NIM : 102210002
1. Definisi al-Qur’an
a. Konotasi Harfiah
Sebagian ulama’ bahasa berpendapat, bahwa kata Qur’ân merupakan bentuk Mashdar
(kata kerja yang dibendakan), dengan mengikuti standar Fu’lân, sebagaimana lafadz Gufrân,
Rujhân dan Syukrân. Lafadz Qur’ân adalah lafadz Mahmûz, yang salah satu bagiannya
berupa huruf hamzah, yaitu pada bagian akhir, karenanya disebut Mahmûz Lâm, dari lafadz:
Qara’a-Yaqra'[u]-Qirâ’at[an]- Qur’ân[an], dengan konotasi Talâ-Yatlu-Tilâwat[an]:
membaca-bacaan.
Kemudian lafadz tersebut mengalami konversi dalam peristilahan syariat, dari konotasi
harfiah ini, sehingga dijadikan sebagai nama untuk bacaan tertentu, yang dalam istilah orang
Arab disebut: Tasmiyyah al-maf’ûl bi al-mashdar, menyebut obyek dengan Mashdarnya.
Konotasi harfiah seperti ini dinyatakan dalam firman Allah SWT. Yang artinya:
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-
cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan
Al-Bukhâri dan Muslim telah meriwayatkan sebab turunnya ayat ini, yang
mengindikasikan konotasi harfiah seperti ini. Dari Ibn ‘Abbâs berkata:
Tentang firman Allah SWT.: ( ) yang artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
membaca al- Qur’an . Beliau berkata: Dulu ketika Malaikat Jibril turun menyampaikan
wahyu, Nabi saw. menggerakkan lidah dan bibir beliau untuk membaca wahyu tadi sehingga
susah menggerakkannya. Keadaan beliau seperti ini dapat dilihat. Maka Allah berfirman: ( ) (
) yang artinya:
“Janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk membacanya dan ingin cepat
menguasainya.
( ) yang artinya:
“Jika Kami selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu. Kami menurunkannya,
maka dengarkanlah baik-baik .”
Atsar dari Ibn ‘Abbas ini menjelaskan dengan nyata konotasi harfiah tersebut. Disebut
demikian, karena al-Qur’an adalah bacaan yang dibaca dengan lisan, sebagaimana disebut
juga dengan istilah Kitâb, karena dibukukan dengan menggunakan pena. Penyebutan dengan
kedua istilah ini merupakan bentuk penyebutan sesuatu mengikuti konotasi realitas yang ada
padanya. (2 Muhammad ‘Abdullâh Darrâz, anNaba’ al’ Adhîm, Dâr alQalam, Kuwait, hal.
12)
As-Syâfi’i berpendapat, dan pendapat ini kemudian dikuatkan oleh as-Suyûthi, bahwa
al-Qur’ân adalah nama yang tidak diambil dari pecahan kata manapun (ghayr musytaqq). Ini
adalah nama
untuk kitab Allah, sebagaimana kitab-kitab samawi yang lain. (AsSuyûthi, alItqân, Dâr
alFikr, Beirut, t.t., juz I, hal. 51)
b. Konotasi Syar’i
Para ulama’ ushul dan kalam telah mendefinisikan al-Qur’an dengan definisi yang
beragam. Namun, definisi yang terbaik dan berkualitas adalah:
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad
saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya. (4
‘Ali alHasan, alManâr, Dâr alFikr al’ Arabi, Beirut, cet. I, 1998, hal.11)
Batasan: kalam Allah yang berupa mukjizat telah menafikan selain kalam Allah, seperti
kata-kata manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits Qudsi ataupun hadits
Nabawi tidak termasuk di dalamnya.
Batasan: diturunkan kepada Muhammad saw. telah mengeluarkan apa saja yang
dikatakan sebagai al-Qur’an, namun tidak mutawatir, seperti bacaan-bacaan Syadz, yang
tidak Mutawâtir,
yang telah diriwayatkan bahwa bacaan tersebut merupakan al-Qur’an, namun ternyata
diriwayatkan secara Ahâd, maka bacaan tersebut tidak bisa dianggap sebagai al-Qur’an.
Misalnya, bacaan Ibn Mas’ûd terhadap firman Allah SWT.:
“Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. (Q.s. al-Mâidah: 89) yang beliau tambahkan dengan: Mutatâbi’ât (berturut-turut),
(As-Suyûthi, alItqân, juz I, hal.) atau bacaan beliau terhadap firman Allah:
“Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun.” (Q.s. al-
Nisâ’: 20) yang juga beliau tambahkan dengan: Min Dzahab[in] (dari emas), setelah lafadz:
Qinthâr[an] (harta yang banyak), (Ibn Katsîr, Tafsîr alQur’ân al’ Adhîm, Dâr alFikr, Beirut,
t.t., juz I, hal. 467) atau bacaan Ibn ‘Abbâs terhadap firman Allah SWT. Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. (Q.s. al-Baqarah: 198)
yang beliau tambahkan dengan: Fî Mawâsim al-Hajj (pada musimmusim haji), (AsSuyûthi,
alItqân, juz I, hal. 83) ataupun bacaan terhadap firman Allah SWT.
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
(Q.s. al-Mâ’idah: 38) yang mengganti: aydiyahumâ (tangan-tangan keduanya), dengan:
aymânahumâ (bagian [tangan atau kaki] kanan keduanya). (AsSuyûthi, adDurr alMantsûr,
Dâr alFikr, Beirut, t.t., juz II, hal. 523)
Jadi penggantian, penambahan atau yang sejenis dari bacaan-bacaan tersebut tidak
layak disebut al-Qur’an, bahkan disebut hadits Nabawi juga tidak boleh, karena bacaan-
bacaan tersebut telah dinisbatkan kepada pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari sekedar
tafsir, atau pandangan bagi orang yang menetapkannya. Mengenai batasan terakhir: dinilai
beribadah ketika membacanya telah mengeluarkan hadits Qudsi, meski ia dinisbatkan kepada
Allah. Sebab, membacanya tidak bernilai ibadah, sebagaimana yang akan dijelaskan
kemudian
2.Definisi secara istilah di atas memiliki penjabaran yang dapat memaknai masing-masing
kata.
Kata-kata paling indah di muka bumi ini adalah Al-Qur'an yang merupakan kalam Allah
ta'ala. Al-Qur'an adalah kalimat-kalimat suci yang bukan berasal dari manusia, jin, setan atau
malaikat. Kesucian kalamullah tersebut tidak ada yang mampu menandinginya bahkan meski
hanya satu ayat.
Seorang jawara sastra pada masa Nabi saw bernama Abdul Walid pernah berkata, "Aku
belum pernah mendengar kata-kata seindah itu. Itu bukanlah syair, bukanlah sihir, dan bukan
pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang,
akarnya terhujam hingga ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu
bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya,”
Mukjizat bermakna sesuatu hal yang luar biasa yang tidak mungkin didapat oleh manusia
biasa melainkan khusus bagi para nabi dan rasul untuk meneguhkan kenabian dan kerasulan
mereka serta untuk menunjukkan kebesaran Allah Swt. Begitulah Al-Qur'an sebagai salah
satu mukjizat Nabi Muhammad saw tidak mungkin diterima oleh orang lain.
3. Mutawatir
Al-Qur’an sebagai mukjizat yang diturunkan kepada seorang Rasul, harus disampaikan
kepada umatnya karena hal tersebut merupakan tugas dari seorang rasul. Di dalam Al-Qur’an
kerap kita jumpai bahwa Allah menyapa bukan hanya untuk orang yang beriman tetapi juga
seluruh manusia.
Wallahu a'lam.