Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

)
DAN IMPERIALISME BARAT

Oleh: Dr. Abas Mansur Tamam, MA

Studi keislaman dewasa ini masih dihadapkan pada tantangan yang sama dengan
yang dihadapinya pada era kebangkitan Islam modern. Yaitu bagaimana seharusnya kita
memahami Islam agar compatible dengan modernitas? Berbagai pendekatan baru pun
dilakukan dan tren-tren baru pemikiran Islam bermunculan.

Pertanyaannya adalah apakah framework studi itu sudah sejalan dengan paradigma
keislaman yang genuine? Apakah proyek pemikiran Islam kontemporer betul sedang
membangun kembali peradaban Islam yang adiluhung, seperti yang sudah diraih dalam
sejarahnya, ataukah justru –sadar atau tidak- sedang menyubordinasikan Islam ke dalam
peradaban global?

Tulisan ini tidak bermaksud sinis, ia bermaksud memberikan perspektif lain


mengenai tradisi kajian keislaman kontemporer yang sedang mengetren di dunia Islam.

Kebangkitan Islam Modern:

Akar hubungan antara pemikiran Islam dengan imperialisme Barat bisa dilacak
dari era ketika Barat menguasai dunia Islam pada abad ke 19. Kontak ini memang
bukan yang pertama kali. Karena pada empat abad pertama Hijriyyah kontak serupa
terjadi, ketika umat Islam dengan percaya diri menerjemahkan khazanah ilmu dan
filsafat Yunani. Bedanya, kondisi umat Islam saat itu penuh dengan vitalitas. Sehingga
kebudayaan baru dengan mudah diserap, dimodifikasi dan dikembangkan tanpa
merusak paradigma keislaman umat. Lain halnya dengan abad ke 19, kondisi umat
sedang rapuh, dan pemikiran baru itu masuk dengan kendaraan imperialisme. Sangat
logis jika kontak terakhir itu rentan masalah.

Kerentanan itu timbul, pertama karena ketidak berdayaan umat membuat kontrol
serap sangat rendah. Kedua karena sosiologi bangsa yang kalah biasanya melihat yang
bangsa yang menang segalanya(1). Sehingga penyerapan unsur-unsur baru itu cenderung
tidak selektif dan mengalahkan doktrin-doktrin Islam sendiri.

)
Makalah disampaikan pada kuliah umum semester genap 2010/2011, Program Studi Kajian Timur-
tengah dan Islam, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 7 Pebruari 2011.
Tidak heran jika kontak mutakhir itu mendatangkan kebaikan dan keburukan
sekaligus. Mendatangkan kebaikan karena telah membuat umat melek dengan ilmu dan
teknologi modern, tetapi mendatangkan keburukan karena membuat keberagamaan
umat semakin terpuruk. Persoalan inilah yang membuat kontroversi di kalangan ahli
sejarah, apakah kontak terakhir itu layak disebut tonggak kebangkitan Islam modern
atau tidak?

Ahmad Zakaria Syiliq dalam bukunya: Modernisme dan Imprialisme: Penjajahan


Prancis dan problem Kebangkitan Mesir(2), mendiskusikan persoalan ini. Beliau
mencatat dua persepsi:

Pertama, kebangkitan dan modernisasi Mesir –dan ini menjadi tonggak


kebangkitan dunia Islam- dimulai dan disebabkan oleh penjajahan Prancis. Maka
sejarah Mesir modern pun dimulai ketika tentara yang dipimpin Napoleon Bonaparte
(1769–1821) menginjakan kakinya di bumi Mesir. Saat itulah bangsa Mesir membuka
mata, melihat bentuk peradaban baru dan belajar banyak hal yang membuat sosial
politiknya bangkit. Perspektif ini dianut oleh orientalis dan murid-muridnya yang
memposisikan Barat sebagai sumber segala kebaikan, kebangkitan, pencerahan dan
kemodernan(3). Albert Hourani (1915-1993), orientalis Inggeris asal Libanon,
mempelopori pandangan ini(4).

Kedua, era penjajahan Prancis terhadap Mesir sebaliknya justru dilihat sebagai
masa yang paling hitam dalam sejarahnya, bahkan dalam sejarah bangsa Arab. Menurut
pandangan ini, keburukannya yang ditandai dengan semakin ambruknya tatanan
beragama jauh lebih besar dari pada kebaikannya(5).

Dari perspektif yang pertama, modernisasi berarti upaya-upaya yang dilakukan


non-Barat untuk mengadopsi produk peradaban Eropa modern seperti: ilmu
pengetahuan, industri, management, pemikiran, moral dan gaya hidup. Padahal menurut
yang kedua, meniru kebudayaan Barat yang mencakup gaya hidup, moral dan pemikiran
itu bukan modernisasi tetapi westernisasi. Duplikasi semacam itu beresiko mencabut
bangsa-bangsa Timur dari akar kebudayaannya.

Keberatan pihak kedua boleh jadi benar. Tetapi kata Syiliq kita juga harus jujur,
imperialisme modern membawa konsep yang dibutuhkan umat untuk merecovery
keterbelakangannya: "Penjajahan Prancis atas Mesir telah membuat masyarakat Mesir
melek dengan gaya baru kebudayaan Barat yang dibangun di atas akal, ilmu, teknologi
dan management. Masyarakat Mesir melihat anasir peradaban yang berbeda secara
ilmiah: teoritis maupun praktis, masuk ke negara mereka secara paksa dengan
kendaraan imperialisme"(6).

Jadi imperialisme Barat sebenarnya membawa dua hal yang harus disikapi
berbeda. Pertama membawa sains dan teknologi yang menjadi milik bersama umat
manusia. Karena kemajuan Barat di bidang ini juga tidak serta-merta, mereka berhutang
budi kepada umat Islam. Sebagai mana umat Islam sebelumnya berhutang budi kepada
Yunani, dan Yunani kepada bangsa-bangsa Timur. Termasuk dalam wilayah ini adalah
keberhasilan eksperimen Barat dalam mengelola urusan-urusan publik umat manusia.
Wilayah ini masuk kedalam kategori hadits Nabi: "Kearifan adalah barang yang hilang
milik seorang Mukmin. Di mana saja menemukannya, ia lebih berhak memungutnya
kembali"(7). Karenanya belajar kepada bangsa lain menyangkut wilayah ini merupakan
konsekwensi keislaman, tidak merusak keberagamaan.

Tetapi yang kedua, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan agama,


pemikiran, moralitas dan gaya hidup, masuk ke dalam wilayah privasi kebudayaan.
Konsep-konsep Barat di wilayah ini, kata Muhammad Emara (1931-), cenderung
eksploitatif. Dimana imperialisme Barat berusaha untuk menguasai, menghilangkan
differensiasi dan independensi peradaban, serta mengaburkan pengetahuan umat tentang
dirinya(8).

Masalah ini meskipun terlihat khas abad kebangkitan Islam, tetapi relevan untuk
diangkat dan direfleksikan dalam kajian-kajian keislaman. Karena umat Islam, "Sejak
kebangkitan bergulir di awal abad 19 –dan terus begitu sampai sekarang- dihadapkan
dengan dua model peradaban: pertama peradaban Eropa yang menjadi tantangan bagi
mereka –budaya maupun militer- sekaligus memacu dan melahirkan kebangkitan;
kedua peradaban Arab dan Islam yang menjadi tumpuan mempertahankan eksistensi
diri dalam menghadapi tantangan itu"(9).

Dua hal itu membutuhkan penyikapan yang tepat, karena polarisasi antara pro-
imprialisme dengan anti-imperialisme dalam pemikiran Islam, lahir dari penyikapan dua
hal yang berbeda itu.

Pro dan Anti-Imperialisme:

Polarisasi ini dibahas Muhammad Al-Bahi (1905-1982). Menurutnya:


"Imperialisme Barat di dunia Islam telah melahirkan dua tren pemikiran yang
berlawanan: pertama tren membela imperialisme, kedua tren melawan
imperialisme"(10).

Tren pertama muncul dari dua kalangan. Pertama berasal dari kalangan orientalis
yang ingin mengukuhkan penjajahan Barat di dunia Islam, dan merayu masyarakat agar
rela dengan hegemoni itu. Hanoto, orientalis yang pernah menjabat menteri luar negeri
Prancis, mewakili pandangan ini.

Baginya, Islam tidak memiliki kapasitas untuk memajukan peradaban. Karena itu,
imperialisme Barat di dunia Islam harus disyukuri sebagai keberkahan. Ketika ia
dimintai komentar oleh harian Al-Ahram tentang Islam yang diyakini penganutnya
memiliki energi untuk mengampu peradaban, seperti yang terjadi dalam sejarah, Hanoto
menjawab: "Jika Islam tidak menghalangi kemajuan, sebagaimana yang Anda dan para
penulis Muslim katakan, mengapa kalian tetap terbelakang sementara kami maju?" (11).

Bahwa kondisi Timur sedang terpuruk dan Barat sedang memimpin peradaban,
suka atau tidak, diakui bangsa Timur. Tetapi keluar dari keterbelakangan itu harus
dengan cara menjadikan Barat sebagai full model sambil melepaskan agama dan
kebudayaan milik sendiri, hanya diyakini oleh para sarjana yang dikategorikan Al-Bahi
sebagai pembela imperialisme. Toha Husein (1889-1973) bisa menjadi contoh.

Baginya, Eropa modern telah mencatat prestasi yang paling gemilang dalam
kemajuan umat manusia. Ketika akal mendapatkan kebebasan untuk mengontrol
kehidupan sosial, menundukkan alam semesta dengan ilmu pengetahuan, membuat
perudang-undangan untuk menciptakan kebahagiaan umat manusia, dan mendirikan
pemerintahan yang menghormati supremasi hukum dan mengakomodasi berbagai
kepentingan(12).

Sedemikian ideal sehingga seluruh komponen peradaban Barat menurutnya layak


diadopsi. Karena itu bangsa Timur harus berperilaku persis seperti mereka. Dalam
bukunya Masa Depan Kebudayaan di Mesir, Toha Husein menunjukkan jalan kemajuan
seperti ini: "Jalan menuju ke situ hanya satu dan tidak berbilang. Kita harus mengikuti
jejak orang-orang Eropa dan menapaki jejak perjalanan mereka. Agar kita menjadi
bagian dari mereka dan berperadaban seperti mereka: baik atau buruk, manis atau
pahit, dicintai atau dibenci, dan terpuji atau tercela"(13).

Sampel lain dari tren yang membela imperialisme adalah gerakan Ahmad Khan di
India. Kritik yang paling otentik atas gerakan pemikiran ini ditulis oleh Jamaluddin Al-
Afgani dan Muhammad Abduh dalam Al-Urwatul Wutsqo. Afgani dan Abduh, seperti
ditulis Al-Bahi, mewakili tren kedua yaitu anti-imperialisme(14).

Mengomentari gerakan pemikiran Ahmad Khan, kata Afgani, Inggeris ketika itu
percaya bahwa "Selama umat Islam konsisten dengan agamanya, selama Al-Quran
dibaca dan dikaji, mustahil mereka akan tunduk dengan tulus di bawah penjajahan
asing. Terutama ketika bangsa asing itu merampas kekuasaan dengan konspirasi yang
dibungkus dengan cinta dan persaudaraan. Mereka pun mencari berbagai cara untuk
melemahkan akidah Islam"(15).

Ahmad Khan dianggap orang yang tepat melakukan proyek itu. Setelah
melakukan kontrak tertentu, Ahmad Khan menampilkan dirinya bermadzhab
naturalisme yang dalam Al-Quran disebut dahriyyun. Yaitu orang yang percaya, hanya
proses alamiah yang menentukan hidup atau mati seseorang (Al-Jatsiah [45]: 24). Dia
mengaku tidak percaya dengan kenabian dan ketuhanan, dan mengajak umat Islam
untuk meninggalkan semua bentuk agama. Baginya, Eropa tidak mengalami kemajuan
kecuali dengan cara itu, kemudian total konsern menggali rahasia alam semesta(16).

Lebih parah lagi menurut Afgani, naturalisme yang didakwahkan Ahmad Khan
tidak seperti yang dipropagandakan di Eropa. Ketika orang-orang Eropa meninggalkan
agama, mereka tetap memiliki nasionalisme. Tetapi ajakan Ahmad Khan untuk
meninggalkan agama, karena agama menjadi benteng kokoh yang melahirkan
perlawanan terhadap imperialisme. Karena itu target Inggeris dari proyek pemikiran
Ahmad Khan adalah menghilangkan resistensi masyarakat terhadap kekuasaan asing,
agar mereka tunduk pada hegemoni Inggeris. Dan target utama dari gerakan
pemikirannya adalah menghapus nasionalisme dan keislaman di India(17).

Gerakan pemikiran yang dipelopori Afgani dan Abduh meskipun kental dengan
spirit untuk belajar banyak berbagai hal yang bermanfaat dari Barat, tetapi semangat
untuk melawan imperialisme juga sangat dominan. Karenanya meskipun gerakan
pemikiran ini dalam sosiologi pemikiran Islam di Timur-tengah, dirujuk oleh orang-
orang liberal karena semangatnya yang pertama; tetapi juga dirujuk oleh kelompok
islamist karena model gerakan keduanya telah memberikan sumbangsih terhadap
peningkatan immunitas umat dari gejala kerentanan terhadap imperialisme.
Imperialisme dan Rentan-Imperialisme:

Imperialisme tidak akan efektif merubah tatanan umat jika umat Islam sendiri
memiliki immunitas. Sebaliknya umat akan mudah terinfeksi jika "vitalitas"-nya sedang
terganggu. Sayangnya, gerakan pemikiran yang pro-imperialisme telah berperan
melemahkan ketahanan tubuh umat ini.

Gejala ini dielaborasi oleh Malik Ben Nabi (1905-1973), pilsuf Muslim asal Al-
Jazair, dalam sebuah konsep yang disebut dengan imperialisme dan rentan-imperialisme
(al-isti'mar wal qobiliyyah lil isti'mar). Menurutnya "Target-target imperialisme tidak
akan tercapai jika tidak ada unsur-unsur internal yang membuatnya rentan dengan
imperialisme di tengah suatu bangsa"(18). Imperialisme selalu membutuhkan suporting
system yang menyiapkan dan mendukung suksesnya kolonialisasi.

Imperialisme adalah suatu negara menguasai negara lain, baik dengan kekuatan
senjata, uang, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta mengeksploitasi sumber
daya yang dimilikinya. Sedangkan kerentanan terhadap imperialisme (al-qobiliyyah lil
isti'mar) adalah penyakit kebudayaan yang diderita suatu bangsa, yang membuatnya
siap dihegemoni oleh bangsa lain.

Gejalanya terlihat ketika suatu bangsa memiliki pemikiran bahwa mereka harus
menginduk dan menjadi bagian dari bangsa tertentu yang memiliki interest. Budaya
berpikir seperti ini akan melahirkan mental, bahwa hegemoni bangsa lain itu akan
dianggap keberkahan. Maka ketika imperialisme terjadi, pada waktu yang sama akan
melihat gejala kesiapan untuk menerima perlakuan eksternal yang meruntuhkan harga
diri mereka, dengan tangan mereka sendiri.

Secara normatif gejala semacam itu pernah terjadi dalam perjalanan dakwah
kenabian, dalam fenomena kemunafikan. Al-Quran menyebut mereka "sammauna
lahum", orang-orang yang senang mendengar dan mengikuti pembicaraan orang Yahudi
tentang umat Islam (At-Taubat [9]: 47). Ibn Katsir menafsirkan ayat ini: "Mereka turut
dan menerima pembicaraan mereka (Yahudi), bahkan meminta nasihat kepada
mereka..Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kejahatan dan kerusakan dalam tubuh
umat Islam"(19). Sejarahnya, orang-orang munafik terlibat pro-aktif bersama orang
Yahudi dalam melakukan konspirasi terhadap umat Islam di Madinah, meskipun
akhirnya kekuatan mereka melemah.
Dalam konteks tren pro-imperialisme, Al-Bahi menyebut orang-orang seperti itu
"Memerankan dirinya sebagai juru bicara atau penerjemah terhadap ide-ide kaum
imperialis, dengan mengatasnamakan riset ilmiah"(20).

Secara historis, teori ini bisa dipakai untuk menganalisa kejatuhan Turkey
Ustmani ke pangkuan imperialisme Barat modern. Data paling valid tentang ini bisa
diperoleh dari catatan harian politik Sultan Abdul Hamid (1842-1918).

Sultan mencatat gerakan pemikiran yang dilakukan Inggeris dalam propaganda ide
nasionalisme sebagai antitesis khekholifahan. "Kita harus paham, dan sangat
didasayangkan, Inggeris berhasil menyebarkan propaganda mereka yang berbisa,
untuk menyebarkan bibit-bibit nasionalisme dan fanatisme di negara kita. Kaum
nasionalis telah melakukan pergerakan di semenanjung Arabia dan Albania. Di Syuria
terjadi gerakan yang sama"(21).

Tidak sampai di situ, mereka kemudian lebih mendahulukan konsep-konsep Barat


ketimbang Islam sendiri. Sultan menulis: "Inggeris telah melakukan segala cara untuk
merusak citra kita di Mesir. Sekarang mereka berhasil mengelabui masyarakat Mesir
dengan konsep-konsep mereka, hingga sebagian orang percaya bahwa model Inggeris
merupakan jalan menuju keamanan dan keselamatan. Bahkan mereka mendahulukan
nasionalisme dari pada agama itu sendiri"(22).

Masalahnya gerakan seperti itu tidak berhenti sampai dunia Islam jatuh ke tangan
Barat. Tetapi mengukuhkan hegemoninya di dunia Islam membutuhkan upaya-upaya
yang tidak kalah serius dari pada sebelum imperialisme itu terjadi. Dalam posisi seperti
ini, Barat membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang, yang disebut Muhammad
Emara, sebagai umala hadzoriyyin atau agen-agen peradaban, yang memiliki agenda
menarik masyarakat pada putaran peradaban Barat(23).

Dalam konteks ini, kritik pedas Afgani dan Abduh terhadap para agen itu bisa
dipahami. Afgani mengatakan: "Orang-orang yang bertaklid kepada peradaban bangsa
lain, mereka sesungguhnya bukan pemilik ilmu-ilmu yang mereka transfer itu.
Pengalaman mengajarkan kepada kita, orang-orang yang bertaklid di setiap bangsa,
yang meniru tahapan-tahapan perjalanan bangsa lain, mereka menjadi pelabuhan
untuk masuknya musuh dengan serangan-serangan militernya. Mereka menyiapkan
jalan, membukakan pintu untuk mereka, kemudian mengukuhkan cengkeraman kuku
mereka"(24).
Tidak hanya Afgani, Abduh juga menyampaikan kritik yang sama. Dalam Tafsir
Al-Manar Abduh berkata: "Para pendakwah ateisme yang terbaratkan..mereka
menyebut dirinya sedang mengajak pada kemajuan dan peradaban..Yang benar,
mereka adalah para perusak akidah, kebajikan, dan seluruh potensi kebaikan umat.
Mereka sama sekali tidak membangun. Kecuali jika ateisme, perampasan terhadap
harkat dan martabat, melempangkan jalan bagi bangsa asing untuk memperbudak
bangsanya, bisa disebut sebagai usaha membangun kemuliaan umat"(25).

Dari perspektif Afgani dan Abduh ini, tidak setiap pemikiran baru menyangkut
Islam yang berasal dari Barat bersifat positif. Tidak setiap wacana pemikiran Islam juga
bisa membangun dan memberdayakan umat. Karena jika trennya salah, bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental dalam Islam, yang akan terjadi justru mendekonstruksi
Islam itu sendiri. Gerakan pemikiran seperti itu bisa merupakan gejala al-qobiliyyah lil
isti'mar, membuka jalan untuk terjadinya hegemoni imperialisme, seperti yang
diteorikan oleh Malek Ben Nabi.

Orientalisme Bias Imperialisme:

Merefleksikan teori Ben Nabi dalam pemikiran Islam kontemporer mungkin tidak
terlalu sulit. Barangkali ketundukan pada perspektif orientalisme tentang Timur dan
Islam menjadi kunci penilaian, apakah seseorang terjebak dalam qobiliyyah lil isti'mar
atau tidak? Tentu saja orientalisme dalam konteks ini adalah mayoritas mereka yang
cenderung bias dalam melihat persoalan-persoalan Islam, bukan orientalis yang jujur
dalam melihat Islam.

Mengapa orientalisme? Pertama, karena orientalisme adalah produk langsung dari


imperialisme. Karena itu negara yang menjadi pelopor gerakan imperialisme selalu
negara yang memiliki basis koloni di negara-negara Islam. Fakta menunjukkan: "Sejak
awal abad ke 19 sampai berakhir perang dunia kedua, Prancis dan Inggeris menguasai
Timur dan orientalisme. Tetapi sejak berakhirnya perang itu, Amerikalah yang
menguasai Timur dan mengadopsi cara yang sama yang telah dilakukan oleh Prancis
dan Inggeris dalam menghadapi dunia Islam"(26).

Alasan ini pula yang membuat umumnya orientalis Jerman memiliki pemikiran
yang clear tentang Islam. Karena mereka tidak memiliki kepentingan imperialisme di
dunia Islam(27).
Kedua, karena orientalisme seperti kata Edward Said (1935-2003) dan tergambar
jelas dalam judul bukunya, adalah konsepsi Barat tentang Timur. Dan meskipun
wilayah kajian orientalisme mencakup Timur secara umum, tetapi Islam menjadi objek
kajian yang paling utama.

Yang membuat orientalisme terpojokkan dalam perspektif Said, karena produknya


cenderung politis. Itu bisa dipahami karena hubungan antara Barat dan Timur-Islam
cenderung diwarnai kebencian dan permusuhan. Setidaknya ada tiga faktor, menurut
Said, yang membuat saling memahami antara Barat dan Islam menjadi sulit, dan
hubungannya cenderung politis dan sensitif.

Pertama, sejarah fanatisme Barat yang anti Arab dan Islam sudah terjadi dalam
rentang yang panjang. Sejarah inilah yang mengawali dan menjadi mainstream
orientalisme. Kedua, clash antara Arab dan Zionisme Israel. Benturan ini pada
gilirannya mempengaruhi zionisme Amerika dan terefleksikan dalam media massa,
sehingga mempengaruhi persepsi masyarakat Amerika secara umum. Ketiga, tidak
adanya iklim kondusif yang membuat orang bersimpatik terhadap Arab atau Islam, atau
mendiskusikan persoalan Arab dan Islam secara jernih dan tidak emosional(28).

Karena itu menurut Said, "Perhatian orang Eropa kemudian Amerika tentang
Timur (Islam) adalah konsern politik..Mustahil bisa dipungkiri, seorang peneliti Eropa
atau Amerika tentang Timur, terpengaruh oleh kondisi penting sekarang. Artinya ketika
dia mengkaji Timur, tidak bisa melepaskan kapasitasnya: pertama sebagai orang Eropa
atau Amerika, kedua sebagai peribadi yang memiliki loyalitas kepada negara yang
memiliki kepentingan tertentu di Timur"(29).

Karena produk orientalisme menjadi pengetahuan politis, konsekwensinya tidak


keluar dari frame politik secara umum, yaitu tujuan menghalalkan segala cara. Kualitas
produk karena itu, tidak ditentukan oleh objektifitas, tetapi ditentukan oleh
pragmatisme, yaitu bermanfaat atau tidak untuk tujuan-tujuan imperialisme. Sangat
logis jika para ulama menilai produk orientalisme pada umumnya jauh dari
objektifitas(30).

Karenanya menurut Said, banyaknya karya orientalisme berkenaan dengan Islam


tidak menunjukkan nilai yang besar di hadapan objektifitas. Baginya "Ketidak-tahuan
Barat pada akhirnya telah menambah rumit dan semakin jauh dari simplikasi, tidak
karena pengetahuan positif Barat telah bertambah dan menjadi semakin detil. Karena
kebohongan memiliki logika dan dialektikanya sendiri"(31).

Karena kebohongan itu maka kaum orientalis model itu, dalam pandangan Al-
Quran termasuk orang-orang yang tidak memiliki integritas moral (fasik). Sehingga
berita yang diperoleh dari mereka harus direcek (tabayyun) (Al-Hujurat [49]: 6).
Kualifikasi yang harus menyertai pembacaan karya seperti itu setidaknya adalah
kritisisme, tidak bisa dijadikan patokan atau diterima apa adanya.

Tren Pemikiran Islam yang Bias Orientalisme:

Bias orientalisme itu semakin hari semakin menggejala dalam pemikiran Islam
kontemprer di dunia Islam. Gejala itu sepertinya tidak lepas dari kekuatan imperialisme
yang memegang kendali orientalisme dewasa ini. Grand design dari gerakan pemikiran
ini adalah menciptakan keislaman baru yang sekuler dan mengakomodasi Barat.

Sebuah sampel, Research And Depelopment (RAND) Corporation, lembaga


kajian Amerika tentang Timur-tengah dan Islam, tahun 2007 merilis report berjudul
Building Moderate Muslim Networks. Ketika mendefinisikan siapa yang dikategorikan
islamist atau yang oleh Barat lazim disebut fundamentalis, RAND mengatakan:
"Definisi yang paling sempit tapi paling bermanfaat tentang siapa yang disebut islamist
adalah setiap orang yang menolak pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan
negara, berusaha untuk membangun bentuk tertentu dari negara Islam, atau paling
tidak mengajak untuk mengakui syariat sebagai asas perundang-undangan"(32).

Menurut design ini seorang Muslim moderat adalah seorang sekuler, yang
menganggap keterlibatan agama dalam wilayah publik, dalam bentuk apapun adalah
bagian dari teokrasi. Padahal moderat (wasatiyyah) dalam perspektif Islam adalah sikap
yang melihat doktrin Islam -akidah, syariah dan akhlak- sebagai satu kesatuan yang
diaplikasikan dengan adil dan bijaksana.

Tetapi perspektif Barat tentang Islam, yang melihat keislaman sebagai


ekstrimisme dan anti kemodernan, telah menciptakan sikap politik yang sangar dalam
menghadapi Islam. Target dari sikap itu adalah menjinakkan Islam, agar mau
menginduk ke dalam kebudayaan global. Sehingga "Memerangi Islam adalah
kebutuhan mendesak untuk membuatnya menjadi Islam modernis, liberalis dan
sekuleris. Target dari perang ini adalah membawa pendidikan Islam dan wacana
keagamaan Islam ke jalan Ataturk (1881-1938), yang telah memaksa Turkey untuk
meninggalkan masa lalunya"(33).

Untuk itu, di bawah ini akan dideskripsikan dua sampel pemikiran Islam yang bias
orientalisme itu. Pertama, revisionisme dengan sampel kajian Al-Quran, karena model
interaksi dengan Al-Quran akan menentukan corak keislaman seseorang. Kedua,
dekonstruksionisme akidah, syariah dan akhlak. Jika kedua gerakan ini berhasil,
keislaman baru yang khas orientalis akan menjadi fenomena baru di dunia Islam.

Pertama, Revisionisme (Sampel Kajian Al-Quran):

Sebenarnya akar revisionisme adalah skeptisisme, yaitu keraguan tentang


kebenaran segala hal yang berhubungan dengan Islam, baik sumber-sumber keagamaan
atau doktrin-doktrinnya. Karena validitasnya diragukan, maka revisionisme memiliki
itikad untuk merevisi disiplin-disiplin keislaman.

Meskipun begitu, gerakan ini paling populer dalam kajian Al-Quran. Maka
sebagai sampel cara kerja gerakan ini dalam merekonstruksi keilmuan dalam Islam, ada
baiknya gerakan revisionisme dalam kajian-kajian Al-Quran diketengahkan.

Revisionisme secara harfiah mengandung makna keberanian untuk merevisi


pandangan yang salah. Tetapi bukan itu yang dimaksud disini. Gerakan ini bertujuan
untuk merevisi segala persoalan yang berhubungan dengan Al-Quran, dengan
meninggalkan pandangan para ulama karena dianggap pro-ortodoksi, dan hanya
mengambil sumber-sumber orientalisme karena dipandang memiliki basis ilmiah yang
kuat.

Karenanya pendekatan kaum revisionis bersifat monolitik. Mereka sepakat untuk


menolak validitas sejarah berkenaan dengan sejumlah masalah, semata-mata karena
data-datanya berasal dari literatur Muslim(34). Mereka melihat sikap ilmiah ini valid,
walaupun sifat monolitik yang menolak segala sesuatu yang berasal dari sumber Islam
dalam tema keislaman, menurut kita bertentangan dengan klaim ilmiah.

Gerakan ini dimotori oleh para orientalis tetapi diikuti oleh sejumlah sarjana
Muslim, seperti Toha Husein, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zeid dan Muhammad
Arkun(35).

Agenda utamanya adalah menolak validitas wahyu, atau setidaknya meragukan


keaslian Al-Quran khususnya mashaf Utsmani. Tataran operasionalnya adalah merevisi
hakikat Al-Quran seperti yang diyakini umat Islam sebagai "Lafadz Arab yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. yang sampai kepada kita dengan cara
yang mutawatir"(36). Agenda turunannya ada tiga: pertama merevisi akidah umat
berkenaan dengan kewahyuan Al-Quran, kedua revisi atas klaim kearaban lafadz Al-
Quran, dan ketiga skeptis atas otentisitas Al-Quran.

Pertama, secara normatif keyakinan bahwa Al-Quran adalah Kitab Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. itu masuk dalam wilayah akidah. Karena
mustahil seseorang mendapatkan status iman jika tidak percaya kepada Al-Quran
sebagai wahyu Allah.

Tetapi revisionis mendekonstruksi akidah ini dengan beragam cara. Nasr Hamid
Abu Zeid (1943-2010) pertama-tama melihat bahwa pewahyuan adalah peralihan Al-
Quran dari alam metafisik ke dunia fisik. Dengan itu terjadi humanisasi sumber
ketuhanan teks keagamaan, sejak teks itu masuk ke wilayah sejarah dan bahasa.
Sehingga baik teks maupun maknanya pada akhirnya masuk ke dalam konstruk
historis(37).

Tetapi pandangannya terhadap Al-Quran menjadi sangat ekstrim, ketika Abu Zeid
menganalisa sebab-sebab pewahyuan (asbanun nuzul) dengan dialektika Marxis.
Menurut dialektika ini, pemikiran adalah realitas yang ditransfer ke dalam otak manusia
dan direfleksikan olehnya. Bagi Abu Zeid, teks Al-Quran merupakan realitas
kebudayaan yang direfleksikan oleh Muhammad Saw. sehingga melahirkan teks dalam
bentuk ayat-ayat dalam Al-Quran.

Perspektif ini melahirkan keyakinan baru, bagi Abu Zeid, bahwa Al-Quran adalah
produk budaya, yang meski setelah terformulasi menjadi teks keagamaan ia memproduk
kebudayaan yang khas. "Konsep bahwa teks merupakan produk budaya adalah fase
pembentukan dan penyempurnaan format Al-Quran. Setelah itu Al-Quran memproduk
budaya..Perbedaan antara dua fase itu dalam sejarah teks adalah perbedaan antara
ketika teks menjadi derivat dan refleksi dari budaya, dan ketika teks itu mempengaruhi
dan merubah budaya"(38).

Dengan kata lain, teks-teks Al-Quran terformulasikan dengan dialektika menaik


(ascend dialectic) bukan dialektika menurun (descend dialectic). Karena itu yang benar
menurut Abu Zeid adalah su'udul qur'an bukan nuzulul qur'an. Kesimpulan Abu Zeid,
sejak awal Al-Quran adalah ciptaan Muhammad Saw, bukan wahyu Allah Swt.
Kedua, revisi terhdap keyakinan ortodoksi menyangkut kearaban teks Al-Quran
dieksplorasi kaum revisionis dari kritik Zarkasyi dan Suyuti terhadap pendapat yang
menyebut bahwa Jibril menurunkan Al-Quran dengan maknanya saja, kemudian Nabi
Muhammad Saw. menarasikannya dengan bahasa Arab(39).

Menurut Suyuti pendapat itu ambigu. Karena tidak bisa membedakan antara dua
entitas wahyu. Wahyu pertama berbentuk Al-Quran, dimana lafadz dan maknanya
berasal dari Allah Swt. Wahyu kedua berbentuk hadits qudsi, dimana maknanya berasal
dari Allah dan lafadznya berasal dari Nabi Muhammad Saw(40).

Meskipun begitu, kaum revisionis menjadikannya sebagai argumen dimana lafadz


Al-Quran berasal dari Muhammad Saw. sehingga aransement (nudzum) Arab tidak
menjadi bagian dari hakikat Al-Quran. Karena itu perspektif revisionis ini memberikan
legitimasi untuk mereformulasi ayat-ayat Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa lain, bukan
sebagai terjemah tetapi ayat-ayat Al-Quran versi bahasa itu.

Spirit orientalisme di sini terlihat jelas, ketika objektifitas tidak menjadi panglima.
Kata Siba'i: "Ketika mereka mencari argumen, validitas tidak penting. Yang penting
data itu bisa dipergunakan untuk mendukung pandangan peribadinya"(41).

Tren ini pula yang membuat mereka menjadikan pandangan Abu Hanifah sebagai
data pendukung, ketika berpendapat bahwa orang Parsi yang tidak hapal surah Al-
Fatihah boleh membaca makna-maknanya dalam bahasa itu. Argumen revisionis itu
sangat bias, karena konteks pendapat Abu Hanifah berkenaan dengan pemahamannya
bahwa membaca ayat Al-Quran dalam sholat adalah doa (munajat), dan doa sah meski
tidak memakai bahasa Arab(42).

Berdasarkan konteksnya itu, pendapat Abu Hanifah tidak bisa dijadikan rujukan
untuk kebolehan mengaransment teks Al-Quran dengan bahasa lain. Karena Abu
Hanifah sendiri berpendapat sebaliknya. Kata Al-Bazdawy (1010-1089) dari madzhab
Hanafi: "Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. yang tertulis dalam
mashaf, yang diriwayatkan dari Nabi Saw. dengan cara yang mutawatir, menurut
konsensus ulama adalah aransement (nudzum) dan maknanya sekaligus. Itulah
pendapat yang benar menurut Abu Hanifah"(43).

Ketiga, skeptisisme terhadap otentisitas mushaf Utsmani dilakukan dalam dua


tahap. Pertama, skeptis terhadap kodifikasi Al-Quran pada zaman Abu Bakar atas
usulan Umar bin Khatab. Karena riwayat gugurnya sejumlah penghapal Al-Quran pada
perang Yamamah yang mendorong Umar mengusulkan pengumpulan Al-Quran kepada
pemerintah Abu Bakar, menurut Caetani dan Schwally adalah bohong(44). Gerakan
revisionis lebih memilih perspektif orientalis ini, dan menganggap hadits soheh yang
diriwayat Imam Bukhari tentang ini (4/4402; 6/6768) sebagai hadits palsu (maudu).

Keraguan ini disusul oleh skeptisisme kedua tentang ketulusan Utsman bin Affan
dalam melakukan kodifikasi Al-Quran pada masa pemerintahannya. Meskipun
revisionis mengakui telah terjadi kodifikasi dimasa pemerintahan ini, tetapi mereka
menuduh pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai ketua komisi dan pemihakan Utsman pada
logat Quraisy dianggap sarat dengan rekayasa dan konspirasi.

Karena itu Al-Quran yang ada sekarang diklaim tidak otentik, karena sarat dengan
pemihakan terhadap ideologi Quraisy. Sehingga Al-Quran membutuhkan revisi total,
aransement dan sistematisasi baru. Inilah yang disebut dengan edisi kritis Al-Quran.

Kedua, Dekonstruksionisme:

Dekonstruksionisme adalah bacaan ganda dalam mengkaji suatu teks. Pertama


menggunakan bacaan konvensional untuk mengetahui makna-makna eksplisitnya.
Kedua mendekonstruksi kesimpulan itu, dengan melakukan pembacaan sebaliknya yang
merujuk pada makna-makna implisit dan bertentangan dengan makna eksplisitnya.
Bacaan pertama menunjukkan makna-maknanya. Bacaan kedua menjelaskan
kelemahan-kelemahan, kontradiksi, dan kekeliruan yang disingkap oleh teks itu sendiri.

Dekonstruksionisme terkait dengan epistemologi Barat, yang cenderung prustrasi


untuk sampai pada tingkat pengetahuan yang yakin. Seluruh ilmu pengetahuan dianggap
hipotesis yang setiap waktu bisa dimodifikasi dan berubah. Konsep pengetahuan yang
objektif dan pasti telah runtuh. "Sesungguhnya pengetahuan selalu berubah, karena
dunia eksternal yang berhubungan dengan keberadaan ini selalu berubah"(45).

Menurut dekonstruksionisme, ciri utama sebuah teks adalah simbolik, yang bisa
dibaca dan dibaca balik. Tidak ada bacaan yang innocent, karena setiap bacaan tidak
akan luput dari misreading. Karena itu interpretasi atas sebuah teks tidak mungkin
bersifat final(46).

Tetapi ketika disebut tidak ada bacaan yang bersih, tidak berarti bacaan itu salah.
Tidak ada bacaan yang salah, karena tidak ada bacaan yang benar. Karena itu
dekonstruksionisme berada di jantung relativisme. Ia bisa meruntuhkan aksioma-
aksioma metafisika, tetapi akan membuat keresahan dan kebingungan yang terus-
menerus.

Dekonstruksionisme yang khas epistemologi Barat ini cenderung diterima dan


melembaga dalam wacana pemikiran dan pendidikan di dunia Islam seiring dengan
diterimanya hermeneutika. Persoalannya, hermeneutika tidak hanya berhenti pada
tataran teks, tetapi memiliki ekses yang lebih luas ke dalam tataran akidah, syariah dan
akhlak.

Dalam tataran akidah, penolakan terhadap pengetahuan yang pasti telah


menghantarkan manusia modern pada teologi global, seperti yang dipelopori oleh WS
Smith (1916-2000) dan John Hick (1922-). Bagi Smith, masyarakat modern dihadapkan
pada problem bagaimana masyarakat internasional membentuk dirinya menjadi sebuah
jamaah yang mewujudkan persahabatan global yang saling memahami, meskipun
agamanya berbeda. Sebuah mega proyek yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh sebuah
entitas yang disebut agama. Tetapi menurutnya, agama yang ada di dunia justru
merobek-robek masyarakat global itu, bukan menyatukannya.

Solusi Smith adalah membuang konsep agama. Menurutnya tidak ada hakikat
yang disebut agama, tidak di bumi tidak juga di langit. Yang sekarang disebut agama
tidak lain adalah sekumpulan keyakinan yang terus berkembang dari waktu ke waktu,
dimana manusia melihatnya dari perspektif berpikir dan budaya tertentu. Sehingga dia
melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam realitas yang objektif(47).

Karena itu Smith mengusulkan dua istilah alternatif. Pertama tradisi akumulatif
untuk menyebutkan bahwa apa yang disebut agama tidak lain merupakan sekumpulan
tradisi yang mengkristal dalam perjalanan sejarah umat manusia dan terus berkembang.
Kumpulan tradisi itu terkadang disebut Hindu, Buda, Yahudi, Kristen atau Islam. Kedua
istilah iman yang disebutkan untuk keberagamaan pribadi. Dan karena agama
menurutnya tidak bersifat objektif, maka istilah Mukmin bisa disematkan kepada orang-
orang yang secara formal menganut agama Yahudi, Kristen, Islam dan lain-lain(48).

Dan menurut Hick skat-skat agama formal ini semakin hari akan semakin menipis
dan cair berkat media massa yang telah membuat dunia menjadi global village, sehingga
kehadiran teologi globalpun menurutnya adalah suatu keniscayaan(49). Pluralisme
agama, dalam arti pluralisme kebenaran agama, inilah yang disebut teologi global itu.
Para sarjana muslim yang konsern dengan pluralisme ini menyebut bahwa sorga dan
keselamatan adalah milik seluruh umat beragama.

Relativisme yang sama ketika diterapkan ke dalam persoalan-persoalan hukum


juga melahirkan dekonstruksi syariah. Itu karena kebenaran teks-teks Al-Quran dan
Sunnah dalam perspektif hermeneutika tidak mengikat perjalanan hidup manusia,
kecuali setelah realitas dan akal. Karena itu akal dan realitas menjadi parameter
kebenaran teks agama. Ayat-ayat Al-Quran selalu memiliki kemungkinan benar atau
salah sampai realitas atau akal memberikan justifikasi. Tetapi ketika realitas itu sendiri
berubah, maka makna-makna yang bisa ditangkap manusia dari teks itu juga berubah
dari waktu ke waktu.

Konsep inilah yang memberikan legitimasi bagi pembaca untuk memproduksi


makna-makna yang tidak dimaksudkan oleh pemilik teks. Dalam konteks ini Roger
Trigg mengatakan: "Hermeneutika adalah metodologi interpretasi teks-teks klasik,
dimana persoalan-persoalan yang dibicarakan bisa dipahami dalam konteks kekinian.
Karena teks ditulis dalam kondisi yang betul-betul berbeda dari kondisi sekarang"(50).

Dalam perspektif ini, tidak ada hukum syariah yang tetap dan mengikat. Syariah
tidak lain merupakan sekumpulan variabel yang setiap waktu bisa dibaca secara
berbeda. Tidak ada perbedaan antara akidah yang disepakati sebagai aksioma (maklum
minaddini bid dorurah) dengan masalah-masalah yang menjadi wilayah ijtihad, karena
semuanya relatif dan bisa berubah.

Dekonstruksi akidah dan syariah ini pada gilirannya mendekonstruksi Islam


dimana agenda utamanya menciptakan integritas moral umat. Karena, bagaimana
mungkin sebuah ajaran akan menjadi keyakinan dan hukum-hukumnya diamalkan, jika
tidak memiliki unsur kepastian?

Tanpa kepastian tidak mungkin akidah dan syariat Islam berfungsi. Padahal
akidah memiliki pengaruh yang sangat dalam terhdap pembentukan cara pandang, sikap
dan budaya seseorang. "Agama..menyuguhkan kepada kita prinsif-prinsif mendasar
yang menentukan perjalanan hidup manusia. Prinsif-prinsif itu akan membentuk
persepsi dan menentukan sikap dalam berhubungan dengan alam dan kehidupan secara
umum"(51).

Begitu pula syariah, karena "Jika tidak ada hukum yang mengikat maka tidak akan
ada tanggungjawab. Jika tidak ada tanggungjawab maka tidak mungkin ada keadilan.
Ketika itu yang akan menggejala adalah kekacauan, pemerintahan akan rusak, dan
premanisme akan melembaga. Tidak hanya dalam realitas tetapi juga di bidang
hukum"(52).

Dengan kata lain, relativisme kebenaran telah mendekonstruksi seluruh tatanan


Islam baik akidah, syariah dan akhlak. Karenanya menyematkan sifat yang relatif
terhadap seluruh doktrin dalam Islam, akan menghilangkan sifat dan fungsi agama itu
sendiri. Ia akan menjadikan Islam sebagai wacana, dan menggugat fungsinya sebagai
pedoman hidup manusia.

Kelemahan Pemikiran Islam yang Bias Orientalisme:

Sampai di situ, kelemahan pemikiran Islam yang bias orientalisme sangat jelas.
Secara retorik mungkin bisa diklaim, liberalisasi pemikiran keislaman misalnya,
dimaksudkan agar Islam compatible dengan modernitas. Tetapi menjadikan produk
orientalisme sebagai panglima, tidak saja menciptakan keberagamaan yang chaos, tetapi
membuat umat Islam kehilangan identitas dan substansi agamanya.

Evelyn Baring yang terkenal dengan Earl of Cromer (1841–1917), Konsulat


Jenderal Inggeris di Mesir, memberikan gambaran riil tentang masyarakat muslim Mesir
yang mengalami liberalisasi. Mereka mengalami split personality. Disebut Muslim
tetapi melepaskan akidah dan identitas Islam, disebut Barat tapi tidak memiliki spirit
dan percaya diri sebagai pemilik kebudayaan Barat. Katanya: "Masyarakat Mesir yang
terpengaruh dengan Barat, meskipun memakai nama Islam, pada hakikatnya agnostic.
Kesenjangan antara mereka dengan seorang ulama dari Universitas Al-Azhar adalah
seperti kesenjangan antara orang Azhar dengan orang Eropa"(53).

Jadi persoalannya bukan senang atau tidak senang dengan peradaban Barat.
Karena Islam juga bukan agama yang tertutup. Karakter aslinya adalah keterbukaan
untuk berhadapan dan menerima kebudayaan luar yang dinilai baik. Karena itu, seorang
Muslim dengan komitmennya terhadap Islam adalah orang yang terbuka terhadap
kebudayaan asing yang bermanfaat. Hanya saja, ketika dia mengadopsi gagasan-
gagasan baru, itu didasarkan atas kaidah-kaidah tertentu.

Kaidah yang paling penting adalah kesatuan dan keserasian epistemologis.


Parameter penilaiannya: apakah konsep-konsep baru itu bertentangan dengan akidah
Islam atau tidak? Apakah bisa dimodifikasi menjadi bagian yang serasi dalam
paradigma keilmuan Islam atau tidak? Kata Ismail Al-Faruqi (w. 1986): "Anasir-anasir
peradaban harus menyatu, harmonis, satu bagian dengan bagian lainnya serasi. Itu
bagian terpenting dalam kebudayaan, jika itu hilang yang akan terjadi adalah
campuran yang berakumulasi, bukan kebudayaan"(54).

Karenanya proses kebudayaan bukan mekanisme vacum cleaner yang menyerap


apa saja. Ia seperti budaya hidup sehat yang selektif memilih nutrisi yang baik.
Barangkali penyerapan filsafat Yunani dan modifikasinya menjadi filsafat dan teologi
Islam bisa menjadi gambaran tentang proses ini.

Dengan begitu menyerap kebudayaan luar merupakan masalah yang serius dan
rumit. Menuntut kesadaran penuh, pikiran yang kritis dan akidah yang kuat.
Mengabaikan kapasitas ini akan berdampak menguras Islam dari akal dan hati umat,
dan menggantinya dengan pikiran dan emosi yang palsu. Proses semacam ini tidak akan
memajukan peradaban umat, tetapi justru menghancurkan eksistensinya.

Kata Muhammad Husein Haikal (1888-1956): "Tauhid yang telah menerangi


spiritualitas orang tua kita, dengan karunia Allah telah membuat fitrah kita selamat,
dan membuat kita sadar tentang bahaya propaganda Barat. Dan umat yang hari ini
terputus dari masa lalunya akan tersesat. Sesungguhnya bangsa yang tidak punya masa
lalu, dia tidak akan punya masa depan"(55).

Dengan kata lain, jika Islam tersubordinasikan ke dalam peradaban Barat,


setidaknya umat Islam akan menghadapi dua kerugian besar:

Pertama, akan kehilangan jati diri agama dan peradabannya. Ketika umat Islam
terbawa arus kebudayaan Barat, berarti telah meninggalkan dirinya. Mereka akan jatuh
ke dalam "berhala" kemajuan yang telah membuat spiritualitas dunia Barat menderita.
Itu ketika Barat memarginalkan agama sehingga hanya menjadi gemericing lonceng
yang sayup-sayup terdengar di ujung berbagai kejadian.

Kedua, setelah umat Islam kehilangan jati dirinya, mereka akan menderita
kelumpuhan total dalam melaksanakan peran peradabannya untuk umat manusia.
Kesalahan sejarah ketika Islam disubordinasikan ke dalam peradaban Barat inilah yang
disesali oleh Muhammad Asad (1900-1992): "Andai saja umat Islam tetap tenang, mau
menerima bahwa kemajuan itu sekedar wasilah bukan tujuan utama, tidak saja mereka
akan mampu menjaga kemerdekaan spiritualitasnya, tetapi mungkin juga mereka akan
memberikan kepada manusia Barat rahasia kelezatan hidup yang hilang dari tangan
mereka"(56).
Karena itu program kajian-kajian keislaman perlu melakukan introspeksi dan
koreksi. Bahwa umat Islam dengan kebesaran agama yang dianugerahkan Allah, tidak
selayaknya menjadi gerbong yang paling belakang. Tidak selayaknya hanya menjadi
murid, sekedar catatan kaki, hidup di pinggiran bangsa-bangsa lain, atau rela menginduk
kepada peradaban lain.

Sikap yang benar adalah kita umat yang merdeka. Memiliki iradah yang kuat dan
berpikir yang independen. Umat yang jika membutuhkan sesuatu dari bangsa-bangsa
lain, ia memilih sesuatu yang layak dan sesuai dengan jati diri, kemuliaan, privilage dan
percaya dirinya. Dengan kebebasannya pula umat bisa menolak segala hal yang
melemahkan kepribadian dan kedudukannya, yang bisa membuatnya lebur dengan
kebudayaan lain.[]

CATATAN KAKI:
(1)
Ibn Khaldun, Muqodimah, hal. 147, Beirut: Darul Qolam, cet. 5, 1984
(2)
Syiliq, Ahmad Zakaria (Dr), Al-Hadatsah wal Imbriyaliyyah: Al-Gowzu Al-Faransi wa Isykaliyyatu
Nahdoti Misr, Cairo: Dar Syuruq, 2005
(3)
Syiliq, Al-Hadatsah wal Imbriyaliyyah, hal. 7
(4)
Hourani, Albert, Al-Fikru Al-Arabi fi Ashrin Nahdah 1798-1939, terj. Karim Azqul, Beirut: Dar
Nahar, tt, hal. 9
(5)
Syiliq, Al-Hadatsah wal Imbriyaliyyah, hal. 8
(6)
Syiliq, Al-Hadatsah wal Imbriyaliyyah, hal. 178
(7)
Sunan At-Turmudzi 5/2687; Sunan Ibn Majah 2/4169
(8)
Emara, Muhammad (Dr), Al-Istiqlal Al-Hadori, Cairo: Nahdotu Misr, 2007, hal. 4
(9)
Al-Jabiri, Muhammad Abid (Dr.), Al-Khitab Al-Arabi Al-Muashir: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah,
Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyya, 1994, Hal. 22-23
(10)
Al-Bahi, Muhammad (Dr.), Al-Fikru Al-Islami Al-Hadits wa Shillatuhu bil Isti'mar, Cairo: Maktabah
Wahbah, cet. 4, hal. 24
(11)
Abduh, Muhammad, Al-Islam Bainal Ilmi wal Madaniyyah, Cairo: Darul Hilal, 1960, Hal. 66
(12)
Hourani, Al-Fikru Al-Arabi, hal. 391
(13)
Husein, Toha (Dr), Mustaqbal Tsaqofah fi Misr, vol. 1, Cairo: Dar Ma'arif, 1938, hal. 45
(14)
Al-Bahi, Al-Fikru Al-Islami Al-Hadits, hal. 61
(15)
Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Al-Urwatul Wutsqo was-Tsaurah At-Tahririyyah Al-
Kubra, Sholahuddin Al-Bastawi (Ed.), Cairo: Darul Arab, 1993, Hal. 382-383
(16)
Al-Afgani dan Abduh, Al-Urwatul Wutsqo, hal. 384
(17)
Al-Afgani dan Abduh, Al-Urwatul Wutsqo, hal. 385
(18)
Ben Nabi, Malik, Wijhatul Alam Al-Islami, terj. Abdus Shobur Syahin, Beirut: Dar Fikr, 1987, hal.
104-105
(19)
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, vol. 2, Beirut: Dar Fikr, 1401, hal. 362
(20)
Al-Bahi, Al-Fikru Al-Islami Al-Hadits, hal. 7
(21)
Abdul Hamid bin Abdul Majid, Mudzakarati As-Siyasiyyah, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1406, hal.
177
(22)
Abdul Hamid, Mudzakarati As-Siyasiyyah, hal. 133
(23)
Muhammad Emara, Shuratul Islam fil Khitab Al-Gorby, Majalah Muslim Muashir, No. 108, April-
Juni 2003, hal. 23
(24)
Muhammad Emara (Ed.), Al-A'mal Al-Kamilah li Jamaluddin Al-Afgani, Cairo, 1968, hal. 195-196
(25)
Rido, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, Cairo: Dar Al-Manar, 1947, vol. 9, hal. 663-664
(26)
Said, Edward, Al-Istisyraq: Al-Mafahim Al-Gorbiyyah lis Syarq, terj. Muhammad Anani, Cairo:
Ru'yah lin Nasyr wat Tauzi, 2006, hal. 47
(27)
Al-Munajjid, Sholahuddin, Al-Mustasyrikunal Alman: Tarajumuhum wama Ashamu bihi fid Dirasat
Al-Arabiyyah, Beirut: Darul Kutub Al-Jadid, 1978, vol. 1, hal. 7
(28)
Said, Al-Istisyraq, hal. 78
(29)
Said, Al-Istisyraq, hal. 57
(30)
Lihat misalnya kritik-kritik Mustofa As-Siba'i dalam: Al-Istisyrak wal Mustasyriqun Ma Lahum wa
Ma Alaihim, Cairo: Darusssalam, 1998, hal. 53; dan As-Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri Al-Islami,
Cairo: Darussalam, 2006, hal. 178
(31)
Said, Al-Istisyraq, hal. 128
(32)
Angel Rabasa dkk, Building Moderate Muslim Network, Pittsburgh: Rand Corporation, 2007, p. 75
(33)
Harian Al-Hayat, London, 17 Oktober 2003 dan Harian Al-Ahram, Cairo, 18 Oktober 2003
(34)
Al-A’zami, Muhammad Mustofa (Dr), The History of The Qur’anic Text from Revelation to
Compilation, Indonesian Ed. p. 6, Jakarta: Gema Insani Press, 2005; mengutif dari: J. Koren, Y.D.
Nevo, Methodological Approaches to Islamic Studies, Der Islam, Band, 68, Heft I, 1991, p. 89-90.
(35)
Al-A’zami, The History of The Qur’anic Text, hal. 6
(36)
Syaltout, Mahmud (Syeikh), Al-Islam Aqidah wa Syariah, Cairo: Dar Syuruq, 1991, hal. 471; As-
Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiqi Ulumil Ushul, Muhammad Said Al-Badri (Ed.), Beirut: Dar
Fikr, 1992, vol. 1, hal. 62
(37)
Abu Zeid, Nasr Hamid (Dr.), Naqdul Khitab Ad-Dini, Cairo: Sinai, 1994, hal. 119
(38)
Abu Zeid, Nasr Hamid (Dr.), Mafhum An-Nash: Dirasat fi Ulumil Qur'an, Cairo: Al-Haiah Al-
Masriyyah Al-Amah lil Kitab, 1993, hal. 28
(39)
Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Quran, Muhammad Abdu Fadel Ibrahim (Ed.), Beirut: Dar Ma'rifah,
1391, vol. 1, hal. 229; Suyuti, Al-Itqon fi Ulumil Quran, Said Al-Mandub (Ed.), Beirut: Dar Fikr,
1996, vol. 1, hal. 125
(40)
Suyuti, Al-Itqon, vol. 1, hal. 126-127
(41)
As-Siba'i, Al-Istisyrak wal Mustasyriqun, hal. 55
(42)
Syaltout, Al-Islam Aqidah was Syariah, hal. 473-474
(43)
Al-Bazdawy, Kanzul Wushul Ila Ma'rifatil Ushul, Karatci: Matba'ah Jawed Press, tt., hal. 5
(44)
Abu Laila, Muhammad Muhammad (Dr), Al-Quran Minal Mandzur Al-Istisyraqi Dirasah Naqdiyyah
Tahliliyyah, Cairo: Darun Nasyr lil Jamiat, 2002, hal. 158
(45)
Hamudah, Abdul Aziz (Dr), Al-Maraya Al-Muhaddabah: Minal Bunyawiyyah ilat Tafkikiyyah,
Kuwait: Alamul Ma'rifah, 1990, hal. 262
(46)
Al-Banky, Muhammad Ahmad, Derrida Arabiyyan: Qira'atut Tafkik fil Fikri An-Naqdi Al-Arabi,
Beirut: Al-Muassasah Al-Arabiyyah lid Dirasat wan Nasyr, 2005, hal. 69
(47)
Anis Malik Thoha (Dr), Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Prosfektif, 2005, hal. 66;
mengutif dari WC Smith, The Meaning and End of Religion, London: SPCK, 1978, hal. 17
(48)
Anis Malik Thoha (Dr), Tren Pluralisme Agama, hal. 74-75
(49)
Anis Malik Thoha (Dr), Tren Pluralisme Agama, hal. 79
(50)
Roger Trigg, Understanding Social Science: A Philosophical Introduction to The Social Sciences,
Oxford: Blackwell Publishing Ltd., 2nd Ed., 2004, p. 219
(51)
Zaki Naguib Mahmud, Qiyam minat Turats, Cairo: Dar Syuruq, 1999, hal. 331
(52)
Muhammad Abdullah Darraz (Dr), Dusturul Akhlak fil Quran: Dirasat Muqorinah lil Akhlak An-
Nadzoriyyah fi Quran, (terj. Abdus Shobur Syahin (Dr), Muassasah Ar-Risalah, tt., hal. 21
(53)
Earl of Cromer: "Nominally, the Europeanised Egyptian is the mayority of cases a Moslem. In reality,
he is generally an agnostic. The gulf between him and the "alim" of Al-Azhar University is as great
as between the "alim" and the European"; Modern Egypt, London: Macmilan and Co., Limitted,
1908, vol. 2, hal. 229
(54)
Al-Faruqi, Ismail Razi (Dr), Atlas Al-Hadzoroh Al-Islamiyyah, terj. Abdul Wahid Lu'luah, Riyad:
Maktabah Ubaikan, 1998, hal. 134
(55)
Haikal, Muhammad Husein, Fi Manzalil Wahyi, Cairo: Dar Ma'arif, tt., hal. 24
(56)
Asad, Muhammad, At-Toriq Ilal Islam, terj. Afif Al-Ba'albaki, Riyad: Maktabah Ubaikan, 1997, hal.
289.

Anda mungkin juga menyukai