Anda di halaman 1dari 12

  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  BAB II

  TINJAUAN PUSTAKA

 
2.1 Jenis-Jenis Reaktor
 
Reaktor kimia dirancang untuk mereaksikan bahan-bahan kimia, atau juga sering disebut
sebagai tempat
  untuk mengonversi bahan baku menjadi produk, ada juga yang menyebutkan

  bahwa reaktor kimia merupakan jantungnya proses kimia. Desain reaktor kimia dengan
kandungan bahan kimia yang cukup banyak akan disintesis pada skala komersial tergantung
 
pada beberapa aspek kimia. Karena hal tersebut sangat vital mencakup secara keseluruhan
 
desain untuk proses, desainer harus memastikan bahwa proses reaksi dengan efisiensi tinggi
pada produk
  keluaran yang diinginkan, menghasilkan yield tinggi dengan biaya yang paling
  efektif (Levenspiel, 1999).
2.1.1 Proses batch
Proses batch merupakan sebuah proses dimana semua reaktan dimasukan bersama-
sama pada awal proses dan produk dikeluarkan pada akhir proses. Dalam proses ini, semua
reagen ditambahkan di awal proses dan tidak penambahan atau pengeluaran ketika proses
berlangsung. Proses batch cocok untuk produksi skala kecil (Fogler, 1986).

Gambar 2.1 Reaktor batch (Fogler, 1986)


2.1.2 Proses kontinu
Proses kontinu merupakan sebuah proses dimana reaktan yang diumpankan ke dalam
reaktor dan produk atau produk sampingan dikeluarkan ketika proses masih berlangsung
secara berkelanjutan. Sebagai contoh Haber Proses untuk pembuatan amonia. Biasanya
biaya produksi pada proses kontinu lebih hemat dan murah dibandingkan dengan proses
batch. Proses kontinu lebih cocok digunakan untuk industri skala besar. (Fogler, 1986)

II-1
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 
Gambar 2.2 Reaktor kontinu (Fogler, 1986).
2.1.3 Semi batch
Proses semi batch merupakan proses yang berbeda dengan proses batch, pada proses
ini input dan output dioperasikan dengan baik secara berkelanjutan. Dalam reaktor semi
batch ini, beberapa reaktan dapat ditambahkan atau beberapa produk dapat ditarik sebagai
hasil reaksi secara berkala (Catalano, 2012).

Gambar 2.3 Reaktor Semi Batch (Catalano, 2012)

II-2
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4   Katalitik

  Sebagian besar reaksi kimia baik melanjutkan dengan adanya katalis ataupun
meningkatkan proses dengan adanya katalis. Katalis adalah zat yang ditambahkan dalam
 
reaktan tanpa melibatkan katalis itu sendiri dalam proses, katalis juga dapat meningkatkan
 
laju reaksi. Laju katalitik adalah perbandingan antara jumlah katalis kontak dengan reagen
fase cairan
  (Fogler, 1986).

  A. Homogen
Reaksi homogen terjadi saat reaktan, produk, dan katalis digunakan hanya dalam satu
 
fase dan dilakukan secara kontinu. Misalnya, gas atau cair. Reaktor fase gas homogen akan
selalu  direaksikan terus menerus. Tubular reaktor biasanya digunakan untuk reaksi fase gas
homogen,
  misalnya dalam thermal dikloroethane untuk vinil klorida. Reaktor fase cair
homogen berupa batch atau kontinu. Reaksi batch tunggal atau cairan terlarut selalu
 
dilakukan pengadukan. Agitasi diperlukan untuk mencampurkan beberapa umpan di awal
dan untuk meningkatkan pertukaran panas dengan pendinginan (Caesar, 2012).
B. Heterogen
Reaktor heterogen adalah reaktor yang memiliki komponen katalis dengan
karakteristik memiliki fasa yang berbeda antara fasa reaktan dengan produk yang
dihasilkan, sehingga katalis heterogen mudah dipisahkan dari campuran reaksi. Beberapa
kemungkinan kombinasi dari fasa adalah:
a. Fixed Bed Reactor
Fixed bed reactor merupakan reaktor yang telah dilengkapi dengan katalis
heterogen yang telah dipadatkan sehingga katalis tidak akan terpengaruh oleh arus dari
umpan. Fixed bed reactor terdiri dari beberapa jenis yaitu single bed reactor, multiple
bed reactor, dan multiple tube reactor (Catalano, 2012).

Gambar 2.4 Fixed Bed Reactor (umum) (Catalano, 2012)

II-3
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

b.
  Reaktor Unggun Terfluidisasi

  Gas dialirkan melalui distributor yaitu berupa pelat logam berlubang secara
kontinu. Kondisi bed setelah fluidisasi awal tergantung pada keadaan reaktan. Jika
 
reaktan yang diumpankan adalah cairan bed akan mengembang seragam dengan
 
peningkatan aliran reaktan menuju atas. Keadaan Ini disebut fluidisasi homogen. Jika
reaktan
  yang diumpankan adalah gas bed akan tidak seragam karena terbentuk

  gelembung gas pada unggun, sehingga terjadi fluidisasi agregatif. Kadang-kadang


gelembung pada bahan kasar bisa tumbuh lebih besar dari dua pertiga dari diameter
 
unggun, yang dapat menyebabkan slugging. Slugging dapat mengakibatkan timbulnya
 
variabel tekanan, getaran pada unggun, dan pengurangan perpindahan panas. Peningkatan
kecepatan
  gas menimbulkan adanya rejim fluidisasi di mana apabila peningkatan gas
  terjadi lebih lanjut dalam transportasi pneumatik, maka unggun benar-benar hilang
(Catalano, 2012).

Gambar 2.5 Fludized Bed Reactor (Catalano, 2012)


c. Slurry Loop Reactor
Reaktan (gas) dimasukan kedalam reaktor. Gas diserap kedalam cairan dari
permukaan gelembung. Gas diserap kemudian berdifusi melalui cairan ke permukaan
katalis, dimana titik itu berdifusi kedalam pellet katalis dan reaksi berlangsung.
(Catalano, 2012).

II-4
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 
Gambar 2.6 Slurry Loop Reactor (Catalano, 2012)
d.
  Bubble Column Reactor
  Gas diumpankan dari bagian bawah kolom lalu menuju ke atas dan bereaksi

 
dengan cairan lalu meninggalkan kolom. Penggunaan gas pada jumlah yang lebih
banyak atau lebih kecil tergantung kepada intensitas reaksi kimia dan perpindahan
massa yang terjadi. Gas yang masih mengandung banyak reaktan akan disirkulasikan
kembali sebagi umpan. Begitupun seterusnya (Kantarci, 2004).

Gambar 2.7 Bubble Column Reactor (Kantarci, 2004)

2.2 Prinsip Kerja Bubble Reactor


Pada bubble reactor, sirkulasi dan aerasi terjadi karena adanya gas yang dimasukkan dan
jika dibutuhkan, ditambahkan sirkulasi cairan eksternal untuk mendapatkan pola pencampuran
yang diinginkan. Hal ini biasanya menghasilkan setidaknya pergeseran kualitas pencampuran
yang kurang diberikan pada reaktor gelembung dari pada di tangki berpengaduk. Udara
bergerak ke atas memberikan resirkulasi lebih kuat untuk aliran udara yang sama, tetapi

II-5
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

kecepatan  transfer oksigen sering lebih rendah dari kolom bubble. (Tzikioseyian dan
Remoundaki,
  T.t.). Gambar 2.8, memberi contoh konfigurasi mungkin terjadi.

 
Gambar 2.8 Tipe-tipe kolom bubble (a) simple bubble column (b) cascade bubble column with sieve tras
 
(c) packed bubble column (d) multishaft bubble column (e) bubble column with static mixers (Lee, 2012).

2.3 Dinamika Fluida dan Analisis Rejim


Karakteristik pada bubble reactor merupakan hal yang dapat berdampak signifikan pada
operasi dan performa dalam kolom bubble. Berdasarkan literatur, hasil percobaan yang telah
dilakukan memperoleh hasil parameter yang signifikan yaitu tergantung pada rejim yang terjadi
pada kolom. Rejim aliran pada kolom bubble diklasifikasikan dan diatur berdasarkan kecepatan
gas pada kolom. Tiga rejim aliran yang biasanya terjadi pada kolom bubble yaitu rejim
homogen (bubble flow); rejim heterogen (churn-turbulent); dan rejim slug flow (Hyndman et
al, 1997). Ada pun rejim yang lain yang sering disebut rejim foaming, namun jarang terjadi
pada kolom bubble.
a. Bubble Flow
Rejim bubble flow, juga dapat disebut rejim aliran homogen terjadi pada kecepatan gas
yang rendah, kira-kira kurang dari 5 cm/s pada kolom semibatch (Fan et al,1989).
Karakteristik gelembung pada rejim aliran ini yaitu relatif kecil dan seragam juga kenaikan
kecepatannya (Schumpe dan Grund, 1986). Keseragaman distribusi gelembung dan
kerelatifan pengadukan ditinjau dari seluruh bagian melintang daerah pada kolom (Hyndman
et al, 1997). Pada kenyataannya tidak ada gelembung yang bergabung atau pecah, dengan
demikian ukuran gelembung pada rejim ini hampir sempurna (Thorat dan Joshi, 2004).
Menurut Kowagoe et al (1976), bahwa gas hold up pada rejim aliran gelembung akan
meningkat dengan meningkatnya kecepatan gas superfisial.

II-6
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

b. Churn-turbulent
 

  Pada rejim churn-turbulent, atau dapat disebut rejim heterogen terjadi saat kecepatan
gas superfisial yang tinggi (lebih dari 5 cm/s pada kolom batch). Rejim ini terjadi ditandai
 
dengan bentuk gangguan dari sistem gas-air homogen karena gerakan turbulen yang
 
disempurnakan dari gelembung gas dan sirkulasi kembali cairan. Akibatnya pola aliran tidak
stabil dan
  gelembung berukuran besar dengan waktu tinggal yang pendek terbentuk oleh

  paduan disebabkan karena kecepatan gas yang tinggi (Kantarci, 2004). Faktanya, dengan
gelembung bersatu dan pecah, distribusi berbagai ukuran gelembung dapat dicapai.
 
Hyndman et al (1997), Matsuura dan Fan (1984) menyatakan bahwa rejim ini terdiri dari
 
gelembung campuran kecil dan besar dengan diameter diantara beberapa milimeter sampai
beberapa
  sentimeter. Aliran churn-turbulent yang sering diamati di industri yaitu besarnya

  diameter kolom (Hyndman et al, 1997). Telah dibuktikan bahwa koefisien transfer massa
gas-cair lebih rendah di rejim churn-turbulent (heterogen) dibandingkan dengan rejim aliran
homogen (Kantarci et al, 2004).
c. Slug Flow
Rejim slug flow hanya terjadi pada kolom laboratorium yang memiliki diameter kecil
pada aliran gas yang tinggi (Hyndman et al, 1997). Nama rejim ini diambil dari
pembentukan gelembung slug ketika gelembung yang berukuran besar distabilkan oleh
dinding kolom. Menurut Hills (1976) dan Miller (1980), gelembung slug yang diamati
terjadi pada kolom yang memiliki diameter lebih dari 15 cm. Gelembung akan membentuk
slug yang saling bertabrakan satu sama lain pada seluruh kolom. Pada fluida yang sangat
viskos, aliran slug ini lebih dominan.

Gambar 2.9 Skema dari rejim aliran di kolom gelembung (Leonard et al, 2015)

II-7
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Deteksi
  transisi rejim dari homogen sampai aliran churn-turbulent dan investigasi dari
rejim transisi
  merupakan hal yang cukup penting. Saat transisi berlangsung, perubahan yang
terjadi secara signifikan yang telah diamati yaitu pada hidrodinamika dari sistem. Ada sebuah
 
sirkulasi cairan ke atas di tengah kolom dan sirkulasi cairan ke bawah dekat dinding kolom
(Kantarci  et al, 2004). Akhir-akhir ini, menurut Thorat dan Joshi (2004) menyatakan bahwa
transisi kecepatan
  gas tergantung ada dimensi kolom (diameter, ketinggian dispersi), desain

  sparger, dan sifat fisika dari sistem. Bagaimanapun, sejauh ini pengaruh dari parameter tersebut
belum diteliti secara menyeluruh. Krishna, et al (1994) meneliti pengaruh densitas pada rejim
 
transisi. Mereka menyimpulkan bahwa kecepatan rejim transisi meningkat dengan
 
meningkatnya densitas gas.
Dalam
  rangka untuk mengarakterisasi rejim aliran, tidak mungkin untuk memberikan
  rentang kuantitatif yang pasti untuk kecepatan superfisial. Penelitian yang berbeda dilakukan
dengan sistem dan kondisi operasi yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula dalam
penentuan batas rejim dan transisi rejim. Misalnya Hyndman et al (1997), mengusulkan bahwa
kecepatan superfisial di bawah 4 cm/s berlaku rejim aliran gelembung. Pino, et al (1992) juga
melaporkan sekitar pada kecepatan yang sama berlaku rejim aliran gelembung. Schumpe dan
Grund (1986) mengusulkan bahwa untuk kecepatan superfisial kurang dari 5 cm/s berlaku rejim
aliran gelembung. Bukur dan Daly (1987) mengamati rejim aliran churn-turbulen untuk gas
kecepatan superfisial antara 2 dan 5 cm/s. Beberapa gambar rejim aliran telah disajikan dalam
literatur untuk mengidentifikasi batas-batas kemungkinan rejim aliran. Pada Gambar 2.10
menggambarkan secara kuantitatif rejim aliran yang bergantung pada diameter kolom dan
kecepatan gas superfisial dan berlaku untuk kolom gelembung dan slurry dengan sistem batch
(stasioner) fasa cair dioperasikan dengan viskositas fasa cair rendah. Daerah yang diarsir pada
gambar menunjukkan daerah transisi antara berbagai rejim aliran. Namun, batas-batas yang
tepat terkait dengan daerah transisi akan tergantung pada sistem penelitian.

II-8
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 
Gambar 2.10 Pemetaan rejim aliran untuk kolom gelembung (Deckwer et al, 1980)
2.4 Sifat Fisik Reaktor
2.4.1 Residence Time Distibution

Residence time distibution (RTD) dari suatu reaktor kimia adalah suatu fungsi distribusi
yang menguraikan sejumlah waktu suatu unsur-unsur fluida di dalam reaktor. RTD digunakan
untuk menandai pencampuran dan aliran di dalam reaktor serta untuk membandingkan perilaku
dari reaktor nyata dengan model-model reaktor yang ideal. Hal ini bermanfaat, tidak hanya
untuk memecahkan masalah pada reaktor yang ada, tetapi juga di dalam menaksir hasil konversi
dari suatu reaksi serta untuk merancang reaktor.
Teori dari RTD secara umum dimulai dengan tiga asumsi, yaitu:
1) Reaktor dalam keadaan steady-state
2) Transportasi di lubang masuk dan keluar berlangsung hanya oleh pemompaan
3) Fluida incompressible (tak termampatkan)
RTD diukur dengan memasukkan suatu tracer yang tidak reaktif ke dalam sistim di
lubang masuk. Konsentrasi tracer itu diubah menurut suatu fungsi yang diketahui dan respon
ditemukan dengan mengukur konsentrasi tracer di saluran keluar. Tracer yang dipilih mestinya
tidak memodifikasi karakteristik fisik dari fluida (densitas dan viskositas sama) dan
penambahan tracer juga tidak memodifikasi kondisi-kondisi yang hidrodinamik.
Pada umumnya, pengamatan RTD ini dapat dilakukan dengan metode pulse atau metode
step. Metode-metode lain memungkinkan, tetapi memerlukan lebih banyak kalkulasi untuk
menganalisa kurva RTD.

II-9
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 
A. Metode pulse
 

  Metode ini memerlukan pemasukan suatu volume yang sangat kecil dari tracer di lubang masuk
dari reaktor, seperti mendekati fungsi delta dirac. Meski suatu injeksi pendek tak terbatas tidak
 
bisa dihasilkan, dapat dilakukan jauh lebih kecil dari pada waktu tinggal rata-rata dari bejana.
 
Jika suatu massa dari tracer, dimasukkan ke dalam suatu reaktor dari volume dan suatu waktu
  tinggal yang diharapkan dari , hasil kurva dari konsentrasi terhadap waktu dapat diubah

  menjadi suatu kurva RTD dengan hubungan sebagai berikut:


 t C  dt
  0
  
 dt
C
0
 
Keterangan:  :
σ :
t : waktu
C : konsentrasi
Kurva ideal yang dihasilkan pada metode pulse untuk reaktor jenis PFR ialah sebagai berikut:

t
Gambar 2.11 Kurva Ideal Konsentrasi terhadap Waktu dengan Metode Pulse

B. Metode step

Di dalam metode step, konsentrasi tracer di lubang masuk reaktor berubah secara tiba-tiba dari
nol ke konsentrasi tertentu. Konsentrasi tracer di saluran keluar diukur dan yang dinormalkan
ke konsentrasi tertentu untuk memperoleh kurva yang tidak dimensional. Berikut ialah
persamaan dari metode step:
C max
1
 
C max  t dC
0
step

Kurva ideal yang dihasilkan pada metode step untuk reaktor jenis PFR ialah sebagai berikut:
II-10
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 
C

 
t
  Gambar 2.12 Kurva Ideal Konsentrasi terhadap Waktu dengan Metode Step

 
2.4.2 Dispersion Number
 
Menurut Levenspiel (1972), dispersion number merupakan bilangan tak berdimensi.
 
Dispersion number sering digunakan untuk mengetahui terjadinya backmixing di dalam suatu
reaktor jenis PFR. Dispersion number dilambangkan dengan (D/uL). Berikut ialah persamaan
yang digunakan untuk menghitung dispersion number:
σ2 D
 2 
 uL 
2
τ
Dari nilai dispersion number dapat diketahui tingkat error atau backmixing yang terjadi
pada suatu aliran fluida di dalam reaktor jenis PFR. Berikut ialah tingkat error dan nilai
dispersion number:
D
Error < 5% jika   < 0,01
 uL 
D
Error < 0,5% jika   < 0,001
 uL 

2.5 Aplikasi Bubble Reactor


Bubble reactor secara intensif digunakan sebagai kontaktor multiphase dan reaktor kimia,
petrokimia, biokimia dan industri metalurgi. Mereka digunakan terutama dalam proses kimia
yang melibatkan reaksi seperti oksidasi, klorinasi, alkilasi, polimerisasi dan hidrogenasi, dalam
pembuatan bahan bakar sintetis dengan konversi gas proses dan dalam proses biokimia seperti
fermentasi dan pengolahan air limbah biologis.
Umumnya dua jenis dari modus operasi berlaku untuk kolom gelembung, yaitu modus
semibatch dan kontinu. Dalam kontinu operasi, gas dan suspensi mengalir bersamaan atas ke
dalam kolom dan suspensi yang meninggalkan kolom didaur ulang ke tangki umpan. Cairan

II-11
 
  | BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dangkal kecepatan
  dipertahankan lebih rendah dari gas dangkal kecepatan oleh setidaknya
urutan besarnya.
  Namun, dalam Modus semibatch suspensi stasioner, yang berarti nol melalui
menempatkan cair, dan gas ditiupkan ke atas ke dalam Kolom. Bubble reactor juga sering
 
digunakan dalam pembuatan biodiesel, khlorinasi.
 
a. Pembuatan Biodiesel
Pembuatan
  biodiesel dalam kondisi metanol superkritis dilakukan pada suhu dan

  tekanan tinggi. Penggunaan reaktor bertekanan tinggi selain membutuhkan biaya investasi dan
produksi yang tinggi juga beresiko membahayakan keamanan dan keselamatan karena lebih
 
mudah meledak (Joelianingsih et al, 2006). Untuk mengurangi resiko kecelakaan dan biaya
 
yang dikeluarkan untuk proses produksi dibutuhkan alternatif lain dalam pembuatan biodiesel,
salah satunya
  dengan penggunaan bubble culomn reactor atau reaktor kolom gelembung. Pada
  metode Superheated Methanol Vapor (SMV)-Bubble Column, reaktor kolom gelembung
berfungsi sebagai tempat terjadinya reaksi antara minyak dengan metanol dalam bentuk uap
super-terpanaskan. Menurut Mouza et al.(2004), bubble reactor digunakan untuk reaksi antara
gas-liquid. Kelebihan dari reaktor tipe ini adalah konstruksi sederhana, biaya operasi murah,
effisiensi energi tinggi, pindah panas dan pindah massa terjadi dengan baik.

b. Khlorinasi
Klorin dalam air akan berubah menjadi asam klorida. Zat ini kemudian di netralisasi
oleh sifat basa dan air sehingga akan terurai menjadi ion hydrogen dan ion hipoklorit.
Klorin sebagai desinfektan terutama bekerja dalam bentuk asam hipoklorit (HOCl) dan
sebagian kecil dalam bentuk ion hipoklorit (OCl-). Klorin dapat bekerja dengan efektif jika
desinfektan berada dalam air dengan pH sekitar 7. Jika nilai pH air lebih dari 8,5, maka 90%
dari asam hippokorit itu akan mengalami ionisasi menjadi ion hipoklorit. Dengan demikian,
khasiat desinfektan yang memiliki klorin menjadi lemah atau berkurang.
Cara kerja klorin dalam membunuh kuman yaitu penambahan khlorin dalam air dengan
cara merusak struktur sel organisme, sehingga kuman akan mati. Namun demikian proses
tersebut hanya akan berlangsung bila klorin mengalami kontak langsung dengan organisme
tersebut. Jika air mengandung lumpur, bakteri dapat bersembunyi di dalamnya dan tidak dapat
dicapai oleh klorin.

II-12
 

Anda mungkin juga menyukai