GAMBARAN KLINIS
Karakteristik Umum
Karakteristik temuan klinis pada pasien dengan periodontitis kronis yang tidak
terawat, diantaranya adalah akumulasi plak supragingival dan subgingival (seringkali
diasosiasikan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi gingiva, pembentukan poket,
kehilangan perlekatan periodontal, penurunan tulang alveolar, dan supurasi okasional
(Gambar 16-1). Pada pasien dengan oral hygiene buruk, gingiva umumnya dapat
mengalami pembengkakan ringan hingga sedang dan mengalami perubaha warna
(pucat-magenta). Hilangnya stippling gingiva dan perubahan topografi permukaan
yang terjadi dapat meliputi perubahan margin gingiva menjadi tumpul atau
menggulung dan papila yang datar atau cratered.
Gambar 16-1. Gambaran klinis periodontitis kronis pada pasien berusia 49th disertai
home care oral yang buruk dan tidak ada perawatan dental yang pernah dilakukan.
Jumlah plak dan kalkulus yang berlimpah berhubungan dengan margin gingiva yang
berwarna merah, bengkan, dan edema. Dapat terlihat resesi gingiva yang disebabkan
hilangnya perlekatan dan penurunan tulang. Terdapat pula perdarahan spontan dan
eksudat gingival crevicular fluid dapat terlihat. Stippling gingiva menghilang
Gambar 16-2. Periodontitis kronis lokalisata pada pasien perempuan usia 42th. A,
gambaran klinis gigi anterior menunjukan plak dan inflamasi minimal. B, radiografi
menunjukan penurunan tulang angular, vertikal, lokalisata pada sisi distal gigi molar
pertama kiri RA. C, eksposur bedah defek vertikal (angular) yang berkaitan dengan
akumulasi plak kronis dan inflamasi pada furkasi distobukal.
Gambar 16-3. Periodontitis kronis generalisata pada pasien perempuan berusia 38 tahun
dengan riwayat merokok 1 pak/hari selama 20th. A, gambaran klinis menunjukan plak
dan inflamasi minimal. Probing hanya menunjukan sedikit perdarahan, dimana hal
tersebut umum terjadi pada perokok. Pasien mengeluhkan spacing antara insisif RA
kanan yang berkaitan dengan kehilangan perlekatan dan penurunan tulang yang advance.
B, radiografi menunjukan pola penurunan tulang horizintal yang generalisata dan parah.
Gigi molar RA dan RB sudah hilang akibat penyakit yang sudah advance serta
keterlibatan furkasi.
Distribusi Penyakit
Periodontitis kronis dianggap sebagai penyakit site-specific. Tanda klinis
periodontitis kronis – inflamasi, pembentukan poket, kehilangan perlekatan, dan
penurunan tulang – dipercaya disebabkan oleh efek langsung dan site-specific dari
akumulasi plak subgingival. Akibat efek lokal tersebut, pembentukan poket dan
kehilangan serta penurunan tulang dapat terjadi pada salah satu permukaan gigi
sementara permukaan lainnya dapat tetap mempertahankan level perlekatan yang
normal. Sebagai contoh, permukaan proksimal dengan akumulasi plak kronis mungkin
mengalami kehilangan perlekatan sementara permukaan fasial yang bebas plak pada
gigi yang sama akan terbebas dari penyakit.
Selain sifatnya yang site-specific, periodontitis kronis dapat dikategorikan
sebagai lokalisata, yaitu ketika hanya terdapat beberapa area yang mengalami
kehilangan perlekatan dan penurunan tulang, atau generalisata, yaitu ketika terdapat
banyak area yang terkena, sebagai berikut:
Periodontitis lokalisata: periodontitis dianggap bersifat lokalisata ketika hanya
terdapat <30% area dalam mulut yang mengalami kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang (Gambar 16-2).
Periodontitis generalisata: periodontitis dianggap bersifat generalisata ketika
terdapat >30% area dalam mulut yang mengalami kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang (Gambara 16-3).
Pola penurunan tulang yang terlihat pada periodontitis kronis dapat berupa pola
vertikal (angular), yaitu ketika kehilangan perlekatan dan penurunan tulang pada salah
satu permukaan gigi lebih besar dibandingkan permukaan di sebelahnya (Gambar 16-
2,C), atau horizontal, yaitu ketika kehilangan perlekatan dan penurunan tulang
berlangsung pada kecepatan yang sama pada sebagian besar permukaan gigi (Gambar
16-3, B). Penurunan tulang vertikal diasosiasikan dengan pembentukan poket
intrabony. Penurunan tulang horizontal diasosiasikan dengan poket suprabony.
Keparahan Penyakit
Keparahan destruksi periodontium yang terjadi akibat periodontitis kronis
biasanya dianggap sebagai suatu fungsi terhadap waktu. Seiring dengan meningkatnya
usia, kehilangan perlekatan dan penurunan tulang akan semakin prevalen serta semakin
parah karena terjadi akumulasi destruksi. Keparahan penyakit dapat dideskripsikan
sebagai slight (mild), moderate, dan severe (lihat Bab 4). Istilah tersebut dapat
digunakan untuk mendeskripsikan keparahan tulang pada seluruh bagian mulut atau
hanya untuk sebagian mulut (cth: kuadran, sextan) atau status penyakit pada gigi
individu, sbb:
Slight (mild) periodontitis: destruksi periodontal umumnya dianggap slight atau
ringan jika kehilangan perlekatan klinis yang terjadi hanya 1-2mm.
Moderate periodontitis: destruksi periodontal dianggap moderate jika terjadi
kehilangan perlekatan klinis 3-4mm.
Severe periodontitis: destruksi periodontal dianggap sebagai severe (berat) jika
kehilangan perlekatan klinis yang terjadi >5mm.
Gejala
Pasien mungkin pertama kali menyadari kondisi periodontitis kronis yang
dideritanya melalui pengamatan pada gusi yang berdarah ketika menyikat gigi atau
makan; saat menyadari terdapat ruang pada gigi akibat pergeseran gigi; atau ketika gigi
menjadi goyang. Periodontitis kronis biasanya tidak menyebabkan sakit sehingga
pasien mungkin sepenuhnya tidak menyadari bahwa mereka mengidap penyakit
tersebut dan mungkin menyebabkan pasien tidak mencari perawatan dan menerima
rekomendasi perawatan. Selain itu, respon negatif pada pertanyaan, seperti “apakah
anda mengalami rasa sakit?” tidak cukup untuk mengeliminasi kecurigaan akan
penyakit periodontitis. Kadang kala, rasa sakit dapat terjadi ketika tidak terdapat karies
yang disebabkan oleh tereksposnya akar yang sensitif terhadap panas, dingin, atau
keduanya. Area nyeri tumpul yang terlokalisir yang terkadang beradiasi ke dalam
rahang telah diasosiasikan dengan periodontitis. Adanya impaksi makanan dapat
memperparah ketidaknyamanan pasien. Nyeri gingiva atau “rasa gatal” dapat juga
ditemui.
Progres Penyakit
Para pasien tampaknya memiliki kerentanan yang sama terhadap periodontitis
kronis yang dipicu plak selama masa hidupnya. Kecepatan progres penyakit ini
biasanya lambat tetapi dapat dimodifikasi oleh keadaan sistemik atau lingkungan serta
faktor kebiasaan. Onset periodontitis kronis dapat terjadi kapanpun, dan gejala pertama
dapat diamati pada masa dewasa muda ketika terdapat akumulasi plak dan kalkulus
kronis. Karena progresnya yang lambat, periodontitis kronis biasanya akan menjadi
signifikan ketika pasien berusia ≥30 tahun.
Periodontitis kronis biasanya tidak ber progres dengan kecepatan yang sama
pada seluruh area yang terpengaruh dalam mulut. Beberapa area yang terlibat dapa
tetap statis untuk periode yang lama sementara area lainnya dapat ber-progres dengan
cepat. Lesi progresif yang lebih cepat seringkali terdapat di area interproksimal dan
dapat diasosiasikan dengan area yang akumulasi plaknya lebih banyak serta sulit untuk
dilakukan kontrol plak (cth: area furkasi, margi restorasi yang overhang, area gigi yang
malposisi, atau area yang mengalami impaksi makanan).
Beberapa model telah dikemukakan untuk mendeskripsikan kecepatan progresi
penyakit. Pada model-model tersebut, progres diukur dengan cara menentukan jumlah
kehilangan perlekatan selama periode waktu tertentu, sbb:
• Continous model mengemukakan bahwa progres penyakit dianggap lambat dan
kontinu jika area yang terlibat menunjukan kecepatan progresi destruksi yang
konstan selama durasi penyakit tersebut.
• Random atau episodic-burst model, mengemukakan bahwa progres penyakit
periodontal berupa destruksi short burst yang diikuti periode tanpa destruksi.
Pola penyakit ini acak sesuai dengan area gigi yang terpengaruh dan kronologi
proses penyakit.
• Asynchronosus, multiple-burst model mengemukakan bahwa destruksi
periodontal akan terjadi di sekeliling gigi yang terkena selama periode tertentu
dalam hidup dan aktivitas burst akan diselingi oleh periode inaktivitas atau
remisi. Kronologi burst penyakit tersebut bersifat asynchronous untuk masing-
masing gigi atau pada sekelompok gigi.
Prevalensi
Periodontitis kronis akan meningkat prevalensi dan keparahannya seiring
dengan usia, dan umumnya memengaruhi laki-laki dan perempuan dengan sama rata.
Periodontitis merupakan penyakit yang berasosiasi dengan usia, bukan berhubungan
dengan usia. Dengan kata lain, umur individu bulankan penyebab meningkatnya
prevalensi penyakit ini, tetapi prevalensi akan meningkat seiring dengan semakin
lamanya jaringan periodontal diinvasi oleh akumulasi plak.
Faktor Lokal
Akumulasi plak pada gigi dan permukaan gingivia di dentogingival junction
dianggap sebagai agen inisiasi primer pada etiologi gingivitis dan periodontitis kronis.
Kehilangan perlekatan dan penurunan tulang diasosiasikan dengan meningkatnya
jumlah organisme gram negatif pada biofilm plak subgingiva disertai meningkatnya
organisme yang diketahui bersifat sangat patogen dan virulen. Porphyromonas
gingivalis (sebelumnya dikenal sebagai Bacteroides gingivalis), T annerella forsythia
(sebelumnya dikenal sebagai Bacteroides forsythus), and Treponema denticola, atau
yang dikenal sebagai “kompleks merah” merupakan bakteri yang paling sering
berkaitan dengan kehilangan perlekatan serta penurunan tulang yang sedang
berlangsung pada penyakit periodontitis kronis (lihat Bab 23).
Periodontitis kronis umumnya memiliki progres yang lambat, dan beberapa
pasien memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang serta pembentukan poket. Beberapa pasoen yang memiliki profil
genetik yang mengaksentuasikan produksi interleukin-1 (IL-1) memiliki risiko tooth
loss yang lebih tinggi, dan jika pasien juga merupakan seorang perokok, maka
risikonya akan meningkat. Diabetes merupakan faktor lain yang seringkali
menyebabkan destruksi periodontal yang berat dan luas. Selain itu, mikroorganisme
kelompok tertentuk yang dijumpai pada biofilm subgingiva pasien disertai penurunan
tulang yang sedang berlangsung diasosiasikan dengan periodontitis kronis, diantaranya
adalah: Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythia, dan Treponema denticola.
Identifikasi dan karakterisasi bakteri tersebut serta mikroorganisme patogen
lainnya serta asosiasi mereka dengan kehilangan perlekatan dan penurunan tulang telah
mengarah pada hipotesis plak spesifik dalam perkembangan periodontitis kronis.
Hipotesis ini menyatakan bahwa meskipun secara umum terdapat peningkatan jumlah
mikroorganisme gram negatif di plak subgingival penyakit periodontitis, peningkatan
jumlah anggota kompleks merah dan mungkin mikroorganisme lainnya lah yang akan
mempercepat kehilangan perlekatan dan penurunan tulang. Mekanisme mengapa hal
tersebut terjadi masih belum jelas, tetapi bakteri tersebut dapat berperan dalam efek
lokal pada sel respon inflamasi dan sel serta jaringan host sehingga menyebabkan
proses penyakit yang lokal dan site-specific. Interaksi antara bakteri patogen dan host
serta efek potensial terhadap progres penyakit akan dijelaskan dengan mendetail pada
Bagian 4.
Akumulasi plak merupakan agen inisiasi primer pada inflamasi dan destruksi
periodontal sehingga hal apapun yang dapat memfasilitasi akumulasi plak atau
mencegah pembersihan plak melalui prosedur oral hygiene dapat mengganggu pasien.
Faktor retentif plak merupakan hal yang penting dalam perkembangan dan progres
periodontitis kronis karena dapat meretensi mikroorganisme plak dalam jarak yang
dekat dengan jaringan periodontal sehingga menciptakan suatu ekologi niche untuk
pertumbuhan dan maturasi plak. Kalkulus dianggap sebagai faktor retensi plak yang
penting karena kemampuannya dalam meretensi dan menahan plak bakteri pada
permukaannya yang kasar. Akibatnya, pembuangan kalkulus merupakan hal yang
penting untuk menjada kondisi periodontium yang sehat. Faktor lainnya yang diketahui
dapat meretensi plak atau mencegah pembuangan plak adalah margin subgingival atau
margin overhang dari restorasi; lesi karies yang meluas ke arah subgingival; furkasi
yang terekspos oleh penurunan tulang; gigi berjejal; serta groove akar dan konkavitas.
Faktor risiko potensial periodontitis tersebut akan dibahas lebih jauh dalam Bab 32 dan
dampaknya terhadap prognosis perawatan periodontal akan dibahas dalam Bab 33.
Faktor Sistemik
Kecepatan progresi periodontitis kronis yang dipic plak secara umum dianggap
sebagai lambat. Akan tetapi, ketika periodontitis kronus terjadi pada pasien yang juga
memiliki penyakit sistemik yang memengaruhi efektivitas respon host, maka destruksi
periodontal dapat meningkat dengan signifikan.
Diabetes merupakan kondisi sistemik yang dapat memperberat dan memperluas
penyakit periodontal. Diabetes tipe 2, atau non-insulin-dependent-diabetes mellitus
(NIDDM), merupakan tipe diabetes dengan prevalensi yang paling tinggi dan diidap
oleh sekitar 90% pasien diabetes.
Selain itu, diabetes tipe 2 cenderung terjadi pada populasi dewasa di saat yang
bersamaan dengan periodontitis kronis. Efek sinergis antara akumulasi plak dan
modulasi respon host yang efektif melalui efek diabetes dapat menyebabkan destruksi
periodontal yang berat dan luas sehingga menyulitkan manajemen melalui tenkik klinis
standar jika tidak disertai kontrol kondisi sistemik yang ada. Saat ini dapat dilihat
adanya peningkatan angka kejadian diabetes tipe 2 pada remaja dan dewasa muda yang
mungkin berhubungan dengan meningkatnya angka obesitas juvenile.
Diabetes tipe 1, atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), dapat
diamati pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda dan dapat pula menyebabkan
peningkatan destruksi periodontal ketika kondisi diabetes tidak terkontrol. Terdapat
kemungkinan besar bahwa kasus periodontitis kronis, yang diperberat oleh komplikasi
diabetes tipe 1 dan 2, akan meningkat angka prevalensinya di masa depan dan dapat
menjadi tantangan bagi klinisi dalam pemberian perawatan yang tepat.
Faktor Genetik
Periodontitis dianggap sebagai penyakit multifaktorial dimana keseimbangan
normal antara plak mikrobial dan respon host mengalami gangguan. Gangguan
tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat terjadi melalui perubahan
pada komposisi plak, perubahan pada respon host, atau pengaruh dari lingkungan dan
kebiasaan pada respon plak serta respon host. Selain itu, destruksi periodontal
seringkali dapat ditemui pada anggota keluarga yang berbeda dan generasi yang
berbeda dalam keluarga yang sama sehingga mengindikasikan adanya faktor genetik
dalam kerentanan seseorang terhadap penyakit periodontal. Studi terkini menunjukan
terdapat agregasi famili pada periodontitis agresif lokalisata dan generalisata. Selain
itu, studi pada pasangan kembar monozigot menunjukan adanya komponen genetik
pada periodontitis kronis, tetapi pengaruh dari transmisi genetik diantara anggota
keluarga serta efek lingkungan menghasilkan suatu interaksi kompleks yang sulit
diinterpretasi (lihat Bab 24 dan 27).
Meskipun belum ada determinan genetik jelas yang dapat mendeskripsikan
pasien dengan periodontitis kronis, mungkin terdapat predisposisi genetik terhadap
kerusakan periodontal yang lebih agresif sebagai respon terhadap akumulasi plak dan
kalkulus. Studi yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa variasi genetik atau
polimorfism pada gen yang mengkode IL-1α dan IL-1β memiliki hubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap tipe periodontitis kronis yang lebih agresif pada
subjek yang berasal dari Eropa Utara, akan tetapi studi yang lebih terbaru membantah
hubungan tersebut. Selain itu, perokok yang menunjukan komposisi genotip IL-1
memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit periodontitis yang berat.
Salah satu studi menunjukan bahwa pasien yang memiliki genotip IL-1 memiliki risiko
kehilangan gigi 2.7x lebih tinggi; pasien yang merupakan perokok berat dan memiliki
genotip negatif IL-1 memiliki risiko kehilangan gigi 2.9x lebih tinggi. Efek kombinasi
dari genotip IL-1 dan kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kehilangan gigi
7.7x lebih besar. Seiring meningkatnya karakterisasi polimorfism genetik yang terdapat
pada gen target lainnya, kompleks genotip dapat diidentifikasi pada berbagai tipe klinis
periodontitis yang berbeda. Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan sifat
alami multifaktorial dari penyakit periodontitis, dan kondisi lingkungan serta
ketidakmampuan kami untuk mendefinisikan dengan jelas berbagai periodontitis
dengan tipe berbeda, maka tampaknya predisposisi genetik yang jelas terhadap
penyakit periodontal sulit untuk ditemukan.
Gambar 17-1. Necrotizing ulcerative periodontitis pada pasien laki-laki ras putih
berusia 45th disertai HIV. A, tampilan bukal dari area cuspid-bicuspid RA. B, tampilan
palatal area yang sama. C, tampilak bukan gigi anterior RB. Perhatikan crater dalam yang
berkaitan dengan penurunan tulang.
Temuan Mikroskopik
Pada suatu studi plak mikroba yang melapisi papila gingiva nekrotik
menggunakan TEM dan SEM, Cobb et al menunjukan keserupaan histologis antara
NUP di pasien positif HIV dan lesi NUG di pasien non-HIV yang telah dideskripsikan
sebelumnya. Dilakukan pula pengamatan hasil biopsi papila posterior yang terlibat dari
10 pasien laki-laki dan 6 pasien perempuan positif HIV disertai NUP. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukan biofilm permukaan yang terdiri dari flora mikroba campuran
dengan morfotipe yang berbeda dan flora subpermukaan dengan agregasi padat
spirochetes (zona bakterial). Dibawah lapisan bakteri terdapat agregasi padat PMN
(zone kaya neutrofil) dan sel nekrotik (zona nekrotik). Teknik biopsi yang dignakan
dalam studi ini tidak memungkinkan dilakukannya obeservasi pada lapisan yang paling
dalam sehingga tidak dapat mengidentifikasi zona infiltrasi spirochetal, dimana yang
umumnya dideskripsikan pada lesi NUG. Selain gambaran mikroskopik NUP yang
menyerupai NUG pada studi ini, level yeast yang tinggi dan virus yang menyerupai
herpes juga dapat diamati. Temuan virus tersebut tampaknya indikatif pada kondisi
yang disebabkan oleh mikroba oportunistik pada pasien immunokompromais (pasien
positif HIV).
Pasien HIV/AIDS
Lesi gingiva dan periodontal dengan gambaran khas seringkali ditemukan pada
pasien dengan infeksi HIV dan AIDS. Banyak dari lesi tersebut merupakan menifestasi
atipikal dari penyakit periodontal inflamatori yang timbul pada pasien dengan infeksi
HIV atau sedang berada dalam kondisi imunokompromais. Dalam literatur, linear
gingival erythema (LGE), NUG, dan NUP merupakan kondisi periodontal yang
berkaitan dengan HIV yang paling umum dilaporkan. Bab 19 akan memberikan
deskripsi detail mengenai hal tersebut dan juga penyakit periodontal atipikal lainnya
yang dapat muncul pada pasien HIV.
Lesi NUP yang ditemukan pada pasien HIV/AIDS dapat memiliki gambaran
yang serupa dengan yang ditemukan pada pasien non-HIV. Di lain pihak, lesi NUP
pada pasien HIV/AIDS cenderung lebih destruktif dan seringkali menyebabkan
komplikasi dimana hal tersebut sangat jarang ditemui pada pasien non-HIV/AIDS.
Sebagai contoh, kehilangan perlekatan dan penurunan tulang yang berkaitan dengan
NUP di pasien HIV mungkin berlangsung dengan sangat cepat. Winkler et al
melaporkan kasus NUP pada pasien HIV (sebelumnya dikenal dengan “HIV-P”) yang
giginya mengalami kehilangan perlekatan lebih dari 90% dan penurunan tulang sebesar
10mm dalam periode 3-6 bulan.