkat paripurna adalah tingkat kelulusan tertinggi yang
dapat diraih oleh rumah sakit. Dalam pelaksanaan akreditasi rumah
sakit menggunakan standar akreditasi versi 2012 ini, surveyor akan
menemui pasien untuk mencari bukti adanya peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit yang berfokus pada keselamatan pasien. Bila
tidak ditemukan bukti, maka proses penilaian tidak akan lanjut ke
komponen lain. Saat ini seluruh rumah sakit memiliki kewajiban untuk
menjaga mutu pelayanannya dengan melaksanakan akreditasi minimal
setiap 3 tahun sekali.

Manfaat langsung dari implementasi standar akreditasi versi 2012


adalah rumah sakit akan lebih mendengarkan keluhan pasien dan
keluarganya. Rumah sakit akan lebih "lapang dada" menerima kritik
dan saran dari pasien dan keluarganya, tidak lagi menjadi pihak yang
selalu benar. Rumah sakit juga akan lebih menghormati hak-hak
pasien dan melibatkan pasien dalam proses perawatan sebagai mitra.
Dalam hal ini, pasien dan keluarganya akan diajak berdiskusi dalam
menentukan perawatan terbaik sesuai kondisi pasien saat ini.
Implementasi standar akreditasi versi 2012 juga diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit telah
melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan berdasar keselamatan
pasien. Selain itu, implementasi standar akreditasi versi 2012 juga
akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga
berkontribusi terhadap kepuasan karyawan. Rumah sakit yang telah
lulus akreditasi versi 2012 akan memiliki modal negosiasi dengan
perusahaan asuransi kesehatan dan sumber pembayar lainnya dengan
lengkapnya data tentang mutu pelayanan rumah sakit. Implementasi
standar akreditasi versi 2012 akan dapat menciptakan budaya belajar
dengan adanya sistem pelaporan yang tepat dari kejadian yang tidak
diharapkan di rumah sakit. Manfaat lain dari implementasi standar
akreditasi versi 2012 adalah terbangunnya kepemimpinan kolaboratif
yang menetapkan kualitas dan keselamatan pasien sebagai prioritas
dalam semua tahap pelayanan.

Tahapan yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan akreditasi


adalah: pembinaan akreditasi oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas
Kesehatan, bimbingan akreditasi oleh surveyor pembimbing, survei
akreditasi oleh surveyor akreditasi dan pendampingan pasca
akreditasi oleh tim pendampingan yang terdiri dari Kemenkes, KARS
(Komite Akreditasi Rumah Sakit), PERSI daerah dan Dinas Kesehatan.
Tahap pembinaan akreditasi bertujuan untuk menyiapkan sistem
pelayanan di rumah sakit. Hasil pembinaan berupa rekomendasi yang
mencakup aspek hukum atau aspek manajemen pelayanan yang bisa
digunakan untuk mengetahui apakah rumah sakit perlu bimbingan
atau tidak. Tahap bimbingan akreditasi bertujuan untuk memberikan
penjelasan, pemahaman dan penerapan standar pelayanan yang
menjadi item penilaian dalam akreditasi. Hasil bimbingan ini berupa
rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan rumah
sakit dan dokumen yang perlu disediakan untuk mencapai akreditasi.
Bila masih membutuhkan bimbingan, rumah sakit berhak untuk
meminta bimbingan dari konsultan luar selain KARS untuk mendapat
bimbingan lebih intensif. Tahap survey akreditasi merupakan saatnya
penilaian terhadap pemenuhan standar rumah sakit menggunakan
instrumen akreditasi yang dikeluarkan oleh KARS. Survei akreditasi
dilakukan oleh KARS sedangkan sertifikasi diberikan oleh Dirjen
Pelayanan Medik DepKes RI berdasarkan rekomendasi KARS. Rumah
sakit tidak dapat memilih surveyor akreditasi untuk menjamin
objektivitas penilaian. Tahap pendampingan pasca akreditasi
bertujuan menindaklanjuti rekomendasi hasil survey akreditasi agar
rumah sakit yang telah terakreditasi dapat meningkatkan mutu
pelayanan yang masih dibawah standar dan tetap mempertahankan
mutu pelayanan yang sudah tercapai. Pendampingan dilaksanakan
secara berkala minimal 6 bulan pasca survey akreditasi.

Selain diakreditasi dengan standar nasional, beberapa rumah sakit di


Indonesia, khususnya rumah sakit pemerintah, juga akan diakreditasi
menggunakan standar internasional. Sebenarnya telah banyak rumah
sakit di Indonesia yang terakreditasi secara internasional, namun
kebanyakan rumah sakit swasta. Kondisi ini semakin menanamkan
kesan bahwa rumah sakit pemerintah memang kurang layak dipercaya
dan kurang mampu memberikan pelayanan terbaik baik masyarakat.
Rencananya, tujuh rumah sakit besar pemerintah akan dipersiapkan
untuk akreditasi internasional pada tahun 2013. Untuk mewujudkan
hal ini, pemerintah bekerjasama dengan lembaga akreditasi
internasional yaitu Joint Commission International (JCI) dari Amerika
Serikat. JCI dipilih karena paling banyak berafiliasi dengan berbagai
rumah sakit besar di dunia dan merupakan salah satu lembaga
akreditasi yang dianggap berpengalaman. Akreditasi internasional ini
bertujuan untuk "menyetarakan" mutu pelayanan rumah sakit
pemerintah dengan rumah sakit internasional. Dengan adanya
akreditasi internasional ini diharapkan tumbuh pula kepercayaan dan
pengakuan dari masyarakat bahwa rumah sakit pemerintah mampu
memberikan layanan kesehatan terbaik. Dengan pengakuan ini
diharapkan dapat membendung arus masyarakat yang berlomba-
lomba berobat ke luar negeri. Dengan adanya akreditasi internasional
ini, pemerintah menjamin adanya peningkatan mutu layanan
kesehatan di rumah sakit pemerintah tanpa diiringi dengan kenaikan
harga. Kedepannya, tidak hanya rumah sakit swasta atau pemerintah
yang akan mendapat akreditasi tetapi juga Rumah Sakit TNI atau Polri
dan Rumah Sakit pendidikan. Terutama rumah sakit pendidikan,
penting untuk mendapatkan akreditasi untuk membuktikan bahwa
pelayanan yang diberikan rumah sakit ini memang benar-benar
merupakan layanan bermutu. Adanya akreditasi bagi Rumah Sakit
Pendidikan juga diharapkan dapat meluruskan anggapan masyarakat
bahwa mereka akan menjadi "kelinci percobaan" bila menjadi pasien di
rumah sakit tersebut.

Untuk mendapatkan tingkat kelulusan akreditasi yang baik, diperlukan


adanya kerja sama antar semua pihak di rumah sakit. Semua staf
rumah sakit, mulai dari pimpinan puncak sampai staf lapis terbawah
harus memiliki semangat yang sama dalam mewujudkannya. Pimpinan
puncak hingga ke staf lapisan bawah harus memiliki pemahaman yang
sama mengenai alasan dilaksanakannya akreditasi. Jangan sampai ada
pihak yang menganggap bahwa akreditasi ini akan menjadi beban
yang menambah-nambah kerjaan mereka karena harus bekerja sesuai
standar-standar akreditasi. Sejatinya, standar-standar yang dijadikan
komponen penilaian dalam survey akreditasi adalah untuk dipenuhi
dan diimplementasikan dalam jangka panjang bukan hanya pada saat
survey akreditasi. Dengan adanya kerjasama dan semangat yang sama
tinggi dari semua pihak di rumah sakit, bukan hal mustahil akan
terciptanya layanan kesehatan berkualitas tinggi yang langgeng bagi
masyarakat.

Sumber : Majalah Dental&Dental diterbitkan November-Desember


2012
Pengelola Rumah Sakit / Instansi dapat mengadakan Pelatihan Asuhan
Keperawatan Peka Budaya kepada Perawat. Pelatihan asuhan keperawatan peka
budaya dapat diterapkan untuk mendukung pencapaian salah satu standar
akreditasi internasional rumah sakit sesuai standar JCI, mengingat salah satu
aspek yang perlu dipenuhi dalam akreditasi tersebut adalah perawat perlu
memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan kebudayaannya. Oleh karena itu
pelatihan ini dapat dijadikan salah satu program rumah sakit untuk meningkatkan
kemampuan perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien sesuai dengan
kebudayaannya melalui peningkatan kompetensi kultural.

Kualitas dan kecukupan pelayanan kesehatan dapat diukur berdasarkan


pandangan dan kepuasan pasien dan kerabatnya (Merkouris et al., 2013).
Kepuasan pasien adalah indikator terpenting dari kualitas perawatan dan dianggap
sebagai hasil dari layanan kesehatan (Abdel Maqsood, Oweis, & Hansa, 2012;
Akhtari ‐ Zavare, Abdullah, Syed Hassan, Binti Said, & Kamali, 2010; Mohanan,
Kaur , Das, & Bhalla, 2010). Pengukuran kepuasan pasien memberikan informasi
penting tentang kinerja sehingga berkontribusi pada manajemen kualitas total
(Goh, Ang, Chan, He, & Vehvilainen Julkunen, 2016; Shinde & Kapurkar, 2014).
Total quality management mencakup pengetahuan profesional, kompetensi dan
penerapan teknologi tepat guna, persepsi pasien tentang jenis dan tingkat
perawatan yang mereka terima (Özsoy et al., 2007; You et al., 2013). Di pasar
perawatan kesehatan yang berorientasi pada konsumen saat ini, ukuran kepuasan
yang berpusat pada pasien dengan kualitas asuhan keperawatan yang diterima
merupakan komponen utama dari sistem manajemen mutu rumah sakit
(Laschinger, Hall, Pedersen, & Almost, 2005).

Anda mungkin juga menyukai