Anda di halaman 1dari 6

Tarbiyatuna Tsaqafiyah

Politisasi Agama

(DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Ketua Umum International Union for Muslim


Scholars)

Di antara tuduhan yang selalu diarahkan pada organisasi dakwah yang peduli dengan politik adalah
adalah tuduhan mempolitisasi agama, mencampurkan antara agama dan politk, memasukkan agama
dalam politik, atau memasukkan politik dalam masalah agama. Hingga ada salah satu penguasa saat
ini yang mengatakan, “ Tidak ada agama dalam politik dan tidak ada politik dalam agama.”

Berbagai pembicaraan dan makalahpun belakangan ini menyebar luas mengangkat istilah “Islam
politik”. Tema itu mereka arahkan pada siapapun yang menyerukan agar sebuah pemerintahan
berjalan sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, menyerukan pengembalian hukum Allah bagi
orang yang mengimani syariat Allah, menyerukan pembebasan tanah Islam dan melakukan
perlawanan kepada pihak yang merampas bumi Islam, menyerukan persatuan ummat Islam atau
setidaknya mendekatkan hubungan antara negara-negara Islam agar saling bantu dan tidak saling
berseteru.

Tak hanya itu, bahkan kini mereka menempelkan organisasi Islam yang bicara tentang negara,
politik, pemerintahan, dengan label kekerasan, pembunuhan massal, teroris, pengancam
kedaulatan negara, fanatisme golongan terhadap pihak lain, atau ada juga yang mengangkat istilah
kembali mundur ke zaman kuno.

Jika ada orang yang mengaku bahwa politik adalah bagian dari Islam karena Islam sangat jelas
mengatur masalah kekuasaan, mereka akan mengharuskan orang itu untuk melakukan sesuatu yang
tidak diyakini dan menuduhnya sebagai pendukung kekerasan, terorisme dan pembunuh.

Saya ingin katakan, bahwa umat Islam yang peduli dengan masalah politik bukanlah orang-orang
yang mempolitisasi agama. Akan tetapi agama yang berasal dari Allah SWT ini yang memang telah
mensyariatkan untuk mengatur masalah politik dan kekuasaan, ketika bicara tentang hukum yang
terkait dengan politik.

Islam menyampaikan ayat yang sulit bagi kita untuk menghindarkannya dari koneks bicara tentang
politik :

ِ ‫ات إِىَل أ َْهلِ َه ا َوإِ َذا َح َك ْمتُم َبنْي َ الن‬


‫َّاس أَن حَتْ ُك ُم واْ بِالْ َع ْد ِل إِ َّن اللّ هَ نِعِ َّما يَعِظُ ُكم بِ ِه إِ َّن اللّ هَ َك ا َن‬ ِ َ‫ؤدواْ األَمان‬ َّ
َ ُّ ُ‫إن اللّ هَ يَ أْ ُم ُر ُك ْم أَن ت‬
‫ول َوأ ُْويِل األ َْم ِر ِمن ُك ْم فَ ِإن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف َش ْي ٍء َف ُر ُّدوهُ إِىَل اللّ ِه‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ْ‫َطيعُ وا‬ ِ ‫َطيع واْ اللّ ه وأ‬
ََ
ِ
ُ ‫ين َآمنُ واْ أ‬
ِ َّ ِ ِ
َ ‫} يَ ا أَيُّ َه ا الذ‬58{ ً‫مَس يعاً بَص ريا‬
ِ ِ ‫ول إِن ُكنتم تُؤِمنو َن بِاللّ ِه والْيوِم‬ ِ ‫الرس‬
}59{ ً‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬ ْ ‫ك َخْيٌر َوأ‬َ ‫اآلخ ِر ذَل‬ َْ َ ُ ْ ُْ ُ َّ ‫َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)

Imam Ibnu Taymiyah rahimahullah menjadikan dua ayat ini sebagai sebuah spektrum politik dalam
kitabnya berjudul “ As-Siyasah Asy-Syar’iyah fi Ishlaahi Ar-Ra’iy wa Ar-Ra’iyah (Syariat Politik dalam
Memperbaiki Pemimpin dan Rakyat)

Selanjutnya ada sejumlah ayat yang juga mewajibkan mengembalikan hukum kepada Allah SWT, dan
Rasul-Nya :

}65{ ً‫ت َويُ َسلِّ ُمواْ تَ ْسلِيما‬ ِ


َ َ‫يما َش َجَر َبْيَن ُه ْم مُثَّ الَ جَيِ ُدواْ يِف أَن ُفس ِه ْم َحَرجاً مِّمَّا ق‬
َ ‫ضْي‬
ِ َ ‫فَالَ وربِّك الَ يؤِمنو َن حىَّت حُي ِّكم‬
َ ‫وك ف‬ ُ َ َ َ ُ ُْ َ َ َ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. An-Nisa : 65)

Sebagaimana juga dalam surat An-Nur:

ِِ ِ ِ
}47{ ‫ني‬ َ ِ‫ك َو َما أ ُْولَئ‬
َ ‫ك بِالْ ُم ْؤمن‬ ِ ‫الرس‬
ٌ ‫ول َوأَطَ ْعنَا مُثَّ َيَت َوىَّل فَ ِر‬
َ ‫يق ِّمْن ُهم ِّمن َب ْعد َذل‬ ِ ِ
ُ َّ ِ‫َو َي ُقولُو َن َآمنَّا باللَّه َوب‬
“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul
(Muhammad), dan kami menaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling setelah itu.
Mereka itu bukanlah orang-orang beriman.” (QS. An-Nur : 47)
}51{ ‫ك ُه ُم الْ ُم ْفلِ ُحو َن‬ ِ ِ
َ ِ‫ني إِذَا ُدعُوا إِىَل اللَّ ِه َو َر ُسول ِه ليَ ْح ُك َم َبْيَن ُه ْم أَن َي ُقولُوا مَسِ ْعنَا َوأَطَ ْعنَا َوأ ُْولَئ‬ِِ
َ ‫إِمَّنَا َكا َن َق ْو َل الْ ُم ْؤمن‬
“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar
Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, "Kami mendengar, dan kami taat.”
(QS. An-Nur : 51)

Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang seperti ini, bukan hanya sebagai suplemen dalam masalah
politik tapi bahkan sebagai inti atau dasar-dasar politik. Karena ayat-ayat ini menegaskan masalah
referensi tinggi bagi ummat dan negara.

Apa yang dikatakan orang-orang yang masih berkelit mengatakan politisasi agama, jika melihat
sejumlah ayat dari surat al-Maidah ayat 44,45, 47:

}44{ ‫ك ُه ُم الْ َكافُِرو َن‬


َ ِ‫َنز َل اللّهُ فَأ ُْولَـئ‬ ‫مِب‬
َ ‫َو َمن مَّلْ حَيْ ُكم َا أ‬
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah
orang-orang kafir.”

}45{ ‫ك ُه ُم الظَّالِ ُمو َن‬


َ ِ‫أنز َل اللّهُ فَأ ُْولَـئ‬ ‫مِب‬
َ ‫َو َمن مَّلْ حَيْ ُكم َا‬
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah
orang-orang zalim.”

ِ ‫ك هم الْ َف‬ ِ ‫مِب‬


}47{ ‫اس ُقو َن‬ َ ‫َو َمن مَّلْ حَيْ ُكم َا أ‬
ُ ُ َ ‫َنز َل اللّهُ فَأ ُْولَـئ‬
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah
orang-orang fasik.”

Mereka yang menolak hubungan Islam dan politik, mengatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan
dalam konteks ahlul kitab agar mereka merujuk pada hukum taurat dan injil.

Kami katakan pada mereka, betul seperti itu tapi dalam ayat ini berlaku kaidah ushul:

‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬

“Pengajaran itu dilihat pada umum lafaz, bukan pada khusus sebab.”

Lalu apakah apa yang Allah turunkan atas kaum Muslimin itu tidak diturunkan kepada ahlul kitab?
Sehingga bila mereka meninggalkan hukum dengan apa yang Allah turunkan, lalu mereka disebut
sebagai kafir, zhalim dan fasik. Sedangkan kaum Muslimin jika meninggalkan hukum Allah yang ada
di dalam Al-Qur’an tidak disifati sebagai kekafiran, kezaliman dan kefasikan?

Atau pertanyaannya, apakah Allah SWT akan membedakan dua hal dari yang sama? Jika ahlu taurat
dan Injil meninggalkan kitab mereka akan dihukumi seperti disebut di dalam ayat, tapi jika kaum
Muslimin meninggalkan Al-Qur’an tidak dihukumi seperti kaum sebelum mereka? Dimanakah
keadilan Allah SWT kalau begitu?
Kami telah menjawab argumentasi mereka dalam hal ini dalam sejumlah kitab. Siapapun yang
membaca dan menelaah isi Al-Qur`an akan mendapati banyak ayat yang terkait dengan politik dalam
negeri dan bahkan politik luar negeri, hubungan dengan pihak lain dalam kondisi perang maupun
kondisi damai. Fakta ini sangat mungkin dicerna oleh orang sekalipun ia belum terlalu mendalami Al-
Qur`an.

Jika kita perhatikan Al-Qur`an di fase Makkah pun, di antara isinya mengkaitkan umat Islam – meski
dalam kondisi mereka sebagai kaum yang lemah (mustadh’afiin) di Makkah – dengan konflik politik,
militer dari berbagai penjuru yang mengelilingi mereka. Ketika itu, terjadi pertikaian antara dua
negara besar memperebutkan supremasi dunia ; negara Persia di Timur dan negara Romawi
Bizantium di Barat. Terjadi perdebatan antara Kaum Musyirikin dan Kaum Muslimin tentang masa
depan dan siapa yang akhirnya akan memenangkan peperangan.

Kaum Muslimin lebih mendukung kemenangan Romawi karena mereka percaya bahwa Romawi
didominasi orang-orang Nashrani yang merupakan Ahlul Kitab, dan itu berarti mereka lebih dekat
kepada keyakinan kaum Muslimin. Sedangkan kaum Musyrikin lebih mengunggulkan Persia karena
mereka Majusi menyembah api yang dianggap lebih dekat pada penyembahan berhala.

Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an kepada kaum Muslimin berupa ayat-ayat pertama dalam surat Ar-
Ruum 1-4:

‫ني لِلَّ ِه اأْل َْم ُر ِمن َقْب ُل َوِمن َب ْع ُد‬ِ ِ ْ ِ‫} يِف ب‬3{ ‫ض وهم ِّمن بع ِد َغلَبِ ِهم س ي ْغلِبو َن‬
َ ‫ض ِع س ن‬ ُ ََ ْ َْ ُ َ ِ ‫} يِف أ َْدىَن اأْل َْر‬2{ ‫وم‬
ِ ِ
ُ ‫} غُلبَت ال ُّر‬1{ ‫امل‬
}4{ ‫َو َي ْو َمئِ ٍذ َي ْفَر ُح الْ ُم ْؤِمنُو َن‬

Alif laam miim (1) Telah dikalahkan bangsa Rumawi (2) di negeri yang terdekat dan mereka sesudah
dikalahkan itu akan menang (3) dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-
orang yang beriman (4)

Siapa saja yang menelaah sunnah Nabawiyah, juga akan mendapati banyak hal yang lebih rinci
tentang hal ini. Sebagaimana digambarkan secara gamblang dalam sirah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, bahwa beliau adalah pimpinan tertinggi (al-imam al-a’zham), sekaligus hakim dan mufti
yang paling mengetahui tentang putusan hukum, seperti dikatakan Al-Imam Al-Qarafi rahimahullah.

Al-Imam al-A’zham adalah istilah yang digunakan untuk pemimpin tertinggi dalam suatu negara. Ini
pemahaman yang disepakati dan tak ada perbedaan dalam memahaminya. Di samping Al-Imam al-
A’zham, tidak ada raja atau amir yang mengatur masalah politik dan di waktu yang sama . Di waktu
yang sama Al-Imam al-A’zham juga mengurus masalah agama dan dakwah. Jadi, masalah negara
dan agama ada di tangannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadi imam dalam shalat,
beliau juga yang memimpin kaum Muslimin dalam perang maupun dalam damai, membuat
perjanjian dan bernegosiasi, mengutus diplomat ke berbagai tempat, menentukan pemimpin
daerah, hakim, guru dan mengirimkan mereka ke berbagai negara yang telah dikuasai oleh kaum
Muslimin.

Dalam fiqh siyasah syar’iyah diketahui bahwa ada tindakan Rasul shallallahu alaihi wa sallam yang
disebut para fuqaha sebagai tindakan yang termasuk dalam fungsi al-imamah, atau dengan kata lain
sebagai fungsi pemimpin tertinggi dalam sebuah negara.
Ini berbeda dengan tindakan Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam yang mewakili fungsi tabligh
(menyampaikan) apa yang datang dari Allah SWT. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa
yang menghidupkan kembali bumi (tanah) yang mati, maka bumi (tanah) itu menjadi miliknya.” Al-
Imam Abu Hanifah dan yang sepakat dengan beliau mengatakan bahwa perkataan Rasul shallallahu
alaihi wa sallam ini menunjukan posisi imamahnya. Sebab tidak ada orang yang bisa memiliki
sepetak tanah yang dia hidupkan, kecuali dengan izin imam.

Bahkan semua fuqaha lintas mazhab menetapkan bahwa syariat Islam adalah penentu hukum atas
seluruh tindakan orang mukallaf. Tidak ada yang dilakukan dari orang mukallaf - di semua hal – yang
keluar dari lingkup syariah. Ia harus merujuk pada salah satu dari hukum syar’iyah di mana ad-diin
(agama) adalah salah satu dari aksioma syar’iyah yang lima atau enam, yang di atasnya dibangun
taklif syar’iyah. Lima prinsip syar’iyah itu adalah (ad-diin, an nafs (jiwa) an-nasl (keturunan), al-‘aql
(pikiran), al-maal (harta), dan ada sebagian yang menambahkan al’irdh (kehormatan). Dengan ini,
Islam tidak hanya terbatas mengurus agama saja dan melupakan hakikat lainnya, dan ini sudah
menjadi ijma’ para ulama ushul.

Al-Qur’an menegaskan komprehensifitas ketika Allah SWT berfirman kepada Rasulullah shallallaahu
alaihi wa salam :

ِِ ِ ٍ ِ َ‫ك الْ ِكت‬


َ ‫اب تْبيَاناً لِّ ُك ِّل َش ْيء َو ُه ًدى َو َرمْح َةً َوبُ ْشَرى ل ْل ُم ْسلم‬
}89{ ‫ني‬ َ َ ‫َو َنَّزلْنَا َعلَْي‬
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl
: 89)

Dan dalam penutup surat Yusuf ayat 111 :

‫يل ُك َّل َش ْي ٍء َو ُه ًدى‬ ِ ِ ِ َّ ‫ـكن تَص ِد‬


َ ‫يق الذي َبنْي َ يَ َديْ ه َوَت ْفص‬
َ ْ
ِ َ‫اب م ا َك ا َن ح ِديثاً ي ْفَت رى ول‬
َ َ ُ َ
ِ ِ ِ َ‫لََق ْد َك ا َن يِف ق‬
َ َ‫صص ِه ْم عْب َرةٌ أِّل ُْويِل األَلْب‬
َ
}111{ ‫َو َرمْح َةً لَِّق ْوٍم يُ ْؤِمنُو َن‬

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.” (QS. Yusuf : 111)

Jika Injil mengatakan, “Berikan untuk kaisar apa yang milik kaisar, dan berikan untuk Tuhan apa yang
milik Tuhan”, maka Al-Qur’an menjadikan kaisar itu milik Allah yang Maha Satu. Disebutkan dalam
surat Ali Imran 154 :

‫قُ ْل إِ َّن األ َْمَر ُكلَّهُ لِلَّ ِه‬

“Katakanlah sesungguhnya segala urusan itu seluruhnya milik Allah.” (QS. Ali Imran : 154)

Bagi Allah semua yang ada di bumi dan semua yang ada di langit dan seisinya. Allah lah yang
menentukan hukum atas semua itu. Kewajiban semua adalah tundukpatuh total kepada Allah, yang
terjawantahdalam penghambaan dan ibadah kepada Allah serta ketundukan pada perintah-Nya.
Kelengkapan dan komprehensifitas Islam bukan merupakan ide baru milik orang tertentu atau
organisasi dakwah tertentu. Melainkan ketetapan yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah
sekaligus dijadikan ijma’ (konsensus) para ulama. Di atas pemahaman inilah berdiri peradaban besar
yang tercatat gemilang dalam sejarah.

Semua tokoh reformasi yang muncul dan berusaha membangkitkan ummat di zaman modern ini,
seluruhnya memasukkan politik dalam agama dan memasukkan agama dalam politik. Muhammad
bin Abdul Wahhab, As-Sanusi, Al-Mahdi, Al-Amiir, Abdul Qadir, Al-Afghani, Al-Kawakibi Muhammad
Abduhm Rashid Ridha, Ibnu Badis dan selain mereka semua memandang Islam sebagai agama yang
lengkap sehingga tidak memisahkan antara agama dan politik. Mereka semua terlibat dalam apa
yang sekarang disebut dengan istilah “politisasi agama”.

Seorang penguasa yang menyatakan bahwa tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama
dalam politikpun ternyata juga banyak berbicara dengan nama agama untuk memperkuat jabatan
politiknya. Ia bahkan juga meminta ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang menjustifikasi
kedudukannya.

Orang-orang yang komitmen dengan Islam, adalah warga negara. Hak mereka adalah
mempraktikkan politik sesuai keyakinan dan pemahaman mereka. Seorang Muslim bisa masuk ke
dalam aktifitas politik tapi di waktu yang sama dia juga tenggelam dalam ibadah kepada Rabbnya.
Inilah yang kita saksikan dalam aktifitas yang disebut “qunut nazilah”. Seorang Muslim boleh berdo’a
dalam shalatnya untuk mengutuk Zionis Israel yang merampas tanah Palestina dan menduduki
Masjid Al-Aqsha. Dahulu juga ada qunut nazilah atas Serbia saat menyerang penduduk Muslim
Bosnia Herzegovina dan Kosova. Atau peristiwa lain yang menistakan hal yang harus dipelihara oleh
Umat Islam. Sebagaimana seorang Muslim juga boleh membaca Al-Qur`an yang membahas masalah
kehidupan, termasuk masalah jihad, menegakkan keadilan, berhukum dengan apa yang Allah
turunkan, dan lainnya. Tak seorangpun yang dilarang untuk melakukan hal ini.

ِ ‫اطل إِ َّن الْب‬


}81{ ً‫اط َل َكا َن َز ُهوقا‬ ِ
َ ُ َ‫َوقُ ْل َجاء احْلَ ُّق َو َز َه َق الْب‬
“Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil
itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra : 81)

Anda mungkin juga menyukai