Anda di halaman 1dari 5

Kliping

Konflik Pra Pemilu

Disusun Oleh:
Nama: Aisya Gita Tirta
Kelas: XI IPS 2
No: 2
Artikel 1
Intensitas Konflik Selama Kampanye Terus Meningkat
BANDUNG,(PR).- Intensitas tendensi konflik makin meningkat menjelang hari pemungutan
suara, terutama yang menyebarkan baik secara virtual maupun secara tatap muka. Peserta
pemilu juga harus berpartisipasi menyelesaikan konflik tersebut.
"Pilpres adalah ajang politik kekuasaan yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tapi yang
terpenting, kondisi damai dan kondusif di masyarakat terus berlangsung," kata Koordinator
Task Force Jawa Barat Ni Loh Gusti Madewanti, seusai pelatihan Penguatan Partai dan
Calon Anggota Legislatif, Minggu 7 April 2019.Selain Ni Loh Gusti Madewanti, hadir juga
sebagai narasumber Training Penguatan Partai dan Calon Anggota Legislatif, antara lain
Kerkan Wigyawinata dari IRI, Loly Suhenty Komisioner Bawaslu Provinsi Jawa Barat, dan
Wawan Gunawan dari JAKATARUN.
Task Force mendorong seluruh pemangku kepentingan tidak meruncingkan segregasi atau
polarisasi di masyarakat karena pilihan politik yang berbeda, baik pada masa pra pemilu
bahkan pascapemilu. Selain itu juga mendorong mengedepankan dialog, konflik, atau cara-
cara damai lainnya jika merasa ketidaksetujuan atau tersinggung terhadap sikap, ucapan, atau
tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang memiliki keyakinan atau
pandangan politik yang berbeda.
Oleh karena itu, kata Madewanti, diperlukan pelatihan agar semua pemangku
kepentingan memahaminya. Madewanti mengatakan Training Penguatan Partai ini adalah
serangkaian seri peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh Task Force Jawa Barat untuk
memberikan awareness atau kesadaran tentang perlunya pencegahan bahaya kekerasan
ekstremisme yang berkembang dan menjalar melalui hoaks, ujaran kebencian dan kampanye
hitam. "Training ini juga salah satu bentuk upaya nyata Task Force untuk menjembatani dan
memecah kebuntuan komunikasi antar pemangku kepentingan serta mengikis birokrasi yang
rumit dalam proses pencegahan pelanggaran PEMILU. Dalam hal ini, ketika warga negara
ingin mengadukan nasibnya terkait dengan hak Politik, ia tau kemana akan diterima dan
mendapat solusi dari permasalahannya," ucapnya.
Dengan pelatihan tersebut, kata Madewanti, mendorong partai dan calon anggota legislatif
melaksanakan rekomendasi mencegak kekerasan berbasis ekstremisme yang menyebar
melalui hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam. Ditambah lagi, mereka dapat
mengupgrade pengetahuan dan informasi yang telah berkembang dari kegiatan peningkatan
kapasitas atau advokasi yang telah dilakukan bersama. Juga berbagi pengalaman kepada
semua pihak.

Buku Kampanye Sehat


Di acara tersebut, Task Force Jawa Barat merilis Buku Saku Kampanye Sehat. Kontennya
disosialisasikan kepada Partai Politik dan Calon Anggota Legislatif.
"Ini bagian untuk membangun kesadaran dari berbagai pemangku kepentingan agar tidak
melakukan kampanye buruk dan jahat,"
Kampanye buruk dan jahat yang dimaksud adalah kampanye yang menjelek-jelekkan,
memberikan informasi palsu untuk menyudutkan, memberikan cap negatif, menghasut orang
untuk diskriminasi, dan mendorong tindak kekerasan pada lawan.
Setiap peserta yang terlibat dalam Training tersebut juga berkomitmen bersama dalam
Deklarasi Pemilu Damai dan Pencegahan Kekerasan Berbasis Ekstremisme yang menyebar
melalui Hoaks, Ujaran Kebencian dan Kampanye Hitam. Deklarasi ini adalah sebuah
affirmative action yang secara langsung meningkatkan kesadaran, peran dan fungsi
pengawasan sosial di masyarakat untuk mencegah individu atau kelompok tertentu yang
bertendensi melakukan kekerasan, pelanggaran PEMILU dan pelanggaran HAM. Komisioner
Bawaslu Jabar Lolly Suhenti mengatakan pelanggaran di lapangan saat kampanye sebaiknya
dapat dicegah. Namun, memang diperlukan perwakilan Partai untuk duduk bersama dan
berdialog serta mencari solusi permasalahan yang terkait dengan kampanye atau hal lain
indikasi pelanggaran yang ditemukan di lapangan.
"Banyak hal yang disampaikan termasuk kritik terhadap kinerja BAWASLU Provinsi Jawa
Barat. Hal ini menjadi masukan penting bagi kami,” ujar Lolly.

Artikel 2
Pilpres 2019 Picu Konflik Agama dan Perpecahan Keluarga
Pilpres 2019 akan berlangsung bulan April nanti, dan selama musim kampanye berlangsung,
perpecahan dan konflik antar warga semakin banyak terjadi. Perbedaan pilihan politik telah
menciptakan konflik agama, bahkan perpecahan di dalam keluarga. Seperti yang dialami
Gayatri.Gayatri menganggap dirinya seorang wanita Muslim “normal.”
Dia mengenakan jilbab, shalat lima waktu, puasa selama bulan Ramadhan, dan secara teratur
bersedekah: semua rukun Islam.
Namun, ibu dua anak itu mengatakan beberapa anggota keluarga besarnya, terutama generasi
yang lebih tua, mengatakan dia tidak memenuhi “standar Islam” mereka. Gayatri mengatakan
semua itu dimulai setelah pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017, yang secara luas
dipandang sebagai ujian toleransi agama dan etnis di Indonesia, negara berpenduduk
mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Kampanye Pilkada Jakarta 2017 sangat bergejolak dan memecah belah, berakhir
dengan kandidat gubernur petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama diadili atas tuduhan
penistaan agama.
“Saya berbagi foto keluarga saya di grup WhatsApp. Kami semua mengenakan kemeja
kotak-kotak ala Ahok, dan salah satu dari mereka bertanya mengapa saya mendukung
keturunan Tionghoa Kristen?” kata Gayatri.
Gayatri tahu beberapa paman dan bibinya secara terbuka mendukung mantan jenderal militer
Prabowo Subianto dan partai-partai Islam konservatif. “Mereka sepenuhnya sadar bahwa
saya masih beribadah, tetapi tetap saja mereka mempertanyakan apakah saya mengikuti
ajaran yang benar,” katanya. Dia mengatakan sepertinya paman dan bibinya berpikir bahwa
mereka adalah Muslim yang lebih baik daripada yang lain. “Mereka menjadi menghakimi
dan juga dengan mudah menuduh orang lain sebagai komunis, pro-China, atau pro-Barat.”
Politik telah menciptakan konflik agama dan perpecahan dalam keluarga-keluarga di
Indonesia. Jelang Pilpres 2019 April nanti, hal ini semakin terasa. Identitas politik telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam negara dengan penduduk mayoritas Muslim
terbesar di dunia ini.
Pilpres 2019 akan berlangsung bulan April nanti, dan selama musim kampanye berlangsung,
perpecahan dan konflik antar warga semakin banyak terjadi. Perbedaan pilihan politik telah
menciptakan konflik agama, bahkan perpecahan di dalam keluarga. Seperti yang dialami
Gayatri.
Gayatri menganggap dirinya seorang wanita Muslim “normal.” Dia mengenakan jilbab,
shalat lima waktu, puasa selama bulan Ramadhan, dan secara teratur bersedekah: semua
rukun Islam.
Namun, ibu dua anak itu mengatakan beberapa anggota keluarga besarnya, terutama generasi
yang lebih tua, mengatakan dia tidak memenuhi “standar Islam” mereka. Gayatri mengatakan
semua itu dimulai setelah pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017, yang secara luas
dipandang sebagai ujian toleransi agama dan etnis di Indonesia, negara berpenduduk
mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Gayatri tidak sendirian dalam pengalamannya. Banyak orang Indonesia menghadapi
perdebatan sengit tentang pilihan-pilihan politik dalam keluarga mereka sendiri dan lingkaran
pertemanan hampir setiap hari. Hal itu semakin intensif menjelang Pilpres 2019 tanggal 17
April mendatang antara kandidat petahana Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dan
Prabowo, yang akan bertatap muka dalam debat pada hari Minggu (17/2) malam.
Nadirsyah Hosen, dosen senior hukum Islam di Universitas Monash, mengatakan bahwa
politisasi agama telah memecah-belah bangsa hingga ke tingkat akar rumput. “Apakah ini
akan bersifat sementara atau berlanjut setelah pemilihan, kita tunggu saja,” kata Hosen
kepada ABC.

Anda mungkin juga menyukai