Anda di halaman 1dari 15

Nama/Nim : Istiqlal Ramadhan Rasyid/11180820000040

Kelas : 5D Akuntansi
Judul : Akuntansi Wakaf
Sumber : Al-Qur’an dan Hadits, Artikel, dan PSAK

1. Pendahuluan
Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti yang berkaitan
dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam juga mengatur hubungan
sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendistribusian kesejahteraan (kekayaan) dengan
cara menafkahkan harta yang dimiliki demi kesejahteraan umum seperti adanya perintah
zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf.

Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa


diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber
dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah mengelola
dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf dari lembaga
lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan umum. Pada umumnya
wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela untuk digunakan bagi kepentingan
umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak seperti untuk masjid, mushola, sekolah,
dan lain-lain. Dengan seiring berjalannya waktu wakaf nantinya tidak hanya menyediakan
sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan ekonomiyang berpotensi antara lain
untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai
dengan prinsip syariah.

Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah. Lalu pengertian harta benda
wakaf sendiri juga mengalami perubahan maksud yang lebih mudah, yaitu bahwa harta benda
wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif, yang memiliki daya tahan lama dan
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah. Harta benda wakaf
tersebut dapat berupa harta benda tidak bergerak maupun yang bergerak.
2. Tinjauan Pustaka
a. Artikel : Beberapa artikel yang saya ambil sebagai referensi untuk membuat
tugas paper ini, yaitu:
1). Intan Wijaya, Pengelolaan dan Pelaporan Aset Wakaf pada Lembaga Wakaf di
Indonesia.2015
2). Sofyan Safri Harahap dkk.. Akuntansi Perbankan Syariah. 2010

b. Peraturan
1). Al-Qur’an
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahui.” (QS 3:92)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) lagi Maha Mengetahui.” (QS
2:261)
2). Hadits
Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “apabila anak Adam
(manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah
jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR.
Muslim)

“Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk.
Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya
belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah
itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya
untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar
berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang
bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta”. (HR. Muslim)
3). PSAK 112 tentang Akuntansi Wakaf
Di Indonesia peraturan akuntansi keuangan syariah diatur dalam Standar
Akutansi Syariah (SAS) dalam bentuk Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK).
PSAK yang berkaitan dengan syariah diatur dalam PSAK 100 sampai dengan PSAK
112. Dengan berkaitan materi yang akan dibahas mengenai akuntansi wakaf, saya
mengambil PSAK 112 tentang akuntansi wakaf sebagai aturan bagaimana perlakuan
akuntansi wakaf di Indonesia.PSAK 112 tentang akuntansi wakaf bertujuan untuk
mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan bagi nazhir dan wakif.
3. Pembahasan
Overview Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa” berarti “menahan” atau
“berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab
mengandung beberapa pengertian, yaitu: menahan, menahan harta untuk diwakafkan. Secara
syariah, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. (Sabiq,
2008)
Sedangkan menurut istilah terdapat pendapat yang berbeda di kalangan ahli fikih,
sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Perbedaan
pandangan tentang terminologi wakaf adalah sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif/pewakaf dan
mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Dari pengertian tersebut karena hak
kepemilikian tetap pada pewakaf, maka atas harta yang diwakafkannya dapat ditarik
kembali, dijual, dan jika si pewakaf wafat maka harta itu menjadi harta warisan bagi ahli
warisnya. Sehingga yang timbul dari wakaf adalah sebatas menyumbangkan manfaat suatu
benda kepada suatu pihak untuk kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat wakaf adalah menahan benda milik pewakaf (dari penggunaan
secara kepemilikan termasuk upah), tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar untuk suatu masa tertentu sesuai
lafal akad wakaf dan tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf lafal (selamanya).
3. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambali
Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa wakaf adalah menahan harta pewakaf untuk bisa
dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut
sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Pewakaf tidak boleh melakukan
apa pun terhadap harta yang diwakafkan dan tidak dapat diwariskan. Pewakaf menyalurkan
manfaat harta yang diwakafkannya untuk kemaslahatan/kebaikan umat sehingga bukan
untuk urusan yang haram. Menganggap wakaf sebagai sedekah yang mengikat sehingga
harta yang diwakafkan harus memberi manfaat baik pada saat diserahkan juga di masa yang
akan datang. Pewakaf tidak dapat melarang penyaluran harta tersebut. Apabila pewakaf
melarangnya, maka hakim berhak memaksanya agar memberikannya sesuai dengan
peruntukan wakaf yang telah diikrarkan/dilafalkan. Oleh karena itu, Mazhab Syafi’i
mendefinisikan wakaf dengan “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang
berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu
kebajikan (sosial)”.
4. Pendapat Lain
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda
yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ’alaih/penerima wakaf, meskipun ia tidak
berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau
menghibahkannya.
Dalam De PSAK 112 Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya
Menurut Sabiq (2008) pendapat yang kuat adalah dari Imam Syafi’i yaitu kepemilikan
berpindah kepada Allah SWT, maka ia bukan milik pewakaf dan juga bukan milik penerima
wakaf. Sehingga atas harta wakaf tidak dapat dijual, dihibahkan, diwariskan atau apa pun yang
dapat menghilangkan kewakafannya. Dr. Khalid Al Musyaiqih juga menguatkan pendapat dari
Imam Syafi’i karena lebih menyeluruh dan lengkap. Hal ini sesuai dengan hadis dari Ibnu
‘Umar:

“Bersedekahlah dengan pokoknya, tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan
tetapi hasilnya dibelanjakan”. (HR Bukhari)
Di Indonesia sendiri, pelaksanaan wakaf telah diatur oleh UU No. 41/2004 tentang
Wakaf. Menurut undang-undang tersebut, definisi wakaf adalah perbuatan hukum pewakaf
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Sehingga berdasarkan atas ikrar atau
lafal wakaf dan ketika harta sedang diwakafkan maka harta tersebut tidak dapat dipindahkan
kepemilikan, dijaminkan, ditukar, atau dialihkan haknya,
Berdasarkan uraian mengenai definisi di atas, maka kita dapat menilai bahwa wakaf
adalah suatu bentuk philantrophy yang mirip dengan jenis philantrophy lainnya dalam Islam
baik itu infak/shadaqah maupun hibah. Persamaannya dalam bentuk penyerahan
barang/sumber daya pada pihak lain. Tetapi jika kita bandingkan secara langsung, akan dapat
dilihat perbedaannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada table berikut ini:
Perbedaan Wakaf dengan Shadaqah/Hibah
Wakaf Infak/shadaqah/hibah
Menyerahkan kepemilikan suatu barang Menyerahkan kepemilikan suatu
kepada orang lain barang kepada pihak lain
Hak milik atas barang dikembalikan Hak milik atas barang diberikan
kepada Allah kepada penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf tidak boleh diberikan atau Objek shadaqah/hibah boleh
dijual kepada pihak lain diberikan atau dijual kepada pihak
lain
Manfaat barang biasanya dinikmati untuk Manfaat barang dinikmati oleh
kepentingan sosial penerima shadaqah/hibah
Objek wakaf biasanya kekal zatnya Objek shadaqah/hibah tidak harus
kekal zatnya
Pengelolaan objek wakaf diserahkan Pengelolaan objek shadaqah/hibah
kepada administratur yang disebut diserahkan kepada si penerima
nadzir/mutawalli

Wakaf Uang
Munculnya pemikiran wakaf uang/ tunai yang dipelopori oleh Prof.Dr.M.A. Mannan, seorang
ekonom yang berasal dari Bangladesh pada dekade ini merupakan momen yang sangat tepat
untuk mengembangkan instrumen wakaf untuk membangun kesejahteraan umat. Sebelum
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ada, Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash
wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya.
Pengertian wakaf sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, diperluas lagi berkaitan dengan Harta Benda Wakaf (obyek wakaf) yang diatur
dalam Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan Harta Benda Wakaf meliputi :
a. Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak;
b. Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a meliputi :
(a) hak atas tanah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
sudah maupun yang belum terdaftar;
(b) bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud
pada huruf a;
(c) tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(d) hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
(e) benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
c. Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 Huruf b adalah harta benda yang tidak
bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak
atas kekayaan intelektual, hak sewa, serta benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya pada Pasal 28-31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
dan Pasal 22-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, secara eksplisit menyebut tentang bolehnya
pelaksanaan wakaf uang. Dengan demikian yang dimaksud wakaf uang/tunai adalah wakaf
yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk
tunai. Juga termasuk kedalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham, cek
dan lainnya.
Ruang Lingkup Transaksi Wakaf
Secara umum ada dua jenis wakaf:
1. Wakaf Umum
2. Wakaf Pribadi
Kategori wakaf dilihat dari segi tujuannya:
1. Ahli wakaf: hasil wakaf diperuntukkan bagi anak-anak pendiri wakaf dan keturunannya.
Namun, para penerima manfaat ini tidak dapat menjual atau membuang harta benda wakaf.
2. Wakaf khayri: hasil wakaf diperuntukkan bagi amal dan filantropi. Contoh penerima
manfaat termasuk yang miskin dan yang membutuhkan. Wakaf khayri biasanya digunakan
untuk mendanai masjid, tempat penampungan, sekolah, dan universitas. Ini dimaksudkan
untuk membantu individu dan komunitas yang mengalami kesulitan keuangan.
3. Wakaf al-sabil: wakaf yang penerima manfaatnya adalah masyarakat umum. Ini sangat
mirip dengan wakaf khayri, meskipun wakaf al-sabil biasanya digunakan untuk mendirikan
dan membangun utilitas umum (masjid, pembangkit listrik, persediaan air, kuburan,
sekolah, dll).
4. Wakaf al-awaridh: hasil wakaf disimpan sebagai cadangan sehingga dapat digunakan
pada saat-saat darurat atau kejadian tak terduga yang berdampak negatif pada mata
pencaharian dan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, wakaf dapat diberikan untuk
pemenuhan kebutuhan tertentu seperti pengobatan untuk orang sakit yang tidak mampu
membayar biaya pengobatan dan pendidikan anak-anak miskin. Wakaf al-awaridh juga
dapat digunakan untuk membiayai pemeliharaan utilitas desa atau lingkungan.
Kategori wakaf dari segi sifat keluarannya:
1. Wakaf-istithmari: harta wakaf diperuntukkan bagi investasi. Aset tersebut dikelola untuk
menghasilkan pendapatan yang akan digunakan dalam membangun dan merekonstruksi
properti wakaf.
2. Wakaf-mubashar: aset wakaf digunakan untuk menghasilkan layanan untuk kepentingan
beberapa penerima amal atau penerima manfaat lainnya. Contoh aset tersebut termasuk
sekolah, utilitas, dll.
Ada empat unsur wakaf, yaitu: wakif, mauquf 'alaih, mauquf bih dan shigat atau sumpah.
Dalam hal ini tidak dibahas mengenai posisi wakaf nadzir yang memiliki tanggung jawab
untuk menjaga dan mengelola wakaf. Di satu sisi, selama itu peran wakaf nadzir menjadi
tanggung jawab langsung wakif, maukuf alaih atau hakim, sebagaimana dijelaskan oleh
Imam Syafi'i. Di sisi lain, dalam Hadits Ibnu Umar, penempatan wakaf secara eksplisit
ditegaskan sebagai berikut: “Tidak berdosa bagi wakaf nadzir mengkonsumsi sebagian
wakaf dengan cara yang benar dan tanpa niat untuk memilikinya.”
Rukun dan Ketentuan Syariah
Rukun wakaf ada 4 (empat) (Depag, 2006), yaitu:
1. Pelaku terdiri atas orang yang mewakafkan harta (wakil/pewakaf). Namun, ada pihak
yang memiliki peranan penting walaupun di luar rukun wakaf yaitu pihak yang diberi
wakaf/diamanahkan untuk mengelola wakaf yang disebut nazhir
2. Barang atau harta yang diwakafkan (mauquf bih)
3. Peruntukan wakaf (mauquf ’alaih)
4. Shighat (pernyataan atau ikrar sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya termasuk penetapan jangka waktu dan peruntukan)

Wakif dan Nazhir


Pewakaf disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legally
competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi 4 (empat)
criteria, yaitu sebagai berikut:
1. Merdeka
2. Berakal sehat
3. Dewasa (baligh)
4. Tidak berada di bawah pengampuan.
Ada kalanya seseorang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung
terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum
wakaf yang berkaitan degan masalah ini:
1) Orang yang mempunyai utang, maka wakafnya ada 3 (tiga) macam, yaitu:
a) Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau
sebagian hartanya, sedang utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum
wakafnya sah, tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para krediturnya
b) Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau
sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka wakafnya sah, akan
tetapi pelaksanaannya bergantung pada kerelaan para kreditur
c) Jika dia tidak di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh atau
sebagian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat
dilaksanakan, baik utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau hanya
sebagian saja
2) Apabila pewakaf mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, dan ketika
mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’),
maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup. Hal ini karena
penyakitnya tidak bisa dipastikan sebagai penyakit kematian. Jika kemudian pewakaf
meninggal, maka hukum wakafnya sebagai berikut:
a) Jika dia meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya seperti yang telah
diuraikan dalam butir (1) di atas
b) Jika dia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika
dia sedang sakit keras seperti wasiat, yaitu jika yang diberi wakaf bukan ahli
warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari 1/3 hartanya, maka wakaf
terlaksana hanya sebatas 1/3 hartanya saja, jika harta yang diwakafkan lebih dari
1/3, maka kelebihan dari 1/3 tersebut bergantung pada kerelaan ahli waris sebagai
pemilik harta tersebut.
Nazhir atau pengelola wakaf, sebagai pihak yang diberi amanat untuk mengelola wakaf
memiliki syarat:
1) Muslim
2) Berakal
3) Dewasa
4) Adil
5) Cakap hukum

Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan)


Dalam UU No.41/2004 dinyatakan tidak ada pembatasan dalam jumlah harta yang
diwakafkan. Namun terkait dengan hukum wasiat, maka sangat relevan bahwa pembatasan
wakaf adalah 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki. Tujuannya adalah untuk kesejahteraan
anggota keluarga pewakaf.
Oleh karena itu, seseorang diharamkan memberikan wakaf yang merugikan ahli
waris. Barang yang diwakafkan harus memenuhi kriteria harta benda yang bernilai (mal
mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum) dan milik sempurna (tidak dalam keadaan khiyar).
Syarat sahnya harta wakaf, adalah :
1) Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mutaqawwam).
Mutaqawwam adalah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam
keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat) dan memiliki nilai (harga). Contoh
barang yang tidak mutaqawwam yaitu buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain
sebagainya.
2) Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan menimbulkan
persengketaan.
3) Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah kepada Y.
Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih hidup. Wakaf ini tidak sah,
karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain
mewakafkan barang gadai, barang curian, dan lain sebagainya.
4) Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama sepakat bahwa
harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur, khususnya untuk masjid dan
kuburan karena wakaf tidak terlaksana kecuali harta itu terpisah dan bebas
(independen). Contoh : A mewakafkan sebagian dari harta bersama untuk dijadikan
masjid atau pemakaman maka ini tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum,
kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-
batasnya.
5) Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang ditetapkan
pewakaf dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan hukum syariah/wakaf
ataupun menghambat pemanfaatan barang yang diwakafkan.

Syarat Mauquf ‘alaih


Yang dimaksud mauquf ’alaih adalah tujuan/peruntukkan wakaf. Wakaf harus
dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Ada
perbedaan pendapat dari para ahli fikih terkait dengan syarat peruntukkan wakaf yaitu :
1) Mazhab Hanafi, menyaratkan agar peruntukkan wakaf ditujukan untuk ibadah dan syiar
Islam menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan  pewakaf.
2) Mazhab Maliki, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf untuk ibadat menurut
pandangan pewakaf.
3) Mazhab Syafi’i dan Hambali, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf adalah ibadat
menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan pewakaf.
Imam Syafi’i membagi tempat penyaluran wakaf menjadi 2 bagian, yaitu :
1) Kepada orang-orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu), seperti wakaf kepada
muslim dan wakaf kepada nonmuslim tertentu-kepada kafir dzimmi dari muslim-adalah
sah, sebagaimana Syafiyah binti Huyyai istri nabi SAW telah mewakafkan kepada
saudaranya yang yahudi. Sedangkan wakaf kepada kafir harbi dan orang murtad dari
muslim tidak sah hukumnya.
2) Kepada pihak yang tidak tertentu, tujuan wakaf ini untuk memberikan wakaf kepada
pihak yang menderita kefakiran dan kemiskinan secara umum atau untuk syiar Islam
dengan tujuan ibadah adalah sah. Seperti wakaf kepada fakir miskin, mujahid, masjid,
sekolah, pengurusan jenazah, tempat penampungan anak yatim piatu dan jihad.

Syarat Shighat (Ikrar Wakaf)


Pengertian shighat adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berwakaf untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun,
shighat wakaf cukup dengan pernyataan/ikrar ijab atau penyerahan dari pewakaf tanpa
memerlukan qabul dari penerima wakaf. Pernyataan dalam bentuk ijab/penyerahan harus
dilakukan karena wakaf adalah melepaskan hak milik atas suatu benda dan manfaatnya atau
dari manfaatnya saja, dan mengalihkannya kepada pihak lain. Ijab pewakaf mengungkapkan
dengan jelas keinginan/peruntukkan wakaf dari pewakaf.
Adapun lafal shighat wakaf ada dua macam, yaitu :
1) Lafal yang jelas (sharih), dalam lafal ini, tidak ada kata yang mengandung suatu
pengertian lain kecuali wakaf. Ada tiga jenis lafal yang termasuk dalam kelompok ini
yaitu : 1. Al waqf (wakaf); 2. Al-habs (menahan); 3. Al-tasbil (berderma). Ibnu
Qudamah berkata, ”lafal-lafal yang sharih (jelas) yaitu : waqaftu (saya mewakafkan),
habistu (saya menahan harta ), dan sabbaltu (saya mendermakan).
2) Lafal kiasan (kinayah), lafal kinayah merupakan lafal yang menunjukkan beberapa
kemungkinan makna, bisa berarti wakaf bisa juga bermakna lain. Lafal sedekah atau
nazar adalah lafal kiasan jika tidak disertai dengan indikasi yang mengisyaratkan makna
wakaf.  Menurut Ibnu Qodimah , lafal-lafal kiasan semisal , ”saya bersedekah” atau
“saya abadikan”.
Syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan ialah :
1) Shighat harus munajah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya ialah shighat menunjukkan
terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah shighat ijab diucapkan atau ditulis.
Shighat harus singkat dan tidak bertele-tele, jelas, dan tegas.
2) Shighat tidak diikuti syarat batil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang menodai dasar
atau meniadakan hukum wakaf.
3) Shighat tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah
dilakukan. Tidak ada syarat yang mengikat, yang bisa mempengaruhi hakikat wakaf
dan bertentangan dengan ketentuan wakaf.
Apabila dihasilkan keuntungan dari pendayagunaan harta wakaf maka hasilnya
dipergunakan sesuai dengan peruntukkan awal ketika pewakafan itu terjadi.
Tujuan, Fungsi dan Peruntukan Wakaf
Wakaf dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebajikan,baik yang mengantarkan
seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya,baik tujuan umum maupun khusus
a. Tujuan Umum :
Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsisosial. kondisi dan
lingkungan yang berbedadi antara masing-masing individu. Adapembelajaran yang bersifat
mengikat (wajib), ada juga yang bersifatsukarela (sunnah), ada yang bersifat tetap (paten),
dan ada juga yang sekedar memberi manfaat (tidak paten). Namun demikian yang paling
utama dari semua cara tersebut, adalah mengeluarkan harta secara tetap dan langgeng,
dengan sistem yang teratur serta tujuan yang jelas. Di situlah peran wakaf yang menyimpan
fungsi sosial dalam masyarakat dapat diwujudkan.
b. Tujuan Khusus
Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangatpenting, yaitu
pengkaderkan, regenerasi, dan pengembangan sumber dayamanusia. Sebab, manusia
menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik,semuanya tidak keluar dari koridor maksud-
maksud syari‟at Islam.

Tujuan wakaf dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 4menyatakan bahwa:
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakafsesuai dengan fungsinya.
Sedangkan fungsi wakaf dalam KHI Pasal 216 adalah: Fungsi wakafadalah mengekalkan
manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuannya.Menurut Pasal 5 UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf bahwa Wakafberfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta
benda wakafuntuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum.Jadi
fungsi wakaf menurut KHI Pasal 216 dan Pasal 5 UU No. 41Tahun 2004 Tentang Wakaf
dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanyasarana dan prasarana bagi kepentingan
umum sehingga terwujudnyakesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam
hal muamalah.
Dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan dapat tertolong
kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian umatIslam yang lainnya dapat
menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umumsekaligus dapat mengambil manfaatnya.

AKUNTANSI NAZHIR
1. Pengakuan

Nazhir mengakui aset wakaf dalam laporan keuangan ketika memiliki kendali secara
hukum dan fisik atas aset wakaf tersebut.Syarat pengakuan aset wakaf dalam laporan
keuangan ketika terjadi pengalihan kendali dari wakif kepada nazhir dengan terpenuhinya
kedua kondisi berikut:
a. Telah terjadi pengalihan kendali atas aset wakaf secara hukum;
b. Telah terjadi pengalihan kendali atas manfaat ekonomis dari aset wakaf.
Jika nazhir menerima wasiat wakaf, maka nazhir tidak mengakui aset yang akan
diwakafkan di masa mendatang dalam laporan keuangan. Wasiat wakaf tidak memeniuhi
kriteria pengakuan aset wakaf yang diatur di paragraf pertama, walaupun pihak yang
memberi wasiat telah memiliki aset yang akan diwakafkan. Misalnya, seseorang berwasiat
kepada nazhir akan mewakafkan hartanya saat meninggal. Nazhir tidak mengakui aset
wakaf pada saat menerima wasiat wakaf. Nazhir baru akan mengakui aset wakaf pada saat
pihak yang berwasiat meninggal dunia dan menerima aset yang diwakafkan.
Jika nazhir menerima janji (wa’d) untuk berwakaf, maka nazhir tidak mengakui aset
yang akan diwakafkan di masa mendatang dalam laporan keuangan.Janji untuk berwakaf
tidak memenuhi kriteria pengakuan aset wakaf yang diatur di paragraf 18, walaupun dalam
bentuk janji tertulis. Misalnya, seseorang berjanji kepada nazhir akan mewakafkan sebagian
manfaat polis asuransi di masa mendatang. Nazhir tidak mengakui aset wakaf pada saat
menerima janji tersebut, karena aset yang akan diwakafkan belum menjadi milik dari pihak
yang berjanji. Nazhir baru akan mengakui aset wakaf pada saat terjadi klaim asuransi dan
menerima kas dan setara kas dari perusahaan asuransi atas pembayaran sebagian manfaat
polis asuransi.
Nazhir mengakui aset wakaf dengan jangka waktu tertentu (aset wakaf temporer) diakui
sebagai liabilitas.Penerimaan aset wakaf temporer dalam bentuk kas bukan merupakan
penghasilan, tetapi merupakan liabilitas, disebabkan aset tersebut wajib dikembalikan oleh
nazhir ke wakif di masa mendatang. Aset wakaf yang diakui sebagai penghasilan oleh
nazhir adalah manfaat yang dihasilkan oleh aset wakaf tersebut di masa mendatang berupa
imbal hasil. Misalnya, wakif mewakafkan uang sejumlah Rp1.000 selama satu tahun ke
nazhir. Imbal hasil dari dana tersebut selama satu tahun adalah Rp100. Nazhir mengakui
Rp1.000 sebagai liabilitas dan Rp100 sebagai penghasilan berupa penerimaan wakaf
temporer.
Nazhir mengakui hasil pengelolaan dan pengembangan aset wakaf sebagai tambahan
aset wakaf.Hasil pengelolaan dan pengembangan aset wakaf merupakan tambahan manfaat
ekonomis dalam bentuk tambahan aset yang bersumber dari aset wakaf yang ada. Hasil
pengelolaan dan pengembangan aset wakaf merupakan tambahan atas aset wakaf yang ada.
Nazhir mengakui penyaluran manfaat wakaf kepada mauquf alaih sebagai beban
pengurang aset wakaf.Penyaluran manfaaf wakaf terjadi ketika manfaat wakaf diterima oleh
mauquf alaih sebagaimana yang tertuang dalam akta ikrar wakaf yang bersangkutan. Dalam
hal nazhir menyerahkan manfaat wakaf kepada pihak lain untuk disampaikan kepada
mauquf alaih, maka dianggap belum melakukan penyaluran manfaat wakaf. Penyaluran
manfaat wakaf terjadi ketika pihak lain tersebut telah menyerahkan manfaat wakaf kepada
mauquf alaih yang tertuang dalam akta ikrar wakaf.
2. Pengukuran
Pada saat pengakuan awal, aset wakaf diukur sebagai berikut:
a. Aset wakaf berupa uang diukur pada nilai nominal.
b. Aset wakaf selain uang diukur pada nilai wajar.
Aset wakaf selain uang diukur pada nilai wajar saat pengakuan awal. Namun, dalam
beberapa kondisi, ketika nilai wajarnya tidak dapat diukur secara andal, maka aset wakaf
tersebut tidak diakui dalam laporan keuangan. Aset wakaf tersebut harus diungkapkan
dalam catatan atas laporan keuangan.
Jika kemudian nilai wajar aset wakaf tersebut dapat ditentukan secara andal, maka aset
wakaf tersebut diakui dalam laporan keuangan. Laporan keuangan periode sebelumnya tidak
disesuaikan dengan adanya pengakuan aset wakaf tersebut.
Aset wakaf berupa logam mulia selanjutnya diukur pada nilai wajar dan perubahannya
diakui sebagai dampak pengukuran ulang aset wakaf.Aset wakaf berupa logam mulia harus
diukur pada nilai wajar tanggal pengukuran. Jika terjadi kenaikan atau penurunan nilai
wajar, maka diakui sebagai dampak pengukuran ulang aset wakaf.
3. Penyajian
Nazhir menyajikan aset wakaf temporer yang diterima sebagai liabilitas.
4. Pengungkapan
Nazhir mengungkapkan hal-hal berikut terkait wakaf, tetapi tidak terbatas pada:
a. Kebijakan akuntansi yang diterapkan pada penerimaan, pengelolaan, dan
penyaluran wakaf;
b. Penjelasan mengenai wakif yang signifikan secara individual;
c. Penjelasan mengenai strategi pengelolaan dan pengembangan aset wakaf;
d. Penjelasan mengenai peruntukan aset wakaf;
e. Jumlah imbalan nazhir dan persentasenya dari hasil neto pengelolaan dan
pengembangan aset wakaf, dan jika terjadi perubahan di periode berjalan,
dijelaskan alasan perubahannya;
f. Rincian aset neto meliputi aset wakaf awal, aset wakaf yang bersumber dari
pengelolaan dan pengembangan aset wakaf awal, dan hasil neto pengelolaan
dan pengembangan aset wakaf;
g. Rekonsiliasi untuk menentukan dasar perhitungan imbalan nazhir meliputi:
i.Hasil neto pengelolaan dan pengembangan wakaf periode berjalan;
ii.Hasil neto pengelolaan dan pengembangan wakaf periode berjalan yang belum
terealisasi dalam kas dan setara kas pada periode berjalan;
iii. Hasil neto pengelolaan dan pengembangan wakaf periode lalu yang
terealisasi dalam kas dan setara kas pada periode berjalan.
h. Jika ada wakaf temporer, penjelasan mengenai fakta tersebut, jumlah, dan
wakif;
i. Jika ada wakaf melalui uang, penjelasan mengenai wakaf melalui uang yang
belum direalisasi menjadi aset wakaf yang dimaksud;
j. Jika ada aset wakaf yang ditukar dengan aset wakaf lain, penjelasan mengenai
hal tersebut termasuk jenis aset yang ditukar dan aset pengganti, alasan, dan
dasar hukum;
k. Jika ada hubungan pihak berelasi antara wakif, nazhir, dan/atau mauquf alaih,
maka diungkapkan:
i. Sifat hubungan;
ii. Jumlah dan jenis aset wakaf permanen dan/atau temporer;
iii. Persentase penyaluran manfaat wakaf dari total penyaluran manfaat wakaf
selama periode berjalan.
AKUNTANSI WAKIF
1. Pengakuan
Pengakuan dalam akuntansi wakaf untuk wakif menurut DE PSAK 112 mengenai
Akuntansi Wakaf, ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Wakif mengakui aset wakaf yang diserahkan secara permanen kepada nazhir sebagai
beban sebesar jumlah tercatat dari aset wakaf.
b. Wakif mengakui aset wakaf yang diserahkan secara temporer kepada nazhir sebagai aset
yang dibatasi penggunaannya.
c. Wakif tidak menghentikan pengakuan atas penyerahan aset wakaf temporer berupa kas
disebabkan nazhir berkewajiban untuk mengembalikan aset tersebut kepada wakif setelah
selesainya jangka waktu wakaf.
2. Pengukuran
Pengukuran untuk penyaluran adalah sesuai dengan yang diatur oleh UU No 41 Tahun
2004, sebesar 90% dari harta yang diwakafkan oleh wakif harus disalurkan. Ketentuan
berapa besarnya persentase yang akan disalurkan ke mauquf’alaih secara hukum fiqih pun
tidak ada. Seperti pernyataan Mas’udi penyaluran wakaf itu sangat variatif dari setiap
nazhir. Hal ini berhubungan dengan kemana fokus program kerja dari nazhir. Jadi tidak ada
ketentuan persentase penyaluran seperti zakat, namun prioritasnya tetap untuk
pemberdayaan masyarakat yang membutuhkan.

3. Penyajian
Disajikan dalam laporan keuangan wakif

4. Pengungkapan
Wakif mengungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi wakaf, tetapi tidak terbatas
pada:
a. Wakaf permanen
1). Rincian aset wakaf yang diserahkan kepada nazhir pada periode berjalan;
2). Peruntukan aset wakaf yang diserahkan kepada nazhir pada periode berjalan.

b. Wakaf temporer
1). Rincian aset wakaf yang diserahkan kepada nazhir pada periode berjalan, peruntukan,
dan jangka waktunya;
2). Penjelasan mengenai total aset wakaf temporer.

c. Hubungan pihak berelasi antara wakif, nazhir, dan/atau penerima manfaat wakaf, jika
ada, yang meliputi:
1). Sifat hubungan;
2). Jumlah dan jenis aset wakaf temporer;
3). Persentase penyaluran manfaat wakaf dari total penyaluran manfaat wakaf selama
periode berjalan.
Sedangkan jika melihat pada PSAK 109, pengungkapan yang perlu ada pada catatan atas
laporan keuangan entitas antara lain adalah:
1) Metode penentuan nilai wajar;
2) Kebijakan pembagian dana nazhir;
3) Kebijakan penyaluran wakaf/ penentuan skala prioritas;
4) Keberadaan harta wakaf/ uang wakaf yang tidak disalurkan;
5) Hasil/penggunaan dari pengelolaan wakaf produktif;
6) Rincian jumlah penyaluran dana (beban dan dana yang diterima langsung);
7) Hubungan Istimewa antara nazhir dan wakif:
a). Sifat hubungan istimewa;
b). Jumlah dan jenis aset yang disalurkan;
c). Persentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode;
d). Keberadaan dana non-halal jika ada;
e). Kinerja nazhir atas penerimaan dan penyaluran wakaf.
Laporan Keuangan Wakaf dan DE PSAK 112
Pada 22 Mei 2018 Dewan Standar Akuntansi Syariah IAI telah mengesahkan DE
PSAK 112: Akuntansi Wakaf. DE PSAK 112 diusulkan berlaku efektif pada 1 Januari 2021
dengan opsi penerapan dini.Tujuan dari DE PSAK 112 adalah untuk memberikan pengaturan
mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan atas transaksi wakaf yang
dilakukan baik oleh entitas nazhir dan wakif yang berbentuk organisasi dan badan hukum. Aset
wakaf  berupa aset tidak bergerak, seperti hak atas tanah, bangunan atau bagian bangunan di
atas tanah, tanaman dan benda lain terkait tanah, hak milik satuan rumah susun, dan aset
bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak
sewa. DE PSAK 112 mengatur bahwa aset wakaf diakui saat telah terjadi pengalihan secara
hukum dan manfaat ekonomis dari aset wakaf. Hasil pengelolaan dan pengembangan dari aset
wakaf harus diakui sebagai  tambahan aset wakaf. Basis imbalan nazhir adalah hasil
pengelolaan dan pengembangan yang sudah terealisasi (cash basis). 

1. Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode laporan


2. Laporan rincian aset wakaf pada akhir periode
3. Laporan aktivitas selama periode
4. laporan arus kas
5. Catatan atas laporan keuangan

Perbedaan laporan Keuangan DE PSAK 112 dan PSAK 1-4

DE PSAK 112 PSAK 1-4


Laporan posisi keuangan (neraca) laporan posisi keuangan pada akhir
pada akhir periode laporan periode;

Laporan rincian aset wakaf pada akhir laporan laba rugi


periode;
Laporan aktivitas selama periode; laporan perubahan modal
laporan arus kas laporan arus kas
Catatan atas laporan keuangan catatan atas laporan keuangan
Contoh Laporan Posisi Keuangan

LAPORAN POSISI KEUANGAN


NAZHIR “ABC”
Per 31 Desember 20x2 dan 20x1 31 Des
31 Des 20x2 20x1
ASET
Aset Lancar
Kas dan setara kas x x
Piutang x x
Surat berharga x x
Logam mulia x x
Aset lancar lain x x
x x
Aset Tidak Lancar
Surat berharga x x
Investasi pada entitas lain x x
Aset tetap x x
Aset takberwujud x x
Aset tidak lancar lain x x
x x
Jumlah aset x x
LIABILITAS
Liabilitas Jangka Pendek
Utang x x
Wakaf temporer jangka pendek x x
Liabilitas jangka pendek lain x x
x x
Liabilitas Jangka Panjang
Wakaf temporer jangka panjang x x
Liabilitas jangka panjang lain x x
x x
Jumlah liabilitas x x
ASET NETO
Jumlah aset neto x x
Jumlah liabilitas dan aset neto x x

4. Kesimpulan
Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT atau dapat
dikatakan juga perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.Masih cukup banyak harta benda wakaf, terutama yang berupa tanah, yang belum
dikelola secara baik dan maksimal.Untuk itu perlu dirumuskan strategi pengelolaan dan
menerapkannya dalam rangka pengembangan wakaf secara berkesinambungan.Hal ini perlu
dilakukan untuk mencapai tujuan wakaf secara umum yaitu untuk kemaslahatan manusia,
dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta yang
diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal dunia serta fungsi
sosial yang dimiliki dari wakaf, karena sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi
juga untuk kepentingan publik dan masyarakat luas. Sehingga wakaf menjadi salah satu
alternatif pemberdayaan kesejahteraan umat secara keseluruhan. Hal ini juga tidak lepas dari
peranan nadzir sebagai pihak yang mengelola wakaf untuk menciptakan wakaf yang
mempunyai potensi sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
muslimsecara optimal.

Anda mungkin juga menyukai