Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Sistem Ketahanan Pangan Masyarakat Suku Baduy

DOSEN MATA KULIAH

Siti Asyiah, M.T.

Disusun Oleh

Angga Fandam Wahyu Nugroho

3336200082

Kelas B

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


FALKUTAS TEKNIK
TEKNIK SIPIL
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan

kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-

Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang Sistem Ketahanan Pangan

Masyarakat Suku Baduy tepat waktu. Makalah Sistem Ketahanan Pangan

Masyarakat Suku Baduy disusun guna memenuhi tugas Ibu Siti Asyiah, M.T. pada

mata kuliah Ketahanan Pangan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, penulis

juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Sistem

Ketahanan Pangan Masyarakat Suku Baduy. Penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Ibu Siti Asyiah, M.T. selaku dosen mata kuliah Ketahanan

Pangan. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan

terkait ketahanan pangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang

telah membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih

jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis

terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 07 November 2020

Penulis,

Angga

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

1.2 Identifikasi Masalah ..................................................................... 1

1.3 Perumusan Masalah ..................................................................... 2

1.4 Maksud dan Tujuan ...................................................................... 2

1.5 Metode Penelitian......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ketahanan Pangan......................................................................... 3

2.2 Suku Baduy ............................................................................................ 4

2.3 Baduy Dalam ................................................................................ 6

2.4 Baduy Luar ............................................................................................ 7

2.5 Kasepuhan Ciptagelar ................................................................... 7

2.6 Sistem Ketahan Pangan Suku Baduy ................................................... 9

iii
2.7 Cara Suku Baduy Menjaga Ketahanan Pangan ......................... 14

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................. 15

3.2 Saran ........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat beragam mulai dari suku,

budaya, bahasa, agama, dan adat istiadatnya. Komoditas pangan di negra

Indonesia ini sangat beragam contohnya seperti beras, cabai, bawang, jagung, dan

masih banyak yang lainnya. Keberagaman pangan di negara Indonesia sangat

dipengaruhi oleh budaya yang merekat di masyarakatnya. Wilayah Indonesia juga

mendukung adanya berbagai macam jenis-jenis komoditas pangan.

Selain itu aja faktor seperti distribusi, produksi, dan ketersediannya. Salah

satu suku yang masih menerapkan ketahanan dengan cara tradisional adalah suku

Baduy yang berada di daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku tersebut

mengisolasi diri dari kehidupan luar. Suku baduy sudah ada sejak zaman kerajaan

Sunda pada abad ke-16. Masyarakat dari suku Baduy memiliki cara untuk

ketahanan pangan agar terhindar dari krisis pangan.

1.2 Identifikasi Masalah

Masalah yang diidentifikasi dalam makalah ketahanan pangan adalah

sebagai berikut:

1. Suku Baduy

2. Sistem ketahanan pangan suku Baduy


2

3. Cara suku Baduy menjaga ketahanan pangan

1.3 Perumusan Masalah

Berikut perumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ketahanan

pangan ini, diantaranya:

1. Apa itu Suku Baduy?

2. Bagaimana Sistem ketahanan pangan suku Baduy?

3. Bagaimana Cara suku Baduy menjaga ketahanan pangan?

1.4 Maksud dan Tujuan

Maksud dibuatnya makalah ini untuk menjelaskan sistem ketahanan

pangan masyarakat Baduy. Tujuannya agar diharapakan pembaca mengerti sistem

ketahanan pangan masyarakat Baduy. Juga sebagai tugas untuk mata kuliah

Ketahanan pangan semester 1 Jurusan Teknik Sipil di Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

1.5 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan oleh penulis merupakan studi litratur, yang artinya

penulis hanya akan meneliti ketahanan pangan melalui sumber media masa,

Youtube dan jurnal.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 adalah

segala sesuatu yang berasal dari hayati dan air, baik yang diolah maupun yang

tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi

manusia, temasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan proses

penyiapan, pengelolaan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan

pangan juga dapat diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah

tangga yang tercermin dari tersedianyapangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sejak adanya Conference of Food and

Agriculture pada tahun 1943 yang mencanangkan konsep “secure, adequate and

suitable supply of food for everyone”. Definisi ketahanan pangan sangat

bervariasi, namun umumnya mengacu pada definisi dari Bank Dunia tahun 1986

dan Maxwell dan Frankenberger tahun 1992 yakn “ akses semua orang setiap saat

pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient

food for a healthy life). Sementara USAID (1992) menyatakan kondisi ketika

semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk

memperoleh kebutuha konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.


4

Sedangkan FAO (1997) menyatakan situasi dimana semua rumah tangga

mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi

seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami

kehilangan kedua akses tersebut. FIVIMS (2005) menyatakan kondisi ketika

semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi memiliki akses

pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi dan sesuai dengan seleranya demi kehidupan yang sehat dan aktif. Peter

Warr (Australian National Univesity, 2014) membedakan ketahanan pangan pada

empat tingkatan, yaitu (i) level global, ketahanan pangan diartikan dengan apakah

supply global mencukupi 11 untuk memenuhi permintaan global; (ii) level

nasional, ketahanan pangan didasarkan pada level rumah tangga.

Jika rumah tangga tidak aman pangan, sulit untuk melihatnya aman pada

level nasional; (iii) level rumah tangga, ketahanan pangan merujuk pada

kemampuan akses untuk kecukupan pangan setiap saat. Ketahanan pangan secara

tersirat bukan hanya kecukupan asupan makanan hari ini saja, melainkan

termasuk juga ekspektasi permasalahan kedepan dan itu bukan hanya

permasalahan saat ini saja; (iv) level individu, ketahanan pangan merupakan

distribusi makanan pada rumah tangga. Pada saat rumah tangga kekurangan

makanan, individu akan terpengaruh secara berbeda.

2.2 Suku Baduy

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan

kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten

Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan
5

salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka

juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk

wilayah Baduy Dalam. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh

penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para

peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab

Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang

ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri

sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah

mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang

Cibeo.

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –

6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim

tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota

Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng

dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut

mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-

rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah

endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata

20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana,

dan Cibeo.

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi

dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun


6

mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes

Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama,

dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal

berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah

untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini,

walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk

mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di

wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.

Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

2.3 Baduy Dalam

Suku Baduy Dalam memiliki 3 kampung yang berdiri secara terpisah,

yaitu Kampung Cibeo, Kampung Cikeusik, dan Kampung Cikertawarna. Pada

umumnya, wisatawan yang berkunjung ke Baduy Dalam lebih memilih untuk

bermalam di Kampung Cibeo. Dikarenakan di kampung ini lebih terbuka bagi

wisatawan yang datang. Walaupun masih tetap berpegang teguh dengan larangan

adat yang dilarang mengambil foto serta dilarang menggunakan bahan kimia pada

saat mandi.

Adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau pun mobil,

tidak membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari dunia luar. Suku Baduy

Dalam selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota

besar untuk bertamu maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas

Suku Baduy Dalam. Tidak seperti orang yang tinggal di kota pada umumnya yang
7

memiliki rumah besar selalu identik dengan orang kaya, berpangkat tinggi, dan

dipandang banyak orang. Lain halnya dengan Suku Baduy Dalam yang bentuk

rumahnya hampir serupa satu sama lainnya.

Yang membedakan status kekayaan mereka adalah tembikar yang dibuat

dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar yang

disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang

orang.

2.4 Baduy Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar: Mereka telah mengenal

teknologi, seperti peralatan elektronik. Proses pembangunan rumah penduduk

Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll,

yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam Menggunakan pakaian adat

dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa

mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan

celana jeans. Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal,

piring & gelas kaca & plastik. Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi

seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

2.5 Kasepuhan Ciptagelar

Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat hukum adat yang berada di

kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. Istilah kasepuhan berasal dari

bahasa Sunda, yang secara umum artinya adalah mereka yang dituakan. Secara

spesifik wilayah perkampungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga


8

kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa

Barat. Berdasarkan catatan yang ada, Kasepuhan Adat Ciptagelar mulai berdiri

pada 1368 dan telah beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan yang

dilakukan secara turun temurun.

Sampai saat ini Kasepuhan Ciptagelar juga telah mengalami beberapa kali

perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut sebagai Kampung Gede,

karena masih menjalankan tradisi berpindah yang berdasar pada wangsit yang

diterima dari para leluhur (karuhun). Secara administratif saat ini Kasepuhan

Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, kecamatan

Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan data tahun 2008, Kasepuhan

Ciptagelar dihuni oleh sekitar 293 orang yang terdiri dari 84 kepala keluarga

dengan 151 orang laki-laki dan 142 orang perempuan. Desa ini merupakan bagian

dari Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di lebih dari 500 desa.

Selain Kasepuhan Ciptagelar, di wilayah ini juga terdapat Kasepuhan

Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek,

Kasepuhan Sirnaresmi, Kasepuhan Ciptamulya, Kasepuhan Cibedug, dsb. Secara

umum beberapa kasepuhan ini terikat dalam kumpulan narasi sejarah yang sama.

Keberadaan desa adat Kasepuhan Ciptagelar sudah dikenal luas oleh sebagian

besar masyarakat Jawa Barat, khususnya kalangan masyarakat di wilayah Jawa

Barat bagian Selatan. Warga Kasepuhan Ciptagelar dikenal sebagai masyarakat

yang memegang teguh adat dan tradisi yang bersandar pada budaya pertanian,

khususnya padi.
9

Beberapa rangkaian kegiatan pertanian yang mengakar diantaranya adalah

ngaseuk, mipit, nganyaran, serentaun, dsb. Kegiatan kesenian dan kebudayaan,

termasuk diantaranya Angklung Buhun, Wayang Golek, dan Jipeng merupakan

bagian dari keseluruhan adat istiadat, budaya, serta tradisi yang terus berkembang

sampai saat ini.

2.6 Sistem Ketahan Pangan Suku Baduy

Lumbung padi (leuit) terbuat dari anyaman bambu yang dirangkai dengan

kayu-kayu besar dan beratapkan kirai (sabut kelapa). Setiap keluarga Baduy

memiliki satu atau lebih leuit. Padi yang disimpan di lumbung dimanfaatkan

untuk kebutuhan pangan sehari-hari dan lebih diutamakan untuk digunakan pada

saat upacara adat. (Suparmini, Setyawati, Sriadi. Sumunar, Dyah Respati Suryo.

2013: 8) Dalam adat Baduy, menurut Jaro Alim, hasil pertanian berupa padi tidak

boleh dijual, tetapi hasil pertanian berupa pisang, singkong dan sejenisnya, itu

boleh untuk dijual. Aturan adat Baduy melarang menjual padi ataupun beras tetapi

membolehkan membeli padi atau beras.

Setiap kepala keluarga memiliki setidaknya satu leuit, meskipun

kepemilikannya milik perorangan, bukan milik adat namun masyarakat Baduy

tidak bisa membuka leuit tanpa seijin Puun dan Jaro (pemimpin adat). Di

Kampung Cikeusik misalnya, yang terdiri dari 81 rumah dan 131 KK (Kepala

Keluaga) memiliki lebih dari 250 buah leuit. Setiap kepala keluarga memiliki

paling sedikit 2 sampai 5 buah leuit. Bahkan puun Cikeusik memiliki 8 buah leuit.

Leuit adalah tempat menyimpan padi. Menurut Ayah Mursyid, di

masyakat Baduy, terdapat dua jenis leuit, yaitu leuit Lenggang yang terdapat di

Baduy Dalam dan Leuit Gugudangan di Baduy Luar. Perbedaannya adalah Leuit
10

Lenggang menggunakan Gelebeg (kayu untuk menahan tikus naik ke dalam leuit).

Ukuran leuit ada yang 7 jengkal atau 5 jengkal. Leuit dibuat pada saat sudah

menikah, sudah berkeluarga sendiri dan terpisah dari ibu atau orang tua. Maka

pada saat itu harus memiliki leuit, baik dengan membuat sendiri atau

mendapatkan warisan leuit dari orang tua.

Meskipun belum punya rumah sendiri tetapi jika sudah menikah maka

harus punya leuit sendiri. Menurut Jaro Alim, setiap warga Baduy yang sudah

menikah, maka disarankan untuk segera memiliki leuit, hal itu dimaksudkan agar

keluarganya tidak menderita kelaparan. Memiliki leuit bukanlah kewajiban adat

bagi semua warga baduy, tetapi merupakan hal yang diwajibkan bagi yang

memiliki kemampuan secara ekonomi saja. Bisa dikatakan memiliki leuit ini

merupakan kewajiban adat bagi yang mampu.

Memiliki leuit sudah menjadi kebiasaan turun temurun, setiap warga yang

sudah menikah, pasti akan membuat leuit untuk menyimpan hasil panen nya tahun

itu. Hal itu didasarkan pada kesadaran hukum dan ketaatan mereka pada

kebiasaan adat leluhur dari zaman dahulu. Menurut Ayah Mursyid, ada 2 jenis

indung padi, yaitu indung pamelakan dan indung pamipitan. Jumlah batangnya

ganjil, antara 5, 7, atau 9 batang. Tergantung dari niat si pemilik.

Batang padi tersebut dicabut dengan akarnya, bahkan tanah yang terbawa

pun dibawa serta. Tidak dengan cara dipotong sebagaimana padi yang lain.

indung pamelakan adalah padi yang diambil dari panen terakhir, yang nantinya

akan menjadi bibit. Indung pamipitan itu merupakan padi dari panen pertama.

Dua indung ini, disatukan di dalam leuit dengan diikat beserta dengan daun-daun
11

lain seperti daun kukuyaan, mara pepek yang dipercaya dapat menjadi obat

hama.

Menyimpan dua indung padi tersebut di dalam leuit, disebut dengan ritual

salametan ngadiukeun indung. Hal ini dilakukan dengan mencari waktu waktu

terbaik terlebih dahhulu. Yang dihitung oleh puun atau kokolot yang paham

mengenai kolenjer Baduy atau penanggalan Baduy. Untuk memasukan hasil

panen tadi, dimulai dari indung pare dengan tata cara yang sudah diatur oleh

hukum adat Baduy, yaitu yang mengantarkan menuju leuit harus perempuan

dengan menggunakan baju adat yaitu memakai kain samping (bawahan) dan

karembong (selendang), tetapi tidak memakai baju atasan.

Sementara yang membawa masuk ke dalam Leuit adalah harus laki-laki

tanpa menggunakan baju atasan, bisa pemiliknya, boleh juga yang dituakan, yang

mengerti tatacara ngadiukeun indung. Hal itu disebabkan, selain ada tata caranya

juga ada mantra-mantra tertentu yang harus dibacakan yang disebut ngadoa.

Mantra tersebut hanya diketahui oleh warga Baduy. Setelah ngadiukeun indung,

dilangsungkan acara salametan yang diisi dengan pembacaan doa dan makan

bersama (bacakan) di sekitar leuit. Pada saat makan bersama itulah orang tua

memberikan pelajaran berladang dan aturan adat terkait leuit terhadap anak-

anaknya.

Untuk padi yang sudah masuk ke dalam leuit, tidak dapat sembarangan

diambil kembali untuk keperluan sehari-hari. Hanya untuk keperluan antara lain:

acara adat, selametan (hajatan) baik hajatan pernikahan atau sunatan, seba Baduy.

Ketika panen tiba, maka padi hasil panen, akan dipisahkan untuk disimpan di leuit

dan untuk diserahkan pada saat acara Seba Baduy. Yaitu sebuah upacara
12

penyerahan hasil tanaman kepada Ibu Gede. Seba Baduy tahun 2017 ini

dilaksanakan 28-29 April yang lalu bertempat di Pendopo Kantor Gubernur.

Sedangkan hasil panen untuk keperluan sehari-hari disimpan di rumah

atau gubuk di ladang. Tata cara ngambil padi yang sudah di dalam leuit pun diatur

sedemikian rupa, yaitu terdapat beberapa aturan dan mantra doa yang harus

dibacakan. Pada saat mengambil, hanya laki-laki yang dibolehkan mengambil

padi dari dalam leuit, dengan hanya memakai kain bawahan. Sedangkan yang

membawa padi ke Lisung untuk ditumbuk adalah perempuan.

Yang disebut dengan nutu, nutu dilakukan pada hari-hari tertentu, ga boleh

atau pantangan hari Selasa dan Jumat. Padi yang disimpan di dalam leuit tidak

akan rusak, melainkan hanya berubah warna. Yang mengganggu padi hanya tikus

dan hama. Pembuatan leuit yang tidak sesuai dengan aturan adat, serta

menyimpan indung padi tidak mengikuti aturan adat, baik bentuk leuit, hari

menyimpan padi, dapat berpengaruh ke dalam ketahanan padi.

Termasuk ketika menanam padi, jika tidak sesuai dengan hukum adat,

maka akan berpengaruh terhadap kelangsungan ketahanan pangan mereka.

Misalnya terkena serangan hama. Karena masyarakat adat baduy, dengan kolenjer

(penanggalan) mereka, sudah mengetahui siklus alam termasuk pergerakan

binatang dan hama. Dalam hukum adat Baduy, penentuan perihal hari baik untuk

menanam padi, memanen, dan menyimpan padi di dalam leuit, hal itu semata-

mata agar padi yang dihasilkan tetap baik. Masyarakat adat Baduy, telah

melakukan ini selama beratus-ratus tahun.

Terbukti hal tersebut efektif dalam menjaga ketahanan pangan mereka.

Kebiasaan memiliki leuit ini jika dilihat dari fungsinya yaitu sebagai penjaga
13

kebutuhan padi, baik untuk kehidupan sehari-hari, maupun untuk diwariskan

kepada anak cucu kelak di kemudian hari sehingga tidak ada keluarga yang

kekurangan maupun kelebihan persediaan padi di rumah. Padi dalam leuit akan

menjadi harta yang diwariskan kepada ahli waris. Padi yang disimpan dalam leuit

dapat bertahan hingga ratusan tahun dan tetap layak untuk dikonsumsi.

Berbagai proses dan ritual yang dilakukan sebelum padi dimasukan ke

dalam leuit, diyakini akan memberikan kekuatan dan menjadikan padi tersebut

dapat bertahan lama. Setelah dipanen, padi kemudian diiket menjadi beberapa

iket. Kemudian dijemur sampai kering. Proses ini dilakukan di huma. Setelah

kering, padi dipanggul di bawa ke leuit.

Tidak boleh dibawa pulang dulu ke rumah, melainkan harus langsung

masuk ke dalam leuit. Ketika disimpan di dalam leuit, ada mantra-mantra yang

harus dibacakan dan diberikan daun cangkudu yang dikasih air, untuk kemudian

dipercikan ke padi tersebut agar tidak kena hama. Sederet ritual lain pun menjadi

pelengkap dari tradisi ini. Pembuatan leuit pun sudah diatur sedemikian rupa oleh

para leluhur. Memilih kayu yang akan digunakan sebagai bahan bangunan leuit.

Atap rumbia/ijuk, arsitektur bangunan leuit yang dapat mencegah masuknya tikus

pun tercipta sejak leuit dibuat, ratusan tahun yang lalu.

Tempat dibangunnya leuit pun rupanya sudah dipertimbangkan

sedemikian rupa oleh leluhur Baduy. Leuit wajib dibangun jauh di luar

perkampungan. Paling sedikit sekitar 100 meter dari kampung. Hal ini dilakukan

sebagai upaya pencegahan ketika terjadi musibah kebakaran kampung.

Leuit yang dibangun jauh diluar kampung, tidak akan ikut terbakar.

Dengan demikian mereka masih memiliki stok cadangan makanan. Penempatan


14

leuit yang sedemikian rupa mencerminkan pola ketahanan pangan yang dimiliki

oleh masyarakat Baduy. Alasan sederhana agar ketika terjadi kebakaran masih ada

cadangan makanan tetapi mengandung filosofi yang tinggi yang mungkin tidak

terpikirkan oleh masyarakat modern saat ini.

2.7 Cara Suku Baduy Menjaga Ketahanan Pangan

Suku Baduy menjaga ketahanan pangan dengan menggunakan leuit.

Penguatan ketahanan pangan oleh seluruh anggota keluarga sudah dilakukan

oleh masyarakat adat Baduy. Seluruh anggota keluarga berpartisipasi dalam

melakukan kegiatan bercocok tanam, panen, menyimpan padi dan membuat leuit

untuk tempat penyimpanan padi. Pembuatan leuit ini pun menjadi kewajiban bagi

seluruh warga Baduy.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Sistem ketahanan Baduy berupa Leuit. Lumbung padi (leuit) terbuat dari

anyaman bambu yang dirangkai dengan kayu-kayu besar dan beratapkan kirai

(sabut kelapa). Setiap kepala keluarga memiliki setidaknya satu leuit, meskipun

kepemilikannya milik perorangan, bukan milik adat namun masyarakat Baduy

tidak bisa membuka leuit tanpa seijin Puun dan Jaro (pemimpin adat).

Penguatan ketahanan pangan oleh seluruh anggota keluarga sudah dilakukan

oleh masyarakat adat Baduy. Seluruh anggota keluarga berpartisipasi dalam

melakukan kegiatan bercocok tanam, panen, menyimpan padi dan membuat leuit

untuk tempat penyimpanan padi. Pembuatan leuit ini pun menjadi kewajiban bagi

seluruh warga Baduy.

3.2 Saran

Terkait hal tersebut, penulis menyarankan beberapa hal seperti berikut

ini:

1. Pemerintah harus menjaga dan melestarikan adat baduy dalam

menjaga ketahanan pangan.

2. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan makalah

dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Ashadi Natha Prasetyo.10 Fakta Suku Baduy Dalam yang Jarang Turis Tahu

[online]. Available: https://phinemo.com/10-fakta-suku-baduy-dalam-yang-

jarang-orang-tahu/

https://ciptagelar.info/tentang/

Fred Magdoff, “The World Food Crisis Sources and Solutions,” Monthly Review,

Vol 60, No.1, May 2008.

https://youtu.be/hBuifj0X4Xw

https://youtu.be/zxu6oM532kA

https://youtu.be/ZV0NkADi2dc

https://youtu.be/zxu6oM532kA

Anda mungkin juga menyukai