Anda di halaman 1dari 12

Pengantar Da’wah 2: Al-Qurãn Sebagai Materi 

Da’wah

Posted by Ahmad Haes on January 4, 2010  

Ketika menyebut “Al-Qurãn”, yang kita sebut itu adalah sebuah hakikat, bukan sebuah benda
nyata. Tapi, kita selalu membayangkan bahwa Al-Qurãn itu adalah sebuah benda; tepatnya
sebuah buku. Padahal, istilah Al-Qurãn pada awalnya sama sekali tidak mengacu pada sebentuk
buku.

Al-Qurãn pada hakikatnya, yakni keadaan aslinya seperti semula, sebelum ia dibukukan, adalah
ucapan-ucapan (lafaz) yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril.
Selanjutnya, melalui suatu proses pencatatan, Al-Qurãn itu dikumpulkan di dalam mushhaf.

Mushhaf, lengkapnya al-mushhafusy-syarïf (‫)المصحف الشريف‬, yang  secara harfiah berarti “buku
yang mulia”, dan secara istilahi diterjemahkan orang menjadi “kitab suci”, adalah sebutan bagi
buku yang berisi rekaman (‫ رقم‬/catatan) wahyu yang pernah diterima oleh Nabi Muhammad
dalam waktu sekitar 23 tahun.

Sementara teks (dari bahasa Inggris: text) adalah sebutan untuk (1) kata-kata yang tercetak
dalam sebuah buku, atau (2) kata-kata asli seorang pengarang, atau (3) kutipan ayat dari kitab
suci yang disampaikan dalam khutbah.[1]

Dalam bahasa Arab, teks adalah nuskhah (‫)نسخة‬, yang diindonesiakan menjadi naskah. Sebutan
lainnya  adalah matnul-kitãb (‫)متن الكتاب‬, yang kita ucapkan menjadi matan kitab. Istilah matnul-
kitãb lebih tegas mengacu pada pengertian teks yang pertama, yakni kata-kata yang tercetak
dalam sebuah buku. Pengertian inilah yang kita maksud ketika kita menggunakan istilah
mushhaf Al-Qurãn, atau matan Al-Qurãn, atau teks Al-Qurãn. Tepatnya, yang kita maksud adalah
“buku yang berisi catatan wahyu yang diterima Nabi Muhammad seutuhnya”, atau ringkasnya
“buku wahyu” saja. Tapi, “Al-Qurãn”  (tanpa diawali mushhaf) adalah sebutan yang paling
populer untuk buku tersebut, meski selanjutnya sebutan itu menimbulkan semacam salah kaprah
(karena menyamakan hakikat dengan benda).

Dalam kajian ilmiah, ketika kita menyebut Al-Qurãn, harus ada penegasan apakah yang
dimaksud itu hakikat Al-Qurãn atau mushhaf Al-Qurãn. Dalam bab ini, yang akan kita bahas
adalah mushhaf Al-Qurãn; yang selanjutnya kita bagi menjadi: (1) bahasa Al-Qurãn, dan (2)
wawasan Al-Qurãn; atau diringkas menjadi bahasa dan wawasan saja.

Bahasa dan wawasan Al-Qurãn


Seorang da’i pada masa setelah Al-Qurãn dibukukan, mengkaji Al-Qurãn sebagai sebuah teks;
dan selanjutnya teks itu pula yang diajarkannya kepada mad’u atau sasaran da’wahnya. Tapi,
sebagaimana ia sendiri tidak bisa menerima teks Al-Qurãn secara mentah-mentah, maka begitu
pula ketika ia menghidangkan Al-Qurãn dalam proses da’wahnya.

Harus disadari bahwa antara mad’u (juga da’i) dengan Al-Qurãn pada mulanya terdapat jarak
yang memisahkan keduanya. Dalam bahasa Hadits, misalnya, dikatakan bahwa Islam itu pada
mulanya asing (gharïb). Islam di sini tentu sama dengan Al-Qurãn. Jadi, pada mulanya Al-Qurãn
itu adalah sesuatu yang asing. Dengan demikian, da’wah dilakukan —pertama-tama— untuk
memperkenalkan (‘arrafa/ ‫ ) عرّف‬yang asing itu. Dengan kata lain, langkah pertama yang
dilakukan da’i adalah menjawab pertanyaan apa itu Al-Qurãn (‫?)ما هو القرءان‬

Sebagai langkah dasar dalam memperkenalkan Al-Qurãn, kita dapat membagi Al-Qurãn berdasar
dua unsur terpentingnya, yakni bahasa dan wawasan (makna).

Bahasa, satu sisi, adalah wadah tempat menampung makna. Pada sisi yang lainnya, bahasa
adalah alat untuk menyampaikan (mengungkapkan) makna dengan cara tertentu. Untuk
memahami sisi yang pertama, bahasa sebagai wadah makna, pengkajiannya dimulai melalui
pelajaran ilmu sharaf dan ilmu nahwu. Untuk memahami sisi yang kedua, bahasa sebagai alat
untuk menyampaikan makna dengan cara tertentu, pengkajiannya dilakukan melalui ilmu
balaghah (sastra).[2]

Pengkajian  ilmu sharaf dilakukan untuk mencermati bentuk-bentuk kata.  Ilmu nahwu dikaji
untuk mencermati bentuk-bentuk kalimat. Kedua ilmu itu biasa kita sebut sebagai ilmu tata
bahasa. Sementara yang ketiga, sastra, tidak termasuk ke dalam ilmu tata bahasa. Sastra adalah
seni berbahasa; yakni kiat  khusus untuk menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga
mencapai sasaran makna seperti yang dikehendaki pemakainya, yakni pembicara dan atau
penulis.

Dalam konteks Al-Qurãn, sastra Al-Qurãn adalah kiat Allah dalam berbahasa demi mencapai
sasaran makna yang dikehendakinya. Dengan demikian, jelas lah bahwa bahasa Al-Qurãn tidak
identik (sama persis) dengan bahasa Arab, terutama dalam konteks sastranya tersebut. Hal itu
perlu dicermati betul oleh seorang da’i, agar ia memahami dengan baik apa yang dikehendaki
Allah melalui Al-Qurãn, sehingga ia tidak menyampaikan informasi, konsep, atau pesan yang
salah terhadap mad’unya.

Penguasaan bahasa Al-Qurãn menjaga si da’i pada pemahaman yang terikat pada disiplin (ilmu)
bahasa Al-Qurãn, sehingga bicaranya tidak ngawur (kacau). Tapi harus diingat pula bahwa
bahasa bukanlah satu-satunya alat untuk memahami isi Al-Qurãn. Alat lainnya yang perlu
dimiliki da’i adalah wawasan Al-Qurãn.
Secara garis besar, wawasan Al-Qurãn dapat kita bagi menjadi:

1. Isi (makna) Al-Qurãn secara keseluruhan;

2. Tujuan Allah menurunkan Al-Qurãn;[3]

3. Fungsi-fungsi tertentu dari Al-Qurãn.

Pada surat Al-Baqarah ayat 185, misalnya, kita dapati isyarat demikian:

‫أنزل فيه القرءان هدى للناس و بينات من الهدى والفرقان‬


ِ ‫… شهر رمضان الذى‬

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qurãn, (yang mempunyai tiga fungsi, yaitu)
sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan bagi petunjuk (Al-Qurãn) itu sendiri, dan
pemilah (antara haq dan bathil) …

Melalui ayat ini kita mendapat gambaran tentang fungsi-fungsi Al-Qurãn. Pertama, fungsi Al-
Qurãn secara umum adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi manusia. Kedua, fungsi
Al-Qurãn secara khusus adalah (a) menjadi tafsir (keterangan) bagi dirinya sendiri, dan (b)
menjadi pemilah antara benar (haq) dan salah (bãthil). Fungsi yang terakhir bisa juga disebut
sebagai fungsi mushaddiq/‫ مص ّدق‬dari Al-Qurãn; yaitu fungsi membenarkan yang benar,
menyalahkan yang salah, dan memilah yang campur-aduk.

Sunnah Rasul

Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam kaitan dengan wawasan Al-Qurãn adalah Sunnah
Rasul. Khususnya, yang kita tekankan di sini adalah Sunnah Rasul yang terakhir, Nabi
Muhammad, yang gambarannya terekam begitu lengkap dalam teks Al-Qurãn, buku-buku Hadits
(yang shahih), dan buku-buku sejarah.

Al-Qurãn tidak akan dapat dipahami dengan baik, dan selanjutnya otomatis tidak akan bisa
diterapkan sebagai pedoman hidup (hudan), bila kita tidak memahami Sunnah Rasul.

Selama ini para pakar agama hanya mengatakan bahwa Sunnah Rasul adalah (1) perkataan
(qaulun), (2) perbuatan (fi’lun), dan (3) toleransi atau ijin tak langsung (taqrirun) dari Rasulullah
(Nabi Muhammad) atas tindakan orang lain, sehingga menjadi ukuran kebenaran tindakan itu.
Ketiga aspek itu lah yang kita dapati tertulis dalam kitab-kitab Hadits. Mereka tidak
memasukkan satu unsur penting yang membentuk Sunnah Rasul, yaitu sejarah penurunan,
penyebaran, dan pewujudan wahyu menjadi sebuah tatanan kehidupan.

Pada hakikatnya, yang disebut Sunnah Rasul (Nabi Muhammad) itu adalah wujud Al-Qurãn di
dalam kenyataan hidup (atau yang sering dikatakan orang sebagai the living Quran). Proses
pembangunannya dimulai sejak saat Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama, dan
berakhir setelah ia wafat. Hal itu, yakni penurunan wahyu dari pertama sampai akhir, memang
sudah diakui oleh para pakar sebagai ashrut-tasyri, alias “masa pembentukan syari’ah. Syari’ah
adalah sinonim dari sunnah.[4]

Yang harus diingat, yang disebut Sunnah Rasul itu bukanlah hanya seputar pribadi Nabi
Muhammad, tapi lebih tepat digambarkan sebagai perwujudan Al-Qurãn ke dalam bentuk
kehidupan bermasyarakat di Madinah, yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Hal itu
diisyaratkan, misalnya, melalui surat Al-Fath ayat 29:

‫سيماهم فى‬ِ ‫ضوانا‬


ْ ‫فضال ِمن هللا و ِر‬ ُ ‫شدّاء على الكفّار ُرحماء بينهم تراهم ُر ّكعا‬
ْ ‫س ّجدا يبتغون‬ ِ ‫مح ّمد رسول هللا والّذين معه أ‬
‫سوقِه‬
ُ ‫ستوى على‬ ْ ‫ست ْغلظ فا‬ ْ
ْ ‫أخرج شطئه فآزره فا‬ْ ‫ع‬ ْ ‫سجود ذالك مثلُهم فى التوراة ومثلهم فى اإلنجيل‬
ٍ ‫كزر‬ ُّ ‫ُوجو ِههم ِمن أث ِر ال‬
ّ َ
ْ ً‫الزرا َع لِي ِغيظ بهم ال ُكفا َر وعد هللا الذين آمنوا وعملوا الصالحات منهم م ْغفِرة‬
‫وأجرا عظيما‬ ُّ ‫يُ ْع ِجب‬

Muhammad, Rasul Allah, begitu juga orang-orang yang (seiman) bersamanya, bersikap tegas
terhadap orang-orang kafir (dalam masalah hukum), seiring dengan itu mereka berkasih-sayang
dengan sesama mereka (yang seiman; yang sama-sama menjaga tegaknya hukum). Kamu
(pembaca Al-Quran) mengetahui (lewat informasi Al-Quran dan catatan-catatan sejarah)
mereka ‘jungkir-balik’ (berusaha keras) mencari anugerah dan ridha Allah. Jejak pengabdian
mereka tampak pada segala segi kehidupan (wujuh) mereka. Begitulah (pula) gambaran mereka
dalam Taurat dan Injil (yang diajarkan Allah melalui Musa dan Isa).[5] (Mereka tumbuh) tak
ubahnya satu tanaman (rasul) yang mengeluarkan tunasnya (umatnya); selanjutnya (tunas itu)
tumbuh semakin kuat untuk berdiri tegak pada batangnya (sendiri). (Tanaman seperti itu)
membuat takjub para petaninya, (dan begitu juga tumbuhnya umat rasul yang semakin kuat dan
banyak menakjubkan para da’i, dan sebaliknya) membuat kesal orang-orang kafir. Kepada
orang-orang beriman yang berbuat tepat (sesuai ajaran dan uswah rasul), Allah memang telah
menjanjikan bahwa dari (jerih-payah) mereka (pasti menghasilkan) suatu perbaikan hidup,
yakni suatu imbalan kerja yang besar luar biasa.

Ayat ini menegaskan bahwa gambaran Sunnah Rasul seutuhnya adalah kenyataan hidup yang
dibangun Rasulullah bersama umat sezamannya, khususnya para sahabatnya, melalui proses
da’wah. Tegasnya, bicara Sunnah Rasul bukan lah  semata-mata bicara tentang diri pribadi
seorang rasul, tapi tentang sebuah penataan hidup (sistem) yang dibangun sang rasul bersama
para pengikutnya yang setia.

Dalam beberapa Hadits juga terbukti bahwa ketika Nabi Muhammad menyebut kata sunnahku, ia
mengiringinya dengan menyebut sunnah khulafã’ur-rãsyidin (para penerusnya yang lurus).
Misalnya dalam Hadits berikut ini:
‫ فَ َعلَي ُك ْم‬.‫اختِالَفًا َكثِي ًرا‬
ْ ‫سيَ َرى‬ َ َ‫ش ِم ْن ُك ْم بَ ْع ِدى ف‬ْ ‫شي فَإِنَّهُ َمنْ يَ ِع‬ ِ َ‫س ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوإِنْ تَأ َ َّم َر َعلَي ُك ْم َع ْب ٌد َحب‬َّ ‫صي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوال‬ ِ ‫أُو‬
ٌ‫ت األُ ُمو ِر فَإِنَّ ُك َّل ُم ْح َدثَ ٍة ِب ْد َعة‬ِ ‫َضوا َعلَي َها بِالنَّ َوا ِج ِذ َو إيَّا ُك ْم َو ُم ْح َدثَا‬ ُّ ‫س ُكوا ِب َها َوع‬ َّ ‫ تَ َم‬. ّ‫ش ِدين‬ِ ‫سنَّ ِة ا ْل ُخلَفَا ِء ا ْل َم ْه ِديِّينَ ال َّرا‬
ُ ‫سنَّتِى َو‬
ُ ِ‫ب‬
)‫ (رواه أبو داوود والترمذى‬.ٌ‫ضالَلَة‬ َ ‫َو ُك َّل بِ ْد َع ٍة‬

Aku berpesan agar kalian memelihara diri dengan (ajaran) Allah, dan (agar kalian tetap)
menanggapi serta menaati (amirul-mu’minin) walau yang memerintah kalian (sebelum masa
Islam adalah) seorang budak Habasyiy (Habsyi, Afrika). Sungguh, siapa pun di antara kalian
yang masih hidup setelah aku (tiada), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka,
jagalah oleh kalian sunnahku, yang selanjutnya menjadi sunnah para penggantiku yang
berpegang teguh pada petunjuk (Al-Qurãn) serta tetap berbuat lurus (berdasar petunjuk).
Pegang teguh lah (sunnah) itu. Yakni (ibarat kalian menggigitnya) gigitlah dengan gigi-gigi
geraham. Seiring dengan itu, jauhilah oleh kalian urusan-urusan baru yang diada-adakan
(sesuatu yang tak ada dalam Sunnah Rasul), karena setiap yang diada-adakan itu adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah berarti kesesatan. [Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzy,
dengan nilai hasan shahih].

Ma Huwa Al-Qurãn?

Berbicara tentang wawasan Al-Qurãn bisa dimulai dengan pertanyaan: Apakah Al-Qurãn itu?
Pertanyaan itu dijawab oleh Allah, antara lain, dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4:

‫الرحمان – علّم القرءان – خلق اإلنسان – علّمه البيان‬.

Ar-Rahman (Allah) – (Dia) mengajarkan Al-Qurãn – (Dia) menciptakan manusia – (lalu Dia)
mengajarkan al-bayan (yakni Al-Qurãn sebagai sebuah penjelasan).

Melalui ayat-ayat di atas, kita mendapatkan isyarat tentang hakikat Al-Qurãn, yaitu sebagai ilmu
(ayat 2), yang berfungsi sebagai penjelasan bagi manusia? Penjelasan tentang apa? Ayat ke-3
mengisyaratkan bahwa yang dijelaskan oleh Allah melalui Al-Qurãn adalah alasan-alasan
penciptaan manusia.

Benarkah ayat ke-2 merupakan penjelasan bahwa Al-Qurãn adalah ilmu? Perhatikanlah
gambaran sederhana ini:

Kata ‘allama adalah kata kerja yang mempunyai dua obyek. Di dalam kata ‘allama terdapat fã’il
(subyek/pelaku) yang melakukan proses pengajaran atau penyampai ilmu (= ta’lïman), yaitu
Allah. Kata ‘ilman (atau ‘ilmun = ilmu) adalah obyek tersembunyi dari ‘allama, yang berasal
dari masdar kata kerja dasarnya (‘alima – ya’lamu). Dalam susunan ayat ‘allamal-qurãna, kata
al-qurãna pada hakikatnya merupakan badal (pengganti) dari ‘ilman. Dengan kata lain, obyek
pertama dari ‘allama yakni ‘ilman, diberi  nama baru: al-qurãn(a). Tapi, pemberian nama baru
itu tetap tidak mengubah hakikat yang diajarkan, yakni ‘ilman (illmu). Dengan demikian, jelas
lah bahwa ayat ke-2 surat Ar-Rahman itu merupakan penegasan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah
ilmu.

Itu hanyalah salah satu dalil (kata orang dalil naqli) yang menyatakan bahwa Al-Qurãn adalah
ilmu. Dalil-dalil lainnya adalah kenyataan Al-Qurãn itu sendiri secara keseluruhan, yang
dilengkapi dengan Sunnah Rasul. Mungkin karena itu lah Imam Syafi’i pun, konon, mengatakan,
ّ Sebenarnya agama ini (Islam) adalah suatu ilmu.
“Inna hadzã-dïni ‘ilmun” (‫)إن هذا الدين علم‬.

Lebih jauh tentang ilmu

Orang Indonesia biasa menerjemahkan ilmu menjadi pengetahuan. Tapi, tidak semua
pengetahuan bisa disebut ilmu.

Bangsa Indonesia menerima istilah dan pengertian ilmu pada mulanya dari bangsa Arab yang
menyebarkan agama Islam. Tapi pandangan bangsa Arab tentang ilmu agaknya tidak mereka
ambil dari Islam (Al-Qurãn).

Pandangan bangsa Arab tentang ilmu dirumuskan dalam pepatah mereka yang berbunyi: al-’ilmu
nûrun fil-qalbi (‫)العلم نور فى القلب‬. Pandangan ini diajarkan di berbagai pesantren dan madrasah,
dan diterjemahkan menjadi: ilmu adalah cahaya (dalam) hati.

Jadi, bangsa Arab mengumpamakan ilmu sebagai cahaya, yang berperan menerangi al-qalbu (=
akal; pikiran; batin; jiwa). Pandangan ini mengandung kebenaran; tapi sayangnya tidak lengkap.
Tentu saja benar bahwa ilmu menjadi cahaya atau penerang bagi kalbu, tapi mereka  tidak
menjelaskan dari mana datangnya cahaya itu; apakah datang dari luar atau timbul begitu saja
dalam pikiran (= otak) manusia.

Karena tidak jelas disebutkan dari mana sumber ‘cahaya’ itu, maka pandangan bangsa Arab
tentang ilmu tersebut, bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan pandangan salah satu ahli
filsafat Yunani, yaitu Plato atau Platon (427-347 sbM).

Sesuatu yang terdapat dalam ‘hati’ disebut Plato sebagai idea, yang merupakan bawaan manusia
sejak lahirnya dari alam idea (ide). Dengan kata lain, manusia lahir ke dunia dengan membawa
kenangan tentang segala sesuatu yang pernah diketahuinya di alam idea. Dengan idea (=
kenangan) itu lah, kata Plato, manusia mengenali segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di
dunia ini, yang disebutnya sebagai bayangan idea. Lebih lanjut, menurut ajaran Plato, karena apa
yang ada di dunia ini hanya bayangan idea, maka keadaannya tidak sesempurna seperti aslinya.
Kuda yang kita lihat, misalnya, tidak sesempurna kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea.
Bagi Plato, segala yang kita saksikan di dunia ini adalah kenyataan semu. Dalam kajian ilmu
filsafat, ajaran Plato itu dikenal sebagai aliran filsafat idealisme, dan ia memang pelopor dalam
aliran tersebut.
Ajaran Plato mengajak manusia lari ke alam idea alias lamunan. Melalui ajarannya itu, Plato
mempengaruhi para penganut filsafatnya untuk menjauhi segala hal yang bersifat duniawi.

Pengaruh ajaran Plato diperluas melalui agama Kristen, khususnya melalui orang Mesir bernama
Plotinus (205-270 M), tokoh terbesar dalam aliran Neo-Platonisme (ajaran Plato versi baru),
yang juga menjadi perintis bagi lahirnya filsafat Kristen yang disebut filsafat  Scholastik.
Kemudian, tokoh besar yang dianggap orang suci  (santo atau saint) dalam filsafat Kristen
tersebut adalah Santo Agustinus (354-430 M). Dialah yang menulis 22 jilid buku yang
menguraikan tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) yang ada di atas sana
(sorga), dan Kerajaan Iblis (Civitas Diaboli) yang ada di dunia ini. Tapi di dunia ini juga ada
wakil Kerajaan Tuhan, yaitu Gereja; tepatnya Gereja Katolik yang kini ada di Vatikan, Italia.

Karena pandangan filsafat demikian itu, agama Kristen membagi kehidupan menjadi (1) urusan
agama (yaitu Gereja), dan (2) urusan dunia.  Urusan agama kadang disebut sebagai urusan
spiritual, dan sebaliknya urusan dunia disebut sebagai urusan sekular (harfiah berarti duniawi).

Orang Kristen asli beranggapan bahwa kerajaan mereka bukan terletak di dunia ini, sehingga
mereka pun tidak mau terlibat dalam urusan politik[6] (yang tentu merupakan urusan Kerajaan
Setan).

Ajaran Plato itu belakangan juga mempengaruhi orang-orang Islam, khususnya para ahli ilmu
kalam dan kaum sufi. Achmad Roestandi SH menulis demikian:

… faktor-faktor extern itu ialah masuknya filsafat Yunani ke alam Islam. Dengan kata lain,
filsafat Islam itu mulai tumbuh subur dan mendalam setelah cendekiawan Islam berkenalan
dengan filsafat Yunani. Seperti halnya dengan filusuf-filusuf scholastik, filusuf-filusuf Islam pun
terpengaruh oleh ajaran-ajaran para filsuf Yunani, dan kelanjutannya mereka pun menjalinkan
ayat-ayat Qur’an tertentu dengan ajaran-ajaran filusuf Yunani tersebut.[7]

Satu hal yang perlu dicatat, dari kaum sufi, misalnya,  lahir pandangan bahwa dunia adalah
penjara bagi orang beriman dan sorga bagi orang kafir. Suatu pandangan yang sangat
dipengaruhi oleh konsep Agustinus tentang Kerajaan Tuhan (sorga) dan Kerajaan Iblis (dunia).

Pandangan tersebut tentu sangat menguntungkan para penjajah. Ketika para penjajah berduyun-
duyun datang ke berbagai negara Muslim, kaum mislimin hanya bersikap pasif dan menyingkir
saja; karena para penjajah itu hanya datang untuk mengambil segala sesuatu yang bersifat
duniawi, yang memang merupakan hak mereka di dunia ini, bukan hak orang-orang beriman.
Memang kaum sufi moderen telah membantah keras tentang kebenaran ajaran tasauf yang
demikian; tapi fakta tetaplah fakta. Yakni, ada satu masa yang begitu panjang, tak lama sejak
berakhirnya masa Nabi dan para Khalifah, umat Islam amblas ke dalam kehinaan, dan belum
bangkit sampai sekarang, karena para cendekiawan (ulama) mereka terpesona oleh filsafat Barat
(Yunani), dan meninggalkan Al-Qurãn.

Ternyata pula, kedatangan para penjajah ke negara-negara Muslim bukan hanya untuk mengeruk
kekayaan alam, tapi juga untuk mengukuhkan pengaruh filsafat Yunani itu, baik melalui
Kristenisme yang bermuatan Neo-Platonisme Plotinus-Agustinus, maupun melalui sains
(science) yang bermuatan filsafat materialisme atau naturalisme.

Karena pengaruh yang belakangan itulah, pengertian (konsep) ilmu digambarkan (didefinisikan)
dengan konsep sains yang berpangkal pada materialisme/naturalisme. Isa Bugis, dalam salah satu
diktatnya menyebutkan satu contoh definisi tentang ilmu yang diambil dari Barat, yaitu: Science
is organized body of principles supported by facts. (Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur
dalam keseluruhan yang didukung oleh faktanya).[8]

Menurut Isa Bugis, definisi ilmu yang demikian itu adalah hasil dari pengaruh filsafat Idealisme
dan Naturalisme yang melahirkan “kesadaran terkatung-katung” (tidak mantap), sebagai hasil
dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang menjadi obyek studi (pengkajian).

Definisi yang lain science, dikatakan dalam sebuah kamus sebagai: knowledge arranged in an
orderly manner, esp knowledge obtained by observation and testing of facts.[9] (Pengetahuan
yang dirangkai secara teratur, terutama pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan
pengujian fakta-fakta).

Menurut tinjauan Isa Bugis definisi tersebut mengandung kelemahan mendasar. Pertama, di sana
dikatakan bahwa ilmu adalah hasil usaha manusia setelah mengamati alam. Tapi, manusia tidak
mungkin mengenali alam sebelum ada pengetahuan lebih dulu. Dari mana asal pengetahuan itu?
Isa Bugis menegaskan bahwa pengetahuan awal (untuk mengenali alam) itu berasal dari Allah.
Kedua, bila di sana disebutkan fakta, yakni berbagai benda yang menjadi obyek kajian ilmu,
siapa yang mengadakan benda-benda itu? Isa Bugis kembali menegaskan bahwa semua benda
yang mereka kaji itu adalah ciptaan Allah, yang juga terikat oleh sunnatullah (hukum alam).

Kemudian, dengan mengajukan surat Ar-Rahmãn ayat 1-13, Isa Bugis menegaskan bahwa ilmu
yang sebenarnya, yang berasal dari Allah (untuk masa sekarang) adalah Al-Qurãn.[10] Dengan
demikian ia mengoreksi definisi tersebut menjadi: Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dari
Allah menurut Sunnah Rasul terhadap semesta kenyataan yang tergantung kepada Allah.[11]

Ilmu dan kebenaran

Kebanyakan manusia sudah terbius oleh dalil yang mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat
relatif”, yakni tergantung pada siapa yang mengatakan dan mempercayainya. Dengan kata lain,
kebenaran itu menjadi tergantung pada kepercayaan, atau bahkan selera, sehingga nilainya
menjadi subyektif (tergantung orang). Padahal, seharusnya kebenaran itu bersifat obyektif, apa
adanya, sesuai dengan fakta yang telanjang (asli).

Seharusnya dalil itu difahami dengan cermat!

Relatif (Ing.: relative) adalah kata sifat. Kata bendanya adalah relasi (relation). Dalam bahasa
aslinya, yang biasa kita sebut relatif itu adalah relative to, yang artinya sama dengan referring to
(merujuk kepada; menghubungkan dengan).

Jadi, bila kita mengatakan bahwa “kebenaran itu relatif”, maksudnya adalah “kebenaran itu
tergantung pada rujukannya atau sumbernya.” Bila sumbernya orang, maka orang itulah yang
menjadi penentu. Bila sumbernya sebuah buku (yang sebenarnya juga ditulis orang), maka buku
itulah yang menjadi penentu. Kita yang mendengar kata orang, atau membaca sebuah buku,
boleh membenarkan (mempercayai), boleh juga tidak membenarkan (= menyalahkan). Kedua
pilihan itu (membenarkan atau menyalahkan) adalah benar (= sah), karena kebenaran itu
tergantung pada (subyektif/selera) kita. Titik.

Tapi, dalam kenyataan, kita tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan kepercayaan subyektif.
Kita hidup selalu dan akan terus mengandalkan pengetahuan obyektif yang dipercayai oleh
semua orang. Misalnya, kita tahu bahwa api itu panas. Pengetahuan itu dibenarkan semua orang.
Kita tahu bahwa kita tidak bisa mengambang di permukaan air; karena itu kita menggunakan
jembatan untuk menyeberangi sungai, dan menggunakan perahu atau kapal laut untuk
mengarungi lautan. Bila perut lapar, kita pun memakan makanan yang sudah diketahui dengan
pasti kelezatan rasanya,  manfaatnya untuk menghilangkan lapar dan menjaga kesehatan.
Pendeknya, setiap hari kita hidup melalui pengetahuan obyektif; dalam arti ada teori dan ada
bukti.

Tapi, mengapa ketika berbicara tentang kebenaran agama, kita memilih kebenaran yang bersifat
subyektif, hanya mengandalkan kepercayaan masing-masing?  Bahkan, ketika kita berhadapan
dengan teks Al-Qurãn, kita juga cenderung memilih pemahaman yang bersifat subyektif,
sehingga lahirlah sekian banyak madzhab.

Mengapa bisa demikian?

Jawabannya adalah: karena kita terpengaruh filsafat Plato, yang mendorong manusia untuk
berpikir deduktif dan mengabaikan pembuktian induktif (analitika), karena bagi Plato apa pun
yang kita temukan dalam proses induktif itu —seperti dia menyebut kuda sebagai contoh—
adalah semu (hanya bayangan).  Kuda bisa kita lihat ada beberapa jenis, tapi dari semua yang ada
itu, tidak ada satu pun yang mewakili kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Meskipun
demikian, Plato tidak bisa mengingkari bahwa kuda-kuda itu memang ada, dan bila ia butuh
kuda sebagai kendaraan tentu ia akan naik kuda juga. Begitu lah contoh sikap pembual besar!
Bila pemahaman seperti di atas itu kita kaitkan dengan madzhab-madzhab dalam agama Islam,
maka kita akan melihat bahwa bila seseorang penganut satu madzhab didesak untuk menyatakan
keyakinannya akan kebenaran madzhabnya, jawaban yang diberikan pastilah bersifat
mengambang, tidak tegas. Dia tidak berani untuk mengatakan bahwa madzhab yang dianutnya
adalah yang paling benar. Akhirnya, ketika pikirannya mencapai puncak kejernihan, ia akan
mengatakan, “Pada madzhab kami tentu ada juga kesalahan dan kekeliruan; dan pada madzhab
lain tentu ada juga kebenaran.” Kalimat diplomatis itu ujung-ujungnya hanyalah menegaskan
bahwa dia mengikuti suatu madzhab itu karena mengakui kebenaran madzhabnya berdasar
seleranya belaka, bukan berdasar pembuktian ilmiah.

Dalam Al-Qurãn, Allah juga  mengajukan sebuah pernyataan deduktif bahwa kebenaran itu
berasal dari Dia (al-haqqu min rabbika).[12] Dengan kata lain, Allah adalah narasumber
kebenaran.

Lantas, bila Allah adalah narasumber kebenaran, di manakah gerangan letak kebenaran Allah itu?

Kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa kebenaran Allah itu terletak pada kitabnya, yakni
Al-Qurãn, karena itulah satu-satunya dokumen terpercaya tentang kehadiran Allah. Tapi, apakah
itu (Al-Qurãn) saja sudah cukup untuk menegaskan kebenaran Allah? Belum!

Kebenaran Al-Qurãn (sebagai sebuah ilmu) tidak cukup dengan hanya menyebutkan
narasumbernya yang bersifat mutlak, Allah. Begitu juga kebenaran Allah sebagai narasumber
ilmu tidak cukup terbukti dengan hanya menyebut kitabnya yang terpercaya, Al-Qurãn.
Kebenaran Allah, dan Al-Qurãn, masih harus didukung oleh sesuatu yang lain, yaitu bukti-bukti
(data; fakta) dari setiap teori atau keterangannya. Bila tidak didukung fakta, berarti ajaran Allah
(Al-Qurãn) itu dogmatis; padahal sebenarnya tidak.

Ketika menjelaskan Al-Qurãn sebagai ilmu, pada dasarnya kita memang sedang menegaskan
bahwa Al-Qurãn itu bukan sebuah dogma, yang ayat-ayatnya hanya berisi pernyataan-pernyataan
yang harus dipercayai begitu saja, tanpa harus dikritisi dan dimintai pembuktiannya.  Bila hanya
sebuah dogma, Al-Qurãn tidak akan bisa menjadi petunjuk atau pedoman hidup (hudan). Sebuah
dogma hanya bisa diterima oleh khayal, sementara petunjuk adalah sesuatu yang bisa diterima
oleh akal (= masuk akal).

Sesuatu yang masuk akal tentu bisa diuraikan secara rinci; dan selanjutnya —bila ia merupakan
sebuah gagasan untuk mewujudkan sesuatu— tentu ia bisa dilaksanakan tahap demi tahap.
Begitulah keadaan Al-Qurãn sebagai sebuah ilmu yang benar.

Dengan demikian, kita bisa membuat rumusan bahwa kebenaran itu pada dasarnya mempunyai
dua sisi, yaitu sisi teoritis dan sisi praktis.
Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah

Maghfirah/‫ مغفرة‬adalah salah satu bentuk masdar dari kata kerja ghafara/‫ غفر‬. Bentuk masdarnya
yang lain adalah ghafran, ghafïran, ghafïratan, ghufrãnan, ghufûran ( ,‫ غفرانا‬,‫ غفيرة‬,‫ غفيرا‬,‫غفرا‬
‫)غفورا‬.

Harfiah, menurut kamus Ghafara bisa berarti ghata/‫( غطا‬menutup), atau ashlaha/‫اصلح‬
(memperbaiki; menata ulang; mereformasi).

Para pakar agama Indonesia secara umum mengartikan ghafara sebagai mengampuni.
Mengampuni dalam bahasa Indonesia berarti melupakan kesalahan seseorang (= memaafkan);
atau tidak menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah.

Karena ghafara diartikan mengampuni, maka dengan sendirinya maghfirah berarti


pengampunan. Lebih lanjut, sifat ghafûr/‫ غفور‬pada Allah tentu menjadi berarti mahapengampun,
dan bentuk katanya yang lain, misalnya istighfar/‫ استغفار‬, tentu berarti minta ampun.

Lebih jauh, bahwa Allah mahapengampun bukan lagi merupakan masalah bahasa tapi sudah
menjelma menjadi sebuah doktrin. Seiring dengan itu, minta ampun adalah sebuah rumus atau
jalan pintas bagi para pendosa untuk membuat Allah memaafkan segala kesalahan mereka,
hampir-hampir tanpa syarat dan tanpa proses. Pendeknya, begitu manusia minta ampun, Allah
segera mengampuni.

Doktrin demikian adalah salah satu masalah, bahkan penyakit, yang harus dibasmi sampai ke
akar-akarnya, karena doktrin itulah yang menyebabkan kedudukan Al-Qurãn sebagai faktor
maghfirah menjadi asing.

Penegasan Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah tersirat dalam banyak ayat Al-Qurãn. Tapi
gambaran yang paling utuh terdapat dalam surat Al-Muzzammil. Karena itu penjelasan tentang
hal tersebut harus didahului dengan pemahaman yang cukup mendalam tentang surat Al-
Muzzammil.[13] Intinya, maghfirah yang dimaksud di sini bukanlah pengampunan tapi
perbaikan, tegasnya perbaikan hidup.

Jelas, Allah menurunkan Al-Qurãn untuk memperbaiki kehidupan manusia. Dalam bahasa kiasan
dikatakan bahwa penurunan Al-Qurãn dilakukan untuk “mengeluarkan manusia dari gelap
menuju terang.” Bicara gelap dan terang di sini adalah bicara gelap dan terang alam pikiran,
bukan alam lingkungan fisik. Dalam konteks istilah maghfirah, alam pikiran yang ‘gelap’ adalah
alam pikiran yang  jãhil/‫ جاهل‬, bodoh, dalam arti tidak mengenal ajaran Allah. Jadi, bicara Al-
Qurãn sebagai faktor maghfirah pada hakikatnya adalah bicara tentang fungsi Al-Qurãn sebagai
sebuah ilmu yang – katakanlah – reformis, yaitu bersifat memperbaiki; dengan catatan bahwa
perbaikan itu bermula dari perbaikan alam pikiran, yaitu dimulai dari proses pemberantasan buta
ajaran Allah (Al-Qurãn) itu sendiri.

Proses itulah yang seharusnya dijalankan oleh para dã’i!!!

[1] Lihat Oxford Learner’s Pocket dictionary dll.

[2] Ada pakar yang mengatakan bahasa dan sastra adalah dua ‘makhluk’ yang identik (sama).
Tapi ada pula yang mengatakan bahsa dan sastra ibarat dua sisi mata uang. “Ketika bahasa dan
sastra yang diibaratkan sebagai dua sisi dari mata uang itu diperhadapkan dengan kebudayaan,
pertanyaan yang layak dijawab ialah sisi mana yang berhadapan dengan atau yang menghadap ke
arah kebudayaan. Jawabannya ialah sastra. Jadi, sastralah yang merupakan bagian dari
kebudayaan,” tulis  Hasan Alwi dan Dendy Sugono dalam buku Politik Bahasa, hal.xxii, Progres
& Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003.

[3] Akan dibahas pada bab tujuan da’wah.

[4] Lihat antara lain kamus Al-Munjid.

[5] Maksudnya, gambaran Musa dengan umatnya, Isa dengan umatnya, adalah sama dengan
gambaran Muhammad dengan umatnya, karena semua menerapkan kitab-kitab Allah yang
mereka terima.

[6] Ilmu Filsafat Agama, Achmad Roestandi SH, hal. 43-47, Yayasan Lembaga Pengarang &
Penerbit Universitas Islam Nusantara, Bandung,

[7] Idem note 4, hal. 50-51.

[8] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 26, cetakan ke-III, Jakarta, Mei 1978.

[9] Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, AS Horby with AP Cowie & AC
Gimson, Oxford University Press 1974.

[10] Untuk masa-masa sebelum Al-Qurãn, ilmu yang benar itu terdapat pada kitab-kitab Allah
yang lain (Zabur, Taurat, Injil, dsb.).

[11] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 31.

[12] Surat Ali ‘Imran ayat 60, dll.

[13] Lihat lampiran: Ringkasan Tafsir Surat Al-Muzzammil.

Anda mungkin juga menyukai