Anda di halaman 1dari 15

OBAT TRADISIONAL

Jamu OHT Fitofarmaka

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang


kesehatan, Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan , hewani, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Cara bijak penggunaan obat tradisional:

1. Kebenaran bahan / tanaman obat

2. Ketepatan dosis penggunaan Obat

3. Ketepatan waktu penggunaan

4. Ketepatan cara penggunaan

5. Ketepatan telaah informasi

6. Tanpa penyalahgunaan

7. Ketepatan pemilihan obat.

Kriteria yang harus dipenuhi Obat tradisional Indonesia harus memenuhi


kriteria sebagai berikut:
1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim penggunaan dibuktikan berdasarkan data empiris
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
4. Jenis klaim penggunaan diawali dengan kata “secara tradisional digunakan
untuk .....”
 Penandaan
1. Jamu atau obat tradisional Indonesia harus mencantumkan penandaan berikut:
1. Logo dan tulisan “JAMU”
2. Logo berupa “ranting daun yang terletak dalam lingkaran”
3. Logo ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah/pembukus brosur.
4. Logo (ranting daun yang terletak dalam lingkaran) dicetak dengan warna
hijau diatas dasar warna putih atau warna yang menyolok kontras dengan
warna logo.
5. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah terbaca, dicetak dengan warna hitam
diatas warna putih atau warna menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”

2. Obat herbal terstandar (OHT) harus mencantumkan penandaan berikut.

1. Logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”


2. Logo berupa jari-jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran dan di tempat
kan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur
3. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau diatas
dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna
logo.
4. Tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” harus jelas, mudah dibaca, dan
dicetak dengan warna hitam diatas warna dasar putih atau warna lain yang
menyolok kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR”

 Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan


2. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

3. Fitofarmaka harus mencantumkan penandaan berikut:

1. Logo dan tulisan “FITOFARMAKA”


2. Logo berupa jari-jari daun (yang membentuk bintang), yang terletak
dalam lingkaran dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri
wadah/pembungkus/brosur.
3. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan warna hijau di atas
dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo.
4. Tulisan “FITOFARMAKA” harus jelas dan mudah dibaca dan dicetak
dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang
mencolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA”

 Fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


1. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
2. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik
3. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi
4. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

 Standar bahan baku

Bahan baku memenuhi persyaratan yang tertera dalam: Farmakope


Indonesia, Ekstra Farmakope, atau Materia Medika Indonesia,Standar bahan baku
dapat menggunakan persyaratan mutu dari Negara lain.

 PENGUJIAN OBAT BAHAN ALAM INDONESIA

 Pengujian Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka


Pengujian Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka
meliputi:
1. Pemerian,
2. Keseragaman bobot,
3. Volume,
4. Pemeriksaan kimia dan fisika
5. Pemeriksaan terhadap cemaran mikroba dan kimia

 Pengujian Organoleptis
Teknik pengujian ini dengan menggunakan indera manusia untuk
mengidentifikasi bentuk, warna, bau, dan rasa dari obat tradisional.

 Pengujian Mikrobiologis
Pengujian secara mikrobiologis meliputi:
1. Angka lempeng total
2. Angka kapang dan khamir
3. Mikroba pathogen.
 Uji praklinik dan klinik.

Uji praklinik

Merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Uji ini memberikan informasi
tentang efikasi, profil farmakokineika, dan toksisitas calon obat. Hewan yang
digunakan adalah mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster dan anjing,
beberapa juga menggunakan primata.

Uji praklinik dapat berupa uji toksisitas. Uji praklinik ini meliputi:

1. Uji toksisitas akut, jangka waktu pengujian 2 minggu


2. Uji toksisitas sub-akut, waktu pengujian 3 bulan
3. Uji toksisitas kronik, waktu pengujian lebih dari 6 bulan.
4. Uji toksisitas spesifik, meliputi uji teratogenik, uji mutagenic, uji karsinogenik,
dan uji iritasi kulit
.

Uji klinik

Merupakan pengujian pada calon fitofarmaka untuk mengetahui atau memastikan


adanya khasiat farmakologi, tolerabilitas, dan keamanan. Serta uji klinik untuk
pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, dan gejala penyakit.

Uji klinik terdiri dari empat fase yaitu,

Fase I
Calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati
pada hewam percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan
dosis dan efek yang diberikan serta profil farmakokinetika obat pada manusia.

Fase II
Calon obat diujikan pada pasien tertentu dan diamati efikasinya pada penyakit yang
diobati. Profil yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek potensial dengan efek
samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini, mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat.
 
Fase III
Fase ini melibatkan sekelompok besar pasien. Dalam fase ini, obat baru dibandingkan
efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sedah diketahui.
Fase IV
Setelah obat dipasarkan, masih dilakukan studi pasca-pemasaran. Pengamatan dilakukan
pada pasien dengan berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka
panjang dalam menggunakan obat. Fase ini meliputi pemantauan toksisitas obat yang
beredar.

 Larangan Obat Tradisional

Berikut ini berberapa hal yang dilarang untuke obat tradisional:


1. Obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka dilarang mengandung
bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau
psikotropika, bahan yang dilarang, dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Obat tradisional dilarang dibuat dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata,
parenteral, dan suppositoria kecuali untuk wasir.

3. Obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan
cairan obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar
dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan
pengenceran.
GALENIKA dan EKSTRAK

 Galenik

Seorang ilmuan asal Yunani yaitu Claudius Galenos (GALEN) membuat sediaan
obat-obatan yang berasal dari tumbuhan dan hewan, sehingga timbulah ilmu obat-obatan
yang disebut ilmu galenika.

Sediaan galenika adalah sediaan yang dibuat dari bahan baku tumbuh – tumbuhan
atau hewan (bahan segar atau simplisia) dengan cara disari . Tujuan dibuat sediaan
galenika: Untuk memisahkan obat – obat yang terkandung dalam simplisia dari bagian
lain yang dianggap tidak bermanfaat; Membuat suatu sediaan yang sederhana dan mudah
dipakai; Agar obat yang terkandung dalam sediaan tersebut stabil dalam penyimpanan
yang lama.

Bentuk-bentuk sediaan galenik :

 Extracta

 Infusa

 Aqua Aromatika

 Sirupi

 Tinctura

 Spiritus Aromatica

 Vina (Anggur)

Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sediaan galenika

1. Derajat kehalusan
Derajat kehalusan ini harus disesuaikan dengan mudah atau tidaknya obat yang
terkandung tersebut disari, semakin sukar disari simplisia harus dibuat semakin
halus dan sebaliknya
2. Konsentrasi /Kepekatan
Beberapa obat yang terkandung atau aktif dalam sediaan tersebut harus jelas
konsentrasinya agar tidak mengalami kesulitan dalam pembuatan
3. Suhu dan lamanya waktu
Harus disesuaikan dengan sifat obat, mudah menguap atau tidak,mudah disari atau
tidak
4. Bahan penyari dan cara menyari
Cara ini harus disesuaikan dengan sifat kelarutan obat dan daya serap bahan
penyari kedalam simplisia.

 Ekstrak

Extractio adalah cara menarik satu atau lebih zat-zat dari bahan asal yang umumnya
zat berkhasiat tersebut tertarik dalam keadaan (khasiatnya) tidak berubah. Cairan
penarik yang dipergunakan disebut Menstrum, Ampasnya disebut marc atau faeces.
Cairan yang dipisahkan disebut Macerate, Perkolat.

Cara menghilangkan isi simplisia yang tidak berguna :


1. Dengan memakai bahan pelarut yang tepat dimana bahan
berkhasiatnya mudah larut, sedangkan yang tidak berguna sedikit
atau tidak larut dalam cairan penyari tersebut.
2. Dengan menarik / merendam pada suhu tertentu dimana bahan
berkhasiat terbanyak larutnya.
3. Dengan menggunakan jarak waktu menarik yang tertentu dimana
bahan berkhasiat dari simplisia lebih banyak larutnya, sedangkan
bahan yang tidak berguna sedikit atau tidak larut.
4. Dengan memurnikan / membersihkan memakai cara-cara tertentu
baik secara ilmu alam maupun ilmu kimia.

Cairan – Cairan Penarik

1. Kelarutan zat-zat dalam menstrum


2. Tidak menyebabkan nantinya zat-zat berkhasiat tersebut rusak atau akibat-akibat
yang tidak dikehendaki (perubahan warna,pengendapan, hidrolisa)
3. Harga yang murah
4. Jenis preparat yang akan dibuat

Macam – macam cairan penyari :

1. Air
pelarut yang baik untuk bermacam-macam zat misalnya: garam-garam
alkaloida, glikosida, asam, tumbuh-tumbuhan, zat warna dan garam-garam mineral.
Keburukan dari air adalah banyak jenis zat-zat yang tertarik dimana zat-zat tersebut
merupakan media yang baik untuk jamur atau bakteri sehingga akan menyulitkan
penarikan pada perkolasi.
2. Etanol

Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, Umumnya pelarut yang baik untuk
alkaloida, glikosida, damar-damar, minyak atsiri tetapi bukan untuk jenis-jenis gom,
gula dan albumin.Campuran air-etanol (hidroalkoholic menstrum) lebih baik dari pada
air sendiri.

3. Gycerinum (Gliserin)
Terutama dipergunakan sebagai cairan penambah pada cairan menstrum untuk
penarikan simplisia yang mengandung  zat samak. Gliserin adalah pelarut yang baik
untuk tanin-tanin dan hasil-hasil oksidanya, jenis-jenis gom dan albumin juga larut
dalam gliserin.

4. Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk pembuatan
sediaan untuk obat dalam atau sediaan yang nantinya disimpan lama.

5. Solvent Hexane
Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-minyak. Biasanya
dipergunakan untuk menghilangkan lemak dari simplisia yang mengandung lemak-
lemak yang tidak diperlukan, sebelum simplisia tersebut dibuat sediaan galenik,
misalnya  strychni, secale cornutum.

6. Acetonum
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut yang baik
untuk bermacam-macam lemak, minyak atsiri, damar. Baunya kurang enak dan sukar
hilang dari sediaan. Dipakai misalnya pada pembuatan Capsicum oleoresin

7. Chloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek farmakologinya. Bahan
pelarut yang baik untuk basa alkaloida, damar, minyak lemak dan minyak atsiri.

Cara – Cara Penarikan ( Extractie )

1. Maserasi
cara penarikan sari dari  simplisia dengan cara merendam simplisia tersebut dalam
cairan penyari pada suhu suhunya 15-25 0C. Maserasi juga merupakan proses
pendahuluan untuk pembuatan secara perkolasi.
2. Digerasi

Cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia dengan cairan penyari pada
suhu 35o – 45o.

3. Perkolasi
Perkolasi ialah suatu cara penarikan, memakai alat yang disebut perkolator, yang
simplisianya terendam dalam cairan penyari dimana zat-zatnya terlarut dan larutan
tersebut akan menetes secara beraturan keluar sampai memenuhi syarat - syarat yang
telah ditetapkan.

Cara-cara perkolasi :
1. perkolasi biasa
2. perkolasi bertingkat, reperkolasi, fractional percolation
3. perkolasi dengan tekanan, pressure percolation
4. perkolasi persambungan, continous extraction,memakai alat soxhlet.

Hal-hal yang harus mendapat perhatian pada perkolasi ialah :

 mempersiapkan simplisianya :   derajat halusnya.


 melembabkan dengan cara penyari :   maserasi I
 jenis perkolator yang dipergunakan dan memper-siapkannya
 Cara memasukkannya ke dalam perkolator dan lamanya di maserer dalam
perkolator:  maserasi II
 pengaturan penetapan cairan keluar dalam jangka waktu yang ditetapkan.

Contoh – Contoh Ekstrak

1) Ekstrak Akar Manis (Glycyrrhizae Succus Extractum)


Cara pembuatan : Penyarian dilakukan dengan air mendidih kemudian diuapkan
hingga kering.

2) Ekstrak Kelembak (Rhei Extractum)


Cara pembuatan : perkolasi serbuk (8/24) kelembak dengan campuran yang terdiri dari
etanol 90% dan air volume sama, hingga perkolat terakhir hampir tidak berwarna,
uapkan perkolat hingga diperoleh ekstrak kering.

3) Ekstrak Jadam (Aloes Extractum)


Cara pembuatan : tuangi 100 bagian jadam dengan 500 bagian air mendidih , tuangkan
campuran sambil diaduk ke dalam 500 bagian air, biarkan di tempat sejuk selam 24
jam, serkai, uapkan serkaian hingga kering.
4) Ekstrak Kecambah (Malti Extractum)
Cara pembuatan : panaskan campuran kecambah yang telah dimemarkan
dengan air panas 3 kali bobot kecambah selama 3 jam. Biarkan mengenap, pisahkan
cairan, sari sisa dengan air panas. Campuran sari dipanaskan pada suhu kurang lebih
90 0C selama 1 jam, kemudian aupkan hingga diperoleh massa kental.
5)Ekstrak Kola (Colae Extractum)
Cara pembuatan : Perkolasi, serbuk (24/34) biji kola dengan campuran 60 bagian etanol
90% dan 40 bagian volume air hingga perkolat hampir tidak berasa dan tidak berwarna,
kemudian buatlah ekstrak cair.
 
FITOFARMAKA

Pengertian Fitofarmaka

Fitofarmaka menurut Permenkes adalah sediaan obat yang telah dibuktikan


keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang
telah memenuhi persyaratan yang berlaku.

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan baku serta produk
jadinya telah di standarisir (Badan POM. RI., 2004 ).

Sediaan fitofarmaka telah melewati pengujian yaitu uji preklinis seperti uji
toksisitas, uji efektivitas, dll dengan menggunakan hewan percobaan dan pengujian klinis
yang dilakukan terhadap manusia. Fitofarmaka dapat dikatakan sebagai obat herbal
tertinggi dari Jamu dan Herbal Terstandar karena proses pembuatannya sudah
mengadopsi CPOB dan sampai uji klinik pada manusia.

Standar bahan baku,bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia.

Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI)

1. Tahap Seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala
prioritas sebagai berikut:
- Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
- Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar
pengalaman pemakaian empiris sebelumnya
- Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-
penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.

2. Tahap Biological Screening, untuk menyaring:


- Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat
terapeutik (pra klinik in vivo)
- Ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada,
dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut
(pra klinik, in vivo)

3. Tahap Penelitian Farmakodinamik


- Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem biologis
organ tubuh
- Pra klinik, in vivo dan in vitro,
- Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.

4. Tahap Pengujian Toksisitas Lanjut (multiple doses)


- Toksisitas Subkronis
- Toksisitas akut
- Toksisitas khas/ khusus

5. Tahap Pengembangan Sediaan (formulasi)


- Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan
estetika untuk pemakaian pada manusia.
- Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik
- Teknologi farmasi tahap awal
- Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
- Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA

6. Tahap Uji Klinik Pada Manusia

Ada 4 fase yaitu:

Fase 1 : dilakukan pada sukarelawan sehat


Fase 2 : dilakukan pada kelompok pasien terbatas
Fase 3 : dilakukan pada pasien dengan jumlah yang lebih besar dari fase 2
Fase 4: post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang
tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.

Jenis Uji Fitofarmaka


      1.      Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibedakan menjadi tiga :

a.       Uji Toksisitas Akut 


Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50
dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies
hewan uji). pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute
pemberian (misalnya oral dan intravena). Hasil uji LD50 dan dosisnya akan
ditransformasi (dikonversi) pada manusia. (LD50 adalah pemberian dosis obat yang
menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh pemberian dosis
tersebut)

b.      Uji Toksisitas Sub Akut


Uji toksisitas sub akut adalah pengujian untuk menentukan organ sasaran tempat
kerja dari obat tersebut, pengujian selama 1-3 bulan, menggunakan 2 spesies hewan
uji, menggunakan 3 dosis yang berbeda. Toksisitas sub-akut sebagai adanya
perubahan berat badan serta perubahan lainnya dari hewan percobaan.
c.       Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik pada tujuannya sama dengan uji toksisitas sub akut, tapi
pengujian ini dilakukan selama 6 bulan pada hewan rodent (pengerat) dan non-
rodent (bukan hewan pengerat). Uji ini dilakukan apabila obat itu nantinya
diproyeksikan akan digunakan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

2. Uji Farmakodinamik/efek farmakologik


Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas pengaruh
farmakologik pada berbagai system biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan
pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.

3. Uji klinik
Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau
memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik
untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit.

Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:


- Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam
pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit.
- Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan
dan manfaatnya.

Contoh sediaan dari Fitofarmaka

Rheumaneer 

Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma...... 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak............. 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak.......... 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak.......... 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak........... 125 mg

indikasi: mebantu mengurangi,nyeri persendian.


 Stimuno

Komposisi :

Tiap 5 ml Stimuno Sirup mengandung ekstrak Phyllanthus niruri  25 mg.


Tiap kapsul Stimuno mengandung Phyllanthus niruri 50 mg

Indikasi: Membantu memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh

 Tensigard Agromed

Komposisi tiap kapsul berisi:


Ekstrak Apii herba................... 92mg
Ekstrak Orthosiphon folium...... 28mg

Indikasi: Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic


 X-Gra 

Komposisi
Tiap kapsul berisi:
Ekstrak Ganoderma lucidum......... 150 mg
Ekstrak Eurycomae radix................ 50 mg
Ekstrak Ginseng............................. 30 mg
Ekstrak Retrofracti fructus............. 2,5 mg
Royal jelly........................................ 5 mg

Indikasi: Meningkatkan stamina dan kesegaran tubuh, membantu meningkatkan stamina


pria, membantu mengatasi disfungsi ereksi dan juga ejakulasi dini.

Anda mungkin juga menyukai