1. Analisis Hukum Acara Peradilan TUN sebelum dan sesudah reformasi.
Amanat pembentukan suatu Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang selanjutnya pada masa Orde Baru diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Peradilan TUN sendiri baru terwujud pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Lamanya pembentukan Peradilan TUN pada saat itu menunjukkan belum kuatnya kehendak atau politik hukum untuk membentuk suatu Peradilan TUN. Pada masa tersebut, rezim yang dianut adalah eksekutif yang kuat. Kuatnya eksekutif saat itu dimaksudkan untuk mewujudkan stabilitas nasional. Stabilitas nasional adalah poin pertama dari Trilogi pembangunan, yang meliputi: terwujudnya stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan hasil-hasilnya. Stabilitas nasional menghendaki adanya ketertiban sosial politik, oleh karenanya segala hal yang dianggap akan memperlemah Pemerintah (eksekutif) haruslah dieliminir, termasuk kekuasaan yudikatif sebagai kontrol yuridis atas tindak pemerintahan. Dalam kondisi demikian, maka demokrasi yang diberlakukan hanyalah demokrasi prosedural, yaitu secara formal memang terlihat adanya lembaga dan prosedur demokrasi, namun tidak sampai pada subtansi demokrasi itu sendiri. Pada saat itu terdapat partai politik, namun dibatasi hanya sampai tingkat Kecamatan; namun yang mengisinya adalah orang-orang Pemerintah yang dipilih maupun diangkat; dana terdapat lembaga peradilan namun dibatasi baik dari segi kewenangan peradilannya, teknis peradilannya maupun pembatasan melalui administrasi umum lainnya. Dalam kondisi demikian, Undang-Undang Peradilan TUN diundangkan dan Peradilan TUN dibentuk. Sesudah Reformasi, kekuasaan tidak lagi terpusat di tangan eksekutif, namun dipencar dan dibagi agar tidak terjadi lagi pemusaran kekuasaan yang rentan pada penyalahgunaan kekuasaan. Peran Dewan Perwakilan Rakyat dan Lembaga Peradilan diperkuat. Undang- Undang Peradilan TUN diubah, pertama dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Undang-Undang lain yang berkaitan erat dengan Peradilan TUN pasca Reformasi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut sebagai UUAP, yang merupakan hukum materiil Peradilan TUN.
2. Penyederhanaan Hukum Acara Peradilan TUN
Kelahiran UU 30/2014 merupakan babak baru dalam ilmu pengetahuan hukum khususnya ilmu hukum administrai negara, atau yang biasa dikenal dengan HAN. Hukum administrasi negara yang dikenal di Indonesia, selama ini dipandang susah untuk dikodifikasikan karena ilmu hukum administrasi negara itu sendiri menarik dari hukum yang khusus ke hukum yang umum alias bersifat induktif. Walaupun UU 30/2014 bukan merupakan suatu kitab undang-undang atau kodifikasi hukum namun undang-undang tersebut menjadi pedoman hukum atau payung hukum secara umum terhadap hukum- hukum admininistrai yang khusus. Di massa yang akan datang, semuat aturan-aturan tentang hukum administrasi negara dan juga yang mengatur kebijakan hukum tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tersebut. Dengan demikian, UU 30/2014 bukan merupakan suatu kitab hukum atau kodifikasi hukum namun sifat-sifat pengaturannya seperti kitab hukum atau kodifikasi hukum. Dengan demikian, maka adanya kewenangan PTUN untuk menilai ada atau tidak adanya unsur penyelahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dikhawatirkan para terduga korupsi menjadikan kewenangan PTUN tersebut sebagai salah satu celah untuk lolos dari jeratan pasal tindak pidana korupsi. Walaupun Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Perma 4/2015 guna memenuhi kekosongan hukum acara kewenangan tersebut, namun ada baiknya peraturan tersebut dikaji agar kelemahan- kelemahannya bisa segera ditemukan dan diperbaiki.