Anda di halaman 1dari 20

MEM(B)UAT KARTUN OPINI, SIAPA TAKUT?

Terminologi, Sejarah, Kriteria Keberhasilan dan Koridor Hukum


Kartun Editorial di Indonesia

Mochamad Fauzie
mochamadfauzie@yahoo.co.id

A. PENDAHULUAN

Muatan media massa cetak terdiri dari dua kelompok, yakni fakta dan opini.
Kedua muatan ini disampaikan secara verbal, visual maupun perpaduan di
antara keduanya. Di antara bentuk ungkapan opini secara visual adalah
gambar humor yang menyampaikan pesan kritik yang disebut Kartun
Editorial.

“Sebuah gambar sama dengan seribu kata”. Pepatah ini tepat untuk
mengatakan kelebihan kartun editorial dalam menyampaikan pesan
dibandingkan dengan teks. Disamping hemat kata, kartun editorial cenderung
lebih menarik penglihatan daripada tulisan. Sifat ringkas dan menarik ini
membuat kartun editorial efektif dalam menyampaikan pesan.

Kartun editorial biasanya dimunculkan secara berkala di media massa cetak.


Pemuatan yang rutin tersebut membuat corak gambar – bahkan pembuatnya,
lambat laun dikenal pembaca, sehingga menjadi salah satu penanda atau ikon
dari media bersangkutan. Dengan perkataan lain, kartun editorial turut
menyumbang pada karakter media massa cetak yang memuatnya.

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, pantaslah jika kartun editorial menjadi


karya jurnalistik yang penting dan - dari itu, dihargai. Di banyak negara
terdapat organisasi pers yang memberi penghargaan terhadap kartun editorial
terbaik. Di Indonesia, institusi serupa itu diwakili oleh Yayasan Penghargaan
Jurnalistik Adinegoro, yang setiap tahun memilih satu kartun editorial terbaik
yang pernah dimuat di media massa cetak nasional.

Perhatian dan penghargaan terhadap kartun editorial juga ditandai dengan


maraknya kajian tentang kartun editorial. Di perguruan tinggi, kartun editorial
kerap dikaji dan diminati sebagai pekerjaan atau profesi. Saat ini, sebagian
besar kartunis (pembuat kartun) yang bekerja di penerbitan pers adalah orang-
orang yang pernah mengenyam pendidikan seni rupa di perguruan tinggi.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, jumlah media massa cetak (penerbitan


pers) di Indonesia cenderung meningkat, baik yang berupa surat kabar,
tabloid ataupun majalah. Idealnya, jumlah penerbitan pers berbanding lurus
dengan jumlah kartunis editorial yang dibutuhkan. Tetapi realitasnya, tidak

    1  
demikian. Masih ada di antara penerbitan pers yang tidak menyediakan ruang
kontribusi untuk kartun editorial. Mengapa?

Dari dialog informal dengan beberapa awak redaksi media massa cetak dan
beberapa kartunis terungkap, bahwa acapkali terjadi perbedaan pendapat
antara pihak redaksi dengan kartunis mengenai kriteria kartun editorial yang
baik. Pihak redaksi maupun kartunis cenderung bersikap subyektif, masing-
masing bersikukuh dengan kriteria keberhasilan yang dibuat sendiri tanpa
dasar pengetahuan yang memadai.

Ada pula sebab lain mengapa sebuah media massa cetak tidak memuat kartun
editorial, yakni khawatir akan mengundang reaksi keras pembaca.
Kekhawatiran ini dipengaruhi oleh munculnya sejumlah kasus kartun yang
menuai protes masyarakat dan pemerintah dalam tahun-tahun belakangan ini.
Media massa cetak adalah juga lembaga ekonomi, sehingga setiap bentuk
protes, seperti kecaman atau gugatan hukum, cenderung dimaknai oleh
redaksi sebagai ancaman terhadap kelangsungan penerbitan.

Dalam makalah ini akan dikaji tentang: terminologi kartun editorial, sejarah
singkat, kriteria keberhasilan, dan koridor hukumnya di Indonesia. Kriteria
keberhasilan akan ditinjau dari: aspek artistik dan aspek komunikasi. Makalah
diharapkan dapat turut menjembatani kesepahaman antara redaksi, kartunis,
masyarakat dan pemerintah tentang kartun editorial yang baik. Dengan
pengetahuan dan pemahaman dasar yang sama, perbedaan pendapat akan
menyempit dan mendorong saling pengertian dalam dialog yang lebih
berdasar dan terbuka. Sedangkan pengetahuan tentang koridor hukum,
diharapkan ikut mengikis kekhawatiran munculnya protes dari pembaca.
Dengan mengetahui rambu-rambu hukum, kartunis dan redaksi tidak perlu
takut untuk membuat dan memuat kartun editorial.

B. PEMBAHASAN

1. Tinjauan Terminologi
Istilah Kartun Editorial berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa
Inggris, yakni editorial yang berarti tajuk rencana, dan cartoon yang
berarti gambar humor. Bachtiar Ali (1986: 8) mengatakan, bahwa editorial
adalah alat untuk menyampaikan pemikiran yang sekaligus menerangkan
posisi atau sikap penerbitan pers yang memuatnya.

Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Ernest C. Hands (dalam


Trenggonowati, 1984:12), editorial adalah ekspresi atau reaksi
kelembagaan terhadap suatu isyu yang berhubungan dengan kepentingan
umum. Ekspresi kelembagaan artinya cetusan suara atau pendapat lembaga
(penerbitan pers; media massa), yang dapat berupa komentar atau kritik.

    2  
Sedangkan isyu, adalah topik atau berita yang aktual (sedang menjadi
perhatian sebagian besar pembaca).

Tajuk rencana pada umumnya disampaikan secara verbal, ia ditulis dengan


gaya bahasa resmi, baku dan serius (FX Koesworo, 1994:110). Tetapi
dalam kartun editorial, tajuk rencana disampaikan secara visual, yakni
dalam bentuk gambar. Apapun bentuk ungkapannya, hakikat tajuk rencana
adalah “… opini yang mencerminkan pandangan penerbitan pers yang
bersangkutan.” (Kurniawan Junaedhie, 1991:61), sehingga kartun editorial
disebut juga Kartun Opini.
Agaknya, penamaan kartun editorial bertekanan pada pengertian, bahwa ia
mewakili opini editor atau lembaga penerbitan pers yang memuatnya.
Manakala opini tersebut berkenaan dengan masalah politik, orang
menyebutnya Kartun Politik. Di saat lain berkenaan dengan masalah
sosial, disebutlah ia Kartun Sosial. Demikianlah, ketiga istilah tersebut
sejatinya menunjuk pada barang yang sama.

Hakikat kartun editorial sebagai opini, berimplikasi pada kedudukannya


dalam klasifikasi artikel penerbitan pers. Isi media massa, biasanya
dibedakan menjadi 2 golongan, yakni: 1) berita dan, 2) opini. “Dalam
unsur opini inilah karikatur (maksudnya kartun editorial - red) mengisi
ruang lingkupnya…” (Subagyo Pr., 1981: iii).

Pada setiap kartun editorial, selalu terdapat tanda-tangan atau inisial


pribadi pembuatnya. Hal ini mengindikasikan, bahwa kartun editorial
diakui sebagai karya perseorangan, seperti dikatakan Th. Sumartana
(1980:xiii):

Sudah barang tentu sebuah karya kartun (kartun editorial) adalah sebuah
karya pribadi, ia merupakan tanggapan atau opini subyektif terhadap
sesuatu kejadian, seseorang atau pesan tertentu.

Dalam wujudnya itu sendiri ia sudah memuat interpretasi terhadap


kejadian yang dilukiskannya. Bentuk penampilannya sendiri sudah
memuat isi atau pesan yang hendak disampaikan….

Tentu saja kartun editorial acapkali mengandung ungkapan verbal berupa


teks, tetapi teks tersebut didesain menyatu dengan gambar dalam
menyampaikan pesan. Bahkan secara teknis, tipografi teks tersebut
‘digambar’ atau dibikin dengan mengandalkan ketrampilan tangan.
Integrasi ini membedakan kartun editorial dengan gambar ilustrasi yang
sekadar memperjelas dan menghias - dan dari itu terikat dengan,
teks/bacaan.

Keener (1992:148) mengatakan, bahwa kesegeraan adalah kunci dalam


kartun editorial. Maksudnya, kartun editorial digambar dalam tekanan

    3  
waktu yang ketat, yakni pada saat-saat menjelang media massa turun
cetak. Kesegeraan ini merupakan konsekwensi logis dari keinginan untuk
mengangkat isyu aktual sampai saat perkembangan yang terbaru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan batasan Kartun Editorial,


ialah: gambar humor yang menyampaikan opini, sebagai pesan kritik atau
komentar pribadi pembuatnya dan lembaga penerbitan pers yang
memuatnya, mengenai isyu aktual yang berhubungan dengan kepentingan
umum, dan dibuat dalam tekanan waktu yang ketat menjelang media
massa dicetak.

Gambar 1: Kartun editorial karya Lat yang mengritik kebijakan pembangunan


kota yang kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat akan tempat rekreasi.

Sebagai karya yang dicerap dengan mata, kartun editorial tergolong Seni
Rupa. Ditinjau dari segi bentuk, ia tergolong seni rupa 2 dimensi, yakni
berdimensi panjang dan lebar. Diidentifikasi berdasarkan tujuan
pembuatannya, ia termasuk seni rupa terapan atau seni rupa yang dibikin
untuk memiliki fungsi tertentu, yakni menyampaikan opini.

Sebagai gambar, pada batasan yang konvensional, kartun editorial bersifat


linier atau menempatkan garis sebagai unsur rupa yang utama. Ketika ia
dirancang untuk dimuat di media massa cetak, hubungan dengan cetak-

    4  
mencetak menempatkan kartun editorial sebagai bagian dari cabang seni
rupa yang disebut Desain Grafis, yakni: bentuk rumusan atau proses
pemikiran untuk mentransformasikan gagasan menjadi gambar untuk
dicetak (direproduksi). Desain grafis acapkali disebut juga Desain
Komunikasi Visual (Pujiriyanto, 2005: 1-11).

2. Beberapa Jenis Kartun Lain


Terkadang kartun editorial menyerupai jenis-jenis kartun lain, sehingga
sebagian masyarakat sulit mengenali dan membedakannya.
Di antara kekeliruan yang sering terjadi, adalah menggunakan secara
tertukar istilah kartun dan karikatur. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
penamaan yang berhubungan dengan kartun.

a. Karikatur
Menurut The New Encyclopaedia Britanica (1986:XV:574), kata
karikatur berasal dari istilah Italia, yakni caricare yang berarti:
memuat; berisi; atau menambah nilai. Dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia, karikatur disebut sebagai salah satu bagian dari kartun.

Gambar 2: Karikatur Elvis Presley, karya David Levine

Ciri khas karikatur ialah mendeformasi atau mendistorsi bentuk wajah


manusia. Edmund Burke Fieldman (1967:56) dalam Art as Image and
Idea, menyinggung karikatur dengan mengatakan, bahwa bentuk-
bentuk visual sindiran sering menggunakan karikatur atau dengan cara-

    5  
cara lain, untuk melebih-lebihkan fisik yang sebenarnya dari target
mereka.

Jadi, karikatur adalah penggambaran karakter lahiriah wajah seseorang


dengan cara melebih-lebihkannya. Perbedaannya dengan kartun
editorial, karikatur tidak mengandung kritik. Obyek karikatur terbatas
wajah manusia, sedangkan obyek pada kartun editorial dan kartun pada
umumnya, lebih bervariasi. Adakalanya karikatur menjadi bagian dari
kartun yang membawa pesan kritik. Untuk kartun serupa ini, penamaan
yang tepat bukan karikatur lagi, melainkan Kartun Editorial.

Gambar 3: Kartun editorial karya Jim Borgman yang memasukkan karikatur.

b. Kartun Canda
Kartun Canda berasal dari istilah Gag Cartoon, yang berarti kartun
lelucon. Di Indonesia, jenis kartun ini populer dengan sebutan

Gambar 4: Kartun canda karya Caso

    6  
kartun murni atau kartun lepas. Kata ‘murni’ merujuk pada tujuan
kartun ini yang semata-mata melucu - tanpa bermaksud mengritik atau
mengait dengan peristiwa aktual. Sementara kata ‘lepas’ mengacu pada
status pembuatnya yang biasanya adalah kartunis lepas (freelance).

c. Strip Komik dan Strip Kartun


The New Encyclopaedia Britanica (1986:575) mengartikan Strip
Komik (Comic strip) sebagai rangkaian gambar bercerita, umumnya
terdiri dari beberapa kotak gambar yang disusun secara horizontal.
Adakalanyanya cerita dalam strip komik tidak bermaksud
menyampaikan kelucuan, melainkan mengisahkan sebuah petualangan.
Untuk strip komik semacam ini, di Indonesia lebih populer dengan
sebutan ‘cergam’ – kependekan dari ‘cerita bergambar’, dan biasanya
dimuat secara bersambung, mengikuti jadwal penerbitan media massa
cetak yang memuatnya.

Gambar 5: Strip komik karya Peter O’donnel dan Neville Colvin

Strip Komik yang menyampaikan cerita lucu, disebut Strip Kartun


(cartoon strip). Tema ceritanya dapat berkaitan dengan peristiwa
aktual, tetapi sekadar mencandakannya, tanpa mengandung kritik
sosial. Ceritanya disajikan secara sekali tamat atau tidak bersambung,
dengan tokoh kartun yang sama.

Gambar 6: Strip komik karya Jim Davis

Kiranya Strip Komik dan Strip Kartun pada hakikatnya adalah


penamaan untuk cara menyajikan cerita secara kronologis atau sekuel
menjadi beberapa kotak gambar yang bersusun. Sebagai sebuah cara, ia
bisa saja digunakan untuk menyampaikan cerita yang mengandung
kritik sosial. Dalam konteks demikian, ia harus disebut kartun editorial.

    7  
d. Kartun Animasi (Animated Cartoon)
Kartun Animasi lebih populer dengan sebutan film kartun, adalah
kartun-kartun yang dibuat bergerak dan bersuara. Pengertian sederhana
ini merujuk pada arti kata animated, yang berarti hidup. Jenis kartun ini
dihasilkan dengan memadukan ketrampilan menggambar kartun dengan
teknologi sinematografi dan teknologi komputer.

Tema kartun animasi umumnya adalah cerita-cerita fiksi yang


bermaksud melucu dan atau mengisahkan petualangan. Tapi sebuah
jaringan televisi swasta di Now York, pada tahun 1990 dilaporkan telah
melakukan terobosan baru dengan menyiarkan kartun animasi
mengandung kritik sosial bermasa putar 15 detik. Kartun animasi
tersebut ditulis dalam Entertainment Weekly (1990, No. 36: 13) sebagai
animated editorial cartoon.

3. Tinjauan Sejarah
Kartun atau cartoon, pada awalnya adalah penamaan untuk sketsa pada
kertas tebal (stout paper), yang dibuat sebagai rancangan lukisan kanvas,
motif permadani, mozaik atau gambar arsitektur, yang berlaku pada
masyarakat di Eropa. Penggunaan istilah kartun untuk untuk menamai
gambar lucu atau gambar humor, baru muncul pada tahun 1841 di Inggris,
ketika Ratu Victoria meyelenggarakan lomba merancang gedung
parlemen.

Dari lomba itu diharapkan muncul sejumlah sketsa atau rancangan yang
megah dan indah, namun yang berhasil dihimpun justru gambar-gambar
yang bersifat jenaka. Salah seorang peserta lomba, John Leech, membuat
gambar lucu dan diberinya judul ‘Cartoon No.1 – Substance and Shadow’.
Gambar itu lalu dipublikasikan oleh Punch, sebuah majalah baru yang
digemari pada masa itu. Sejak itulah kata cartoon menunjuk pada karikatur
dan semua gambar humor (William Feaver: 1981, 77) .

Meskipun istilah ‘kartun’ baru muncul dalam abad ke-19, namun cikal-
bakal kartun telah ada sejak manusia ada. Gambar-gambar di dinding gua
dari jaman prasejarah dapat dimaknai sebagai cikal-bakal (prototype)
kartun. Maka setiap bangsa di berbagai belahan dunia memiliki bentuk
awal kartunnya sendiri.

Di Indonesia, bentuk awal kartun diwakili antara lain oleh wayang kulit,
terutama oleh sekawanan tokoh yang disebut Para Punakawan, yang terdiri
dari: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Bentuk tiap figur punakawan ini
menampakkan hasil penggayaan (stilasi; deformasi; eksagerasi) bentuk,
dan mengandung ragam hias dan simbol-simbol. Lebih dari itu, para
punakawan tersebut berkesan jenaka, baik bentuk fisik maupun

    8  
perangainya. Para Punakawan ini berperan sebagai penasihat dan pengritik
penguasa – mirip dengan fungsi kartun editorial.

Wayang kulit muncul pada awal abad ke-16, pada saat mana kerajaan-
kerajaan Islam sedang berkembang pesat, setelah Islam masuk ke
kepulauan Nusantara dalam abad ke-7. Maka dapat dimengerti, bahwa
pilihan corak gambar stilatif pada wayang kulit berada dalam paradigma
estetika Islam, yang menghindari penggambaran makhluk bernyawa secara
realistik. Tokoh yang sering disebut sebagai kreator stilasi pada wayang
kulit dan sekaligus dalang yang mahir dalam abad 16 adalah Raden Sahid
alias Sunan Kalijaga.

Pada masa sebelum Sunan Kalijaga, setiap adegan digambarkan dalam


satu panil, di mana figur-figur manusia yang terlibat dalam adegan tersebut
digambarkan dalam corak yang cenderung realistik. Oleh Sunan Kalijaga,
setiap figur wayang dipisahkan dari panil - sehingga setiap wayang berdiri
sendiri, dan bentuknya digayakan menjadi tidak realistik dengan diukirkan
pada kulit kerbau (Republika, 2008).

Di Eropa, bentuk awal kartun diperkirakan terbit pada abad ke-14, berupa
lukisan cat minyak yang mengandung humor. Ketika teknik mencetak
ditemukan menjelang abad ke-15, gambar-gambar humor mulai menyebar
ke berbagai penjuru dunia melalui buku, penerbitan pers, dan berbagai
bentuk media cetak lainnya. Dalam masa kemunculan media massa cetak
inilah, kartun editorial lahir dan menemukan bentuknya. Berikut ini adalah
beberapa pelopor kartun editorial.

a. Carracci (1568-1602)
Adalah seorang pelukis dan pengukir Italia yang pertama kali membuat
gambar-gambar deformasi wajah manusia, yang dimaksudkan sebagai
perlawanan terhadap kemapanan kaidah keindahan masa Renaisans.
Ketika karya-karyanya dibukukan, ada pengamat bernama Mosini
menyebutnya sebagai carricare (melebihkan untuk memunculkan
karakter), yang kemudian menjadi caricatura. Sejak itulah dikenal
istilah ‘karikatur’ (Randall Davies: 1928, 2; Priyanto Sunarto: 2005, 2).

b. William Hogarth (1697-1794).


Di antara karikaturis Inggris, William Hogarth adalah karikaturis yang
terbaik pada masanya. Karikatur dan kartunnya menampakkan
penguasaan teknik menggambar yang baik, dan pesan humornya sarat
dengan sindiran yang mudah dipahami. Masyarakat Inggris
menganggap William Hogarth adalah Bapak Karikatur Inggris (William
Feaver, 1981, hlm. 42).

    9  
c. Thomas Rowlandson (1757-1827)
Rowlandson lahir di Old Jewrey, London. Sebagian besar karyanya
dibuat dengan cat air dengan penguasaan teknik menggambar yang
diperoleh dari Royal Academy. Karya-karyanya menonjol dengan garis
yang halus dan bidang yang besar. Karya semacam ini memberinya
kemudahan untuk menyelesaikan gambar dengan cepat. Thomas adalah
orang pertama yang menggabungkan kartun dengan topik tajuk rencana
dan feuture, sehingga lahirlah satu cabang kartun, yaitu Kartun Editorial
(William Feaver, 1981, 48).

d. Honore Daumier (1808-1879).


Dilahirkan di Perancis, Daumier adalah seorang pelukis yang lebih
terkenal sebagai karikaturis. Ia banyak membuat kartun untuk majalah
Le Charivari. Kartun-kartunnya dikenal tajam menyoroti ketimpangan
sosial, penyimpangan hukum oleh para birokrat, dan skandal-skandal -
yang sedikit banyak dipengaruhi oleh masa kecilnya yang miskin dan
pengalaman bekerja di sebuah kantor juru sita di Paris. Daumier pernah
di penjara selama enam bulan karena sebuah karikaturnya yang
menggambarkan Louis Philippe sebagai raksasa (William Feaver: 1981,
74).

e. Thomas Nast (1840-1902).


Kalau Thomas Rowlandson adalah Bapak Karikaturis Inggris, maka
Thomas Nast adalah Bapak Kartun Politik Amerika. Karya-karyanya
mengritik politikus New York dengan tajam melalui majalah Harper’s
Weekly dan berhasil mempengaruhi opini publik. Di antara karya-
karyanya, yang terkenal adalah seri kartunnya tentang William Tweed -
seorang pejabat tinggi New york yang korup. Tweed digambarkan
sebagai manusia berbadan burung pemakan bangkai. Dikemudian
waktu, simbol tersebut menjadi populer di Amerika untuk mengatakan
perampok dan pencuri. Selain itu, Nast juga berhasil menciptakan
kartun keledai dan gajah, yang sampai kini lazim digunakan para
kartunis Amerika untuk melambangkan partai demokrat dan partai
republik (William Feaver: 1981, 93).

4. Kriteria Keberhasilan
a. Keberhasilan Dalam Aspek Artistik
Sebagai desain rupa, kartun editorial disusun dari sebagian atau semua
unsur-unsur rupa, yang meliputi: titik, garis, bidang, tekstur, gelap-
terang dan warna. Membuat desain rupa, tidak lain adalah
mengorganisir unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan desain yang
artistik atau memiliki nilai keindahan.

Menurut Sadjiman (2005:165-210), desain rupa yang artistik adalah


yang pengorganisasiannya menerapkan 7 Prinsip Dasar Tata Rupa,

    10  
yakni: Irama, Kesatuan, Dominasi, Keseimbangan, Proporsi,
Kesederhanaan dan Kejelasan.

Prinsip-prinsip dasar tata rupa tersebut dapat dikatakan ‘ilmiahnya


seni’, artinya suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai seni jika
dianalisis di dalamnya memiliki tujuh prinsip tersebut (Sadjiman,
2005:115)

Irama menunjuk pada kesan selaras, teratur dan rapi. Irama dihadirkan
melalui pengulangan dan keajegan (konsistensi) bentuk. Terdapat tiga
kemungkinan ‘hubungan pengulangan’ unsur rupa yang dapat
dirancang kehadirannya sesuai dengan kebutuhan. Pertama, Repetisi,
yakni hubungan pengulangan dengan ekstrim kesamaan pada semua
unsur rupa yang digunakan. Cara ini akan menghasilkan irama yang
monoton. Kedua, Transisi, ialah hubungan pengulangan dengan
perubahan-perubahan dekat atau variasi-variasi dekat pada satu atau
beberapa unsur rupa yang dilibatkan. Cara ini akan menghasilkan irama
yang harmonis. Ketiga adalah Oposisi, yakni hubungan pengulangan
dengan ekstrim perbedaan pada satu atau beberapa unsur rupa yang
digunakan. Cara terakhir ini akan menghasilkan irama yang kontras.

Kesatuan menunjuk pada ‘adanya saling hubungan’ antar unsur yang


disusun, sehingga satu sama tidak dapat dipisahkan; semua menjadi
satu (unity). Sebaliknya, ketiadaan kesatuan berarti unsur-unsur desain
tidak saling menunjang; centang-perenang; cerai-berai. Terdapat
beberapa pilihan pendekatan untuk mencapai kesatuan tersebut, yakni:
1) Kesamaan, 2) Kemiripan, 3) Keselarasan, 4) Keterikatan, 5)
Keterkaitan-keterkaitan, dan 6) Kerapatan.

Dominasi menunjuk pada keberadaan pusat perhatian; penarik pandang;


penekanan; pengarah pandang; pusat pandang; fokus. Tujuan
menghadirkan dominasi adalah: menarik perhatian, menghilangkan
kebosanan, memecah keberaturan. Jika prinsip irama menuntut
keberaturan melalui pengulangan, maka prinsip dominasi mencegah
keberaturan dari kesan membosankan, yakni dengan menyeruakkan
sesuatu yang berbeda di antara bentuk-bentuk yang diulang.

Keseimbangan mengacu pada suatu keadaan di mana semua bagian


karya tidak ada yang lebih terbebani dari bagian yang lainnya.
Dikatakan seimbang, jika pada semua bagian karya bebannya sama,
sehingga memberi rasa tenang dan enak dilihat. Beberapa pilihan
keseimbangan, antara lain: 1) Keseimbangan Simetri, jika ruang
sebelah kiri dan kanan sama dan sebangun atau setangkup.
Keseimbangan ini mengesankan sifat formal, tenang, statis, konservatif
dan berwibawa; 2) Keseimbangan Asimetri, yakni ruang kiri dan kanan
tidak memiliki beban sama - besaran maupun bentuk rautnya, tetapi

    11  
tetap berkesan seimbang. Keseimbangan ini menghadirkan sifat
dinamis, hidup, bergerak dan in-formal.

Prinsip Proporsi menunjuk pada usaha untuk menghadirkan keserasian


dengan cara merumuskan skala; rasio; perbandingan; proporsi, yang
ideal - baik ditetapkan menurut perhitungan matematis atau menurut
perasaan. Idealisasi proporsi demikian telah dilakukan orang sejak masa
lampau, misalnya pada penetapan proporsi bangunan, patung manusia,
dan ruang dwimatra (tafril; bidang datar). Mac Nally (Polly Keener,
1992:161) dan banyak kartunis, gemar menggambar di atas tafril yang
proporsi panjang dan lebarnya adalah 2:3. Proporsi demikian sudah
dikenal sejak jaman Yunani dengan nama The Golden Oblong.

Menggambar kartun adalah membuat penggayaan, penyederhanaan,


pemiuhan atau pendeformasian bentuk. Ketrampilan ini dapat dicapai
dengan lebih baik jika kartunisnya lebih dulu menguasai ketrampilan
menggambar bentuk, yakni menggambar obyek dalam proporsi yang
realistik. Meskipun tidak mutlak, namun penguasaan gambar bentuk
akan memudahkan kartunis dalam menggayakan bentuk dan
menemukan proporsi dan bentuk kartun yang serasi dan lentur.

Kesederhanaan menunjuk pada kondisi desain rupa yang ‘tidak ‘lebih


dan tidak kurang’. Jika ditambah menjadi ruwet, kalau dikurangi terasa
ada yang hilang. Sederhana bukan berarti harus sedikit, tapi yang tepat
adalah: ‘pas’.

Kejelasan menunjuk pada kondisi di mana sebuah desain rupa mudah


dimengerti dan tidak memberi arti yang mendua (ambigu), apalagi
banyak arti.

b. Keberhasilan Dalam Aspek Komunikasi


Proses komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari sumber pesan
melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan,
saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses
komunikasi (Sadiman, 1990:11-12). Kedudukan kartun editorial dalam
proses komunikasi adalah sebagai salah satu komponen proses
komunikasi, yakni sebagai saluran, perantara atau media. Adapun pesan
yang akan dikomunikasikan adalah opini, sumber pesannya adalah
kartunis atau lembaga penerbitan pers, dan penerima pesannya adalah
pembaca.

Pesan berupa opini itu dituangkan kartunis ke dalam simbol-simbol


komunikasi visual berwujud gambar. Proses penuangan pesan ke dalam
simbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima
pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga

    12  
diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang
mengandung pesan itu disebut decoding. Kartun Editorial yang berhasil
ditinjau dari aspek Komunikasi adalah jika encoding dan decoding
terjadi dengan efektif.

Pesan dalam kartun editorial diharapkan dapat membuat pembaca


mengalami perubahan tingkah laku, seperti: menjadi lebih mengerti,
lebih sadar hukum, dan lain-lain. Perubahan tingkah laku, tidak lain,
adalah ‘proses belajar’. Proses belajar melalui interaksi dengan gambar,
adalah proses belajar melalui mata.

Francis M Dwyer (dalam Pujiriyanto, 2005:6) menggambarkan bahwa


manusia belajar 1% dilakukan melalui indera perasa, 1,5% melalui
sentuhan, 3,5% melalui penciuman, 11% melalui pendengaran dan 83%
melalui penglihatan. Bahkan menurut Baugh (dalam Azhar Arsyad,
2009:10), hasil belajar seseorang yang didapat melalui indera pandang
mencapai 90%.

Sebagai gambar, kartun editorial termasuk media visual yang disebut


grafis. Menurut Arif S. Sadiman (1990: 28-29), grafis berpotensi
menarik perhatian dan memperjelas sajian ide. Lebih khusus gambar, di
antara kelebihannya dibanding media verbal semata, adalah: ia lebih
memudahkan untuk menunjukkan pokok masalah, dapat mengatasi
batasan ruang dan waktu dalam menghadirkan obyek dan dapat
mengatasi keterbatasan pengamatan. Dalam konteks gambar tersebut
adalah kartun, masih menurut Arif S. Sadiman (1990: 47), ia memiliki
kemampuan yang besar untuk menarik perhatian, mempengaruhi sikap
atau tingkah-laku. Kartun biasanya menangkap esensi pesan yang harus
disampaikan dan menuangkannya ke dalam gambar sederhana, tanpa
detail, dengan menggunakan simbol-simbol serta karakter yang mudah
dikenal dan dimengerti dengan cepat.

Opini dalam kartun editorial disampaikan dengan cara-cara humor.


Dengan perkataan lain, opini dan humor secara berkelindan membentuk
satu kesatuan pesan kritik. Maka, jika berhasil memahami humornya
dengan sendirinya berhasil menangkap opininya.

Persoalannya, menurut Thomson dan Hewison (1986:9), humor itu


sangat subyektif, tidak ada dua orang yang memiliki tanggapan yang
sama terhadap satu stimulus humor, sebab setiap orang memiliki
akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Keener
(1992:31) sependapat dengan Thomson, bahwa kualitas ‘lucu’ itu
sangat individual. Dalam konteks humor tersebut adalah kartun, tingkat
kelucuan kartun dipengaruhi oleh seberapa dekat kartun itu berelasi
dengan kehidupan pemandangnya. Maka, sebuah kartun mungkin lucu

    13  
bagi satu orang, tapi tidak begitu lucu bagi orang lain dengan
pengetahuan dan latar hidup yang lain.

Dalam proses komunikasi, decoding memang tidak selalu berhasil, dan


tingkat keberhasilan pada tiap individu itu tidak sama. Penafsiran yang
gagal atau kurang berhasil, berarti kegagalan dalam memahami apa
yang dibaca atau diamati. Keener, Thomson dan Hewison telah
menghubungkan tingkat keberhasilan komunikasi humor dengan
tingkat kedekatan antara humor dengan kekayaan pengetahuan dan
pengalaman hidup penerima pesan humor.

Gambar 7: Kartun editorial karya Priyanto Sunarto, yang


menggambarkan kebingungan pemilih dalam Pemilihan
Umum Indonesia 1999.

Sadiman (1990: 13-14) memetakan penghambat proses komunikasi ke


dalam tiga faktor, yakni: faktor psikologis, faktor kultural dan faktor
lingkungan. Faktor psikologis menunjuk pada usia, minat, sikap
kepercayaan, inteljensi dan pengetahuan. Faktor kultural meliputi adat-
istiadat, norma-norma sosial dan nilai-nilai panutan. Faktor lingkungan
menunjuk pada situasi dan kondisi di mana komunikasi berlangsung.
Penerima pesan adalah individu dengan ketiga faktor, sehingga
mengupayakan humor yang berhasil adalah membuat kaitan yang
sedekat mungkin antara humor dengan ketiga faktor tersebut.

    14  
5. Koridor Hukum
Bagian ini dapat diartikan juga sebagai kriteria keberhasilan dari aspek
hukum. Bahwa Kartun editorial yang berhasil adalah yang berada dalam
aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat di mana kartun editorial
tersebut dipublikasikan. Sebagai karya jurnalistik, kartun editorial
merupakan bagian dari penerbitan pers atau media massa, sedangkan
pembuatnya terkatagori ‘wartawan’ – karena pekerjaannya tergolong
menyiarkan karya jurnalistik (dalam hal ini: gambar).

Pers, termasuk kartunis editorial di dalamnya, memiliki kebebasan atau


kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat yang dijamin oleh Pasal
28 Undang-Undang Dasar 1945, sebagai wujud kedaulatan rakyat yang
menjadi unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang demokratis. Akan tetapi, kebebasan pers
bukan kebebasan yang tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh etika, nilai
sosial, kode etik jurnalistik, peraturan perundang-undangan, dan hak azasi
manusia setiap warna negara.

Batas-batas dan wilayah gerak kebebasan pers dapat dibedakan ke dalam


dua hal (Syamsul Mu’arif, 2004:5-6), yaitu:
1) Ketentuan-ketentuan yang bersifat mewajibkan atau melarang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sebagaimana diatur dalam
kode etik jurnalistik, dan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku
2) Acuan dan arah yang memandu untuk mewujudkan kehidupan yang
lebih baik seperti: menegakkan keadilan dan kebenaran, meningkatkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga
keutuhan bangsa dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat, bangsa
dan negara.

Di Indonesia, ketentuan yang mengatur pers adalah Kode Etik Jurnalistik


Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI) dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1999. Dalam ketentuan umum undang-undang
tersebut dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik, meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala
jenis saluran yang tersedia.

Tentang perlindungan terhadap kebebasan pers, Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, antara lain menyatakan: kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warganegara (pasal 1); terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau palarangan
penyiaran (pasal 4); melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran

    15  
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6);
dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum
(pasal 8). Masih dalam rangka melindungi kebebasan pers, undang-undang
tersebut mengamanahkan agar dibentuk Dewan Pers (pasal 15), dengan
fungsi, antara lain: memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan
dengan pemberitaan pers. Dengan adanya Dewan Pers ini, masalah-
masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hukum oleh pers semestinya
ditangani melalui dua mekanisme yang dimungkinkan, yakni: melalui
Dewan Pers atau melalui pengadilan.

Di samping memuat ketentuan tentang perlindungan terhadap kebebasan


pers, Undang-Undang tersebut juga menyatakan sejumlah kewajiban yang
menjadi koridor atas kebebasan pers, antara lain: Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak
bersalah (pasal 5); memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (pasal 7).

Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawan Peraturan


ini antara lain menyatakan batasan wartawan Indonesia, yakni: beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat
kepada Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, menjunjung harkat,
martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi kepada kepentingan
bangsa dan negara serta terpercaya dalam mengemban profesinya (Pasal
1).

Tentang batasan pemberitaan dan menyatakan pendapat, dinyatakan:


wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil,
mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan
fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini, agar
disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya (pasal 5);
menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya
jurnalistik (termasuk gambar), yang merugikan nama baik seseorang,
kecuali menyangkut kepentingan umum (pasal 6); tidak melakukan
tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut
sumbernya (pasal 12).

C. PENUTUP

Pesan berupa opini dalam media massa diharapkan dapat membuat pembaca
mengalami perubahan tingkah laku, seperti: menjadi lebih mengerti, lebih
sadar hukum, dan lain-lain. Perubahan tingkah laku tersebut, tidak lain adalah
proses belajar. Dalam menyampaikan opini tersebut, media massa
memerlukan saluran atau alat yang efektif.

    16  
Bentuk saluran opini meliputi verbal (teks), visual (gambar) dan perpaduan di
antara keduanya. Masing-masing saluran ini diharapkan berfungsi secara
optimal. Di antara bentuk saluran opini visual adalah kartun editorial, yakni:
gambar humor yang menyampaikan opini, sebagai pesan kritik atau komentar
pribadi pembuatnya dan lembaga penerbitan pers yang memuatnya, mengenai
isyu aktual yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan dibuat dalam
tekanan waktu yang ketat.

Sebagai gambar, kartun opini cenderung lebih menarik penglihatan pembaca


daripada teks. Telah dikemukakan, bahwa manusia lebih cepat belajar malalui
media visual, dan di antara berbagai media visual, gambar memiliki
kelebihan-kelebihan dibanding media verbal. Lebih dari potensinya sebagai
saluran opini yang efektif, kartun editorial juga turut menyumbang pada
pembentukan karakter media massa cetak yang memuatnya. Dengan
kelebihan-kelebihan ini, kartun editorial pantas untuk diupayakan dan
dihargai keberadaannya.

Terdapat fakta, bahwa tidak semua media massa mengakomodasi


kemunculan kartun editorial. Di antara penyebabnya adalah adanya
perbedaan pendapat antara kartunis (pembuat kartun) dengan redaksi tentang
kriteria keberhasilan kartun editorial. Di samping itu, ada kekhawatiran
kartun editorial akan mengundang reaksi keras pembaca.

Kartun editorial merupakan karya seni rupa dan sekaligus karya jurnalistik.
Sebagai karya seni rupa, keberhasilannya dapat diukur dengan menganalisa
aspek artistiknya. Sedangkan sebagai karya jurnalistik, kartun editorial dapat
ditinjau dari aspek komunikasi dan aspek hukum.

Analisa aspek artistik dalam kartun editorial beranjak dari pemahaman,


bahwa kartun editorial adalah desain rupa yang disusun dari unsur-unsur
rupa, seperti: titik, garis, bidang, tekstur, gelap-terang dan warna. Desain rupa
yang artistik adalah desain yang pengorganisasian unsur-unsurnya
menerapkan 7 Prinsip Dasar Tata Rupa, yang terdiri dari: Irama, Kesatuan,
Dominasi, Keseimbangan, Proporsi, Kesederhanaan dan Kejelasan.

Analisa aspek komunikasi dalam kartun editorial beranjak dari pengertian


tentang kedudukan kartun editorial dalam proses komunikasi, yakni sebagai
saluran pesan. Adapun pesan yang dikomunikasikan adalah humor dan opini.
Sumber pesannya adalah kartunis atau lembaga penerbitan pers, dan penerima
pesannya adalah pembaca. Pesan berupa humor dan opini dituangkan kartunis
ke dalam simbol-simbol komunikasi berwujud gambar. Selanjutnya penerima
pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga diperoleh
pesan. Proses ini disebut encoding-decoding, yang dapat berjalan dengan
efektif jika memiliki korelasi dengan tiga faktor, yakni: psikologis, kultural
dan lingkungan.

    17  
Dalam aspek hukum, keberhasilan kartun editorial dianalisa berdasarkan
kesesuaiannya dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Di
Indonesia, aturan tersebut sedikitnya meliputi: Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik Persatuan
Wartawan Indonesia (KEJ-PWI). Aturan ini merupakan koridor hukum bagi
kartunis. Ia melindungi dan pada saat yang sama memberi batasan tentang
kebebasan beropini dan bagaimana opini itu diekspresikan.

Betapapun aturan hukum tersebut telah berisi ketentuan yang banyak, celah
bagi tindakan tidak terpuji, tetap terbuka. Implementasi dan parameter
kepatuhan terhadap aturan hukum itu, akhirnya memang bergantung pada diri
kartunis sendiri. Oleh sebab itu, dalam pasal 16 Kode Etik Jurnalistik,
dinyatakan: penaatan Kode Etik Jurnalistik terutama berada pada hati nurani
masing-masing.

Makalah ini diharapkan dapat turut menjembatani kesepahaman antara


redaksi dan kartunis, bahkan masyarakat dan pemerintah, tentang kriteria
keberhasilan kartun editorial yang baik. Teristimewa berkenaan dengan
koridor hukum, dengan mengetahui, memahami dan menaati ketentuan
hukum yang ada dan solusi hukum atas kasus yang mungkin terjadi, kiranya
kartunis tidak perlu takut membuat kartun editorial. Di pihak lain, redaksi
media massa pun tidak perlu takut untuk memuatnya. Sudah semestinya
kartun editorial diberi tempat untuk ikut memperkaya menu isi media massa
kita. Kehadiran kartun editorial dengan sendirinya akan meningkatkan fungsi
pers sebagai alat kontrol sosial dan, pada saat yang sama, akan mendorong
perkembangan kartun editorial sebagai cabang seni rupa di Indonesia.

Disadari, kajian dalam makalah ini masih sangat permukaan, barangkali lebih
merupakan pengantar untuk kajian lebih lanjut secara lebih fokus dan
mendalam. Tapi mungkin cukup memadai sebagai pendorong bagi kartunis
dan redaksi media massa untuk berkata: “Mem(b)uat kartun opini? Siapa
takut?”

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Bachtiar. 1986. “Mencari Prespektif Baru Isi Surat Kabar Indonesia”,
Persuratkabaran Indonesia Dalam Era Informasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Antariksa, GP, Lapian, AB dan T, Agus Dermawan. 1989. “Kartun” Ensiklopedi


Nasional Indonesia, VII: 201-204. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka

Arsyad, Azhar. 2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada

    18  
Davies, Randall. 1928. “On Caricature” Caricature of Today (Ed. Goeffrey
Holme). London: The Studio LTD

Echols, John M and Shadily, Hassan. 1990. Kamus Inggris – Indonesia. Jakarta:
PT Gramedia.

Fealdman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

Feaver, William. 1981. Masters of Caricature. London: George Weidenfeld and


Nicolson Limited.

Keener, Polly. 1992. Cartooning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Luwarso, Lukas (Ed.). 2004. Dialog Pers dan Hukum. Jakarta: Dewan Pers dan
UNESCO.

Pr., Subagyo. 1981. “Prakata”, Pramono: Karikatur-Karikatur 1970-1981.


Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Pujiriyanto. 2005. Desain Grafis Komputer. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Sadiman, Arif S. 1990. Media Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali.

Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2005. Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain. Yogyakarta:
Arti Bumi Intaran

Sumartana, Th. 1980. “Bayangan 13 Tahun Indonesia di Mata GM Sudarta”, GM


Sudarta: Indonesia 1967-1980. Jakarta: PT Gramedia.

Thomson, Ross and Hewison, Bill. 1986. How to Draw and Sell Cartoons. Ohio,
Cincinnati: North Light

Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Kode Etik Jurnalistik Hasil Konggres XXII, Nangroe Aceh Darussalam, 28-29
Juli 2008

Disertasi
Sunarto, Priyanto. 2005. Metafora Visual Kartun Editorial Pada Surat Kabar
Jakarta 1950-1957. Disertasi Ilmu Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi
Bandung.

    19  
Skripsi
Supiyah, Tutik. 2007. Pendidikan Islam Menurut Pemikiran Sunan Kalijaga.
Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Trenggonowati, Silvia. 1984. “Fungsi Kartun Editorial dalam Surat Kabar”.


Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Majalah
Harris, Mark and Svetkey, Benjamin. 1990. “Cartoon in The News”.
Enterteinment Weekly No. 36

Coren, Alan. “The Passing of Punch” Time 20 April 1992.

Dokumen Online

Sunan Kalijaga, http://sunatullah.com/wali-songo/sunan-kalijaga.html

Sunan Kalijaga Vs Kejawen, http://forum.upi.edu/index.php/v3/index.php?


topic=6100.0Forum

Sejarah Dakwah Sunan Kalijaga, http://sejarahkita.co.cc./2009/10/sejarah-


dakwah-sunan-kalijaga.html

Wayang Berperan Dalam Penyeban Islam di Indonesia. Diunduh 01 Juli 2010


dari http://koran.republika.co.id/berita/6692/Wayang_Berperan_Dalam_
Penyebaran_Islam_di_Indonesia

Jakarta, 12 Oktober 2010

    20  

Anda mungkin juga menyukai