Anda di halaman 1dari 4

Analisis Tingkat Perkembangan GDP Pada Tahun 1995 – 2015

Gross Domestik Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan data statistik
yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi disuatu negara pada
periode tertentu. Ada dua jenis PDB yaitu atas dasar harga berlaku (PDB ADHB) dan atas dasar
harga konstan (PDB ADHK). PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar
harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan
harga pada suatu tahun tertentu (tahun dasar), dengan kata lain PDB ADHK mengoreksi angka
PDB ADHB dengan memasukkan pengaruh dari harga barang/jasa.
Dalam empat dekade terakhir (1973-2013), PDB Indonesia berdasarkan harga konstan tahun
1973 secara garis besar mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Artinya bahwa secara riil,
jumlah atau volume barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia hampir selalu meningkat sejak
1973-2013. Bahkan secara kasar, dapat dikatakan bahwa jumlah produksi barang dan jasa di
Indonesia pada tahun 2013 telah meningkat sebesar lebih dari sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan tahun 1973 (40 tahun silam). Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga mengalami banyak perubahan dan fenomena. Selama dekade 1970-an dan
1980-an, proses pembangunan mengalami banyak hambatan yang terutama disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah internasional pada dasawarsa
1980-an dan adanya resesi ekonomi dunia. Di tengah berbagai hambatan internal maupun
eksternal, Indonesia tetap mampu mencapai pertumbuhan ekonomi yang impresif. Setelah
hampir 25 tahun (1973 s/d 1997) Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang
cukup signifikan,sayangnya pada tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13%
akibat dari krisis moneter 1997.

Pada pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 1998, aktivitas perekonomian di Indonesia,
khususnya pada sektor formal, terhambat karena adanya krisis. Krisis tersebut diawali oleh
fenomena krisis finansial Asia 1997 yang dimulai pada bulan Juli 1997 di Thailand, dan
memengaruhi mata uang, bursa saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia,
sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa tersebut dikenal sebagai krisis moneter ("krismon")
di Indonesia. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah beberapa negara yang paling parah
terkena dampak krisis tersebut.

Krisis di Thailand tersebut akhirnya membawa tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara
– negara lain di wilayah Asia, terutama Indonesia. Padahal, pada masa itu, tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar,
persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi sayangnya saat itu banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dalam mata uang dolar
AS, sehingga stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek
yang telah menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini mungkin saja diperburuk oleh rasa percaya
diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang
ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri dalam menghadapi besarnya hutang swasta
pada masa pra-krisis moneter tersebut.

Selain itu, pada masa tersebut pemerintah Indonesia seperti tidak memiliki mekanisme
pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sektor swasta di Indonesia. Setelah krisis
berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar-benar menjadi masalah yang
serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar
negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Alasannya mungkin saja
karena banyak kreditur asing pada saat itu memiliki antusiasme yang tinggi dalam
meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki
inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah
besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan
terbuka, segala hal yang dimiliki Indonesia pada masa itu.

Kondisi krisis finansial tersebut diperparah pula oleh kondisi politik di Indonesia. Pada tahun
1998 krisis ekonomi bercampur ketegangan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak
tumbang. Begitu sulitnya menumbangkan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan
besar berupa kekacauan yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia.
Pelarian modal besar-besaran karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada
pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata. Karena itu, rupiah
merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi
level terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998). Akibatnya sejumlah perusahaan skala
besar di Indonesia yang sangat bergantung pada bahan baku dan/atau pemrosesan barang-barang
seperti komponen, dan pinjaman dalam jumlah yang cukup besar pada bank-bank komersil di
luar negeri, terpaksa mengurangi atau bahkan menghentikan kegiatan produksi mereka
dikarenakan biaya impor yang melonjak dalam Rupiah dan/atau meningkatnya jumlah
rupiah yang dibutuhkan untuk membayar bunga dan melunasi hutang. Dampaknya, banyak
perusahaan besar tutup, dan hal tersebut tentu saja berimplikasi pada turunnya produktivitas
perekonomian di Indonesia dikarenakan berkurangnya jumlah pelaku usaha dalam
memproduksi barang dan jasa di Indonesia. Dan dalam 4 dekade terakhir, satu-satunya titik
(dan untuk pertama kalinya sejak tahun 1970) dimana laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
bernilai negatif/mengalami penurunan, bahkan hingga mencapai 13% adalah pada tahun 1998.

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2007 meningkat sebesar 6,3 persen terhadap
tahun 2006, terjadi pada semua sektor ekonomi, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor
pengangkutan-komunikasi 14,4 persen dan terendah di sektor pertambangan-penggalian 2,0
persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2007 mencapai 6,9 persen.
Besaran PDB Indonesia pada tahun 2007 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 3.957,4 triliun,
sedangkan atas dasar harga konstan (tahun 2000) mencapai Rp 1.964,0 triliun. Secara triwulanan,
PDB Indonesia triwulan IV/2007 dibandingkan dengan triwulan III/2007 (q-to-q) menurun
sebesar minus 2,1 persen, dan bila dibandingkan dengan triwulan IV/2006 (y-on-y) tumbuh
sebesar 6,3 persen.

Dari sisi penggunaan, sebagian besar PDB digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga
yaitu sebesar 63,5 persen, konsumsi pemerintah 8,3 persen, pembentukan modal tetap bruto atau
investasi fisik 24,9 persen serta ekspor neto 4,1 persen (ekspor 29,4 persen dan impor 25,3
persen). Semua komponen PDB penggunaan mengalami pertumbuhan pada tahun 2007, dengan
pertumbuhan tertinggi pada pembentukan modal tetap bruto sebesar 9,2 persen, diikuti oleh
ekspor 8,0 persen, konsumsi rumah tangga 5,0 persen, pengeluaran konsumsi pemerintah 3,9
persen, serta impor sebesar 8,9 persen. Sumber utama pertumbuhan ekonomi 6,3 persen adalah
ekspor 3,8 persen, diikuti konsumsi rumahtangga 2,9 persen, pembentukan modal tetap bruto 2,0
persen, konsumsi pemerintah 0,3 persen serta impor 3,3 persen.

PDB per-kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2007 mencapai Rp 17.6 juta (US$ 1.946,1),
lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar Rp 15,0 juta (US$ 1.662,6), sementara
Produk Nasional Bruto (PNB) per-kapita tahun 2007 mencapai Rp 16,9 juta, juga lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya Rp 14,4 juta. Walaupun kontribusinya semakin menurun pulau
Jawa masih merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia Triwulan IV
2007 sebesar 58,2 persen. Pulau Sumatera kontribusinya sebesar 23,2 persen, Kalimantan 9,8
persen, Sulawesi 4,3 persen dan kelompok propinsi-propinsi lainnya secara keseluruhan
menyumbang 4,5 persen.

Kesimpulan

GDP Indonesia dari tahun ke tahun mengalami naik turun karena disebabkan adanya krisis
ekonomi atau ketika GDP Indonesia melonjak naik kegiatan produksi didalam negri dan
pendapatan warga negara Indonesia maupun luar negri, melonjak naik. Krisis Ekonomi terparah
yang pernah warga negara Indonesia pada tahun 1998 karena semua kebutuhan pokok melonjak
drastis, fenomena ini disebabkan adanya orang luar negri yang membeli Dollar AS yang ada di
Asia.

Anda mungkin juga menyukai