Anda di halaman 1dari 5

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Tujuan Kompilasi Hukum Islam :


Untuk mempositifkan hukum Islam secara terumus dan sistematik dalam kitab
hukum, dan ada tujuan yang hendak dicapainya :
1. Melengkapi Pilar Peradilan Agama.
a. Adanya badan peradilan yang terorganisir berdasar undang-undang :
- Pengadilan Agamaa diakui secara resmi sebagai salah satu
pelaksana “judicial power” (Ps 10 UU No 14 Tahun 1970 )
- Kedudukan, kewenangan dan organisatorisnya telah diatur
dan dijabarkan dalam UU No. 7 Tahun 1989
- Pengadilan Agama mempunyai kedudukan sebagai
Pengadilan Negara yang berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi
- Kewenangan yurisdiksi diterangkan dalam Pasal 10 Tahun
1970 dan dijabarkan dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 ( sebelum
diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 )

b. Adanya Organ Pelaksana


Adanya pejabat yang berfungsi melaksnakan jalannya peradilan

c. Adanya sarana hukum sebagai rujukan :


- Adanya sarana hukum positif yang pasti dan berlaku secara
unifikasi (landasan , kedudukan, kewenangan telah dikodifikasi aturan
hukumnya)
- Kompilasi sebagai jalan pintas yang efektif tetapi memenuhi
persyaratan legalistik yang formil.

2. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum


Dengan adanya KHI maka telah jelas dan pasti nilai-nilai tata hukum Islam di
bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan waris, dan sebagai bagian dari
keseluruhan tata hukum Islam sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-
nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan
Peradilan Agama.
3. Mempercepat Proses Taqribi Bainal Ummah.
KHI diharapkan memperkecil pertentangan dan perbantahan khilafiyah terutama
dibidang hukum yang menyangkut perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan,
sehingga dapat dipadu dan disatukan pemahaman yang sama. KHI sebagai sumber
hukum bagi seluruh masyarakat Islam, dan PA sebagai alat kekuasaan negara
yang mengendalikan fungsi kekuasaan kehakiman dapat memaksakan nilai dan
kaidah yang sama kepada setiap muslim tanpa membedakan golongan, aliran.

4. Menyingkirkan Paham Private Affair


Selama ini penghayatan kesadaran masyarakat Islam mengenai nilai-nilai hukum
Islam selalu menganggap “urusan pribadi” artinya mengenai tindakan perkawinan,
wasiat, waris semata-mata dianggap urusan hubungan vertikal seseorang dengan
Alloh Swt, tidak perlu campur tangan pihak lain (penguasa) sehingga terkesan
bahwa masyarakat Islam tidak membedakan urusan-urusan yang termasuk di
bidang ubudiyah dan urusan di bidang muamalah. Padahal kedua bidang masalah
tersebut berbeda landasan fondasi penerapannya. Hal yang menyangkut bidang
ubudiyah fondasi penerapannya berpatokan pada landasan dogmatis : “sami’na wa
ato’na ( kami dengar dan kami patuh), sedangkan masalah yang menyangkut
muamalah, fondasi penerapannya berpedoman pada landasan kaidah : “antum
a’lamu biumuri dunya kum” ( kamu lebih tahu urusan dunia kamu)
PERADILAN AGAMA

PERUBAHAN YANG TERJADI SETELAH DIUNDANGKANNYA


UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

1. Pasal 2, sehingga berbunyi : “Peradilan agama adalah salah satu pelaku


kekuasaan kehakimanan bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Perubahan terdapat pada kata-kata “perkara tertentu”. Pada UU No. 7 Tahun
1989 disebut dengan “perkara perdata tertentu”. Penghapusan kata “perdata”
dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi
pengadilan agama.
2. Menghapus pemilihan hukum dalam perkara waris. (Hak Opsi)
Dalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa : “para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang
dipergunakan dalam pembagian waris”. Dalam UU No. 3 Tahun 2006
rumusan tersebut dihapus. Hak Opsi adalah hak untuk memilih sistem hukum
yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan
diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara .
3. Sengketa kepemilikan.
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang
yang beragama Islam dan non Islam mengenai obyek sengketa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006, cara penyelesaiannya diatur
dalam Pasal 50 yang berbunyi :
1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Ps 49, khusus mengenai obyek sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam,
obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
sebagaimana dimaksud dalam Ps 49.
Penjelasan Pasal 50 ayat (2)
Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus
memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan obyek
sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subyek sengketa antara orang-orang
yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur
waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau
keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan
dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Sebaliknya apabila subyek yang
mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang
menjadi subyek bersengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu
putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Penundaan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah
mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di
pengadilan negeri terhadap obyek sengketa yang sama dengan sengketa di
pengadilan agama. Dalam hal obyek sengketa lebih dari satu obyek dan yang tidak
terkait dengan obyek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama
tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap obyek sengketa yang tidak terkait
dimaksud.

Wewenang Absolut (Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989)


1. Perkawinan (22 item)
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
3. Wakaf dan shadaqah

Kewenangan Pasal 49 diperluas setelah adanya revisi UU No. 7 Tahun 1989 menjadi
UU No. 3 Tahun 2006 “
4. Zakat
5. Infaq
6. Ekonomi Syariah.

Ekonomi Syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
1. bank syari’ah
2. lembaga keuangan mikro syari’ah
3. asuransi syari’ah
4. reasuransi syari’ah
5. reksa dana syari’ah
6. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
7. sekuritas syari’ah
8. pembiayaan syari’ah
9. pegadaian syari’ah
10. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
11. bisnis syari’ah

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Agama

Perkawinan

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Apabila perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, maka
dapat diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian (Itsbat dimohonkan
untuk kepentingan perceraian )
b. Hilangnya Akta Nikah
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU NO. 1 Tahun 1974
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974

Anda mungkin juga menyukai