Anda di halaman 1dari 9

1.

Tingkat Kesadaran
a. Pengertian
Kesadaran merupakan integrasi antara panca indra, emosi, pikiran, dan memori
ketika seseorang mendapatkan informasi dari dirinya ataupun lingkungannya.
Kesadaran diatur oleh ascending reticular activating system (ARAS) dan kedua
hemisfer otak. ARAS terdiri dari beberapa jaras saraf yang menghubungkan batang
otak dengan korteks serebri. Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan
mesensefalon. Batang otak berperan penting dalam mengatur kerja jantung,
pernapasan, sistem saraf pusat, tingkat kesadaran, dan siklus tidur [CITATION Adi20 \l
1057 ][ CITATION Apr15 \l 1057 ]
Tingkat kesadaran merupakan salah satu pemeriksaan neurologis yang sangat
penting untuk menilai kondisi pasien secara menyeluruh. Dengan mengetahui kondisi
pasien ini, perawat dapat mengetahui prognosis sehingga perawatan yang diberikan
kepada pasien menjadi lebih optimal dan motivasi untuk menangani secara maksimal
lebih tinggi pada pasien dengan prognosis baik[CITATION 1617 \l 1057 ]
b. Kategori Tingkat Kesadaran
Penilaian kesadaran secara kuantitatif dapat menggunakan Tabel penilaian
Glasgow Coma Scale (GCS) atau Four Score. Tingkat kesadaran secara kualitatif
dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis, somnolen, stupor,dan koma [ CITATION
Apr15 \l 1057 ].
a) Kompos mentis merupakan keadaan dimana seseorang sadar penuh dan dapat
menjawab pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya.
b) Apatis merupakan keadaan dimana seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan
segan berhubungan dengan orang lain dan lingkungannya.
c) Somnolen merupakan keadaan dimana seseorang dalam keadaan mengantuk dan
cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidur kembali.
d) Sopor/stupor merupakan keadaan dimana kesadaran hilang, hanya berbaring
dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila dibangunkan, kecuali dengan
rangsang nyeri.
e) Koma merupakan keadaan dimana kesadaran seseorang hilang, tidak memberikan
respon walaupun sudah diberikan berbagai rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri)
dari luar.
c. Gangguan tingkat kesadaran
Gangguan kesadaran dapat disebabkan oleh beberapa penyebab.
Penyebabpenyebab ini dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan riwayat dan fisik yang
terfokus dan menyeluruh. Contohnya gangguan kesadaran berupa koma yang dapat
disebabkan akibat penyakit yang menyerang bagian otak secara fokal ataupun seluruh
otak. Penyebab-penyebab tersebut dapat berupa traumatik dan non-traumatik.
Penyebab traumatik yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, dan jatuh. Penyebab non-traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam
keadaan koma antara lain gangguan metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global,
iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,
tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis
dan abses serta gangguan psikogenik [CITATION Adi20 \l 1057 ][ CITATION Apr15 \l 1057 ].
d. Pemeriksaan penunjuang tingkat kesadaran
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu, pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan gula darah sewaktu, analisis gas darah, CT Scan tanpa kontras,
CT angiography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), pungsi lumbal, dan EEG
[ CITATION Apr15 \l 1057 ].
a) CT scan
Ct scan tanpa kontras digunakan sebagai salah satu pemeriksaan penunjang untuk
mengidentifikasi penyebab penurunan kesadaran dan kegawatan. CT scan juga
berfungsi sebagai penanda kemungkinan infark serebral, perdarahan intrakranial,
massa intrakranial, edema otak, dan hidrosefalus akut. Jika dicurigai ada infeksi
sistem saraf pusat, khususnya meningitis bakterial akut, antibiotik dan
deksametason diberikan sebelum CT Scan kepala dan pungsi lumbal
b) MRI
MRI memberikan visualisasi jaringan lunak lebih baik seperti batang otak dan
struktur serebelum. Jika pasien dicurigai menderita stroke iskemik atau penyebab
koma masih belum diketahui dengan pemeriksaan lain, dapat dilakukan MRI otak
c) Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) memberikan gambaran fungsi umum korteks. EEG
bermanfaat untuk mendiagnosis nonconvulsive status epilepticus dengan riwayat
kejang atau pasien kejang saat pemeriksaan fi sik, dan untuk pemantauan
gangguan kesadaran yang disebabkan non-convulsive status epilepticus. Jika ada
kelainan metabolik akan terlihat perlambatan gelombang. EEG tidak diperlukan
untuk penentuan kematian batang otak.
2. Cedera kepala

Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

Klasifikasi Cedera Kepala Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS,


2014) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

a. Mekanisme Cedera Kepala


Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala benturan kepala dengan
benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba
kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi
kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera
fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi
mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH),
sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan
cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi
secara khusus menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak
bagian dalam. Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan
rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat
biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan
leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat
pergerakan).
b. Beratnya Cedera Kepala
Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis
sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan
tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma 9 Scale
(GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor
patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma Scale (GCS)
dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara
umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13
dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14- 15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of
Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu: Cedera Kepala
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit, Amnesia post traumatic < 24 jam, GCS 13
-15. Cedera Kepala Sedang Kehilangan kesadaran > 20 menit, < 36 jam Amnesia
post traumatic > 24 jam < 7 hari, GCS 9-12. Cedera Kepala Berat Kehilangan
kesadaran > 36 jam, Amnesia post traumatic > 7 hari, GCS 3-8.
c. Morfologi Cedera Kepala
Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008)
a) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala
sering di dapatkan pada pasien cedera kepala.
b) Fraktur tulang kepala
c) Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler
pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan
oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang
mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup
besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat
kesadaran.
d) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung
saraf yang rusak.
e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak
kulit pada kranial terlepas setelah cedera.
3. Glasgow Coma Scale (GCS)

Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu metode menilai tingkat kesadaran.
Metode ini didasarkan pada respons terhadap rangsangan yang bertujuan mengukur fungsi
neurologis (Nik et al., 2018). GCS mempunyai komponen respon verbal, respon mata dan
respon motorik dalam pengukurannya, semakin rendah skor GCS maka terjadi penurunan
fungsi neurologis (gangguan tingkat kesadaran) atau cedera kepala (Foo, Loan, & Brennan,
2019).

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari


cedera kepala yaitu:Cedera Kepala Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit, Amnesia post
traumatic < 24 jam, GCS 13 -15. Cedera Kepala Sedang Kehilangan kesadaran > 20 menit, <
36 jam Amnesia post traumatic > 24 jam < 7 hari, GCS 9-12. Cedera Kepala Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam, Amnesia post traumatic > 7 hari, GCS 3-8.
Keuntungan penggunaan metode GCS dalam menilai tingkat kesadaran adalah
sederhana, praktis, hemat waktu, dan hemat biaya sehingga dapat dipraktikkan tidak hanya
dokter tetapi tenaga medis lainnya. Metode GCS juga memudahkan komunikasi antara staf
medis mengenai kondisi pasien (Nik et al., 2018).

Salah satu kelemahan GCS adalah sulit untuk mengukur nilai sebenarnya dalam
beberapa kondisi tertentu. Pada pasien intubasi, komponen verbal tidak dapat diukur
sehingga memungkinkan tingkat kesadaran yang dilaporkan pada pasien lebih rendah dari
tingkat sebenarnya. Keadaan yang sama dapat terjadi pada pasien dengan afasia dan
perbedaan bahasa (Ghelichkhani, Esmaeili, Hosseini, & Seylani, 2018). Kondisi lainnya yang
dapat mempengaruhi hasil pengukuran sehingga lebih rendah dari pada kondisi sebenarnya
seperti pasien yang dibius, pasien yang terhubung ke ventilator, pasien trauma maksilofasial,
dan dibawah pengaruh obat-obatan terlarang atau alkohol (Nik et al., 2018).

Nilai
Respons Membuka Mata
 Spontan 4
 Terhadap perintah/pembicaraan 3
 Terhadap rangsang nyeri 2
 Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
 Sesuai perintah 6
 Mengetahui lokalisasi nyeri 5
 Reaksi menghindar 4
 Reaksi fleksi–dekortikasi 3
 Reaksi ekstensi–deserebrasi 2
 Tidak berespons 1
Respons Verbal
 Dapat berbicara dan memiliki orientasi baik 5
 Dapat berbicara, namun disorientasi 4
 Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas 3
(inappropriate words)
 Mengeluarkan suara tidak jelas (incomprehensive 2
sounds)
 Tidak bersuara 1

4. Full Outline of Unresponsiveness Score Coma Scale (FOUR Score)

Full Outline of Unresponsiveness Score Coma Scale (FOUR Score) merupakan salah
satu model yang dapat mengukur tingkat kesadaran pasien. FOUR ini dikembangkan guna
mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh GCS. FOUR Score dapat menilai 4 area fungsi
neurologis termasuk respons mata, respons otot, refleks batang otak, dan pola pernapasan
dengan skala penilaian 0 - 4 untuk masing-masing komponen. [ CITATION Bar17 \l 1057 ]
[CITATION 1617 \l 1057 ]

FOUR score dianggap lebih unggul dibandingkan dengan model penilaian lain dalam
mengklasifikasikan tingkat kesadaran kesadaran. FOUR score lebih sederhana dan
memberikan informasi yang lebih baik, terutama pada pasien-pasien yang terintubasi. Skala
ini dapat membantu klinisi untuk bertindak lebih cepat atas perubahan klinis pasien dan
memudahkan dalam pertukaran informasi yang lebih akurat dengan klinisi lain. [CITATION
Adi20 \l 1057 ] [ CITATION Bar17 \l 1057 ] [CITATION 1617 \l 1057 ]

FOUR score dapat mengevaluasi rincian refleks batang otak termasuk pupil dan
refleks kornea, refleks batuk dan pola pernapasan pasien termasuk pernapasan teratur dan
tidak teratur, Cheyne-Stoke dan apnea pada pasien trauma kepala. Pada poin Verbal dalam
GCS untuk pasien yang tidak memiliki kemampuan verbal yang baik seperti pasien dengan
intubasi, penurunanan kesadaran akibat syok hiovolemik, trauma kapala dan wajah yang
parah atau gangguan psikologis merupakan kendala utama dalam menentukan tingkat
keasadarn pasien. Namun hal ini tidak berlaku pada penilaian FOUR dimana penelian verbal
tidak menjadi kendala. [ CITATION Bar17 \l 1057 ] [CITATION 1617 \l 1057 ]

FOUR score sendiri memiliki kendala, yaitu dimana pasien – pasien yang megalami
keracunan obat yang disertai dengan kecelakaan mengalami perubahan pada pola pernapasan
dan ukuran pupilnya sehingga hal ini menyebabkan pengukuran kesadaran tidak akurat untuk
penilaian FOUR. Selain itu perubahan puil yang disebabkan oleh penyakit mata dan operasi
juga dapat mempengaruhi ketepatan hasil ini. Hal lain juga berpengaruh pada pasien yang
mengalami kegelisahan parah dimana dibutuhkan sedasi sehingga pola dan ukuran pupil juga
berubah. [ CITATION Bar17 \l 1057 ]

FOUR score telah digunakan dalam banyak penelitian dan dalam berbagai situasi
termasuk unit perawatan intensif, ED, bedah saraf, dan dalam populasi yang berbeda seperti
orang dewasa dan anak-anak dengan trauma kepala, penyakit otak degeneratif, kelumpuhan
otak [ CITATION Bar17 \l 1057 ]
Nilai
Respons Mata
 Buka mata, bola mata bergerak, dan berkedip 4
sesuai instruksi
 Buka mata, namun bola mata tidak mengikuti 3
arah gerakan jari
Daftar referensi:
2
 Mata tertutup, namun membuka saat terdengar
suara keras
1
 Mata tertutup, namun membuka saat ada
Aditya, F. (2020). Perbedaan
rangsangan nyeri 0
 Mata tetap tertutup walaupun ada rangsangan Glasgow Coma Scale Dan
nyeri Full Outline Of
Respons Motorik Unresponsiveness Score
 Ibu jari tangan naik, tangan menggenggam dan 4
Pada Pemeriksaan Tingkat
peace sign sesuai instruksi
 Melokalisasi nyeri 3 Kesadaran. Jurnal
2
 Reaksi fleksi terhadap nyeri Penelitian Perawat
1
 Extensor posturing 0 Profesional, 2(4), 545 -551.
 Tidak ada respons terhadap nyeri atau
generalized myoclonus status epilepticus Aprilia, M., & Wreksoatmodjo, B.
Refl eks Batang Otak R. (2015). Pemeriksaan
 Terdapat refleks pupil dan kornea 4
3 Neurologis pada
 Satu pupil lebar dan fixed
2 Kesadaran Menuru.
 Tidak ada refleks pupil atau refleks kornea
1 Cermin Dunia Kedokteran,
 Tidak ada refl eks pupil dan refl eks kornea 0
 Tidak ada refl eks pupil, kornea, dan batuk 42(10), 780 -786.
Pernapasan
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan teratur 4 Baratloo, A., Mirbaha, S., Bahreini,
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan Cheyne- 3 M., Banaie, M., & Safaie, A.
Stokes (2017). Outcome of
2
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan tidak
Trauma Patients Admitted
teratur
1 to Emergency Department
 Bernapas di atas ventilator rate 0
 Bernapas setara ventilator rate atau apnea Based on Full Outline of
Unresponsiveness Score.
Advanced Journal Of Emergency Medicine, 1(1), 1 – 6.

Dewi, R. (2016). Penilaian Kesadaran pada Anak Sakit Kritis: Glasgow Coma Scale atau Full Outline of
UnResponsiveness score? Sari Pediatri , 17, 401 - 406.
Sastrodiningrat, A.G., 2007. Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan
Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera 40 Utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/753
Rutland-Brown, JA Langlois, KE Thomas, YL Xi 2006. Incidence of Traumatic Brain
Injury in the United State. Journal of Head Trauma Rehabilitation. Available from:
https://journals.lww.com/headtraumarehab/Abstract/2006/11000/Incidence_of_Traumat
ic_Brain_Injury_in_the_United.9.aspx.
Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors. (2014).8th Edition
Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider Training
Manual. Michigan Department Of Community Health
Pascual, J.L., et al. (2008). Injury to the brain. In : Flint LF et al, editor . Trauma :
Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot. p 276-88.
Nik, A., Sheikh Andalibi, M. S., Ehsaei, M. R., Zarifian, A., Ghayour Karimiani, E., &
Bahadoorkhan, G. (2018). The Efficacy of Glasgow Coma Scale (GCS) Score and
Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II for Predicting Hospital
Mortality of ICU Patients with Acute Traumatic Brain Injury. Bulletin of Emergency
and Trauma, 6(2), 141–145. https://doi.org/10.29252/beat060208
Foo, C. C., Loan, J. J. M., & Brennan, P. M. (2019). The Relationship of the FOUR Score to
Patient Outcome: A Systematic Review. Journal of Neurotrauma, 36(17), 2469–2483.
https://doi.org/10.1089/neu.2018. 6243
Ghelichkhani, P., Esmaeili, M., Hosseini, M., & Seylani, K. (2018). Glasgow Coma Scale and
FOUR Score in Predicting the Mortality of Trauma Patients; a Diagnostic Accuracy
Study. Emergency (Tehran, Iran), 6(1), e42. https://doi.org/10.22037/emergenc
y.v6i1.21068

Anda mungkin juga menyukai