Mochamad Fauzie
mochamadfauzie@yahoo.co.id
A. PENDAHULUAN
Muatan media massa cetak terdiri dari dua kelompok, yakni fakta dan opini.
Kedua muatan ini disampaikan secara verbal, visual maupun perpaduan di
antara keduanya. Di antara bentuk ungkapan opini secara visual adalah
gambar humor yang menyampaikan pesan kritik yang disebut Kartun
Editorial.
“Sebuah gambar sama dengan seribu kata”. Pepatah ini tepat untuk
mengatakan kelebihan kartun editorial dalam menyampaikan pesan
dibandingkan dengan teks. Disamping hemat kata, kartun editorial cenderung
lebih menarik penglihatan daripada tulisan. Sifat ringkas dan menarik ini
membuat kartun editorial efektif dalam menyampaikan pesan.
1
demikian. Masih ada di antara penerbitan pers yang tidak menyediakan ruang
kontribusi untuk kartun editorial. Mengapa?
Dari dialog informal dengan beberapa awak redaksi media massa cetak dan
beberapa kartunis terungkap, bahwa acapkali terjadi perbedaan pendapat
antara pihak redaksi dengan kartunis mengenai kriteria kartun editorial yang
baik. Pihak redaksi maupun kartunis cenderung bersikap subyektif, masing-
masing bersikukuh dengan kriteria keberhasilan yang dibuat sendiri tanpa
dasar pengetahuan yang memadai.
Ada pula sebab lain mengapa sebuah media massa cetak tidak memuat kartun
editorial, yakni khawatir akan mengundang reaksi keras pembaca.
Kekhawatiran ini dipengaruhi oleh munculnya sejumlah kasus kartun yang
menuai protes masyarakat dan pemerintah dalam tahun-tahun belakangan ini.
Media massa cetak adalah juga lembaga ekonomi, sehingga setiap bentuk
protes, seperti kecaman atau gugatan hukum, cenderung dimaknai oleh
redaksi sebagai ancaman terhadap kelangsungan penerbitan.
Dalam makalah ini akan dikaji tentang: terminologi kartun editorial, sejarah
singkat, kriteria keberhasilan, dan koridor hukumnya di Indonesia. Kriteria
keberhasilan akan ditinjau dari: aspek artistik dan aspek komunikasi. Makalah
diharapkan dapat turut menjembatani kesepahaman antara redaksi, kartunis,
masyarakat dan pemerintah tentang kartun editorial yang baik. Dengan
pengetahuan dan pemahaman dasar yang sama, perbedaan pendapat akan
menyempit dan mendorong saling pengertian dalam dialog yang lebih
berdasar dan terbuka. Sedangkan pengetahuan tentang koridor hukum,
diharapkan ikut mengikis kekhawatiran munculnya protes dari pembaca.
Dengan mengetahui rambu-rambu hukum, kartunis dan redaksi tidak perlu
takut untuk membuat dan memuat kartun editorial.
B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Terminologi
Istilah Kartun Editorial berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa
Inggris, yakni editorial yang berarti tajuk rencana, dan cartoon yang
berarti gambar humor. Bachtiar Ali (1986: 8) mengatakan, bahwa editorial
adalah alat untuk menyampaikan pemikiran yang sekaligus menerangkan
posisi atau sikap penerbitan pers yang memuatnya.
2
Sedangkan isyu, adalah topik atau berita yang aktual (sedang menjadi
perhatian sebagian besar pembaca).
Sudah barang tentu sebuah karya kartun (kartun editorial) adalah sebuah
karya pribadi, ia merupakan tanggapan atau opini subyektif terhadap
sesuatu kejadian, seseorang atau pesan tertentu.
3
waktu yang ketat, yakni pada saat-saat menjelang media massa turun
cetak. Kesegeraan ini merupakan konsekwensi logis dari keinginan untuk
mengangkat isyu aktual sampai saat perkembangan yang terbaru.
Sebagai karya yang dicerap dengan mata, kartun editorial tergolong Seni
Rupa. Ditinjau dari segi bentuk, ia tergolong seni rupa 2 dimensi, yakni
berdimensi panjang dan lebar. Diidentifikasi berdasarkan tujuan
pembuatannya, ia termasuk seni rupa terapan atau seni rupa yang dibikin
untuk memiliki fungsi tertentu, yakni menyampaikan opini.
4
mencetak menempatkan kartun editorial sebagai bagian dari cabang seni
rupa yang disebut Desain Grafis, yakni: bentuk rumusan atau proses
pemikiran untuk mentransformasikan gagasan menjadi gambar untuk
dicetak (direproduksi). Desain grafis acapkali disebut juga Desain
Komunikasi Visual (Pujiriyanto, 2005: 1-11).
a. Karikatur
Menurut The New Encyclopaedia Britanica (1986:XV:574), kata
karikatur berasal dari istilah Italia, yakni caricare yang berarti:
memuat; berisi; atau menambah nilai. Dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia, karikatur disebut sebagai salah satu bagian dari kartun.
5
cara lain, untuk melebih-lebihkan fisik yang sebenarnya dari target
mereka.
b. Kartun Canda
Kartun Canda berasal dari istilah Gag Cartoon, yang berarti kartun
lelucon. Di Indonesia, jenis kartun ini populer dengan sebutan
6
kartun murni atau kartun lepas. Kata ‘murni’ merujuk pada tujuan
kartun ini yang semata-mata melucu - tanpa bermaksud mengritik atau
mengait dengan peristiwa aktual. Sementara kata ‘lepas’ mengacu pada
status pembuatnya yang biasanya adalah kartunis lepas (freelance).
7
d. Kartun Animasi (Animated Cartoon)
Kartun Animasi lebih populer dengan sebutan film kartun, adalah
kartun-kartun yang dibuat bergerak dan bersuara. Pengertian sederhana
ini merujuk pada arti kata animated, yang berarti hidup. Jenis kartun ini
dihasilkan dengan memadukan ketrampilan menggambar kartun dengan
teknologi sinematografi dan teknologi komputer.
3. Tinjauan Sejarah
Kartun atau cartoon, pada awalnya adalah penamaan untuk sketsa pada
kertas tebal (stout paper), yang dibuat sebagai rancangan lukisan kanvas,
motif permadani, mozaik atau gambar arsitektur, yang berlaku pada
masyarakat di Eropa. Penggunaan istilah kartun untuk untuk menamai
gambar lucu atau gambar humor, baru muncul pada tahun 1841 di Inggris,
ketika Ratu Victoria meyelenggarakan lomba merancang gedung
parlemen.
Dari lomba itu diharapkan muncul sejumlah sketsa atau rancangan yang
megah dan indah, namun yang berhasil dihimpun justru gambar-gambar
yang bersifat jenaka. Salah seorang peserta lomba, John Leech, membuat
gambar lucu dan diberinya judul ‘Cartoon No.1 – Substance and Shadow’.
Gambar itu lalu dipublikasikan oleh Punch, sebuah majalah baru yang
digemari pada masa itu. Sejak itulah kata cartoon menunjuk pada karikatur
dan semua gambar humor (William Feaver: 1981, 77) .
Meskipun istilah ‘kartun’ baru muncul dalam abad ke-19, namun cikal-
bakal kartun telah ada sejak manusia ada. Gambar-gambar di dinding gua
dari jaman prasejarah dapat dimaknai sebagai cikal-bakal (prototype)
kartun. Maka setiap bangsa di berbagai belahan dunia memiliki bentuk
awal kartunnya sendiri.
Di Indonesia, bentuk awal kartun diwakili antara lain oleh wayang kulit,
terutama oleh sekawanan tokoh yang disebut Para Punakawan, yang terdiri
dari: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Bentuk tiap figur punakawan ini
menampakkan hasil penggayaan (stilasi; deformasi; eksagerasi) bentuk,
dan mengandung ragam hias dan simbol-simbol. Lebih dari itu, para
punakawan tersebut berkesan jenaka, baik bentuk fisik maupun
8
perangainya. Para Punakawan ini berperan sebagai penasihat dan pengritik
penguasa – mirip dengan fungsi kartun editorial.
Wayang kulit muncul pada awal abad ke-16, pada saat mana kerajaan-
kerajaan Islam sedang berkembang pesat, setelah Islam masuk ke
kepulauan Nusantara dalam abad ke-7. Maka dapat dimengerti, bahwa
pilihan corak gambar stilatif pada wayang kulit berada dalam paradigma
estetika Islam, yang menghindari penggambaran makhluk bernyawa secara
realistik. Tokoh yang sering disebut sebagai kreator stilasi pada wayang
kulit dan sekaligus dalang yang mahir dalam abad 16 adalah Raden Sahid
alias Sunan Kalijaga.
Di Eropa, bentuk awal kartun diperkirakan terbit pada abad ke-14, berupa
lukisan cat minyak yang mengandung humor. Ketika teknik mencetak
ditemukan menjelang abad ke-15, gambar-gambar humor mulai menyebar
ke berbagai penjuru dunia melalui buku, penerbitan pers, dan berbagai
bentuk media cetak lainnya. Dalam masa kemunculan media massa cetak
inilah, kartun editorial lahir dan menemukan bentuknya. Berikut ini adalah
beberapa pelopor kartun editorial.
a. Carracci (1568-1602)
Adalah seorang pelukis dan pengukir Italia yang pertama kali membuat
gambar-gambar deformasi wajah manusia, yang dimaksudkan sebagai
perlawanan terhadap kemapanan kaidah keindahan masa Renaisans.
Ketika karya-karyanya dibukukan, ada pengamat bernama Mosini
menyebutnya sebagai carricare (melebihkan untuk memunculkan
karakter), yang kemudian menjadi caricatura. Sejak itulah dikenal
istilah ‘karikatur’ (Randall Davies: 1928, 2; Priyanto Sunarto: 2005, 2).
9
c. Thomas Rowlandson (1757-1827)
Rowlandson lahir di Old Jewrey, London. Sebagian besar karyanya
dibuat dengan cat air dengan penguasaan teknik menggambar yang
diperoleh dari Royal Academy. Karya-karyanya menonjol dengan garis
yang halus dan bidang yang besar. Karya semacam ini memberinya
kemudahan untuk menyelesaikan gambar dengan cepat. Thomas adalah
orang pertama yang menggabungkan kartun dengan topik tajuk rencana
dan feuture, sehingga lahirlah satu cabang kartun, yaitu Kartun Editorial
(William Feaver, 1981, 48).
4. Kriteria Keberhasilan
a. Keberhasilan Dalam Aspek Artistik
Sebagai desain rupa, kartun editorial disusun dari sebagian atau semua
unsur-unsur rupa, yang meliputi: titik, garis, bidang, tekstur, gelap-
terang dan warna. Membuat desain rupa, tidak lain adalah
mengorganisir unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan desain yang
artistik atau memiliki nilai keindahan.
10
yakni: Irama, Kesatuan, Dominasi, Keseimbangan, Proporsi,
Kesederhanaan dan Kejelasan.
Irama menunjuk pada kesan selaras, teratur dan rapi. Irama dihadirkan
melalui pengulangan dan keajegan (konsistensi) bentuk. Terdapat tiga
kemungkinan ‘hubungan pengulangan’ unsur rupa yang dapat
dirancang kehadirannya sesuai dengan kebutuhan. Pertama, Repetisi,
yakni hubungan pengulangan dengan ekstrim kesamaan pada semua
unsur rupa yang digunakan. Cara ini akan menghasilkan irama yang
monoton. Kedua, Transisi, ialah hubungan pengulangan dengan
perubahan-perubahan dekat atau variasi-variasi dekat pada satu atau
beberapa unsur rupa yang dilibatkan. Cara ini akan menghasilkan irama
yang harmonis. Ketiga adalah Oposisi, yakni hubungan pengulangan
dengan ekstrim perbedaan pada satu atau beberapa unsur rupa yang
digunakan. Cara terakhir ini akan menghasilkan irama yang kontras.
11
tetap berkesan seimbang. Keseimbangan ini menghadirkan sifat
dinamis, hidup, bergerak dan in-formal.
12
diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang
mengandung pesan itu disebut decoding. Kartun Editorial yang berhasil
ditinjau dari aspek Komunikasi adalah jika encoding dan decoding
terjadi dengan efektif.
13
bagi satu orang, tapi tidak begitu lucu bagi orang lain dengan
pengetahuan dan latar hidup yang lain.
14
5. Koridor Hukum
Bagian ini dapat diartikan juga sebagai kriteria keberhasilan dari aspek
hukum. Bahwa Kartun editorial yang berhasil adalah yang berada dalam
aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat di mana kartun editorial
tersebut dipublikasikan. Sebagai karya jurnalistik, kartun editorial
merupakan bagian dari penerbitan pers atau media massa, sedangkan
pembuatnya terkatagori ‘wartawan’ – karena pekerjaannya tergolong
menyiarkan karya jurnalistik (dalam hal ini: gambar).
15
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6);
dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum
(pasal 8). Masih dalam rangka melindungi kebebasan pers, undang-undang
tersebut mengamanahkan agar dibentuk Dewan Pers (pasal 15), dengan
fungsi, antara lain: memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers. Dengan adanya Dewan Pers ini, masalah-
masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hukum oleh pers semestinya
ditangani melalui dua mekanisme yang dimungkinkan, yakni: melalui
Dewan Pers atau melalui pengadilan.
C. PENUTUP
Pesan berupa opini dalam media massa diharapkan dapat membuat pembaca
mengalami perubahan tingkah laku, seperti: menjadi lebih mengerti, lebih
sadar hukum, dan lain-lain. Perubahan tingkah laku tersebut, tidak lain adalah
proses belajar. Dalam menyampaikan opini tersebut, media massa
memerlukan saluran atau alat yang efektif.
16
Bentuk saluran opini meliputi verbal (teks), visual (gambar) dan perpaduan di
antara keduanya. Masing-masing saluran ini diharapkan berfungsi secara
optimal. Di antara bentuk saluran opini visual adalah kartun editorial, yakni:
gambar humor yang menyampaikan opini, sebagai pesan kritik atau komentar
pribadi pembuatnya dan lembaga penerbitan pers yang memuatnya, mengenai
isyu aktual yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan dibuat dalam
tekanan waktu yang ketat.
Kartun editorial merupakan karya seni rupa dan sekaligus karya jurnalistik.
Sebagai karya seni rupa, keberhasilannya dapat diukur dengan menganalisa
aspek artistiknya. Sedangkan sebagai karya jurnalistik, kartun editorial dapat
ditinjau dari aspek komunikasi dan aspek hukum.
17
Dalam aspek hukum, keberhasilan kartun editorial dianalisa berdasarkan
kesesuaiannya dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Di
Indonesia, aturan tersebut sedikitnya meliputi: Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan
Wartawan Indonesia (KEJ-PWI). Aturan ini merupakan koridor hukum bagi
kartunis. Ia melindungi dan pada saat yang sama memberi batasan tentang
kebebasan beropini dan bagaimana opini itu diekspresikan.
Betapapun aturan hukum tersebut telah berisi ketentuan yang banyak, celah
bagi tindakan tidak terpuji, tetap terbuka. Implementasi dan parameter
kepatuhan terhadap aturan hukum itu, akhirnya memang bergantung pada diri
kartunis sendiri. Oleh sebab itu, dalam pasal 16 Kode Etik Jurnalistik,
dinyatakan: penaatan Kode Etik Jurnalistik terutama berada pada hati nurani
masing-masing.
Disadari, kajian dalam makalah ini masih sangat permukaan, barangkali lebih
merupakan pengantar untuk kajian lebih lanjut secara lebih fokus dan
mendalam. Tapi mungkin cukup memadai sebagai pendorong bagi kartunis
dan redaksi media massa untuk berkata: “Mem(b)uat kartun opini? Siapa
takut?”
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Bachtiar. 1986. “Mencari Prespektif Baru Isi Surat Kabar Indonesia”,
Persuratkabaran Indonesia Dalam Era Informasi. Jakarta: Sinar Harapan.
18
Davies, Randall. 1928. “On Caricature” Caricature of Today (Ed. Goeffrey
Holme). London: The Studio LTD
Echols, John M and Shadily, Hassan. 1990. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.
Fealdman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Luwarso, Lukas (Ed.). 2004. Dialog Pers dan Hukum. Jakarta: Dewan Pers dan
UNESCO.
Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta:
Arti Bumi Intaran
Thomson, Ross and Hewison, Bill. 1986. How to Draw and Sell Cartoons. Ohio,
Cincinnati: North Light
Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Kode Etik Jurnalistik Hasil Konggres XXII, Nangroe Aceh Darussalam, 28-29
Juli 2008
Disertasi
Sunarto, Priyanto. 2005. Metafora Visual Kartun Editorial Pada Surat Kabar
Jakarta 1950-1957. Disertasi Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi
Bandung.
19
Skripsi
Supiyah, Tutik. 2007. Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan Kalijaga.
Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Majalah
Harris, Mark and Svetkey, Benjamin. 1990. “Cartoon in The News”.
Enterteinment Weekly No. 36
Dokumen Online
20