Anda di halaman 1dari 3

Selalu Berbeda, Antara Kepalsuan dan Ketulusan

Ingin diperhatikan dan ingin dipentingkan, adalah kebutuhan setiap orang. Inilah yang
melatarbelakangi kita kerap bicara tentang diri sendiri, tentang anak-anak kita, atau tentang
hubungan kita dengan orang yang kita anggap penting dan menarik perhatian. Yang perlu
digaris bawahi adalah semua orang memiliki keinginan dan dorongan yang sama, yakni ingin
menjadi penting dalam pandangan orang lain.

Saudaraku,

Mari renungkan. Jika keinginan orang ingin diperhatikan dan dianggap penting, bagaimana
sikap mereka bila kita penuhi keinginan itu, menjadikan mereka orang penting dan
diperhatikan? Jawabannya adalah, mereka pasti sangat senang dan menjadikan kita ada di
hatinya. Jadi bila dikaji lebih lanjut sebenarnya siapa yang bisa mementingkan dan
memperhatikan orang lain, sebenarnya dirinya yang akan menjadi penting dan diperhatikan di
mata orang lain itu. Selanjutnya, dialah yang akan bisa memiliki dan mengarahkan hati orang
itu dengan mudah.

Ada banyak orang bersedih berduka karena berpisah dengan seseorang, atau karena kondisinya
yang tidak diinginkan. Ungkapan bahwa ia sedang bersedih atau sedang berduka, sebenarnya
sedang menyampaikan bahwa ingin mendapat perhatian dan dianggap penting oleh kita
berdasarkan apa yang dirasakannya. Ketika kita bisa bersikap menjadi pendengar yang baik saja
terhadap orang seperti itu, maka kita berarti telah memenuhi keinginannya dipentingkan dan
diperhatikan. Dan biasanya, sikap kita ini akan bernilai istimewa dalam hatinya.

Saudaraku,

Sebenarnya Islam telah menanamkan dasar sikap luar biasa tentang hal ini. Perhatikanlah sabda
Rasulullah SAW, “Perumpamaan seorang mumin dengan mukmin yang lain, dalam kasih, saying
dan kelembutan antara mereka, itu seperti satu jasad. Dimana ketika salahs atu bagian jasad
mengeluh sakit, maka bagian jasad yang lain turut tidak bisa tidur dan merasakan demam. ( HR.
Bukhari dan Muslim). Islam juga mengajarkan sikap sosial yang sangat indah dalam hal ini. “Ada
lima hak seorang muslim atas muslim lainnya. Menjawab salamnya, menjenguknya kala sakit,
mengiringi janazahnya kala meninggal, memenuhi undangannya, dan menjawabnya ketika
berbangkis dengan do’a.” (Muttafaq ‘Alaih)

Rasulullah SAW adalah contoh dalam bersikap dengan orang lain. Rasulullah SAW adalah orang
yang bila bicara, seluruh badannya menghadap ke lawan bicaranya. Saat menjelang peristiwa
Fathu Makkah, Abu Bakar radhiallahu anhu datang bersama orang tuanya yang belum masuk
Islam. Ketika melihatnya datang, Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar RA, “Mengapa
engkau tidak biarkan orang tuamu di rumah, biar aku saja yang datang kepadanya.” Abu Bakar
RA menjawab, “Ia berjalan mendatangimu itu lebih berhak atas dirinya, dibandingkan engkau
yang berjalan mendatanginya.”

Seorang Arab dusun yang memasuki masjid menyeruak di antara para sahabat ketika
Rasulullah SAW sedang khutbah di mimbar, dan berteriak mengatakan, “Ya Rasulullah … ada
orang yang tidak tahu apa agamanya. Ajarilah dia tentang agamanya… “ Rasulullah SAW lalu
turun dari mimbar dan mendatangi orang tersebut. Ia meminta kursi tempat orang itu duduk,
lalu Rasul SAW menyampaikan kepadanya tentang Islam hingga ia mengerti. Setelah itu,
barulah Rasulullah SAW kembali lagi ke atas mimbar.

Seperti itulah sikap Rasulullah SAW, kepada orang tua maupun anak kecil, kepada kalangan
pemimpin atau orang biasa. Rasulullah SAW menyampaikan salam kepada anak-anak dan
bersenda gurau dengan mereka dengan menghormati mereka.

Saudaraku,
Rasulullah SAW bahkan memotivasi kita untuk lebih dahulu mementingkan dan memperhatikan
orang lain. “Orang yang lebih utama di sisi Allah adalah orang yang memulai salam,” demikian
sabdanya. Dalam kesempatan lainnya, Rasulullah SAW mengatakan, bahwa Islam yang baik itu
adalah memberi makan, menyampaikan salam kepada orang yang dikenal dan yang tak dikenal.
Bahkan, “Jika kalian bertemu saudara, maka sampaikanlah salam padanya. Bila setelah itu
kalian terhalangi oleh sebuah pohon atau tembok atau batu, kemudian bertemu lagi,
ucapkanlah salam untuknya lagi.”

Memperhatikan orang lain, menjadikannya orang penting, adalah bagian dari ajaran Islam yang
mulia. Bukan hanya akan memperindah hubungan antar kita dengan orang lain, tapi juga
memperbaiki kedudukan kita di sisi Allah SWT.

Tak perlu berharap masalah duniawi untuk menganggap penting dan memperhatikan orang
lain. Sebab kebaikan hubungan yang bermotif duniawi dan palsu, selalu mudah terbaca karena
berbeda dengan hubungan yang berdasarkan ketulusan, dan pahala dari Allah SWT. Berbeda
antara sikap yang hanya ada di bibir dengan sikap yang bersumber dari hati. Berbeda antara
yang imitasi dan yang asli. Akan jelas terasa bedanya, antara ketulusan yang bisa memberi
pengaruh dengan kepalsuan yang semu sehingga tidak memiliki pengaruh apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai