Anda di halaman 1dari 8

Tafsir al-qurthubi

Al baqarah ayat 189

‫َيْسَتُلوَنَك َع ِن اَأْلِهَّلِة ُقْل ِهَي َمَو اِقيُت ِللَّناِس َو اْلَح ِج َو َلْيَس اْلِبُّر ِبَأن َتْأُتوا اْلُبُيوَت ِم ن ُظُهوِرَها َو َلِكَّن اْلَبِّر َمِن اَّتَقى َو ْأُتوا اْلُبُيوَت ِم ْن َأْبَو اِبَها‬
‫) َو اَّتُقوا َهَّللا َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحوَن‬

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, 'Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu- pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung'." (Qs. Al Baqarah [2]: 189)

Dalam firman Allah ini terdapat dua belas masalah: Pertama: Firman Allah SW ‫"ىسىالو نك عن الهلة‬Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit." Pertanyaan ini termasuk pertanyaan yang pernah diajukan
dan dikemukakan oleh orang-orang Yahudi kepada Nabi SAW.

Mu'adz berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi sering bergaul dengan kami dan
mereka sering bertanya kepada kami tentang bulan sabit: mengapa bulan sabit itu nampak (mula-mula)
kecil, kemudian bertambah (besar), hingga sempurna dan bundar. Setelah itu, ia berkurang hingga
kembali seperti semula?" Allah kemudian menurunkan ayat ini.

Menurut satu pendapat, sebab diturunkannya ayat ini adalah pertanyaanyang diajukan oleh sekelompok
orang dari kaum muslim kepada Nabi SAW tentang bulan sabit, serta faktor apa yang menyebabkan
bulat sabit muhaq dan sempurna, serta berbeda dari matahari. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu
Abbas, Qatadah, Ar-Rubai' dan yang lainnya.

Kedua: Firman Allah SW‫" عن الهالة‬tentang bulan sabit." Kata‫) عن الهلة‬beberapa bulan sabit) adalah bentuk
jamak untuk kata hilaal (bulan sabir). (Dalam firman Allah ini) kata hilaal dijamakkan, padahal
sebenarnya hilaal itu hanya ada satu. Pasalnya, hanya ada satu hilaal dalam satu bulan. Namun hilal yang
satu ini menjadi hilal-hilal (yang lain) pada bulan-bulan yang lain. Dalam hal ini, yang dijamakan adalah
keadaan hilaal (bukan dzat hilalnya), dan yang dimaksud dari hilaal itu sendiri adalah bulan.

Terkadang kata hilaal (bulan sabit) digunakan untuk menyebut syahr (bulan). Ini terjadi karena hilaal
selalu ada dalam satu bulan. Menurut pendapat yang lain, hilaal disebut syahr (bulan/pemberitahuan),
sebab tangan (manusia) memberitahukan melalui isyarat ke objek yang dilihat dan menunjuk
kepadanya.

Kata hilal juga terkadang digunakan untuk menyebut dua malam terakhir di akhir bulan. Menurut satu
pendapat, kata hilal juga digunakan untuk menyebut tiga malam pertama di awal bulan.

Al Ashmu'i berkata, "Bulan sabit disebut hilal sampai ia membulat dan bundar, seperti benang yang
melingkar." Menurut satu pendapat, bulan sabit itu dinamakan hilal sampai cahayanya memancar di
langit. Ini terjadi pada malam ketujuh.

Al Abbas berkata, "Bulan sabit disebut hilal karena manusiamengeraskan suaranya untuk
memberitahukannya." Contohnya adalah ucapan:istahalla ash-Shabiyu (anak kecil nampak), jika
kehidupannya nampak karena teriakannya. (Contoh yang lain adalah) istahalla wa tahallalla wajhuhu
farhan (wajahnya tampak bahagia), jika kebahagiaan nampak di wajahnya.

Dikatakan, "Ahlalnaa Al Hilaal (kami memasuki bulan baru), "jika kami memasukinya (maksudnya
memasuki bulan baru, penerjemah).

Al Jauhari berkata, "(Boleh diucapkan): "Uhilla al-Hilaalu, wastuhilla (hilal nampak)-dengan bentuk
kalimat yang tidak disebutkan fa'ilnya." (Boleh pula dikatakan): 'Istahalla Al Hilaalu (hilal nampak), 'yang
berarti nampak. Namun tidak boleh dikatakan 'Ahalla Al Hilalu. "Boleh dikatakan: "Uhlilnaa an lailatin
kadza (hilal nampak kepada kami pada malam anu). 'Namun tidak boleh dikatakan: 'Ahlalnaahu fahalla.
Boleh dikatakan: "Uhilla Al Hilala wastuhilla, Ahlalnaa Al Hilaala wastahlalnaa","

Ketiga: Para ulama berkata, "Barangsiapa yang bersumpah untuk melunasi utangnya atau akan
melakukan anu ketika hilal (muncul), atau di awal hilal, atau saat hilal (tiba), kemudian dia melakukan
hal itu satu atau dua hari setelah dia melihat hilal, maka dia tidak melanggar sumpahnya. Sebab
sepanjang bulan pantas untuk digunakan melakukan semua ibadah dan mu'amalah. Hal ini sebagaimana
yang akan dijelaskan nanti."

Firman Allah SWT: ‫" ُقْل ِهَي َمَو اِقيُت ِللَّناِس َو اْلَح ج‬Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadah) haji'. " Firman Allah ini merupakan penjelasan tentang hikmah dari
pembesaran dan penciutan bulan. Hikmah yang dimaksud adalah hilangnya kegamangan dalam masalah
waktu, muamalah, sumpah, haji, bilangan, puasa, berbuka, masa hamil, sewa-menyewa, dan yang
lainnya yang merupakan kemaslahatan hamba. Padanan untuk firman Allah ini adalah firman Allah SWT:

‫َو َج َع ْلَنا اْلَبَل َو الَّنَهاَر َو اَيَتْيِن َفَم َح ْو َنا َداَيَة اَّلْيِل َو َج َع ْلَنا َداَيَة الَّنَهاِر ُم ْبِص َر ًة ِلَتْبَتُغ وا َفْض ًال من َّرِّبُك ْم َوِلَتْع َلُم وا َعَدَد الَّس ِنيَن َو اْلِح َس اَب‬

"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami
jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui
bilangan tahun-tahun dan perhitungan." (Qs. Al Israa [17]: 12) Hal ini sebagaimana yang akan dijelaskan
nanti.

‫ ُهَو اَّلِذ ي َج َعَل الَّش ْمَس ِض َياٌء َو اْلَقَم َر ُنوًرا‬: Juga fiman Allah SWT Dia-lah yang menjadikan ‫َو َقَّد َرُه َم َناِزَل ِلَتْع َلُم وا َعَدَد الِّس ِنيَن‬
‫ َو اْلِح َس اَب‬matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah- manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)." (Qs.
Yunus [10]: 5) Menghitung hilal adalah lebih mudah daripada menghitung hari.

Keempat: Dengan apa yang kami tetapkan itulah para penganut madzhab Zhahiriyah dan orang-orang
yang mengemukakan pendapat seperti pendapat mereka dibantah. (Mereka berpendapat) bahwa
musaaqah itu bolch dilangsungkan sampai waktu yang tidak diketahui batasan tahunnya.

Mereka berargumentasi bahwa Rasulullah SAW pernah mempekerjakan

seorang Yahudi dengan upah sebagian tumbuhan dan kurma, sampai batas waktu yang dikehendaki oleh
Rasulullah, tanpa ada penetapan waktu. Argumentasi ini tidak ada dalilnya. Sebab Rasulullah SAW
bersabda kepada orang Yahudi itu, "Aku tetapkan untuk kalian dalam hal itu apa yang telah Allah
tetapkan untuk kalian, "167 Hadits ini merupakan dalil yang paling jelas dan keterangan yang paling
nyata, yang menyatakan bahwa hal itu merupakan kekhususan beliau. Sementara itu, beliau terus
menanti keputusan dari Tuhannya. Namun hal itu tidak diperbolehkan kepada selain beliau. Syari'ah
telah menetapkan aturan- aturan dalam sewa-menyewa dan seluruh bentuk mu'amalah (lainnya). Jika
demikian, maka tidak ada sesuatu pun dari mu'amalah itu kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Al
Qur'an dan sunnah. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama umat (Islam).

Kelima: Firman Allah SWT: ‫ موِقيُت‬tanda-tanda waktu). Lafazh ‫ مواقيت‬adalah bentuk jamak dari kata miiqat,
yaitu waktu.

Menurut satu pendapat, miiqat adalah batasan akhir waktu. Lafazh ‫ موِقيُت‬tidak dapat menerima tanwin,
sebab ia adalah bentuk jamak yang tidak memiliki padanan kata dalam bentuk tunggalnya. Ia adalah
bentuk jamak, sekaligus akhir bentuk jamak. Sebab ia tidak dapat dijamakkan, sehingga bentuk jamak
seolah terjadi berulang kali padanya.

Adapun lafazh qawaariir yang terdapat pada firman Allah SWT: ‫)" قواريرًا‬Yaitu) kaca-kaca...." (Qs. Al
Insaan [76]: 16) lafazh qawaariir dapat menerima tanwin karena ia terletak di awal ayat, sehingga
ditanwini sebagaimana kata yang menjadi qaafiyah. Namun tanwin tersebut bukanlah tanwin sharf yang
menunjukkan bahwa dapat berubahnya isim.

Keenam: Firman Allah SWT: ‫) َو اْلَح ج‬dan bagi ibadah haji)-dengan fathah huruf ha, yang merupakan
qira'ah mayoritas ulama.

Sementara itu Ibnu Abi Ishak membaca kata ‫ الحج‬yang ada di dalam Al Qur'an dengan kasrah huruf ha,
Juga firman Allah: ‫" َوِهَّلِل َع َلى الَّناِس ِح ُّج اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِإَلْيِه َس ِبياًل‬Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." (Qs. Aali 'Imraan
[3]:97)

Sibawaih berkata, "Lafazh Al Hajj adalah seperti Ar-Radd dan Asy- Syadd, sedangkan lafazh Al Hijj adalah
seperti Adz-Dzikr. Kedua kata itu (Al Hajj dan Al Hijj) adalah mashdar yang mempunyai makna yang
sama. Namun menurut satu pendapat, Al Hajj adalah mashdar sedang Al Hijj adalah isim."

Ketujuh: Allah hanya menyebutkan haji, sebab ia merupakan ibadah

yang dalam pelaksanaanya perlu diketahui waktunya, dan ia tidak boleh dilakukan setelah melewati
waktunya. Hal ini berbeda dengan pandangan orang-orang Arab, dimana mereka melaksanakan ibadah
haji dengan hitungan dan mengganti-ganti bulan pelaksanaannya. Oleh karena itulah Allah menolak
pendapat dan perbuatan mereka. Hal ini sebagaimana yang akan dijelaskan dalam surah Bara 'ah (At-
Taubah), insya Allah.

Kedelapan: Imam Malik dan Abu Hanifah serta para sahabat keduanya,

menjadikan ayat ini sebagai argumentasi bahwa ihram untuk haji dapat dilakukan pada selain musim
haji. Sebab (dalam ayat ini) Allah menjadikan semua hilal (bulan) sebagai waktu untuk melakukan ibadah
haji tersebut. Karena itulah ihram untuk haji sah dilakukan pada semua bulan.
Namun pendapat tersebut ditentang oleh imam Asy-Syafi'i, berdasarkan kepada firman Allah SWT ‫تلْلَح ُح‬
‫)" َأْش ُهٌر مْع ُلوَم ن‬Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi," (Qs. Al Baqarah (2): 197)
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Dan, bahwa makna ayat ini adalah, bahwa sebagian bulan sabit
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan sebagian lainnya adalah tanda-tanda waktu bagi ibadah
haji. Firman Allah ini seperti ucapanmu: Budak perempuan ini milik Zaid dan Amr. Ucapan ini
menunjukkan bahwa sebagian dari budak perempuan tersebut adalah milik Zaid, sedang sebagian
lainnya adalah milik Amr.

Namun hal itu dijawab dengan mengatakan, bahwa zhahir dari firman Allah: ‫" ِهَي َمَو اِقيُت ِللَّناِس َو اْلَح ِّج‬Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji, "menunjukkan bahwa semua
bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan semua bulan sabit pun merupakan tanda-tanda
waktu untuk ibadah haji. Seandainya Allah menghendaki sebagiannya, niscaya Allah akan berfirman:
"Sebagiannya adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan sebagian (lain)nya adalah tanda-tanda waktu
bagi ibadah haji." Firman Allah ini seperti ucapanmu: "Bulan Ramadhan adalah waktu bagi Zaid dan
Amru untuk berpuasa. "Dalam hal ini, tidak ada silang pendapat bahwa yang dimaksud adalah, bahwa
seluruh Ramadhan merupakan waktu bagi masing-masing mereka untuk berpuasa.

Adapun argumentasi yang mereka katakan tentang budak perempuan itu, itu adalah argumentasi yang
benar. Sebab keseluruhan budak perempuan itu adalah milik Zaid, dan adalah suatu hal yang mustahil
bila keseluruhannya menjadi milik Amr. Namun masalah kita tidak seperti ini. Sebab waktu itu sah untuk
menjadi tanda-tanda waktu bagi Zaid dan Amr. Dengan demikian, maka batallah apa yang mereka
katakan.

Kesembilan: Tidak ada silang pendapat di kalangan ulama bahwa orang yang menjual sesuatu yang
diketahui, dengan harta yang diketahui, sampai batas waktu yang diketahui menurut perhitungan bulan
Arab, atau sampai hari yang bilangannya diketahui, maka hal itu Demikian pula, mereka pun
mengemukakan pendapat tersebut pada salam sampai batas waktu.

Namun mereka berbeda pendapat tentang orang yang menjual (sesuatu) sampai masa panen, sampai
masa tebang, sampai masa diberikan, atau yang yang lainnya.

Imam Malik berkata, "Hal itu diperbolehkan. Sebab transaksi ini (seperti) merupakan transaksi yang
diketahui (batas penyerahannya)." Pendapat ini pun dikatakan oleh Abu Tsaur. Imam Ahmad berkata,
"Aku harap, hal itu tidak masalah."Demikian pula (transaksi) yang ditangguhkan sampai datangnya masa
perang. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia menjual (sesuatu) sampai masa penyerahan.

Sekelompok ulama berkata, "Hal itu tidak diperbolehkan. Sebab Allah telah menetapkan tanda-tanda
waktu dan menjadikan itu sebagai batasan dalam jual beli dan (peruntukan) kemaslahatan mereka."
Pendapat ini pun dikatakan oleh Ibnu Abbas. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Asy-Syafi'i dan An-
Nu'man." Ibnu Al Mundzir berkata, "Pendapat Ibnu Abbas adalah benar."

Kesepuluh: Jika bulan sabit terlihat besar, maka para ulama kami (madzhab Maliki) berkata, "Besar dan
kecilnya hilal tidak perlu dipersoalkan. Sebab ia adalah tanggal untuk malam tersebut."
Muslim meriwayatkan dari Abu Al Bakhtari, dia berkata, "Kami berangkat untuk melaksanakan Umrah.
Ketika kami tiba di lembah kebun kurma, (seseorang) berkata, "Kami telah melihat Hilal.' Sebagian orang
berkata, "Itu (hilal) tanggal tiga. Sebagian orang (yang lain) berkata, "Itu (hilal) tanggal dua"." Abu Al
Bakhtari berkata, "Kami kemudian bertemu dengan Ibnu Abbas. Kami berkata, "Sesungguhnya kami
telah melihat hilal, lalu sebagian orang berkata: Itu (hilal) tanggal tiga, dan sebagian orang (lainnya)
berkata: Itu (hilal) tanggal dua.' Ibnu Abbas berkata, 'Malam apa kalian melihatnya?' Kami menjawab,
"Malam anu dan anu.' Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda,
"Sesungguhnya Allah menampakkannya untuk dilihat. "Maka, hilal itu adalah (tanggal) bagi malam yang
kalian lihat."

Kesebelas: Firman Allah SWT : ‫" َو َلْيَس اْلَبْر ِبَأن َتْأُتوا اْلَبُيوَت ِم ن ُظُهوِرَها‬Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-
rumah dari belakangnya.""" Firman Allah ini menyatu dengan uraian tentang tanda-tanda waktu bagi
ibadah haji, karena kedua permasalahan ini tercakup oleh pertanyaan tentang bulansabit dan memasuki
rumah-rumah dari bagian atasnya. Karena itulah ayat ini diturunkan berkenaan dengan kedua masalah
ini.

Dahulu, apabila orang-orang Anshar melaksanakan ibadah haji kemudian kembali, maka mereka tidak
masuk (ke dalam rumah) melalui pintu-pintu rumah mereka. Apabila mereka telah berniat untuk
melaksanakan ibadah haji atau umrah, mereka berpegang kepada sebuah syariat, yaitu mereka tidak
boleh terhalang oleh sesuatu dari langit.

Apabila seseorang di antara mereka telah keluar (dari dalam rumahnya) setelah itu, yakni setelah
berihram dari rumahnya, lalu mereka kembali (lagi ke rumahnya) untuk suatu keperluan, maka dia tidak
akan masuk (ke dalam rumahnya) melalui pintu rumah, karena atap rumah akan menjadi penghalang
antara mereka dan langit.

Karena itulah dia akan naik ke bagian atas rumahnya melalui dinding (rumah), lalu berdiri di atas
kamarnya, dan memerintahkan (seseorang) agar mengambil keperluannya lalu memberikannya
kepadanya dari dalam rumahnya. Mereka beranggapan bahwa hal itu termasuk ibadah dan kebajikan,
sebagaimana mereka pun meyakini beberapa hal (lain) sebagai ibadah.

Allah kemudian membantah hal itu terhadap mereka. Allah Ta'ala juga menjelaskan bahwa kebajikan
terdapat dalam melaksanakan perintah- Nya.

Ibnu Abbas berkata dalam riwayat Abu Shalih, "Orang-orang pada Masa jahiliyah dan awal-awal Islam
dahulu, apabila ada salah seorang di antara mereka yang berihram untuk haji, jika dia termasuk Alhul
Madar, yakni penghuni rumah, maka dia akan melubangi bagian atas rumahnya, kemudian dari lubang
itulah dia masuk (ke dalam rumah) dan dari sana pula mereka akan keluar (dari dalam rumah). Atau, dia
akan membuat tangga, kemudian dia akan menaiki tangga itu dan menuruninya (untuk keluar dari
dalam rumah). Tapi jika dia termasuk Ahlu Wabar, yakni penghuni tenda, maka dia akan masuk melalui
bagian belakang tendanya, kecuali jika dia adalah seorang hums (yakni kabilah yang tidak menganut
kepercayaan tersebut, yaitu Quraisy, Kinanah, Khuza'ah, Tsaqif, Jusym, Abu Amir bin Sha'sha'ah, dan
Bani Nashr bin Mu'awiyah).

Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Nabi SAW berniat untuk melaksanakan ibadah Umrah pada tahun
ditandatanganinya kesepakatan Hudaibiyah, lalu beliau masuk ke dalam rumahnya. Seorang lelaki
Anshar yang berasal dari Bani Salamah kemudian masuk di belakang beliau. Lelaki itu masuk dan dia pun
telah melanggar kebiasaan kaumnya. Nabi SAW bertanya kepada lelaki itu, "Mengapa engkau masuk,
sementara engkau telah berihram?" Lelaki itu menjawab, "Engkau telah masuk, sehingga aku pun masuk
karena masuknya engkau." Nabi SAW menjawab, "Sesungguhnya hanyalah Ahmas. "Yakni, kabilah yang
tidak memeluk kepercaya itu. lelaki itu berkata, "Kepercayaanmu adalah kepercayaanku. Maka turunlah
ayat ini. Keterangan ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Atha', dan Qatadah. Menurut satu pendapat,
lelaki itu adalah Qathabah bin Amir Al Anshari.

Hums adalah Quraisy, Kinanah, Khuza'ah, Tsaqif, Jusym, Abu Amir bin Sha'sha'ah, dan Bani Nashr bin
Mu'awiyah. Mereka dinamakan Hums karena mereka ketat dalam agama mereka. Humasah berarti Asy-
Syiddah (ketat). Al Ajjaj berkata

‫وَك ْم َقَطْعَنا ِم ْن ِقَفاَف ُح ْم ٍس‬

*Berapa banyak kami telah melewati qifaf (perbukitan) yang keras/ terjal."Yakni, yang keras/terjal.
Selanjutnya, mereka berbeda pendapat tentang takwil ayat ini. Menurut satu pendapat, takwilnya
adalah apa yang telah kami katakan. Dan, pendapat ini merupakan pendapat yang benar.

Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud adalah menunda dan menangguhkan pelaksanaan ibadah
haji karena hal itu, sehingga mereka membuat bulan yang halal menjadi bulan yang haram karena
penangguhan ibadah haji, dan bulan yang haram menjadi bulan yang halal karena menangguhkan
ibadah haji. Dengan demikian, disebutkannya rumah dalam ayat ini merupakan suatu perumpaan dari
sebuah tindakan yang menyalahi kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji dan menangguhkannya dari
bulan/ waktunya. Penjelasan tentang penangguhan ini akan dijelaskan dalam surah Bara'ah (At-Taubah),
insya Allah.

Abu Ubaidah berkata, "Ayat ini merupakan sebuah perumpamaan. Pengertian dari firman Allah ini
adalah, bukanlah sebuah kebajikan jika kalian bertanya kepada orang-orang yang bodoh. Akan tetapi
(kebajikan itu adalah), hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan bertanya kepada orang yang
memiliki pengetahuan. Dengan demikian, firman Allah ini sama seperti ucapanmu: "Aku melaksanakan
perintah ini sesuai dengan jalurnya"."

Namun Al Mahdawi dan Maki meriwayatkan dari Ibnu Al Anbari, sementara Al Mawardi meriwayatkan
dari Ibnu Zaid, bahwa ayat ini merupakan sebuah perumpamaan dalam berhubungan badan dengan
kaum perempuan, yaitu perintah untuk menggauli mereka pada kemaluannya, dan bukan pada anusnya.
(Dalam ayat ini), istri dinamakan rumah, sebab kepadanyalah (suami) kembali sebagaimana (dia)
kembali ke rumah.

Ibnu Athiyah berkata, "Pendapat ini jauh dari kebenaran, dan dapat merubah alur pembicaraan."
Al Hasan berkata, "Mereka membuat ramalan: barangsiapa yang musafir kemudian maksudnya tidak
tercapai, maka dia harus mendatangi rumahnya dari bagian belakang, agar tidak sial. Dikatakan kepada
mereka, 'Ramalan itu bukanlah sebuah kebajikan. Yang benar, kebajikan adalah hendaknya engkau
bertakwa kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya."

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Pendapat yang pertama adalah pendapat yang paling benar di antara
beberapa pendapat yang telah disebutkan. Hal ini berdasarkan kepada sesuatu yang diriwayatkan oleh
Al Barra', dia berkata, "Apabila orang-orang Anshar melakukan ibadah haji kemudian mereka kembali,
maka tidak masuk ke dalam rumah melalui pintunya." Al Barra berkata, 'Seorang lelaki Anshar datang,
kemudian dia masuk melalui pintu (rumah)nya. Kepadanya kemudian ditanyakan tentang perbuatannya
Dan bukanlah ‫ َو َلْيَس اْلُبُر ِبَأن َتْأُتوا البيوَت ِم ن ُظُهوِرَها‬:itu Maka turunlah ayat kebaktian memasuki rumah-rumah
dari belakangnya. Ini merupakan nash untuk rumah yang sesungguhnya. Hadits itu diriwayatkan oleh Al
Bukhari

dan Muslim.

Adapun pendapat-pendapat tersebut, semuanya diambil dari hal lain, bukan dari ayat ini. Renungkanlah
hal itu.

Menurut satu pendapat, ayat ini merupakan sebuah peringatan dari Allah agar mereka melakukan
kebajikan sesuai dengan alunya, yaitu alur yang Allah perintahkan kepadanya. Dengan demikian,
perintah untuk memasuki rumah melalui pintu itu merupakan sebuah perumpamaan yang dimaksudkan
agar kita melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan jalur yang Allah perintahkan kepada kita."

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Berdasar kepada hal itu, maka sahlah pendapat-pendapat yang telah
disebutkan tadi Al Buyuut adalah bentuk jarmak dari Al Bait. Huruf baa dapat dibaca dengan dhamah
dan kasrah. Diatas juga telah dijelaskan pengertian kata At-Taqwaa, Al Falaah dan La'alla, sehingga kata-
kata itu tidak perlu dijelaskan lagi."

Kedua belas: Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa pendekatan diri dan ibadah yang tidak
disyari'atkan oleh Allah itu tidak dapat menjadi pendekatan diri yang bisa dipraktikan oleh seseorang.

Ibnu Khuwaizimandad berkata, "Apabila kebajikan dan pendekatan diri kepada Allah berbaur dengan
sesuatu yang bukan itu, maka seseorang harus mengkaji ulang perbuatan tersebut. Jika perbuatan itu
memiliki padanan baik dalam hal wajib maupun dalam hal sunah, maka dia boleh melakukannya. Tapi
jika tidak, maka perbuatan itu bukanlah suatu kebajikan atau pendekatan diri (kepada Allah)." Ibnu
Khuwaizimandad berkata, "Untuk itulah atsar-atsar dari Nabi didatangkan." Ibnu Khuwaizimandad
kemudian menyebutkan hadits Ibnu Abbas, dimana dia berkata, "Ketika Rasulullah SAW sedang
berkhutbah, tiba-tiba beliau (melihat) seorang lelaki yang berdiri di bawah sinar matahari. Beliau
kemudian bertanya tentang lelaki itu. Para sahabat menjawab, "Dia adalah Abu Isra'il.""6 Dia bernadzar
untuk berdiri dan tidak duduk, tidak berteduh, serta tidak berbicara, dan berpuasa." Nabi SAW
kemudian bersabda, "Perintahkanlah dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan menyempumakan
puasanya."""" (Dalam hadits ini), nabi membatalkan sesuatu yang tidak termasuk pendekatan diri
kepada Allah, dimana hal ini tidak ada dalilnya dalam syari'at, sekaligus mensahkan pendekatan dirinya
yang memiliki pandanannya baik dalam hal wajib maupun sunah.

Anda mungkin juga menyukai