Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

POLITIK DAN KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


Dosen Pengampu: Hafiduddin, S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh:
1. Muhammad Adriandi Akbar (13170312111)
2. Muhammad Mahardhika Isa (1317030079)

PROGRAM STUDI TEKNIK TELEKOMUNIKASI


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
JAKARTA
2017
Mukadimah
Kaum sekuler (baik Barat maupun Timur) tidak akan ada kata henti
menyerukan manusia; jauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari negara.
Seruan ini, bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan dia memiliki akar dalam
‘kesucian’ teks agama Nasrani. Dalam Bible disebutkan: “Berikan Hak Kaisar
kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan.” Inilah pemisahan ekstrim
antara keterkaitan kekuasaan dan agama, tetapi bukan dari Islam, bukan dari Allah
dan RasulNya, tidak dikenal oleh para sahabat, dan asing dalam seluruh literatur
mu’tabarah para ulama dan sejarawan Islam.
Tahun terus berjalan, abad berganti abad, upaya mereka untuk
memadamkan agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka terus bergulir,
dengan wajah dan pakaian baru tetapi isinya sama. Tetapi selalu ada pada tubuh
umat ini segolongan manusia yang membendung mereka, melucuti kebohongan dan
meruntuhkan semua bangunan argumen yang mereka dirikan. Hingga agama ini
tetap menduduki haknya sebagai penguasa dan pengelola dunia ini.
Allah Ta’ala berfirman:
َ‫ور ِه َو َل ْو ك َِر َه ا ْلكَافِ ُرون‬ ‫َّللاِ ِبأ َ ْف َوا ِه ِه ْم َو ه‬
ِ ُ‫َّللاُ ُمتِ ُّم ن‬ ‫ور ه‬ َ ُ‫يُ ِري ُدونَ ِليُ ْط ِفئ ُوا ن‬
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya)
mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang
kafir membencinya." (QS. Ash Shaf (61): 8)

Kekuasaan Adalah Warisan Allah Kepada Orang Mukmin


Tidak bisa dibenarkan klaim sebagian manusia -sayangnya mereka dikenal
sebagai ‘tokoh Islam’ yang berada dalam komunitas Jam’iyyah Islamiyah- yang
mengatakan Islam tidak pernah mengurus negara dan politik. Tidak ada daulah
dalam Islam. Ini jelas syubhat sekelurisme yang mereka dapatkan melalui
pendidikan dan interaksi akademis yang bebas nilai.
Banyak sekali ayat-ayat yang menjadi dalil wajibnya berdiri Daulah
Islamiyah. Allah Ta’ala berfirman:
‫ف ا هل ِذينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم َولَيُ َم ِكنَنه‬
َ َ‫ست َ ْخل‬ ِ ‫ستَ ْخ ِل َفنه ُه ْم ِفي ْاْل َ ْر‬
ْ ‫ض َك َما ا‬ ِ ‫َّللاُ اله ِذينَ آ َ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوع َِملُوا الصها ِلحَا‬
ْ ‫ت لَ َي‬ ‫ع َد ه‬ َ ‫َو‬
َ ‫ارتَضَى لَ ُه ْم َولَيُ َب ِدلَنه ُه ْم ِم ْن بَ ْع ِد َخ ْوفِ ِه ْم أَ ْمنًا يَ ْعبُدُو َننِي ََل يُش ِْركُونَ بِي‬
َ‫ش ْيئًا َو َم ْن َك َف َر بَ ْع َد ذَ ِلك‬ ْ ‫لَ ُه ْم دِينَ ُه ُم ا هلذِي‬
ِ ‫فَأُو َلئِكَ ُه ُم ا ْل َفا‬
َ‫سقُون‬

1
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan aku. Dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka
mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur (24): 55)
FirmanNya yang lain:
ُ‫وف َونَه َْوا ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر َو ِ هّلِلِ عَاقِبَة‬
ِ ‫الزكَاةَ َوأ َ َم ُروا ِبا ْل َم ْع ُر‬
‫ض أَقَا ُموا الص َهَلةَ َوآَتَ ُوا ه‬
ِ ‫اله ِذينَ ِإ ْن َم هكنها ُه ْم فِي ْاْل َ ْر‬
ِ ‫ْاْل ُ ُم‬
‫ور‬
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj (22): 41)
FirmanNya yang lain:
ُ ‫َاص فِي ا ْلقَتْ َلى ا ْل ُح ُّر ِبا ْل ُح ِر َوا ْلعَ ْب ُد بِا ْلعَ ْب ِد َو ْاْل ُ ْنثَى ِب ْاْل ُ ْنثَى فَ َم ْن‬
ُ‫ع ِف َي لَه‬ ُ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل ِقص‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا اله ِذينَ آ َ َمنُوا ُكت‬
ُ‫يف ِم ْن َربِ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ فَ َم ِن ا ْعتَدَى بَ ْع َد ذَ ِلكَ َفلَه‬ ٌ ‫ان ذَ ِلكَ تَ ْخ ِف‬ َ ْ‫وف َوأَدَا ٌء إِلَ ْي ِه بِ ِإح‬
ٍ ‫س‬ ِ ‫ع بِا ْل َم ْع ُر‬ٌ ‫ِم ْن أ َ ِخي ِه ش َْي ٌء فَاتِبَا‬
‫اب أ َ ِلي ٌم‬
ٌ َ‫عذ‬
َ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah (2): 178)
FirmanNya yang lain:
َ‫َّللا‬ ‫اس أ َ ْن تَحْ ُك ُموا بِا ْلعَ ْد ِل إِنه ه‬
ُ ‫َّللاَ نِ ِع هما يَ ِع‬
‫ظ ُك ْم بِ ِه إِنه ه‬ ِ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْلَ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أ َ ْه ِلهَا َوإِذَا َحك َْمت ُ ْم بَ ْينَ النه‬ ‫إِنه ه‬
‫يرا‬
ً ‫س ِميعًا بَ ِص‬ َ َ‫از ْعت ُ ْم ِفي ش َْيءٍ كَان‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَ ِإ ْن تَ َن‬ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا ه‬
ُ ‫الر‬ ‫َيا أَيُّهَا اله ِذينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيعُوا ه‬
ً ‫سنُ تَأ ْ ِو‬
‫يَل‬ َ ْ‫اّلِلِ َوا ْل َي ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر ذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬
‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُؤْ ِمنُونَ ِب ه‬
ُ ‫الر‬ ‫فَ ُردُّوهُ ِإلَى ه‬0
‫َّللاِ َو ه‬

2
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An Nisa (4): 58-59)
Ayat-ayat ini menuntut didirikan Daulah Islamiyah, bagaimana bisa amanat
dan pesan agung yang ada pada ayat-ayat ini bisa berjalan secara utuh dan sempurna
tanpa adanya negara yang menerapkan dan menjaganya?
Perhatikan ayat 58, objek pembicaraan pada ayat ini adalah pemerintah dan
penguasa, di mana mereka diperintahkan untuk memelihara amanah yang
dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Lalu pada ayat 59,
objek pembicaraannya adalah rakyat yang beriman. Mereka harus taat kepada Ulil
Amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat Ulil Amri tersebut telah
mentaati Allah dan RasulNya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada Ulil Amri,
adalah tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Selain itu,
mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan cara mengembalikannya
kepada konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan RasulNya yakni Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menjalankan semua ini, agar
berjalan sempurna dan utuh, tentu melazimkan adanya pada sebuah negara, tidak
hanya sekedar kehidupan individu.
Oleh karena itu, surat An-Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan utama
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya As Siyasah Asy
Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.
Dalam Al Quran masih banyak ayat-ayat yang membahas tema-tema sosial,
politik, ekonomi, perjuangan, dan militer. Ayat-ayat ini telah menjadi perhatian
khusus para imam kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan ayatul
ahkam (ayat-ayat hukum). Tak kurang dari Imam Asy Syafi’i, Imam Al Jashash,

3
dan Imam Ibnul ‘Arabi membuat kitab tafsir khusus membahas ayat-ayat hukum,
dengan judul yang sama; Ahkamul Quran. Ulama kontemporer juga ada yang
melakukannya yakni Syaikh Prof. Dr. Ali Ash Shabuni menyusun kitab Rawa’i Al
Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal Quran.

Pengabaran As Sunnah
Banyak sekali hadits shahih (puluhan bahkan ratusan) yang membahas
tentang khalifah, kekuasaan kepemimpinan, bai’at, pengadilan, dan karakteristik
pemimpin. Juga dibahas tentang cara menasihati mereka, bermusyawarah dengan
mereka, serta menyikapi mereka baik yang adil maupun yang zalim. Pemimpin
seperti apa yang layak ditaati dan yang bagaimana yang tidak boleh ditaati. Juga,
hak dan kewajiban mereka.
Para imam ahli hadits pun telah membuat pembahasan dalam kitab mereka
bab khusus tentang kepemimpinan dan hak-hak yang terkait dengan wewenang
pemimpin. Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al
Hudud, Kitab Ad Diyat, juga Kitab Al Ahkam yang membuat bab-bab tentang Al
Imamah dan Al Imarah (kepemimpinan). Begitu pula Imam Muslim, dalam
kitab Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Imarah, juga Kitab Al Hudud, dan Al
Qasamah wal Muharibin wal Qishash wal Diyat. Hal sama dilakukan juga para
pengarang kitab Sunan.
Fakta ilmiyah ini merupakan jawaban atas tudingan sebagian pihak yang
mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki akar yuridis dalam Islam.
Bagaimana bisa mereka mengatakan demikian padahal As Sunnah adalah salah satu
dasar yuridis Islam, dan telah begitu banyak As Sunnah membicarakan
kepemimpinan, kekuasaan khilafah, bai’at, dan pembahasan lain yang terkait.
Contoh hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ٍ ‫إذا خرج ثَلثةٌ في‬
‫سفر فليؤ َِمروا أحدهم‬
“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka
menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud No. 2608. Syaikh Al Albani
mengatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2608)

4
Jika urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan
adanya pemimpin, maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan besar dari
itu seperti kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam luput dari hal-hal
besar seperti politik dan negara.
Hadits lain:
‫اَلمام ظل هللا في اَلرض‬
“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath
Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat.
Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/215)
Hadits ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan
Islam. Maka, bagaimana mungkin mereka mengatakan Islam sama sekali tidak
pernah bicara kekuasaan?

Fakta Warisan Pemikiran Islam


Tema tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan apa-apa yang menjadi
tautannya seperti hudud, bai’at, diyat, pengadilan, dan lainnya. Telah dibicarakan
para ulama Islam sejak masa-masa awal hingga zaman modern. Baik pembahasan
yang include dengan kajian fiqih lainnya, atau pembahasan khusus pada kitab
khusus pula.
Tidak pernah sepi di kolong langit ini para ulama yang mengkaji
permasalahan kepemimpinan, kenegaraan, pidana, dan politik Islam. Imam Abul
Hasan Al Mawardi menyusun kitab Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum-hukum
Kekuasaan). Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang sama. Imam Al
Haramain menyusun kitab Al Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah menyusun kitab As
Siyasah Asy Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul Qayyim menyusun
kitab Ath Thuruq Al Hukmiyah (metode-metode pemerintahan). Imam As Suyuthi
menyusun kitab Al Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin. Ibnu Syidad menyusun
kitab An Nawadir As Sulthaniyah, lain sebagainya.
Fakta ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara
dan politik. Adanya karya-karya ini serta perhatian para sarjana muslim sejak masa
klasik membuktikan bahwa memang keterkaitan antara Islam dan negara adalah
memang wujud (ada). Sebab, adalah hal mustahil para imam ini membicarakan

5
sesuatu yang sia-sia, yang tidak pernah terjadi dalam Islam dan dunianya. Dia
dibicarakan karena dia ada. Hakikat ini sangat jelas bagi orang-orang yang berakal.

Fakta Sejarah Kepemimpinan Islam


Sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan para
khalifah yang empat, lalu dilanjutkan oleh para khilafah dinasti, hingga berakhirnya
khilafah Turki Utsmani tahun 1924 M, dan pada masa itu selalu ada ulama Islam
yang memberikan sumbangan pemikiran untuk kemakmuran negara, adalah fakta
sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa agama ini sangat perhatian dengan masalah
kepemimpinan, kekuasaan, wilayahnya, serta negara. Ini juga menunjukkan, tidak
mungkin selama belasan abad lamanya umat Islam dan para ulamanya melakukan
kesalahan langkah karena ‘mencampurkan’ agama dan negara, apalagi disebut tidak
memiliki akar sejarah dan teologis.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda:
‫إن هللا َل يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى هللا عليه وسلم على ضَللة ويد هللا مع الجماعة‬
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengumpulkan umatku (atau Beliau
bersabda: Umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) di atas kesesatan, dan
tangan Allah bersama jama’ah.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2167)
Seringkali kaum sekelur dan liberal menjadikan sejarah hitam kekuasaan
Islam sebagai bukti untuk memperkuat hawa nafsu mereka. Mereka membeberkan
adanya konflik, bahkan pertumpahan darah pada sebagian masa-masa khilafah
Islamiyah. Pandangan mereka sama sekali tidak bisa dibenarkan. Peristiwa-
peristiwa yang dilahirkan dari kejahatan manusia, serta kepentingan duniawi
pelakunya, sama sekali bukanlah noda serta bukan pula alasan untuk menafikan
nilai dan bangunan sistem yang ada. Perilaku konflik mereka hendaknya
disandarkan sebagai sikap dan perilaku pribadi manusianya, bukan karena nilai
yang dianut dan yang berlaku saat itu. Lalu, kenapa mereka tidak berkaca pada fakta
sejarah kegemilangan Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz? Apa yang
membuat mereka menutup mata terhadap fragmen yang lain? Jika bukan

6
kebodohan dan mata kebencian terhadap Islam, nama apalagi yang cocok buat sikap
mereka ini?!
Selain itu, kaum sekuler juga membangun argumentasi mereka dengan
dasar pobhia negara teokrasi ala Barat. Mereka menyangka jika Islam dijadikan
dasar pemerintahan kekuasaan dan hukum-hukumnya, akan mengulangi kekuasaan
kaum gerejani di Eropa yang absolute. Kekuasaan yang selalu mengatasnamakan
semua perbuatan dan keputusan pemimpin berasal dari Tuhan. Sehingga, tidak ada
celah untuk bertanya ‘mengapa?’, lebih-lebih mengatakan ‘tidak!’. Pemikiran dan
ketakutan mereka ini sangat rapuh, bodoh, dan tidak sesuai fakta sejarah
kepemimpinan rahmatan lil ‘Alamin-nya Islam. Dan, Islam sendiri menolak sistem
Teokrasi, yang memposisikan suara pemimpin adalah suara Tuhan.
Tidak cukup dengan itu, mereka juga sok membela agama dengan
mengatakan agama adalah sakral dan suci yang tidak selayaknya dicampuradukan
ke dunia politik dan kekuasaan yang penuh intrik dan hawa nafsu. Ini juga
pemikiran yang dibangun bukan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh dan
menyeluruh dan menafikan sikap Islam terhadap politik, melainkan berdasarkan
asumsi dan kasus manusia yang mereka lihat saja.
Jahatnya lagi adalah mereka tidak pernah mempermasalahkan lahirnya
negara sosialis, komunis, kapitalis, serta negara Kristen Vatikan, Hindu India, dan
Yahudi Israel. Semua ini bebas hidup dan menghidup udara segar di alam
demokrasi versi mereka. Tetapi, tangan mereka terkepal, bom mereka siap
diluncurkan, serta syubuhat pemikiran pun dipublikasikan, ketika berhadapan
dengan ide dan gagasan negara Islam. Padahal baru sekedar gagasan!
Fakta sejarah bahwa Islam senantiasa ada dalam panggung kekuasaan juga
telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa umat ini
akan mengalami lima tahap kepemimpinan. Pertama. Kepemimpinan di atas
manhaj kenabian. Kedua, kepemimpinan khalifah di atas manhaj kenabian. Ketiga,
kepemimpinan raja-raja menggigit. Keempat, kepemimpinan raja-raja diktator.
Kelima, kepemimpinan khilafah di atas manhaj kenabian lagi. Lalu Nabi
terdiam. (HR. Ahmad No. 17680. Imam Al Haitsami mengatakan:
perawinyatsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid 5/188-189)

7
Sebagai mukmin kita akan meyakini sign dari Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam ini. Dan, sebagai seorang yang berilmu kita telah menunjukkan
fakta-fakta sejarah, serta nilai-nilai yuridis teologis bahwa memang Islam dan
Kekuasaan adalah senyawa tak terpisah sejak awal lahirnya hingga berakhirnya
dunia.

Urgensitas Kekuasaan Menurut Islam


Kekuasaan dan kekayaan adalah dua hal yang berpotensi mendatangkan
fitnah bagi pemiliknya. Sejarah manusia menunjukkan hal itu, maka lahirlah
Fir’aun, Qarun, Hamman, Abu Jahal, George W. Bush, dan lainnya. Tetapi, sejarah
juga menceritakan bahwa kekuasan dan kekayaan juga bisa mendatangkan
kemasalahatan, kekuatan, dan rahmat bagi manusia yakni ketika dia dimiliki oleh
orang yang shalih dan amanah, maka lahirlah Nabi Sulaiman dan Nabi
Yusuf‘Alaihimassalam, Khadijah, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin’Auf, Umar
bin Abdul AzizRadhiallahu ‘Anhum, dan lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Amr bin Al
‘Ash Radhiallahu ‘Anhu:

ِ ‫ع ْم ُرو ِن ْع َم ا ْل َما ُل الصها ِل ُح ِل ْل َم ْر ِء الصها ِل‬


‫ح‬ َ ‫َيا‬
“Wahai Amr, sebaik-sebaik harta adalah harta yang ada pada orang
shalih.” (HR. Ahmad No. 17096, Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No.1241, Abu
Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah, No. 4455. Ibnu Hiban No. 3210. Imam Al
‘Iraqi mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Takrij Ahadits Al Ihya No. 3234.
Juga dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban dan Al Hakim.
Lihat Fathul Bari, 8/75)
Pernyataan Rasulullah ini menjadi jawaban atas ketakutan sebagian
manusia yang mutawarri’ah (super hati-hati) terhadap harta dan kekuasaan.
Pastinya, Islam memandang kekuasaan sebagai salah satu sarana efektif
untuk inkarul munkar, dan menegakkan keadilan, serta melindungi agama
sebagaimana kata Imam Al Ghazali. Oleh karena itu Utsman bin Affan Radhiallahu
‘Anhu mengatakan:
‫إن هللا ليزع بالسلطان ما َل يزع بالقرآن‬

8
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa
untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran.” (Imam
Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 2/12. Dar Ihya At Turats)
Kita akui dan melihat adanya manusia atau keadaan yang tidak bisa berubah
menuju baik, dengan hanya petuah, nasihat, dan bimbingan Kitabullah. Mereka
baru dapat dirubah dengan kekuatan dan wewenang kekuasaan, berupa aparat dan
peraturan. Ketika Ahmadiyah tidak bisa diajak kompromi dengan ayat dan nasihat,
akhirnya masih bisa diredam dengan SKB tiga menteri. Ini menunjukkan kebenaran
ucapan Utsman bin Affan.
Perumpamaan Kitabullah dan kekuatan kekuasaan, oleh Al Quran disebut
persandingan antara Kitabullah dan besi. Allah Ta’ala berfirman:
‫شدِي ٌد‬ ٌ ْ‫س ِط َوأ َ ْن َز ْل َنا ا ْل َحدِي َد ِفي ِه َبأ‬
َ ‫س‬ ْ ‫اس ِبا ْل ِق‬ َ ‫اب َوا ْل ِم‬
ُ ‫يزانَ ِل َيقُو َم النه‬ َ َ ‫ت َوأ َ ْن َز ْلنَا َم َع ُه ُم ا ْل ِكت‬
ِ ‫سلَنَا ِبا ْل َب ِينَا‬ َ ‫لَقَ ْد أ َ ْر‬
ُ ‫س ْلنَا ُر‬
ٌّ ‫َّللاَ َق ِو‬
ٌ ‫ي ع َِز‬
‫يز‬ ‫ب إِنه ه‬ ِ ‫سلَهُ بِا ْلغَ ْي‬
ُ ‫ص ُرهُ َو ُر‬ ُ ‫َّللاُ َم ْن يَ ْن‬‫اس َو ِليَ ْعلَ َم ه‬ ِ ‫َو َمنَافِ ُع ِللنه‬
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hadid
(57): 25)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari ayat ini dengan mengatakan:
. ‫س ِط َوأ َ ْن َز َل ا ْل َحدِي َد‬
ْ ‫اس ِبا ْل ِق‬ ُ ‫اب َوأ َ ْن َز َل ا ْل َع ْد َل َو َما ِب ِه يُ ْع َر‬
ُ ‫ف ا ْل َع ْد ُل ِل َيقُو َم النه‬ َ َ ‫س ْبحَانَهُ َوت َ َعالَى أَنههُ أ َ ْن َز َل ا ْل ِكت‬
ُ َ‫فَ َب هين‬
‫ان قُوتِ َل بِا ْل َحدِي ِد‬ ِ ‫يز‬ َ ‫ب َوا ْل ِم‬ ِ ‫فَ َم ْن َخ َر َج ع َْن ا ْل ِكتَا‬
“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa Dia menurunkan Al Kitab
dan neraca keadilan, dan apa-apa yang dengannya keadilan itu bisa diketahui, agar
manusia dapat menegakkan keadilan itu, dan Dia juga menurunkan besi.
Barangsiapa yang telah keluar dari Al Quran dan Neraca, maka dia diluruskan oleh
besi (pedang/kekuataan).” (Majmu’ Fatawa, 9/276. Mawqi’ Al Islam)

Pandangan Ulama Islam

9
Bagi seorang muslim pandangan ulama dan petunjuknya tidak mungkin
diabaikan. Berbeda dengan kaum sekuler dan liberal yang merasa lebih pintar
dibanding ulama, justru mereka silau dengan pemikiran merusak para orientalis
Barat. Mereka lebih dekat dengan para perusak agama, lebih mencintai
pemikirannya, lebih terpangaruh gaya hidupnya, serta menjadi pembela setiap
pemikiran mereka. Mereka rela menjadi budak Barat demi kepentingan dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
‫فاسألوا أهل الذكر إن كنتم َل تعلمون‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui,” (QS. An Nahl (16): 43)
Ibnu Abbas mengatakan tentang makna Ahludz Dzikri dalam ayat ini: yakni
Ahli Al Quran, juga dikatakan: Ahli ilmu (ulama). Makna keduanya
berdekatan. (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 10/108. Dar Ihya
At Turats)
Mari kita perhatikan pandangan jernih para ulama Islam, di mana mereka
senantiasa memahami bahwa Islam adalah agama dan kekuasaan, akhirat dan dunia,
dan Rasulullah adalah nabi, hakim, mufti, dan pemimpin negara. Berikut beberapa
poin yang dikutip.
1. Berkata Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali
Berikut ini perkataannya:
َ َ‫ب إلَى الص َهَلحِ َوأ َ ْبعَ َد ع َْن ا ْلف‬
ُ‫ َوإِ ْن لَ ْم يُش َِر ْعه‬، ‫سا ِد‬ َ ‫اس َمعَهُ أَ ْق َر‬ ُ ‫ْث يَكُونُ النه‬ ُ ‫سةُ َما كَانَ ِم ْن ْاْلَ ْفعَا ِل ِب َحي‬
َ ‫السيَا‬
ِ
‫ع " أَ ْي لَ ْم‬ َ ‫س َة هإَل َما َوافَقَ الش ْهر‬ َ ‫سيَا‬ ِ ‫سله َم َو ََل نَ َز َل ِب ِه َوحْ ٌي ؛ فَ ِإ ْن أ َ َردْتَ ِبقَ ْو ِلكَ " ََل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫سو ُل‬ُ ‫الر‬‫ه‬
‫صحَا َب ِة ؛ فَقَ ْد ج ََرى ِم ْن‬‫ط ِلل ه‬ٌ ‫ط َوت َ ْغ ِلي‬ ُ ‫ َو ِإ ْن أَ َردْتَ َما نَ َطقَ ِب ِه الش ْهر‬، ‫ع َفص َِحي ٌح‬
ٌ َ‫ع فَغَل‬ ُ ‫ف َما َن َطقَ ِب ِه الش ْهر‬ ْ ‫يُ َخا ِل‬
‫ف كَانَ َرأْيًا‬
ِ ‫َاح‬ِ ‫ق ا ْل َمص‬ ِ ‫ش ِدينَ ِم ْن ا ْلقَتْ ِل َوا ْل َمثْ ِل َما ََل يَجْ َح ُدهُ عَا ِل ٌم ِب‬
ُ ‫ َولَ ْو لَ ْم يَك ُْن هإَل تَحْ ِري‬، ‫السيَ ِر‬ ِ ‫الرا‬
‫اء ه‬ ِ ‫ا ْل ُخلَ َف‬
ُ ‫ َو َن ْف ُي‬، ‫الزنَا ِدقَةَ فِي ْاْلَ َخادِي ِد‬
َ‫ع َم ُر نَص َْر ْبن‬ ‫َّللاُ َوجْ َههُ ه‬
‫ع ِلي ٍ ك هَر َم ه‬ ُ ‫ َو َكذَ ِلكَ تَحْ ِري‬، ‫صلَ َح ٍة‬
َ ‫ق‬ ْ ‫علَى َم‬
َ ‫ا ْعت َ َمدُوا فِي ِه‬
. ٍ‫َحجهاج‬
“As Siyaasah (politik) adalah aktifitas yang memang melahirkan maslahat
bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum
diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum
membicarakannya. Jika yang Anda maksud “politik harus sesuai syariat” adalah
politik tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar. Tetapi
jika yang dimaksud adalah politik harus selalu sesuai teks syariat, maka itu keliru

10
dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat. Para khulafa’ur rasyidin
telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri yang tidak ditentang oleh para
sahabat nabi lainnya, baik kebijakan dalam peperangan atau penentuan jenis
hukuman. Pembakaran mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan
oleh Utsman semata-mata pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian
pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al
Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj. (I’lamul Muwaqi’in, 6/26.
Syamilah)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau berkata:
‫ فإن بني آدم‬. ‫يجب أن يعرف أن وَلية أمر الناس من أعظم واجبات الدين بل َل قيام للدين وَل للدنيا إَل بها‬
‫ وَل بد لهم عند اَلجتماع من رأس حتى قال النبي‬، ‫َل تتم مصلحتهم إَل باَلجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض‬
‫ من حديث أبي سعيد‬، ‫ رواه أبو داود‬. » ‫ « إذا خرج ثَلثة في سفر فليؤمروا أحدهم‬: ‫صلى هللا عليه وسلم‬
. ‫ وأبي هريرة‬،
‫ « َل يحل لثَلثة‬: ‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬، ‫وروى اإلمام أحمد في المسند عن عبد هللا بن عمرو‬
‫ فأوجب صلى هللا عليه وسلم تأمير الواحد في‬. » ‫يكونون بفَلة من اْلرض إَل أمروا عليهم أحدهم‬
‫ وْلن هللا تعالى أوجب اْلمر‬. ‫ تنبيها بذلك على سائر أنواع اَلجتماع‬، ‫اَلجتماع القليل العارض في السفر‬
‫ وكذلك سائر ما أوجبه من الجهاد والعدل‬. ‫ وَل يتم ذلك إَل بقوة وإمارة‬، ‫بالمعروف والنهي عن المنكر‬
« : ‫ وإقامة الحدود َل تتم إَل بالقوة واإلمارة ؛ ولهذا روي‬. ‫وإقامة الحج والجمع واْلعياد ونصر المظلوم‬
. " ‫إن السلطان ظل هللا في اْلرض » ويقال " ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بَل سلطان‬
‫ لو كان‬: ‫ يقولون‬-‫ كالفضيل بن عياض وأحمد بن حنبل وغيرهما‬- ‫ ولهذا كان السلف‬. ‫والتجربة تبين ذلك‬
‫لنا دعوة مجابة لدعونا بها للسلطان‬
“Wajib diketahui bahwa kepemimpinan yang mengurus urusan manusia
termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidaklah
tegak kecuali dengannya. Segala kemaslahatan manusia tidaklah sempurna kecuali
dengan memadukan antara keduanya, dimana satu sama lain saling menguatkan.
Dalam perkumpulan seperti inilah diwajibkan adanya kepemimpinan, sampai-
sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Jika tiga orang keluar
bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi
pemimpinnya.” Diriwayatkan Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin
Amru, bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi tiga

11
orang yang berada di sebuah tempat di muka bumi ini melainkan mereka menunjuk
seorang pemimpin di antara mereka.” Rasulullah mewajibkan seseorang
memimpin sebuah perkumpulan kecil dalam perjalanan, demikian itu menunjukkan
juga berlaku atas pelbagai perkumpulan lainnya. Karena Allah Ta’ala
memerintahkan amar ma’ruf dan nahi munkar, dan yang demikian itu
tidaklah sempurna melainkan dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikian
juga kewajiban Allah lainnya seperti jihad, menegakkan keadilan, haji, shalat Jumat
hari raya, menolong orang tertindas, dan menegakkan hudud. Semua ini tidaklah
sempurna kecuali dengan kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Oleh karena itu
diriwayatkan: “Sesungguhnya sultan adalah naungan Allah di muka bumi.” Juga
dikatakan: “Enam puluh tahun bersama pemimpin zalim masih lebih baik
disbanding semalam saja tanpa pemimpin.” Pengalaman membuktikan hal itu.
Oleh karena itu, para salaf – seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hambal
serta yang lain- mengatakan: “Seandainya kami memiliki doa yang mustajab,
niscaya akan kami doakan pemimpin.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, As
Siyasah Asy Syar’iyyah, Hal. 169. Mawqi’ Al Islam)
3. Al ‘Allamah Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
‫ بَ ْل ِه َي ُج ْز ٌء ِم ْن‬، ‫ بَ ْل ِه َي ُم َوافِقَةٌ ِل َما جَا َء بِ ِه‬، ‫ع‬ ُ ‫سةَ ا ْلعَا ِدلَةَ ُم َخا ِلفَةٌ ِل َما نَ َطقَ بِ ِه الش ْهر‬ ِ ‫ إنه‬: ‫فَ ََل يُ َقا ُل‬
َ ‫السيَا‬
‫ت‬ِ ‫ارا‬ َ ‫ َظه ََر بِ َه ِذ ِه ْاْل َ َم‬، ‫سو ِل ِه‬
ُ ‫َّللاِ َو َر‬ ْ ‫سةً تَبَعًا ِل ُم‬
َ ‫ َوإِنه َما ِه َي‬، ‫ص َطلَ ِح ِه ْم‬
‫ع ْد ُل ه‬ َ ‫سيَا‬ ِ ‫س ِميهَا‬ َ ُ‫ َونَحْ نُ ن‬، ‫أَجْ َزائِ ِه‬
ِ ‫َوا ْلعَ ََل َما‬
.‫ت‬
“Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan
dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan
syariat, bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami
menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal
itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui
politik.” (Imam Ibnul Qayyim, Ath Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17. Syamilah)
4. Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali
Beliau memiliki pandangan yang sangat bagus tentang keterkaitan agama
(Islam) dengan negara:
،‫ والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس‬.‫ وَل يتم الدين إَل بالدنيا‬،‫فإن الدنيا مزرعة اْلخرة‬
‫ وَل يتم الملك والضبط إَل بالسلطان‬،‫ وما َل حارس له فضائع‬،‫وما َل أصل له فمهدوم‬

12
“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama
kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama
merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki
pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan
tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya
pemimpin.” (Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq)
5. Al ‘Allamah Ibnu Khaldun
Beliau mengatakan dalam Muqaddimah-nya:
‫ إذ‬،‫والخَلفة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم اْلخروية والدنيوية الراجعة إليها‬
‫ فهي في الحقيقة خَلفة عن صاحب‬،‫أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح اْلخرة‬
‫ وهللا الحكيم‬.‫ من بعد‬،‫ فافهم ذلك واعتبره فيما نورده عليك‬.‫الشرع في جراسة الدين وسياسة الدنيا به‬
.‫العليم‬
“Khilafah adalah upaya langkah membawa manusia ke arah yang sesuai
pandangan syariat dalam mencapai maslahat kehidupan mereka baik akhirat dan
dunia. Karena seluruh maslahat dunia ini menurut syariat Islam akan bermuara pada
maslahat akhirat. Pada hakikatnya khilafah itu berasal dari Pemilik Syariat dalam
rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Maka fahamilah dan ambilah pelajaan
dari hal itu sepanjang yang kami sampaikan kepadamu. Dan Allah Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui.” (Imam Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2/518. Lajnah
Bayanil Arabi)
6. Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawi
Beliau termasuk ulama yang getol melucuti pemikiran kaum sekuler dan
para propagandisnya. Sudah banyak karya yang dilahirkannya untuk menghalau
pemikiran kaum‘almaniyyun (sekuler) seperti: Al Islam wal ‘Almaniyah: Wajhan
Li Wajhin, Al Madkhal Li DIrasah Al Islamiyah, Min Fiqhid Daulah, Ad Din was
Siyasah, Nahwa Wihdah Al Fikr, dan lainnya. Beliau menguraikan kedudukan
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam di tengah manusia pada masanya sebagai
berikut:
“Sepanjang sejarah kaum muslimin tidak pernah mengenal adanya
pemisahan antara agama dan dunia, agama dan politik, atau agama dan negara
seperti sekarang ini.

13
Dulu, Rasulullah adalah pemegang kekuasaan baik agama maupun dunia,
karena itu fuqaha kemudian membagi ajaran dan sikap Rasulullah menjadi
tiga. Pertama. Beliau sebagai Nabi yang menyampaikan wahyu Allah. Kedua.
Beliau sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga. Beliau sebagai
kepala negara yang menangani persoalan bangsa.” (Meluruskan Dikotomi Agama
dan Politik, Hal. 143. Pustaka Al Kautsar)
Selain itu, dalam catatan kakinya, Beliau mengutip perkataan Imam Al
Qarrafi Al Maliki yang dikutip dari kitab Al Furuq, sebagai berikut:
“Ketahuilah! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang
pemimpin besar dan mufti yang paling alim. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam adalah pemimpin para imam, pemimpin para hakim, ulama paling alim
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan seluruh jabatan keagamaan pada
risalahnya …dst.” (Ibid)
Perlu diketahui, pandangan yang mengatakan bahwa Islam bukan sekedar
agama tetapi juga tatanan peradaban negara dan politik, bukan hanya disampaikan
oleh para ulama Islam, tetapi juga para pemikir Barat yang masih objektif. Mereka
adalah H.A.R Gibb, J. Nalino, Mc. Donald, Bernard Shaw, John Esposito, dan
lainnya.

Tobatnya Tokoh Sekuler


Tentu kita pernah mendengar nama Syaikh Khalid Muhammad Khalid,
penulis kitab Ar Rijal Haular Rasul yang telah diterbitkan oleh CV. Diponegoro,
dengan judul: 60 Karakteristik Sahabat Nabi. Buku yang enak dibaca dan
mengundang inspirasi.
Tahukah anda bahwa beliau pernah terjebak dalam pemikiran sekuler?
Baginya Islam dan negara adalah dua hal yang tidak boleh dan tidak benar untuk
disatukan. Islam sama sekali tidak memiliki hak mencampuri urusan pemerintahan
dan negara. Hal itu dituangkan dalam kitabnya Min Huna Nabda pada tahun 1950
M. Kitabnya ini mendapat reaksi dari para ulama, di antaranya seorang alim agung,
orator ulung, Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah yang telah
membantahnya dalam kitab Min Huna Na’lam. Akhirnya, Syaikh Khalid
Muhammad Khalid meralat pemikirannya dan mengakui dengan jujur

14
kekeliruannya, serta kembali kepada pangkuan Islam bahkan menjadi pembelanya.
Lalu dia menyusun kitab Ad Daulah fil Islam yang merevisi pemikiran lamanya.
Beliau menceritakan sebagai berikut:
“Pada tahun 1950 M, saya menerbitkan buku pertama saya yang
berjudul Min Huna Nabda, buku tersebut berisi empat pasal dan pasal yang ketiga
berjudul, Qaumiyah Al Hukm. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa Islam
adalah sebuah agama, bukan negara. Islam tidak harus memiliki negara. Agama
menunjukkan jalan kita menuju Allah dan bukan kekuatan politik yang
menggunakan kekuatan untuk menguasai dan mengatur manusia kepada satu arah
yang sama. Agama hanya bertugas menyampaikan dan tidak berhak mengatur
manusia dengan menggunakan kekerasan demi tujuan agar mereka mendapatkan
hidayah dan pahala kebaikan.” (Lihat! Betapa mirip pemikiran ini dengan yang
diusung oleh tokoh-tokoh sekuler berkedok ‘agama’ di Indonesia yang mencoba
memisahkan agama dan politik negara, dan betapa mirip pula dengan gagasan
utama dalam buku Ilusi Negara Islam)
Beliau melanjutkan: “Jika sebuah agama berubah menjadi sebuah
pemerintahan maka pemerintahan agama berubah dengan sendirinya menjadi
sebuah beban yang tidak dimungkin ditanggung lagi oleh para pengikutnya. Untuk
itu penulis (Syaikh Khalid) juga mulai menghitung-hitung apa yang penulis sebut
sebagai naluri insting dari sebuah pemerintahan agamawan (teokrasi).” Dengan
percaya diri, penulis merasa mampu membuktikan dengan beberapa argumentasi
bahwa 99% benar bahwasanya pemerintahan agamawan pasti akan menjadi
pemerintahan yang panas seperti neraka dan penuh kekacauan. Penulis tegaskan
pula pada saat itu bahwasanya konsep tentang sebuah pemerintahan agamawan
(teokratis) adalah sebuah keniscayaan sejarah yang kadaluarsa, sebuah konsep yang
tidak lagi bisa menjalankan peran apa pun di masa modern.”
Setelah itu Syaikh Khalid (menyebut dirinya dengan ‘penulis’) mengakui
kesalahannya: “Penulis telah melakukan kesalahan besar karena dengan sengaja
melakukan generalisasi dalam pembahasan yang dilakukan penulis tersebut hingga
menyamakan pemerintahan Islam dengan fenomena-fenomena pemerintahan
agamawan lain yang pernah muncul dalam sejarah. Demikianlah, saat penulis
menganggap bahwa konsep pemerintahan agamis telah hancur dan tidak sesuai

15
dengan kondisi saat ini. Dan saat ini tanpa maksud mendustakan diri dan
menyembunyikan fakta, penulis menyadari bahwa pendapat tersebut (dan puji
syukur dipanjatkan kepada Allah) bukan berasal dari tabiat penulis. Pada saat itu,
penulis hanya mengemukakan apa yang ingin saya tulis dengan menganggap
pendapat tersebut adalah kebenaran.” (Ibid, hal. 161)
Syaikh Khalid Muhammad Khalid juga mengoreksi pemikirannya sendiri,
beserta pelbagai derivatnya, yang telah menguasainya pada masa lalu. Silahkan
merujuk buku tersebut.
Akhirnya, terbukti sudah kebohongan yang dilontarkan kalangan sekuleris
dan para propagandisnya, baik yang secara jentel menyatakan dirinya sekuler atau
yang malu-malu dan berlindung dibalik keterlanjuran dianggap sebagai tokoh
Islam, hanya karena dia aktif di sebuah organisasi Islam.

Sikap Islam dalam Kehidupan Politik


Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani
politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga
kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika
dikaitkan dengan ilmu artinya (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang
sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap
negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah). Karena maknanya yang banyak itu, dalam kepustakaan ilmu politik
bermacam-macam definisi tentang politik. Keaneka macaman definisi itu,
disebabkan karena setiap sarjana ilmu politik hanya melihat satu aspek atau satu
unsur politik saja. Menurut Miriam Budiardjo (1993:8,9) ada lima unsur sebagai
konsep pokok dalam politik, yaitu (1) negara, (2) kekuasaan, (3) pengambilan
keputusan, (4) kebijaksanaan (kebijakan), dan (5) pembagian dan penjatahan nilai-
nilai dalam masyarakat. Kelima unsur politik yang dikemukakannya itu
berdasarkan definisi politik yang dirumuskannya. la menyatakan bahwa "politik
(politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan

16
melaksanakan tujuan-tujuan itu." Untuk melaksanakan tujuan-tujuan sistem politik
itulah diperlukan kelima unsur di atas. Dan, dari definisi yang dikemukakannya,
Miriam Budiardjo melihat kegiatan (politik) merupakan inti definisi politik.
Rumusan yang berbeda dikemukakan oleh Deliar Noer. Dengan mempergunakan
dua pendekatan yakni (1) pendekatan nilai dan (2) pendekatan perilaku, Deliar
mengatakan bahwa "politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan
dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan
mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk atau susunan masyarakat."
Dari rumusan ini kelihatan bahwa hakikat politik adalah perilaku manusia baik
berapa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau
mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan
(Abd. Muin Salim, 1994:37).
Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan
al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan 210 kali
dalam Al-Qur'an. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm yang telah dialih-
bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang, patokan atau
kaidah, dan keputusan atau vonis (pengadilan).
Di dalam bahasa Arab, kata tersebut yang berpola masdar (kata benda yang
diturunkan dari kata kerja) dapat dipergunakan dalam arti perbuatan atau sifat.
Dengan demikian, sebagai perbuatan hukum bermakna membuat atau menjalankan
keputusan dan sebagai kata sifat kata itu merujuk pada sesuatu yang diputuskan
yakni keputusan atau peraturan perundang-undangan seperti dikenal dalam bahasa
Indonesia mengenai (sebagian) arti perkataan hukum. Kalau makna perbuatan itu
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat, arti perbuatan dalam hubungan ini adalah
kebijaksanaan (kebijakan) atau pelaksanaan perbuatan sebagai upaya pengaturan
masyarakat. Di sini jelas kelihatan hubungan al-hukm dengan konsep atau unsur
politik yang telah dikemukakan di atas, dan kaitan kata itu dengan kekuasaan
politik. Wujud kekuasaan politik menurut agama dan ajaran Islam adalah sebuah
sistem politik yang diselenggarakan berdasarkan dan menurut hukum Allah yang
terkandung dalam Al-Qur'an (Abd. Muin Salim, 1994:161,293).
Jika kata hukm yang berasal dari kata kerja hakama yang terdapat dalam
surat Al-Qalam (68): 36,39 dan 48 dan kata hukm dalam surat Al-Maidah (5): 50

17
dan 95 diperhatikan dengan seksama, jelas bahwa arti kata hukm dalam ayat-ayat
itu tidak hanya bersandar pada Tuhan, tetapi juga pada manusia. Ini berarti bahwa
menurut agama dan ajaran Islam ada dua hukum.
Pertama adalah hukum (yang ditetapkan) Tuhan dan kedua adalah hukum
buatan manusia. Hukum buatan manusia harus bersandar dan tidak boleh
bertentangan dengan hukum Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an seperti yang
telah disebutkan di atas.
Politik, kekuasaan dan hukum tersebut di atas sangat erat hubungannya
dengan manusia. Al-Qur'an memperkenalkan konsep tentang manusia dengan
menggunakan istilah-istilah antara lain insan dan basyar. Masing-masing istilah
berhubungan dengan dimensi yang berbeda yang dimiliki manusia. Insan menunjuk
pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial budaya dan ekonomi yaitu makhluk
yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat dan berpotensi (berkemampuan)
mengembangkan kehidupannya dengan mengolah dan memanfaatkan alam
lingkungannya menurut pengetahuan yang diperolehnya. Sedangkan basyar
berkenaan dengan hakikat manusia sebagai makhluk politik yakni makhluk yang
diberi tanggung jawab dan kemampuan untuk mengatur kehidupannya dengan
menegakkan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama.
Manusia diciptakan Allah dengan sifat bawaan ketergantungan kepada-Nya
di samping sifat-sifat keutamaan, kemampuan jasmani dan rohani yang
memungkinkan ia melaksanakan fungsinya sebagai khalifah untuk memakmuran
bumi. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa dalam keutamaan manusia itu
terdapat pula keterbatasan atau kelemahannya. Karena kelemahanya itu, manusia
tidak mampu mempertahankan dirinya kecuali dengan bantuan Allah.
Bentuk bantuan Allah itu terutama berupa agama sebagai pedoman hidup di
dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan di akhirat nanti. Dengan bantuan-Nya
Allah menunjukkan jalan yang harus di tempuh manusia untuk mencapai tujuan
hidupnya. Tujuan hidup manusia hanya dapat terwujud jika manusia mampu
mengaktualisasikan hakikat keberadaannya sebagai makhluk utama yang
bertanggung jawab atas tegaknya hukum Tuhan dalam pembangunan kemakmuran
di bumi untuk itu Al-Qur'an yang memuat wahyu Allah, menunjukkan jalan dan
harapan yakni (1) agar manusia mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah

18
(sifat asal atau kesucian)nya, (2) mewujudkan kebajikan atau kebaikan dengan
menegakkan hukum, (3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan
pribadi, dan pada saat yang sama memelihara diri atau membebaskan diri dari
kekejian, kemunkaran dan kesewenang-wenangan. Untuk itu di perlukan sebuah
sistem politik sebagai sarana dan wahana (alat untuk mencapai tujuan).
Al-Qur'an tidak menyebutkan dengan tegas bagaimana mewujudkan suatu
sistem politik. Di dalam beberapa ayat, Al-Qur'an hanya menyebut bahwa
kekuasaan politik hanya dijanjikan (akan diberikan) kepada orang-orang yang
beriman dan beramal saleh. Ini berarti bahwa sistem politik menurut agama dan
ajaran Islam terkait dengan kedua faktor tersebut. Di sisi lain keberadaan sebuah
sistem politik berkaitan pula dengan ruang dan waktu. Ini berarti bahwa sistem
politik adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari
dimensi kesejarahan. Karena itu pula lahirnya sistem politik Islami harus
dihubungkan dengan sebuah peristiwa bersejarah. Yang dimaksud adalah
perjanjian atau bai'at keislaman yang menimbulkan satu perikatan berisi pengakuan
dan penaklukan diri kepada Islam sebagai agama. Konsekuensi perjanjian tersebut
adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang dikendalikan oleh kekuasaan
yang dipegang oleh Rasul. Dengan demikian, terbentuklah sebuah sistem politik
Islami yang pertama dengan fungsi dan struktur yang sederhana dalam masyarakat
dan negara kota Medinah. Sistem politik ini terjadi setelah disetujuinya piagam
Madinah, yang oleh Hamidullah disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam
sejarah, pada awal dekade ketiga abad VII M (622) atau tahun I H. Dengan piagam
itu tegaklah sistem politik Islam dalam sebuah negara. Sementara itu perlu
dikemukakan walaupun di atas disebutkan sistem politik Islami berawal dari
perikatan, namun, itu tidaklah berarti bahwa teori perjanjian masyarakat yang
dikenal dalam kepustakaan ilmu politik sama dengan perjanjian keislaman tersebut
di atas. Perjanjian keislaman itu merupakan konsep baru, disamping konsep-konsep
yang telah dikenal. Lagi pula sifatnya adalah restrukturisasi atau penataan kambali
suatu masyarakat menurut hukum Ilahi.
Apa yang telah dikemukakan di atas mengandung makna kemungkinan
adanya sistem politik Islami dalam sebuah negara dan dalam masyarakat non-
negara. Yang terakhir ini terlihat dalam sejarah Islam sebelum hijrah. Oleh karena

19
itu, kendatipun wujud ideal (yang dicita-citakan) sebuah sistem politik Islami
adalah sebuah negara, tetapi pembicaraan tentang sistem politik Islami dapat
terlepas dari konteks (bagian uraian, yang ada hubungannya dengan) kenegaraan
yakni konteks kemasyarakatan yang dapat dipandang sebagai sub sistem politik.
Dalam sub sistem politik ini, hukum-hukum Allah dapat ditegakkan
meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan kemampuan, sebagai
persiapan pembentukan masyarakat mukmin yang siap menjalankan hukum Islam
dan ajaran agama. Oleh karena kesiapan masyarakat itu dikaitkan dengan iman dan
amal saleh, maka diantara langkah-langkah mendasar yang harus dilakukan adalah
pembaharuan dan peningkatan iman dan penggalakkan beramal saleh. Untuk itu
diperlukan kajian terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist, pemasyarakatan dan
pembudayaan hasil-hasilkajian itu (Abd, Muin Salim, 1994:295,296).
Sebelum mengakhiri pembicaraan mengenai politik ini, perlu dikemukakan
bahwa konsep sistem politik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk.
Sebabnya, karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran
seseorang terhadap Al-Qur'an berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks
persoalan masyarakat para pemikir politik. Namun demikian, adalah naif (tidak
masuk akal) kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang telah membuat
sejarah selama lima belas abad tidak mempunyai sistem politik hasil pemikiran para
ahlinya. Di dalam kepustakaan dapat dijumpai pemikiran politik yang
dikembangkan oleh golongan Khawarij, Syi'ah, Muktazilah. Di kalangan Sunni
terdapat juga pemikiran politik baik di zaman klasik maupun di abad pertengahan
tentang proses terbentuknya negara, unsur-unsur dan sendi-sendi negara, eksistensi
lembaga pemerintahan, pengangkatan kepala negara, syarat-syarat (menjadi)
kepala negara, tujuan dan tugas pemerintahan, pemberhentian kepala negara,
sumber kekuasaan, bentuk pemerintahan.
Pemikiran politik Islam kontemporer dapat dibaca dalam karya Jamaluddin
al-Afghani, Mohammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Hasan al-Banna, Sayyid
Qutub, Muhammad Husein Heikal (J. Suyuthi Pulungan, 1944: X), Abul 'Ala
Maududi, H.A. Salim dan Mohammad Natsir di Indonesia), sekadar menyebut
beberapa contoh tokoh politik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. 2016. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers

Hasan, Farid Nu’man. 2011. Islam, Politik, dan Kepemimpinan: Senyawa Tak
Terpisahkan. http://www.islamedia.id/2011/04/islam-politik-dan-
kepemimpinan-senyawa.html

21

Anda mungkin juga menyukai