Anda di halaman 1dari 17

PERIODONTITIS KRONIS

Periodontitis kronis, yang sebelumnya dikenal sebagai periodontitis dewasa


atau periodontitis dewasa kronis, merupakan tipe periodontitis yang paling prevalen.
Periodontitis tersebut umumnya dianggap sebagai penyakit yang progres nya perlahan,
akan tetapi jika terdapat faktor sistemik atau lingkungan maka hal tersebut dapat
memodifikasi respon host terhadap akumulasi plak, seperti diabetes, merokok, atau
stres, maka perjalanan penyakit dapat menjadi lebih agresif. Periodontitis kronis
seringkali ditemui pada orang deaa, akan tetapi dapat juga ditemui pada anak-anak dan
dewasa muda sebagai respon terhadap plak kronis dan akumulasi kalkulus. Observasi
ini mendasari perubahan nama periodontitis “dewasa”, yang memberi kesan bahwa
periodontitis kronis yang dipicu plak hanya dapat ditemui pada orang dewasa, menjadi
istilah yang lebih universal, yaitu periodontitis “kronis”, dimana penyakit tersebut
dapat terjadi pada segala usia (lihat Bab 4).
Periodontitis kronis didefinisikan sebagai “penyakit infeksius yang
menyebabkan inflamasi pada jaringan pendukung gigi, kehilangan perlekatan yang
progresif, serta penurunan tulang”. Definisi ini mendasari karakteristik klinis mayor
dan etiologi penyakit periodontitis: (1) pembentukan plak mikroba, (2) inflamasi
periodontal, dan (3) kehilangan perlekatan dan tulang alveolar. Pembentukan poket
periodontal biasanya merupakan kelanjutan dari proses penyakit ini kecuali jika
terdapat kehilangan perlekatan yang disertai resesi gingiva yang akan menyebabkan
poket menjadi dangkal walaupun terdapat kehilangan perlekatan dan penurunan tulang
yang sedang terjadi.

GAMBARAN KLINIS
Karakteristik Umum
Karakteristik temuan klinis pada pasien dengan periodontitis kronis yang tidak
terawat, diantaranya adalah akumulasi plak supragingival dan subgingival (seringkali
diasosiasikan dengan pembentukan kalkulus), inflamasi gingiva, pembentukan poket,
kehilangan perlekatan periodontal, penurunan tulang alveolar, dan supurasi okasional
(Gambar 16-1). Pada pasien dengan oral hygiene buruk, gingiva umumnya dapat
mengalami pembengkakan ringan hingga sedang dan mengalami perubaha warna
(pucat-magenta). Hilangnya stippling gingiva dan perubahan topografi permukaan
yang terjadi dapat meliputi perubahan margin gingiva menjadi tumpul atau
menggulung dan papila yang datar atau cratered.

Gambar 16-1. Gambaran klinis periodontitis kronis pada pasien berusia 49th disertai
home care oral yang buruk dan tidak ada perawatan dental yang pernah dilakukan.
Jumlah plak dan kalkulus yang berlimpah berhubungan dengan margin gingiva yang
berwarna merah, bengkan, dan edema. Dapat terlihat resesi gingiva yang disebabkan
hilangnya perlekatan dan penurunan tulang. Terdapat pula perdarahan spontan dan
eksudat gingival crevicular fluid dapat terlihat. Stippling gingiva menghilang

Gambar 16-2. Periodontitis kronis lokalisata pada pasien perempuan usia 42th. A,
gambaran klinis gigi anterior menunjukan plak dan inflamasi minimal. B, radiografi
menunjukan penurunan tulang angular, vertikal, lokalisata pada sisi distal gigi molar
pertama kiri RA. C, eksposur bedah defek vertikal (angular) yang berkaitan dengan
akumulasi plak kronis dan inflamasi pada furkasi distobukal.
Gambar 16-3. Periodontitis kronis generalisata pada pasien perempuan berusia 38 tahun
dengan riwayat merokok 1 pak/hari selama 20th. A, gambaran klinis menunjukan plak
dan inflamasi minimal. Probing hanya menunjukan sedikit perdarahan, dimana hal
tersebut umum terjadi pada perokok. Pasien mengeluhkan spacing antara insisif RA
kanan yang berkaitan dengan kehilangan perlekatan dan penurunan tulang yang advance.
B, radiografi menunjukan pola penurunan tulang horizintal yang generalisata dan parah.
Gigi molar RA dan RB sudah hilang akibat penyakit yang sudah advance serta
keterlibatan furkasi.

Pada banyak pasien, terutama pasien yang melakukan perawatan di rumah


dengan teratur, perubahan warna, kontur, dan konsistensi yang seringkali berkaitan
dengan inflamasi gingiva mungkin tidak dapat terlihat pada saat pemeriksaan, dan
inflamasi dapat terdeteksi hanya sebagai suatu pendarahan gingiva sebagai respon
terhadap pemeriksaan poket periodontal menggunakan probe periodontal (lihat
Gambar 16-2, A dan 16-3, A). Pendarahan gingival, yang bersifat spontan atau sebagai
respon terhadap probing, merupakan hal yang umum terjadi, dan eksudat yang
berkaitan dengan inflamasi cairan crevicular dan supurasi dari poket juga dapat
ditemui. Pada beberapa kasus, jaringan marginal fibrotik yang menebal, yang
disebabkan inflamasi ringan yang berlangsung lama, dapat menghalangi perubahan
inflamasi yang terjadi di bawahnya. Kedalaman poket dapat bervariasi, dan penurunan
tulang vertikal serta horizontal dapat ditemui. Mobiliti gigi seringkali dapat diamati
pada kasus advance disertai kehilangan perlekatan dan penurunan tulang yang
ekstensif .
Periodontitis kronis dapat didiagnosis secara klinis melalui deteksi perubahan
inflamasi kronis pada gingiva marhinal, keberadaan poket periodontal, dan hilangnya
perlekatan klinis. Penyakit tersebut dapat didiagnosis secara radiografi melalui
gambaran penurunan tulang. Temuan tersebut dapat terlihat serupa dengan penyakit
periodontitis agresif. Diagnosis banding ditegakan berdasarkan usia pasien, tingkat
progres penyakit, sifat alami penyakit agresif, dan tidak adanya faktor lokal relatif pada
penyakit agresif jika dibandingkan dengan adanya plak dan kalkulus yang sangat
banyak pada penyakit periodontitis kronis.

Distribusi Penyakit
Periodontitis kronis dianggap sebagai penyakit site-specific. Tanda klinis
periodontitis kronis – inflamasi, pembentukan poket, kehilangan perlekatan, dan
penurunan tulang – dipercaya disebabkan oleh efek langsung dan site-specific dari
akumulasi plak subgingival. Akibat efek lokal tersebut, pembentukan poket dan
kehilangan serta penurunan tulang dapat terjadi pada salah satu permukaan gigi
sementara permukaan lainnya dapat tetap mempertahankan level perlekatan yang
normal. Sebagai contoh, permukaan proksimal dengan akumulasi plak kronis mungkin
mengalami kehilangan perlekatan sementara permukaan fasial yang bebas plak pada
gigi yang sama akan terbebas dari penyakit.
Selain sifatnya yang site-specific, periodontitis kronis dapat dikategorikan
sebagai lokalisata, yaitu ketika hanya terdapat beberapa area yang mengalami
kehilangan perlekatan dan penurunan tulang, atau generalisata, yaitu ketika terdapat
banyak area yang terkena, sebagai berikut:
Periodontitis lokalisata: periodontitis dianggap bersifat lokalisata ketika hanya
terdapat <30% area dalam mulut yang mengalami kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang (Gambar 16-2).
Periodontitis generalisata: periodontitis dianggap bersifat generalisata ketika
terdapat >30% area dalam mulut yang mengalami kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang (Gambara 16-3).
Pola penurunan tulang yang terlihat pada periodontitis kronis dapat berupa pola
vertikal (angular), yaitu ketika kehilangan perlekatan dan penurunan tulang pada salah
satu permukaan gigi lebih besar dibandingkan permukaan di sebelahnya (Gambar 16-
2,C), atau horizontal, yaitu ketika kehilangan perlekatan dan penurunan tulang
berlangsung pada kecepatan yang sama pada sebagian besar permukaan gigi (Gambar
16-3, B). Penurunan tulang vertikal diasosiasikan dengan pembentukan poket
intrabony. Penurunan tulang horizontal diasosiasikan dengan poket suprabony.

Keparahan Penyakit
Keparahan destruksi periodontium yang terjadi akibat periodontitis kronis
biasanya dianggap sebagai suatu fungsi terhadap waktu. Seiring dengan meningkatnya
usia, kehilangan perlekatan dan penurunan tulang akan semakin prevalen serta semakin
parah karena terjadi akumulasi destruksi. Keparahan penyakit dapat dideskripsikan
sebagai slight (mild), moderate, dan severe (lihat Bab 4). Istilah tersebut dapat
digunakan untuk mendeskripsikan keparahan tulang pada seluruh bagian mulut atau
hanya untuk sebagian mulut (cth: kuadran, sextan) atau status penyakit pada gigi
individu, sbb:
Slight (mild) periodontitis: destruksi periodontal umumnya dianggap slight atau
ringan jika kehilangan perlekatan klinis yang terjadi hanya 1-2mm.
Moderate periodontitis: destruksi periodontal dianggap moderate jika terjadi
kehilangan perlekatan klinis 3-4mm.
Severe periodontitis: destruksi periodontal dianggap sebagai severe (berat) jika
kehilangan perlekatan klinis yang terjadi >5mm.

Gejala
Pasien mungkin pertama kali menyadari kondisi periodontitis kronis yang
dideritanya melalui pengamatan pada gusi yang berdarah ketika menyikat gigi atau
makan; saat menyadari terdapat ruang pada gigi akibat pergeseran gigi; atau ketika gigi
menjadi goyang. Periodontitis kronis biasanya tidak menyebabkan sakit sehingga
pasien mungkin sepenuhnya tidak menyadari bahwa mereka mengidap penyakit
tersebut dan mungkin menyebabkan pasien tidak mencari perawatan dan menerima
rekomendasi perawatan. Selain itu, respon negatif pada pertanyaan, seperti “apakah
anda mengalami rasa sakit?” tidak cukup untuk mengeliminasi kecurigaan akan
penyakit periodontitis. Kadang kala, rasa sakit dapat terjadi ketika tidak terdapat karies
yang disebabkan oleh tereksposnya akar yang sensitif terhadap panas, dingin, atau
keduanya. Area nyeri tumpul yang terlokalisir yang terkadang beradiasi ke dalam
rahang telah diasosiasikan dengan periodontitis. Adanya impaksi makanan dapat
memperparah ketidaknyamanan pasien. Nyeri gingiva atau “rasa gatal” dapat juga
ditemui.

Progres Penyakit
Para pasien tampaknya memiliki kerentanan yang sama terhadap periodontitis
kronis yang dipicu plak selama masa hidupnya. Kecepatan progres penyakit ini
biasanya lambat tetapi dapat dimodifikasi oleh keadaan sistemik atau lingkungan serta
faktor kebiasaan. Onset periodontitis kronis dapat terjadi kapanpun, dan gejala pertama
dapat diamati pada masa dewasa muda ketika terdapat akumulasi plak dan kalkulus
kronis. Karena progresnya yang lambat, periodontitis kronis biasanya akan menjadi
signifikan ketika pasien berusia ≥30 tahun.
Periodontitis kronis biasanya tidak ber progres dengan kecepatan yang sama
pada seluruh area yang terpengaruh dalam mulut. Beberapa area yang terlibat dapa
tetap statis untuk periode yang lama sementara area lainnya dapat ber-progres dengan
cepat. Lesi progresif yang lebih cepat seringkali terdapat di area interproksimal dan
dapat diasosiasikan dengan area yang akumulasi plaknya lebih banyak serta sulit untuk
dilakukan kontrol plak (cth: area furkasi, margi restorasi yang overhang, area gigi yang
malposisi, atau area yang mengalami impaksi makanan).
Beberapa model telah dikemukakan untuk mendeskripsikan kecepatan progresi
penyakit. Pada model-model tersebut, progres diukur dengan cara menentukan jumlah
kehilangan perlekatan selama periode waktu tertentu, sbb:
• Continous model mengemukakan bahwa progres penyakit dianggap lambat dan
kontinu jika area yang terlibat menunjukan kecepatan progresi destruksi yang
konstan selama durasi penyakit tersebut.
• Random atau episodic-burst model, mengemukakan bahwa progres penyakit
periodontal berupa destruksi short burst yang diikuti periode tanpa destruksi.
Pola penyakit ini acak sesuai dengan area gigi yang terpengaruh dan kronologi
proses penyakit.
• Asynchronosus, multiple-burst model mengemukakan bahwa destruksi
periodontal akan terjadi di sekeliling gigi yang terkena selama periode tertentu
dalam hidup dan aktivitas burst akan diselingi oleh periode inaktivitas atau
remisi. Kronologi burst penyakit tersebut bersifat asynchronous untuk masing-
masing gigi atau pada sekelompok gigi.

Prevalensi
Periodontitis kronis akan meningkat prevalensi dan keparahannya seiring
dengan usia, dan umumnya memengaruhi laki-laki dan perempuan dengan sama rata.
Periodontitis merupakan penyakit yang berasosiasi dengan usia, bukan berhubungan
dengan usia. Dengan kata lain, umur individu bulankan penyebab meningkatnya
prevalensi penyakit ini, tetapi prevalensi akan meningkat seiring dengan semakin
lamanya jaringan periodontal diinvasi oleh akumulasi plak.

FAKTOR RISIKO PENYAKIT PERIODONTAL


Penyakit Periodontal yang Pernah Diderita
Penyakit periodontal yang pernah diderita merupakan prediktor penyakit, ,
meskipun bukan merupakan faktor risiko murni penyakit tersebut, yang dapat membuat
seseorang memiliki risiko tinggi mengalami kehilangan perlekatan dan penurunan
tulang akibat akumulat plak bakteri.
Hal tersebut membuat pasien yang sebelumnya mengalami gingivitis persisten
atau periodontitis disertai poket, kehilangan perlekatan, dan penurunan tulang, dapat
terus mengalami kerusakan dukungan periodontal jika tidak ditangani dengan sukse.
Selain itu, pasien dengan periodontitis kronis yang perawatan sebelumnya dianggap
berhasil dapat terus mengalami perkembangan penyakit jika plak terakumulasi. Hal ini
menunjukan pentingnya monitoring, perawatan, serta maintenance pasien disertai
gingivitis persisten atau periodontitis secara kontinu untuk mencegah rekurensi
penyakit. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap kerentanan pasien akan dijelaskan
di bawah ini

Faktor Lokal
Akumulasi plak pada gigi dan permukaan gingivia di dentogingival junction
dianggap sebagai agen inisiasi primer pada etiologi gingivitis dan periodontitis kronis.
Kehilangan perlekatan dan penurunan tulang diasosiasikan dengan meningkatnya
jumlah organisme gram negatif pada biofilm plak subgingiva disertai meningkatnya
organisme yang diketahui bersifat sangat patogen dan virulen. Porphyromonas
gingivalis (sebelumnya dikenal sebagai Bacteroides gingivalis), T annerella forsythia
(sebelumnya dikenal sebagai Bacteroides forsythus), and Treponema denticola, atau
yang dikenal sebagai “kompleks merah” merupakan bakteri yang paling sering
berkaitan dengan kehilangan perlekatan serta penurunan tulang yang sedang
berlangsung pada penyakit periodontitis kronis (lihat Bab 23).
Periodontitis kronis umumnya memiliki progres yang lambat, dan beberapa
pasien memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap kehilangan perlekatan dan
penurunan tulang serta pembentukan poket. Beberapa pasoen yang memiliki profil
genetik yang mengaksentuasikan produksi interleukin-1 (IL-1) memiliki risiko tooth
loss yang lebih tinggi, dan jika pasien juga merupakan seorang perokok, maka
risikonya akan meningkat. Diabetes merupakan faktor lain yang seringkali
menyebabkan destruksi periodontal yang berat dan luas. Selain itu, mikroorganisme
kelompok tertentuk yang dijumpai pada biofilm subgingiva pasien disertai penurunan
tulang yang sedang berlangsung diasosiasikan dengan periodontitis kronis, diantaranya
adalah: Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythia, dan Treponema denticola.
Identifikasi dan karakterisasi bakteri tersebut serta mikroorganisme patogen
lainnya serta asosiasi mereka dengan kehilangan perlekatan dan penurunan tulang telah
mengarah pada hipotesis plak spesifik dalam perkembangan periodontitis kronis.
Hipotesis ini menyatakan bahwa meskipun secara umum terdapat peningkatan jumlah
mikroorganisme gram negatif di plak subgingival penyakit periodontitis, peningkatan
jumlah anggota kompleks merah dan mungkin mikroorganisme lainnya lah yang akan
mempercepat kehilangan perlekatan dan penurunan tulang. Mekanisme mengapa hal
tersebut terjadi masih belum jelas, tetapi bakteri tersebut dapat berperan dalam efek
lokal pada sel respon inflamasi dan sel serta jaringan host sehingga menyebabkan
proses penyakit yang lokal dan site-specific. Interaksi antara bakteri patogen dan host
serta efek potensial terhadap progres penyakit akan dijelaskan dengan mendetail pada
Bagian 4.
Akumulasi plak merupakan agen inisiasi primer pada inflamasi dan destruksi
periodontal sehingga hal apapun yang dapat memfasilitasi akumulasi plak atau
mencegah pembersihan plak melalui prosedur oral hygiene dapat mengganggu pasien.
Faktor retentif plak merupakan hal yang penting dalam perkembangan dan progres
periodontitis kronis karena dapat meretensi mikroorganisme plak dalam jarak yang
dekat dengan jaringan periodontal sehingga menciptakan suatu ekologi niche untuk
pertumbuhan dan maturasi plak. Kalkulus dianggap sebagai faktor retensi plak yang
penting karena kemampuannya dalam meretensi dan menahan plak bakteri pada
permukaannya yang kasar. Akibatnya, pembuangan kalkulus merupakan hal yang
penting untuk menjada kondisi periodontium yang sehat. Faktor lainnya yang diketahui
dapat meretensi plak atau mencegah pembuangan plak adalah margin subgingival atau
margin overhang dari restorasi; lesi karies yang meluas ke arah subgingival; furkasi
yang terekspos oleh penurunan tulang; gigi berjejal; serta groove akar dan konkavitas.
Faktor risiko potensial periodontitis tersebut akan dibahas lebih jauh dalam Bab 32 dan
dampaknya terhadap prognosis perawatan periodontal akan dibahas dalam Bab 33.
Faktor Sistemik
Kecepatan progresi periodontitis kronis yang dipic plak secara umum dianggap
sebagai lambat. Akan tetapi, ketika periodontitis kronus terjadi pada pasien yang juga
memiliki penyakit sistemik yang memengaruhi efektivitas respon host, maka destruksi
periodontal dapat meningkat dengan signifikan.
Diabetes merupakan kondisi sistemik yang dapat memperberat dan memperluas
penyakit periodontal. Diabetes tipe 2, atau non-insulin-dependent-diabetes mellitus
(NIDDM), merupakan tipe diabetes dengan prevalensi yang paling tinggi dan diidap
oleh sekitar 90% pasien diabetes.
Selain itu, diabetes tipe 2 cenderung terjadi pada populasi dewasa di saat yang
bersamaan dengan periodontitis kronis. Efek sinergis antara akumulasi plak dan
modulasi respon host yang efektif melalui efek diabetes dapat menyebabkan destruksi
periodontal yang berat dan luas sehingga menyulitkan manajemen melalui tenkik klinis
standar jika tidak disertai kontrol kondisi sistemik yang ada. Saat ini dapat dilihat
adanya peningkatan angka kejadian diabetes tipe 2 pada remaja dan dewasa muda yang
mungkin berhubungan dengan meningkatnya angka obesitas juvenile.
Diabetes tipe 1, atau insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), dapat
diamati pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda dan dapat pula menyebabkan
peningkatan destruksi periodontal ketika kondisi diabetes tidak terkontrol. Terdapat
kemungkinan besar bahwa kasus periodontitis kronis, yang diperberat oleh komplikasi
diabetes tipe 1 dan 2, akan meningkat angka prevalensinya di masa depan dan dapat
menjadi tantangan bagi klinisi dalam pemberian perawatan yang tepat.

Faktor Lingkungan dan Kebiasaan


Kebiasaan merokok dapat meningkatkan keparahan dan luas penyakit
periodontal. Ketika kebiasaan ini dikombinasikan dengan periodontitis kronis yang
dipicu plak, maka peningkatan kecepatan destruksi periodontal dapat terjadi pada
pasien yang merokok dan menderita periodontitis kronis. Karena hal tersebut, perokok
dengan periodontitis kronis dapat mengalami kehilangan perlekatan dan penurunan
tulang yang lebih besar, keterlibatan furkasi yang lebih besar, serta pembentukan poket
yang lebih dalam (Gambar 16-3). Selain itu, perokok juga akan menmiliki kalkulus
supragingival yang lebih banyak dan subgingival yang lebih sedikit diertai bleeding on
probing yang lebih sedikit dibandingkan pasien yang tidak merokok. Bukti awal yang
dapat menjelaskan efek tersebut mengindikasikan perubahan mikroflora subgingival
pada perokok dibandingkan non-perokok ditambah efek merokok pada respon host.
Efek klinis, mikrobiologis, dan imunologis dari kebiasaan merokok tampaknya turut
memengaruhi respon terhadap terapi serta frekuensi rekurensi penyakit (lihat Bab 26).
Stres emosional sebelumnya juga telah diasosiasikan dengan penyakit
necrotizing ulceratice, yang mungkin disebabkan oleh efek stres terhadap fungsi imun.
Semakin banyak bukti yang menunjukan bahwa stres juga dapat memengaruhi luas dan
keparahan periodontitism kronis, melalui mekanisme yang kemungkinan serupa.

Faktor Genetik
Periodontitis dianggap sebagai penyakit multifaktorial dimana keseimbangan
normal antara plak mikrobial dan respon host mengalami gangguan. Gangguan
tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat terjadi melalui perubahan
pada komposisi plak, perubahan pada respon host, atau pengaruh dari lingkungan dan
kebiasaan pada respon plak serta respon host. Selain itu, destruksi periodontal
seringkali dapat ditemui pada anggota keluarga yang berbeda dan generasi yang
berbeda dalam keluarga yang sama sehingga mengindikasikan adanya faktor genetik
dalam kerentanan seseorang terhadap penyakit periodontal. Studi terkini menunjukan
terdapat agregasi famili pada periodontitis agresif lokalisata dan generalisata. Selain
itu, studi pada pasangan kembar monozigot menunjukan adanya komponen genetik
pada periodontitis kronis, tetapi pengaruh dari transmisi genetik diantara anggota
keluarga serta efek lingkungan menghasilkan suatu interaksi kompleks yang sulit
diinterpretasi (lihat Bab 24 dan 27).
Meskipun belum ada determinan genetik jelas yang dapat mendeskripsikan
pasien dengan periodontitis kronis, mungkin terdapat predisposisi genetik terhadap
kerusakan periodontal yang lebih agresif sebagai respon terhadap akumulasi plak dan
kalkulus. Studi yang telah dilakukan mengindikasikan bahwa variasi genetik atau
polimorfism pada gen yang mengkode IL-1α dan IL-1β memiliki hubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap tipe periodontitis kronis yang lebih agresif pada
subjek yang berasal dari Eropa Utara, akan tetapi studi yang lebih terbaru membantah
hubungan tersebut. Selain itu, perokok yang menunjukan komposisi genotip IL-1
memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit periodontitis yang berat.
Salah satu studi menunjukan bahwa pasien yang memiliki genotip IL-1 memiliki risiko
kehilangan gigi 2.7x lebih tinggi; pasien yang merupakan perokok berat dan memiliki
genotip negatif IL-1 memiliki risiko kehilangan gigi 2.9x lebih tinggi. Efek kombinasi
dari genotip IL-1 dan kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kehilangan gigi
7.7x lebih besar. Seiring meningkatnya karakterisasi polimorfism genetik yang terdapat
pada gen target lainnya, kompleks genotip dapat diidentifikasi pada berbagai tipe klinis
periodontitis yang berbeda. Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan sifat
alami multifaktorial dari penyakit periodontitis, dan kondisi lingkungan serta
ketidakmampuan kami untuk mendefinisikan dengan jelas berbagai periodontitis
dengan tipe berbeda, maka tampaknya predisposisi genetik yang jelas terhadap
penyakit periodontal sulit untuk ditemukan.

NECROTIZING ULCERATIVE PERIODONTITIS

Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP) dapat dianggap sebagai perluasan


dari necrotizing ulcerative gingivitis (NUG) ke struktur periodontal sehingga
menyebabkan kehilangan perlekatan dan penurunan tulang. Di sisi lain, NUP dan NUG
dapat berupa penyakit yang berbeda. Hingga saat ini, hanya terdapat sedikit bukti yang
dapat mendukung teori progresi NUG menjadi NUP atau teori yang menunjukan
adalanya hubungan antara kedua kondisi tersebut sebagai penyakit yang berbeda.
Meskipun demikian, berbagai deskripsi klinis dan laporan kasus NUP secara jelas
menunjukan banyaknya kemiripan klinis antara kedua kondisi tersebut. Terdapat
sebuah artikel terbaru yang melaporkan temuan klinis dan mikroskopis dari 45 pasien
yang dijumpai antara tahun 1965 hingga 2000. Dalam artikel tersebut, penulis
mengemukakan bahwa NUG kemungkinan adalah prekursor NUP, karena terdapat satu
kasus pasien anak laki-laki usia 9th disertai malnutrisi yang menunjukan 3 lesi khas
yang konsisten dengan diagnosis NUG, NUP, dan noma. Hingga saat dimana
perbedaan antara NUG dan NUP dapat dibuktikan, maka disarankan untuk
mengklasifikasikan NUG dan NUP secara bersama-sama dalam suatu kategori yang
lebih luas, yaitu necrotizing periodontal disease, dengan perbedaan tingkat keparahan.
NUG telah dikenal dan dideskripsikan dalam literatur selama berabad-abad.
Gambaran NUG ditampilkan dalam Bab 10 dan secara singkat akan dibahas dalam bab
ini. Secara klinis, NUG terdiri dari area ulserasi dan nekrosis pada interdental papila
yang dilapisi suatu lapisan putih kekuningan lunak, atau pseudomembran, serta
dikelilingi oleh halo eritem. Lesi yang ada biasanya terasa sakit dan mudah berdarah,
seringkali tanpa diserta provokasi apapun. Pasien juga dapat mengalami oral malodor,
limfadenotapi lokalisata, demam, dan malaise.
Secara mikroskopis, lesi NUG menunjukan inflamasi nekrotik non-spesifik
yang ditandai oleh leukosit polimorfonuklear predominan (PMN, neutrofil) yang
menginfiltrasi area ulserasi dan sejumlah besar infiltrat kronis dari limfosit serta sel
plasma di area perifer dan area yang lebih dalam.
Flora bakteri yang berasosiasi dengan NUG telah diketahui dengan baik. flora
yang dapat dikultivasi dengan konstan terdiri dari spesies Prevotella intermedia dan
Fusobacterium bacterium, sementara observasi mikroskopik konstan menunjukan
adanya spesies Treponenma dan Selemonas. Hubungan antara bakteri tersebut dengan
NUG tampak meyakinkan. Akan tetapi, etiologi bakteri belum dapat dibuktikan karena
bakteri tidak dapat mentransimisikan penyakit diantara hewan yang sehat (belum dapat
memenuhi salah satu postulat Koch’s). Menariknya, isolat bakteri dapat
mentransmisikan NUG dari binatang ke binatang pada percobaan di anjing beagle
dengan immunosupresi yang dipicu steroid. Kemampuan transmisi NUG melalui
bakteri pada binatang imunosupres (tetapi tidak pada binatang imunokompeten)
mengindikasikan bahwa respon host atau resistensi merupakan faktor penting dalam
patogenesis NUG.
Lesi NUG terbatas pada gingiva tanpa disertai kehilangan perlekatan
periodontal atau penurunan dukungan tulang alveolar, hal tersebut merupakan
gambaran yang membedakan NUG dengan NUP. Berbeda dengan pandangan tersebut,
MacCarthy dan Claffey mengemukakan bahwa kehilangan perlekatan periodontal
merupakan salah satu akibat dari lesi NUG. Melalui evaluasinya pada 13 pasien dengan
NUG, rata-rata tingkat perlekatan probing pada area yang terkena NUG (2.2 ± 0.9 mm)
lebih besar dibandingkan area kontrol (0.8 ± 0.7 mm). Temuan ini mendukung konsep
yang mengatakan bahwa NUG dan NUG merupakan penyakit yang serupa (atau
identik) yang memiliki perbedaan respon host atau resistensi dan bukan perbedaan
dalam hal etiologi bakteri dan patogenesis.

NECROTIZING ULCERATIVE PERIODONTITIS


Istilah necrotizing ulcerative periodontitis pertama kali digunakana pada World
Workshop in Clinical Periodontics tahun 1989. Istilah tersebut diubah dari istilah yang
digunakan sejak tahun 1986, yaitu necrotizing ulcerative gingivoperiodontitis yang
merepresentasikan kondisi NUG rekuren yang berkembang menjadi tipe periodontitis
kronis disertai kehilangan perlekatan serta penurunan tulang. Penggunaan istilah NUP
pada tahun 1989 sebagai suatu penyakit yang berbeda terjadi ketika terdapat
peningkatan kewaspadaan dan jumlah kasus necrotizing periodontitis yang
terdiagnosis dan dideskripsikan dalam literatur. Lebih spesifiknya, terdapat lebih
banyak kasus NUP yang dideskripsikan pada pasien immunkompromais, terutama
pasien yang positif HIV atau AIDS. Pada tahun 1999, subklasifikasi NUG dan NUP
dimasukan dalam diagnosis yang berbeda di bawah klasifikasi “necrotizing ulcerative
periodontal disease”. Perbedaan antara kedua penyakit tersebut sebagai penyakit yang
berbeda belum dapat diklarifikasi, akan tetapi keduanya dibedakan melalui ada
tidaknya kehilangan perlekatan dan penurunan tulang.
Gambaran Klinis
Serupa dengan NUG, kasus klinis NUP didefinisikan oleh nekrosis dan ulserasi
bagian koronal interdental papila dan margin gingiva, disertai gingiva marginalis yang
terasa sakit, berwaran merah terang dan mudah berdarah.
Gambaran yang membedakan NUP adalah progres destruktif pada penyakit
tersebut, yaitu hilangnya perlekatan dan penurunan tulang. Crater osseus interdental
yang dalam menjadi gambaran pembeda pada lesi periodontal dari NUP (Gambar 17-
1). Meskipun demikian, poket periodontal “konvensional” disertai probing dalam tidak
dapat ditemukan pada penyakit tersebut karena sifat alami lesi gingiva yang ulseratif
dan nekrotik akan menghancurkan epitel marginal dan jaringan ikat sehingga
menyebabkan resesi gingiva. Poket periodontal terbentuk karena sel junctional
epithelial tetap viable sehinggan dapat bermigrasi ke apikal untuk menutupi area yang
mengalami kehilangan jaringan ikat. Pada kasus NUG dan NUP, junctional
epitehelium yang nekrosis akan membentuk ulser yang mencegah migrasi epitel
tersebut sehingga poket tidak terbentuk. Lesi advance NUP akan menyebabkan
penurunan tulang yang parah, mobiliti gigi, dan pada akhirnya menyebabkan
kehilangan gigi. Selain manifestasi tersebut, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pasien NUP dapat juga mengalami oral malodor, demam, malaise, atau limfadenopati.

Gambar 17-1. Necrotizing ulcerative periodontitis pada pasien laki-laki ras putih
berusia 45th disertai HIV. A, tampilan bukal dari area cuspid-bicuspid RA. B, tampilan
palatal area yang sama. C, tampilak bukan gigi anterior RB. Perhatikan crater dalam yang
berkaitan dengan penurunan tulang.
Temuan Mikroskopik
Pada suatu studi plak mikroba yang melapisi papila gingiva nekrotik
menggunakan TEM dan SEM, Cobb et al menunjukan keserupaan histologis antara
NUP di pasien positif HIV dan lesi NUG di pasien non-HIV yang telah dideskripsikan
sebelumnya. Dilakukan pula pengamatan hasil biopsi papila posterior yang terlibat dari
10 pasien laki-laki dan 6 pasien perempuan positif HIV disertai NUP. Pemeriksaan
mikroskopik menunjukan biofilm permukaan yang terdiri dari flora mikroba campuran
dengan morfotipe yang berbeda dan flora subpermukaan dengan agregasi padat
spirochetes (zona bakterial). Dibawah lapisan bakteri terdapat agregasi padat PMN
(zone kaya neutrofil) dan sel nekrotik (zona nekrotik). Teknik biopsi yang dignakan
dalam studi ini tidak memungkinkan dilakukannya obeservasi pada lapisan yang paling
dalam sehingga tidak dapat mengidentifikasi zona infiltrasi spirochetal, dimana yang
umumnya dideskripsikan pada lesi NUG. Selain gambaran mikroskopik NUP yang
menyerupai NUG pada studi ini, level yeast yang tinggi dan virus yang menyerupai
herpes juga dapat diamati. Temuan virus tersebut tampaknya indikatif pada kondisi
yang disebabkan oleh mikroba oportunistik pada pasien immunokompromais (pasien
positif HIV).

Pasien HIV/AIDS
Lesi gingiva dan periodontal dengan gambaran khas seringkali ditemukan pada
pasien dengan infeksi HIV dan AIDS. Banyak dari lesi tersebut merupakan menifestasi
atipikal dari penyakit periodontal inflamatori yang timbul pada pasien dengan infeksi
HIV atau sedang berada dalam kondisi imunokompromais. Dalam literatur, linear
gingival erythema (LGE), NUG, dan NUP merupakan kondisi periodontal yang
berkaitan dengan HIV yang paling umum dilaporkan. Bab 19 akan memberikan
deskripsi detail mengenai hal tersebut dan juga penyakit periodontal atipikal lainnya
yang dapat muncul pada pasien HIV.
Lesi NUP yang ditemukan pada pasien HIV/AIDS dapat memiliki gambaran
yang serupa dengan yang ditemukan pada pasien non-HIV. Di lain pihak, lesi NUP
pada pasien HIV/AIDS cenderung lebih destruktif dan seringkali menyebabkan
komplikasi dimana hal tersebut sangat jarang ditemui pada pasien non-HIV/AIDS.
Sebagai contoh, kehilangan perlekatan dan penurunan tulang yang berkaitan dengan
NUP di pasien HIV mungkin berlangsung dengan sangat cepat. Winkler et al
melaporkan kasus NUP pada pasien HIV (sebelumnya dikenal dengan “HIV-P”) yang
giginya mengalami kehilangan perlekatan lebih dari 90% dan penurunan tulang sebesar
10mm dalam periode 3-6 bulan.

Anda mungkin juga menyukai