Anda di halaman 1dari 16

KAPANKAH IEDUL FITHRI (1 SYAWAL 1436 H )

JUM’AT ATAU SABTU?
Posted on Juni 29, 2015 by Abu Sabda

Di Indonesia perbedaan penentuan awal-awal bulan Hijriyah seperti Ramadhan, Awal Syawal
dan 10 Dzulhijjah, Muharram dan bulan-bulan lainnnya kerap terjadi.

Bila dikaji, sumber utama perbedaan ini terjadi disebabkan dua faktor:

1. Beda sistem perhitungan


2. Beda kriteria penetapan awal bulan hijriyah

BEDA SISTEM PERHITUNGAN

Ada beberapa sistem perhitungan awal bulan yang biasa digunakan:

1. Hisab Urfiy[1]
2. Hisab Haqiqi[2]

 Haqiqi Taqribiy[3]
 Haqiqi Tahqiqi[4]
 Haqiqi Tadqiqi[5]
 Haqiqi Ashriy[6]

Sejatinya faktor perbedaan yang disebabkan beda sistem perhitungan ini, mudah untuk
diselesaikan. Tinggal membuktikan hasil perhitungan dengan pengamatan sesungguhnya,
seperti pengamatan gerhana Matahari. Bila hitungannya sama dengan kejadian senyatanya,
maka hitungan itu akurat. Bila sebaliknya, maka hitungan itu tidak akurat, harus dikoreksi, di
up date datanya atau bahkan ditinggalkan.

BEDA KRITERIA PENETAPAN AWAL BULAN HIJRIYAH

Setidaknya ada 3 kreteria penetapan awal bulan dalam kalender yang digunakan di Indonesia:
[1] Ijtimak Qoblal Ghurub, [2] Wujudul hilal, [3] Imkanurrukyat.

1. Ijtimak Qoblal Ghurub

Ijtimak Qablal Ghurub, akan menetapkan awal bulan jika secara hisab (perhitungan) ijtimak
sudah terjadi sebelum Ghurub (Maghrib). Dalam Kreteria ini, posisi “hilal” ketika Maghrib
tidak di perhitungkan, apakah berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.

Keterangan:

Dengan Kreteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa “hilal” telah muncul, sehingga
menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

2. Wujudul Hilal
Wujudul hilal, akan menetapkan awal bulan jika secara hisab (perhitungan) ijtimak sudah
terjadi sebelum Ghurub (Maghrib). Serta posisi “hilal”ketika maghrib, berada di atas ufuk.
Kreteria Wujudul hilal ini adalah koreksi atas kreteria Ijtimak Qablal Ghurub yang
sebelumnya. Namun dalam Kreteria wujudul hilal ini, tidak diperhitungkan ketampakan hilal
(Visibilitas Hilal) ketika Maghrib. Asalkan Hilal berada di atas ufuk baik memenuhi syarat
ketampakan hilal untuk dilihat ataupun tidak maka awal bulan di tetapkan sudah masuk.

Keterangan:

Dengan Kreteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa “hilal” telah muncul, sehingga
menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

3. Imkanurrukyat

Imkanurrukyat, akan menetapkan awal bulan jika secara hisab (perhitungan) ijtimak sudah
terjadi sebelum Ghurub (Maghrib). Posisi hilal ketika Maghrib, berada di atas ufuk, serta
kondisi Hilal ketika Maghrib memungkinkan untuk di lihat. Kreteria Imkanurrukyat ini
adalah koreksi atas kreteria wujudul hilal yang sebelumnya. Bila dalam kreteria wujudul
hilal tidak dipertimbangkan syarat ketampakan hilal oleh mata, di imkannurrukyat hal ini jadi
faktor pertimbangan.

Terkait rumusan tentang “Keterlihatan Hilal” ada beberapa perbedaan. Hingga dari perbedaan
ini melahirkan berbagai Kreteria Imkanurrukyat. Diantaranya (di Indonesia):

1. Imkanurrukyat 2 derajat.

Hilal sudah dikatakan mungkin terlihat (Imkanurrukyat) bila ketinggian bulan sudah
mencapai 2 derajat.

Keterangan:

Dengan Kreteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa Hilal telah muncul, sehingga
menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

2. Imkanurrukyat MABIMS

Hilal sudah dikatakan mungkin terlihat (Imkanurrukyat) bila bulan (Hilal):

1. Sudah mencapai ketinggian 2 derajat.


2. Jarak Matahari dan Bulan 3 derajat.
3. Atau Lama dari Ijtimak sampai Ghurub 8 jam.

Syarat pertama mutlak harus terpenuhi. Sedang syarat 2 dan 3 opsional.

Keterangan:

Dengan Kreteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa hilal telah muncul, sehingga
menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.
Kriteria MABIMS ini hanya kriteria kesepakatan, bukan kriteria Astronomis atau yang
berdasar dari pengamatan yang benar, hingga pada awal-awal kemunculannya
mengamanatkan bahwa kriteria ini perlu dikembangkan dengan penelitian-penelitian yang
sistematis dan ilmiah. (Lihat Keputusan Musyawarah Ulama Hisab dan Ormas Islam tentang
kriteria IR, di Hotel USSU-Cisarua, Bogor, Maret 1998 dan di Jakarta September 1998)

3. Imkanurrukyat LAPAN/Kreteria Astronomis PERSIS[7]

Hila Sudah dikatakan mungkin terlihat (imkanurrukyat) bila bulan (hilal)

1. Memiliki beda tinggi dengan Matahari sebesar >4 derajat


2. Elongasi Topocentris Matahari dan Bulan (hilal) >6,4 derajat.

Keterangan:

Dengan Kreteria seperti ini mereka berkeyakinan bahwa Hilal telah muncul, sehingga
menetapkan masuknya/terjadinya awal bulan baru.

Penting dipahami bahwa kreteria ketampakan hilal (imkanurrukyat) ini di ukur


dengan data dan fakta ketampakan hilal (rukyat hilal) tahun-tahun sebelumnya.

Dari ulasan di atas terlihatlah adanya perbedaan mendasar mengenai definisi hilal:

1. Ijtima Qablal Ghurub:

Secara tersirat Ijtima Qablal Ghurub mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan
baru sesaat setelah terjadi ijtimak sebelum ghurub terjadi, dimanapun posisi bulan itu
berada dibawah atau di atas ufuk, baik cahaya bulan tersebut bisa terlihat atau tidak oleh
mata.

2. Wujudul hilal:

Secara tersirat wujudul hilal  mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan baru
setelah terjadi ijtimak sebelum ghurub,  ketika ghurub posisi bulan harus berada di atas
ufuk, baik cahaya tersebut bisa terlihat atau tidak oleh mata”.

3. Imkanurrukyat:

Secara tersirat Imkanurrukyat  mendefinisikan bahwa hilal itu adalah: “Cahaya bulan baru
setelah terjadi ijtimak sebelum ghurub, ketika ghurub posisi bulan harus berada di atas ufuk
serta cahaya bulan tersebut bisa terlihat oleh mata”.

Dengan demikian inti perbedaan yang sebenarnya dalam penetapan awal bulan
hijriyah adalah disebabkan tidak adanya keseragaman definisi hilal antara Kreteria
Ijtimak Qablal Ghurub, Wujudul Hilal dan Imkanurrukyat.

Apakah hilal itu?

Terkait hilal, dalam Alqur’an disebutkan hanya satu kali, itu pun dalam bentuk plural (jamak)
yakni al-ahillah. Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 189,
‫اس َو ْال َح ِّج‬ ُ ِ‫ك َع ِن اأْل َ ِهلَّ ِة قُلْ ِه َي َم َواق‬
ِ َّ‫يت لِلن‬ َ َ‫يَسْأَلُون‬

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-
tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji  (Qs. Al-Baqarah: 189)

Adapun dalam Hadis Rasulullah SAW banyak menyebut kata Hilal. Diantaranya:

‫اس فَصُوْ ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوْ ا لِر ُْؤيَتِ ِه فَإ ِ ْن‬
ِ َّ‫ع َِن ْب ِن ُع َم َر قَا َل قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم إِنَ هللاَ َج َع َل األَ ِهلَّةَ َم َواقِيْتَ لِلن‬
‫ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَ ُع ُّدوْ الَهُ ثَالَثِ ْينَ يَوْ ًما‬

Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan
hilal itu sebagai pertanda waktu bagi kepentingan manusia, maka shaumlah kalian karena
melihatnya (hilal bulan Ramdhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal bulan
Syawal). Jika tidak kelihatan oleh kalian maka hitunglahlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau
bulan Ramadhan) menjadi 30 hari” HR. Abdur Razaq, al-Mushannaf, IV:156, No. 7306.

Dalam riwayat al-Baihaqi dengan tambahan redaksi:

َ‫فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق ُدرُوا لَهُ أَتِ ُّموا ثَالَثِين‬

“Jika tidak kelihatan oleh kalian maka perkirakanlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan
Ramadhan), sempurnakanlah menjadi 30 hari” (Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV:205, No.
8185).

Perlu di ketahui bahwa kata “Hilal” bukanlah haqiqah Syariyyah[8], tapi merupakan haqiqah
Lughawiyyah. Tidak seperti halnya kata “Salat”. Kata “Salat” secara haqiqah Lughawiyah
memiliki arti ad-Du’a (Do’a). Kemudian kata “Salat” ini menjadi haqiqah Syari’yyah dengan
pengertian: “Sebuah perbuatan yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam”.

Sementara kata Hilal sudah dikenal oleh orang arab sebelum Islam datang dan Syaari tidak
menetapkan istilah khusus untuk kata ini. Dengan demikian, hilal menurut haqiqah
syari’yyah sama dengan Haqiqah Lughawiyyah.

Oleh sebab itu untuk mengetahui definisi hilal yang dimaksud syar’i, kita mesti mengetahui
arti kata “Hilal” secara Haqiqah Lughawiyyah itu sendiri. Untuk itu seyogyanya hilal dicari
maknanya secara analisis semantik dan analisis struktur kalimat dalam bahasa arab.

Analisis Semantik

Makna asal dari kata hilal pada awal mula kata ini diciptakan oleh orang-orang arab adalah
berarti: al-Bayadhu, artinya: Putih. Oleh karena itu, warna putih dipangkal kuku-pun sering
disebut orang arab dengan kata hilal.

ُ‫اَل ِهالَ ُل َوه َُو فِى األَصْ ِل اَلبَيَاض‬

Hilal itu makna asalnya adalah putih.Al-faaiq IV:111.

ْ َ‫ظهَ ُر فِي أُصُوْ ِل األ‬


ِ َ ‫ظف‬
‫ار‬ ْ َ‫اَل ِهالَ ُل اَلبَيَاضُ الَّ ِذيْ ي‬

Hilal adalah warna putih yang nampak pada pangkal kuku.(lisanul Arab XI: 704).
Adapun kenapa qamar pada awal bulan disebut hilal, maka hal ini dikarenakan qamar
tersebut memiliki cahaya. Sebagaimana dikatakan oleh ibnu mandzur dalam lisanul arab,

 ‫اَل ِهالَ ُل ُغ َّرةُ القَ َم ِر ِح ْينَ يُ ِهلُّهُ النَّاسُ فِي ُغ َّر ِة ال َّشه ِْر‬

Hilal adalah cahaya bulan, ketika orang-orang meneriakinya pada waktu awal bulan.
(Lisanul Arab XI: 704)

Kemudian arti kata hilal berkembang dengan arti “teriakan/suara keras”. Hal ini karena ketika
mereka melihat hilal (bulan sabit pertama di awal bulan yang bercahaya putih) mereka suka
berteriak-teriak. Maka “berteriak” itulah dalam perkembangan selanjutnya yang dijadikan arti
untuk kata “hilal”. Seperti dalam sebuah hadis,

‫صلِّ َى َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫إِ َذا ا ْستَهَ َّل ال‬


َ ‫صبِ ُّى َو ِر‬
ُ ‫ث َو‬

Apabila seorang anak istahalla maka dia mewarisi dan (jika meninggal) di shalatkan. (HR.
Al-Baihaqi IV: 8)

Dari analisis semantik ini dapat disimpulkan bahwa: hilal itu adalah Qomar pada awal
bulan yang memiliki cahaya.

Analisis Struktur Kalimat

Dalam hadis di atas -dan hadis-hadis yang semakna dengannya- kata hilal dirangkaikan
dengan kata ra’a. Dalam bahasa arab kata ra’a (‫ )رأى‬mempunyai dua arti: [1] melihat dengan
mata (bil’aen) dan [2] mengetahui atau yakin (bil Ilmi). Untuk mengetahui arti manakah yang
dipakai olehnya dalam suatu kalimat, hal ini dapat dilihat dari objeknya: Bila objeknya satu
maka berarti ra’a tersebut bermakna melihat dengan mata, dan bila objeknya dua, maka ra’a
tersebut bermakna yakin atau mengetahui (melihat dengan ilmu). Sebagaimana dikatakan
dalam Lisanul Arab:

 ‫ َوبِ َم ْعنَى ال ِع ْل ِم تَتَ َع َّدى إِلَى َم ْفعُوْ لَ ْي ِن‬,‫اَلرُّ ْؤيَةُ بِ ْال َع ْي ِن تَتَ َع َّدى إِلَى َم ْفعُوْ ٍل َوا ِح ٍد‬

Kata ro-a artinya melihat dengan mata bila muta’addi kepada satu maf’ul, dan dengan arti
mengetahui bila muta’addi kepada dua maf’ul. Lisanul Arab XIV: 291.

Setelah memperhatikan sabda Nabi dalam beberapa hadis dapat disimpulkan bahwa kata ra’a
dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW tersebut bermakna melihat dengan mata, karena
ra’a tersebut hanya memiliki satu Maf’ul (objek) yaitu: Hilal.

Dari analisis struktur kalimat ini dapat disimpulkan bahwa: hilal adalah cahaya qomar pada
awal bulan yang bisa terlihat oleh mata.

Bertolak dari analisis di atas, maka definisi hilal menurut Haqiqah Lughawiyah orang-orang
arab adalah harus memenuhi dua variabel di atas yakni Qomar pada awal bulan yang: (1)
Memiliki cahaya, dan (2) Bisa teramati oleh mata.

Atas dasar itu, dapat disimpulkan bahwa hilal adalah: “Cahaya bulan baru setelah
didahului proses ijtimak, cahaya bulan tersebut bisa terlihat dengan mata, dan posisi
bulan harus berada di atas ufuk”.
Dengan demikian kalaupun ijtimak sudah terjadi (sebagai tanda akhir bulan) serta ketika
ghurub bulan memiliki cahaya baik berada di bawah ufuk atau berada di atas ufuk namun
cahayanya tidak bisa dilihat oleh mata, maka tidak disebut Hilal.

Karena kata hilal ini adalah haqiqah lughawiyah yang dipakai oleh Syar’i, maka secara Syar’i
pun maknanya sama dengan haqiqah lughawiyah.

Bagaimana dengan kata hilal yang ada dalam al-Qur’an?. Dalam sebuah keterangan Syaikh
al-Maghamisi mengatakan:

‫األصل أن كالم هللا جل وعال يجرى على ظاهره في معاني كالم لغة العرب إالبقرينة أودليل يصرفه عن ذلك الظاهر‬

Pada dasarnya bahwa Kalam (firman) Allah itu berlaku sebagaimana dzhahirnya dalam
makna-makna kalam (ucapan) bahasa arab, kecuali bila ada qorinah atau dalil yang
memalingkan dari makna dzhahirnya. (Durus wal Muhadharah as-Syaikh Shalih al-
Maghamisy III: 1)

Jadi nyatalah bahwa hilal yang dimaksudkan Allah dalam firmannya juga Nabi Muhammad
saw dalam sabda-sabdanya, dipertimbangkan dua variabel hilal: [1] memiliki cahaya, [2] bisa
teramati oleh mata.

Dari analisis di atas kita dapat menilai bahwa kreteria hisab Imkanurrukyah yang juga
dikenal dengan istilah visibilitas rukyah/visibilitas hilal, merupakan hasil ijtihad yang
sesuai Syar’i, untuk menetapkan awal bulan untuk ibadah. Karena, selain
memperhitungkan wujudnya bulan di atas ufuk, juga memperhitungkan keterlihatan cahaya
bulan (hilal) oleh mata.

Keterlihatan Hilal sebagai Sabab al-Hukmi

Untuk mengetahui munculnya hilal, Bangsa Arab Sebelum Islam menggunakan rukyat
bil’ain, yakni melihat dengan mata fisik atau mata telanjang.

Setelah Islam Datang, pada periode Mekah (+13 tahun), kalender qamariyyah tetap
digunakan sebagai penentu waktu (miqat zamani) aktivitas keagamaan, meliputi ibadah
shaum, yakni asyura 10 Muharram dan ayyamul bidh (13, 14, 15 tiap bulan) serta haji. Untuk
mengetahui munculnya hilal, waktu itupun digunakanrukyat bil’ain.

Meskipun demikian, selama itu tidak ada perintah Nabi mengaitkan ibadah-ibadah itu
dengan rukyat hilal, apalagi pemberlakuan sumpah dan syahadat bagi yang mengaku
melihatnya.

Dalam periode inilah kita dapat memahami bahwa rukyat itu tidak menjadi sebab dan
syarat sahnya ibadah tersebut, tetapi yang menjadi sebab dan syarat itu adalah masuknya
waktu yang telah ditentukan, yaitu bulan Muharram bagi shaum Asyura dan Dzulhijjah
bagi haji serta tiap bulan bagi shaum ayyamul bidh. Jadi, rukyat atau melihat hilal pada
periode itu tidak lain hanyalah sekedar alat untuk mengetahui masuknya waktu-waktu ibadah
yang telah ditentukan itu. sehubungan dengan itu nabi bersabda:

َ‫ اَل َش ْه ُر هَ َك َذا َوهَ َك َذا يَ ْعنِى َم َّرةً تِ ْس َعةً َو ِع ْش ِر ْينَ َو َم َّرةً ثَالَثِ ْين‬. ُ‫اِنَّا اُ َّمةٌ اُ َميَةٌ الَ نَ ْكتُبُ َوالَنَحْ ِسب‬
“Sesungguhnya kami ini satu ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan tidak dapat
menghitung; Sebulan itu sekian dan sekian, ya’ni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30
hari.”H.r. Al-Bukhari

Jika hadis tersebut kita perhatikan dengan seksama, maka akan timbul pertanyaan: Bukankah
Nabi termasuk bagian dari kaum tidak dapat menghitung, tapi dari mana Nabi tahu bahwa
satu bulan itu terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 hari? Ini menunjukkan bahwa beliau
mengetahui itu berdasarkan “data” kalender qamariyyah yang telah berlaku sejak lama
sebelum beliau diangkat jadi Rasul.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penentuan awal bulan dengan rukyat pada masa-
masa itu hanyalah tradisi. Perbuatan ini biasa dilakukan semata-mata karena pada saat itu
masyarakat Arab pada umumnya belum mengetahui/menguasai ilmu hisab/falak. Hal itu
menunjukkan bahwa rukyat yang berlaku pada zaman Nabi tidak berarti menolak atau bahkan
melarang penentuan hilal berdasarkan ilmu hisab. Dalam konteks inilah kita dapat memahami
mengapa Nabi tidak mengaitkan persoalan ibadah dengan rukyat hilal.

Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah (kususnya Tahun ke 2 H), Terdapat
perintah yang sharih (tegas dan jelas) dari Nabi untuk mengaitkan persoalan ibadah dengan
rukyat hilal. Hal itu tampak jelas dalam penetapan ibadah shaum sebagai berikut:

1. Di Madinah, Nabi Saw. masih menjalani syariat Shaum sebelumnya, yakni Ayyamul bidh
dan Asyura, bahkan hingga bulan Sya’ban tahun ke-2 hijrah. Sekitar 17 bulan sejak di
Madinah, yaitu sejak Rabi’ul Awal hingga Sya’ban tahun ke-2 Nabi masih menjalankan
ibadah shaum selain Ramadhan. Dan pada bulan-bulan itu tidak terdapat perintah rukyat
hilal. Akhir bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriah, setelah selesai salat Ashar berjama’ah, Nabi
berkhutbah di hadapan para sahabat

‫ْضةً َوقِيَا َم لَ ْيلِ ِه تَطَ ُّوعًا‬


َ ‫صيَا َمهُ فَ ِري‬ ِ ‫ك َش ْه ٌر فِ ْي ِه لَ ْيلَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْل‬
ِ ُ‫ف َشه ٍْر َج َع َل هللا‬ ٌ ‫أَيُّهَا النَّاسُ قَ ْدأَظَلَّ ُك ْم َش ْه ٌر َع ِظ ْي ٌم َش ْه ٌر ُمبَا َر‬

“Hai manusia! Telah menaungi kamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah,
bulan yang padanya ada satu malam lebih baik dari seribu bulan. Allah tetapkan shaum
padanya sebagai satu kewajiban, dan salat pada malamnya sebagai tathawu (sunnat).” H.r.
Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, dan Al-Haitsami.

Nabi bersabda demikian, karena pada bulan Sya’ban tahun ke-2 itu Allah menurunkan ayat:

‫ت فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا أَوْ َعلَى‬ ٍ ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِم ْنقَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ أَيَّا ًما َم ْعدُودَا‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ال‬
ُ‫َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِكي ٍن فَ َم ْن تَطَ َّو َع َخ ْيرًا فَه َُو خَ ْي ٌر لَهُ َوأَ ْنتَصُو ُموا خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُكنت ْم‬
َ‫تَ ْعلَ ُمون‬

“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum, sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Beberapa hari yang
ditentukan, maka siapa yang sakit atau berpergian di antara kamu, maka hendaklah ia
menghitung (qadla) pada hari-hari lainnya dan atas orang yang merasa payah boleh
membayar fidyah dengan memberi  makanan pada orang yang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari, maka itulah
yang lebih baik baginya.”Q.s. al-Baqarah : 183-184

Catatan:
Pada waktu itu Nabi bukan hanya menginformasikan hukum shaum Ramadhan, tetapi juga
mengaitkan hukum itu dengan rukyat hilal sebagai petunjuk pelaksanaan shaum. Dalam hal
ini Nabi bersabda:

‫اس فَصُوْ ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوْ ا لِر ُْؤيَتِ ِه فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَ ُع ُّدوْ الَهُ ثَالَثِي َ¬ْن يَوْ ًما‬
ِ َّ‫إِنَ هللاَ َج َع َل األَ ِهلَّةَ َم َواقِيْتَ لِلن‬

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan hilal itu sebagai pertanda waktu bagi kepentingan
manusia, maka shaumlah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramdhan) dan berbukalah
kalian karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika tidak kelihatan oleh kalian maka
hitunglahlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan) menjadi 30 hari” HR. Abdur
Razaq, al-Mushannaf, IV:156, No. 7306.

2. Sehubungan dengan rukyat hilal itu Nabi senantiasa Memperhatikan Dengan Serius
bulan Sya’ban, dengan menghitung jumlah hari-harinya. Hal itu sebagaimana dijelaskan
dalam hadis sebagai berikut:

َ‫ َكانَ َرسُو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم يَت ََحفَّظُ ِم ْن َش ْعبَان‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهَا تَقُو ُل‬ ِ ‫ْت عَائِ َشةَ َر‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫ قَا َل‬،‫س‬ ٍ ‫ع َْن َع ْب ِد هللاِ ْب ِن أَبِي قَ ْي‬
َ ‫ ثُ َّم يَصُو ُم لِر ُْؤيَ ِة َر َم‬،‫َماالَ يَت ََحفَّظُ ِم ْن َغي ِْر ِه‬
َ ‫ فَإ ِ ْن ُغ َّم َعلَ ْي ِه َع َّد ثَالَثِينَ يَوْ ًما ثُ َّم‬، َ‫ضان‬
‫صا َم‬

Dari Abdullah bin Abu Qais, ia berkata, “Saya mendengar Aisyah Ra. berkata, ‘Rasulullah
saw. memperhatikan dengan serius (hari-hari) bulan Sya’ban, yang hal itu tidak beliau
lakukan pada bulan-bulan lainnya, kemudian beliau shaum karena melihat hilal Ramadhan.
Jika tidak dapat diru’yat (hilal tidak terlihat) beliau menggenapkan jumlah hari bulan Sya’ban
itu 30 hari, kemudian beliau shaum’.” H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:298, No. 2325

3. Beliau sangat selektif terhadap orang yang mengaku melihat hilal, sementara orang itu
belum dikenal kredibilitasnya. Sikap selektif ini diwujudkan dalam bentuk minta persaksian
orang itu dengan syahadat, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini:

‫ أَ ْت ْشهَ ُد أَ َّن‬: ‫ قَا َل‬.‫ نَ َع ْم‬:‫ أَتَ ْشهَ ُد أَ ْن الَإِلَهَ إِالَّهللاُ؟ قَا َل‬: ‫ال‬ ُ ‫ إِنِّ ْي َرأَي‬: ‫س أَ َّن أَ ْع َرابِيَّا َجا َء إِلَى النَّبِ ِّي فَقَا َل‬
َ َ‫ْت ال ِهالَ َل فَق‬ ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
‫ وصححه ابن خزيمة وابن حبان‬,‫ رواه الخمسة‬.‫ أَ ْن يَصُوْ ُموا َغدًا‬,ُ‫اس يَابِالَل‬ ِ َّ ‫ن‬‫ال‬   ‫ى‬ِ ‫ف‬ ‫ن‬ْ ‫ذ‬ِّ َ ‫أ‬َ ‫ف‬ : ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ .‫م‬ْ ‫ع‬
َ َ ‫ن‬ : ‫ل‬
َ ‫ا‬َ ‫ق‬ ‫هلل؟‬ ‫ُم َح َّمدًا َرسُوْ اُل‬

Dari Ibnu Abbas telah datang seorang Arab (baduy) kepada Nabi saw, ia berkata,
“Sesungguhnya aku telah melihat hilal (Ramadhan)” Lalu Nabi bersabda,”Apakah kamu
bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “ya” Kemudian beliau bersabda
lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhamad itu Rasulullah” Dia berkata, “Ya”. Kemudian
Nabi bersabda, “Wahai Bilal, beritahu orang-orang untuk shaum besok hari.” H.r. al-
Khamsah, dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban. (Lihat, Bulugh
al-Maram:120, No. 655).

Sikap yang sama diberlakukan pula dalam rukyat hilal Syawal dan Dzulhijjah sebagaimana
diterangkan dalam hadis berikut:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَالُوا أُ ْغ ِم َي‬


َ ِ ‫ب َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫ار ِم ْن أَصْ َحا‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ك قَا َل َح َّدثَنِي ُع ُمو َمتِي ِم ْن اأْل َ ْن‬ ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬ ِ ‫ع َْن أَبِي ُع َمي ِْر ْب ِن أَن‬
‫اَل‬ ْ َ َّ َ َّ َ
‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم أنهُ ْم َرأوْ ا ال ِه َل‬ ‫هَّللا‬ َّ َّ ْ َ َ
َ ‫ار فش ِهدُوا ِعن َد النبِ ِّي‬ َّ ْ ْ َ
ِ َ‫صيَا ًما ف َجا َء َركبٌ ِمن آ ِخ ِر النه‬ ِ ‫َّال فَأَصْ بَحْ نَا‬
ٍ ‫َعلَ ْينَا ِهاَل ُل َشو‬
ْ َ َ َّ ‫هَّللا‬
‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم أ ْن يُ ْف ِطرُوا َوأ ْن يَ ْخ ُرجُوا ِإلَى ِعي ِد ِه ْم ِم ْن ال َغ ِد‬ َّ َ ِ ‫س فَأ َ َم َرهُ ْم َرسُو ُل‬
‫هَّللا‬ ِ ‫بِاأْل َ ْم‬

Dari Abu Umer bin Anas bin Malik, ia berkata, “Paman-pamanku, para sahabat Rasul dari
kaum Anshar, berkata, ‘Hilal Syawal terhalang bagi kami (Ramadhan jadi digenapkan 30
hari). Maka pagi hari (30 Ramadhan) kami saum. Kemudian datang rombongan di
penghujung siang, lalu bersaksi di hadapan Nabi saw. bahwa mereka melihat hilal Syawal
kemarin. Maka Nabi memerintah mereka untuk berbuka dan melaksanakan ied pada esok
hari’.” H.r. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:529; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:300;
Ibnul Jarud, al-Muntaqa: 77; an-Nasai, as-Sunan al-Kubra, I:542, dengan sedikit perbedaan
redaksi.

Tiga bentuk sikap Nabi tersebut tidak pernah dilakukannya pada periode Mekah dan
tahun pertama periode Madinah, padahal ibadah shaum (asyura dan Ayyamul Bidh)
ketika itu sudah disyariatkan.

Perbedaan bentuk sikap itulah yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa dalam penentuan
waktu-waktu shaum, Iedul Fitri, dan haji keadaan Visibilitas Hilal (keterlihatan hilal) menjadi
sabab al-hukmi (sebab hukum). Karena itu tepat sekali ketika para ulama secara umum
menyatakan bahwa Harf Lam dalam matan (redaksi) hadits “Suumuu li ru’yatih” adalah “li
al-ta’lil (menunjukkan makna sebab)” sehingga matan itu dipahami menjadi

‫صوموا بسبب رؤيتكم الهالل‬

“Shaumlah kalian sebab melihat hilal.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sebab hukum)
kewajiban shaum Ramadhan, berbuka (Idul fitri), dan Iedul Adha.

RAMADAN, SYAWAL & DZULHIJJAH 1436 H.

Dalil Penentuan bulan Ramadhan dan Syawwal

‫اس فَصُوْ ُموا لِر ُْؤيَتِ ِه َوأَ ْف ِطرُوْ ا لِر ُْؤيَتِ ِه فَإ ِ ْن‬
ِ َّ‫ع َِن ْب ِن ُع َم َر قَا َل قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم إِنَ هللاَ َج َع َل األَ ِهلَّةَ َم َواقِيْتَ لِلن‬
‫ُغ َّم َعلَ ْي ُك ْم فَ ُع ُّدوْ الَهُ ثَالَثِ ْينَ يَوْ ًما‬

Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan
hilal itu sebagai pertanda waktu bagi kepentingan manusia, maka shaumlah kalian karena
melihatnya (hilal bulan Ramdhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal bulan
Syawal). Jika tidak kelihatan oleh kalian maka hitunglahlah ia (bilangan bulan Sya’ban atau
bulan Ramadhan) menjadi 30 hari” HR. Abdur Razaq, al-Mushannaf, IV:156, No. 7306.

Dari hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa sababul hukmi masuknya bulan Ramadhan
dan Syawal secara syar’i adalah dengan terlihatnya hilal. Namun disini Nabi tidak
menentukan apakah rukyat hilalnya itu real time (pada waktunya) atau berupa data
dan fakta rukyat hilal sebelumnya. Hingga dengan tidak adanya ketetapan ini, maka
awal bulan bisa ditetapkan berdasarkan keduanya atau salah-satunya tanpa menafikan
yang lainnya.

Kapankah Hilal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1436 H dapat terlihat?

Ramadhan 1436 H

Berdasarkan Kriteria yang dipakai oleh PERSIS, maka awal Ramadhan 1436 H di tetapkan
bertepatan dengan Kamis, 18 Juni 2015. Sebab, Pada tanggal 29 Syaban 1436 H/17 Juni 2015
TU (menurut almanak PERSIS), beda tinggi hilal matahari sudah mencapai 10° 19’ 45” dan
elongasi 10° 51’ 34” sebagaimana terlihat pada data di bawah ini (dihitung dengan Ephemeris
ver. 1.5 buatan Mathla)

Dan hal ini terbukti dengan banyaknya laporan


keterlihatan hilal di Indonesia yang juga dibuktikan dengan foto Citra hilalnya. Diantaranya
Pasuruan Jatim, Denpasar Bali, UPI Bandung dll. Dengan demikian 1 Ramadhan 1436 H
sesuai almanak jatuh pada hari Kamis 18 Juni 2015.

Hilal Ramadhan di Pasuruan, Jatim

Syawwal 1436 H

Sedang awal Syawwal 1436 H ditetapkan bertepatan dengan Sabtu, 18 Juni 2015, karena
pada tanggal 16 Juli 2015/29 Ramadhan 1436 H, hilal belum memenuhi kriteria ketampakan
hilal (imkan rukyat)  yang digunakan oleh Persis. Sebab beda tinggi bulan matahari 03° 27’
55” (3,5°) dan elongasi 5° 55’ 14” (5,9°). Hingga Ramadhan 1436 di istikmalkan
(digenapkan) 30 hari.
Posisi Hilal Syawal 1436 H di Pelabuhanratu-Sukabumi

Ketetapan awal Syawal 1436 H dalam almanak PERSIS

Ketetapan Almanak ini pun dikuatkan oleh Surat edaran yang bertanggal 1 Juni 2015 sebagai
berikut:
Surat Edaran PP. PERSIS sebagai penguatan Keputusan almanak terkait awal bulan
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1436 H

Terlebih hasil Rukyat Sya’ban 1436 H juga bisa dijadikan perbandingan apakah hilal Syawal
1436 H bisa terlihat atau tidak. Mengngat posisi hilal Syaban 1436 H hampir mirip dengan
posisi hilal Syawwal 1436 H nanti.

Bahkan bila dilihat, beda tinggi bulan matahari di bulan Syaban 1436 H, lebih tinggi
dibanding Hilal Syawal 1436 H nanti. Bila beda tinggi hilal Syawal 1436 H nanti sekitar 3.5
derajat, maka tinggi hilal Syaban 1436 H kemarin adalah 3,8 derajat. Namun nyatanya tidak
ada laporan keterlihatan hilal Sya’ban ini di Indonesia yang menyertakan bukti citra hilalnya.
Hilal Sya’ban saja yang lebih tinggi tidak terlihat, apalagi nanti Hilal Syawal yang lebih
rendah.

Posisi Hilal Sya’ban 1436 H di Ciemas-Sukabumi yang tidak berhasil di amati.

DHR (Dewan Hisab dan Rukyat) PERSIS bersama Team Mathla Astro Club saat Rukyat
Sya’ban 1436 H di Ciemas
Kondisi Cuaca mendung, sebelum matahari terbenam di Ciemas, hal ini berlangsung sampai
matahari terbenam

Dzulhijjah 1436 H

Untuk Dzulhijjah 1436 H, beda tinggi bulan matahari 0°41’ 46” dan elongasi 1°53’
47”hingga pemerintah dan Persis akan menetapkan Awal Dzulhijjah 1436 H, berteptan
dengan hari Selasa, 15 September 2015 dan 10 Dzulhijjah 1436 H betepatan dengan Kamis,
24 September 2015 TU. Sedang Muhamadiyah akan menetapkan bahwa awal Dzulhijjah
bertepatan dengan hari Senin, 14 September 2015 dan 10 Dzulhijjah 1436 H betepatan
dengan Rabu, 23 September 2015 TU.

Ketetapan Awal Dzulhijjah 1436 H dalam almanak PERSIS

Namun tentu saja kesimpulan ini berlaku beriringan dengan syarat-syarat ini, yakni:

1. Seandainya ada kesaksian rukyat yang meragukan, di bawah kriteria tersebut, maka
kesaksian tersebut harus ditolak.
2. Bila ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada
objek yang menggangu atau ada rekaman citranya), (padahal di bawah kriteria), maka
kesaksian harus diterima dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab rukyat
yang baru.
3. Bila tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena mendung, padahal bulan telah
memenuhi kriteria, maka data tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan,
karena kriteria hisab rukyat telah didasarkan pada data dan fakta rukyat jangka
panjang (berarti tidak mengabaikan metode rukyat).

Catatan:

Pembelakuan syarat-syarat ini sangat tepat sekali mengingat: [1] untuk menghindari adanya
syahadat orang yang mengaku melihat hilal padahal ternyata yang dilihatnya bukan hilal.
Sebab keterlihatan hilal bukanlah sesuatu hal yang ghaib tapi bisa di buktikan dengan sains
astronomi. [2] Tuntutan Syariat untuk mengetahui sababul hukmi masuknya awal bulan yaitu
terlihatnya hilal, [3] Sebagai verifikasi data rukyat faktual. Sebab nilai beda tinggi >4 derajat
dan elongasi >6.4 derajat merupakan data rukyat faktual bukan data matematis, yang tentu
saja harus terus di verifikasi dengan data faktual,

Kutawaringin, 29 Juni 2015 TU

Abu Sabda el-Falakiy MA

[1]Dalam bahasa arab, “Urf” berarti kebiasaan atau kelaziman. Adalah sistem perhitungan
kalender yang didasarkan pada rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara
konvensional. Hisab ini digunakan untuk kepentingan administratif, bukan ibadah.

[2]Haqiqi” berarti realitas atau yang sebenarnya. Sistem hisab hakiki ini sudah mulai
menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta rumus-rumus terbaru dilengkapi
dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat ketelitian standar.

[3]Dalam bahasa arab, “Taqrib” berarti pendekatan/aproksimasi. Adalah sistem hisab yang
sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun menggunakan rumus-
rumus yang sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. Kitab Hisab Taqribi: Ieqadzu Niyam,
Sulamun Nayirayn, Fathur Raufil Manan, al-Qawaidul Falakiyah, Risalatul Qamarain, dsb

[4]Sistem hisab ini memakai metode perhitungan berdasarkan teori-teori astronomi modern
dan ilmu ukur segitiga bola serta berdasarkan pengamatan baru. Kitab Hisab Hakiki Tahkiki:
al-Falakiyah, Nurul Anwar, Al-Khlulashah al-Wafiyah

[5]Sistem hisab ini memakai metode perhitungan berdasarkan teori-teori astronomi modern
dan ilmu ukur segitiga bola serta berdasarkan pengamatan baru, namun tingkat akurasinya
lebih tinggi dari Haqiqi Tahkiki, daintara kitabnya adalah: Durul Aniq

[6]Hisab yang berdasarkan astronomi modern, matematika kontemporer, dan menggunakan


alat-alat elektronika modern (software) koreksi-koreksi posisi Bulan dan Matahari lebih
kompleks dan lebih teliti. Kitab Hisab Hakiki Kontemporer: Almanak Nautika, Ephemeris
Hisab, Jean Meeus, New Comb, Astronomical Almanac, Mawaqit dll

[7] Elongasi 6,4◦ adalah Limit Danjon dengan menggunakan alat optik, diperoleh oleh Odeh
(2006). Odeh menetapkannya berdasarkan pada rekor elongasi terendah yang dilakukan oleh
Jim Stamm yang mengamati Hilal dengan menggunakan teleskop dalam kondisi cuaca
cerah. Sedangkan bila tidak menggunakan alat optik Limit Danjonnya adalah >7◦(diperoleh
oleh Danjon 1932, 1936).

Perhatikan Data no 697 pada tgl 13-10-2004 yang diperoleh oleh Stamm (Jim Stamm), pada
elongasi (ARCL) 6.5 derajat hilal bisa teramati dengan tropong (V). Dan inilah rekor elongasi
terkecil keterlihatan hilal dengan teropong yang belum terpecahkan sampai saat ini. Inilah
yang menjadi sandaran Kreteria IR Astronomis PERSIS/LAPAN yang mensyaratkan untuk
ketampakan hilal elongasi harus lebih besar dari 6,4 derajat. (sumber: New Criterion for
Crescent Visibility-Odeh, hal.46)

Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa
memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan
memperhitungkan arc of light (bedatinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk
barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh
beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-
matahari. Maka atas dasar ini dimasukan kriteria beda tinggi bulan-matahari yaitu sebesar
>4◦. Kriteria >4◦ disini menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas
(1988), Caldwell dan Laney (2001),dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4◦.

Kriteria LAPAN, sekarang di gunakan oleh ormas PERSIS dan mulai di implementasikan
dalam Almanak Persis sejak dari tahun 1434 H. Dengan syarat:

1. Seandainya ada kesaksian rukyat yang meragukan, di bawah kriteria tersebut, maka
kesaksian tersebut harus ditolak.
2. Bila ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada
objek yang menggangu atau ada rekaman citranya), (padahal di bawah kriteria), maka
kesaksian harus diterima dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab
imkanurrukyat.
3. Bila tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena mendung, padahal bulan telah
memenuhi kriteria, maka data tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan,
karena kriteria hisab rukyat telah didasarkan pada data rukyat jangka panjang (berarti
tidak mengabaikan metode rukyat).

[8] ditinjau dari segi makna yang dipergunakan untuk lafal, maka lafal itu dibagi menjadi 4
bagian, yakni [1] al-haqiqah, yaitu lafal yang digunakan untuk arti hakiki atau sebenarnya.
Jika pemakaian arti itu sesuai dengan istilah bahasa dinamai haqiqah lughawiyyah, seperti
lafal insan yang arti haikinya secara bahasa adalah hayawanun natiqun (binatang yang
berakal). Jika pemakiannya itu sesuai dengan istilah syara’ dinamai haqiqah syari’iyyah,
seperti lafal shalat yang arti hakikinya menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan perbuatan
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jika pemakainnya itu sesuai dengan
istilah adat atau kebiasaan umum disebut haqiqah ‘urfiyyah ‘ammah, seperti lafal dabbah
yang dipakai untuk semua binatang yang berkaki empat. Jika pemakainnya itu sesuai dengan
istilah adat atau kebiasaan khusus disebut haqiqah ‘urfiyyah khasah. [2] al-majaz, yaitu lafal
yang digunakan untuk arti kiasan (pinjaman, bukan sebenarnya). Sebagaimana halnya lafal
haqiqi, lafal majazi terbagi pula kepada (a) majaz lughawi, seperti lafal asad (singa) yang arti
majazinya adalah seorang pemberani, (b) majaz syar’i, seperti lafal la mastum dalam surat al-
Maidah:6 yang arti majazinya adalah bersetubuh, dan (c) majaz ‘urfi, seperti lafal dabbah
yang arti majazinya adalah setiap binatang yang melata di atas permukaan bumi. [3] sharih,
yaitu lafal yang jelas maksudnya karena sudah termasyhur dalam penggunaannya, baik secara
haqiqi maupun majazi. Seperti lafal isytara (membeli) dan ba’a (menjual) adalah lafal sharih,
karena jelas sekali maksudnya. [4] al-kinayah, yaitu lafal yang tersembunyi maksudnya
karena tidak termasyhur dalam penggunaannya, baik secara haqiqi maupun majazi. Dan
untuk memahaminya diperlukan qarinah (keterangan pendukung)

Anda mungkin juga menyukai